Anda di halaman 1dari 72

SEMINAR KASUS

Asuhan Keperawatan Pada Tn. U Dengan Diagnosa Medis


“Chronic Kidney Disease (CKD)” Di Ruang Hemodialisa Commented [p61]: CKD stadium v

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

Disusun Oleh :

1. Hardilani Pritasari ( 1930034 )


2. Irwan Bahari Rizkillah ( 1930039 )
3. Nurul fitriani ( 1930066)
4. Raditya Ajeng Kurnia ( 1930072 )
5. Rofina Lusia Jawa Ito ( 1930078 )

Program Studi Profesi Ners


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya
TA. 2019-2020
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Pada Tn. U Dengan Diagnosa Medis


“Chronic Kidney Disease (CKD)” Di Ruang Hemodialisa
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

Disusun Oleh :

1. Hardilani Pritasari
2. Irwan Bahari R
3. Nurul Fitriani
4. Raditya Ajeng Kurnia
5. Rofina Lusia Jawa Ito

Mengatahui Surabaya, 17 September 2019


Clinical Instructure Pendidikan Clinical Instructure Lahan

Ninik Ambar Sari, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 03039
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan masalah kesehatan di seluruh

dunia yang berdampak besar pada masalah medik, ekonomi dan sosial yang

sangat besar bagi pasien dan keluarganya, baik di negara-negara maju maupun Commented [p62]: spasi 1,5 tidak perlu 2. Table 1 spasi

di negara – negara berkembang (Black & Hawks, 2009).

CKD adalah suatu proses patofisiologis dengan beragam etiologi,

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang

ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, dan pada suatu

derajat tertentu memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

Prevalensi penderita CKD di Amerika Serikat pada tahun 2012 sekitar

345.000 orang. Di Indonesia, angka kejadian CKD pada tahun 2012

sebanyak 8.034, pada tahun 2013 terdapat 15.353 pasien yang baru menjalani

HD dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD

sebanyak 4.268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19.621 pasien

yang baru menjalanai HD (Riskesdas, 2015). Indonesia termasuk negara

dengan tingkat penderita CKD yang cukup tinggi. Peningkatan penderita

penyakit ini di Indonesia mencapai angka 20%. Berdasarkan PDPERSI,

menyatakan jumlah penderita CKD diperkirakan sekitar 50 orang per satu

juta penduduk (Suwitra, 2006).


Klien hemodialisa menghadapi perubahan yang signifikan karena mereka

harus beradaptasi terhadap terapi hemodialisa, komplikasi-komplikasi yang

terjadi, perubahan peran di dalam keluarga, perubahan gaya hidup yang harus

mereka lakukan terkait dengan penyakit CKD dan terapi hemodialisa.

Keadaan ini tidak hanya dihadapi oleh klien saja, tetapi juga oleh anggota

keluarga yang lain (Friedman, 1998).

Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan

program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi

dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga

yang sakit. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang

lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan

(Carpenito, 2000).

Pelayanan asuhan keperawatan ditujukan untuk mempertahankan,

meningkatkan kesehatan dan menolong individu untuk mengatasi secara

tepat masalah kesehatan sehari hari, masalah penyakit, masalah

ketidakmampuan atau bahkan kematian. (Carpenito, 2000).

1.2 Rumusan Masalah Commented [p63]: contoh


Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis membuat karya
tulis ilmiah tentang asuhan keperawatan pasien dengan tumor
1. Bagaimana konsep dari Chonic Kidney Disease (CKD) otak, untuk itu penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut
“Bagaimanakah pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
dengan diagnosa medis tumor otak dan trakeostomi dengan
2. Bagaimana konsep dari hemodialisa ventilator di ruang ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya?”

3. Bagaimana Asuhan keperawatan pada pasien CKD dengan hemodialisa


1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum Commented [p64]: contoh


Mengkaji individu secara mendalam yang dihubungkan dengan
penyakitnya melalui proses asuhan keperawatan pada pasien
Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan dengan diagnosa medis tumor otak dan trakeostomi dengan
ventilator di ruang ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

Chonic Kidney Disease (CKD).

1.3.2 Tujuan Khusus Commented [p65]: Contoh


1.Melakukan pengkajian pada pasien dengan diagnosa medis
tumor otak dan trakeostomi dengan ventilator di ruang ICU
1. Mengetahui konsep dari Chonic Kidney Disease (CKD) Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
2.Melakukan analisa masalah, prioritas masalah dan menegakkan
diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
2. Mengetahui konsep dari hemodialisa tumor otak dan trakeostomi dengan ventilator di ruang ICU
Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
3.Menyusun rencana asuhan keperawatan pada masing-masing
3. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien Chonic Kidney Disease diagnosa keperawatan pasien dengan diagnosa medis tumor otak
dan trakeostomi dengan ventilator di ruang ICU Anestesi
(CKD). Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
4.Melaksanakan tindakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan diagnosa medis tumor otak dan trakeostomi dengan
1.4 Manfaat ventilator di ruang ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
5.Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis tumor otak dan trakeostomi dengan ventilator di
Menambah pengetahuan, wawasan, serta untuk bahan kajian tentang pasien ruang ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

dengan chronic kidney disease (CKD) beserta asuhan keperawatannya. Commented [p66]:
1.Secara Teoritis
Dengan pemberian asuhan keperawatan secara cepat, tepat, dan
efisien akan menghasilkan keluaran klinis yang baik, menurunkan
angka kejadian disability dan mortalitas pada pasien dengan tumor
otak dan trakeostomi dengan ventilator.
2.Secara praktis
a.Bagi Institusi Rumah Sakit
Dapat menjadi masukan bagi pelayanan di Rumah Sakit agar
dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan tumor
otak dan trakeostomi dengan ventilator.
b.Bagi institusi pendidikan
Dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta meningkatkan kualitas asuhan keperawatan
pada pasien dengan tumor otak dan trakeostomi dengan
ventilator serta meningkatkan pengembangan profesi
keperawatan.
c.Bagi keluarga dan klien
Sebagai bahan penyuluhan kepada keluarga tentang deteksi dini
penyakit tumor otak sehingga keluarga mampu menggunakan
pelayanan medis gawat darurat. Selain itu agar keluarga mampu
melakukan perawatan pasien dengan post tumor otak dan
trakeostomi dengan ventilator di rumah agar disability tidak
berkepanjangan.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chonic Kidney Disease (CKD)

2.1.1 Definisi Chonic Kidney Disease (CKD)

Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir

merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan

irreversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia

(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Hal ini terjadi karena terjadi

bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Smeltzer & Bare, 2000; Price,

Wilson, 2002; Suyono, et al, 2001).

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari

3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti

proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik

ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m²,

sebagai berikut:

1) Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan

atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

- Kelainan patologik

- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada

pemeriksaan pencitraan

2) Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau

tanpa kerusakan ginjal (Capernito, 2009).


2.1.2 Etiologi Chonic Kidney Disease (CKD)

Penyebab GGK menurut Price& Wilson (2006), penyebab GGK dibagi Commented [p67]: Pakai satu persepsi CKD untuk GGK dihapus

menjadi delapan kelas, antara lain:

1) Infeksi misalnya pielonefritits

2) Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis

Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul

pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis

utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen

berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, penigkatan aldosteron

menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefritis kronik,

ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan nampak

ginjal mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan bergranula. Ini

disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus

mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri.

3) Penyakit vaskuler hipertensif

Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal.

Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi

Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari system renin, angiotensin dan

defisiensi prostaglandin, keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama

GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit putih. Misalnya

nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.

4) Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,

poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif.

5) Gangguan kongenital dan herediter


Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral

yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan

menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Asidosis tubulus

ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal /kehilangan

HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang mamadai tetap dipertahankan,

akibatnya timbul asidosis metabolic.Misalnya penyakit ginjal

polikistik,asidosis tubulus ginjal.

6) Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis

7) Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal

8) Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,

fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,

striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

2.1.3 Klasifikasi Chonic Kidney Disease (CKD)

Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui

penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR

dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat

kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari

aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.

Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis menurut KDOQI

sebagai berikut :
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate)/ CCT (Clearance Creatinin Test)

dapat digunakan dengan rumus berikut ini:

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( Kg )

72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :

1) Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)

Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan

gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini

disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam

kondisi tidak lagi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui

kondisi ginjalnya dalam stadium.

2) Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)

Pada stadium 2 juga tidak dapat merasakan gejala yang aneh karena

ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.

3) Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)

Pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk

dalam darah yang disebut uremia. Gejala-gejala juga terkadang mulai

dirasakan seperti :

a. Fatique, rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

b. Kelebihan cairan, hal ini membuat penderita akan mengalami

pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.

Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akibat teralu banyak cairan

yang berada dalam tubuh.


c. Perubahan pada urin, urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan

adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami

perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur

dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan

terkadang penderita sering terbangun untuk buang air kecil di tengah

malam.

d. Rasa sakit pada ginjal, rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada

dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal

seperti polikistik dan infeksi.

e. Sulit tidur, sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur

disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.

4) Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)

Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam

waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/ dialisis atau

melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam

darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Gejala yang mungkin

dirasakan pada stadium 4 adalah fatique, kelebihan cairan, perubahan pada

urin, sakit pada ginjal, sulit tidur, nausea (muntah atau rasa ingin muntah),

perubahan cita rasa makanan (dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi

tidak terasa seperti biasanya), dan bau mulut uremic (ureum yang menumpuk

dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak).

5) Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)

Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk

bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang

dapat timbul pada stadium 5 antara lain kehilangan nafsu makan, nausea,

sakit kepala, merasa lelah, tidak mampu berkonsentrasi, gatal-gatal, urin tidak

keluar atau hanya sedikit sekali, bengkak (terutama di seputar wajah, mata

dan pergelangan kaki), kram otot, dan perubahan warna kulit.

2.1.4 Patofisiologi Chonic Kidney Disease (CKD)

Disfungsi ginjal mengakibatkan keadaan patologik yang komplek

termasuk diantaranya penurunan GFR (Glumerular Filtration Rate), pengeluaran

produksi urine dan eksresi air yang abnormal, ketidakseimbangan elektrolit, dan

metabolik abnormal. Homeostatis dipertahankan oleh hipertropi nefron. Hal ini

terjadi karena hipertrofi nefron hanya dapat mempertahankan eksresi solates dan

sisa-sisa produksi dengan jalan menurunkan reabsorbsi air sehingga terjadi

hipostenuria (kehilangan kemampuan memekatkan urin) dan poliuria adalah

peningkatan output ginjal. Hipostenuria dan poliuria adalah tanda awal CKD dan

dapat menyebabkan dehidrasi ringan. Perkembangan penyakit selanjutnya,

kemampuan memekatkan urin menjadi semakin berkurang. Osmolitasnya

(isotenuria), jika fungsi ginjal mencapai tingkat ini serum BUN meningkat secara

otomatis, dan pasien akan beresiko kelebihan beban cairan seiring dengan output

urin yang makin tidak adekuat. Pasien dengan CKD mungkin menjadi

dehidrasi/mengalami kelebihan beban cairan tergantung pada tingkat gagal ginjal.

Perubahan metabolik pada gagal ginjal juga menyebabkan gangguan

eksresi BUN dan kreatinin. Kreatini sebagian dieksresikan oleh tubulus ginjal dan
penurunan fungsi ginjal berdampak pada pembentukan serum kreatinin dalam

darah disebut azotemia dan merupakan salah satu petunjuk gagal ginjal.

Perubahan cardiac pada CKD menyebabkan sejumlah gangguan system

kardiovaskuler. Manifestasi umumnya diantaranya anemia, hipertensi, gagal

jantung kongestif, dan perikarditis. Anemia disebabkan oleh penurunan tingkat

eritopetin, penurunan masa hidup sel darah merah akibat dari uremia, defisiensi

besi dan asam laktat dan perdarahan gastrointestinal.

Hipertropi terjadi karena peningkatan tekanan darah akibat overload cairan

dan sodium dan kesalahan fungsi sistem renin. Angiostin aldosteron CRF

menyebabkan peningkatan beban kerja jantung karena anemia, hipertensi, dan

kelebihan cairan (Brunner & Suddart, 2012).

Tahap gangguan ginjal antara lain :

1. Tahap 1 : Diminishid Renal Reserve

Tahap ini penurunan fungsi ginjal, tetapi tidak terjadi penumpukan

sisa-sisa metabolik dan ginjal yang sehat akan melakukan kompensasi

terhadap gangguan yang sakit tersebut.

2. Tahap II : Renal Infufficiency (Infusiensi Ginjal)

Pada tahap ini dikategorikan ringan apabila 40-80% fungsi normal,

sedang apabila 15-40% fungsi nomal dan berat bila fungsi ginjal normal

hanya 2-20% . Pada insufisiensi ginjal sisa-sisa metabolik mulai

berakumulasi dalam darah karena jaringan ginjal yang lebih sehat tidak

dapat berkompensasi secara terus menerus terhadap kehilangan fungsi

ginjal karena adanya penyakit tersebut. Tingkat BUN, kreatinin, asam


urat, dan fosfor mengalami peningkatan tergantung pada tingkat

penurunan fungsi ginjal.

3. Tahap III : End Stage Renal Desease (Penyakit Ginjal Tahap Lanjut) Commented [p68]: Tulisan bahasa inggris dimiringkan

Sejumlah besar sisa nitrogen (BUN, Kreatinin) berakumulasi

dalam darah, dan ginjal tidak mampu mempertahankan hemostatis.

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terjadi bila segera

dianalisaakan menjadi fatal/kematian.

……………………………………………………… Commented [p69]: Askep teori keperawatan untuk CKD belum


ada
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.U DENGAN DIAGNOSA
CKD DI RUANG
HEMODIALISA RUMKITAL DR. RAMELAN
SURABAYA Commented [p610]: Bentuk pyramid ke bawah

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

1. PENGKAJIAN

Tgl Jam : 14.20


Pengkajian : 16 September 2019 No Rekam Medik : 3363319
Tgl MRS : 05 September 2019 Diagnosa Medis : CKD stage 5
Ruang : Hemodialisa

A. IDENTITAS

Nama : Tn. U Pekerjaan : Purn AL


Umur : 56 tahun Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan : SMA Status perkawinan : Kawin
Alamat : Bratang Lapangan Penanggung biaya : BPJS

B. RIWAYAT KESEHATAN

Keluhan Saat MRS : Pasien datang ke UGD RSAL Dr.Ramelan dengan


utama keluhan bengkak pada kaki dan tangan sejak 2 minggu yang lalu
sebelum MRS. Pasien BAB bisa BAB setiap hari dan sedikit.BAK
±50 cc/24 jam
Saat ini : Pasien mengeluh kaki kanan dan kirinya serta tangan
kanannya juga bengkak,kulit juga sering merasa gatal. Tidak bisa
BAK dengan lancer ± 50 cc/24 jam.Bisa BAB dengan konsistensi
lunak dalam 2 hari sekali.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi, pasien mengatakan
mengurangi cairan yang masuk ke dalam tubuh dengan melakukan
pembatasan minum ± 500 ml/24 jam dan mendapat terapi
Farmakologi diuretic untuk mengatasi hambatan BAK.
Riwayat Pasien MRS pada tanggal 5 September melalui UGD dengan keluhan
penyakit badan lemas,buang air kecil sedikit,bengkak pada kaki kiri dan kanan
sekarang
serta tangan kanan dan kirinya,Di UGD pasien dipasang infus NS 7
tpm/24 jam,dilakukan pemeriksaan lab kreatinin 14,8 mg/dl,BUN
81,observasi TTV TD : 130/90 MmHg,pasien diberi therapy injeksi
Lasix.Pasien diinstruksikan untuk melakukan hemodialisis. Dari
UGD pasien dirawat di ruangan C2. Pada saat pengkajian di ruang
HD pasien dikirim dari ruangan C2 dengan keluhan
lemah,demam,bengkak pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
tampak lemah dan mengeluh buang air kecil yang sedikit.Observasi
TTV TD : 140/100 MmHg,Hb 8 g/DL,SaO2 97 %.Pasien sudah
melakukan cuci darah yang ke 77 kali.
Riwayat Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit batu ginjal dan
penyakit Riwayat Hipertensi ±30 tahun yang lalu. Untuk hipertensi pasien
dahulu jarang melakukan kontrol ke rumah sakit, Menurut pasien batunya
pernah keluar melalui kencing dan tidak melakukan control lagi ke
rumah sakit.Namun 1 tahun 5 bulan yang lalu pasien didiagnosa
Gagal Ginjal Kronis dan perlu dilakukan dialysis.
Riwayat Menurut pasien kedua orang tuanya juga menderita hipertensi
penyakit
keluarga
Riwayat Pasien tidak mempunyai alergi makanan dan obat-obatan
Allergi
Genogram

: Laki-laki
: Perempuan
56
: Pasien
: Meninggal
: Tinggal serumah

C. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 4-5-6
TTV : TD: 140/100 mmHg, N: 90 x/menit, RR:20x/menit, S: 38oC
TB : 160 cm
BB : 67 kg

1. B1 : Breath/Pernapasan
Inspeksi : Bentuk dada normo chest, tidak ada nafas cuping hidung, tidak tampak
penggunaan otot bantu napas, tidak ada sesak, tidak ada clubbing finger,
gerakan dinding dada simetris , ada batuk berdahak ± sebulan.
Palpasi : Fokal fremitus teraba
Auskultasi : Suara napas (Vesikuler), Irama pola napas (Reguler), Suara napas
tambahan (tidak ada)
Perkusi : Tidak dilakuakan.
Masalah keperawatan: -
2. B2 : Blood/Sirkulasi
Inspeksi : tidak ada nyeri dada, konjungtiva tidak anemis, tidak ada sianosis.
Palpasi : CRT <2 detik, akral panas kering, ictus cordis tidak teraba, Denyut nadi
di arteri radialis 90 x/menit dengan irama reguler pulsasi kuat, tidak ada
distensi vena jugularis,tampak pucat,Hb 9 gr/dl
Perkusi : Batas bawah kanan Jantung ICS IV line para sternalis kanan, Batas kanan
atas ICS II line para sternalis kanan, Batas kiri atas ICS II line para
sternalis kiri, batas kiri bawah ICS V kiri agak ke medial dari linea
midklavikula sinistra.
Auskultasi : Irama Jantung (reguler), Bunyi jantung (S1 S2 tunggal)
Masalah keperawatan: -

3. B3 : Brain/Persarafan
Inspeksi : GCS 4-5-6, tidak ada nyeri kepala, mata (emetropi), reflek cahaya
aktif, Pupil (Isokor), konjungtiva/sklera merah mudah, lapang pandang
jelas, bentuk hidung simetris, tidak ada polip, tidak ada gangguan
telinga, tidak ada kesulitan telan, tidak ada gangguan berbicara,
Palpasi & perkusi: Tidak dilakukan
Nervus kranial I : Fungsi penciuman berfungsi baik antara kiri dan kanan
Nervus kranial II : Lapang pandang baik
Nervus kranial III : Pergerakan bola mata baik
Nervus kranial IV : Pergerakan mengangkat alis mata
Nervus kranial V : Gerakan rahang baik, reflek kornea baik, pasien dapat
mengunyah
Nervus kranial VI : Pergerakan bola mata baik
Nervus kranial VII : Senyum pasien simetris, gerakan dahi simetris, pasien dapat
mengembungkan pipi dengan baik
Nervus kranial VIII : Pendengaran pasien baik
Nervus kranial IX : Tidak ada kesulitan menelan/disfagia, tidak terdapat deviasi
uvula
Nervus kranial X : Tidak disfagia
Nervus kranial XI : Pasien dapat menoleh kiri kanan, dapat mengangkat bahu
Nervus kranial XII : Pasien dapat menjulurkan lidah, posisi lidah simetris

Masalah keperawatan: -

4. B4 : Bladder/Perkemihan
Wawancara : Pasien mengatakan BAK jarang ± 50 cc/ 24 jam dan berwarna
kining,baunya khas.BAB 1 x/hari warna kuning,lembek dan berbau khas.
Inspeksi : Kadar BUN 81 ml/dL, kreatinin 14,8 mg/dL, WBC 11,06. Therapi yang
diberikan Lasix 40 mg, pasien sudah melakukan cuci darah selama 77 kali
dilakukan secara rutin 2 kali dalam seminggu. Pada saat pengkajian tanggal 17
september 2019 di ruang hemodialisa saat dilakukan cuci darah pasien mengalami
demam dengan suhu 38°C. Keluarga meminta untuk dihentikan tindakan cuci
darah.
Palpasi : Keadaan kandung kemih normal, tidak ada nyeri tekan badan panas.
Masalah keperawatan: Kelebihan volume cairan

5. B5 : Bowel/Pencernaan
Wawancara : Pasiem mengatakan makan 3 x sehari dengan diet TKTP 2100 Kcal
+ Protein 1 gr/Kg/BB/hari (Bebas sayur dan kaldu).Makan 3 x sehari,
porsi sedang atau ½ porsi sajian rumah sakit.Minum dibatasi kurang dari
600 ml/hari.
Inspeksi : mukosa bibir kering, nafsu makan cukup baik, porsi makan habis 1/2
piring, tidak ada mual dan muntah, tidak terpasang alat bantu NGT
Palpasi & perkusi :Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, Tidak ada pembesaran
hepar.
Auskultasi : peristaltik usus normal, Bising usus 17 /menit
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan

6. B6 : Bone/Muskuloskeletal
Wawancara : Pasien mengatakan badan terasa lemas,kaki dan tangan susah
diangkat,Mandi,makan,mobilisasi, merapikan tempat tidur dibantu oleh
keluarga.
Inspeksi : ada edema pada ekstremitas atas dan bawah, kemampuan pergerakan
terbatas
Kekuatan Otot :

3333 3333

3333 3333

Pasien mampu menahan tegak walaupun sedikit didorong tetapi tidak mampu

melawan tekanan/dorongan dari pemeriksa.

Masalah keperawatan:
-

7. Sistem Integumen
Wawancara : Pasien mengatakan kulit kering,badan terasa gatal.
Inspeksi : Tampak kulit kering,ada pruritus di bagian kaki dan tangan,edema pada
tungkai dan tangan.
Palpasi : Kulit kasar,pitting edema derajat 3,perabaan akral panas.

Masalah keperawatan:
Resiko Tinggi kerusakan integritas Kulit.

8. Pola Istirahat dan Tidur


Wawancara : Pasien mengatakan tidur siang 1-2 jam/hari,tidur malam 6-7 jam/hari
selama berada di rumah sakit.

Masalah keperawatan: -
9. Sistem Penginderaan

Sistem Penglihatan : Lapang pandang jelas dengan jarak ± 10 meter.


Sistem Pendengaran : Keadaan telinga simetris kiri dan kanan,tidsk terdapat nyeri
tekan,peradangan tidak ada.

Masalah keperawatan: -

10. Endokrin
Tidak ada pembesaran pada tyroid,pasien tidak memiliki penyakit DM.

Masalah keperawatan: -

11. Sistem Reproduksi


Pasien berjenis kelamin laki-laki , menikah dan memiliki 2 orang anak.dan tidak
ada kelainan pada sistem reproduksi.

Masalah keperawatan: -

12 Personal Hygiene

Pasien mengatakan mandi dengan diseka dilakukan 2 kali sehari pagi dan sore,
Pakaian diganti sehari sekali, kuku tangan dan kaki sudah dipotong dan bersih.

Masalah keperawatan: -
13 Psikososialkultural

Pasien mengetahui kondisi keadaannya sekarang sedang sakit dan dirawat di rumah
sakit. Pasien mampu beradaptasi dengan dengan masalah dan penyakitnya.
Kegiatan ibdah tidak pernah dilakukan selama sakit.Hubungan dengan keluarga
baik.

Masalah keperawatan: -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap 05-09-2019

Parameter Result Ref. range


^
WBC 11,06 10 3/uL 4.0-10.0
RBC 3,58 10^6/uL 4.30-6.00
HGB 10,2 g/dl 11,5-16,0
HCT 32,2% 35.0-45.0
^
PLT 136 10 3/uL 150-400

Pemeriksaan kimia klinik 05/09/2019

Parameter Result Ref. range


Glucose 103 mg/dL < 120,0
Creatinine 14,8 mg/dL (0,6-1,5 mg/dl )
BUN 81 mg/dl (10,0-24,0 mg/dl)
Natrium 140,4 mmol/L (135-147 mg/dl)
Kalium 4,05 mmol/L (3,00-5,00 mg/dl)
Chlorida 103,0 mmol/L (95-108 mmol/L)
SGOT 15 U/l 0 - 50
SGPT 0 – 50
14 U/l

Terapi Medis
Tgl Terapi Dosis Indikasi Kontraindikasi Efek Samping
Obat
17/ Furosemid 40 mg Membuang cairan Gagal ginjal akut Pusing,vertigo,mual dan
atau garam yang yang anuria,koma muntah,penglihatan
9/
berlebih di dalam hepatic,hipokalemia buram,diare,konstipasi.
19
tubuh melalui urin ,hiponatremia,gang
dan meredakan guan fungsi ginjal
pembengkakan dan hati.

Menurunkan Hipersensitivitas

tekanan darah. dan Alergi


Merasa
Amlodipin 5 mg
lelah,pusing,mual,pembengk
akan tungkai,jantung
berdebar
Mengatasi
Hipersensitiv Hiperkalemia,Hipotensi
hipertensi
Irbesartan 300 mg ortostatik,Pusing,ISPA,Sakit
Maagh

Menurunkan
sekresi asam
Ranitidin 50 mg Diare,muntah,sakit
lambung
kepala,insomnia,vertigo

ANALISA DATA
No DATA (Symptom) PENYEBAB MASALAH
(Etiologi) (Problem)
1 Ds: Pasien mengatakan kulit kering Peningkatan kadar Resiko tinggi
dan kadang terasa gatal di kreatinin dan BUN kerusakan integritas
sekitar tubuh. kulit
Do : Kulit tampak kering,pruritus +, Azotemia
edema tungkai dan
tangan,kreatinin 14,8 mg/dl, Syndrom uremia
BUN 81 mg/dl,Pasien tampak
bedrest. Efek pada kulit

Pruritus

Resiko Tinggi
Kerusakan Integritas
Kulit
2 Ds : Pasien mengatakan bengkak Disfungsi Ginjal Kelebihan volume
pada tangan dan kakinya.BAK cairan
sedikit ± 50 cc/hari Mekanisme regulasi
Do : TD 130/90 N:90 S:38 RR:20x/i cairan dan elektrolit
Tampak oedema pada terganggu
ekstremitas atas dan
bawah,piting edema, BAK ± 50 Peningkatan volime
cc/hari, Minum < 600 ml/hari interstitial
BUN 81 mg/dL, kreatinin 14,8
mg/dL,GFR : 5,28 mengalami Retensi cairan
gagal ginjal kronis dan perlu
didialysis. Edema,Asites

Kelebihan Volume
Cairan
3 Ds: Px mengatakan lemas terutama Penurunan Fungsi Intoleransi Aktivitas
pada ekstremitas bawah dan Ginjal
atas,demam,mudah leleah bila
beraktivitas. Penurunan Fungsi
Do : Pasien tampak lemah,aktivitas Eritropoietin
sepenuhnya dibantu
keluarga,Hb 9 gr/dl,Tampak Penurunan
pucat.demam.Sb 38 °C pembentukan
eritrosit
Anemia

Intoleransi aktivitas

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan pengeluaran


urin,retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, kelemahan, retensi
produk sampah dan prosedur dialisis
3. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status
metabolic sirkulasi,anemia dan iskemik jaringan.

INTERVENSI KEPERAWATAN

No Masalah Tujuan dan Intervensi Rasional


. Kriteria Hasil
1. Kelebihan Setelah dilakukan Fluid
volume cairan asuhan Managemen
b.d gangguan keperawatan : 1. Untuk mengetahui
mekanisme selama 1x8 jam 1. Kaji kadar/status
regulasi volume cairan status keseimbangan
seimbang. cairan, cairan dan
Kriteria Hasil : timbang elektrolit,pengelua
1. Terbebas dari BB, ran status cairan.
edema, efusi, keseimba
anasarka ngan
2. Bunyi napas masukan
bersih, tidak ada dan
dipsnea haluaran
3. Memelihara turgor
tekanan vena kulit dan 2 Menghindari
sentral, tekanan adanya kelebihan
kapiler paru, edema cairan
output jantung 2. Batasi 3 Meningkatkan
dan vital sign masukan pengetahuan
normal cairan keluarga
3. Jelaskan dalam
pada pembatasan
klien dan cairan
keluarga
tentang
rasional
pembatas
an cairan
4. Kolabora 4 Tindakan
si Therapy
pemberia
n cairan
sesuai
terapi
Hemodyalisi 1 Mengevaluasi
s Therapy : respon terhadap
1. Ambil therapy
sampel
darah dan
meninjau
kimia
darah
(BUN, 2. Mengetahui adanya
Kreatinin) kelebihan cairan dan
2. Rekam elektrolit sebelum dan
tanda vital sesudah HD
: BB, RR,
Nadi, TD,
untuk
mengeval
uasi
respon 3.Menjaga
terhadap keseimbangan dalam
terapi proses filtrasi
3. Sesuaikan
tekanan
filtrasi
untuk
menghilan
gkan
jumlah
yang tepat 4 Meningkatkan
dari pemahaman pasien
cairan dalam prosedur dan
berlebih therapy yang
di tubuh dilakukan selama
klien proses dialysis.
4. Bekerja
secara
kolaborati
f dengan
klien
untuk
menyelesa
ikan
panjang
dialisis,
peraturan
diet,
keterbatas
an cairan
dan obat-
obatan
untuk
mengatur
cairan dan
elektrolit

2. Intoleransi Setelah 1. Monitor 1.Mengetahui tingkat


aktivitas b.d dilakukan asuhan tingkat aktivitas dan ola tidur.
keletihan, keperawatan kelelahan,tid
kelemahan, selama 1x4 jam ur dan
retensi produk klien dapat istirahat
sampah akibat menoleransi klien 2 Mengetahui
proses dialisis. aktivitas & 2. Monitor seberapa jauh tingkat
melakukan ADL kemampuan toleransi aktifitas
dengan baik toleransi selama sakit
Kriteria Hasil : aktifitas
1.Mengekspresika 3 Identifikasi 3 Mengetahui factor
n pengertian factor yang yang dapat
pentingnya menimbulka mempengaruhi
keseimbangan n lelah kelemahan
latihan dan 4 Bantu dan 4 Meningkatkan
istirahat edukasi klien pengetahuan pasien
2.Memverbalisasi dalam dalam menangani
kan pentingnya memilih dampak penyakit
aktivitas secara aktivitas yang ditimbulkan.
bertahap sesuai
3.Berpartisipasi kemampuan
dalam aktivitas 5.Kolaborasi 5 Meningkatkan kadar
fisik dengan TD, dalam Hb dan O2 dalam
HR, RR, yang pemberian darah
sesuai transfuse
4 Hb dalam batas darah
normal
3. Resiko Setelah dilakukan 1. Inspeksi Menandakan area
gangguan tindakan kulit sirkulasi
kerusakan keperawatan terhadap buruk/kerusakan yang
integritas kulit selama 1 x 8 jam perubaha dapat menimbulkan
berhubungan diharapkan n warna, pembentukan
dengan kerusakan turgor, dekubitus/infeksi
gangguan integritas kulit vaskular.
status tidak terjadi. Mendeteksi adanya
metabolic,ede Kriteria Hasil : 2. Pantau dehidrasi atau hidrasi
ma dan 1. Mempertahank masukan berlebihan yang
pruritus. an kulit utuh cairan mempengaruhi
2. Menunjukkan dan sirkulasi dan
pemahaman hidrasi integritas jaringan
dalam proses kulit dan pada tingkat seluler
perbaikan kulit membran Mencegah iritasi
dan mencegah mukosa. dermal langsung dan
terjadinya meningkatkan
cidera berulang evaporasi lembab
3. Mampu pada kulit.
melindungi 3. Anjurkan 3 Menurunkan cedera
kulit dan pasien dermal dan memberi
mempertahank menggun kenyamanan,
an kelembaban akan
kulit dan pakaian
perawatan katun
alami longgar
2.1.5 Web of Caution (WOC)
2.1.6 Manifestasi Klinis Chonic Kidney Disease (CKD)

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat

kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan

hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan

kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

1) Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien

gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan

muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi

oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan

iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan

saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet

protein dan antibiotika.

2) Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),

sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat

bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin

kurang dari 25 ml per menit.

3) Sistem respirasi

Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia

yang sering menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan.

Gejala lainnya adalah pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.

4) Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan

diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini

akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering

dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan

dinamakan urea frost.

5) Sistem reproduksi

Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak

teraturnya atau berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi

akibat perubahan psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ

reproduksi dan kehilangan hasrat seksual.

6) Sistem muskuloskeletal

Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering

disebut osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium,

fosfat dan keseimbangan parathormon.

7) Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai

pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput

serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

8) Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,

dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental

berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga

sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini
sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung

dari dasar kepribadiannya (personalitas).

9) Kelainan kardiovaskuler

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik

sangat kompleks.Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,

kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik

terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal

jantung.

10) Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil

pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari

mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya

hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan

pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi

maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.

Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan

gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati

mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat

penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

2.1.7 Komplikasi Chonic Kidney Disease (CKD)

1. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme

dan masukan diit berlebih.

2. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah

uremik dan dialisis yang tidak adekuat.


3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-

angiotensin-aldosteron.

4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah

merah.

5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum

rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.

6. Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,

Hiperuremia (Smeltzer & Bare, 2005).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Chonic Kidney Disease (CKD)

1) Pemeriksaan Laboratorium

a. Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan

hipoalbuminemia

b. Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan

c. Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan

menurunnya diuresis

d. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan

gangguan metabolisme dan diet rendah protein

e. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada

gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)

f. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang

menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya

disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.

g. Hb : menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl


h. BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap

akhir. Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1

i. GDA: asidosis metabolic, PH <7,2

j. Protein albumin : menurun (< 3,4-4,8 gr/dl)

k. Natrium serum : rendah. (< 1135-153 mEq/L)

l. Kalium, magnesium : meningkat (Cl: >3,5-5,1 mEq/L, Mg: > 1,5-

2,5 mEq/L)

m. Kalsium : menurun (< 8,5-10,5 mEq/L)

2) Pemeriksaan Urin

a. Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin

(anuria)

b. Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh

zat yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri,

lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya

darah, Hb, mioglobin.

c. Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular

d. Klirens kreatinin : mungkin menurun.

e. Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi

natrium.

f. Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan

kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

g. Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1

3) Pemeriksaan Radiologi: ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan

menilai derajat dari komplikasi yang terjadi


a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,

kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter

proksimal, kandung kemih serta prostat.

b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan

ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada

keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.

c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan

apakah ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan

tomogram memberikan hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan

memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak

puasa.

d. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari

gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.

e. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan

kanan, tanda-tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.

f. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan

ekstravaskularisasi serta adanya masa.

g. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.

4) Pemeriksaan Patologi Anatomi

Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik

atau perlu diketahui etiologi daru penyakit ini.


2.1.9 Penatalaksanaan Chonic Kidney Disease (CKD)

1) Terapi konservatif

Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal

yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat

progresivitas gagal ginjal sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif

bertujuan untuk menghilangkan gejala yang mengganggu penderita, sehingga

penderita dapat hidup secara normal. Yang termasuk pengobatan konservatif

gagal ginjal kronis adalah:

a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan

- Pembatasan protein

Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga

mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion

hidrogen yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti

menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal.

Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari,

apabila penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.

- Diet rendah kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut.

Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari.

Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat

menyebabkan hiperkalemia.

- Diet rendah natrium


Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g

Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi

cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.

- Pengaturan cairan

Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi

dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan

pengelurana cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan

harian. Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi

berlebihan dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan

dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal. Aturan yang dipakai untuk

menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang dikeluarkan

selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Asupan cairan membutuhkan

regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal kronik, karena rasa haus pasien

merupakan panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi

pasien (Wilson, 2006).

Berat badan di bawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi

dan atau deplesi volume, misalnya hipotensi, kram, hipotensi postural dan

pusing. Berat badan di atas berat badan idela akan muncul tanda dan gejala

kelebihan cairan misalnya edema dan sesak nafas. Tanda seperti ini akan

muncul bila kenaikan berat badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan

yang dapat ditoleransi adalah 1-2 kg selama periode intradialitik.

Kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan ini sering menjadi

permasalahan. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pasien dalam

kepatuhan menjalani terapi, diantaranya adalah usia, jenis kelamin,


pengetahuan dan demografi pasien. hal tersebut menjadi pertimbangan karena

dapat berdampak pada keberhasilan program diit pada pasien hemodialisa.

Selain itu, kepatuhan dalam menjalani program terapi dapat juga dipengaruhi

oleh gaya hidup, aspek psikososial, support sistem dan kemauan.

Pada gagal ginjal parsial kronis, penumpukan cairan mungkin tidak

terlaluberat, selama asupan garam dan cairan tidak berlebihan, sampai fungsi

ginjal turun 30% dari normal atau lebih rendah lagi. Alasan untuk hal ini,

seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah bahwa nefron yang tersisa

mengekskresikan garam dan air dalam jumlah lebih besar. Bahkan bila retensi

cairan yang terjadi hanya sedikit, bersama dengan peningkatan renin dan

angiotensin II yang biasanya terjadi pada penyakit ginjal sistemik, sering

menyebabkan hipertensi berat pada gagal ginjal kronik (Price & Wilson,

2006).

Jika supan air segera dibatasi setelah timbul gagal ginjal akut,

kandungan cairan tubuh total mungkin hanya sedikit meningkat, jika asupan

cairan tidak dibatasi dan pasien tetap minum sebagai responnya terhadap rasa

haus, cairan tubuh akan segera meningkat. Pada pasien dengan fungsi ginjal

yang begitu menurun sehingga memerlukan dialisis untuk mempertahankan

hidupnya, hampir seluruhnya mengalami hipertensi. Pada kebanyakan pasien

ini, penurunan asupan garam yang berlangsung berat atau pengeluaran cairan

ekstraseluler melalui dialisis dapat mengendalikan hipertensi. Selebihnya

pasien tetap mengalami hipertensi bahkan setelah natrium banyak dikeluarkan

melalui dialisis.
2) Simptomatik

a. Hipertensi

Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume

intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan

cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis.

Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu

penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin

diperlukan untuk mengoreksi asidosis.

b. Anemia

Pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia

rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala

spesifik seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas.

Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium

atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang.

c. Asidosis Metabolic

Harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).

Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen

alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila

pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

d. Keluhan Gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang

sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan

utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus

dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

e. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan

kulit.

f. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi

hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal

paratiroidektomi.

3) Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)

Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap

penyakit gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk

menghindari komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti

ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialisis (hemodialisis dan peritoneal

dialisis) dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).

a. Dialisis

Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan

cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu

melaksanakan fungsi tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan

kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali.

Dialisis dilakukan dalam penanganan pasien dengan edema yang tidak

responsif terhadap terapi, koma hepatikum, hiperkalemia, hiperkalsemia,

hipertensi dan uremia. Dialisis akut diperlukan bila terdapat kadar kalium yang

tinggi dan meningkat, kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang
mengancam, asidosis yang meningkat, perikarditis dan konfusi yang berat.

Dialisis kronis atau pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis dalam

keadaan berikut : (1) terjadi tanda dan gejala uremia yang mengenai seluruh

sistem tubuh (mual muntah, anoreksia berat, letargi, dan konfusi mental) ; (2)

kadar kalium serum yang meningkat ; (3) muatan cairan berlebih yang tidak

responsif terhadap terapi diuretik serta pembatasan cairan ; dan (4) penurunan

status kesehatan yang umum. Selain itu, terdengarnya suara gesekan

perikardium (pericardial friction rub) merupakan hasil aukultasi yang

merupakan indikasi yang mendesak untuk dilakukan dialisis untuk pasien gagal

ginjal kronis (Brunner & Suddarth, 2002).

- Hemodialisa

Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan

menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser). Dialiser ini

memiliki fungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan produk sisa

metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

pada pasien gagal ginjal (Black, 2005; Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi,

2011).

Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat

nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan

(Suharyanto, 2002). Tujuan hemodialisis yang lain yaitu mempertahankan

keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa, mengembalikan beberapa

manifestasi kegagalan ginjal yang irreversibel (Smeltzer & Bare, 2008; Black

& Hawk, 2009). Walaupun hemodialisis dapat mencegah kematian namun

demikian tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu


mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan

oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal (Sulistyaningsih, 2011).

Prinsip dari pelaksanaan hemodialisis adalah darah dikeluarkan dari

tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke dalam sebuah mesin

besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang dipisahkan oleh sebuah

membran semipermeabel. Darah dimasukkan ke salah satu ruang, sedangkan

ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis dan diantara keduanya akan terjadi

difusi. Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah pirau vena (Corwin,

2009).

Indikasi pemberian hemodialisa pada sindrom uremia, terlihat pada

laju GFR yang hanya tersisa sebesar 15% dari normal atau kurang dari 15

mL/mnt/1,73 m2. Kemudian dalam pemeriksaan laboratorium, ditandai dengan

peningkatan kadar ureum hingga lebih dari 200 mg/dL, kreatinin serum > 6

mEq/L, pH < 7,1 dan ditambah dengan timbulnya gejala-gejala klinis yang

nyata seiring dengan perburukan fungsi ginjal (Rahardjo dkk, 2006).

Proses hemodialisis yang dilakukan dalam waktu cukup lama setiap 1

kali prosesnya (3-4 jam) dapat menyebabkan jumlah cairan dan penggantian

solusi menjadi besar. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan yang besar

terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga berkontribusi terhadap

ketidakseimbangan hemodinamik. Ketidakseimbangan ini dapat ditandai

dengan hipotensi dan aritmia jantung. Komplikasi jenis ini dialami sekitar 20-

50% pasien hemodialisis (Reeves et.al, 2001).

- Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal dilakukan dengan cara menanamkan sampai 2 L

larutan glukosa isotonik atau hipertonik dalam rongga peritoneal pasien

melalui pemasangan kateter Silastic permanen. Terjadi ekuilibrium cairan,

melalui membran peritoneal seluas 2 m2 dengan darah di kapiler peritoneum.

Setelah beberapa jam cairan yang mengandung sisa buangan toksik ditarik

keluar. Prosedur ini diulangi tiga atau empat kali sehari. Kelebihan cairan

diambil oleh larutan hipertonik. Komplikasi utama adalah peritonitis, biasanya

akibat Staphylococcus epidermidis atau S.aureus (Rubenstein et.al, 2007).

b. Transplantasi ginjal

Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah

suatu terapi definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu

keadaan gagal ginjal yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi

cangkok ginjal ini adalah pencangkokan ginjal sehat ke dalam tunuh pasien.

ginjal sehat tersebut bisa didapatkan dari donor manusia yang sehat dan masih

hidup atau bisa juga dari donor yang baru saja meninggal. Permasalahan yang

paling sering dihadapi dalam cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan

dari tubuh pasien sebagai resepien terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke

dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal

yang paling cocok sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling

minimal. Setelah pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih harus

minum obat imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan reaksi penolakan

oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam tubuhnya (Aziz, 2008).

2.2 Konsep Dasar Hemodialisa


2.2.1 Definsi Hemodialisa

Hemodialisis (HD) merupakan prosedur tindakan untuk memisahkan

darah dari zat-zat sisa atau racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah

melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari

darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke

dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang

berarti memindahkan. Berikut adalah gambar tentang hemodialisa:

2.2.2 Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialisis adalah untuk mengmbil zat-zat nitrogen yang toksik

dari darah dan mengelurkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah

yang penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke

dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke

tubuh pasien.
2.2.3 Indikasi dan Kotraindikasi Dilakukan Hemodialisa

1) Indikasi

Panduan dari Kidney Disease Outcome Quality Intiative (KDOQI) tahun

2006 merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat dan risiko memulai

terapi pengganti ginjal (TPG) pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi

glomerulus (LFG) kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 (PGK tahap 5). Akan tetapi

terdapat bukti-bukti penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara

yang memulai dialisis dini dengan yang terlambat memulai dialisis (early versus

late dialysis).Olehkarena itu pada PGK tahap 5, inisiasi HD dilakukan apabila ada

keadaan sebagai berikut:

a. Hiperkalemia terhadap restriksi diet dan terapi farmakologis.

b. Asidosis metabolik terhadap pemberian terapi bikarbonat.

c. Hiperfosfatemia terhadap restriksi diet dan terapi pengikat fosfat.

d. Anemia terhadap pemberian eritroprotein dan besi.

e. Adanya penurunan kapasitas fungsional tanpa penyebab yang jelas.

f. Gangguan neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan psikiatri),

pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta

diathesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.

g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama disertai gejala mual dan

muntah.

2) Kontraindikasi

Kontraindikasi absolut untuk dilakukan hemodialisa adalah apabila tidak

didapatkannya akses vaskular.Kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukan


adanya kesulitan akses vaskular. Fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan

koagulopati. (Setiati dkk, 2014).

2.2.4 Komponen Hemodialisa

Terdapat lima komponen esensial pada hemodialisa yaitu: Mesin

hemodialisa, dialyzer, dialisat, akses vaskular dan sistem penyaluran darah

(Pusparini, 2000; Setiati dkk, 2014; Callaghan CO, 2007)

1) Mesin hemodialisa. Mesin hemodialisa merupakan mesin yang dibuat dengan

sistem komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang

penting untuk mencapai adekuasi hemodialisa.Mesin hemodialisa terdiri dari

pompa darah, sistem penyaluran dialisis, dan berbagai monitor pengaman.

2) Dialyzer. Dialyzer terdiri atas suatu alat plastik dengan fasilitas untuk

mengalirkan darah dan mendialisis kembali. Proses ini berupa pembilasan

berulang kompartemen darah dan dialisat dengan air, pembersihan dengan

bahan kimiawi disertai reverse infiltrationdari kompartemen dialisat ke

kompartemen darah, menguji patensi dialyzer, dan yang terakhir, disinfeksi

dialyzer.

3) Dialisat Konsentrasi kalium dalam dialisat mungkin bervariasi dari 0 sampai 4

mmol bergantung pada konsentrasi kalium plasma sebelum dialisis.

Konsentrasi kalsium dialisat dipusat-pusat dialisis AS biasanya adalah 1,25

mmol meskipun mungkin diperlukan modifikasi pada situasi-situasi tertentu.

Konsentrasi natrium dialisat yang lazim adalah 140 mmol/L. konsentrasi


natrium dialisat yang lebih rendah lebih berkaitan dengan peningkatan

frekuensi hipotensi, kram, mual, muntah, lesu, dan pusing. Pada pasien yang

sering mengalami hipotensi, selama proses dialisis, sering digunakan sodium

modelinguntuk mengimbangi gradient osmolar akibat urea.

4) Akses vaskular. Hemodialisa idealnya membutuhkan dua titik akses ke

sirkulasi: satu untuk mengeluarkan darah dan satu untuk mengembalikannya

dari mesin dialisis kedalam tubuh (Callaghan CO, 2007). Akses vaskular

dialisis diperlukan untuk memperoleh aliran darah yang cukup besar. Akses ini

dapat berupa fistula (arteri-vena) graft maupun kateter intravena yang

berfungsi untuk mengalirkan darah saat hemodialisa. Fistula dibuat dengan

melakukan anastomosis arteri ke vena (misalnya fistula brescia-cimino dimana

dibuat anastomosis end ti side dari vena sefalika dan arteri radialis) sehingga

terbentuk suatu arterialisasi dari vena. Hal ini memungkinkan untuk

dilakukannya penusukan jarum yang besar kedalam sirkulasi sehingga dapat

mengalirkan darah sampai lebih dari 300 ml/menit fistula memiliki patensi

jangka panjang paling lama diantara semua pilihan akses dialisis. Di Amerika

Serikat bayak pasien dipasang graft arteriovenosus (yaitu interposisi bahan

prostetik, biasanya politetraflouroetilen, diantara arteri dan vena).

5) Sistem Penyaluran Darah . Sistem penyaluran darah terdiri dari sirkuit

ekstrakorporeal didalam mesin dan akses dialisis.Pompa darah mengalirkan

darah dari tempat akses, melalui dialyzer, dan kembali ke pasien.Kecepatan

aliran darah dapat berkisar dari 250-500 mL/menit, terutama bergantung pada

jenis dan integritas akses vaskular.Tekanan hidrostatik negatif di sisi dialisat

dapat dimanipulasi untuk memperoleh ultrafiltrasi atau pengeluaran cairan


sesuai keinginan.Membran dialisis memiliki berbagai koefisien ultrafiltrasi

sehingga bersama dengan perubahan hidrostatik, pengeluaran cairan dapat

diubah-ubah.Sistem penyalur larutan dialisis mengencerkan dialisat pekat

dengan air dan memantau suhu sifat hantaran, dan aliran dialisat.

2.2.5 Proses Hemodialisa

HD adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan

selaput membran semipermeabel (dialiser), yang berfungsi sebagai nefron

sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2005;

Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi, 2011).

Sistem HD terdiri dari sistem vaskuler eksternal yang akan dilewati saat

darah pasien di transfer ke dalam sistem pipa polietilena steril menuju ke filter

dialisis/ dialiser menggunakan pompa mekanik. Darah pasien akan ditransfer

menuju sistem vaskuler eksternal tersebut melalui akses vaskuler, yang

merupakan akses permanen ke aliran darah untuk HD (Dipiro et al, 2011).

Akses vaskuler dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu

arteriovenous (AV) fistula, AV graft, dan venous catheters. AV fistula dibuat

dengan cara anastomosis vena dan arteri (idealnya arteri radialis dan vena sefalika

di lengan bawah). AV fistula membutuhkan waktu lebih kurang 1 sampai 2 bulan

sebelum dapat secara rutin digunakan untuk dialisis. Sedangkan AV graft sintetik,

yang merupakan pilihan lain untuk akses AV permanen, biasanya menggunakan

polytetrafluoroethylene (PTFE) sebagai penghubung. Secara umum memerlukan


waktu sekitar 2-3 minggu sebelum dapat digunakan secara rutin. Venous catheters

merupakan akses vaskuler yang sering digunakan pada pada pasien HD kronik.

Venous catheters dapat ditempatkan di vena femoralis, vena subklavia, atau vena

jugularis interna (Dipiro et al, 2011).

Setelah masuk ke dalam sistem vaskuler eksternal, darah pasien akan

diinjeksikan dengan antikoagulan sistemik (heparin) dan kemudian akan melewati

dialiser. Dialiser adalah tempat dimana darah dan cairan dialisis (dialisat), yang

terdiri dari air murni dan elektrolit, bertemu dan terjadi pergerakan molekul antara

dialisat dan darah melalui membran semipermeabel. Terdapat dua mekanisme

pengangkutan zat terlarut melewati membran semipermeabel, yaitu difusi dan

ultrafiltrasi (konveksi) (Daugirdas et al, 2007).

1) Difusi

Proses difusi pada HD berfungsi untuk membuang produk limbah yang

terdapat dalam darah. Akibat perbedaan konsentrasi antara darah dan dialisat akan

menyebabkan produk limbah dalam darah, yang mempunyai konsentrasi tinggi,

bergerak melewati membran menuju dialisat yang mempunyai konsentrasi lebih

rendah. Jika darah dan dialisat dibiarkan dalam kedaan statis satu sama lain

melalui membran, konsentrasi produk limbah dalam dialisat akan menjadi sama

dengan yang di dalam darah, dan pembuangan lebih lanjut dari produk limbah

tidak akan terjadi. Oleh karena itu, selama proses HD, untuk mencegah

konsentrasi kesetimbangan, gradien konsentrasi antara darah dan dialisat harus

dimaksimalkan dengan terus mengisi kompartemen dialisat dengan cairan dialisis

segar dan mengganti darah dialisis dengan darah yang belum terdialisis. Biasanya

arah aliran dialisat dipompa ke dialiser berlawanan dengan arah aliran darah, hal
ini berguna untuk memaksimalkan perbedaan konsentrasi antara produk limbah

dengan dialisat (Daugirdas et al, 2007).

Proses difusi merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang

disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan

dialisat. Perpindahan molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke yang

berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD pergerakan molekul/zat ini melalui suatu

membrane semi permeable yang membatasi kompartemen darah dan

kompartemen dialisat. Proses difusi dipengaruhi oleh:

a. Perbedaan konsentrasi

b. Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu keluar).

c. OB (blood pump)

d. Luas permukaan membrane

e. Temperature cairan

f. Proses konvektik

g. Tahanan/resistensi membrane

h. Besar dan banyaknya pori pada membrane

i. Ketebalan/permeabilitas dari membrane.

Factor-faktor diatas menentukan kliners dialiser. Klirens suatu dialyzer

adalah kemampuan dialyzer untuk mengeluarkan zat-zat yaitu jumlah atau

banyaknya darah yang dapat dibersihkan dari suatu zat secara komplit oleh suatu

dialyzer yang dinyatakan dalam ml/mnt.

2) Proses Osmosis
Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena adanya

perbedaan tekanan osmotic (osmolalitas) darah dan dialisat. Proses osmosis ini

lebih banyak ditemukan pada peritoneal dialysis.

3) Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi selama HD diperlukan untuk mengeluarkan akumulasi air,

baik yang berasal dari konsumsi cairan maupun metabolisme makanan selama

periode interdialitik. Ultrafiltrasi terjadi ketika air didorong oleh tekanan

hidrostatik ataupun tekanan osmotik melalui membran. Air akan terbawa bersama

dengan zat terlarut yang melalui pori-pori membran (Daugirdas et al, 2007).

Setelah terjadi proses HD di dalam dialiser, maka darah akan

dikembalikan ke tubuh pasien. Sedangkan dialisat yang telah berisi produk limbah

yang tertarik dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis dengan cairan

pembuang yang disebut ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh

yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama HD akan semakin

optimal (Depkes, 1999; Brunner & Suddarth, 2001; Black, 2005 dalam Septiwi,

2011).

Pada proses HD, darah pasien dipompakan ke dializer dengan kecepatan

300-600 ml/menit. Sedangkan dialisat dipompakan dengan kecepatan 500-1000

ml/menit. Laju pemindahan cairan dari pasien dikontrol dengan cara

menyesuaikan tekanan dalam kompartemen dialisat (Dipiro et al, 2011).


Gambar 1. Prinsip Kerja HD (Dipiro et al, 2011)

Proses ultrafiltrasi adalah berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane

semi permeable akibat perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah

dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik/ultrafiltrasi adalah yang memaksa

air keluar dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Besar tekanan ini

ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen darah (positif pressure) dan

tekanan negative dalam kompartemen dialisat (negative pressure) yang disebut

TMP (trans membrane pressure) dalam mmHg. Perpindahan dan kecepatan

berpindahnya dipengaruhi oleh:

a. TMP

b. Luas permukaan membrane

c. Koefisien ultra filtrasi (KUF)

d. Qd dan QB

e. Perbedaan tekanan osmotic.

2.2.6 Dosis Hemodialisa


Sampai tahun 1970-an para dokter spesialis dalam bidang ginjal

menentukan dosis hemodialisa atas dasar pertimbangan klinis saja, bahkan lebih

memperhatikan pengeluaran air dibandingkan usaha untuk mengeluarkan sisa

metabolisme. Efisiensi dialisis ditentukan oleh laju aliran darah dan dialisat

melalui dialyzer yang sesuai dengan karakteristik dialyzer.

Panduan hemodialisa dari Inggris menyatakan hemodialisa minimal adalah

3 kali seminggu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hemodialisa yang

semakin sering lebih efektif dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (Setiati

dkk, 2014).

2.2.7 Manfaat Hemodialisa

Sebagai terapi pengganti ginjal, hemodialisa mempunyai manfaat

(Jamenson dkk, 2013):

1) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.

2) Membuang kelebihan air.

3) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

4) Memperbaiki status kesehatan penderita.

5) Membuang urea, kreatinin, dan asam urat.

2.2.8 Efek Samping Hemodialisa

Efek samping dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat

dilakukan terapi adalah (Sudoyo dkk, 2009; Widyastuti dkk, 2014; Jamenson dkk,

2013)

1) Hipotensi. Hipotensi disebabkan oleh ultrafiltrasi dengan jumlah besar disertai

mekanisme kompensasi pengisian vaskular yang tidak adekuat, gangguan


respon vasoaktif atau otonom, osmolar shift, pemberian antihipertensi yang

berlebihan dan menurunnya kemampuan pompa jantung.

2) Kram otot. Kram otot disebakan oleh gangguan perfusi otot karena

pengambilan cairan yang agresif dan pemakaian dialisat rendah sodium.

Beberapa strategi yang dipakai untuk mencegah kram otot adalah mengurangi

jumlah volume cairan yang diambil saat hemodialisa, melakukan profiling

ultrafiltrasi, dan pemakaian dialisat yang mengandung kadar natrium tinggi

atau modeling natrium.

3) Mual dan Muntah. Mual dan muntah pada pasien penyakit ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa disebabkan oleh penurunan kadar asam amino dan

ketidakseimbangan cairan. Kedua hal tersebut akan menyebabkan pasien

mengalami penurunan nafsu makan dan asupan nutrisi akan berkurang.

Kurangnya asupan nutrisi khususnya protein akan berdampak langsung dengan

proses sintesa IgA. Hal ini akan mempengaruhi kualitas saliva sebagai alat

mekanisme pertahanan rongga mulut sehingga memudahkan bakteri untuk

berkolonisasi dan terjadinya penyakit periodontal.

4) Reaksi hipersensitif. Reaksi hipersensitif terhadap dialyzer, terutama pada

pemakaian pertama, sering dilaporkan terjadi pada membran biokompatibel

yang mengandung selulosa. Reaksi terhadap dialyzer dapat dibagi menjadi dua

tipe, yaitu A dan B. pada reaksi tipe A terjadi reaksi hipersensitivitas

intermediate yang diperantarai ole IgE terhadap etilen oksida yag dipakai untuk

sterilisasi dialyzer yang baru. Reaksi tipe B terdiri atas kumpulan gejala dari

nyeri dada dan punggung yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh

aktivasi komplemen dan pelepasan sitokin.


2.2.9 Adekuasi Hemodialisa

Menurut Konsensus Pernefri (2003) untuk mencapai adekuasi HD

diperlukan dosis 10-12 jam perminggu yang dapat dicapai dengan frekuensi HD 2

kali/minggu dengan lama waktu 5 jam atau 3 kali/minggu dengan lama waktu 4

jam. Dalam penelitian ini, dikatakan pasien HD reguler adalah sesuai dengan

pengertian diatas, yaitu pasien yang menjalani HD minimal 2 kali/minggu dengan

lama waktu 5 jam.

2.2.10 Penatalaksanaan Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Jangka

Panjang

1) Diet dan asupan cairan.

Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis

mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu

mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini

akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin

yang di kenal dengan gejala uremik.

2) Pertimbangan medikasi.

Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.

Pasien yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk

memastikan agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat

dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

2.2.11 Komplikasi Hemodialisa

1) Hipertensi dapat terjadi selama terapi dialisis disebabkan kelebihan cairan,

syndrome diseqilibrium, dan respon renin terhadap ultrafiltrasi

2) Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.


3) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika

udara memasuki sistem vaskuler pasien.

4) Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya

sirkulasi darah di luar tubuh.

5) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme

meninggalkan kulit.

6) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral

dan muncul sebagai serangan kejang.

7) Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat

meningglkan ruang ekstrasel.

8) Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

a. Keluhan

Klien dengan hemodialisis biasanya mengeluhkan: Lemas, pusing, gatal,

baal-baal, bengkak-bengkak, sesak, kram, BAK tidak lancar, mual, muntah,

tidak nafsu makan, susah tidur, berdebar, mencret, susah BAB, penglihatan

tidak jelas, sakit kepala, nyeri dada, nyeri punggung, susah berkonsentrasi,

kulit kering, pandangan gelap, nyeri otot, nyeri pada penusukkan jarum,

rembes pada akses darah, keringat dingin, batuk berdahak/tidak.

b. Riwayat Kesehatan Saat Ini


Riwayat Pengembangan Keluhan Utama dengan perangkat PQRST dan

pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

Menanyakan adanya riwayat infeksi saluran kemih, infeksi organ lain,

riwayat kencing batu/obstruksi, riwayat konsumsi obat-obatan, jamu, riwayat

trauma ginjal, riwayat penyakit endokrin, riwayat penyakit kardiovaskuler,

riwayat darah tinggi, riwayat kehamilan, riwayat dehidrasi, riwayat trauma.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Menanyakan riwayat polikistik, diabetes, hipertensi, riwayat penyakit ginjal

yang lain. Cantumkan genogram min. tiga generasi.

e. Pemeriksaan Fisik

Aktivitas istirahat/tidur

o Lelah,, lemah atau malaise

o Insomnia

o Tonus otot menurun

o ROM berkurang

Sirkulasi

o Palpitasi, angina, nyeri dada

o Hipertensi, distensi vena jugularis

o Disritmia

o Pallor

o Hipotensi/hipertensi, nadi lemah/halus

o Edema periorbital-pretibial

o Anemia
o Hiperlipidemia

o Hiperparatiroid

o Trombositopeni

o Pericarditis

o Aterosklerosis

o CHF

o LVH

Eliminasi

o Poliuri pada awal gangguan ginjal, olguri dan anuri pada fase lanjut

o Disuri, kaji warna urin

o Riwayat batu pada saluran kencing

o Ascites, meteorismus, diare, konstipasi

Nutrisi/cairan

o Edema, peningkatan BB

o Dehidrasi, penurunan BB

o Mual, muntah, anorexia, nyeri ulu hati

o Efek pemberian diuretic

o Turgor kulit

o Stomatitis, perdarahan gusi

o Lemak subkutan menurun

o Distensi abdomen

o Rasa haus

o Gastritis ulserasi

Neurosensor
o Sakit kepala, penglihatan kabur

o Letih, insomnia

o Kram otot, kejang, pegal-pegal

o Iritasi kulit

o Kesemutan, baal-baal

Nyeri/kenyamanan

o Sakit kepala, pusing

o Nyeri dada, nyeri punggung

o Gatal, pruritus,

o Kram, kejang, kesemutan, mati rasa

Oksigenasi

o Pernapasan kusmaul

o Napas pendek-cepat

o Ronchi

Keamanan

o Reaksi transfuse

o Demam (sepsis-dehidrasi)

o Infeksi berulang

o Penurunan daya tahan

o Uremia

o Asidosis metabolic

o Kejang-kejang

o Fraktur tulang

Seksual
o Penurunan libido

o Haid (-), amenore

o Gangguan fungsi ereksi

o Produksi testoteron dan sperma menurun

o Infertile

f. Pengkajian Psikososial

o Integritaqs ego

o Interaksi social

o Tingkat pengetahuan tentang penyakit dan penatalaksanaannya

o Stress emosional

o Konsep diri

g. Laboratorium

o Urine lengkap

o Darah lengkap meliputi: Hb,Hct, L, Trombosit, LED, Ureum pre dan post,

kreatinin pre dan post, protein total, albumin, globulin, SGOT-SGPT,

bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium, natrium,

klorida, gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin serum, pth, vit D,

kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag, antiHCV, anti

HIV, CRP, astrup:pH/P02/pC02/HCO3

o Biasanya dapat ditemukan adanya: anemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia,

hipokalsemi, ureumikum, kreatinin meningkat, pH darah rendah, GD klien

DM menurun

h. Radiologi
o Ronsen, Usg, Echo: kemungkinan ditemukan adanya gambaran

pembesaran jantung, adanya batu saluran kencing/ginjal, ukuran korteks,

gambaran keadaan ginjal, adanya pembesaran ukuran ginjal, vaskularisasi

ginjal.

o Sidik nuklir dapat menentukan GFR

i. EKG

o Dapat dilihat adanya pembesaran jantung, gangguan irama, hiperkalemi,

hipoksia miokard.

j. Biopsi

o Mendeteksi adanya keganasan pada jaringan ginjal

2.3.2 Masalah Keperawatan

a. Hipervolemia

b. Intoleransi aktivitas

c. Gangguan integritas kulit

d. Hipertermi

2.3.3 Intervensi Keperawatan

a. Hipervolemia

Tujuan : Setelah diberi tindakan keperawatan selama 4 jam diharapkan

volume cairan normal, dengan kriteria hasil :

1. Tangan tidak ada edema

2. BAK normal

3. Intake output cairan baik / seimbang

4. TTV normal

Intervensi :
Observasi

1. Observasi vital sign

Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien

2. Periksa tanda dan gejala hipervolemia

Rasional : mencegah terjadiya edema dan komplikasi

3. Identifikasi penyebab hipervolemia

Rasional : untuk memberikan tindakan yang sesuai

4. Monitor intake output cairan

Rasional : intake output yang seimbang mencegah edema dan poliuria

Terapeutik

1. Timbang BB setiap hari pada waktu yang sama

Rasional : untuk mengetahui jika ada hipervolemia

2. Batasi asupan cairan dan garam

Rasional : mencegah terjadinya edema

3. Tinggikan tempat tidur 30-40 derajat

Rasional : menghindari sesak napas dan memberikan posisi yang

nyaman

Edukasi

1. Anjurkan cara membatasi cairan dan garam

Rasional : agar pasien mengetahui manajemen diit makanan yang tepat

2. Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam

Rasional : mencegah terjadinya hipovolemia dan supaya segera diberi

tidakan medis jika terjadi hipovolemia

3. Anjurkan melapor jika BB >1 kg dalam sehari


Rasional : agar segera diberi tindakan medis dan mencegah terjadinya

komplikasi

Kolaborasi

1. Kolaborasi untuk tindakan hemodialisa

Rasional : hemodialisa mengeluarkan toksik nitrogen dalam darah dan

mengeluarkan air yang berlebihan

2. Kolaborasi pemberian diuretik

Rasional : mencegah hiervolemia

3. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium

Rasional : kalium membantu sel, ginjal, jantung, otot, saraf berfungsi

dengan baik.

b. Intoleransi aktivitas

Tujuan : Setelah diberi tindakan keperawatan selama 4 jam diharapkan

pasien memiliki kecukupan energi untuk beraktifitas, dengan kriteria hasil :

1. Pasien tidak lemah

2. Keadaan umum baik

3. Mudah beraktifitas

4. TTV normal

Intervensi :

Observasi

1. Memonitor vital sign

Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien

2. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan

Rasional : untuk mengetahui penyebab dari kelelahan pasien


Terapeutik

1. Sediakan lingkungan yang nyaman, rendah stimulus

Rasional : supaya memberikan kenyamanan bagi pasien

2. Lakukan rentang gerak pasif / aktif

Rasional : meningkatkan kemampuan aktivitas gerak pasien

Edukasi

1. Jelaskan tentang kondisi penyakit kepada pasien

Rasional : Supaya pasien mengetahui tentang informasi dan cara

mengatasi penyakitnya

2. Anjurkan tirah baring dan melakukan aktivitas secara bertahap

Rasional : mengurangi kelelahan

Kolaborasi

1. Kolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian obat dan vitamin

Rasional : untuk mengobati masalah kesehatan pasien dn meningkatkan

energi tubuh

2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan asupan makanan

Rasional : makanan yang bergizi dapat meningkatkan energi.

c. Gangguan integritas kulit

Tujuan : Setelah diberi tindakan keperawatan selama 4 jam diharapkan

kerusakan integritas kulit berkurang (membaik), dengan kriteria hasil :

1. Elastisitas dan hidrasi kulit meningkat.

2. Kerusakan jaringan atau lapisan kulit menurun

3. TTV normal

Intervensi :
Observasi :

1. Observasi vital sign

Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien

2. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit

Rasional : supaya dapat memberikan perawatan yang tepat

Terapeutik

1. Gunakan produk berbahan petrolium / minyak pada kulit kering

Rasional : memberikan kelembapan pada kulit

2. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering

Rasional : mencegah agar kulit tidak kering dan mencegah kerusakan

kulit

Edukasi :

1. Anjurkan menggunakan pelembab (misal : lotion)

Rasional : memberi kelemabapan pada kulit

2. Anjurkan minum cukup

Rasional : meningkatkan hidrasi kulit

3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi, buah dan sayur

Rasional : meningkatkan elastisitas kulit


I. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi Evaluasi formatif SOAPIE PARAF
/Catatan perkembangan
waktu Dx 1 waktu Dx 2 Dx 1 Dx2
16/09/ 1. Mengambil sampel 16/09/ 1. Mengkaji tingkat S: Pasien mengatakan terdapat S: Px mengatakan badan lemas
2019 darah (sudah dicek 2019 kelelahan saat pasien kelemahan pada ekstremitas bawah terutama pada kedua tungkai dan
sebelum px masuk HD berjalan, tidur ± 4jam dan atas tangan
dan di tinjau hasil selama di ruang HD O: Pasien tampak, oedem tungkai O: Px sedang dilakukan tindakan
serum kreatinin, 2. Mengkaji ulang dan tangan, BUN dan kreatin dialisis, kebutuhan dibantu
natrium, kalium, HB, kemampuan toleransi meningkat sepenuhnya oleh anak dan istri
BUN) sebelum aktivitas : pasien tidak TD: 130/90 mmHg, N: 90 x/menit, px
memulai perawatan. mampu melakukan RR: 20x/menit, S: 38oC A: Masalah belum teratasi
2. Mencatat TTV : BB, kebersihan diri dan A: Masalah belum teratasi P: Intervensi dilanjutkan
TD, RR, Nadi, Suhu makan secara mandiri P: Intervensi dilanjutkan I: Mengkaji kemampuan px dan
3. Menjelaskan prosedur selama perawatan di I: Melakukan prosedur dialisis rutin mempertahankan kemampuan
hemodialisa dan rumah sakit 2x seminggu yang bisa dilakukan
tujuannya. 3. Membantu dan E: Terjadi kelebihan volume cairan E: Kemampuan pasien dalam
4. Menyiapkan dan mengedukasi pasien yang ditandai dengan penumpukan aktivitas dibantu sepenuhnya
memeriksa peralatan dalam memilih cairan pada tungkai oleh keluarga dan pembatasan
dan cairan sesuai aktivitas sesuai aktivitas.
prosedur kemampuan
5. Melakukan tehnik steril 4. Melakukan kolaborasi
untuk memulai pemberian transfusi 1
hemodialisa bag.
6. Mengobservasi TTV
selama tindakan dialisis
7. Mengajarkan px untuk
memantau sendiri tanda
dan gejala yang
mengindikasikan
perlunya perawatan
medis (misalnya
demam, perdarahan)
BAB 4

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gagal ginjal kronik adalah kondisi dimana ginjal mengalami penurunan


fungsi secara lambat, progresif, ireversibel dan samar (insidious) dimana
kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia, (Smeltzer,
2009).

GGK atau CKD (Chronic Kidney Disease) dapat ditandai dengan hasil lab
yaitu ureum kreatinin yang meningkat lebih tinggi dari normal dan adanya
penurunan GFR, terdapa odem pada ekstrimitas sampai anasarka dan biasanya
klien mengalami kelelahan.

Perawatan yang dapat dilakukan untuk menangani masalah keperawatan


disesuaikan dengan prioritas masalah yang dialami klien selama perawatan di
ruang HD. Yang paling penting dari perawatan dari pasien GGK adalah
membatasi jumlah asupan cairan yang masuk untuk memperingan kerja ginjal
yang memang sudah mengalami penurunan fungsi dalam menyaring cairan
dan mengedarkan nya ke seleuruh tubuh.

B. Saran

Pada klien perawatan pada gagal ginjal kronik untuk mengatasi masalah
yang muncul pada pengkajian seperti adanya keluhan sesak nafas, demam, bak
yang sedikit, odema, sampai penurunan kesadaran. Perlu juga melakukan
perawatan dalam menjaga asupan cairan pada klien agar tidak memperberat
fungsi ginjal. Diperlukan juga adanya dukungan keluarga untuk memotivasi
klien agar melakukan cuci darah transplantasi ginjal ataupun menjaga asupan
cairan yang masuk kedalam tubuh klien penderita ggk. Jaga juga pola makan
sesuai diet yang di anjurkan oleh dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2


Jakarta : EGC

Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Alih bahasa:


Kariasa,I.M. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting
patients care. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

GInting, Ananda Wibawanta. 2010. Hipotensi IntraDialisis. Medan: Divisi


Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H. Adam
Malik / RSU. Dr. Pirngadi Medan.

Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach.


Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli
diterbitkan tahun 1989)

Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media


Aesculapius.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology:
Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Alih bahasa : Setyono, J. 2001. Medical –
surgical nursing. Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Tim Pokja SDKI. 2017. Buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI. 2018. Buku Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta :
DPP PPNI.

Tim Pokja SLKI. 2019. Buku Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta :
DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai