Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eliminasi Urin merupakan salah dari proses metabolis tubuh. Zat yang tidak
dibutuhkan,dikeluarkan melalui paru-paru,kulit,ginjal dan pencernaan. Paru – paru secara
primer mengeluarkan karbondiaksida,sebuah bentuk gas yang di bentuk pada saat
metabolisme jaringan. Hampir semua karbondioksida dibawa ke paru – paru oleh sistem
vena dan di ekskresikan melalui pernafasan. Kulit mengeluarkan air dan natrium/keringat.
Ginjal merupakan bagian tubuh primer yang utama untuk mengekskresikan kelebihan cairan
tubuh,elektrolit,ion-ion hidrogen,dan asam.

Proses ini terjadi dari 2 langkah utama yaitu : kandung kemih secara progresif terisi
sampai tegangan di dindingnya meningkat di atas nilai ambang,yang kemudian mencetuskan
langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang di sebut refleks miksi(refleks berkemih) yang
berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal,setidak – tidaknya menimbulkan
kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik
medula spinalis, refleks ini bisa juga di hambat atau di timbulkan oleh pusat korteks serebri
atau batang otak.

Eliminasi Fekal (Defekasi) adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapakali per hari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyak nya feses bervariasi pada
setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum,saraf sensoris dalam rektum di ransang dan individu menjadi sadar terhadap
kebutuhan untuk defekasi.

Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang
normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan
bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbang pada beberapa
faktor,pola eliminasi pada setiap orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari
perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal.

1
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
 Untuk mengetahui Konsep eliminasi urin dan fekal
1.2.2 Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui pengertian eliminasi urin dan eliminasi fekal
 Untuk mengetahui mekanisme eliminasi urin dan fekal
 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologis eliminasi urin dan fekal
 Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi eliminasi urin dan fekal
 Untuk mengetahui gangguan pada eliminasi urin dan fekal.

1.3 Manfaat
 Dapat memahami konsep dari eliminasi urin dan fekal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. KONSEP ELIMINASI URINE


2.1.1 Pengertian Eliminasi Urine

Eleminasi atau pembuangan normal urine merupakan kebutuhan dasar manusia yang
harus terpenuhi yang sering dianggap tidak penting oleh kebanyakan orang. Pada sistem
perkemihan yang tidak berfungsi dengan baik, hal ini bisa menyebabkan gangguan terhadapa
sistem organ lainnya. Seseorang yang mengalami perubahan eleminasi dapat menderita
secara fisik dan psikologis. Anda sebagai perawat harus memahami dan menunjukkan sikap
peka terhadap kebutuhan klien akan eleminari urine, serta memahami penyebab terjadinya
masalah dan berusaha memberikan bantuan untuk penyelesaian masalah yang bisa diterima.
Eleminasi atau pembuangan urine normal adalah proses pengosongan kandung kemih bila
kandung kemih terisi.

2.1.2 Mekanisme Eliminasi Urin


 Proses filtrasi

Terjadi penyerapan darah yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein.
Yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari
glukosa,air,sodium,klorida,bikarbonat,dll diteruskan ke tubulus ginjal.cairan yang di sebut
filtrasi glomerulus.glomerulus adalah kapiler darah yang bergelung-gelung di dalam kapsul
bowmen,ukuran saringan pada glomerulus membuat protein dan sel darah tidak masuk ke
tubulus.pada glomerulus terdapat sel-sel endotelium yang berfungsi untuk memudahkan
proses penyaringan.paa proses filtrasi terjadi dua proses penyaringan menyisakan dua zat
berbeda.zat bermolekul besar beserta protein akan tetap mengalir di pembuluh darah
sedangkan zat sisanya akan tertahan di dalam.kemudian zat sisa hasil penyaringan ini dsebut
urine primer atau filtrat glomerulus.zat zat tersebut akan masuk dan disimpan sementara
didalam sinpai bowmen yang merupakan malpighi.darah disaring oleh sinpaibowmen dan zat
zat terlarut akan masuk kedalam pembuluh lanjutan sinpaibowmen yang terdapat dalam sum-
sum ginjal.filtrasi menghasilkan urine primer atau filtrat glomerulus yang masih mengandung
zat yang bermanfaat seperti glukosa,garam,dan asam amino.urine primer mengandung zat
yang saa dengan cairan yang menembus kapiler menuju ruang antar sel dalam keaadaan

3
normal urine primer tidak mengandung eritrosit.tetapi mengandung protein yang
mengandung kurang dari 0,03%.

 Proses reabsorbsi

Reabsorbsi adalah proses penyerapan kemabli urine primer yang telah diproses di
badan malpigi.setelah mengalami proses filtrasi kemudian urine yang masih terdapat zat at
ang dibutuhkan oleh tubuh diserap kemabli oleh muskulustubuluskontortus proksimal.zat zat
tersebut antara lain air,glukosa,asam amino,vitamin serta berbagai jenis ion,sementara itu zat
zat sisa yang tidak dapat digunakan,seperti urea dan kelebihan garam akan dikeluarkan dalam
bentuk urine .proses reabsorbsi berfungsi untuk mempertahanan kompsisi air serta garam
dalam cairan tubuh.proses tersebut dimulai ditubulukontortus proksimal dan dilanjut di
lengkug henley tubuluskontotusdistal dan kemudian mengumpul.dengan proses reabsorbi
sekitar 50% urea dari jumlah yang ada dalam urine primer berdifusi dalam darah karena ada
perbedaan konsentrasi yang disebabkan oleh reabsorbsi air antara urine primer,sel-sel tubulus
konvolusi proksimal juga secara aktif mengeksresi bahan-bahan beracun dari dalam darah
menuju urine primer bersama beberapa bahan-bahan yang mengandung nitrogen,seperti
kreatinin.sebagian besar zat-zat yang masih berguna tadi dapat mengalami proses reabsorbsi
beberapa kali. Dari proses reabsorbsi akan dihasilkan filtrat tubulus atau urine
sekunder.didalam urine sekunder sudah tidak ditemukan lagi zat-zat yang masih berguna bagi
tubuh.volume urine sekunder yang dihasilkan lebih sedikit daripada volume urine
primer,bersifat isotonis terhadap cairan tubuh dan mengandung uria serta beberapa ion
mineral.

 Proses Augmentasi

Augmentasi adalah proses yang terjadi setelah proses filtrasi dan reabsorbsi. Proses
augmentasi adalah proses akir dari proses pembentukan urine dimana urine dan sisa-sisa zat
makanan yang tidak di butuhkan oleh tubuh akan di buang pada proses ini. Augmentasi
menghasilkan urin yang sesungguhnya, setalah urine di proses dan di serap kembali pada
proses reabsorpsi. Proses augmentasi yang merupakan proses terakhir pembuatan urine ini
terjadi di nefron ginjal tepatnya di tubulus kontortus distal yaitu bagian nefron ginjal yang
berupa saluran setelah gelung henle dan sebelum tubulus kolektivus artinya tubulus kontortus
distal itu menerima urine berupa urine sekunder yang datang dari tubulus kontortus proximal
melalui gelung henle yang kemudian akan dibuang ke tubulus kolektivus sebagai urine
sesungguhnya setelah mengalami augmentasi di tubulus kontortus distal ini .Tubulus

4
kontortus distal ini di ginjal berada di bagian medula ginjal yang hanya melalui sekali saluran
lurus tubulus kolektivus urine sudah mencapai pelvis renalis atau rongga ginjal.

2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Eliminasi Urine

Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eleminasi seperti
ginjal, ureter, kandung kemih atau bladder dan uretra. Ginjal memindahkan air dari darah
dalam bentuk urine kemudian masuk ke ureter lalu mengalir ke bladder. Dalam bladder urine
ditampung sampai mencapai batas tetentu atau sampai timbul keinginan berkemih, yang
kemudian dikeluarkan melalui uretra. (Nursalam,2006).

a. Ginjal (Kidney)

Ginjal bentuknya seperti kacang, terdiri dari 2, yaitu ginjal kanan dan ginjal kiri dimana
letak ginjal kanan lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. Produk buangan (limbah) merupakan
hasil metabolisme yang terkumpul dalam darah melewati arteri renalis kemudian difiltrasi di
ginjal. Sekitar 20% - 25% curah jantung bersirkulasi setiap hari melalui ginjal. Setiap satu
ginjal mengandung 1-4 juta nefron yang merupakan unit pembentuk urine di Glomerulus.
Kapiler glomerulus memiliki pori-pori sehingga dapat memfiltrasi air dan substansi seperti
glukosa, asam amino, urea, kreatinin dan elektrolit. Kondisi normal, protein ukuran besar dan
selsel darah tidak difiltrasi. Bila dalam urine mengandung protein (proteinuria), hal ini
bertanda adanya cedera atau gangguan pada glomerulus. Rata-rata Glomerular Filtrasi Rate
(GFR) normal pada orang dewasa 125 ml permenit atau 180 liter per 24 jam. Sekitar 99 %
filtrat direabsorpsi seperti ke dalam plasma, sedang 1 % di ekskresikan seperti ion hidrogen,
kalium dan amonia sebagai urine

5
b. Ureter

Setelah urine terbentuk kemudian akan dialirkan ke pelvis ginjal ke kandung kemih
melalui ureter. Panjang ureter dewasa 25-30 cm dan berdiameter 1,25 cm. Dinding ureter
dibentuk dari 3 lapisan, yaitu lapisan dalam membran mukosa, lapisan tengah otot polos yang
mentransfor urine melalui ureter dengan gerakan peristaltik yang distimulasi oleh distensi
urine dikandung kemih, lapisan luar jaringan fibrosa menyokong ureter. Adanya obstruksi di
ureter yang tersering adalah oleh karena batu ginjal, menimbulkan gerakan peristaltik yang
kuat sehingga mencoba mendorong dalam kandung kemih, hal ini menimbulkan nyeri hebat
yang sering disebut kolik ginjal.

c. Kandung Kemih (Bladder)

Kandung kemih tempat penampung 400 - 600 ml, namun keinginan berkemih sudah
dirasakan seseorang dewasa pada saat kandung kemih terisi urine 150 ml, walaupun
pengeluaran urine pada normalnya jika sudah terisi sekitar 300 ml. Kandung kemih terletak di
dasar panggul dan merupakan otot yang dapat mengecil seperti balon, yang disebut otot
detrusor. Dalam keadaan penuh kandung kemih membesar yang terdiri dari dua bagian
fundus dan bagian leher terdapat spinter interna dikontrol saraf otonom yaitu sakral 2 dan 3.

6
d. Uretra (Urethra)

Uretra merupakan saluran pembuangan urin keluar dari tubuh, kontrol pengeluaran
dilakukan oleh spinter eksterna yang dapat dikendalikan oleh kesadaran kita (termasuk otot
sadar). Dalam kondisi normal,aliran urine yang mengalami turbulasi membuat urine bebas
dari bakteri, karena membran mukosa melapisi uretra mensekresi lendir bersifat bakteriostatis
dan membentuk plak mukosa mencegah masuknya bakteri. Ukuran panjang uretra wanita
sekitar 4 – 6,5 cm, sehingga seringkali menjadi factor predisposisi teradiya infeksi saluran
kemih (ISK), misalnya pielonefritis, ureteritir, dan IS lainnya. sedangkan uretra pria
panjangnya sekitar 20 cm.

Fisiologi Berkemih

Kontrol saraf Pada Otot Detrusor (pada kandung kemih)

Otot detrusor merupakan otot polos kandung kemih dan termasuk otot volunter
sehingga memungkinkan orang dewasa dapat menunda atau menahan berkemih atau
buang air kecil (BAK) sampai waktu dan lokasi yang tepat secara sosial, misalnya di
kamar mandi. Area spesifik otak, sumsum tulang belakang, dan sistem saraf perifer
memodulasi aktivitas refleks otot detrusor.

Kontrol saraf pusat kandung kemih dimulai di beberapa pusat modulasi di otak.
Terjadinya lesi neurologis di satu atau lebih dari area ini menyebabkan kontraksi detrusor
hiperaktif dan menyebabkan hilangnya kontrol kandung kemih. Area utama di otak yang
memodulasi otot detrusor terletak di lobus frontal, thalamus, hipotalamus, ganglia
basalis, dan serebelum. Sistem limbik, yang mengendalikan banyak aspek fungsi saraf
otonom juga dapat mempengaruhi kontinensia.

Pusat miksi, terletak di dekat dasar otak, memiliki dua kelompok neuron yang
menandai asal-usul buang air kecil (berkemih), evakuasi urin dari kandung kemih. Pada
bayi, eliminasi urin dikontrol sepenuhnya oleh pusat mikturisi, yang mengosongkan
kandung kemih ketika volume 'batas (treshold)' tertentu tercapai atau ketika kandung
7
kemih dirangsang dengan cara lain. Namun, pada orang dewasa, pusat mikturisi
digerakkan oleh beberapa pusat otak, dan BAK biasanya terjadi ketika seseorang ingin
mengosongkan kandung kemih.

Traktus retikulospinalis di sumsum tulang belakang (spinal cord) mengirim pesan


dari otak dan batang otak ke saraf perifer kandung kemih. Pengisian kandung kemih dan
penyimpanan urin dipengaruhi oleh eksitasi sistem saraf simpatetik melalui serabut
efferent, nukleus spinal simpatis pada segmen thorakal ke-10 (T10) sampai lumbal ke-2
(L2). Eksitasi neuron-neuron ini melemaskan otot detrusor dan mengkontraksi elemen-
elemen otot mekanisme sfingter. Pengosongan urin dilakukan melalui sistem saraf
parasimpatik. Eksitasi neuron yang terletak di segmen sakrum ke-2 (S2) sampai sakrum
k4-4 (S4) menyebabkan terjadinya proses berkemih (buang air kecil) oleh kontraksi otot
detrusor dan relaksasi elemen otot mekanisme sfingter. Dua saraf perifer mengirimkan
pesan dari sistem saraf pusat ke otot detrusor. Pleksus pelvis mengirimkan impuls
parasimpatis ke otot polos detrusor. Perangsangan saraf parasimpatik menyebabkan
pelepasan neurotransmiter, asetilkolin, yang sehingga terjadi kontraksi sel-sel otot
detrusor. Substansi lain juga dapat mempengaruhi kontraksi otot detrusor, tetapi semua
mekanisme di bawah pengaruh sistem saraf pusat.

Syaraf hipogastrik inferior memberikan sebagian besar sinyal simpatik pada


dinding kandung kemih dan mekanisme sfingter. Pada otot detrusor, eksitasi reseptor β-
adrenergik menyebabkan pelepasan norepinefrin, yang menghambat kontraksi otot
detrusor. Selain itu, stimulasi reseptor α-adrenergik di leher kandung kemih, di uretra
proksimal, dan di uretra prostat pada pria menyebabkan kontraksi komponen otot pada
mekanisme sfingter, sehingga terjadi penutupan uretra yang menyebabkan kontinensia
(kemih tertahan). Mekanismenya digambarkan dalam gambar 4 berikut:

(sumber: www.google.com)

8
Proses eleminasi urine ada dua langkah utama:

Pertama, bila kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di


dindingnya meningkat diatas nilai ambang dikirim ke medulla spinalis diteruskan ke pusat
miksi pada susunan saraf pusat.

Kedua, pusat miksi mengirim sinyal ke otot kandung kemih (destrusor), maka
spinter ekterna relaksasi berusaha mengosongkan kandung kemih, sebaliknya bila
memilih tidak berkemih spinter eksterna berkontraksi. Kerusakan pada medulla spinalis
menyebabkan hilangnya kontrol volunter berkemih, tetapi jalur refleks berkemih dapat
tetap sehingga terjadinya berkemih secara tetap, maka kondisi ini disebut refleks kandung
kemih.

2.1.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urin

Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine Banyak faktor yang mempengaruhi


volume dan kualitas urine serta kemampuan klien untuk berkemih. (Hidayat,2006).

1) Diet dan asupan


Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang memengaruhi output atau
jumlah urine. Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk.
Selain itu, kopi juga dapat eningkatkan pembentukan urine.
2) Respons
keinginan awal untuk berkemih Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk
berkemih dapat menyebabakan urine banyak tertahan di vesika urinaria sehingga
memengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urine.
3) Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi, dalam
kaitannya dengan ketersediaan fasilitas toilet.
4) Stres psikologis
Meningkatnya stres dapat mengakibatkan seringnya frekuensi keinginan berkemih.
Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkeinginan berkemih
dan jumlah urine yang dihasilkan.
5) Tingkat aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan

9
Universitas Sumatera Utara 6 pengontrolan berkemih menurun dan kemampuan
tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.
6) Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal
tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih memiliki kecenderungan untuk
mengalami kesulitan mengontrol uang air kecil. Namun dengan bertambahnya usia
kemampuan untuk mengontrol buang air kecil semakin meningkat.
7) Kondisi penyakit
Kodisi penyakit tertentu seperti diabetes melitus, ginjal dan lain-lain dapat
memengaruhi produksi urine.
8) Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya
kultur masyarakat yang melarang buang air kecil di tempat tertentu.
9) Kebiasaan seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet dapat mengalami kesulitan
untuk berkemih dengan melalui urinal atau pot urine bila dalam keadaan sakit.
10) Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih adalah
kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam
kontaksi pengontrolan pengeluara urine.
11) Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau penurunan jumlah urine.
Misalnya pemberian diuretik hormon dapat menigkatkan jumlah urine sedangkan
pemberian obat antikolinergik atau anti hipertensi dapat menyebabkan retensi
urine.

2.1.5 Gangguan/Masalah Pada Eliminasi Urine

Gangguan eliminasi urine adalah keadaan dimana seorang individu mengalami


atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami
gangguan eliminasi urine akan dilakukan katerisasi urine, yaitu tindakan memasukkan
selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.

Masalah-masalah dalam eliminasi urine yaitu:

10
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan
ketidaksanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri. Retensi urine
dapat disebabkan oleh hal-hal seperti: obstruksi (misalnya hipertrofi prostat),
pembedahan pada daerah abdomen bawah, pelvis, atau kandung kemih.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidak sanggupan sementara atau permanen otot
sfingter ekstema untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih.
Inkontinensia urine dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu: inkontinensia
fungsional, inkontinensia refleks, inkontinensia stres, inkontinensia urgensi
(dorongan) dan inkontinensia total.
c. Enuresis, yaitu peristiwa berkemih yang tidak disadari. Sering terjadi pada
anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat
terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti
2500 ml/hari tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine.

11
2.2 KONSEP ELIMINASI FEKAL/BOWEL
2.2.1 Pengertian Eliminasi Fekal/Bowel
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau
feses. Eliminasi fekal adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa
feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Perawat sering kali menjadi tempat
konsultasi atau terlibat dalam membantu klien yang mengalami eliminasi.

2.2.2 Mekanisme Eliminasi Fekal/Bowel


Proses Mekanisme Eliminasi Fekal berawal dari mulut
dan berakhir di anus. Usus halus yang panjangnya mencapai 22 kaki, bertanggunggung jawab
dalam penyerapan nutrisi, vitamin, mineral,cairan dan elektrolit. Kime sebagai hasil dari
makanan yang dicerna bergerak melalui usus halus dengan bantuan gerakan peristaltik. Usus
halusdan usus besar dibatasi oleh katup leocekal, katup ini bertugas untuk menjaga agar tidak
terjadi refluks dari usus besar ke usus halus.Pada usus besar/kolon yang panjangnya
mencapai 125- 150 cm, dan memiliki 7 bagian, yaitu sekum, kolon assendens,kolon
transversal, kolon desendens, kolon sigmoid, rektum dan anus. Kolon bertugas untuk absorbsi
air dan zat gizi, perlindungan mukosa dinding usus dan eliminasi fekal.Sebanyak 1500 kime
mengalir ke kolon setiap hari ini, namun 100 ml cairan yang dieksresikan di dalam feses.
Sekresi lendir pada kolon distimulasi oleh saraf parasimpatis. Kolon akan mengangkut
produksinya yang berupa feses dan flatus ke anus.

2.2.3 Anatomi dan Fisiologi Eliminasi


Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot abdomen dan diagfragma, yang
meningkatkan tekanan abdomen dan oleh kontraksi otot dasar panggul, yang memindahkan
feses ke saluran anus.

1. Mulut

Proses pertama dalam sistem pencernaan berlangsung di mulut. Makanan akan


dipotong, diiris, dan dirobek dengan bantuan gigi. Makanan yang masuk ke mulut dipotong
menjadi bagian yang lebih kecil agar mudah di telan dan untuk memperluas permukaan

12
makanan yang akan terkena enzim. Setelah makanan dipotong menjadi bagian yang lebih
kecil, maka selanjutnya makanan akan diteruskan ke faring dengan bantuan lidah.

2. Faring

Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan yang berfungsi dalam sistem


pencernaan dan pernafasan. Dalam sistem pencernaan, faring berfungsi sebagai penghubung
antara mulut dan esofagus.

3. Esofagus

Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara faring dan
lambung. Pada saat menelan, makanan akan dipicu oleh gelombang peristaltik yang akan
mendorong bolus menelusuri esofagus dan masuk ke lambung.

4. Lambung

13
Lambung adalah organ yang terletak antara esofagus dan usus halus. Di dalam
lambung makanan yang masuk akan disimpan lalu disalurkan ke usus halus. Sebelum
makanan masuk ke usus halus, makanan terlebih dahulu akan dihaluskan dan dicampurkan
kembali sehingga menjadi campuran cairan kental yang biasa disebut dengan kimus.
Lambung menyalurkan kimus ke usus halus sesuai dengan kapasitas usus halus dalam
mencerna dan menyerap makanan dan biasanya satu porsi makanan menghabiskan waktu
dalam hitungan menit.

5. Usus halus

Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan penyerapan berlangsung.

6. Usus besar

Usus besar adalah organ pengering dan penyimpan makanan. Kolon mengekstrasi
H2O dan garam dari isi lumennya untuk membentuk masa padat yang disebut feses. Fungsi
utama usus besar adalah untuk menyimpan feses sebelum defekasi. Kolon terdiri dari 7
bagian, yaitu sekum, kolon asendens, kolon transversal, kolon desendens, kolon sigmoid,
rektum dan anus.

Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh mukosa. Serat otot yang
dilapisi oleh membrane mukosa. Serat otot berbentuk sikular dan longitudinal yang
memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar dan memanjang. Otot longitudinal
lebih pendek dibandingkan kolon, oleh karena itu usus besar membentuk kantung atau yang
biasa disebut dengan haustra. Kolon juga memberi fungsi perlindungan karena

14
mensekresikan lendir. Lendir ini berperan untuk melindungi usus besar dari trauma akibat
pembentukan asam di dalam feses dan berperan sebagai pengikat yang akan menyatukan
materi fekal. Lendir ini juga akan melindungi usus besar dari aktifitas bakteri. Di dalam usus
besar terdapat 3 tipe pergerakan yaitu : gerakan haustral churning, peristalsis kolon,
peristalsis masa.

1. Gerakan haustral churning akan menggerakan makanan ke belakang dan ke


depan yang berperan untuk menyatukan materi feses, membantu penyerapan air dan untuk
menggerakan isi usus kedepan.

2. Gerakan peristalsis kolon adalah gerakan yang menyerupai gelombang yang akan
mendorong isi usus kedepan. Gerakan ini sangat lambat dan diduga sangat sedikit
menggerakan materi feses tersebut disepanjang usus besar.

3. Gerakan peristalsis massa, Gerakan ini melibatkan suatu gerakan kontraksi yang
sangat kuat sehingga menggerakkan sebagian besar kolon. Biasanya gerakan ini terjadi
setelah makan, distimulasi oleh keberadaan makanan di dalam lambung dan usus halus.
Gerakan peristalsis massa hanya terjadi beberapa kali dalam sehari pada orang dewasa.

7. Rektum dan Anus

Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 – 15 cm sedangkan saluran


anus memiliki panjang 2,5 – 3 cm. Di dalam rektum terdapat lipatan-lipatan yang dapat
meluas secara vertical. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah vena dan arteri. Diyakini bahwa
lipatan ini membantu menahan feses di dalam rektum. Jika vena mengalami distensi seperti
yang dapat terjadi jika terdapat tekanan berulang. Saluran anus diikat oleh otot sfingter
internal dan eksternal. Sfingter internal berada dibawah kontrol involunter dan dipersarafi
oleh sistem saraf otonom, sedangkan sfingter eksternal berada di bawah kontrol volunter dan
dipersarafi ooleh sistem saraf somatik.

15
2.2.4 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal/Bowel
Pada defekasi bertahap dalam kehidupan yang berbeda. Keadaan diet, asupan dan
haluran cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan dan prosedur medis, serta
penyakit juga mempengaruhi defekasi.

1. Perkembangan

Bayi yang baru lahir, batita, anak – anak,dan lansia adalah kelompok yang
anggotanya memiliki kesamaan dalam pola eliminasi.

a. Bayi yang baru lahir

Mekonium, adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir,
normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Bayi sering mengeluarkan feses, sering
kali setiap sesudah makan. Karena usus belum matur, air tidak diserap dengan baik dan feses
menjadi lunak, cair, dan sering dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri
meningkat. Setelah makanan padat diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi
defekasi berkurang.

b. Balita

Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1,5 sampai 2 tahun. Pada saat
ini anak – anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem otot telah terbentuk cukup
baik untuk memungkinkan kontrol defekasi. Keinginan untuk mengontrol defekasi di siang
hari dan untuk menggunakan toilet secara umum dimulai pada saat anak menyadari
ketidaknyamanan yang disebabkan oleh popok yang kotor dan sensasi yang menunjukkan
kebutuhan untuk defekasi. Kontrol di siang hari umumnya diperoleh pada usia 2,5 tahun.,
setelah sebuah proses pelatihan eliminasi.

c. Anak usia sekolah dan remaja

Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan
kebiasaan mereka saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi, kuantitas, dan
konsistensi. Beberapa anak usia sekolah dapat menunda defekasi karena aktivitas seperti
bermain.

16
d. Lansia

Konstipasi adalah masalah umumpada populasi lansia. Ini, sebagian, akibat


pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat, serta
kelemahan otot. Banyak lansia percaya bahwa “keteraturan” berarti melakukan defekasi
setiap hari. Mereka yang tidak memenuhi kriteria ini sering kali mencari obat yang dijual
bebas untuk meredakan kondisi yang mereka yakini sebagai konstipasi. Lansia harus
dijelaskan bahwa pola normal eliminasi fekal sangat beragam.

Bagi beberapa orang dapat setiap dua hari sekali bagi orang lain, dua kali dalam satu
hari. Kecukupan serat dalam diet, kecukupan latihan, dan asupan cairan 6 sampai 8 gelas
sehari merupakan upaya pencegahan yang essensial terhadap konstipasi. Berespons terhadap
refleks gastrokolik (peningkatan peristalsis kolon setelah makanan memasuki lambung) juga
merupakan pertimbangan yang sangat penting. Individu paruh baya harus diperingatkan
bahwa penggunaan laksatif secara konsisten akan menghambat refleks defekasi alamiah dan
diduga menyebabakan konstipasi dan bukan menyembuhkannya.

2. Diet

Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan untuk memberikan
volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat berkurang memiliki massa dan oleh karena itu
kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk menstimulasi refleks defekasi.
Makanan tertentu sulit atau tidak mungkin untuk dicerna oleh beberapa orang.
Ketidakmampuan ini menyebabkan masalah pencernaan dan dalam beberapa keadaan dapat
menghasilkan feses yang encer.

3. Cairan

Jika asupan cairan atau haluaran (misalnya urine atau muntah) cairan berlebihan
karena alasan tertentu, tubuh terus akan menyerap kembali cairan dari kime saat bergerak di
sepanjang kolon. Kime jadi lebih lebih kering dibandingkan normal, menghasilkan feses yang
keras. Selain itu pengurangan asupan cairan memperlambat perjalanan kime disepanjang
usus, makin meningkatkan penyerapan kembali cairan dari kime.

17
4. Aktivitas

Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi pergerakan kime


disepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah sering kali tidak efektif dalam
meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam mengontrol defekasi.

5. Faktor psikologis

Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktivitas
peristaltik dan selanjutnya mual dan diare. Sebaliknya, beberapa orang yang mengalami
depresi dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang menyebabkan konstipasi.
Bagaimana seseorang berespons terhadap keadaan emosional ini adalah hasil dari perbedaaan
individu dalam respons sistem saraf enterik terhadap vagal dari otak.

6. Kebiasaan defekasi

Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu yang
teratur. Banyak orang yang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks gastrokolik
menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar.

7. Obat-obatan

Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi normal.
Beberapa obat menyebabkan diare: obat lain seperti obat penenang tertentu dalam dosis besar
dan pemberian morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan konstipasi karena obat
tersebut menurunkan aktivitas gastrointestinal melalui kerjanya pada sistem saraf pusat.

8. Proses diagnostik

Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon, klien dilarang


sssssmengomsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat dilakukan pada klien sebelum
pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal biasanya tidak akan terjadi sampai klien
mengomsumsi makanan kembali.

9. Anastesia dan pembedahan

Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau melambat


dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien yang mendapatkan
anastesia regional atau spinal kemungkinan lebih jarang mengalami masalah ini. Pembedahan

18
yang melibatkan penanganan usus secara langsung dapat menyebabkan penghentian
pergerakan usus secara sementara. Kondisi ini disebut ileus.

10. Kondisi patologis

Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi sensorik untuk
defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien untuk merespons terhadap
desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau seorang klien dapat mengalami
inkontinensia fekal karena buruknya fungsi sfingter anal.

11. Nyeri

Klien yang tidak mengalami ketidaknyamanan saat defekasi sering menekan


keinginan akibat defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya klien tersebut dapat
mengalami konstipasi. Klien yang meminum analgesik narkotik untuk mengatasi nyeri dapat
juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat tersebut.

2.2.5 Gangguan/Masalah Pada Eliminasi


Berikut ini adalah masalah umum yang terkait dengan eliminasi fekal, yaitu:
1. Konstipasi

Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Ini
menunjukkan pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa pengeluaran feses. Konstipasi
terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga memungkinkan
bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usu besar. Konstipasi mengakibatkan sulitnya
pengeluaran feses dan bertambahnya upaya atau penekanan otot-otot volunter defekasi.

Namun, sangat penting untuk mendefinisikan konstipasi terkait dengan pola eliminasi
regular sesorang. Beberapa orang secara normal melakukan defekasi hanya beberapa kali
seminggu; sementara orang lain melakukan defekasi lebih dari satu kali sehari.

Contoh Batasan Karakter Konstisipasi :

 Penurunan frekuensi defekasi


 Feses keras, kering, memiliki bentuk
 Mengejan saat defekasi; defekasi terasa nyeri
 Melaporkan tentang rasa penuh pada rektum atau mengejan atau mengeluarkan
feses secara tidak komplet.

19
 Nyeri abdomen, kram, atau distensi
 Penggunaan laksatif
 Penurunan nafsu makan
 Sakit kepala

Penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi, yaitu:

 Ketidakcukupan asuran serat


 Ketidakcukupan asuran cairan
 Ketidakcukupan aktivitas atau imobilitas
 Kebiasaan defekasi yang tidak teratur
 Perubahan rutinitas harian
 Kurangn privasi
 Penggunaan laksatif atau enema kronis
 Gangguan emosional seperti depresi atau kebingungan mental
 Medikasi seperti opiat atau garam zat besi.

Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien. Mengejan akibat konstisipasi


seringkali disertai dengan menahan napas. Manuver Valsava ini dapat menyebabkan masalah
serius pada penderita penyakit jantung, cedera otak, atau penyakit pernapasan. Menahan
napas meningkatkan tekanan intratoraks dan intrakranial.

2. Impaksi Fekal

Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan fese yang keras didalam lipatan
rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang berkepanjangan. Pada
impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas sampai ke kolon sigmoid dan sekitarnya.
Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan cairan fekal (diare) dan tidak ad
feses normal. Cairan feses merembes sampai keluar dari massa yang terimpaksi. Impaksi
dapat juga dikaji dengan pemeriksaan rektum menggunakan jari tangan, yang sering kali
dapat mempalpasi massa yang mengeras.

Seiring dengan pembesaran cairan feses dan konstipasi, gejala meliputi keinginan
yang sering namun bukan keinginan yang produktif untuk melakukan defeksi dan sering
mengalami nyeri rektal. Muncul perasaan umum menalami suatu penyakit; klien anoreksik,
abdomen menjadi terdistensi, dan dapt terjadi mual dan muntah.

20
Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang bukruk dan
konstipasi. Penggunaan barium dalam pemeriksaan radiologi pada saluran pencernaanatas
dan bawah juga menjasi sebuat faktor penyebab. Oleh karena itu, setelah pemeriksaan ini,
laksatif atau enema biasanya digunakan untuk memastikan pengeluaran barium.

3. Diare

Diare menunjuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi defekasi.
Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi akibat cepatnya
pergerakan isi fekal di usus besar. Cepatnya pergerakan kime mengurangi waktu usus besar
untuk menyerap kembali air dan elektrolit. Beberapa orang mengeluarkan feses dengan
frekuensi sering, tetapi diare tidak terjadi kecuali feses relatif tidak terbentuk dan
mengandung cairan yang berlebihan.

Seseorang yang mengalami diare sering kali merasa sulit atau tidak mungkin
mengendalikan keinginan defekasi dalam waktu yang sangat lama. Diare dan ancaman
inkontinensia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa malu. Sering kali kram spasmodik
dikaitkan dengan diare. Bising usus meningkat. Dengan diare persisten, biasanya terjadi
iritasi di dareah anus yang meluas ke perineum dan bokong. Keletihan, kelemahan, lelah dan
emasiasi (kurus dan lemah) merupakan akibar dari diare yang berkepanjangan.

Penyebab diare adalah karena adanya iritasi di saluran usus, diare diduga sebagai
suatu mekanisme pembilasan pelindung. Namun, diare dapat mengakibatkan kehilangan
cairan dan elektrolit berat di dalam tubuh, yang dapat terjadi dalam periode waktu singkat
yang menakutkan, terutama pada bayi, anak kecil, dan lansia.

Feses bersifat asam dan mengandug enzim pencernaan yang sangat mengiritasi kulit.
Oleh karena itu, area di sekitar area anus harus dijaga tetap bersih dan kering dan dilindungi
dengan zink oksida atau salep lain. Selain itu, pengumpul fekal dapat digunakan

4. Inkontinensia Alvi

Inkontinensia alvi (bowel), atau disebut juga inkontinensia fekal, adalah hilangnya
kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari spingter anal.
Inkontinensia dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah makan, atau dapat
terjadi secara tidak teratur. Dua tipe inkontinensia alvi digambarkan: parsial dan mayor.
Inkontinensia parsial adalah ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau mencegah

21
pengotoran minor. Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses
pada konsistensi normal.

Inkontinensia fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang pada
akhirnya dapat menyebabkan isolasi sosial. Penderita dapat menarik diri ke dalam rumahnya,
atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di dalam kamar mereka meminimalkan rasa
malu akibat pengotoran oleh fekal. Beberapa prosedur bedah digunakan untuk
penatalaksanaan inkontinensia fekal. Penatalaksanaan ini meliputi perbaikan sfingter dan
disversi fekal atau kolostomi.

5. Flatulens

Terdapat tiga sumber utama flatus:

a. Kerja bakteria dalam kime di usus besar.


b. Udara yang tertelan
c. Gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus.

Sebagian besar gas yang tertelan akan dikeluarkan melalui mulut dengan sendawa.
Namun, sejumlah gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan distensi lambung. Gas
yang terbentuk di usus besar terutama diabsobsi melalui kapiler usus ke sirkulasi. Flatulens
adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi
usus (distensi usus). Flatulens dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti
makanan (mis., kol, bawang merah), bedah abdomen, atau narkotik.

Apabila gas dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum gas tersebut
dapat diabsobsi, gas dapat dikeluarkan melalui anus. Apabila gas yang berlebihan tidak dapat
dikeluarkan melalui anus, mungkin perlu memasukkan slang rektal untuk mengeluarkannya.

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau
bowel/fekal. Masalah eliminasi urine yaitu: retensi, inkotinensia urine, eneuresis, urgency,
dysuria, polyuria, urinari suppresi sedangkan masalah eliminasi fekal yaitu: konstipasi, idiare,
inkotinensia fekal, dan flatulens.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine dan fekal yaitu: usia dan
perkembangan, diet, pemasukan cairan, aktifitas fisik, faktor psikologis, kebiasaan, kondisi
patologis, pengobatan, dll. Serta memahami mekanisme atau proses eliminasi urine maupun
fekal/bowel.

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat menjadi bahan pembelajaran agar kita dapat mengetahui
segala sesuatu yang berhubungan dengan eliminasi Urine dan fekal.

23
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. A. A.(2006). Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam.(2006).Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.

Jakarta : Salemba Medika


Perry,P.(2006). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC
Kozier, dkk.(2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 7 Volume 2. Jakarta: EGC.

Ruhyanudin,F.(2018). Modul 18 Pelayanan Kebutuhan Eliminasi. Jakarta : Ristekdikti

24

Anda mungkin juga menyukai