Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Penelitian


Caldeton dan Gonzales (1993);Chapter 1, hal 3-10 belum ditik

Penelitian, atau penggunaan metode ilmiah secara terancang dan sistematis,


atau kegiatan penelaahan secara ilmiah, tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan
ilmu pengetahuan, baik bagi ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) maupun bagi
ilmu-ilmu sosial (sosial sciences). Dikatakan demikian, karena ilmu pengetahuan
sebagai produk (a body of organized and verified knowledge), sebagaimana
dinyatakan Harton dan Hunt, jelas merupakan hasil penelahaan atau investigasi
ilmiah. Artinya, pertumbuhan ilmu pengetahuan, dari awal mulanya hingga sekarang
ini, adalah berkat andil kegiatan penelitian yang selama ini dilakukan oleh para
ilmuwan; penelitian merupakan metode andalan para ilmuwan, yang selama ini
digunakan untuk menyingkap “rahasia dunia alam” dan “rahasia dunia sosial”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan, baik mengenai alam
maupun sosial, berkepentingan dengan penemuan pengetahuan-pengetahuan baru
yang kebenarannya teruji secara ilmiah; wujudnya berupa dalil, teori, atau generalisasi
mengenai “dunia alam” atau “dunia sosial”. Dengan semakin banyak dalil, teori, atau
generalisasi yang ditemukan (melalui hasil penelitian atau penelitian ilmiah), akan
semakin banyak pula “rahasia” yang bisa tersingkap. Karenanya, penelitian
merupakan semacam “pisau bedah” untuk dapat menyingkap kenyataan-kenyataan
alam dan sosial yang belum tersingkap.
Disebut menyingkap kenyataan-kenyataan alam dan sosial, karena setiap dalil,
teori atau generalisasi yang ditemukan, pada dasarnya merupakan himpunan
pengetian yang menjelaskan (explanation) sesuatu gejala atau fenomena (mengenai
“dunia alam” dan “dunia sosial”) yang dalam kenyataannya bersifat tertib dan teratur
(suatu regularity atau regularitas); misalnya manakala tekanannya dipertahankan
konstan, maka naik-turunnya suhu suatu gas akan menyebabkan mengembang atau
menyusutnya volume gas bersangkutan (kalau suhunya naik, volumenya akan
mengembang, dan bila suhunya diturunkan, volumenya akan menyusut). Contoh
lainnya seperti: dalam dalam ilim pasar bebas, harga sesuatu komoditi akan turun
manakala penawaran banyak sedangkan permintaan sedikit, dan begitu pula
sebaliknya. Kedua contoh tadi, sama-sama menjelasakan suatu gejala. Contoh
pertama menjelaskan “mengapa” volume sesuatu gas mengembang atau menyusut.
Sedangkan contoh kedua menjelaskan “mengapa” harga sesuatu komoditi naik atau
turun.
Kegiatan penelitian yang dilakukan para ilmuwan untuk menyingkap
regularitas, baik dalam “dunia alam” maupun “dunia sosial”, bertumpu pada suatu
asumsi, bahwa sesuatu gejala tidaklah berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi atau
disebabkan oleh satu atau beberapa faktor. Dengan kata lain, sesuatu gejala, dianggap
mesti ada faktor antesendennya(antecendent), yang mendahului atau menyebabkan.
Gejala seperti demam, rendah diri, kemiskinan, kilatan petir, padamnya listrik,
mogoknya kendaraan bermotor, rendahnya prestasi belajar dan lain sebagainya,
kesemuanya bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan
dengan satu atau beberapa gejala lainnya; terjadi atau munculnya suatu fenomena oleh
karena adanya suatu gejala atau fenomena tertentu. Hal yang demikian itu
berlangsung teratur dan tertib bukan sesatu sekonyong-konyong, dan bukan sesuatu
yang “ajaib” tanpa penyebab).
Reguralitas yang dianggap masih “tersembunyi”, atau masih belum bisa
dijelaskan berdasarkan bukti-bukti ilmiah, merupakan masalah yang menjadi sasaran
atau objek telahaan ilmiah; merupakan sasaran atau objek “buruan dan bidikan” para
peneliti keilmuan. Dari hasil penelitiannya, ahli kimia misalnya, dapat menyatakan
bahwa “bila campuran potasium khlorat dan mangan diogsida dipanaskan, akan
timbul oksigen”. Ahli sosiologi dapat menyatakan bahwa pada kelompok-kelompok
utama atau primary group (seperti keluarga atau klik), keintiman dan ikatan
emosional antarwarganya akan lebih tinggi dibandingkan dengan warga kelompok-
kelompok sekunder. Ahli ilmu politik, sesuai dengan hasil penelitiannya, bisa
menyatakan bahwa “rakyat akan bertingkah laku membebek kepada keputusan-
keputusan politik, manakala kepercayaan rakyat terhadap pemimpin politik sangat
tinggi, sementara kesadaran politik rakyat sangat rendah”.
Contoh yang ditemukan oleh ahli Ilmu Kimia, ahli sosiologi, dan ahli Ilmu
Politik tadi, sebenarnya hanya merupakan hasil penyingkapan terhadap apa yang telah
berlangsung secara tertib dan teratur (regularitas) dalam “dunia alam” dan “dunia
sosial”; ditemukan atau tidak, hal tersebut tetap demikian adanya dalam kenyataan.
Karena regularitas dalam “dunia alam” dan “dunia sosial” itu bersifat tertib dan
teratur (bersifat “taat hukum”), bila ia berhasil diketahui atau ditemukan, akan
memungkinkan manusia meramalkan apa yang bakal terjadi; dan pada gilirannya,
akan memungkinan manusia untuk melakukan pengendalian terhadap gejala-gejala
alam dan sosial yang telah diketahui tabiat atau regularitasnya. Hal tersebut sekaligus
menunjukkan tujuan, kegunaan, dan kekuatan Ilmu Pengetahuan; mampu melakukan
eksplanasi, prediksi, dan pengendalian; dan itu dimungkinkan berkat kegiatan
penelitian atau penelaahan ilmiah.
Sebelum berkembangnya pendekatan sistematis secara ilmiah (penggunaan
metode ilmiah), para ahli fikir menelaah “dunia alam” dan “dunia sosial” dengan
menggunakan berfikir murni semata-mata; atau mengandalkan pengujian logis
semata-mata. Metode penelaahan yang demikian itu, lazim disebut dengan metode
filsafat atau pendekatan meta empiris. Dalam hubungan ini, dikenal tiga tradisi, yaitu
tradisi Barat yang eksterioritis, tradisi Timur (India) yang interioritis, dan tradisi
Timur (Tiongkok) yang inter-interiotis. Tradisi eksterioristis, tekanan perhatiannya
pada dunia makro kosmos; lebih mencurahakan perhatian pada pemikiran mengenai
makro kosmos. Sedangkan tradisi interioristis, lebih mencurahkan mengenai mikro
kosmos atau diri manusia itu sendiri. Adapun tradisi inter-interioristis perhatiannya
lebih dicurahkan pada pemikiran mengenai hubungan antarmanusia.
Dalam sejarah pertumbuhan Ilmu Pengetahuan, tradisi Barat yang
tereksteoristis disebut sebagai asal mula berkembangnya kecenderungan penggunaan
metode ilmiah; pengilham munculnya upaya penelaahan secara lebih rinci, rasional,
dan empirik terhadap makro kosmos. Karenanya, bisa dimengerti, mengapa
Astronomi, Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, dan Biologi menempati urutan permulaan
(secara berurutan) dalam sejarah perkembangan Ilmu Pengetahuan. Sedangkan ilmu-
ilmu sosial, baru muncul dan berkembang kemudian, yaitu setelah tradisi telaah
ilmiah mengenai “dunia alam” berlangsung ratusan tahun lamanya.
Tradisi penelaahan ilmiah, atau penggunaan metode ilmiah dalam menelaah
sesuatu objek, apakah mengenai gejala alam ataukah gejala sosial, barulah dapat
dilakukan dan menghasilkan generalisasi atau teori, manakala objek yang ditelaah
bisa diobservasi (diamati) serta berlangsung tertib dan teratur. Dalam hubungan ini,
pada mulanya “dunia sosial” dianggap tidak tertib, tidak teratur, dan tidak tentu
gejala-gejala atau tingkah lakunya. Lain halnya dengan gejala fisik dan biologis
(dunia alam) yang dianggap “taat hukum”, tertib, teratur, mekanik, dan serba pasti;
muncul atau tidak munculnya sesuatu gejala alam, dianggap berlangsung tertib dan
teratur, bukan sekonyong-konyong dan tanpa sebab yang pasti.
Bertolak dari anggapan atau asumsi yang demikian itu, para perintis ilmu-ilmu
kealaman (dan juga generalisasi penerusnya hingga sekarang ini), secara terancang
dan sistematis menelaah gejala-gejala fisik dan biologis dalam “dunia alam”. Berbagai
macam teori tentang dunia fisik dan dunia biologis telah berhasil mereka temukan.
Kemajuan teknologi yang dicapai ummat manusia sekarang (yang demikian “ajaib”
dan menakjubkan), adalah berkat andil dari teori-teori kealaman yang mereka
temukan, energi atom misalnya, tidak akan mungkin dijinakkan atau dikendalikan
oleh teknologi masa kini, apabila tidak ditemukan teori-teori tentang sifat massa dan
energi serta struktur atom itu sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya
penelitian atau penelaahan ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan kealaman selama
ini.
Mengenai “dunia sosial”, seperti disebutkan tadi, pada mulanya dianggap tidak
tertib, tidak teratur, dan tidak tentu gejala-gejala atau tingkah lakunya, sehingga
dinilai mustahil bisa menemukan dan membangun teori yang berkenaan dengan gejala
sosial; jadi tak dapat ditelaah secara ilmiah sebagaimana halnya gejala-gejala alam.
Anggapan bahwa “dunia sosial” juga berlangsung tertib dan teratur sebagaimana
halnya “dunia alam”,baru diintrodusir oleh Auguste Comte (1798-1857); dan
penggunaan metode ilmiah secara luas dalam menelaah gejala-gejala sosial baru
berkembang dalam abad ke-20 ini. Mengingat masih mudanya usia penelaahan ilmiah
terhadap “dunia sosial”, dan gejala sosial itu sendiri jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan gejala alam, prestasi penemuannya masih belum dapat
disebandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu kealaman; terutama
mengenai kekuatan eksplanasi, prediksi, dan pengendalian teori-teorinya.
Apa pun yang telah dicapai dan ditemukan hingga sekarang ini, baik dalam
penelaahan terhadap “dunia alam” maupun “dunia sosial”, yang jelas, masih tersisa
demikian banyak masalah dan gejala yang belum tersingkap. Objek penelitian masih
terbentang luas; malah dari setiap penelitian, akan memunculkan satu atau beberapa
masalah baru yang memerlukan penelitian. Dengan begitu, bangunan pengetahuan
dan akumulasi pengetahuan ilmiah akan tetap menjadi tantangan dan kebutuhab untuk
ditumbuhkan dan dikembangkan; jalannya melalui penelitian atau penelaahan ilmiah.
Teori serta hasil-hasil penelitian mengenai sesuatu masalah, dapat menjadi
landasan untuk memasalahkan atau mempertanyakan sesuatu masalah baru, dan
begitu seterusnya. Bila demikian halnya, pertumbuhan ilmu pengetahuan akan
berkembang laksana spiral, di mana penemuan-penemuan baru bertolak dari dan
untuk memekarkan atau memperkaya penemuan-penemuan. (Faisal, 2001. hal 11-16)

Eksistensi Penelitian Dalam Ilmu Pengetahuan (Bungin (2005): Bab I, hal 3-6)
Penelitian (riset) dan ilmu pengetahuan bagaikan dua sisi dari satu mata uang,
penelitian dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari satu sama lainnya.
Penelitian ilmiah digunakan untuk kebutuhan ilmu pengetahuan. Sebaliknya ilmu
pengetahuan tidak akan berkembang apabila meninggalkan tradisi penelitian ilmiah.
Posisi simbiosemutualistis ini memberi konsekuensi bahwa penelitian dan ilmu
pengetahuan berada dalam satu sistem ilmiah,dan keduanya sama-sama membesarkan
sistem tersebut sampai pada tingkat yang tidak terbatas.
Penelitian sebagai sistem ilmu pengetahuan, memainkan peran penting dalam
bangunan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ini berarti bahwa penelitian telah tampil
dalam posisi yang paling urgen dalam ilmu pengetahuan untuk melindungi dari
kepunahan. Penelitian memiliki kemampuan untuk mengenai-upgrade ilmu
pengetahuan yang membuat up-to-date dan canggih dalam aplikasi serta setiap saat
dibutuhkan masyarakat. Di lain pihak, penelitian belum dapat “bergeser” untuk
memulai suatu proses ilmiah baru sebelum mendapat masukan dari ilmu pengetahuan.
Ini menandakan, titik awal proses penelitian adalah ilmu pengetahuan itu sendiri,
kemudian bergerak membentuk galaksi pengetahuan dan kembali ke titik awal
semula, yaitu ilmu pengetahuan.
Berangkat dari ilmu pengetahuan dan berhenti (sementara) pada ilmu
pengetahuan, tidak berarti ilmu pengetahuan bergerak di tempat atau statis. Akan
tetapi setelah proses penelitian sampai pada titik berangkat semula, kemudian
memecahkan diri dan serta merta membentuk satu titik berangkat yang baru, dan
membentuk galaksi baru yang menandakan sebuah proses ilmu pengetahuan lain telah
terbentuk. Pada tahap ini berarti suatu proses penelitian telah siap dengan proses
ilmiahnya yang baru. Proses ini terus-menerus berlanjut sepanjang sejarah sebuah
cabang ilmu pengetahuan.
Proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana apa yang
diceritakan di atas, karena harus melalui tahapan berpikir ilmiah, yang mana seorang
peneliti mulai berpikir deduktif, yaitu mencoba berteori terhadap sebuah fakta atau
fenomena-fenomena sosial, melalui interpretasi dalil, hukum, dan teori-teori keilmuan
lainnya. Karena itu tahap ini dinamakan tahap berteori, di mana peneliti berteori
terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Umpamanya seseorang melihat
pertumbuhan jumlah kaki lima sebagai suatu gejala pengangguran akan menelusuri
berbagai literatur yang ada, terutama teori sosial dan ekonomi, kemudian mulai
menjelaskan (berteori) mengenai kaki lima tersebut. Jawaban teoritis terhadap gejala
kaki lima tersebut merupakan jawaban-jawaban deduktif terhadap persoalan yang
sedang dihadapinya dan jawaban deduktif itu dalam logika keilmuan dapat diterima
sebagai suatu jawaban ilmuah yang belum sempurna.
Peneliti diarahkan oleh produk berpikir deduktif untuk memberi jawaban logis
terhadap apa yang sedang menjadi pusat perhatian dalam penelitian, dan akhirnya
produk berpikir deduktif menjadi jawaban sementara terhadap apa yang dipertanyakan
dalam penelitian dan menjadi perhatian itu. Jawaban tersebut dinamakan hipotesis.
Sampai pada pembentukan hipotesis, peneliti telah berada pada tahap kedua dari
rangkaian proses ilmiah.
Ditegaskan pula, hipotesis bukan jawaban final penelitian, akan tetapi
merupakan jawaban sementara tentang hubungan antara gejala-gejala yang menjadi
permasalahan dalam proses penelitian kali ini. Oleh karena itu, hipotesis diajukan
dalam bentuk dugaan kerja atau dugaan teoritis yang merupakan dasar dalam
menjelaskan kemungkinan adanya hubungan tersebut.
Dalam banyak tradisi penelitian, merumuskan hipotesis dilakukan secara khas
atas dasar trial and error. Oleh karena itu, Honer dan Hunt mengatakan, hipotesis
memiliki alasan yang kurang akurat namun tetap beralasan. Alasannya adalah logis,
dan diterima menurut logika keilmuan dan tradisi ilmiah, sedangkan kebenarannya
bersifat kemungkinan, dan untuk itu harus diuji dengan merekam data di lapangan.
Langkahnya berikutnya dari proses ilmiah adalah peneliti melakukan
pembuktian hipotesis yang menjadi jawaban sementara dalam penelitiannya. Peneliti
melakukan persiapan pembuktian berhubungan dengan penyediaan perangkat-
perangkat penelitian yang terdiri dari metode penelitian, yaitu sebuah proses yang
terdiri dari rangkaian tata cara pengumpulan data, tahap ini diteruskan dengan
merekam data di lapangan.
Merekam data di lapangan berarti hipotesis peneliti diadili melalui”pengadilan
fakta”.Oleh karena itu, hipotesis dapat diterima atau juga dapat ditolak. Hipotesis
penelitian diterima berarti fakta “menolak” hipotesis, sedangkan apabila “diterima”
berarti sebaliknya.
Simpulan-simpulan fakta atas hipotesis menjadi jawaban “sebenarnya” pada
penelitian yang dilakukan oleh peneliti kali ini. Namun, belum berhenti sampai suatu
proses ilmiah dari penelitian tersebut. Karena setelah selesai mengumpulkan data dan
pengujian-pengujian hipotesis., peneliti harus melakukan serangkaian proses analisis.
Berarti peneliti berjalan dari hal-hal yang khusus (fakta) menuju kepada hal-hal yang
umum, yaitu teori keilmuan yang merupakan sumber hipotesis dalam proses ilmiah
ini. Inilah bobot proses penelitian dan ilmu pengetahuan yang sempurna, yang
membuat keduanya tak mungkin dipisahkan satu sama lain.
Proses ilmiah diatas mewajibkan setiap kegiatan ilmiah dimulai dari berpikir deduktif
dan kemudian membentuk kesimpulan-kesimpulan induktif. Proses ilmiah tidak
separuh-paruh, tidak deduktif saja atau induktif saja. Akan tetapi kedua-duanya, inilah
yang diinginkan oleh Charles Darwin dalam setiap proses ilmiah.
Dalam suatu proses ilmiah, tidak sempurna apabila prosesnya hanya mengadopsi
pemikiran Aristoteles, yaitu hanya menggunakan metode deduktif atau seperti Bacon
yang hanya menggunakan metode induktif. Walaupun kedua metode itu memiliki
alasan ilmiahnya, akan tetapi proses ilmiah yang sempurna dalam tradisi ilmu
pengetahuan adalah seperti cara-cara yang dikembangkan oleh Charles Darwin, yang
mengawinkan antara cara kerja Aristoteles dan Kerja Bacon.
Banyak kita temui di kalangan ilmuwan-baik sarjana maupun mahasiswa-
bahwa mereka hanya bekerja seperti Aristoteles atau Bacon. Bahkan tidak sedikit kita
temui dari tesis-tesis sarjana di perguruan tinggi gagal mengawinkan cara kerja
Aristoteles dan Bacon. Tidak saja terjadi pada tesisi-tesis itu, akan tetapi banyak juga
kita temui kegagalan itu pada proses ilmiah seorang sarjana senior. Mungkin saja
kegagalan itu dapat kita maafkan karena sarjana ini bersikeras dengan proses ilmiah
Aristoteles atau Bacon.
Proses ilmiah atau ilmu pengetahuan itu tidak hanya merupkan berpikir
rasional atau bahkan hanya merupakan produk-produk berpikir empiris. Karena
sekadar logika deduktif belum memuaskan ilmu pengetahuan, sebaliknya logika
induktif akan riskan tanpa bersemai lebih dahulu dalam logika deduktif. Kebenaran
ilmiah tidak saja merupakan produk kesimpulan rasional yang koheren dengan sistem
pengetahuan yang ada, namun, juga sesuai dengan fakta yang ada.
Kalau peneliti sudah sampai pada kesimpulan-kesimpulan induksi dan
menariknya ke dalam orbit keilmuan yang ada, maka sejak itulah dia telah selesai
melaksanakan proses ilmiahnya yang mengasyikkan itu. Namun, dengan selesai
proses itu, berarti telah siap pula suatu landasan, landasan yang memberangkatkan
ilmuwan-ilmuwan lainnya dalam orbit yang lain pula, yaitu orbit keilmuan yang lebih
lebar wawasannya.
Proses keilmuan yang kumulatif ini juga dapat dilihat dari pekerjaan semut
hitam. Semut ini seakan tiada hari tanpa menumpuk makanan sehingga dari hari ke
hari makanan mereka semakin banyak. Dari sini seorang ilmuwan perlu berguru pada
semut hitam. Memang ilmuwan tidak menumpuk makanan setiap hari, tetapi ilmu
pengetahuanlah yang ditumpuk (dikembangkan) sepanjang hari. Oleh karena itu, tiada
hari bagi ilmuwan tanpa belajar.
Dari hal diatas maka orang dapat membandingkan antara ilmuwan yang
miskin ilmu dan ilmuwan yang kaya akan ilmu, bahkan dapat pula dibandingkan besar
kecilnya tumpukan ilmu dari masing-masing ilmuwan yang ada.
Penelitian Sebagai Kegiatan Ilmiah (Azwar (2004): Bab I)
Penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka
pemecahan suatu permasalahan. Hasil Penelitian tidak pernah dimaksudkan sebagai
suatu pemecahan (solusi) langsung bagi permasalahan yang dihadapi, karena
penelitian merupakan bagian dari usaha pemecahan masalah yang lebih besar. Fungsi
penelitian adalah mencarikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta
memberikan alternative bagi kemungkinan yang dapat digunakan untuk pemecahan
masalah.
Penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan itu dapat bersifat abstrak
umum sebagaimana halnya dalam penelitian dasar (basic research) dan dapat pula
sangat konkret dan spesifik seperti biasanya ditemui pada penelitian terapan (applied
research).
Penelitian dasar biasanya tidak langsung memberikan informasi yang siap
pakai untuk penyelesaian permasalahan akan tetapi lebih menekankan segi
pengembangan model atau teori yang menunjukkan semua variable terkait dalam
situasi dan berhipotesis mengenai hubungan di antara variabel-variabel tersebut. Oleh
karena itu, tidak jarang pemecahan permasalahan baru dapat dicapai lewat pemaduan
hasil dari beberapa penelitian yang berkaitan.
Sebagai suatu kegiatan ilmiah, penelitian memiliki karakteristik kerja ilmiah
yaitu (a) bertujuan, (b) sistematik, (c) terkendali, (d) objektif, dan (e) tahan uji
(verifiable).
Penelitian memiliki tujuan. Maksudnya, kegiatan penelitian tidak dapat lepas
dari kerangka tujuan pemecahan permasalahan. Walaupun penelitian tidak
memberikan jawaban langsung terhadap permasalahan yang diteliti akan tetapi
hasilnya harus mempunyai kontribusi dalam usaha pemecahan permasalahan. Hasil
penelitian harus memberikan penjelasan akan fenomena yang menjadi pertanyaan
penelitian dan harus dapat melandasi keputusan serta tindakan pemecahan
permasalahan. Oleh karena itu, penelitian memiliki tujuan yang lebih luas daripada
sekedar melihat hubungan yang terjadi di antara variabel atau gejala yang diteliti.
Penelitian pun memiliki tujuan yang lebih dalam daripada sekedar memperlihatkan
perbedan yang ada di antara kelompok-kelompok subjek yang terlibat sebagai sampel.
Penelitian harus dilakukan secara sistematik. Artinya, langkjah-langkah yang
ditempuh sejak dari persiapan, pelaksanaan, sampai kepada penyelesaian laporan
penelitian harus terencana secara baik dan mengikuti metodologi yang benar.
Kegiatan penelitian bukan kegiatan sambil lalu dan sama sekali bukan kegiatan
kausal. Kausalitas penelitian banyak ditentukan oleh ketepatan langkah metodologik
yang digunakan. Oleh karena itu, tanpa adanya perencanaan yang baik maka kegiatan
yang sistematik dan yang mengikuti standar metodologis tidak akan dapat dilakukan.
Penelitian dilaksanakan secara terkendali. Maksudnya, dalam batas-batas
tertentu peneliti harus dapat menentukan fenomena-fenomena yang akan diamatinya
dan memisahkannya dari fenomena lain yang menggangu. Dalam penelitian yang
menggunakan pendekatan observasi alamiah, peneliti harus dapat mengidentifikasi
fenomena yang relevan dan perlu diamati sehingga kesimpulannya tidak dicemari
oleh masuknya fenomena dari variabel lain yang merusak informasi dari data yang
dikumpulkannya. Dalam penelitian eksperimental, kendali ini menjadi semakin
penting artinya karena inferensi mengenai hubungan sebab-akibat pada gejala yang
diteliti secara eksperimental tidak dapat disimpulkan dengan tepat apabila peneliti
tidak mampu mengendalikan variabel-variabel eksperimennya.
Penelitian harus dilakukan secara objektif. Maksudnya, bahwa semua
pengamatan, telaah yang dilakukan, dan kesimpulan yang diambil oleh peneliti tidak
boleh didasari oleh subjektivitas pandangan pribadi dan pengaruh kepentingan pihak
lain. Hasil penelitian tidak boleh tercemar oleh pandangan subjektif peneliti ataupun
oleh tekanan dari luar. Pengamatan dan telaah terhadap fenomena dan fakta yang
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti haruslah dilakukan dengan
objektif. Peneliti tidak boleh hanya mengumpulkan fakta yang mendukung praduga,
asumsi, dan teorinya saja akan melainkan harus juga menelaah dan mengumpulkan
fakta yang berlawanan sehingga bias dalam arah analisisnya dapat terhindarkan.
Begitu pula penyimpulan pemikiran deduktif maupun induktif yang diperoleh oleh
peneliti harus didukung oleh data yang berupa fakta objektif sehingga kesimpulan
penelitian tidak diisi sekedar oleh apa yang diinginkan oleh peneliti melainkan oleh
apa yang ditemukan olehnya secara empirik.
Peneliti harus tahan uji. Maksudnya, penyimpulan penelitian harus merupakan
hasil dari telaah yang didasari oleh teori yang solid dan metode yang benar sehingga
siapapun yang akan melakukan replikasi penelitian termaksud tentu akan sampai pada
kesimpulan yang serupa. Hasil penelitian akan lemah apabila berlakunya secara
kondisional dalam situasi tertentu yang sempit. Namun demikian, penelitian yang
tahan uji tidak berarti harus memiliki generalisasi yang luas. Dalam penelitian-
penelitian eksperimental seringkali aspek keluasan generalisasi (validitas eksternal)
dikalahkan oleh aspek keyakinan akan signifikansi perlakuan (validitas internal).
Meskipun di muka telah dikatakan bahwa penelitian merupakan rangkaian
kegaiatn pemecahan permasalahan akan tetapi hasil penelitian tidak langsung
memecahkan permasalahan. Tugas penelitian adalah mencarikan alternative
penjelasan atau jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan peneliti yang dapat
digunakan sebagai bagian dari informasi untuk pemecahan permasalahan. Adalah
tugas para pengambil keputusan dan pemakai hasil penelitian untuk mengintegrasikan
hasil penelitian yang satu dengan yang lain dalam bidang yang relevan guna
memecahkan permasalahan. Para peneliti hanya memberikan informasi ilmiah lewat
temuan dan kesimpulan penelitiannya.

Jenis-Jenis Penelitian
Penelitian dapat diklasifikasikan dari berbagai cara dan sudut pandang. Dilihat
dari pendekatan analisisnya, penelitian dibagi atas dua macam, yaitu (a)penelitian
kuantitatif dan (b)penelitian kualitatif.
Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-
data numerical (angka) yang diolah dengan metoda statistika. Pada dasarnya,
pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial (dalam rangka pengujian
hipotesis) dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan
penolakan hipotesis nihil. Dengan metoda kuantitatif akan diperoleh signifikansi
perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan antar variable yang diteliti. Pada
umumnya, penelitian kuantitatif merupakan penelitian sample besar.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada
proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika
hubungan antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan dukungan data
kuantitatif akan tetapi penekanannya tidak pada pengujian hipotesis melainkan pada
usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berfikir formal dan
argumentatif. Banyak penelitian kualitatif yang merupakan penelitian sampel kecil.
Bila dilihat dari kedalaman analisisnya, jenis penelitian terbagi atas
(a)penelitian deskriptif dan (b)penelitian inferensial.
Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi,
yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih
mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas
dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data
yang diperoleh. Uraian kesimpulan didasari oleh angka yang diolah tidak secara
terlalu dalam. Kebanyakan pengolahan datanya didasarkan pada analisis persentase
dan analisis kecenderungan (trend).
Penelitian inferensial melakukan analisis hubungan antarvariabel dengan
pengujian hipotesis. Dengan demikian kesimpulan penelitian jauh melampaui sajian
data kuantitatif saja. Dalam penelitian inferensial kita dapat berbicara mengenai
besarnya peluang kesalahan dalam pengambilan kesimpulan.
Kalau dipandang dari karakteristik masalah berdasarkan kategori fungsionalnya,
penelitian dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam sebagaimana diuraikan
oleh Isaac & Michael (1976) yaitu, antara lain (a)penelitian deskriptif, (b)penelitian
perkembangan, (c)studi kasus atau penelitian lapangan, (d)penelitian korelasional,
(e)penelitian kausal-komparatif, (f)penelitian eksperimental murni, dan (g)penelitian
semieksperimental.

Penelitian Deskriptif

Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat


fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian
ini betusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-
mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji
hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi. Contoh penelitian
deskriptif yang paling popular adalah penelitian survai.

Penelitian Perkembangan

Penelitian perkembangan bertujuan mempelajari pola dan urutan


perkembangan dan/atau perubahan, sejalan dengan berlangsungnya perubahan waktu.
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara longitudinal dan dapat pula dilakukan secara
cross-sectional. Penelitian perkembangan terpusat pada studi mengenai variabel-
variabel dan perubahannya dalam periode bulan atau tahun, dalam usaha memperoleh
jawaban atas pertanyaan seperti “Bagaiamanakah pola pertumbuhan yang terjadi,
kecepatan perubahan, arah, urutan, dan faktor-faktor yang berkaitan yang
mempengaruhinya?”.
Dalam studi longitudinal (mengikuti perkembangan subjek tertentu secara
terus menerus) masalah sample biasanya menjadi rumit dikarenakan tidak banyak
subjek yang dapat diikuti terus-menerus perkembangannya dalam jangka waktu
bertahun-tahun. Dalam studi cros-sectional dilibatkan lebih banyak subjek akan tetapi
banyaknya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yang dapat dianalisis menjadi
lebih terbatas. Akan tetapi studi cros-sectional lebih efisien waktu dan lebih murah
biayanya dikarenakan rentang waktu perkembangan yang sesungguhnya perlu
dipelajari dapat dipersingkat oleh pengambilan sampel untuk kelompok-kelompok
peride waktu tertentu saja dari panjang rentang yang sesungguhnya. Kerumitan
memang dapat timbul dikarenakan sampel pada masing-masing kelompok periode
usia yang dijadikan sample sangat mungkin tidak betul-betul komparabel (layak
dibandingkan).
Studi Kasus dan Penelitian Lapangan

Tujuan studi kasus dan penelitian lapangan adalah mempelajari secara intensif
latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan
social seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas.
Studi kasus merupakan penyelidikan mendalam (indepth study) mengenai
suatu unit social sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang
terorganisasikan dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial tersebut. Cakupan
studi kasus dapat meliputi keseluruhan siklus kehidupan atau dapat pula hanya
meliputi segmen-segmen tertentu saja. Dapat terpusat pada beberapa faktor yang
spesifik dan dapat pula memperhatikan keseluruhan elemen atau peristiwa.
Dibandingkan dengan penelitian survai yang biasanya menyelidiki sedikit
variabel pada sampel besar, studi kasus sebaliknya menyelidiki banyak variabel dan
banyak kondisi pada sampel yang kecil.

Penelitian Korelasional

Penelitian korelasional bertujuan menyelidiki sejauhmana variasi pada satu


variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variable lain, berdasarkan
koefisien korelasi. Penelitian ini sangat cocok bila variable-variabel yang terlibat
sangat kompleks dan tidak dapat diteliti lewat metode eksperimentasi atau yang
variasinya tidak dapat dikendalikan. Dengan penmelitian korelasional, pengukuran
terhadap beberapa variabel serta saling-hubungan di antara variabel-variabel tersebut
dapat dilakukan serentak dalam kondisi yang realistik.
Dengan studi korelasional peneliti dapat memperoleh informasi mengenai
taraf hubungan yang terjadi, bukan mengenai ada-tidaknya efek variabel satu terhadap
variabel yang lain.

Penelitian Kausal-Komparatif

Melalui suatu penelitian kausal-komparatif, hubungan sebab-akibat dapat


diselidiki lewat pengamatan terhadap konsekuensi yang sudah terjadi dan menengok
ulang data yang ada untuk menemukan faktor-faktor penyebab yang mungkin terdapat
di sana. Cara ini dapat dikatakan berlawanan dengan metode eksperimental yang
mengumpulkan data di bawah suatu kondisi yang sangat terkendali.
Pada hakikatnya penelitian kausal-komparatif adalah “ex post facto”, artinya
data dikumpulkan setelah semua peristiwa yang diperhatikan terjadi. Kemudian
peneliti memilih satu atau lebih efek (variable dependen) dan menguji data dengan
kembali menelusuri waktu, mencari penyebab, melihat hubungan, dan memahami
artinya.

Penelitian Eksperimental Murni

Penelitian eksperimental murni dilakukan untuk meneliti kemungkinan adanya


hubungan sebab-akibat di antara variabel-variabel dengan cara menghadapkan
kelompok eksperimental pada beberapa macam kondisi perlakuan dan
membandingkan akibat hasinya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak
dikenai perlakuan.
Penelitian eksperimental memerlukan pengelolaan variabel-variabel dan
kondisi eksperimental yang rumit baik lewat prosedur kontrol dan manipulasi
langsung atau lewat prosedur randomisasi. Penelitian ini memusatkan perhatiannya
pada cara pengendalian variasi guna (a)memaksimalkan varians dari variabel-variabel
yang terlibat dalam hipotesis, (b)meminimalkan varians variabel luar yang tidak
dikehendaki yang dikhawatirkan akan dapat mengganggu hasil eksperimen, dan
(c)meminimalkan varians error dalam pengukuran. Karena itu, dalam penelitian ini ,
sangat dianjurkan untuk melakukan pemilihan subjek secara random, menempatkan
subjek kedalam kelompok secara random, dan menentukan perlakuan pada kelompok
secara random pula.
Validitas internal, yang mengacu pada apakah perbedaan yang terjadi diantara
kelompok subjek dalam eksperimen memang benar-benar disebabkan oleh perbedan
perlakuan, merupakan kondisi esensial (sine qua non) dalam desain penelitian
eksperimental serta merupakan tujuan utama metode ini. Tujuan ke dua adalah
validitas eksternal yang mengacu kepada seberapa representatifnya temuan penelitian
dan apakah temuan tersebut dapat dicapai bersama-sama. Tercapainya salah-satu
tujuan akan meminta pengurbanan yang lain.

Penelitian Eksperimental Semu

Penelitian ini meniru kondisi penelitian eksperimental murni semirip mungkin


akan tetapi tidak semua variable yang relevan dapat dikendalikan dan dimanipulasi.
Peneliti harus menyadari betul keterbatasan penelitian ini dan seberapa jauh validitas
internal dan eksternalnya.
Karena pengendalian dan manipulasi tidak sepenuhnya berada di tangan
peneliti maka cirri unik penelitian ini adalah adanya metode kontrol parsial yang
berdasarkan pada identifikasi yang seksama terhadap faktor-faktor yang dicurigai
akan mempengaruhi validitas internal dan validitas eksternalnya.

Memilih Permasalahan Penelitian

Memilih permasalahan yang akan diteliti memang merupakan salah-satu yang


sulit dalam perencanaan penelitian. Forcese dan Richter (1973) membuat semacam
diagram untuk menunjukkan hal apa saja yang dapat ikut mempengaruhi pemilihan
permasalahan.
Diagram pada Gambar 1 mengilustrasikan bahwa seorang peneliti harus
mempertimbangkan dan memadukan kepentingan pihak ketiga yang mungkin
bertindak sebagai penyandang dana dan sponsor atau mungkin merupakan pihak yang
sangat berkepentingan dengan hasil penelitiannya nanti, dengan minat pribadinya
sendiri sebagai ilmuwan. Ia juga harus memiliki kepekaan sosial sehingga dapat
berhati-hati dalam memilih permasalahan yang mungkin dapat menimbulkan
kerawanan dan kegoncangan social karena menyangkut nilai dan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat. Kadang-kadang, pertimbangan kepentingan politik ikut
pula membatasi keleluasan peneliti dalam memilih permasalahan yang hendak diteliti.

Menentukan Topik Penelitian

Setelah memperoleh permasalahan yang akan diteliti, langkah selanjutnya


adalah menentukan satu topik sebagai focus kegiatan penelitian. Hal ini dilakukan
karena permasalahan yang ada biasanya sangat kompleks sehingga tidak mungkin
diteliti hanya dari sudut disiplin ilmu saja dan tidak mungkin diteliti dari semua segi
secara serentak. Suatu permasalahan seringkali melibatkan begitu banyak variabel dan
faktor, sehingga berada di luar jangkauan kemampuan seorang peneliti. Selain itu,
suatu penelitian yang menyangkut permasalahan yang terlalu luas tidak akan dapat
memberikan kesimpulan yang bermakna dalam.
Masalahnya adalah bagaimana cara mencari topik yang baik dan patut untuk
diteliti. Hal ini sangat penting dikarenakan nilai suatu penelitian dan artinya bagi
pengembangan suatu disiplin ilmu pengetahuan banyak tergantung pada topik yang
digarap. Memang hamper segala macam topik dapat diajukan untuk diteliti.
Umumnya setiap fenomena sosial dapat diajukan untuk diteliti. Umumnya setiap
fenomena sosial dapat dijadikan permasalahan untuk diselidiki, namun tidak
semuanya itu cukup berharga untuk dijadikan topik penelitian. Oleh karena itu setiap
peneliti haruslah mengetahui ciri topik yang baik, cara-cara memperolehnya, dan hal
apa saja yang harus diperimbangkan dalam memilih topik tersebut.

Ciri Topik yang Baik

Hal pertama yang harus diperhatikan oleh calon peneliti adalah ciri-ciri topik
yang baik agar topik penelitian yang dipilih benar-benar dapat dikatakan cukup
berharga untuk diteliti. Ciri-ciri topik yang baik, antara lain, adalah (a)urgen untuk
diteliti, (b)akan membuahkan sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan, (c)merupakan
sumbangan bagi pengembangan ilmu dan bermanfaat bagi masyarakat, dan (d)aktual.
Urgen untuk diteliti berarti penting untuk segera diselidiki pada waktu ini.
Banyak topik yang juga perlu diteliti namun belum cukup mendesak untuk ditangani
baik dari segi jangkauan kegunaannya maupun dari segi keterlaksanaan prosedurnya.
Peneliti harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan memperhatikan
fenomena sosial dalam masyarakat agar dapat membedakan mana permasalahan yang
sudah waktunya ditangani segera dan mana masih dapat ditangguhkan dahulu.
Membuahkan sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan artinya penelitian
mengenai topik tersebut akan menghasilkan temuan baru yang dapat membuka
cakrawala pemikiran dan memperkaya pengetahuan dengan informasi yang muktahir.
Penelitian mengenai topik yang tak akan membuahkan hal baru bagi ilmu
pengetahuan akan kurang bermanfaat. Mungkin topic itu sendiri bukan topik yang
sama sekali baru, akan tetapi tetaplah dituntut untuk melahirkan tesis dan hipotesis
baru atau setidak-tidaknya yang akan datang.
Topik penelitian yang aktual jelas akan lebih baik daripada topik yang sudah
“usang”. Peneliti yang selalu mengikuti perkembangan ilmu akan lebih mudah
menemukan topik yang aktual dan segar. Sekedar melakukan penelitian mengenai
topic yang usang, apalagi yang temuan-temuannya sudah sejak lama diketahui
hasilnya sudah sangat konklusif, tidak banyak artinya lagi. Tanpa disertai oleh
pendekatan atau teori baru, penelitian mengenai topic yang tidak lagi aktual nilainya
tidak lebih daripada replikasi atau repetisi terhadap penelitian yang telah dilakukan
orang lain.

Beberapa Pertimbangan

Di samping harus mengetahui ciri-ciri topik yang baik, peneliti harus juga
memperhatikan pertimbangan lain dalam penentuan topic penelitiannya. Pada
kenyataannya, kadang-kadang sulit sekali untuk menemukan topik yang memenuhi
kesemua ciri tersebut diatas. Tanpa bermaksud mengurangi kadar penelitiannya,
peneliti mungkin saja terpaksa mengabaikan satu di antara ciri-ciri yang seyogyanya
dipenuhi, demi pertimbangan lain yang juga ikut menentukan kelangsungan
penelitian.
Di antara pertimbangan termaksud adalah (a)minat peneliti terhadap topik
yang akan dipilih, (b)ketersediaan sumber referensi, (c)ketersediaan sumber daya, dan
(d)kemampuan peneliti.
Minat peneliti terhadap topik yang akan diteliti tentu banyak mempengaruhi
kelangsungan dan keberhasilan kegaiatn penelitian. Penelitian yang tidak menarik
minat akan tetapi dipaksakan untuk diteliti tentu akan mengurangi keseriusan dalam
penggarapannya. Hambatan kecil yang selalu ada dalam setiap kegaiatn penelitian,
apabila topiknya tidak menarik minat peneliti. Sebaliknya, topik yang menarik akan
selalu membangkitkan semangat peneliti sehingga berbagai kesukaran yang timbul
akan diatasi dengan lebih ulet.
Sumber referensi yang akan mendukung penelitian harus tersedia cukup
banyak agar penelitian dapat berhasil. Masalah referensi ini menjadi penting
dikarenakan kekurangan referensi akan mempersempit wawasan peneliti dalam
memandang permasalahan yang dihadapinya dan akhirnya dapat menghambat
kelancaran jalannya penelitian. Ketersediaan sumber daya sangat berpengaruh pula
terhadap keberehasilan penelitian. Sumber daya dalam kegaiatan penelitian meliputi
biaya, waktu, dan tenaga. Kalau tidak tersedia biaya yang cukup, atau waktu yang
disediakan untuk penelitian terlalu singkat, atau potensi penelitinya terbatas,
sebaliknya maksud untuk meneliti topik itu ditunda saja dan peneliti memilih topik
lain yang lebih mungkin untuk dilaksanakan.
Kemampuan peneliti untuk membahas hal-hal yang menyangkut topik
penelitian yang dipilihnya sangatlah penting artinya. Kemampuan, dalam hal ini,
menyangkut masalah tenaga dalam arti yang lebih luas. Sebaliknya calon peneliti
tidak mencoba melakukan penelitian mengenai topik yang terletak di luar jangkauan
kompetensi/pengetahuannya.

Darimana Topik Diperoleh?

Topik suatu penelitian yang baik tentulah tak dapat dicari-cari. Maksud suatu
penelitian bukan untuk mencari-cari permasalahan. Peneliti yang mengada-adakan
permasalahan dan asal meneliti saja dapat dikatakan tidak memiliki sikap ilmiah
(scientific attitude) yang baik. Topik penelitian haruslah diperoleh secara sadar
dikarenakan kesadaran merupakan salah satu unsure pokok ilmu. Beberapa sumber
yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh topik penelitian, antara lain, adalah
(a)studi kepustakaan, (b)pengamatan (observasi) lapangan, (c)informasi dari
masyarakat, dan (d)imajinasi kreatif dari pihak peneliti.
Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari informasi ilmiah yang ada
hubungannya dengan minat peneliti. Informasi ilmiah luas lingkunpnya, tetapi
terutama berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidang yang
bersangkutan. Publikasi yang paling tepat untuk ini adalah jurnal-jurnal ilmiah dalam
bidang pengetahuan yang relevan. Dalam melakukan telaah terhadap laporan hasil
temuan para peneliti terdahulu, calon peneliti haruslah memperhatikan secara kritis
metodologi yang digunakan dan kesimpulan-kesimpulan yang diajukan. Dari
kesimpulan penelitian terdahulu seringkali timbul pertanyaan-pertanyaan yang baru
patut diteliti lebih lanjut dan dikembangkan menjadi bahan penelitian baru.
Informasi dari masyarakat pun dapat dimanfaatkan dalam mencari topic
penelitian, terutama untuk menjaring permasalahan yang sedang urgen untuk diteliti
dan dicarikan alternative penyelesaiannya. Terakhir, yang tidak kurang pentingnya
adalah daya kreativitas dan kemampuan calon peneliti dalam berimajinasi.

Metodologi dan Bentuk Penelitian Public Relations


(Ardianto, (2004), dalam Jurnal Mediator, hal. 237-238)

Penelitian dalam bidang Public Relations (PR) banyak dilakukan para


akademisi di Amerika Serikat. Termasuk para mahasiswa pascasarjana yang tengah
mengambil program master dan doktor PR. Hal ini bisa dilihat dari 80% penulis
artikel penelitian bidang PR berasal dari sivitas akademika. Sifat dasar penelitian
akademisi itu dirancang dan difokuskan untuk membangun teori tentang PR, memberi
gambaran tentang PR, menjelaskan tentang PR dan memprediksi proses dan efek PR
dalam masyarakat.
Mengapa kita perlu melakukan penelitian PR? Menurut John V. Pavlik dalam
Public Relations, What Tell Us, kita meneliti untuk menceritakan kepada kita proses
PR, untuk menceritakan kepada kita apa yang akan dan tidak dikerjakan. Kita pun
melakukan penelitian untuk menjelaskan bagaimana mekanisme kerja PR-Kekuatan
apa yang dapat mempengaruhi opini publik atau perilaku publik.
Berbagai kalangan, terutama ilmuwan sosial, umumnya sepakat bahwa
beberapa tujuan spesifik dilakukannya penelitian, yakni: (1) untuk menggambarkan
(deskriptif), (2) untuk menjelaskan (eksplanations), dan (3) untuk memprediksi
(prediktif). Penelitian deskriftif dirancang untuk melukiskan sebuah gambaran suatu
proses, situasi atau fenomena. Gambaran ini menceritakan kepada kita apa yang
terjadi atau tentang sesuatu atau karakteristik seseorang. Penelitian ekspalnatori
menceritakan kepada kita mengapa hal itu terjadi. Penelitian ini menceritakan kepada
kita perihal sebab akibat. Penelitian prediktif menceritakan kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi, jika kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tipe-
tipe penelitian ini membantu kita untuk memahami karakteristik masyarakat dan
dunia.
Penelitian adalah fondasi bagi kebanyakan praktek PR yang baik, ungkap
kebanyakan para praktisi PR saat ini, dan mereka yang tergabung dalam organisasi
profesi “Masyarakat PR Amerika.” Mereka berbicara bahwa akal sehat menyatakan
kepada kita, bagaimana sia-sianya membuat suatu keputusan tanpa didukung fakta-
fakta (Dun,1986).
Penelitian berguna untuk banyak hal, antara lain: mengurangi risiko,
menambah kemampuan kita memiliki pengetahuan yang luas, menghasilkan
keputusan-keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan memberikan metode
untuk menguji kebenaran dari prasangka kita. Lazimnya kebanyakan fungsi penelitian
fungsi, yakni memberikan informasi akurat yang sangat diperlukan untuk
pengambilan keputusan dan perencanaan program matang.

1.2 Paradigma Penelitian

Paradigma Ilmu Pengetahuan (Denzim dan Guba (2001), penyunting Agus Salim
Bab II hal 33-42)
Paradigma (paradigm) dapat ditakrifkan (didefinisikan) bermacam-macam
sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan bahwa
paradigma merupakan suatu citra yang fundamental dari pokok permasalahan dari
suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-
pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang
seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Dengan demikian
paradigma adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat
orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world-view). Namun secara
umum, paradigma dapat diartikan sebagai perangkat kepercayaan atau keyakinan
dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian ini sejalan dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas Kuhn sebagai
seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik
tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah (Guba,1990). Selanjutnya
paradigma diartikan sebagai (a) A set of assumptions and (b) beliefs concerning: yaitu
asumsi yang ‘dianggap” benar (secara given). Untuk dapat sampai pada asumsi itu
harus ada perlakuan empirik (melalui pengamatan) yang tidak terbantahkan; accepted
assume to be true (Bhaskar, Roy. 1989: 88-90). Dengan demikian paradigma dapat
dikatakan sebagai A mental window, tempat terdapat “frame” yang tidak perlu
dibuktikan kebenarannya karena masyarakat pendukung paradigma telah memiliki
kepercayaan. Dalam masyarakat banyak digunakan bermacam-macam paradigma,
seperti adversarial paradigm dalam hukum,judgemental paradigm dalam olah raga,
religious paradigma dalam kehidupan beragama dan sebagainya. Dalam pandangan
tulisan ini, pembahasan hanya dibatasi pada paradigma pencarian ilmu pengetahuan
(dicipline inqury paradigm),yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai
kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau dipilin ilmu
pengetahuan tertentu.
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat
keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapakan hakikat ilmu yang
sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu
ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17,
ketika Descartes (1596-1950) dan penerusnya mengembangkan cara pandang
positivisme yang amat berpengaruh dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini. Tradisi positivisme ini kemudian berkembang menjadi sejumlah
aliran paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai
bidang kehidupan.

Aspek Pengembangan Paradigma Ilmu


Bagaimana seseorang mengembangkan suatu paradigma ilmu, dan bagaimana
mengetahui paradigma ilmu yang digunakan seseorang? Untuk menjawab pertanyaan
ini, seseorang dapat melihat cara pandang seseorang dalam menjawab tiga pertanyaan
dasar yang menjadi aspek fisolofis dan metodologis dalam menemukan ilmu
pengetahuan, yaitu dimensi ontologis, dimensi epistemologis, dimensi aksiologis,
dimensi retorik dan dimensi metodologis.
1. Dalam dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan
adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau
apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang
dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is the nature of reality?).
2. Dalam dimensi epistemologi, pertanyaan yang harus dijawab oleh seseorang
adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek
yang ditemukan (known atau knowable)?
3. Dalam dimensi aksiologi yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam
suatu kegiatan penelitian.
4. Dalam dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam
penelitian.
5. dalam dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab petanyaan:
Bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menentukan
kebenaran suatu ilmu pengetahuan?
Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menentukan posisi paradigma
ilmu seseorang di kemudian hari. Tetapi paling tidak yang paling penting dari kelima
dimensi pertanyaan itu adalah pada tiga dimensi utama yaitu dimensi ontologi,
dimensi epistemologi dan dimensi metodologi.
Dimensi Ontologi
Bila peneliti menggunkan pendekatan kuantitatif, maka peneliti memandang yang
diteliti atau kenyataan sebagai objek, sesuatu yang berada di sana (out there), bebas
dari penelitinya, dapat diukur secara objektif menggunakan instrumen dan kuesioner.
Bagi peneliti yang menggunkan pendekatan kuantitatif, satu-satunya kenyataan adalah
kenyataan yang dikonstruksikan oleh individu yang terlibat dalamsituasi penelitian.
Dimensi Epistemologi
Pada penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, jelas peneliti harus
mempertahankan jarak dan bebas (independen) dari yang diteliti. Jadi, dalam survei
dan eksperimen, peneliti selalu berusaha objektif dalam meneliti suatu situasi. Hal ini
sangat berbeda dengan situasi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif,
ketika peneliti berinteraksi dengan objek yang diteliti. Interaksi itu bisa berbentuk
tinggal bersama atau mengamati perilaku informannya untuk waktu yang lama atau
melakukan kolaborasi. Pendek kata, peneliti berusaha meminimalkan jarak antara
dirinya dengan objek yang diteliti. Hal ini tentunya akan berdampak pada dimensi
aksiologis selanjutnya.
Dimensi Aksiologi
Dalam peneltian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, nilai-nilai yang dianut
peneliti dilarang keras mempengaruhi penelitiannya. Peneliti kuantitatif diajarkan
untuk menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam
laporan, dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal dan melaporkan serta
mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh melalui penelitian.
Kondisi penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, dapat diikuti dengan
membaca tulisan Parsudi Suparlan, Paradigma Naturalistik dalam Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya (1997). Bahasa yang digunakan
adalah bahasa orang pertama dan sangat personal. Misalnya pernyataan seperti: “Pada
tahun 1961, untuk pertama kalinya, saya menggunakan pendekatan kualitatif…”
(hlm.91). “Pak Harsya pada waktu itu tidak setuju dengan alasan saya, walaupun saya
ngotot mempertahanakannya dengan mengemukakan alasan bahwa banyak orang
Tionghoa asing yang bukan warga negara menimati hidup lebih baik daripada orang-
orang gelandangan” (hal.92). Terus terang ungkapan yang personal itu terasa masih
asing bagi telinga dan cita-rasa bahasa peneliti pada umumnya, tetapi memang nada
penulisan itu lebih mendekatkan peneliti kepada objek yang menjadi kajian
penelitiannya. Namun yang ingin disampaikan di sini adalah, seperti dikemukakan
oleh Neuman (1997), bahwa para peneliti mengakui adanya sifat value-laden (dimuati
oleh nilai-nilai si peneliti) dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif
melaporkan nilai-nilai dan bias-biasnya serta nilai-nilai dari infor,asi yang
dikumpulkan di lapangan.
Dengan mengakses situs internet melalui (http:/www.the.institute for grounded
theory/index/research 1568/), didapat sebuah perbandingan yang menarik. Sementara
itu, didapatkan laporan penelitian dari topik yang sama namun menggunakan
pendekatan yang berbeda. Penelitian pertama dengan pendekatan kualitatif
menggunakan metode Grounded Theory, seperti The Grounded Theory Alternative in
Bussiness Network research (de Burca, 1996), dibanding dengan penelitian kedua
dengan pendekatan kuantitatif yaitu, The Use of Data Quantum in Developing Critical
Factors for Business Network (Luftman and de Burca, 1995). Kesan yang muncul
adalah pada penelitian pertama, yang menggunakan Grounded Theory, penjelasan
dilakukan secara panjang lebar, seperti orang bercerita, penulis seperti sedang
berdialog dan setiap pendapat didukung oleh penjelasan-penjelasan. Sungguh berbeda
dengan penelitian kedua, yang bersifat langsung, pendapat merujuk pada perangkat
hasil pemoresesan data secara matematis.
Dimensi Retorik
Sebagian dari dimensi retorik telah disampaikan di atas. Dalam kedua penelitian yang
telah disebutkan di atas, penelitian yang menggunakan pendekatan data quantum
adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Oleh sebab itu, seperti yang
dilakukan oleh Creswell (1994) bahasa yang digunakan bersifat formal, tidak
personal, tetapi yang lebih penting umumnya memuat kata-kata seperti hubungan
perbandingan, dan dalam kelompok (within-group), karena kata-kata ini mengacu
pada istilah statistik yang digunakan. Konsep-konsep dan variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian Luftman dan De Burca (1995), terdefinisikan dengan baik
dan berasal dari definisi-definisi yang memang telah digunakan dalam bidang jejaring
bisnis dan teknologi informasi. Pada penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif seperti pada peneltian De Burca (1996), kata-kata yang digunakan adalah
pemahaman, menemukan dan makna. Bahasa yang digunkan adalah bahasa yang
sangat personal, informal dan menggunakan definisi-definisi yang berkembang
selama kegiatan penelitian berlangsung.
Dimensi Metodologi
Dari perbedaan-perbedaan mengenai cara memandang kenyataan, hubungan antara
peneliti dengan yang diteliti, peran nilai-nilai dan penggunaan bahasa, maka tidak
heran apabila metodologi atau keseluruhan proses dari penelitian juga berbeda
(Creswell, 1994). Seperti dalam penelitian Luftman dan De Burca (1995) yang
menggunkan metode pendekatan kuantitatif, digunakan logika deduktif, di mana teori-
teori dan hipotesis diuji dalam urutan sebab-akibat. Konsep-konsep, variabel-variabel
serta hipotesis-hipotesis dipilih sebelum penelitian dilakukan (lihat juga penjelasan
dari Luftman, 1999), dan terus bertahan dalam bentuk yang statis. Tidak ada
penjelajahan di luar hipotesis-hipotesis yang telah diajukan ini, karena penelitian
bebas dari konteks. Tujuan dari penelitian adalah mengembangkan generalisasi yang
memberikan kontribusi pada teori dan yang akan membuat peneliti bisa meramalkan,
menjelaskan dan memahami gejala-gejala yang lebih baik. Menurut Neuman, (1997),
generalisasi ini akan prima apabila informasi yang digunakan serta instrumen-
instrumennya teruji validitas dan reliabilitasnya. Pada penelitian De Burca yang
menggunakan pendekatan kualitatif, digunakan logika berpikir induktif. Kategori-
kategori muncul dari interaksi antara peneliti dengan para informan anggota jejaring
bisnis, bukan dipilih sebelumnya (a-priori). Pemunculan ini memberi informasi-
informasi yang kaya dan terikat pada konteksnya (context-bound) yang menuju pada
teori-teori yang akan membantu menjelaskan suatu gejala.
Jenis Paradigma Ilmu Pengetahuan
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan hakikat
realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Paradigma ilmu ini
adalah: positivisme, pospositivisme (yang kemudian dikenal sebagai Classical
Paradigm atau Conventionalism Paradigm). Critical Theory (Realism) dan
Contructivism (Guba, Egon, 1990: 18-27). Perbedaan keempat paradigma ini bisa
dilihat dari cara mereka dalam memandang realitas dan melakukan penemuan-
penemuan ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga aspek pertanyan: Ontologis,
epistemologis dan Meodologis. Namun demikian, beberapa paradigma mempunyai
cara pandang yang sama terhadap salah satu dari ketiga aspek pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut.
1. Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam
dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi
realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian adalah untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut
senyatanya berjalan.
Positivis muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Auguste Comte, dengan
buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive
Philosophy (1830-1842). Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip
positivis yang hingga kini masih banyak digunakan. John stuart Mill dari Inggris
(1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalam sebuah karya
yang cukup monumental berjudul A System of Logic. Sedangkan Emile Durkkheim
(Sosilog Perancis) kemudian menguraikan satu versi dari positivisme dalam Rules of
the Sociological Mrthods (1895), yang kemudian menjadi rujukan bagi para peneliti
ilmu sosial yang beraliran positivisme.
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta
sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan
lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran itu dinyatakan oleh
peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai
kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (peneliti) harus menanyakan langsung
kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada
peneliti yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si
peneliti di latar belakang layar untuk mengobservasi hakikat realitas apa adanya untuk
menjaga objektivitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang peneliti
hendaknya menggunakan metodologi eksperimen empirik atau metode lain yang
setara untuk menjamin agar temuan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan
tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis
dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari
pengukuran.
2. Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan
positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Secara ontologis, aliran ini bersifat critical realism yang
memandang sama bahwa realitas memang adal dalam kenyataan sesuai dengan
hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara
benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode
trianguulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan
teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran
positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau
melihat kebenaran apabila pengamat berdiri dibelakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek harus bersifat interakti, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat
senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.
3. Critical Theory
Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih
tepat disebut ideologiccaly oriented inqury, yaitu suatu wacana atau cara pandang
terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo-Marxisme, Materialisme,
Feminisme, Freireisme, Partisipatory inquary, dan paham-paham yang setara.
Dilihat dari segi ontologis, paham paradigma ini sama dengan postpositivisme yang
menilai objek atau secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar
oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara
metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk
menemukan kebenaran realitas yang hakiki.
Secara epitemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek
merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih
menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan,
karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam
menentukan kebenaran tentang suatu hal.
4. Kontruktivisme
Paradigma ini hampir merupakan dari paham yang meletakkan pengamatan dan
objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paham ini
menyatakan bahwa paham positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang
keliru dalam mengungkapkan realitas dunia. Karena itu, kerangka berpikir kedua
paham ini harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif.
Secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk
bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal
dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu, suatu realitas
yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti
yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau postpositivis. Karena dasar filosofis
ini, maka hubungan epistemologis antara pengamatan dan objek, menurutaliran ini
bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara
keduanya.
Tiga Paradigma Ilmu Sosial
Positivisme dan Pospositivisme Konstruktivisme (Interpretatif) Critical Theory
Menempatkan ilmu sosial seperti Memandang ilmu sosial sebagai Mentakrifkan ilmu sosial sebagai
ilmu-ilmu alam, yaitu sebagai suatu analisis sistematis terhadap suatu proses yang secara kritis
metode yang terorganisir untuk “socially meaningful action” beusaha mengungkap “the real
mengkombinasikan “dedukctive melalui pengamatan langsung dan structure” di balik ilusi, faise needs,
logic” dengan pengamatan empiris, terperinci terhadap pelaku sosial yang ditampakkan dunia materi,
guna secara probablistik dalam setting kehidupan sehari-hari dengan tujuan membantu
menemukan-atau memperoleh yang wajar atau alamiah, agar membentuk kesadaran sosial agar
konfirmasi tentang hubungan sebab- mampu memahami dan menafsirkan memperbaiki dan mengubah
akibat yang bisa digunakan untuk bagaimana para pelaku sosial yang kehidupan mereka
memprediksi pola-pola umum bersangkutan meciptakan dan
gejala sosial tertentu memelihara/mengelola dunia sosial
mereka
Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori
 Liberal political-economy  Cultural/Contructivism  Structuralism political-
(mainstreams) political-economy (Golding & economy (Schudson)
 Teori Modernisasi, teori Murdock)  Instrumentalilsme
pembangunan di negara  Phenomenology, political economy (Chomsky,
berkembang Ethnomethodology Gramsci dan Adorno)
 Symbolic Interactionism  Symbolic Interaction  Theory of communicative
(Iowa school) (Chichago School) action (Habermas)
 Agenda setting, teori-teori  Constructionism (Social
fungsi media construction of reality-Peter
Berger)
PARADIGMA PENELITIAN (Creswell (2002), dalam Persudi Suparlan : Bab I :
Hal : hal 3-9)
Dua paradigma
Setelah paneliti merasa cocok dengan suatu fokus, kepeutusan berikutnya
adalah memilih paradigma penelitian. saya menyajikan dua pilihan paradigma
kualitatif dan paradigma kuantitatif- yang berakar dari pemikiran filosofis abad 20.
Paradigma kuantitatif dinyatakan sebagai paradigma tradisional, positivist,
eksperimental, atau atau emperisist. Pemikiran kuantitatif berasal berasal dari
empirisist yang dikembangkan para ahli seperti Comte, Mill, Durkheim, Newton , dan
Locke (J. Smith, 1983). Paradigma kualitatif menyatakan pendekatan konstruktif atau
naturalistis (Lincoln & Guba, 1985), pendekatan interpretatif (J.Smith, 1983), atau
sudut pandang postpositivist atau postmodern (Quantz, 1992). Pendekatan ini berawal
sebagai tindakan balasan terhadap tradisi positivist di akhir abad 19 melalui para
penulis seperti Dilthe, Weber, dan Kant (J. Smith,1983).

Asumsi Paradigma

Untuk memahami asumsi masing-masing paradigma, para penulis


membandingkan paradigma-paradigma tersebut dalam beberapa dimensi (Firestone,
1987: Guba & Lincoln, 1988; McCracken,1988). Meskipun hanya merupakan
prangkat heuristik (jarang melakukan penelitian aktual yang menunjukka ciri-ciri
ideal paradigma), perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan perbedaan
sesungguhnya strategi-strategi alternatif (Patton, 1988).
Dalam masalah ontologis mengenai apa itu nyata, peneliti kuantitatif
memandang realita sebagai “obyektif”, “di luar sana” yang terlepas dari peneliti.
Sesuatu dapat diukur secara obyektif dengan menggunakan daftar pertanyaan atau
instrumen. Bagi peneliti kualitatif, satu-satunya realita adalah situasi yang diciptakan
oleh individu-individu-individu yang terlibat dalam penelitian. Jadi muncul realita
ganda dalam situasi apapun; peneliti, individu yang diteliti, dan pembaca yang
menafsirkan penelitian tersebut. Peneliti kualitatif harus melaporkan realita ini dengan
jujur dan mengandalkan pada suara dan penafsiran informan.
Dalam pertanyaan epistemilogis mengenai hubungan peneliti dengan yang
diteliti, dua paradigma tersebut juga berbeda. Pendekatan kuantitatif menyatakan
bahwa peneliti harus terlepas dari yang diteliti. Jadi dalam survei dan eksperimen
peneliti berusaha mengendalikan prasangka, memilih contoh sistematis, dan bersifat
“objektif” dalam menilai suatu situasi. Pendekatan kualitatif berbeda: peneliti
berhubungan dengan yang diteliti, hubungan ini dalam bentuk tinggal bersama atau
mengamati informan dalam periode waktu lama, atau kerja sama nyata. Ringkasnya,
peneliti berusaha meminimalkan jarak antara dirinya dan yang diteliti. Tanggapan ini
juga memiliki pengaruh terhadap masalah aksiologis mengenai peran nilai dalam
penelitian. Dalam penelitian kuantitatif nilai peneliti terpisah dari penelitian. Hal ini
dilakukan dengan menghilangkan semua pertanyaan mengenai nilai dari laporan
tertulis, menggunakan bahasa umum, dan melaporkan “fakta”- menentang bukti yang
dikumpulkan dalam penelitian. Perbedaan penting antara kedua pendekatan ini adalah
peneliti kualitatif mengakui nilai yang terkandung dalam penelitian dan secara aktif
melaporkan nilai dan prasangkanya serta nilai informasi yang dikumpulkan dari
lapangan. Bahasa penelitian dapat berupa bahasa orang pertama dan pribadi.
Perbedaan lain ialah retorika atau bahasa penelitian. Ketika seorang peneliti
kuantitatif menulis suatu penelitian, bahasa yang dipakai bukan hanya bersifat umum
dan formal tetapi juga berdasarkan pada kata-kata yang diterima seperti hubungan,
perbandingan, dan dalam-kelompok. Konsep dan variabel dapat dijelaskan dengan
baik dari definisi-definisi yang diterima. Orientasi ini menandai penelitian kuantitatif.
Kata-kata yang berbeda menandai, penelitia kuantitatif; penulis naskah-naskah
kualitatif selama tahun 1980-an (misalnya Lincoln & Guba, 1985) menyusun bahasa
yang berbeda dari bahasa penelitian tradisional untuk menekankan paradigma
kualitatif. Kata-kata seperti pemahaman, penemuan, dan arti membentuk daftar kata
dari istilah-istilah kualitatif yang sedang muncul. Selain itu, bahasa penelitian
kualitatif menjadi bersifat pribadi, informal, dan berdasarkan pada definisi-definisi
yang berkembang selama penelitian.
Dari perbedaan tentang realita ini, hubungan antara peneliti dan yang diteliti,
peran nilai, dan retorika penelitian muncullah suatu metodologi – proses penelitian
secara menyeluruh – yang juga berbeda. Ada yang mendekati metodologi kuantitatif
dengan menggunakan bentuk deduktif logika yang menguji teori dan hipotesa dalam
aturan sebab dan akibat. Konsep, variabel, dan hipotesa diplih sebelum penelitian
dimulai dan tak berubah selama penelitian (dalam suatu desain statis). Peneliti tidak
bertindak keluar dari hipotesa yang sudah ditentukan ini (konteks penelitian itu
bebas). Maksud penelitian itu adalah untuk mengembangkan generalisasi yang
menyumbang pada teori dan yang memungkinkan orang untuk memprediksikan,
menjelaskan, dan memahami fenomena dengan lebih baik. Generalisasi ini
berkembang jika informasi dan alat yang digunakan dapat dipercaya. Sebaliknya,
dalam metodologi kualitatif berlaku logika induktif. Kategori muncul dari informan,
bukannya diidentifikasi sebelumnya oleh peneliti. Munculnya kategori ini memberi
informasi “ikatan konteks” kuat yang mengarah ke pola dan teori yang membantu
menjelaskan suatu fenomena. Pertanyaan tentang keakuratan informasi mungkin tidak
muncul dalam penelitian, peneliti akan bicara tentang langkah-langkah pembuktian
informasi dengan informan atau “triangulasi” antara sumber-sumber informasi yang
berbeda, untuk menyebutkan beberapa teknik yang ada.

Sebuah Paradigma Tunggal

Tentukan paradigma penelitian tunggal untuk desain penelitian secara


menyeluruh. Secara praktis, untuk menggunakan kedua paradigma secara baik dan
akurat membutuhkan lebih banyak halaman dari yang ditolerir editor jurnal dan
mengembangkan penelitian disertasi melewati batas-batas normal ukuran dan skala.
Dengan mengamati penelitian-penelitian dalam jurnal yang menggunakan
paradigma gabungan, pembaca dapat melihat bahwa penelitian tersebut lebih banyak
merupakan proyek dengan dana kuat dan banyak peneliti yang mengumpulkan data
dalam periode waktu panjang. Menggunakan kedua paradigma dalam satu penelitian
akan maha, memekan waktu dan panjang (Locke, Spirduso, & Silverman, 1987).
Peneliti (dan juga fakultas) jarang dilatih keahlian yang dibutuhkan untuk melakukan
peneltian yang menggunakan lebih dari satu paradigma; individu mempelajari satu
paradigma dan pandangan ini menjadi lebih dominan dalam penelitian mereka.

Kriteria Pemilihan

Peneliti memasukkan suatu pandangan luas ke dalam suatu penelitian, suatu


pandangan yang mendukung asumsi ontologis, epistemologis, aksiologis dan
metodologis kualitatif atau kuntitatif. Misalnya, sebagian orang memendang realita
sesuatu yang sujektif dan menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan informan.
Orang lain mungkin lebih senang dengan pandangan obyektif dengan menggunakan
survei atau alat eksperimen. Tidak diragukan lagi pandangan dunia ini dapat
dipengaruhi faktor kedua – latihan atau pengalaman. Seorang individu yang terlatih
dalam penulisan ilmiah teknis, statistik, atau program komputer statistika dan terbiasa
membaca jurnal kuantitatif di perpustakaan akan memilih paradigma kuantitatif.
Pendekatan kualitatif menggabungkan lebih banyak bentuk penulisan sastra dari pada
pendekatan kuantitatif. Pengalaman membaca jurnal dan naskah kualitatif di
perpustakaan penting untuk memberikan gambaran penulisan yang baik. Kecanggihan
program komputer kualitatif dan pengalaman menggunakan program ini juga
merupakan aset bagi mereka yang memilih pendekatan kualitatif.
Faktor lain adalah masalah psikologis. Karena penelitian kuantitatif
merupakan cara penelitian tradisional, prosedur dan peraturan yang disusun dengan
cermat berlaku dalm penelitian tersebut. Selain itu, mengumpulkan informasi dan
menganalisa data dari survei atau instrumen dalam desain percobaan membutuhkan
waktu yang lebih singkat dari yang dibutuhkan dalam desain kuantitatif. Oleh karena
itu seorang peneliti yang terlibat dalam suatu penelitian kuantitatif memilih paradigma
ini karena menawarkan resiko kecil dan metode penelitian yang sudah pasti tanpa
kerancuan dan kemungkinan frustasi. Ia juga membutuhkan waktu penelitian yang
lebih singkat. Sebaliknya, desain kualitatif adalah desain yang tidak memiliki
“peraturan” dan prosedur tetap, tetapi lebih terbuka dan terus berkembang. Desain ini
membuthkan individu yang bersedia mengambil resiko yang melekat dalam prosedur
yang rancu. Individu ini juga harus memilki waktu untuk penelitian panjang yang
setidaknya membutuhkan waktu satu tahun hanya untuk mengumpulkan data.
Apakah “masalah-masalah” tertentu lebih cocok untuk penelitian kualitatif
atau kuantitatif masih terbuka untuk diperdebatkan. Meskipun begitu, sifat masalah
tersebut merupakan faktor penting sekalipun hanya ada satu dalam daftar. Untuk
penelitian kuantitatif masalah berkembang dari pustaka sehingga tersedia banyak
bahan bacaan penting yang bisa dijadikan pijakan bagi peneliti. Variabel diketahui dan
teori mungkin perlu diuji dan dibuktikan. Untuk penelitian kualitatif, masalah
penelitian harus digali karena hanya tersedia sedikit informasi mengenai topik
tersebut. Variabel-variabel tidak diketahui secara luas dan peneliti harus memusatkan
perhatian pada konteks yang dapat membentuk pemahaman mengenai fenomena yang
sedang diteliti. Dalam banyak penelitian kualitatif sebuah dasar teori tidak menuntun
penelitian karena teori yang ada tidak mencukupi, tidak lengkap atau hilang.
Sebuah faktor terakhir adalah pembaca penelitian. Paradigma yang dipilih
harus peka terhadap pembaca, baik pembacaan ini terdiri dari editor jurnal, pembaca
jurnal, komite sarjana, atau rekan di lapangan. Paradigma yang dipilih harus yang
dimengerti pembaca atau setidaknya mendukung sebagai metodologis yang baik dan
sah.

Hidayat (2003), Materi MPK-UI: Hal.2-6


Beberapa Pengelompokan Paradigma

Metodologi penelitian bukan hanya sekedar kumpulan metode atau teknik


penelitian, melainkan suatu keseluruhan landasan nilai-nilai (khususnya yang
menyangkut filsafat keilmuan), asumsi-asumsi, etika dan norma yang menjadi aturan-
aturan standar yang dipergunakan untuk menafsirkan serta menyimpulkan data
penelitian, di dalamnya termasuk kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.
Pembedaan antara metode dan metodologi tersebut dikemukakan oleh Bailey (1987)
sebagai berikut: metodologi penelitian, dengan demikian, sebenarnya tidak terlepas
dari suatu paradigma keilmuan tertentu; lebih spesifik lagi, metodologi penelitian
merupakan implikasi atau konsekuensi logis dari nilai-nilai, asumsi-asumsi, aturan-
aturan serta kriteria yang menjadi bagian integral dari suatu paradigma.
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam serta fisika yang pada era tertentu hanya
memiliki satu paradigma-seperti paradigma Newton, yang kemudian digantikan oleh
paradigma relativitasnya Einstein-maka ilmu-ilmu sosial merupakan suatu
multiparadigm science, dimana berbagai paradigma bisa tampil bersama-sama dalam
suatu era. Usaha untuk mengelompokkan teori-teori dan pendekatan kedalam
sejumlah paradigma yang dilakukan sejauh ini telah menghasilkan pengelompokkan
yang amat bervariasi. Kinloch (1977), contohnya mengidentifikasi sekurangnya ada
enam paradigma atau perspektif teoritikal (Organic paradigm, Conflict paradigm,
Social Behaviorism, Structure Functionalism, Modern Conflict Theory, dan Social-
Psychological paradigm). Tetapi Crotty (1994) mengelompokkan teori-teori sosial
antara lain ke dalam Positivism, Interpretivism, Critical Inquiry, Feminism, dan
Postmodernism. Burrel dan Morgan (1979), telah mengelompokkan teori-teori dan
pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial ke dalam empat paradigma: Radical Humanist
Paradigm, Radical Structuralist Paradigm, Interpretive Paradigm, dan Functionalist
Paradigm. Namun bahasan mereka tidak secara jelas menunjukkan implikasi
metodologi dari masing-masing paradigma.Sementara itu Guba dan Licoln (1994)
mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: Positivism, Postpositivism,
Critical Theories et.al., dan Contructivism, masing-masing dengan implikasi
metodologi sendiri.
Tetapi sejumlah ilmuwan sosial lain melihat positivism dan postpositivism
bisa disatukan sebagai classical paradigm karena dalam prakteknya implikasi
metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Karena itu pula, untuk kepentingan
mempermudah bahasan tentang implikasi metodologi dari suatu paradigma, maka
teori-teori dan penelitian ilmiah komunikasi cukup dikelompokkan ke dalam tiga
paradigma, yakni:
1. Classical paradigm (yang mencakup positivism dan postpositivism),
2. Critical paradigm, dan
3. constructivism paradigm
Terlepas dari variasi pemetaan paradigma yang ada, pada intinya setiap
paradigma dapat dibedakan dari paradigma lainnya atas dasar sejumlah hal mendasar,
antara lain konsepsi tentang ilmu-ilmu sosial, ataupun asumsi-asumsi tentang
masyarakat, manusia, realitas sosial, keberpihakan moral, dan juga commitment
terhadap nilai-nilai tertentu.

Asumsi-Asumsi Epistemologi, Ontologi, dan Metodologi dalam Paradigma

Oleh karena metodologi penelitian merupakan implikasi dari suatu paradigma,


dan karena dalam bidang ilmu-ilmu sosial terdapat sejumlah paradigma, maka
metodologi penelitian dalam ilmu-ilmu sosial bukanlah suatu kesatuan disiplin yang
monolitik. Terdapat berbagai varian metodologi ilmu-ilmu sosial. Masing-masing
varian metodologi, selain didasarkan atas paradigma atau perspektif teoritik serta
epistemologi yang berbeda (dan banyak diantaranya bahkan saling bertolak-
belakang), merekapun memiliki pilihan metode-metode penelitian yang berbeda pula.
Keterkaitan antara paradigma dengan metodologi dan metode penelitian
tersebut bisa disimpulkan melalui apa yang digambarkan oleh Crotty (1998).
Akhirnya, setiap varian metodologi memiliki preferensi metode-metode tertentu yang
dinilai tepat untuk dipergunakan dalam suatu penelitian, dan juga tolak ukur tersendiri
dalam menilai apakah suatu hasil penelitian menjawab permasalahan yang diajukan
atau apakah suatu penelitian ‘berkualitas’ atau tidak. Keseluruhan epistemologi,
perspektif teoritikal, metodologi dan metode-metode itu bisa kita sebut suatu
paradigma.
Sebagai contoh, perspektif teoritikal symbolic interactionism, didasarkan atas
epistemologi yang disebut sebagai contructivism. Perspektif teoritikal symbolic yang
didasarkan atas epistemologi yang disebut constructivism juga tidak terlepas dari
penerapan metodologi tertentu sebagai implikasi antara lain penerapan metodologi
ethnography. Metodologi ethnography memiliki kecenderungan atau preferensi untuk
menerapkan metode-metode tertentu pula yang dinilai tepat, seperti metode
pengumpulan data participant observation.
Tiap paradigma-sebagai suatu mental window atau morld view yang
dipergunakan oleh suatu komunitas ilmuwan tertentu untuk mempelajari objek
keilmuan mereka-satu sama lain mungkin bertolak belakang dan sulit dipertemukan.
Sebab, masing-masing paradigma memiliki asumsi-asumsi serta penjelasan mengenai
realitas sosial tersendiri, yang sulit untu diperbandingkan satu per satu
(incommensurable) berdasarkan sisitem nilai independen tertentu.
Bila Denzin dan Lincoln (1994) menilai “A paradigm encompasses three
elements: epistemology, ontology, dan metodology”, maka perbedaan antar paradigma
bisa meliputi perbedaan yang mendasar dari segi ontologi, epistemologi, dan
metodologi. Perbedaan yang paradigmatik antara dua peneliti-atau perbedaan yang
mencakup dimensi epistemologi, ontplogi, dan metodologi-akan menyebabkan
keduanya tidak bisa dipertemukan dan bekerjasama.
Empat paradigma yang dikemukakan Burrel dan Morgan (dalam
Rosengreen,1979), sebagai contoh, sebenarnya berangkat dari pengkutuban teori-teori
sosial dalam sebuah kontinum antara konsepsi yang menekankan subjektivitas di
kutub yang satu dengan objektivitas di kutub yang lain. Dalam kontinum objektif-
subjektif tersebut, sekurangnya terdapat pengkutuban yang menyangkut 4 asumsi
mengenai ilmu-ilmu sosial.
Pertama, dari segi ontologi, pengkutuban antara realisme-nominalisme; dari
segi epistemologi, pengkutuban antara positivism-antipositivism, dari segi
metodologi, antara nomothetic-ideographic; kemudian dari segi asumsi tentang
manusia, kutub objektivis berangkat dari asumsi yang deterministik, sedangkan kutub
subjektivis berpijak pada asumsi voluntaristik (Rosengreen, 1979). Diluar dimensi-
dimensi epistemologi, ontologi, dan metodologi, sejumlah pakar lain secara implisit
ataupun eksplisit menilai sebuah paradigma juga memuat elemen axiology (Littlejohn,
1992), yang berkaitan dengan posisi value judgments, etika, atau pilihan moral
peneliti dan kegiatan ilmiah.
Oleh karena itu, perbedaan antar paradigma tersebut juga bisa dibahas dari
empat dimensi, yakni:
1. Epistemologis, yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan antara
peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai
objek yang diteliti. Kesemuanya menyangkut teori pengetahuan (theory of
knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.
2. Ontologis, yang berkaitan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang
diteliti.
3. Metodologis, yang berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh
pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.
4. Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value judgments, etika, dan pilihan moral
peneliti dalam suatu penelitian.
Beberapa hal yang perlu digarisbawahi mengenai perbedaan ketiga paradigma
tersebut adalah:
Pertama: Peneliti dari kubu paradigma klasik merasa harus menempatkan diri
sebagai value free researcher, yang harus senantiasa membuat pemisahan antara nilai-
nilai subjektif yang dimilikinya dengan fakta objektif yang diteliti.Sebaliknya peneliti
dari kubu kritis dan kontruktivis melihat hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak
mungkin dan tidak perlu dilakukan. Sebab, setiap penelitian selalu melibatkan value
judgemants dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Pemilihan apa yang akan
diteliti (misalnya efektivitas iklan rokok ataukah akibat negatif rokok) merupakan
pilihan yang didasarkan atas suatu penilaian subjektif. Lebi dari itu, dalam sebuah
ilmu yang menjadikan manusia sebagai pokok perhatian, usaha untuk secara
“objektif” menempatkan manusia sebagaimana halnya objek-objek ilmu alam jelas
telah merupakan suatu value judgments juga.
Kedua: Penelitian paradigma klasik berangkat dari asumsi ada suatu realitas
sosial yang objektif. Karena itu suatu penelitian juga harus objektif, yakni untuk
memperoleh pengetahuan tentang suatu objek atau realitas sosial sebagaimana
adanya. Untuk itu seorang peneliti harus menjaga jarak dengan objek yang diteliti,
mencegah agar tidak terjadi interaksi antara subjektivitas dirinya dengan objek yang
diteliti.
Sebaliknya, peneliti paradigma kritis justru melihat bahwa objek atau realitas
sosial yang mereka amati merupakan penampakan realitas semu (virtual reality) atau
sekedar atau sekedar ekspresi kesadaran palsu (false consciousness) yang dimiliki
manusia, bukan merupakan suatu realitas objektif, atau realitas yang sesuai dengan
“esensi sebenarnya”- yang diyakini oleh para peneliti dari kubu kritis seharusnya
dimiliki manusia dan dunianya. Tujuannya antara lain untuk memperoleh temuan
yang memiliki signifikansi sosial. Sementara itu varian tertentu dalam tradisi
penelitian kontruktivis merupakan penelitian yang refleksif, yang ingin
merefeleksikan suatu realitas sosial sesuai dengan penghayatan subjek-subjek yang
terkait dalam realitas itu sendiri.
Ketiga: Setiap paradigma memiliki sendiri kriteria penilaian kualitas suatu
penelitian (goodness criteria). Oleh karena itu sulit, atau bahkan tidak selayaknya, kita
mempergunakan kriteria yang berlaku dalam paradigma klasik untuk menilai kualitas
sebuah penelitian yang berpijak atas asumsi-asumsi epistemologis, ontologis dan
aksiologis dari paradigma lain, demikian sebaliknya.Paradigma klasik hingga saat ini
masih tetap tampil lebih dominan dibanding dua paradigma lainnya. Secara umum,
penilaian mengenai dominasi paradigma klasik tersebut, khusunya di Tanah Air,
didasarkan atas sejumlah pengamatan antara lain: Pertama, jumlah penelitian, jumlah
publikasi hasil penelitian, besarnya pendanaan yang diperoleh, jumlah ilmuwan, dan
profesional yang terserap pasaran tenaga kerja sektor ekonomi lainnya (Guba and
Lincoln, 1994). Kedua, besarnya kecenderungan di kalangan ilmuwan sosial sendiri
untuk menilai metodologi paradigma klasik sebagai satu-satunya metodologi
penelitian. Di banyak perguruan tinggi, metodologi penelitian yang diajarkan
hanyalah metodologi penelitian klasik, dan itu kemudian dipersepsikan sebagai satu-
satunya metodologi. Dengan demikian kriteria penilaian kualitas penelitian paradigma
klasik (seperti objektivitas, reliabilitas, validitas internal dan eksternal) juga dinilai
sebagai kriteria untuk menilai kualitas setiap penelitian, termasuk menilai kualitas
penelitian-penelitian yang berpijak pada paradigma kritis ataupun paradigma
konstruktivis.
Penting untuk dicatat, bahwa meskipun fokus kajian dalam matakuliah ini
memang metodologi penelitian klasik, namun itu sama sekali tidak berarti bahwa
paradigma tersebut sebagai yang terbaik, atau lebih superior dibanding paradigma
lainnya. Pertimbangan untuk itu hanyalah didasarkan atas asumsi bahwa, pertama,
metodologi klasik tersebut hingga kini paling banyak dipergunakan dan dimengerti;
kedua, untuk bisa memahami metodologi dari perspektif lain, dan juga untuk mampu
bersikap kritis terhadap metodologi klasik, maka pertama-tama metodologi klasik itu
sendiri harus benar-benar dikuasai atau dimengerti. Peneliti kualitatif dalam kelompok
kritis dan kontruktivis yang berkualitas umumnya adalah peneliti yang benar-benar
menguasai metode-metode kuantitatif dalam tradisi klasik. Sebaliknya, peneliti
kualitatif banyak yang melakukan studi kualitatif semata-mata hanya karena tidak
menguasai sama sekali kaidah-kaidah, metode serta teknik dalam perspektif kritis dan
konstruktivis.

1.3 Penelitian Kuantitatif

Karakteristik Penelitian Kuantitatif (Bungin (2005) hal. 31-35)


Paradigma Kuantitatif-Positivistik
Dalam ilmu-ilmu sosial, sebagaimana induk dari ilmu tentang manusia seperti
sosiologi, politik, ekonomi, hukum, administrasi, komunikasi, dan sebagainya,
mengenal paradigma kuantitatif-positivisme sebagai salah satu paradigma penelitian
yang sangat berpengaruh. Dalam paradigma kuantitatif, gagasan-gagasan positivisme
dianggap sebagai akar paradigma tersebut. Paradigma ini adalah tradisi pemikiran
Perancis dan Inggris yang antara lain diilhami oleh David Hume, John Locke, dan
Berkeley yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan dan
memandang pengetahuan memiliki kesamaan hubungan dengan pandangan aliran
filsafat yang dikenal dengan nama positivisme serta sering kali juga disebut dengan
berbagai label lain, seperti empirisme, behaviorisme, naturalisme, dan sainsisme.
Tradisi ini berkembang sebagai akibat sedemikian terobsesi dan dipengaruhi oleh
tradisi ilmu-ilmu kealaman yang tergolong Aristotelian. Ia bertumpu pada pandangan
bahwa realitas itu pada hakikatnya bersifat materi dan kealaman. Manusia juga
hakikatnya bersifat materi dan kealaman. Yang disebut dengan jiwa (mind) tak
ubahnya dengan kertas putih (tabula rasa), yang hakikatnya semacam film kamera
pada diri manusia; ia sekadar ‘photocopy’ atau gambaran ‘hasil potret’ pengalaman
indrawi manusia.
August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori munculan aliran
filsafat positivisme ini. Comte jugalah yang menciptakan istilah ‘sosiologi’ sebagai
disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat secara ilmiah. Dalam perkembangan
berikutnya positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan mulai pada abad 20-
an sampai saat ini, dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh
ilmu-ilmu manusia maupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar,
yaitu berdasarkan kriteria-kriteria eksplanatoris dan prediktif. Demi terpenuhinya
kriteria-kriteria tersebut maka semua ilmu harus memiliki pandangan dunia
positivistik sebagai berikut: (1) objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas
nilai. (2) fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya bicara tentang semesta yang
teramati. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala
penampakan disingkirkan. (3) reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta
keras yang dapat diamati. (4) natuarlisme. Alam semesta adalah objek-objek yang
bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.
Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu
bahkan sampai dewasa ini. Pengaruh tersebut dikarenakan klaim-klaim yang
dikenakan oleh positivisme terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu Klaim
kesatuan ilmu. Ilmu-ilmu manusia dan ilmu-ilmu berada di bawah payung paradigma
yang sama yaitu paradigma positivistik. Klaim kesatuan bahasa. Bahasa perlu
dimurnikan dari konsep-konsep metafilis dengan mengajukan parameter verifikasi.
Klaim kesatuan metode.Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik ilmu-ilmu
alam maupun ilmu-ilmu manusia.
Pandangan positivisme ini begitu kuat mengklaim bahwa ilmu (sains) adalah
ilmu pengetahuan yang nyata dan positivistik, sehingga ilmu pengetahuan yang
positivistik bukanlah ilmu (sains). Pandangan ini kemudian membawa positivistik
menjadi serba empirisme, behaviorisme, nauturalisme, dan sainsisme dan menafikan
semua pandangan fenomenomologis untuk disebutkan sebagai ilmu.
Tradisi positivisme ini kemudian melahirkan pendekatan-pendekatan
paradigma kuantitatif dalam penelitian sosial di mana objek penelitian dilihat
memiliki keberaturan yang naturalistik, empiris, dan behavioristik, di mana semua
objek penelitian harus dapat direduksi menjadi fakta yang dapat diamati, tidak terlalu
mementingkan fakta sebagai makna namun mementingkan fenomena yang tampak,
serta serba bebas nilai atau objektif dengan menentang habis-habisan sikap-sikap
subjektif. Tradisi positivistik semacam ini membawa paradigma penelitian ini sebagai
aliran penelitian yang berawalan arus dengan paradigma kualitatif-fenomemenologis.

Lingkup Penelitian

Luasan yang mengitari penelitian kuantitatif, sama dengan besaran ruang


lingkup keilmuan sosial, seperti sosiolog, politik, ekonomi, hukum , administrasi,
komunikasi, dan sebagainya, karena semua objek kemasyarakatan menjadi objek dan
ruang lingkup penelitian kuntitatif. Bahkan dalam kasus tertentu aspek-aspek
penelitian kuantitatif menjangkau objek-objek dunia materi dalam keilmuan eksata.
Akan tetapi dalam kesempatan ini kita akan melihat lingkup penelitian kuantitatif
dalam ilmu-ilmu sosial seperti yang disebutkan di atas.
Sepertinya kita akan mengalami kesulitan dalam menentukan ruang lingkup
penelitian kuantitaif termasuk pula penelitian sosial lainnya. Karena penelitian sosial
yang meneliti perilaku-perilaku sosial di dalam masyarakat mengalami kesulitan
menentukan besaran dan spektrum perilaku manusia itu sendiri sebagai objek
penelitiannya. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu alam yang serba dapat diukur dan
dibatasi. Akan tetapi perilaku sosial seperti juga gejala-gejala alam lainnya memeliki
regularitas (keberaturan) yang dapat diukur dan dibatasi pada jenis-jenis tertentu yang
dapat membedakannya dengan jenis perilaku sosial lainnya. Kendati demikian di sisi
lain disadari regularitas perilaku sosial walaupun memiliki kemiripan (compatable)
dengan regularitas yang terjadi pada gejala-gejala alam, namun memiliki tingkat
keajekan yang tidak sama, dengan kata lain regularitas gejala-gejala sosial lebih
rentan bila dibandingkan dengan gejala-gejala alam.
Argumentasi di atas dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa di dalam ilmu-
ilmu alam terdapat peristiwa-peristiwa monoton dari objek yang diamati, sehingga
peristiwa itu membentuk gejala rutin dalam fenomena alam. Namun peristiwa
semacam itu tidak terdapat pada ilmu-ilmu sosial. Objek yang diamati oleh ilmu-ilmu
sosial memiliki variasi gejala majemuk, dan ini pula yang menjadikan fenomena unik
bagi ilmu-ilmu sosial serta diakui sebagai karakteristik yang memiliki keunggulan
lebih terhadap ilmu-ilmu alam. Konsekuensinya ilmu-ilmu sosial memiliki
kompleksitas metodologis yang lebih rumit (canggih) melebihi ilmu alam, terutama
dalam hal menentukan konsep, reliabilitas, maupun validitas. Karena itu kajian
terhadap objek-objek perilaku sosial memiliki keasyikan dan keunikan tersendiri yang
tidak didapatkan pada kajian ilmu-ilmu alam pada umumnya.
Dari apa yang dijelaskan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perilaku
sosial yang memiliki gejala yang tampak, dapat diamati, dan dapat diukur sebagai
variabel-variabel yang muncul di masyarakat merupakan wilayah penelitian
kuantitatif. Sehubungan dengan itu, maka lingkup penelitian kuantitatif sebagaimana
juga penelitian dalam keilmuan sosial.
Suatu penelitian sosial juga dapat mengosentrasikan perhatiannya pada
hubungan antarkomponen, misalnya hubungan komponen:
1. Individu dengan kelompok;
2. Individu dengan pranata sosial;
3. Individu dengan masyarakat;
4. Individu dengan kebudayaan;
5. Kelompok dengan pranata sosial;
6. Kelompok dengan masyarakat;
7. Kelompok dengan kebudayaan;
8. Pranata sosial dengan masyarakat;
9. Pranata sosial dengan kebudayaan;
10. Masayakat dengan kebudayaan.
Penelitian sosial tidak saja berfokus pada hubungan antarkedua komponen,
tetapi dapat lebih dari itu. Misalnya hubungan antarkomponen:
1. Individu, kelompok, dan pranata sosial;
2. Individu, kelompok, pranata sosial, dan masyarakat;
3. Individu, kelompok, pranata sosial, masayarakat, dan kebudayaan;
4. Kelompok, pranata sosial, dan masyarakat;
5. Kelompok, pranata sosial, masyarakat, dan kebudayaan;
6. Pranata sosial, masyarakat, dan kebudayaan;
7. Kelompok, masyarakat, kebudayaan;
8. Individu, pranata sosial, dan masyarakat;
9. Individu, pranata sosial, dan kebudayaan;
10. Individu, pranata sosial, masyarakat, dan kebudayaan.
Pada dasarnya penelitian sosial meletakkan diri pada lingkup hubungan
antarberbagai komponen dalam anatomi kehidupan sosial. Kesemuanya berarah pada
penemuan regularitas sosial sesuai konsep yang dihipotesiskan dengan maksud
mengujinya.

Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Penelitian Kualitatif


(Danim (2002): hal. 33-37)
Ada dua pendekatan penelitian yang populer, yaitu pendekatan kuantitatif
(quantitative research) dan pendekatan kualitatif (qualititative research). Kedua
penelitian merupakan dua pendekatan yang berbeda meski saling melengkapi satu
sama lain karena kedua jenis penelitian tersebut membangun jenis yang berbeda dari
pengetahuan yang berguna di bidang ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Area masalah
yang akan dikaji akan menentukan tipe pendekatan penelitian yang akan dilakukan.
Pengetahuan peneliti mengenai dua tipe penelitian itu akan membantunya menyeleksi
secara akurat proses penelitian atas masalah-masalah sosial dan pendidikan yang
diidentifikasikan.
Penelitian kuantitatif dirancang untuk memproduk ilmu pengetahuan “keras”
(hard science) yang berbasiskan “kekuatan” objektivitas dan kontrol. Pendekatan
kuantitatif merupakan salah satu upaya pencarian ilmiah (scientific inquiry), yang
muncul dari cabang filsafat yang disebut positivisme logikal (logical positivism), yang
beroperasi dengan aturan-aturan ketat mengenai logika, kebenaran, hukum-hukum,
aksioma, dan prediksi (Watson, 1981). Peneliti kuantitatif berpendirian bahwa
“kebenaran” (truth) adalah absolut, sedangkan realitas bersifat tunggal (single reality).
Peneliti di bidang ilmu-ilmu sosial dan pendidikan harus mendefinisikan variabel
penelitian dan melakukan analisis atas data yang diperoleh dengan cara pengukuran
yang sangat hati-hati.
Penelitian bermuara pada penemuan kebenaran. Dalam tatanan untuk
menemukan kebenaran itu, peneliti harus tampil objektif sepenuhnya. Nilai-nilai,
perasaan-perasaan, dan persepsi pribadi tidak dapat digamitkan dalam pengukuran
realitas. Peneliti kuantitatif percaya bahwa temuan atas perilaku adalah objektif,
bertujuan, dan dapat diukur. Ketika melakukan penelitian, orientasi kerja peneliti
adalah mengembangkan instrumen, mengumpulkan data, melakukan pengukuran atas
perilaku, dan menganalisis temuan-temuan, menarik kesimpulan, merumuskan
generalisasi, dan sebagainya.
Karakteristik penelitian kuantitatif dan kualitatif
Penelitian Kuantitatif Penelitian Kualitatif
1. ilmu-ilmu keras 1. Ilmu-ilmu lunak
2. fokus “ringkas” dan sempit 2. fokus kompleks dan luas
3. reduksionistik 3. holistik atau menyeluruh
4. objektif 4. subjektif atau perspektif emik
5. penalaran logis dan deduktif 5. penalaran:dialiktik-induktif
6. basis pengetahuan: hubungan sebab 6. basis pengetahuan: makna dan temuan
akibat 7. mengembangkan/membangun teori
7. menguji teori 8. sumbangsih tafsiran
8. kontrol dan bervariabel 9. komunikasi dan observasi
9. instrumen 10. Elemen dasar analisis: kata-kata
10. elemen dasar analisis: angka 11. Interpretasi individual
11. Analisis statistik atas data 12. keunikan
12. Generalisasi
Penelitian kualitatif merupakan artistik. Pendekatan filosofis dan aplikasi
metode dalam kerangka penelitian kualitatif dimaksudkan untuk memproduk ilmu-
ilmu “lunak” (soft science), seperti sosiologi, antropologi. Kepedulian utama penelitia
kualitatif adalah bahwa keterbatasan objektivitas dan kontrol sangat esensial, berbeda
dengan filosofi yang dianut oleh peneliti ilmu-ilmu keras (hard science), seperti fisika,
enginering, kimia, dan lain-lain. Penelitian kualitatif berangkat dari ilmu-ilmu
perilaku dan ilmu-imu sosial, termasuk antropologi. Esensinya adalah sebagai sebuah
metode pemehaman atas keunikan, dinamika, dan hakikat holistik dari kehadiran
manusia dan interaksinya dengan lingkungan. Peneliti kualitatif percaya
bahwa”kebenaran” (truth) adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui
penelahaan terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan situasi sosial kesejarahan
(sociohistorical) mereka.
Fokus penelitian kuantitatif diidentifikasi sebagai proses kerja yang
berlangsung secara ringkas, sempit, dan reduksionistik. Reduksionisme melibatkan
pembedahan atas keseluruhan menjadi bagian-bagian, yang bagian-bagian itu dapat
diuji secara kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan studi yang diposisikan
sebagai bebas nilai (value free). Dengan kata lain, penelitian kuantitatif sangat ketat
menerapkan prinsip-prinsip objektivitas. Objektivitas itu diperoleh, antara lain melalui
penggunaan instrumen yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Peneliti yang
melakukan studi kuantitatif mereduksi sedemikian rupa hal-hal yang dapat membuat
bias, misalnya akibat masuknya persepsi, dan nilai-nilai pribadi. Jika dalam
penelaahan muncul adanya bias itu, peneliti kuantitatif akan jauh dari kaidah-kaidah
teknik ilmiah yang sesungguhnya.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif, fokus penelitian kualitatif adalah
kompleks dan luas. Peneliti kualitatif bermaksud untuk memberi makna atas
fenomena secara holistik dan harus memerankan dirinya secara aktif dalam
keseluruhan proses studi. Oleh karena itu, temuan-temuan dalam studi kualitatif
sangat dipengaruhi oleh nilai dan persepsi peneliti (researcher’s values and
perception).Orientasi kerja penelitian semacam ini melegitimasi pemikiran bahwa
pendekatan penelitian adalah subjektif. Meskipun demikian, pendekatan itu berangkat
dari asumsi bahwa subjektivitas adalah esensial bagi pemahaman atas pengalaman-
pengalaman yang terjadi.
Penelitian kuantitatif dilaksanakan untuk menjelaskan, menguji hubungan-
hubungan antarfenomena, dan menentukan kausalitas dari variabel-variabel.
Pendekatan penelitian semacam ini bermaslahat untuk menguji teori (testing theory).
Hal ini dilakukan melalui pengujian validitas hubungan variabel-variabel dalam
rangka menguji atau mengubah teori. Penelitian kuantitatif bersifat logis dan
menggunakan penalaran deduktif, dalam makna peneliti menguji hal-hal “khusus”
untuk membuat “generalisasi” mengenai alam ini.
Penelitian kualitatif dilaksanakan untuk membangun pengetahuan melalui
pemahaman dan penemuan (meaning and discovery). Penalaran induktif dan dialiktik
amat dominan dalam proses studi kualitatif. Karena sifatnya demikian, temuan-
temuan dalam studi kualitatif dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan –
hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Pada konteks ini, statemen-
statemen relasional itu digunakan dalam kerangka pengembangan teori.
Penelitian kuantitatif dilaksanakan dengan menerapkan kontrol yang ketat atas
dasar teorcis, kerangka berpikir, instumen, teknik analisis, penarikan kesimpulan,
penyusunan rekomendasi, dan lain-lain. Investigaror atau peneliti menggunakan
kontrol untuk mengidentifikasikan dan membatasi masalah (identification and limit
the problem) yang akan diteliti dan berusaha membatasi efek-efek ekstra dari luar
variabel yang tidak dikaji. Penerapan berbagai manipulasi atau perlakuan, misalnya
melalui sebuah eksperimen, merupakan salah satu contoh untuk menentukan ada
tidaknya efek-efek ekstra tersebut.
Penelitian kualitatif menggunakan instrumen atau alat-alat pengumpul data
yang akan menghasilkan data numerikal. Analisis statistik data yang diperoleh
dilaksanakan untuk mereduksi dan mengorganisasikan data, menentukan signifikansi
hubungan (significant relationship), dan mengidentifikasikan perbedaan
antarkelompok. Kontrol, instrumen, dan analisis statistik digunakan untuk
menghasilkan temuan-temuan penelitian dengan refleksi akurat atas realitas
(accuraterefection of reality). Dengan demikian, temuan atau hasil-hasil penelitian
dapat digeneralisasikan pada situasi populasi. Generalisasi merupakan aplikasi atas
kecenderungan-kecenderungan atau tendensi umum yang diidentifikasi melalui
sampel studi terhadap populasi tempat diambilnya subjek studi tersebut.
Penelitian kualitatif menggunakan observasi terstruktur dan tidak tersrtuktur
dan interaksi komunikatif sebagai alat mengumpulkan data, terutama wawancara
mendalam (in depth interview) dan peneliti menjadi instrumen utamanya. Data itu
mencakup sumbangsih penafsiran peneliti dan subjek (shared interpretation of the
researchers and the subject), dan tidak ada usaha untuk membuat kontrol dari interaksi
itu. Sebagai contoh, peneliti dan subjek berbagi pengalaman mengenai
ketidakberdayaan ketika menerima layanan di bidang sosial dan pendidikan dalam
bentuk pelayanan secara keseluruhan. Data ini adalah subjektif, melibatkan persepsi
dan keyakinan (perception and beliefes) peneliti dan subjek.
Data pada penelitian kualitatif berbentuk kata-kata dan dianalisis dalam
terminologi respon-respon individual, kesimpulan deskriptif, atau keduanya. Peneliti
mengidentifikasikan kategori untuk menyortir dan mengorganisasikan data (sorting
and organizing data). Tujuan aanlisis adalah mengorganisasikan data ke dalam makna,
interpretasi individual atau kerangka kerja yang menjelaskan fenomena yang dikaji.
Temuan-temuan yang dirumuskan tidak dimaksudkan oleh peneliti untuk
menggeneralisasikannya pada populasi yang lebih besar. Bagaimanapun, pemahaman
atas makna dari sebuah fenomena pada situasi khusus bermakna untuk memahami
fenomena sejenis pada situasi yang sejenis pula. Kata lainnya, kesimpulan-kesimpulan
penelitian kualitatif dapat saja ditransfer (transferable) pada situasi tertentu yang
karakteristiknya atau relatif sama.

1.4 Penelitian Kualitatif

Karakteristik Penelitian Kualitatif ( Moleong (2005); Bab I, hal.4-8)


Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan penelitian
jenis lainnya. Dari hasil penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Bogdan dan
Biklen (1982, hal.27-30) mengajukan lima buah ciri, sedang Lincoln dan Guba
(1985:39-44) mengulas sepuluh buah ciri penelitian kualitatif. Uraian di bawah ini
merupakan hasil pengkajian dan sintesis kedua versi tersebut.
Ciri ke-1: Latar Alamiah
Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau atau pada konteks
dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan, menurut, Lincoln dan Guba (1985:
39), karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai
keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Menurut mereka
hal tersebut didasarkan atas beberapa asumsi : (1) tindakan pengamatan
mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil
tempat pada keutuhan-dalam-konteks untuk keperluan pemahaman; (2) konteks
sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi
konteks lainnya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus ditliti dalam keseluruhan
pengaruh lapangan; dan (3) sebagian struktur nilai kontekstual bersifat determinatif
terhadap apa yang akan dicari.
Uraian tersebut diatas membawa peneliti untuk memasuki dan melibatkan sebagian
waktunya apakah di sekolah, keluarga, tetangga, dan lokasi lainnya untuk meneliti
masalah pendidikan atau sosiologi. peneliti yang mengadakan penelitian terhadap
mahasiswa kedokteran, misalnya, mengikuti mahasiswa sebagai subjek penelitiannya
ke dalam ruang kuliah, laboratorium, rumah sakit, dan tempat-tempat yang biasanya
digunakan oleh mereka untuk berkumpul seperti kafetaria, asrama, tempat-tempat
pertemuan, dan sebagainya. Contoh lainnya, suatu penelitian yang dilakukan oleh
Ogbu (dalam Bogdan dan Biklen, 1982:27) diselesaikan dalam dua puluh satu bulan
dengan jalan mengadakan pengamatan dan wawancara terhadap guru, siswa, kepala
sekolah, keluarga, dan anggota “dewan sekolah” (school board).
Ciri ke-2: Manusia sebagai Alat (Instrumen)
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan
alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karena, jika memenfaatkan alat yang
bukan manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan
dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian
terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu, hanya “manusia
sebagai alat” sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya,
dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di
lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen pulalah yang dapat menilai apakah
kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian
ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.
Oleh karena itu, pada waktu mengumpulkan data di lapangan, peneliti berperan serta
dalam kegiatan kemasyarakatan. Penulis menamakan cara pengumpulan data
demikian “pengamatan berperanserta” atau participation-observation. (Catatan:
Kuntjaraningrat dan Emmerson, e.d., 1982, menggunakan istilah “pengamatan
terlibat” yang jika dilihat dari segi pengertiannya masih kurang dinamis.)
Ciri ke-3: Metode Kualitatif
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif ini digunakan
karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah
apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan ketiga, metode ini
lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Ciri ke-4: Analisis Data Secara Induktif
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Analisis induktif ini
digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan
kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data; kedua, analisis induktif
lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal,
dan akuntabel; ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh
dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan kepada
suatu latar lainnya; keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh
bersama yang mempertajam hubungan-hubungan; dan terakhir, analisis demikian
dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur
analitik.
Ciri ke-5: Teori dari Dasar (Grounded Theory)
Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantif
yang berasal dari data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak ada teori
a priori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan ganda yang mungkin akan
dihadapi; kedua, penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha
untuk sejauh mungkin menjadi netral; dan ketiga, teori dari dasar lebih dapat responsif
terhadap nilai-nilai kontekstual.
Dengan menggunakan analisis secara induktif, berarti bahwa pencarian data bukan
dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian
diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-
bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokan. Jadi,
penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang
banyak data yang dikumpulkan dan yang saling berhubungan. Jika peneliti
merencanakan untuk menyusun teori, arah penyusunan teori tersebut akan menjadi
jelas sesudah data dikumpulkan. Jadi, peneliti dalam hal ini menyusun atau membuat
gambaran yang makin menjadi jelas sementara data dikumpulkan dan bagian-
bagiannya diuji. Dalam hal ini peneliti tidak berasumsi bahwa sudah cukup yang
diketahui untuk memehami bagian-bagian penting sebelum mengadakan penelitian.
Ciri ke-6: Deskriptif
Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini
disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.
Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah
wawancara, catatan-catatan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo,
dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan demikian, peneliti menganalisis
data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aaslinya. Hal itu
hendaknya dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi
satu. Pertanyaan dengan kata tanya “mengapa”, “alasan apa”, dan “bagaimana
terjadinya” akan senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti. Dengan demikian, peneliti
tidak akan memendang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya.
Ciri ke-7: Lebih Mementingkan Proses daripada Hasil
Pnelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi “proses” daripada “hasil”. Hal ini
disebabkan hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila
diamati dalam proses. Bogdan dan Biklen (1982:29) memberikan contoh seorang
peneliti yang menelaah sikap guru terhadap jenis siswa tertentu. Peneliti
mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian menjelaskan tentang sikap
yang diteliti. Dengan kata lain, peranan proses dalam penelitian kualitatif besar sekali.
Ciri ke-8: Adanya “Batas” yang ditentukan oleh “Fokus”
Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar
fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian
mempertajam fokus. Kedua, penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh
interaksi antara peneliti dan fokus. Dengan kata lain, bagaimana pun, penerapan fokus
sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian.
Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitian.
Ciri ke-9: Adanya Kriteria Khusus untuk Keabsahan Data
Penelitian kualitatif menredefinisikan validitas, dan objektivitas dalam versi lain
dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln dan
Guba (1985:43) hal itu disebabkan oleh validitas internal cara lama telah gagal karena
hal itu menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan tunggal di
mana penelitian dapat dikonvergensikan. Kedua, validitas eksternal gagal karena tidak
taat asas dengan aksioma dasar dari generalisasinya; ketiga, kriteria reliabilitas gagal
karena mempersyaratkan stabilitas dan keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya
tidak mungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan atas desain yang dapat
berubah-ubah. Keempat, kriteria objektivitas gagal karena penelitian kuantitatif justru
memberi kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai.
Ciri ke-10: Desain yang Bersifat Sementara
Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan
kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat
dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan ganda di
lapangan; kedua, tidak dapat diramalkan sebelumnya apa yang akan berubah karena
hal itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti dengan kenyataan;ketiga, bermacam
sistem nilai yang terkait berhubungan dengan cara yang tidak dapat diramalkan.
Ciri ke-11: Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama
Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang
diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber
data. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, susunan kenyataan dari
merekalah yang akan diangkat oleh peneliti; kedua, hasil penelitian bergantung pada
hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dengan yang dicari; ketiga, konfirmasi
hipotesis kerja akan menjadi lebih baik verifikasinya apabila diketahui dan
dikonfirmasikan oleh orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti.

Konsep Dasar dan Ciri-Ciri Penelitian Kualitatif (Danim (2002): Bab V, hal.57-
60)
Pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalm penelitian diturunkan dari filosofi
yang berbeda. Pendekatan kuantitif merupakan turunan dari filosofi posivistik,
sedangkan pendekatan kualitatif merupakan turunan dari filosofi fenomenologi. Di
bidang ilmu-ilmu sosial dan pendidikan, penelitian kualitatif dipersepsi sebagai suatu
istilah yang mengacu pada beberapa strategi penelitian yang sekaligus menjadi ciri-
ciri dominannya.
Pertama, data yang dikumpulkan bersifat data lunak (soft data), yaitu data
yang secara mendalam mendeskripsikan orang, tempat, hasil percakapan, dan lain-
lain. Kedua, semua data yang diperoleh kemudian dianalisis tidak dengan
menggunakan skema berpikir statistikal. Ketiga, pertanyaan-pertanyaan penelitian
tidak dirangkai oleh variabel-variabel operasional, melainkan dirumuskan untuk
mengkaji semua kompleksitas yang ada dalam konteks penelitian. Keempat, meskipun
peneliti dan pakar ilmu-ilmu sosial pendidikan dapat melakukan penelitian kualitatif
dengan menggunakan suatu fokus pada saat mengumpulkan data, mereka tidak dapat
mendekati permasalahan tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat uji
hipotesis. Mereka menguji tingkah laku manusia dengan kerangka berpikir atau
referensi mereka sendiri. Kelima, umumnya, peneliti mengumpulkan data melalui
hubungan langsung dengan orang-orang pada situasi khusus, sedangkan pengaruh luar
hanya bersifat sekunder. Keenam, prosedur kerja pengumpulan data yang paling
umum dipakai adalah observasi partisipatif (participant observation) dan wawancara
mendalam (indepth interviewing), dengan tetap membuka luas penggunaan teknik
lainnya.
Di bidang ilmu-ilmu sosial dan pendidikan, penelitian kualitatif dipersepsi
sebagai suatu istilah yang mengacu pada beberapa strategi penelitian yang sekaligus
menjadi ciri-ciri dominannya. Sifat pendekatan dalam penelitian kualitatif adalah
terbuka. Hal ini bermakna bahwa peneliti memberikan kesempatan kepada subjek
untuk menjawab pertanyaan yang diajukannya menurut kerangka berpikir dan
pengalaman mereka sendiri, bukan berdasarkan patokan-patokan jawaban yang telah
dibuat oleh peneliti. Dalam wawancara jenis ini, tidak digunakan angket meskipun
peneliti yang menggunakan garis-garis besar pertanyaan. Mengapa demikian? Pada
penelitian kualitatif, peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling dominan.
Mereka bekerja dan bertindak sedemikian rupa agar subjek merasa bebas
menggunakan pikiran mereka mengenai topik yang ditawarkannya. Karena data harus
digali secaraa mendalam dan rinci, kebanyakan penelitian kualitatif mengambil
sampel atau sumber data yang kecil jumlahnya. Bahkan ada beberapa penelitian
kualitatif yang mengkaji dan menganalisis satu subjek saja secara mendalam. Apabila
penelitian tersebut untuk mengetahui interpretasi seorang tentang kehidupan dirinya,
penelitian jenis ini dinamakan penelitian sejarah kehidupan.
Terlepas dari basis filosofisnya yang berbeda, penelitian kualitatif berbeda
dengan penelitian kuantitatif. Perbedaan itu terletak pada paradigma penelitian yang
dipakai. Paradigma yang dimaksudkan di sini adalah suatu perspektif umum atau cara
untuk memisah-misahkan dunia nyata yang kompleks, kemudian memberikan arti dan
penafsiran-penafsiran. Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi. Dengan
kata lain, paradigma lebih dari sekedar suatu perangkat regulasi yang dibuat untuk
pelaksanaan sebuah penelitian.
Penelitian kuantitatif bersumber dari filosofi positivistik, sedangkan penelitian
kualitatif bertitik tolak dari fenomenologis atau fenomena sosial. Perbedaan filosofi
yang mendasarinya itu menyebabkan kedua jenis penelitian ini mempunyai
pandangan yang berbeda. Penelitian kualitatif didasarkan pada realita eksternal dan
melihat fakta terpisah dari jiwa dan nilai. Kebenaran adalah suatu yang sesuai dengan
realita yang ada, berdiri sendiri secara bebas, dan tidak terpengaruh oleh manusia
yang terlibat di dalamnya. Asumsi ini berbeda dengan penelitian kualitatif yang
didasarkan pada realita internal. Dilihat dari perspektif penelitian kualitatif, kebenaran
merupakan hasil persetujuan, yang sesuai dengan kondisi sosial dan sejarahnya.
Penelitian kuantitatif berbasis pada rasionalisme yang menganggap hanya satu
realita yang benar, sedangkan penelitian kualitatif lebih bersifat naturalisme yang
menganggap banyak realita yang benar. Perlu dikedepankan di sini, bahwa
mempelajari penelitian kualitatif, bukan pula untuk menjawab pertanyaan mengenai
mana yang paling baik dan mana yang kurang baik; mana yang paling ilmiah dan
mana yang kurang ilmiah dari kedua pendekatan tersebut. Posisi yang diambil di sini
adalah kedua pendekatan tersebut dapat bekerja sama dan saling mengisi karena
keduanya sama-sama “scientific” dan “rigorous”. Kedua pendekatan tersebut memang
berbeda karena paradigma yang dianut memeng berbeda.

1.5 Panduan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

Cara-Cara Menggabungkan Berbagai Metode dalam Proses Penelitian


(Brannen (2004): Bab I, hal.37-50)
Bryman (1988) telah mencetuskan da melontarkan tiga metode pokok di mana
peneliti yang dalam penelitian mereka menggunakan metode kulitaif dan kuntitatif
menggabungkan keduanya: metode kualitatif sebagai fasilitator penelitian kuantitatif;
metode kuantitatif sebagai fasilitator penelitian kualitatif; kedua pendekatan diberikan
tekanan yang setara.
Proses penggabungan pendekatan dan metode disusun menurut beberapa
faktor. Yang pertama menyangkut arti penting yang diberikan kepada masing-masing
pendekatan dalam keseluruhan proyek. Yang kedua menyangkut urutan waktu, jangka
waktu untuk mana kedua metode ditempuh secara simultan. Jelaslah bahwa kontribusi
metode kualitatif terhadap perumusan masalah teoritis yang dikaji oleh survei
menuntut dilakukannya survei lapangan secara intensif sebelum survei. Di samping
itu, jika tujuan survei lapangan kualitatif untuk memperjelas dan memperluas temuan
survei, maka hal itu harus dilakukan setelah survei. Faktor ketiga juga terkait dengan
urutan waktu dan menyangkut tahap dalam proses penelitian saat kedua metode
digunakan atau dihentikan. Misalnya, kedua metode dapat diakses ke dalam proyek
pada tahap pembuatan desain tetapi hanya satu metode yang diperhitungkan dalam
penulisan laporan penulisan. Faktor keempat yang menentukan pemakaian metode
menyangkut pembagian keterampilan dalam tim penelitian. Prrakteknya, seluruh
masalah ini saling terkait meski mungkin penting diuraikan sebagai cara untuk
menjelaskan berbagai cara pengabungan metode dalam penelitian.
Dalam menelaah uraian yang diberikan peneliti tentang metodologi mereka
barangkali tidaklah selalu bisa menduga apa yang persis terjadi, pada urutan apa atau
masukan relatif metode-metode yang berbeda dan jenis data. Para penerbit menuntut
agar bagian metodologi buku-buku dimuat sesedikit mungkin. artikel-artikel jurnal
dibatasi oleh keterbatasan ruang dan jarang terfokus pada aspek-aspek metodologi
dari proyek-proyek penelitian. Di samping itu, ada tekanan informal yang datang dari
komunitas akademik yang menghendaki disembunyikannya kaji ulang mendalam,
misalnya terlalu sering proses ini berakhir dengan penempatan wajah terbaik oleh
peneliti tentang penelitiannya sehingga keterbatasan-keterbatasan metodologi
terabaikan. Bahkan ada keterbatasan-keterbatasan kata yang ditulis peneliti untuk
memberikan uraian yang otoritatif tentang karyanya (Clifford, 1986). Ini dapat berarti
memperlihatkan beberapa metode dan bukan metode-metode lain, khususnya yang
dianggap lebih mempunyai kredibilitas dan legitimasi.

Kelebihan Metode Kuantitatif atas Metode Kualitatif


Ketika metode-metode kualitatif berperan sebagai penunjang dalam suatu
proyek, metode-metode itu tampaknya mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Pertama,
metode-metode itu dapat berlaku sebagai sumber dugaan atau hipotesis yang akan
diuji dengan penelitian kuantitatif. Pemakaian kedua adalah dalam pengembangan dan
pemanduan instrumen-instrumen penelitian kuesioner, skala dan indeks. Pemakaian
ketiga dan seringkali samar-samar adalah dalam interpretasi dan klarifikasi data
kuantitatif. Di sini peneliti kuantitatif bisa mengambilnya tetapi tidak mesti menjawab
materi kualitatif ketika dia ‘berspekulasi’ tentang sifat hubungan-hubungan yang
ditemukan signifikan secara statistik. Barangkali pemakainnya yang paling lazim
adalah sebagai pembanding temuan kuantitatif, khususnya dalam perluasan kategori-
kategori ubahan.
Ketika metode-metode kualitatif berperan marjinal, tampaknya ada pemisahan
keterampilan-keterampilan penelitian pada tim proyek. Umumnya, karena para
peneliti kuantitatif jarang mempunyai banyak pengalaman dalam metode-metode
kualitatif, maka keterampilan-keterampilan itu seringkali diimpor dari luar. Secara
khas penelitian kualitatif dilaksanakan sebagai pendahuluan dari penelitian kuantitatif
yang pokok. Secara umum, tampaknya lebih sering terjadi peneliti kualitatif
ketimbang peneliti-peneliti kuantitatif menempuh pendekatan-pendekatan kualitatif.
Contoh seorang peneliti kualitatif memutar arah kepada peneliti kuantitatif diberikan
oleh Oakley yang sebelumnya berakar pada tradisi kualitatif. Proyeknya merupakan
penelitian skala besartentang pengaruh dukungan sosial terhadap bobot kelahiran
rendah (Oakley dan Rajan, 1991). Namun karena juga memperlihatkan evaluasi
dukungan dan ekspolarasi sifat dukungan itu, maka penelitian itu memasukkan
komponen kualitatif.
Kerja kualitatif yang memainkan peran penunjang adalah lebih sering daripada
menjadi perintis bagi kerja kuantitatif. Itu bisa terjadi pada tahap awal dalam proses
penelitian selama pengembangan instrumen-instrumen untuk pengumpulan data.
Dalam kasus survei sosial misalnya, metode-metode kualitatif bisa digunakan secara
terbatas pada pekerjaan persiapan, secara khas dalam mengarahkan kuesioner-
kuesioner, menguji coba pertanyaan-pertanyaan dan mengembangkan kode-kode
untuk kategorisasi jawaban. Dengan demikian juga, hal itu bisa digunakan untuk
membuat pijakan pada skala rating.
Contoh berikut adalah studi yang menggunakan metode kualitatif pada tahap-
tahap awal proses penelitian. Studi ini berskala besar dan propestif dengan model
kuantitatif yang bertujuan memprediksi kasus-kasus depresi di kalangan buruh wanita
(Brown, 1988). Kerja kualitatif dominan terjadi dalam pengembangan penelitian dan
fase pengumpulan data. Tahap-tahap ini umumnya dilakukan oleh peneliti yang
terlatih dalam metode kualitatif yang sebagian besar meninggalkan proyek pada
waktu analisis pokok dikerjakan. Seorang peneliti diupah secara khusus untuk tugas
kerja pengembangan identifikasi konsep-konsep kunci dan operasionalisasinya dalam
paradigma kuantitatif. Dalam studi utama yang diikuti, tim peneliti dituntut
melakukan wawancara-wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan
semi terstruktur, diberikan latar belakang menyeluruh tentang konsep-konsep dan
ukuran-ukuran empirisnya. Mereka kemudian dituntut menggolongkan komentar-
komentar kata demi kata dari rekaman wawancara tape meurut kategori-kategori
konseptual yang dipahami dan menyalin komentar-komentar yang relevan. Atas dasar
kategori awal, masing-masing responden dirating menurut masing-masing kategori
konseptual pada empat butir skala. Latihan terinci yang mengunakan momen ini
menuntut para pewawancara untuk memegang erat data kualitatif kasar pada tahap
analisis awal. Tetapi apabila data dikuantifikasi maka tidak begitu banyak lagi peran
bagi data dalam bentuk kata demi kata kualitatif, juga tidak dalam analisis ataupun
dalam temuan-temuan yang dipublikasikan.
Dalam studi tentang depresi wanita di atas, ada anggapan bahwa pendekatan
kualitatif secara teknis berguna yaitu dalam penggalian data melalui wawancara
mendalam. Tetapi data-data ini tidak dianggap berstatus mandiri. Sepanjang data-data
itu diberikan makna, maka data-data itu terkena kuantifikasi. Nilai wanita dari
signifikasi yang diatribusikan ke dalam berbagai aspek kehidupan mereka (tampaknya
penting untuk keluwesan diri wanita dan karena itu penting dalam depresi di saat-saat
malang) hanyalah berarti dalam kaitan dengan kumpulan rating-rating yang diperoleh.
Tujuan utama studi adalah untuk memprediksi individu-individu mana yang menjadi
sasaran depresi menurut hipotesis sementara.
Pekerjaan kualitatif tidaklah begitu lazim dilakukan pada akhir, atau sebagai
kelanjutan, kegiatan (kuantitatif) pokok (Sieber, 1973). Sebagaimana dikemukakan
Sieber, peneliti-peneliti kuantitatif jarang “merekam informasi tambahan yang
diperlukan untuk kelanjutan studi”, kekacauan metodologis yang dapat diterangkan,
karena kadang-kadang laporan-laporan yang baik didasarkan pada analisis survei
(Sieber, 1973). Situasi-situasi ketika survei lapangan kualitatif menunda survei
kuantitatif meliputi; klarifikasi temuan-temuan yang penuh teka-teki dan tidak bisa
dijelaskan oleh data kuantitatif, kemunculan sub-sub kelompok kecil tetapi menarik
yang memerlukan penggalian lebih rinci; kebutuhan untuk menindaklanjuti suatu
masalah yanga pada saat itu penerapan metode-metode kuantitatif tidaklah tepat.
Berikut adalah contoh klarifikasi lebih lanjut. Survei dilakukan terhadap
orang-orang yang mengambil keuntungan berupa intensif uang untuk pindah dari
perumahan dinas. Temuan-temuan menunjukkan bahwa mayoritas berpindah dalam
radius lokal sementara hanya sedikit yang pindah jauh. Metode-metode kualitatif
kemudian digunakan untuk menggali lebih jauh tentang kelompok yang terakhir
(Ritchie, Komunikasi Personal).
Contoh serupa dicatat dalam Sieber (1973). Studi yang meliputi survei tentang
orang tua, guru dan sisiwa mempunyai komponen kerja lapangan yang dilakukan
ketika survei diselesaikan. Salah satu alasan yang diberikan oleh para peneliti
mengenai tujuan kaerja lapangan adalah “rasa ingin tahu”, dalam ungkapan peneliti,
“untuk menemui komunitas-komunitas ini sehingga kami lebih akrab” (Wilder dan
Friedman, 1986 dicatat dalam Sieber, 1973).
Contoh berikut melibatkan penggunaan metode-metode kualitatif sebelum dan
sesudah survei. Dalam studi tentang desa-desa Peruvian, Whyte melakukan beberapa
survei lapangan yang bersifat eksplantori terhadap sebuah desa. Catatan-catatan
lapangannya menunjukkan bahwa desa itu dicirikan oleh tingkat konflik dan
kerjasama yang rendah (Whyte, 1976 yang dikutip dalam Bryman, 1988). Menurut
literatur etnografik saat itu kedua dimensi ini menempati dua ujung dari sebuah
rangkaian kesatuan: hal itu dianggap tidak ada dalam kombinasi. Whyte kemudian
merevisi kerangka teoritiknya atas dasar catatan-catatan awal lapangannya dengan
memperhitungkan temua bahwa konflik dan kerjasama dapat bersifat ortogonal. Dia
kemudian menguji hipotesisnya yang baru ini pada data survei. Hipotesis dicocokkan,
di sana menunjukkan bahwa konflik dan kerjasama dimensinya yang terpisah tetapi
berpotongan. Dilaporkan bahwa dia kemudian melakukan penelusuran etnografi
selanjutnya untuk menggali pergeseran prosesual antara kerjasama dan konflik.

Kelebihan Metode Kualitatif Atas Metode Kuantitatif


Apabila metode-metode kuantitatif menjadi penunjang bagi metode kualitatif
maka metode kuantitatif cenderung mengisi tiga fungsi. Pertama, metode kuantitatif
memberikan data latar belakang yang terukur untuk mengkontekstualisasi studi-studi
intensif skala kecil. Ini seringkali diambil dari data-data statistik resmi, seperti data
sensus, atau analisis sekunder data skala besar. Studi Morris (1988) tentang polarisasi
sosial yang terjadi di antara rumah tangga pekerja dan rumah tangga penganggur di
North East menggunakan sampel representatif dari daftar peserta pemilu sebagai
strategi samplingnya. Wawancara-wawancara, yang dilakukan terhadap seluruh
responden yang diambil dari daftar, juga ditempuh untuk memberikan gambaran yang
dapat dihitung mengenai pekerjaan dan ciri-ciri domestik populasi, dalam rangka
menafsirkan studi-studi kasus rumah tangga pekerja dan rumah tangga penganggur
(Morris, 1988).
Kedua, metode-metode kuantitatif dapat digunakan untuk menguji hipotesis
yang dilepaskan oleh survei kualitatif. Tetapi apabila hal ini terjadi, maka peranan
survei cenderung menjadi dominan. Contoh penelitian kualitatif yang belakangan
diarahkan kepada survei kuantitatif adalah tentang pekerja-pekerja rumah. Studi awal
ini dilakukan oleh sebuah tim peneliti yang berbeda dari tim yang melakuka survei
berikutnya (Cragg dan Dawson, 1981). Secara signifikan, dalam pengantar studi (oleh
Hakim), studi kualitatif dievaluasi atas dasar kontribusi statistiknya, bukan kontribusi
teoritis, yakni ukuran “sampel”-studi terbesar sepanjang yang dilakukan tentang topik
ini, sampling-representasi yang sebanding antara pejabat kerahbiru dan pejabat
kerahputih dan seterusnya (Cragg dan Dawson, 1981). Kedua studi, meski secara jelas
berhubungan, juga berdiri sendiri-sendiri (terlihat pada publikasi yang terpisah) dan
tergolong lebih baik dalam studi berikutnya ketika kedua studi ditulis terpisah, maka
tidaklah mungkin untuk menguji statusnya dalam kaitan satu sama lain.
Ketiga, survei kuantitaif dapat memberikan landasan bagi sampling kasus-
kasus dan kelompok –kelompok pembanding yang membentuk studi intesif. Data
yang secara statistik representatif memungkinkan peneliti untuk memutuskan apakah
perlu membuat sampel kasus-kasus dengan kriteria representatif atau kriteria lain.
Studi terakhir tentang kesehatan remaja dan pendewasaan remaja, di mana saya
terlibat, dimulai dengan survei tentang anak-anak muda di sekolah-sekolah, salah satu
fungsi pokoknya untuk memperoleh kriteria bagi pemilihan rumah tangga dalam studi
pokok yang intensif tentang rumah tangga. Salah satu hasil penting survei adalah
bahwa survei dapat menunjukkan munculnya kelompok-kelompok tertentu yang
menarik dalampopulasi umum. Apabila kelompok-kelompok tersebut diperkecil maka
penemuan ini dapat menuntun penelitidalam membuat sampelnya.
Survei kuantitatif penunjang dapat dilakukan pada setiap tahap dalam proses
penelitian. Survei dapat dilakukan sebagai langkah awal bagi studi kualitatif pokok
pada tahap akhir. Informasi kontekstual tentang varian yang terkualifikasi bisa
dikumpulkan pada tahap apa saja (survei kuantitatif yang memberikan landasan bagi
penentuan sampel tentu saja harus dilakukan awal).

Aspek Kualitatif dan Kuantitatif Diberikan Bobot Yang Seimbang


Metode gabungan dapat berakhir dengan dua studi yang terpisah tetapi
berhubungan, yang satu sama lain berbeda pada setiap tahap proses penelitian.
Masing-masing studi dapat berdiri sendiri dari tahap pembuatan desain sampai
seterusnya. Jika tidak, kedua metode dipadukan dalam satu studi, dengan titik
sambung pada fase survei lapangan atau dalam analisis atau penulisan laporan akhir.
Kedua metode dapat dikerjakan secara simultan atau bertalian. Di samping bisa
dikerjakan oleh peneliti-peneliti yang berbakat ganda atau tim peneliti spesialis yang
terpisah. Studi-studi di bawah petunjuk ini dibedakan oleh fakta bahwa kedua jenis
data jumlahnya seimbang dalam hal sumber-sumber yang dialokasikan ke sana dan
keduanya memainkan bagian yang berimbang dalam analisis dan penulisan laporan.
Sebagai contoh, dari proyek yang menggunakan pendekatan gabungan saya
memilih salah satu pengalaman saya. Relatif tidak lazim karena proyek itu tidak
disusun dengan paradigma multimetode, minimal tidak pada konseptualisasi awal. Ia
merupakan contoh sebuah proyek ketika dua metode digabungkan dalam satu
instrumen survei lapangan.
Desain studi bersifat longitudinal dan organisasinya multidisiplin. Fokusnya
adalah pengalaman para ibu yang kembali pada pekerjaan fulltime setelah kelahiran
anak pertama dan pengaruh-pengaruhnya terhadap ibu dan anak (Brannen dan
Moss,1991). Konseptualisasi awal dari penelitian itu ditulis dengan paradigma
kuantitatif yakni untuk mengungkap hubungan antara ubahan-ubahan yang dihitung
secara lintas bagian dan sepanjang waktu. Perhatias khusus diberikan untuk
mengetahui kesehatan mental wanita dan perilaku kerja serta cara perawatan anak
sepanjang waktu. Dalam prakteknya, tujuan awal penelitian tercapai menurut
paradigma kuantitatif.
Sementara dalam proposal awal ada penekanan pada data deskriptif ‘obyektif’
dan penjelasan statistik tentang pola-pola perilaku dalam beberapa faktor yang belum
ditentukan, tetapi perhatian baru diintrodusir setelah tim peneliti direkrut. Ini terpusat
sekitar konstruk wanita dan definisi pengalaman menjadi ibu dalam pekerjaan fulltime
ketika mempunyai seorang anak yang masih kecil: proses memutuskan untuk kembali
kerja, pengalaman wanita tentang berbagai jenis dukungan sosial, makna bekerja,
cara-cara menguasai pekerjaan tersebut dan seterusnya. Perspektif teoritis yang
berkait dengan konseptualisasi ini ditarik dari fenomenologi sosiologis dan tindak
sosial; tujuannya adalah memahami cara-cara wanita membangun karir mereka dalam
bekerja dan menjadi ibu dalam konteks sumber-sumber situasional dan idiologis.
Agaknya yang paling tepat menjawab masalah-masalah prosesual ini adalah dengan
teknik wawancara mendalam di mana para wanita didorong untuk berbicara panjang
lebar tentang pengalaman-pengalaman mereka, menurut definisi-definisi mereka,
bukan dengan mengisi jawaban, pertanyaan dan kategori-kategori yang belum tetap
dari peneliti.
Teknik ini didukung dengan daftar wawancara sehingga informasi-informasi
yang sangat spesifik (belum terkode) dikumpulkan bersamaan dengan uraian-uaraian
yang lebih luas. Pewawancara dilatih untuk menggali, memperlakukan daftar
wawancara secara fleksibel, membiarkan responden berbicara panjang lebar dan
menelaah seluruh wawancara secara utuh. Dalam melakukan transkripsi bahan
rekaman ke dalam daftar pertanyaan pewawancara juga diharapkan melakukan silang
rujukan yang mengkaitkan jawaban satu dengan jawaban lain.
Pemakaian kembar metode wawancara untuk pengumpulan berbagai jenis
data-satu, yang menghasilkan bahan kualitatif (beberapa diantaranya juga setelah itu
diperlakukan secara kuantitatif, tidak secara statistik) dan yang lain menghasilkan data
(statistik) kuantitatif-dimasukkan kedalamnya pada tahap analisis. Kedua kumpulan
data memerlukan strategi analisis yang terpisah yang diproses secara paralel (analisis
kualitatif dilakukan pada awal wawancara karena secara logistik tidaklah mungkin
dengan cara memperlakukan seluruh data yang dihasilkan oleh studi). Umumnya
kedua jenis data diperlakukan sebagai pelengkap satu sama lain karena masing-
masing data terkait dengan berbagai pertanyaan penelitian yang berbeda. Tetapi juga
ada beberapa tumpang tindih dalam pemberlakuan data. Ini saya maksudkan bahwa
beberapa pertanyaan yang secara mendasar dikaitkan dengan proses-proses sosial dan
definisi-definisi responden juga dikode menurut paradigma kuntitatif dan dengan
demikian juga diproses. Dalam beberapa kasus lain data tidaklah konsisiten, suatu
hasil yang dalam masalah ini data kualitatif sangatlah jelas.
Contoh data yang tidak konsisten menyangkut kepuasan wanita tehadap
suami. Menurut data kuantitatif (sebuah jawaban yang dikode terhadap sebuah
pertanyaan umum), wanita dalam rumah tangga yang keduanya bekerja tampak cukup
puas dengan kontribusi suami mereka terhadap kerja rumah dan perawatan anak,
meskipun faktanya hal ini masih jauh dari seimbang. Ini mengagetkan karena beban
kerja penggabungan pekerjaan fulltime dengan perawatan anak sangatlah berat,
ditambah fakta bahwa wanita dengan tegas dipojokkan pada pandangan bahwa beban
kerja domestik harus dibagi. Tetapi apabila kita mengkaji data kualitatif, kita mencatat
kecenderungan yang lebih besar pada sebagian wanita untuk mengkritik mitra-mitra
mereka, meski hanya secara implisit khususnya ketika penjelasan-penjelasan mereka
terfokus pada kejadian-kejadian khusus. Kami juga mencatat bahwa komentar-
komentar kritis dilontarkan, diimbangi dengan kometar-komentar yang
menyenangkan, khususnya ketika wanita didesak, dalam konteks penggambaran
kesulitan-kesulitan apa yang jelas dalam kehidupan mereka, dengan pertanyaan-
pertanyaan langsung yang menuntut jawaban-jawaban evaluatif yang global. Analisis
tentang penyelesaian mereka merupakan pengaruh dari kesan ideologi, laki-laki
dominan sebagai pencari nafkah dan perempuan menjadi ibu sejati (Brannen dan
Moss, 1991).
Dalam studi ini komponen kuantitatif dan kualitatif dari penelitian saling
berproses. Komponen kualitatif diintrodusir pada tahap survei lapangan dan dalam
penulisan laporan. Kedua pendekatan diberikan bobot yang seimbang. Umumnya
kedua pendekatan menuju pertanyaan berbeda tetapi berhubungan sehingga kedua
jenis data saling melengkapi. Apabila kedua pendekatan menuju pertanyaan yang
sama, maka inkonsistensi yang ditemukan diperjelas oleh data kualitatif. Kedua
kesimpulan data digunakan untuk tujuan deskriptif dan eksplanatori. Kasus-kasus juga
digunakan dalam naskah untuk menunjukkan dinamika proses sosial, bukan sebagai
ilustrasi-ilustrasi. Pendekatan itu menunjukkan keuntungan dari pendekatan multi-
metode, yakni kemampuannya untuk menyelaraskan kontradiksi-kontradiksi dan
menyoroti sifat manusia yang terfragmentasi dan multiwajah. Keuntungan ini
merupakan satu hal yang mengungguli manfaat dari peningkatan kesahihan data yang
lazim diklaim.

Faisal, dalam Bungin (Editor) (2003), Bagian II, No.2, Hal. 31-35 (Judul buku
Metode Penelitian Kualittatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam
Kontemporer)

Desain Penelitian Sosial (Format Kuantitatif-Kualitatif)


Di tingkat metodologi terdapat dua mahzab penelitian sosial, yaitu mahzab (1)
pendekatan penelitian kuantitatif, dan (2) pendekatan penelitian kualitatif. Keduanya
lahir dan berkembang biak sebagai konsekuensi logis dari perbedaan asumsi masing-
masing tentang hakikat realitas sosial maupun hakikat manusia itu endiri. Perbedaan
antara keduanya bukan saja di tingkat teknis ke-metode-an, tetapi juga di tingkat
paradigma beserta tujuan penelitian yang hendak dituju. Akibatnya, adalah wajar bila
keduanya memiliki idiom-idiom khas yang sekaligus menunjukkan identitas diri
(masing-masing) yang berbeda satu sama lain.
Pada penelitian sosial yang tergolong berpendekatan kuantitatif, misalnya,
terdapat berbagai istilah kunci yang selama ini (dipandang) sedemikian melekat
sebagai atribut penelitian kuantitatif itu sendiri. Misalnya istilah faktor, variabel,
instrumen pengukuran, validitas, reliabilitas, objektivitas, dan sebagainya. Itu bisa
disebut sebagai idiom-idiom yang menunjukkan karakteristik essensial dirinya, seperti
istilah responden, populasi dan sampel beserta teknik samplingnya itu sendiri. Hal
serupa juga berlaku pada format penelitian eksperimen. Pada format eksperimen,
misalnya terdapat istilah-istilah kunci (idiomkhas) yang merefleksikan jati dirinya,
termasuk di antaranya istilah desain penelitian, kelompok kontrol, kelompok
eksperimen, subyek penelitian, randomisasi subyek penelitian, tritmen, validitas
internal dan validitas eksternal.
Berbagai idiom yang lazim disebut dan digunakan dalam tradisi penelitian
kuantitatif umumnya tidak berlaku, atau tepatnya tidak relevan serta kurang lazim
dipakai dalam konteks penelitian kualitatif. Itu dikarenakan perbedaan paradigma dan
tata cara teknis metodologis yang diperlukan. Idiom-idiom khas yang mencerminkan
identitas essensial (sesuai hakikat) penelitian kualitatif, antara lain tercermin pada
penggunaan istilah informan (bukan responden), penggunaan istilah kredibilitas
(bukan validitas internal), penggunaan istilah transferabilitas (bukan validitas
eksternal), penggunaan istilah dependabilitas (bukan reliabilitas), dan masih banyak
lagi lainnya. Berbagai rupa idiom khas dalam penelitian kualitatif tentu saja masih
banyak lagi, dan itu bisa dilacak pada buku-buku teks Penelitian Kualitatif.
Istilah desain penelitian, sebagaimana telah disebutkan secara sekilas di muka,
sesungguhnya (tadinya) merupakan idiom khas yang melekat sebagai identitas
essensial penelitian sosial berformat eksperimen. Seperti diketahui, suatu eksperimen
yang baik, mestilah mengandung tiga elemen dasar, yaitu (1) meramdom
subjek/kelompok yang dikenal eksperimen, (2) mengontrol peluang pengaruh
variabel-variabel imbuhan atau extraneous variable, dan (3) melakukan manipulasi
variabel bebas. Atas dasar itu, suatu penelitian eksperimental haruslah mengandung
langkah-langkah berikut:
Petama, menyeleksi dan merandom subyek-subyek ke dalam kelompok-
kelompok yang dikenai eksperimen, yaitu mencakup yang akan masuk ke dalam
”kelompok kontrol” maupun ”kelompok eksperimen”. Dalam desain, bila subyek-
subyeknya memang dipilih melalui randomisasi, misalnya dinyatakan dengan
menggunakan lambang R.
Kedua, pengukuran pratesatau ”observasi keadaan awal, yaitu keadaan
sebelum diberikan perlakuan atau tritmen eksperimental” terhadap variabel
tergantung. Dalam desain penelitian misalnya diberikan lambang O-1.
Ketiga, pemberian tritmen yang berbeda kepada kelompok-kelompok yang
dikenai eksperimen, atau melakukan manipulasi variabel bebas. Dalam desain
penelitian misalnya dilambangkan T-1 untuk tritmen pada ”kelompok-kelompok”, dan
T-2 untuk tritmen pada ”kelompok kontrol”.
Keempat,, pengukuran pascates atau ”observasi keadaan akhir setelah
diberikan tritmen” terhadap variabel tergantung. Dalam desain penelitian misalnya
menggunakan lambang O-2.
Desain dasar (suatu eksperimen) yang demikian itu, gambarannya seperti
diliaht di bawah ini.

Kelompok-1 Prates Tritmen-1 Pascates

Randomisasi
Subyek

Kelompok-2 Prates Tritmen-2 Pascates

Berdasarkan kerangka ”Desain Dasar Suatu Eksperimen” tersebut, peneliti


sosial dapat mengajukan suatu desain penelitian yang dipandangnya relevan dengan
rencana penelitian yang hendak dilakukan. Misalnya menggunakan desain Prates-
Pascates Pada Kelompok Ekuivalen, yang desainnya (dilambangkan) seperti dibawah
ini.
R O-1 T-1 O-2
R O-2 T-2 O-2
Pada buku-buku teks, khususnya pada bab yang memperbincangkan penelitian
eksperimental, biasanya disodorkan pula berbagai macam desain, mulai dari desain
teramat sederhana yang tergolong ”PraEksperimen” hingga desain yang sedemikian
kompleksnya seperti ”Desain Faktorial Kompleks”.
Dalam format penelitian survei, kalau toh istilah desain penelitian digunakan,
biasanya (terutama) untuk menunjukkan apakah suatu penelitian tergolong studi
korelasional ataukah studi komparasi. Bila studi korelasi, mengorelasikan (variabel)
apa dengan apa, yang mana variabel bebasnya dan yang mana variabel tergantungnya;
juga bila ada, mana yang ditempatkan sebagai variabel penyela (intervening variable).
Dan, menggunakan analisis korelasi yang mana. Kalau studi komparasi, tentunya
perlu jelas mengomparasikan apa di antara subpopulasi yang mana saja. Dan, akan
menggunakan analisis uji beda yang mana. Bila dianalogikan dengan corak desain
penelitian eksperimental, pada format penelitian survei mestinya yang jauh lebih
penting disodorkan (dalam ususlan penelitian) adalah berkenaan dengan rancangan
pengambilan sampel. Sebab, layak dipercayaatau tidak generalisasi hasil/temuan suatu
survei sangat ditentukan oleh ”sosok sampel” beserta bagaimana sampel itu diambil.
Lalu bagiamana dengan format-format penelitian yang tergolong dalam
pendekatan penelitian Kualitatif? Apakah menghajatkan suatu desain tertentu
sebagaimana pada format penelitian eksperimental?
Istilah desain itu sendiri sudah amat condong berkonotasi kuantitatif, dan
karenanya, bisa dimengerti bila ia tak muncul dalam (sebagai) perbendaharaan
penelitian kualitatif. Walaupun demikian, selaku disclipined inquary, penelitian
kualitatif juga dituntut memiliki strategi penyelidikan yang andal sehingga hasil
(temuannya) bisa dipertanggungjawabkan kepercayaan (trustwortheness) dan
kejituannya. Untuk itu, strategio penelitian menjadi amat penting dipaparkan secara
gamblang, yaitu strategi penyelidikan yang dipandang relevan dan jitu untuk
menemukan jawaban terhadapmasalah dan tujuan penelitian. Strategi dimaksud
tentunya harus sejalan dengan format penelitian kualitatif (mana) yang mau dipakai,
apakah format fenomenologi, etnometodologi, observasi partisipatif-interaksionisme
simbolik, ataukah yang lain-lainya. Kiranya patut dicamkan bahwa masing-masing
format penelitian kualitatif memiliki kekhasan teknikal sendiri-sendiri, meskipun
substansial teoritikal yang melandasinya relatif seiring satu sama lain. Itulah yang
perlu ditegasakn bagaimana strategi penerapannya dalam penelitian yang tengah
direncanakan. Hal tersebut, sejauh ini, tidak ada resepnya. Setiap peneliti bebas
berimprovisasi secara cerdas di ”medan laga” yang ia masuki untuk diteliti. Untuk
bekal berimprovisasi, ada baiknya membaca (contoh) hasil-hasil penelitian kualitatif
yang sudah mulai banyak tersebar di berbagai kampus atau lembaga penelitian.

Tiangulasi Sebagai Metode Baru Penelitian Danim (2002): Bab III, Bagian D,
Hal. 37-38
Pada beberapa tahun terkahir, banyak peneliti di bidang ilmu-ilmu sosial dan
pendidikan melakukan advokasi mengenai esesnsi triangulasi dalam studi atau
penelitian di bidang ilmu-ilmu ini yang kompleks. Mereka pun telah sampai pada
kesepakatan bahwa dinamika kehidupan manusia merupakan fenomena yang relevan
dengan ilmu sosial dan pendidikan. Ide triangulasi tidak baru bagi ilmuwan sosial
karena telah digagas pertama kali oleh Campbell dan Fishe, tahun 1959.
Triangulasi adalah aplikasi studi yang menggunakan multimetode untuk
menelaah fenomena yang sama (Denzim, 1989). Fenomena diinvestigasi biasanya
bersifat kompleks dan rumit, selayaknya kekompleksan kemampuan yang dibutuhkan
oleh pekerja sosial; dan peneliti di bidang ilmu-ilmu sosial dan pendidikan untuk
mencari alternatif pemecahan masalah atas kelompok yang tidak beruntung.
Fenomena yang kompleks itu membutuhkan studi mendalam dari beragam perspektif
atas realitas. Menurut Denzim (1989) dan Kimchi dkk (1991), ada lima tipe
triangulasi, yaitu:
1. triangulasi teoritis,
2. triangulasi data,
3. triangulasi metode,
4. triangulasi investigator, dan;
5. triangulasi analisi.
Triangulasi metode merupakan tipe paling umum dari triangulasi yang
digunakan pada penelitian sosial. Triangulasi investigator muncul ketika dua atau
lebih investigator peneliti terlatih (research trained investigator) dengan beragam latar
belakang mengekspolarasi fenomena yang sama. Menggunakan triangulasi
investigator berarti menghilangkan potensi bias yang mungkin muncul manakala studi
itu dilakukan oleh investigator tunggal. Analisis triangulasi melibatkan penggunaan
satu atau lebih teknik analisis untuk menganalisis seperangkat data yang sama untuk
tujuan validasi. Hasil dari perbedaan analisis itu, apakah analisis kuantitatif atau
analisis kualitatif, dapat dibandingkan untuk menemukan kesamaan-kesamaan dan
merefikasi hasil.

Dapatkah Pendekatan Kuantitaif dan Kualitatif Digunakan Bersama-sama


Moleong (2001): Bab I, Bagian E. Hal. 22-23
Peneliti kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistik.
Misalnya, dengan data yang dikumpulkan dengan kuesioner, analisis statistik
dilakukan untuk menemukan hubungan antara dua atau lebih variabel. Ternyata
hasilnya tidak memuaskan karena tidak ada hubungan. Peneliti meragukan hasilnya
karena hipotesisnya tidak teruji. Untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam
untuk melengkapi penelitiannya. Dengan kata lain, penelitia kuantitatif tersebut
menggunakannya secara bersama-sama, namun dengan pendekatan kualitatif sebagai
pegangan utama.
Di pihak lain, peneliti sering mengunakan data kuantitatif, namun yang sering
terjadi pada umumnya tidak menggunakan analisis kuantitatif bersama-sama. Jadi,
dapat dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat digunakan apabila desainnya
adalah memenfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai
pelengkap saja. Pendapat ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Glaser dan
Strauss (1980, h.18), yaitu bahwa dalam banyak hal, kedua bentuk data tersebut
diperlukan, bukan kuantitatif menguji kualitatif, melainkan kedua bentuk tersebut
digunakan bersama-sama dan, apabila dibandingkan, masing-masing dapat digunakan
untuk keperluan menyusun teori.
Di pihak lain, ada orang bertanya: apakah kedua pendekatan itu digunakan
bersama secara sejajar atau secara sama kuat? Seperti telah dikemukakan, hal itu
sukar dapat dilakukan karena orientasi teorinya berbeda. Di samping itu, secara
praktis bisa membuat peneliti sakit kepala. Jika hal ini tetap akan dilaksanakan,
sebaiknya peneliti demikian berpikir seribu kali.

Apakah Penelitian Kualitatif Benar-Benar Ilmiah?

Dari pertanyaan tersebut tampak adanya keraguan bagi penanya. Memang


orang meragukan penelitian kualitatif karena ia berawal dar dasa, jadi lebih induktif
sifatnya. Keraguan lainnnya terletak pada pengujian hipotesis yang biasanya telah
ditetapkan secara a priori. Selain itu, orang meragukan bahwa hasil penemuan
kualitatif tidak dapat digeneralisasikan. Atas dasar ketiga hal itu dikatakan bahwa
kualitatif tidak ilmiah.
Penelitian itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menemukan teori, dan
hal itu dilakukan secara baik justru dengan pendekatan induktif. Data dikumpulkan,
dianalisis, diabstraksikan, dan akan muncul teori-teori sebagai penemuan penelitian
kualitatif. Selain itu, penelitian kualitatif juga mengenal adanya hipotesis kerja. Hanya
bedanya hipotesisi ini dirumuskan sementara data dikumpulkan, jadi tidak disusun
sebelumnya. Hipotesis demikian dapat lebih disempurnakan sementara pengumpulan
data berlangsung. Hal demikian tidak mungkin dilakukan pada penelitian kuantitaif.
Pengujian hipotesis juga diadakan dalam penelitian kualitatif dalam langkah “reduksi
data”.
Dapatnya digeneralisasikan merupakan ciri khas yang digunakan dalam
penelitian kuantitatif. Pada penelitian kuantitaif “dapatnya digeneralisasikan”
melebihi pandangan penelitian kuantitaif yang mengganggap dapat digeneralisasikan
apabila hasil penemuan berlaku di tempat dan waktu lainnya. Penelitian kualitatif
lebih tertarik pada hasil yang bermakan universal. Artinya, hasil penemuan kualitatif
tidak hanya dapat digeneralisasikan pada latar substantif yang sama, tetapi juga pada
latar lainnya. Jadi, menurut Bogdan dan Taylor (1982:41), dapatnya digeneralisasikan
lebih banyak digunakan oleh peneliti yang tertarik pada penyusunan teori dari dasar
(grounded theory). Dari Uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa dari segi kritik
yang dilontarkan, jelas penelitian kualitatif itu “ilmiah”.

Anda mungkin juga menyukai