Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PUASA TARWIYAH

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fiqih

Disusun Oleh :
Nama : Afwan Fauzi
Kelas : X – IPS 1
NIS : 5756

MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 2 PATI


Jl. Ratu Kalinyamat Gang Melati II Tayu Pati
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Makalah yang berjudul “Puasa Tarwiyah” telah disahkan dan disetujui pada :

Hari :
Tanggal :

Disetujui Oleh :

Wali Kelas Pembimbing

…………………………. ………………………….

Mengetahui,
Kepala Madrasah

Drs. H. Sutarmo
NIP. 19590706 198603 1 003

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur bagi Allah pencipta semesta
alam yang telah menjalankan peredaran alam dengan sangat rapih, penuh
kesempurnaan dan tanpa cacat. Mengedarkan Matahari dan Bulan sehingga
memunculkan ketetapan masa.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita, Nabi
akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Yang telah memnunjukkan jalan kebenaran
tanpa keraguan, yaitu agama Islam.
Kali ini penulis akan memberikan sedikit pencerahan mengenai puasa
Tarwiyah. Dalam penjelasan ini akan dijelaskan sedikit tentang pengertian, dan
fadhilah yang terkandung dari puasa tersebut.
Penulis mengakui bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang budiman.
Penulis akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan yang
dapat memperbaiki makalah penulis di masa datang.

Tayu, 22 April 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................... 1
1.3 Manfaat Penulisan ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puasa Tarwiyah .......................................................... 3
2.2 Fadhilah Puasa Tarwiyah ............................................................ 3
2.3 Hukum Puasa Tarwiyah ............................................................... 4
2.4 Dalil Tentang Puasa Tarwiyah ..................................................... 4
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan....................................................................................... 7
3.2 Saran ............................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam ajaran Islam, puasa mempunyai kedudukan yang tinggi, karena
disamping sebagai ibadah wajib yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
SWT, juga mengandung banyak hikmah yang berkaitan dengan rohani dan
jasmani. Hanyalah Allah yang mampu menghitung secara pasti berapa banyak
fadlilah dan pahala puasa sunnah; dari sini, Allah berkenan menyandarkan
ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri, bukan yang lain; Allah berfirman (dalam
hadits qudsi): Semua perbuatan manusia itu untuknya sendiri, kecuali puasa,
karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalas
cukup ibadah puasanya itu. Dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim:
barangsiapa berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan memisahkan
dirinya dari neraka sejauh 70 kharif (70 tahun jarak perjalanan).
Selain Ramadhan, bulan-bulan yang paling afdhal untuk melakukan puasa
adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab; dan yang
paling afdhal daripadanya adalah bulan Muharram, kemudian Rajab,
kemudian Dzul Hijjah, kemudian Dzul Qa’dah dan barulah Sya’ban.
Dari latar belakang diatas penulis akan menguraikan dan mengambil tema
tentang penjelasan puasa Tarwiyah.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian puasa Tarwiyah ?
2. Apa fadhilah berpuasa Tarwiyah ?
3. Bagaimana hukum puasa Tarwiyah ?
4. Apasaja dalil tentang puasa Tarwiyah ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian, fadhilah, hukum serta dalil – dalil puasa tarwiyah.
2. Mengetahui ketentuan melakukan puasa tarwiyah.

v
1.4 Manfaat Penulisan
1. Agar dapat mengetahui tentang puasa tarwiyah dan keistimewaannya serta
dapat mengetahui ketentuan dalam melakukan puasa sunnah tarwiyah.
2. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan yang umum dan luas.
3. Melatih ketrampilan menulis.
4. Menambah pembendaharaan pustaka sekolah yang menunjang minat baca
siswa agar pengetahuannya lebih luas.

vi
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Puasa Tarwiyah


Puasa tarwiyah adalah puasa sunah yang dilaksanakan sebelum puasa
Arafah, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijah. Puasa tarwiyah dilaksanakan
sebelum puasa arafah dikarenakan pernyataan hadits yang menyebutkan
bahwa:
‫سنَتَي ِْن‬ َ َّ‫عرفَةَ َكف‬
َ ُ ‫ارة‬ َ ‫ص ْو ُم يَ ْو ِم‬
َ ‫ َو‬،ٍ‫سنَة‬ َ َّ‫ص ْو ُم َي ْو ِم الت َّ ْر ِو َي ِة َكف‬
َ ُ ‫ارة‬ َ
“Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada
hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”.
Redaksi hadits tersebut menjelaskan puasa tarwiyah dilaksanakan sebelum
puasa Arafah dan kemudian disusul puasa Arafah yang dilakukan setelahnya.
Istilah Tarwiyah berasal dari bahasa Arab (‫“ )ت ََر َّوي‬Membawa bekal Air”.
Hal ini dikarenakan pada waktu itu para jamaah haji banyak yang membwa
bekal air Zam-zam untuk mempersiapkan di padang Arafah ketika wukuf dan
akan menuju Mina.
Menurut Ibnu Qadamah menjelaskan asal penamaan itu yaitu:
‫ سمي بذلك؛ ألن‬:‫ وقيل‬.‫ يعدونه ليوم عرفة‬،‫سمي بذلك ألنهم كانوا يتروون من الماء فيه‬
‫ فأصبح يروي في نفسه أهو حلم أم‬،‫إبراهيم – عليه السالم – رأى ليلتئذ في المنام ذبح ابنه‬
‫من هللا تعالى؟ فسمي يوم التروية‬
“Dinamakan demikian, karena para jamaah haji, mereka membawa bekal
air pada hari itu, yang mereka siapkan untuk hari arafah. Ada juga yang
mengatakan, dinamakan hari tarwiyah, karena Nabi Ibrahim ’alaihis salam
pada malam 8 Dzulhijjah, beliau bermimpi menyembelih anaknya. Di pagi
harinya, beliau yarwi (berbicara) dengan dirinya, apakah ini mimpi kosong
ataukah wahyu Allah? Sehingga hari itu dinamakan hari tarwiyah”. (al-
Mughni, 3/364).

2.2 Fadhilah Puasa Tarwiyah


Seperti hadits yang telah disampaikan diatas bahwa puasa tarwiyah akan
menghapuskan dosa satu tahun. Hal ini berlaku bagi orang yang tidak

vii
menjalankan ibadah haji. Selain itu bagi orang yang melakukan puasa
Tarwiyah dan arafah berturut-turut, maka pahalanya sama dengan orang yang
menjalankan ibadah haji.

2.3 Hukum Puasa Tarwiyah


Hukum melaksanakan puasa Tarwiyah adalah dianjurkan bagi orang yang
tidak melaksanakkan haji. Sedangkan bagi orang yang sedang melaksanakan
ibadah haji tidak dianjurkan untuk menjalankan puasa Tarwiyah, hal ini
karena dikahwatirkan bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji tidak
kuat dalam berdoa, atau kekuatan fisiknya melemah akitat puasa yang
dijalaninya.
Walaupun dalam keyataan bahwa sumber hadits dari puasa Tarwiyah
adalah dloif, puasa ini tidak bisa diartikan sebagai landasan bid’ah, sehingga
hukuman bagi yang menjalankan adalah haram, selain itu dalil-dalil yang
menjelaskan kebolehannya menjalankan puasa di hari tarwiyah karena hari
tersebut termasuk pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas meriwayatkan Rasulullah bersabda:
‫ يا رسول‬:‫ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى هللا من هذه األيام يعني أيام العشر قالوا‬
‫ وال الجهاد في سبيل هللا إال رجل خرج بنفسه وماله فلم‬:‫ وال الجهاد في سبيل هللا ؟ قال‬،‫هللا‬
‫يرجع من ذلك شيء‬
“Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan
Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki
yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali
selama-lamanya (menjadi syahid)”. (HR Bukhari).

2.4 Dalil Tentang Puasa Tarwiyah


Terdapat hadis yang secara khusus menganjurkan puasa Tarwiyah, hadits
itu menyatakan:
َ‫ع َرفَة‬ َ ِ‫ َولَهُ ب‬، ٌ‫سنَة‬
َ ‫ص ْو ِم يَ ْو ِم‬ َ ِ‫ َولَهُ ب‬، ‫ش ْه ٍر‬
َ ‫ص ْو ِم يَ ْو ِم الت َّ ْر ِويَ ِة‬ َ ‫ام ْالعَ ْش َر فَلَهُ بِ ُك ِل يَ ْو ٍم‬
َ ‫ص ْو ُم‬ َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬
‫َان‬
ِ ‫سنَت‬
َ

viii
“Siapa yang puasa 10 hari, maka untuk setiap harinya seperti puasa
sebulan. Dan untuk puasa pada hari tarwiyah seperti puasa setahun,
sedangkan untuk puasa hari arafah, seperti puasa dua tahun”.
Hadis ini berasal dari jalur Ali al-Muhairi dari at-Thibbi, dari Abu Sholeh,
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, secara marfu’. Tetapi para ulama
berbeda pendapat, dijelaskan bahwa hadits tersebut merupakan hadits palsu.
Hal ini dijelaskan oleh Ubnul Jauzi. Beliau mengata: “Hadits ini tidak shahih.
Sulaiman at-Taimi mengatakan, ’at-Thibbi seorang pendusta.’ Ibnu Hibban
menilai, ’at-Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu
dijelaskan. Penjelasan tersebut terdapat pada kitab al-Maudhu’at, 2/ 198).
Hal serupa dijelaskan oleh as-Saukani, mengatakan: “Hadits ini disebutkan
oleh Ibnu Adi dari A’isyah secara marfu’. Hadits ini tidak shahih dikarenakan
terdapat parawi yang bernama al-Kalbi, dia seorang pendusta. (al-Fawaid al-
Majmu’ah).
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits itu bukan Maudhu’ melainkan
hanya dho’if. Yaitu riwayat dari jalur lainnya yaitu dari jalur Ibnu Najjar.
‫سنَة‬ َ َ‫ص ْو ُم يَ ْو َم الت َّ ْر ِويَّ ِة َكف‬
َ ُ ‫ارة‬ َ
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun
yang lalu”.
Hadits tersebut oleh Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.
Dan kita tahu bahwa jumhurul ulama sepakat boleh mengamalkan hadits
dho’if dalam fadhoil a’mal.
Dasar hadits yang dipergunakan ini adalah dhoif (kurang kuat riwayatnya)
namun demikian para ulama memperbolehkan melaksanakan puasa
Tarwiyah, yang dimaksudkan untuk memperoleh keutamaan dari puasa
Tarwiyah tersebut (Fadloilul ‘amal). Agar umat Islam yang menjalankan
puasa Tarwiyah mendapatkan keutamaan dari ibadah haji yang sedang
berlangsung pada waktu itu. Puasa Tarwiyah tersebut juga tidak melanggar
akidah maupun syariat islam.
Kedloifan hadits puasa Tarwiyah dikarenakan beberapa alasan, pertama:
Kalbi (sanad ketiga) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbi. Dia ini
seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri,

ix
“Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu
Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan
dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas). Selain itu menurut Imam Hakim
berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’
(palsu)” Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat
Ta’dil.
Alasan yang kedua, Ali bin Ali Al-Himyari (sanad kedua) adalah seorang
rawi yang majhul (tidak dikenal).
Tetapi kedloifan tentang puasa Tarwiyah tersebut bisa dijelaskan dengan
hadits yang lain seperti misalnya: “Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah
yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan
dan minumannya semata-mata karena Aku”. (Muttafakun ‘alaih).
Dan hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu
‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari
di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu
dari api neraka selama tujuh puluh tahun”. (HR Bukhari Muslim).

x
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Puasa Tarwiyah adalah puasa yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah,
yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain,
bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun. Selain itu,
memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari
yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Puasa Tarwiyah
sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci.
Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga
disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain
yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala
sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala
puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di
Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra
pada bab tentang puasa:
‫ص َل لَهُ َما َعلَ ْي ِه‬ َ َّ‫ب ِإ ْن َكانَ َعلَ ْي ِه َو ِإ َّال فَالت‬
ُ ْ‫ط ُّوعِ ِل َيح‬ َ ‫اج‬ َ ‫ط ُّوعِ أ َ ْن َي ْن ِو‬
ِ ‫ي اْ َلو‬ َ ‫يُ ْعلَ ُم أ َ َّن اْأل َ ْف‬
َ ََ َ‫ض َل ِل ُم ِر ْي ِد الت‬

Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia
juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan
puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu
apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja,
maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya.

3.2 Saran
Demikianlah sedikit penjelasan dari penulis, semoga dapat menjadikan
kemanfaatan bagi kita semua, terutama dalam menyikapi perbedaan
sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas. Perbedaan adalah
anugerah dari Allah, maka jadikanlah hal tersebut sebagai rahmat yang
mempererat tali persaudaraan, dan tidak dijadikan sebagai alat untuk
memecah belah manhaj yang sudah dibangun oleh para pendahulu kita
semua.

xi
DAFTAR PUSTAKA

https://syamsul14.wordpress.com/2014/10/03/puasa-tarwiyah-dan-puasa-arafah/
http://kumpulanmakalahkuliahlengkap.blogspot.com/2017/02/makalah-puasa-
sunnah.html
https://basaudan.wordpress.com/2011/10/26/fadhilah-puasa-tarwiyah-dan-arofah/

xii
Pengertian Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa sunah yang dilaksanakan pada setiap tanggal 9
Dzulhijjah (hari Arafah), yang mana puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum
Muslim yang tidak menjalankan rukun Haji. Dalam melaksanakan puasa Arafah
tidak jauh beda dengan puasa sunah pada umumnya. Di lakukan pada waktu terbit
fajar sampai terbenamnya fajar.

Fadhilah puasa Arafah

Dari Abu Qatadah meriwayatkan, Rasulullah bersabda:

‫صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية‬

“Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan
tahun sesudahnya. Puasa Asyura’ menghapuskan dosa tahun sebelumnya”. (HR.
Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmizy).

Pelaksanaan puasa Arafah tersebut tiak didasarkan pada waktu wukuf yang
dilaksanakan pada hari ke-9 Dzulhijah (hari Arafah), melainkan karena datangnya
hari Arafah. Oleh karena penetapan waktu daerah yang berlainan, maka penetapan
itu ditetapkan menyesuaikan dengan daerah asalnya (Makkah). Dimana waktu
negara Indonesia dengan Arab selisih 4-5 jam lebih dahulu Arab. Penentuan ini di
dasarkan pada letak geografis yang menjadikan perbedaan waktu.

Keutamaan Puasa Arafah

Dari Abu Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

…‫ والسنة التي بعده‬، ‫صيام يوم عرفة أحتسب على هللا أن يكفر السنة التي قبله‬

xiii
“…puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini
sebagai penebus (dosa, pen.) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..”
(HR. Ahmad dan Muslim).

Hukum Puasa Arafah

Hukum puasa Arafah adalah sunah Muakad atau sunah yang dianjurkan, tetapi
bagi yang melaksanakan ibadah Haji tidak ada kewajiban untuk menjalankannya,
karena terdapat perbedaan pada masalah ini. Hal ini seperti yang diriwayatkan
dari Ibnu Umar Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau berkata,

ُ‫ص ْمهُ َو َح َججْ ت‬ ُ ‫سلَّ َم فَلَ ْم َي‬


َ ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ص ْو ِم َي ْو ِم َع َرفَةَ ِب َع َرفَةَ فَقَا َل َح َججْ تُ َم َع النَّ ِبي‬
َّ ‫صل‬ َ ‫ع َم َر َع ْن‬ ُ ُ‫س ِئ َل ا ْبن‬ ُ
‫ص ْو ُمهُ َو َال أَ ُم ُر‬ُ ‫ص ْمهُ َوأَنَا َال َأ‬ُ َ‫عثْ َمانَ فَلَ ْم ي‬ُ ‫ص ْمهُ َو َح َججْ تُ َم َع‬ُ َ‫ع َم َر فَلَ ْم ي‬
ُ ‫ص ْمهُ َو َح َججْ تُ َم َع‬ ُ َ‫َم َع أَبِ ْي بَ ْك ٍر فَلَ ْم ي‬
ُ‫بِ ِه َو َال أ َ ْن َهى َع ْنه‬

“Saya telah melaksanakan haji bersama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam


sedangkan beliau tidak puasa di ‘Arafah, saya juga pernah berhaji bersama Abu
Bakar dia juga tidak puasa ‘Arafah, pernah juga bersama Umar dan dia tidak
berpuasa, demikian juga halnya bersama ‘Utsman dia juga tidak berpuasa, dan
saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan dan tidak melarangnya”.

Report this ad

Di riwayatkan juga oleh Abu Hurairah berkata:

‫ت‬ َ ‫سلَّ َم َع ْن‬


ٍ ‫ص ْو ِم يَ ْو ِم َع َرفَةَ بِعَ َرفَا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫نَ َهى َر‬

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari ‘Arafah


bagi yang sedang di ‘Arafah”. (HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu Majah No. 1732,
Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 2731,
Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1587).

xiv
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: “Shahih sesuai syarat
Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” (Al Mustadrak No.
1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya. Dishahihkan pula oleh
Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya dalam kitab Shahihnya.
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: Aku berkata: Ibnu Khuzaimah telah
menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. (At Talkhish,
2/461-462).

Seperti yang telah disebutkan dalam hadits tersebut memang dianjurkan untuk
tidak berpuasa bahkan melarangnya dengan alasan agar bagi orang yang sedang
melaksanakan wukuf kuat dalam berdoa dan melaksanakan ibadah, seperti
misalnya shalat sunnah, membaca al-Quran, berdzikir, dll. Penguatan agar tidak
menjalankan puasa ketika wukur adalah para sahabat (Abubakar Umar, dan
Usman), tidak melaksanakan puasa arafah ketika wukuf.

Report this ad

Sebab perbedaan tersebut terjadi perbedaan pendapat dikarenakan apabila Nabi


Muhammad melakukan puasa Arafah ketika wukuf, akan menjadikan puasa
Arafah di hukumi wajib untuk dilaksanakan bagi orang yang melaksanaka haji.

Sedangkan para ulama yang membolehkan puasa Arafah adalah Imam Al Munawi
yang berpendapat bahwa, “Berkata Al Hakim: ‘Sesuai syarat Bukhari’, mereka
(para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan pada Mahdi, dia
bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in mengatakan: ‘Majhul’. Al
‘Uqaili mengatakan: ‘Dia tidak bisa diikuti karena kelemahannya’. (Faidhul
Qadir, 6/431) Lalu, Mahdi Al Muharibi – dia adalah Ibnu Harb Al Hijri,
dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh para muhadditsin.

Ke majhulan Mahdi al-Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (At
Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam Adh Dhuafa:
“Dia tidak bisa diikuti”.

xv
Report this ad

Selain para ulama diatas juga terdapat ulama lain diantaranya adalah Imam Yahya
bin Ma’in, Imam Abu Hatim, dan Imam Ibnul Qayyim.

Hal ini juga dijadikan sandaran hukum bagi pengikut mazhan Hanafiyah seperti
yang tercantum pada kitab karangan Syaikh Wahbah az-Zuhaili, dalam kitab al-
Fiqhul Islami wa Adillatuhu bahwa, “Boleh saja berpuasa Arafah bagi jamaah haji
yang sedang wukuf jika itu tidak membuatnya lemah”. Lebih lanjut beliau
mengatakan tidak dianjurkan bagi jamaah haji yang fisiknya tidak kuat, tujuannya
agar kuat melakukan doa, adapun para jamaah haji, tidaklah disunahkan berpuasa
pada hari Arafah, tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat,
agar dia kuat untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah. Pendapat ini
menunjukkan bahwa disunahaknnya puasa Arafah bukan berarti tidak
diperbolehkannya sama sekali. Kemakruhan puasa Arafah juga berlaku untuk
puasa Tarwiyah.

Menurut pendapat mazhab Malikiyah di hukumi makruh bagi jamaah haji yang
melaksanakan puasa Arafah, begitu juga ketika puasa Tarwiyah.

Menurut Mazhab Syafi’iyah berpendapat: “jika jamaah haji mukim di Mekkah,


lalu pergi ke ‘Arafah siang hari maka puasanya itu menyelisihi hal yang lebih
utama, jika pergi ke ‘Arafah malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji
adalah musafir, maka secara mutlak disunahkan untuk berbuka”.

Sedangkan menurut mazhab Hambali berpendapat bahwa: “Disunahkan bagi para


jamaah haji berpuasa pada hari ‘Arafah jika wuqufnya malam, bukan wuquf pada
siang hari, jika wuqufnya siang maka makruh berpuasa”.

***

xvi
Terlepas dari boleh tidaknya puasa Tarwiyah dan puasa Arafah, berikut itu ada
beberapa dalil yang menjelaskan tentang anjuran untuk melakukan puasa 10 hari
pertama bulan Dzulhijah yang dijelaskan secara khusus oleh Syaikh Musthafa Al
Adawi, diantara hadits tersebut adalah:

Hadits Ummul Mukminîn ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha yang dikeluarkan oleh


Muslim yang redaksinya, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sama sekali
tidak pernah berpuasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”

Dikeluarkan oleh an-Nasâi dan lainnya dari jalur seorang rawi yang bernama
Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia meriwayatkannya dari Hafshah ia berkata,
“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam: (diantaranya): puasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah)”.

Report this ad

Selain itu ada hadits lain dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

ُ ‫َّللاِ َوالَ ْال ِج َهاد‬


َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ قَالُوا يَا َر‬.‫َّام ْالعَ ْش ِر‬ َ ‫ يَ ْع ِنى أَي‬.» ‫َّللاِ ِم ْن َه ِذ ِه األَي َِّام‬ َّ ‫َما ِم ْن أَي ٍَّام ْالعَ َم ُل ال‬
َّ ‫صا ِل ُح فِي َها أ َ َحبُّ إِلَى‬
َ ِ‫َّللاِ إِالَّ َر ُج ٌل خ ََر َج بِ َن ْف ِس ِه َو َما ِل ِه فَلَ ْم يَ ْر ِج ْع ِم ْن ذَلِكَ ب‬
ٍ‫ش ْىء‬ َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫َّللاِ قَا َل « َوالَ ْال ِج َهاد ُ فِى‬
َّ ‫سبِي ِل‬
َ ‫فِى‬

“Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal salih
yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi
sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama
dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya
(ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil
musuh, pen.).” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzi)

Dari kedua hadits diatas menurut pernyataan Hunaidah pada riwayat ini
diperselisihkan oleh ulama, sebab terkadang ia meriwayatkan dari ibunya, dari

xvii
Ummu Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan terkadang pula dari Ummu
Salamah secara langsung, kemudian ia mendatangkan bentuk lain dari bentuk-
bentuk yang berbeda!”

Report this ad

Dari sisi keabsahan, maka yang unggul bahwa hadits ‘Aisyah yang terdapat di
dalam shahih Muslim adalah lebih shahih, sekalipun padanya terdapat bentuk
perselisihan dari Al A’masy dan Manshûr.

Namun diantara ulama ada yang mencoba mengkompromikan dua hadits tersebut
yang kesimpulannya, “Bahwa masing-masing dari istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menceritakan apa yang ia saksikan dari beliau, bagi yang tidak
menyaksikan menafikkan keberadaannya, dan yang menyaksikan menetapkan
keberadaannya, sedang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri menggilir
setiap istrinya dalam sembilan malam (hanya) satu malam. Maka atas dasar ini
dapat dikatakan, “Jika seseorang terkadang berpuasa dan terkadang tidak
berpuasa, atau ia berpuasa beberapa tahun lalu tidak berpuasa beberapa tahun
(berikutnya) ada benarnya, maka manapun dari dua pendapat tersebut diamalkan
maka ia telah memiliki salaf (pendahulu)”.

Report this ad

Wallahu a’lam bis shawab.

xviii

Anda mungkin juga menyukai