PUASA TARWIYAH
Disusun Oleh :
Nama : Afwan Fauzi
Kelas : X – IPS 1
NIS : 5756
i
HALAMAN PENGESAHAN
Makalah yang berjudul “Puasa Tarwiyah” telah disahkan dan disetujui pada :
Hari :
Tanggal :
Disetujui Oleh :
…………………………. ………………………….
Mengetahui,
Kepala Madrasah
Drs. H. Sutarmo
NIP. 19590706 198603 1 003
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur bagi Allah pencipta semesta
alam yang telah menjalankan peredaran alam dengan sangat rapih, penuh
kesempurnaan dan tanpa cacat. Mengedarkan Matahari dan Bulan sehingga
memunculkan ketetapan masa.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita, Nabi
akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Yang telah memnunjukkan jalan kebenaran
tanpa keraguan, yaitu agama Islam.
Kali ini penulis akan memberikan sedikit pencerahan mengenai puasa
Tarwiyah. Dalam penjelasan ini akan dijelaskan sedikit tentang pengertian, dan
fadhilah yang terkandung dari puasa tersebut.
Penulis mengakui bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang budiman.
Penulis akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan yang
dapat memperbaiki makalah penulis di masa datang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................... 1
1.3 Manfaat Penulisan ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puasa Tarwiyah .......................................................... 3
2.2 Fadhilah Puasa Tarwiyah ............................................................ 3
2.3 Hukum Puasa Tarwiyah ............................................................... 4
2.4 Dalil Tentang Puasa Tarwiyah ..................................................... 4
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan....................................................................................... 7
3.2 Saran ............................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
v
1.4 Manfaat Penulisan
1. Agar dapat mengetahui tentang puasa tarwiyah dan keistimewaannya serta
dapat mengetahui ketentuan dalam melakukan puasa sunnah tarwiyah.
2. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan yang umum dan luas.
3. Melatih ketrampilan menulis.
4. Menambah pembendaharaan pustaka sekolah yang menunjang minat baca
siswa agar pengetahuannya lebih luas.
vi
BAB II
ISI
vii
menjalankan ibadah haji. Selain itu bagi orang yang melakukan puasa
Tarwiyah dan arafah berturut-turut, maka pahalanya sama dengan orang yang
menjalankan ibadah haji.
viii
“Siapa yang puasa 10 hari, maka untuk setiap harinya seperti puasa
sebulan. Dan untuk puasa pada hari tarwiyah seperti puasa setahun,
sedangkan untuk puasa hari arafah, seperti puasa dua tahun”.
Hadis ini berasal dari jalur Ali al-Muhairi dari at-Thibbi, dari Abu Sholeh,
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, secara marfu’. Tetapi para ulama
berbeda pendapat, dijelaskan bahwa hadits tersebut merupakan hadits palsu.
Hal ini dijelaskan oleh Ubnul Jauzi. Beliau mengata: “Hadits ini tidak shahih.
Sulaiman at-Taimi mengatakan, ’at-Thibbi seorang pendusta.’ Ibnu Hibban
menilai, ’at-Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu
dijelaskan. Penjelasan tersebut terdapat pada kitab al-Maudhu’at, 2/ 198).
Hal serupa dijelaskan oleh as-Saukani, mengatakan: “Hadits ini disebutkan
oleh Ibnu Adi dari A’isyah secara marfu’. Hadits ini tidak shahih dikarenakan
terdapat parawi yang bernama al-Kalbi, dia seorang pendusta. (al-Fawaid al-
Majmu’ah).
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits itu bukan Maudhu’ melainkan
hanya dho’if. Yaitu riwayat dari jalur lainnya yaitu dari jalur Ibnu Najjar.
سنَة َ َص ْو ُم يَ ْو َم الت َّ ْر ِويَّ ِة َكف
َ ُ ارة َ
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun
yang lalu”.
Hadits tersebut oleh Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.
Dan kita tahu bahwa jumhurul ulama sepakat boleh mengamalkan hadits
dho’if dalam fadhoil a’mal.
Dasar hadits yang dipergunakan ini adalah dhoif (kurang kuat riwayatnya)
namun demikian para ulama memperbolehkan melaksanakan puasa
Tarwiyah, yang dimaksudkan untuk memperoleh keutamaan dari puasa
Tarwiyah tersebut (Fadloilul ‘amal). Agar umat Islam yang menjalankan
puasa Tarwiyah mendapatkan keutamaan dari ibadah haji yang sedang
berlangsung pada waktu itu. Puasa Tarwiyah tersebut juga tidak melanggar
akidah maupun syariat islam.
Kedloifan hadits puasa Tarwiyah dikarenakan beberapa alasan, pertama:
Kalbi (sanad ketiga) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbi. Dia ini
seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri,
ix
“Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu
Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan
dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas). Selain itu menurut Imam Hakim
berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’
(palsu)” Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat
Ta’dil.
Alasan yang kedua, Ali bin Ali Al-Himyari (sanad kedua) adalah seorang
rawi yang majhul (tidak dikenal).
Tetapi kedloifan tentang puasa Tarwiyah tersebut bisa dijelaskan dengan
hadits yang lain seperti misalnya: “Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah
yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan
dan minumannya semata-mata karena Aku”. (Muttafakun ‘alaih).
Dan hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu
‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari
di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu
dari api neraka selama tujuh puluh tahun”. (HR Bukhari Muslim).
x
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Puasa Tarwiyah adalah puasa yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah,
yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain,
bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun. Selain itu,
memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari
yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Puasa Tarwiyah
sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci.
Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga
disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain
yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala
sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala
puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di
Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra
pada bab tentang puasa:
ص َل لَهُ َما َعلَ ْي ِه َ َّب ِإ ْن َكانَ َعلَ ْي ِه َو ِإ َّال فَالت
ُ ْط ُّوعِ ِل َيح َ اج َ ط ُّوعِ أ َ ْن َي ْن ِو
ِ ي اْ َلو َ يُ ْعلَ ُم أ َ َّن اْأل َ ْف
َ ََ َض َل ِل ُم ِر ْي ِد الت
Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia
juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan
puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu
apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja,
maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya.
3.2 Saran
Demikianlah sedikit penjelasan dari penulis, semoga dapat menjadikan
kemanfaatan bagi kita semua, terutama dalam menyikapi perbedaan
sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas. Perbedaan adalah
anugerah dari Allah, maka jadikanlah hal tersebut sebagai rahmat yang
mempererat tali persaudaraan, dan tidak dijadikan sebagai alat untuk
memecah belah manhaj yang sudah dibangun oleh para pendahulu kita
semua.
xi
DAFTAR PUSTAKA
https://syamsul14.wordpress.com/2014/10/03/puasa-tarwiyah-dan-puasa-arafah/
http://kumpulanmakalahkuliahlengkap.blogspot.com/2017/02/makalah-puasa-
sunnah.html
https://basaudan.wordpress.com/2011/10/26/fadhilah-puasa-tarwiyah-dan-arofah/
xii
Pengertian Puasa Arafah
Puasa Arafah adalah puasa sunah yang dilaksanakan pada setiap tanggal 9
Dzulhijjah (hari Arafah), yang mana puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum
Muslim yang tidak menjalankan rukun Haji. Dalam melaksanakan puasa Arafah
tidak jauh beda dengan puasa sunah pada umumnya. Di lakukan pada waktu terbit
fajar sampai terbenamnya fajar.
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
“Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan
tahun sesudahnya. Puasa Asyura’ menghapuskan dosa tahun sebelumnya”. (HR.
Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmizy).
Pelaksanaan puasa Arafah tersebut tiak didasarkan pada waktu wukuf yang
dilaksanakan pada hari ke-9 Dzulhijah (hari Arafah), melainkan karena datangnya
hari Arafah. Oleh karena penetapan waktu daerah yang berlainan, maka penetapan
itu ditetapkan menyesuaikan dengan daerah asalnya (Makkah). Dimana waktu
negara Indonesia dengan Arab selisih 4-5 jam lebih dahulu Arab. Penentuan ini di
dasarkan pada letak geografis yang menjadikan perbedaan waktu.
… والسنة التي بعده، صيام يوم عرفة أحتسب على هللا أن يكفر السنة التي قبله
xiii
“…puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini
sebagai penebus (dosa, pen.) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..”
(HR. Ahmad dan Muslim).
Hukum puasa Arafah adalah sunah Muakad atau sunah yang dianjurkan, tetapi
bagi yang melaksanakan ibadah Haji tidak ada kewajiban untuk menjalankannya,
karena terdapat perbedaan pada masalah ini. Hal ini seperti yang diriwayatkan
dari Ibnu Umar Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau berkata,
Report this ad
xiv
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: “Shahih sesuai syarat
Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” (Al Mustadrak No.
1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya. Dishahihkan pula oleh
Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya dalam kitab Shahihnya.
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: Aku berkata: Ibnu Khuzaimah telah
menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. (At Talkhish,
2/461-462).
Seperti yang telah disebutkan dalam hadits tersebut memang dianjurkan untuk
tidak berpuasa bahkan melarangnya dengan alasan agar bagi orang yang sedang
melaksanakan wukuf kuat dalam berdoa dan melaksanakan ibadah, seperti
misalnya shalat sunnah, membaca al-Quran, berdzikir, dll. Penguatan agar tidak
menjalankan puasa ketika wukur adalah para sahabat (Abubakar Umar, dan
Usman), tidak melaksanakan puasa arafah ketika wukuf.
Report this ad
Sedangkan para ulama yang membolehkan puasa Arafah adalah Imam Al Munawi
yang berpendapat bahwa, “Berkata Al Hakim: ‘Sesuai syarat Bukhari’, mereka
(para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan pada Mahdi, dia
bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in mengatakan: ‘Majhul’. Al
‘Uqaili mengatakan: ‘Dia tidak bisa diikuti karena kelemahannya’. (Faidhul
Qadir, 6/431) Lalu, Mahdi Al Muharibi – dia adalah Ibnu Harb Al Hijri,
dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh para muhadditsin.
Ke majhulan Mahdi al-Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (At
Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam Adh Dhuafa:
“Dia tidak bisa diikuti”.
xv
Report this ad
Selain para ulama diatas juga terdapat ulama lain diantaranya adalah Imam Yahya
bin Ma’in, Imam Abu Hatim, dan Imam Ibnul Qayyim.
Hal ini juga dijadikan sandaran hukum bagi pengikut mazhan Hanafiyah seperti
yang tercantum pada kitab karangan Syaikh Wahbah az-Zuhaili, dalam kitab al-
Fiqhul Islami wa Adillatuhu bahwa, “Boleh saja berpuasa Arafah bagi jamaah haji
yang sedang wukuf jika itu tidak membuatnya lemah”. Lebih lanjut beliau
mengatakan tidak dianjurkan bagi jamaah haji yang fisiknya tidak kuat, tujuannya
agar kuat melakukan doa, adapun para jamaah haji, tidaklah disunahkan berpuasa
pada hari Arafah, tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat,
agar dia kuat untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah. Pendapat ini
menunjukkan bahwa disunahaknnya puasa Arafah bukan berarti tidak
diperbolehkannya sama sekali. Kemakruhan puasa Arafah juga berlaku untuk
puasa Tarwiyah.
Menurut pendapat mazhab Malikiyah di hukumi makruh bagi jamaah haji yang
melaksanakan puasa Arafah, begitu juga ketika puasa Tarwiyah.
***
xvi
Terlepas dari boleh tidaknya puasa Tarwiyah dan puasa Arafah, berikut itu ada
beberapa dalil yang menjelaskan tentang anjuran untuk melakukan puasa 10 hari
pertama bulan Dzulhijah yang dijelaskan secara khusus oleh Syaikh Musthafa Al
Adawi, diantara hadits tersebut adalah:
Dikeluarkan oleh an-Nasâi dan lainnya dari jalur seorang rawi yang bernama
Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia meriwayatkannya dari Hafshah ia berkata,
“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam: (diantaranya): puasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah)”.
Report this ad
Selain itu ada hadits lain dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal salih
yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi
sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama
dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya
(ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil
musuh, pen.).” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzi)
Dari kedua hadits diatas menurut pernyataan Hunaidah pada riwayat ini
diperselisihkan oleh ulama, sebab terkadang ia meriwayatkan dari ibunya, dari
xvii
Ummu Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan terkadang pula dari Ummu
Salamah secara langsung, kemudian ia mendatangkan bentuk lain dari bentuk-
bentuk yang berbeda!”
Report this ad
Dari sisi keabsahan, maka yang unggul bahwa hadits ‘Aisyah yang terdapat di
dalam shahih Muslim adalah lebih shahih, sekalipun padanya terdapat bentuk
perselisihan dari Al A’masy dan Manshûr.
Namun diantara ulama ada yang mencoba mengkompromikan dua hadits tersebut
yang kesimpulannya, “Bahwa masing-masing dari istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menceritakan apa yang ia saksikan dari beliau, bagi yang tidak
menyaksikan menafikkan keberadaannya, dan yang menyaksikan menetapkan
keberadaannya, sedang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri menggilir
setiap istrinya dalam sembilan malam (hanya) satu malam. Maka atas dasar ini
dapat dikatakan, “Jika seseorang terkadang berpuasa dan terkadang tidak
berpuasa, atau ia berpuasa beberapa tahun lalu tidak berpuasa beberapa tahun
(berikutnya) ada benarnya, maka manapun dari dua pendapat tersebut diamalkan
maka ia telah memiliki salaf (pendahulu)”.
Report this ad
xviii