Makalah
Penulis
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. I
DAFTAR ISI.............................................................................................................. II
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Belajar
2.2 Karakteristik Proses Belajar
2.3 Tahapan-Tahapan Perkembangan Siswa
2.4 Karakteristik Pembelajaran di Sekolah Dasar
BAB III PENUTUP
4.1 Kesimpulan..................................................................................................17
4.2 Saran............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................18
II
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari belajar.
2. Untuk mengetahui karakteristik proses belajar.
3. Untuk mengetahui tahapan-tahapan perkembangan siswa.
4. Untuk mengetahui karakteristik pembelajaran di sekolah dasar.
3
BAB 1I
PEMBAHASAN
4
Belajar isyarat adalah belajar yang tidak diniati atau tanpa kesengajaan, timbul
sebagai akibat suatu rangsangan (stimulus) sehingga menimbulkan suatu respon
emosional pada individu yang bersangkutan. Sebagai contoh, sikap guru yang
sangat menyenangkan siswa, dan membuat siswa yang mengikuti pelajaran guru
tersebut menyenangi pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut.
2. Belajar stimulus respon
Belajar stimulus respon adalah belajar untuk merespon suatu isyarat, berbeda
dengan pada belajar isyarat pada tipe belajar ini belajar yang dilakukan diniati atau
sengaja dan dilakukan secara fisik. Belajar stimulus respon menghendaki suatu
stimulus yang datangnya dari luar sehingga menimbulkan terangsangnya otot-otot
kemudian diiringi respon yang dikehendaki sehingga terjadi hubungan langsung
yang terpadu antara stimulus dan respon. Misalnya siswa menirukan guru
menyebutkan persegi setelah gurunya menyebutkan persegi dan siswa
mengumpulkan benda persegi setelah disuruh oleh gurunya.
3. Belajar rangkaian gerak
Belajar rangkaian gerak merupakan perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan
atau lebih stimulus respon. Setiap stimulus respon dalam suatu rangkaian
berhubungan erat dengan stimulus respon yang lainnya yang masih dalam
rangkaian yang sama. Sebagai contoh, misalnya seorang anak akan menggambar
sebuah lingkaran yang pusat dan panjang jari-jarinya diketahui. Untuk melakukan
kegiatan tersebut anak tadi melakukan beberapa langkah terurut yang saling
berkaitan satu sama lain. Kegiatan tersebut terdiri dari rangkaian stimulus respon,
dengan langkah-langkah sebagai berikut : anak memegang sebuah jangka,
meletakkan salah satu ujung jangka pada sebuah titik yang telah ditentukan
menjadi pusat lingkaran tersebut, kemudian mengukur jarak dari titik tadi, setelah
itu meletakkan ujung jangka lainnya sesuai dengan panjang jari-jari, lalu memutar
jangka tersebut.
4. Belajar rangkaian verbal
Belajar rangkaian verbal merupakan perbuatan lisan. Jadi, belajar rangkaian verbal
adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon. Setiap
5
stimulus respon dalam satu rangkaian berkaitan dengan stimulus respon lainnya
yang masih dalam rangkaian yang sama. Contoh, ketika mengamati suatu benda
terjadilah hubungan stimulus respon yang kedua, yang memungkinkan anak
tersebut menamai benda yang diamati tersebut.
5. Belajar memperbedakan
Belajar memperbedakan adalah belajar membedakan hubungan stimulus respon
sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik dan konsep, dalam
merespon lingkungannya, anak membutuhkan keterampilan-keterampilan
sederhana sehingga dapat membedakan suatu objek dengan objek lainnya, dan
membedakan satu simbol dengan simbol lainnya. Terdapat dua macam belajar
memperbedakan yaitu memperbedakan tunggal dan memperbedakan jamak.
Contoh memperbedakan tunggal. “siswa dapat menyebutkan segitiga sebagai
lingkungan tertutup sederhana yang terbentuk dari gabungan tiga buah ruas garis”.
Contoh memperbedakan jamak, siswa dapat menyebutkan perbedaan dari dua jenis
segitiga berdasarkan besar sudut dan sisi-sisinya. Berdasarkan besar sudut yang
paling besar adalah sudut siku-siku dan sisi terpanjang adalah sisi miringnya,
sementara pada segitiga sama sisi besar sudut-sudutnya sama begitu pula dengan
besar sisi-sisinya.
6. Belajar Pembentukan Konsep
Belajar Pembentukan Konsep adalah belajar mengenal sifat bersama dari benda-
benda konkret, atau peristiwa untuk mengelompokkan menjadi satu. Misalnya
untuk memahami konsep persegi panjang anak mengamati daun pintu rumah (yang
bentuknya persegi panjang), papan tulis, bingkai foto (yang bentuknya
persegipanjang) dan sebagainya. Untuk hal-hal tertentu belajar pembentukan
konsep merupakan lawan dari belajar memperbedakan. Belajar memperbedakan
menginginkan anak dapat membedakan objek-objek berdasarkan karakteristiknya
yang berlainan, sedangkan belajar pembentukan konsep menginginkan agar anak
dapat mengklasifikasikan objek-objek ke dalam kelompok-kelompok yang
memiliki karakteristik sama.
7. Belajar Pembentukan Aturan
6
Aturan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang sudah dipelajari. Aturan
merupakan pernyataan verbal. Dalam belajar pembentukan aturan memungkinkan
anak untuk dapat menghubungkan dua konsep atau lebih. Sebagai contoh, terdapat
sebuah segitiga dengan sisi sikusikunya berturut-turut mempunyai panjang 3 cm
dan 4 cm. Guru meminta anak untuk menentukan panjang sisi miringnya. Untuk
menghitung panjang sisi miringnya, anak memerlukan suatu aturan Pythagoras
yang berbunyi “pada suatu segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi miring sama
dengan jumlah kuadrat sisi siku-sikunya”. Dengan menggunakan aturan di atas
diperoleh 32 + 42 = 25 = 52, jadi panjang sisi miring yang ditanyakan adalah 5
cm.
8. Belajar memecahkan masalah
Belajar memecahkan masalah adalah tipe belajar yang lebih tinggi derajatnya dan
lebih kompleks daripada tipe belajar aturan (rule learning). Pada tiap tipe belajar
memecahkan masalah, aturan yang telah dipelajari terdahulu untuk membuat
formulasi penyelesaian masalah.
C. Hasil Belajar
7
bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek (dalam Latifa, 2017:187),
yakni: pertama, struktur fisik, yang meliputi tinggi badan, berat badan, dan proporsi
tubuh. Kedua, sistem syaraf yang mempengaruhi perkembangan aspek lainnya, yakni
intelektual dan emosi. Ketiga, Kekuatan otot, yan akan mempengaruhi perkembangan
motorik, Keempat, kelenjar endokrin yang menyebabkan munculnya pola-pola
perilaku baru. Aspek perkembangan ini sangat mempengaruhi seluruh aspek
perkembangan lainnya, sebagai contoh, struktur fisik yang kurang normal (terlalu
pendek/tinggi, terlalu kurus atau obesitas) akan berpengaruh terhadap kepercayaan
diri seseorang.
B. Perkembangan Intelektual
Berbicara masalah pertumbuhan dan perkembangan intelektual (kognitif) anak,
pada umumnya orang merujuk teori Jean Piaget yang mengemukakan bahwa perkem
bangan intelektual merupakan hasil interaksi dengan lingkungan dan kematangan
anak. Semua anak melewati tahapan intelektual dalam proses yang sama walau tidak
harus dalam umur yang sama. Tiap tahapan yang lebih awal kemudian tergabung
dalam ta hapan berikutnya yang sebagai struktur berpikir baru yang sedang tahap
perkembangan. Jadi, tiap tahapan kognitif yang kemudian merupakan kumulasi
gabungan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Piaget membedakan perkembangan
intelektual anak ke dalam empat tahapan, yaitu:
1. Pertama: tahap sensori-motor (the sensory-motor period, 0–2 tahun). Tahap ini
merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif anak. Tahap ini
disebut sebagai tahap sensori-motor karena perkembangan terjadi berdasarkan
informasi dari indera (senses) dan bodi (motor).
2. Kedua: tahap praoperasional (the preoperational period, 2–7 tahun). Dalam tahap
ini anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang sudah mencerminkan
aktivitas mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik.
3. Ketiga: tahap operasional konkret (the concrete operational, 7–11 tahun). Pada
tahap ini anak mulai dapat memahami logika secara stabil.
4. Keempat: tahap operasi formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun ke atas).
Pada tahap ini, tahap awal adolesen, anak sudah mampu berpikir abstrak.
8
C. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial individu ditandai dengan pencapaian kematangan dalam
interaksi sosialnya, bagaimana seseorang mampu bergaul, beradaptasi dengan
lingkungannya dan menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok
Perkembangan sosial seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana ia
berada, baik keluarga, teman sebaya, guru, dan masyarakat sekitarnya.
D. Perkembangan Bahasa
Lenneeberg salah seorang ahli teori belajar bahasa yang sangat terkenal
mengatakan bahwa perkembangan bahasa tergantung pada pematangan otak secara
biologis (Latifa, 2017:189). Sementara itu, Tarigan dalam Latifa (2017:189)
menjabarkan perkembangan bahasa menjadi beberapa tahapan, yaitu: tahap meraban
(pralinguistik) pertama dan tahap meramban (pralinguistik) kedua. Pada tahap
meraban pertama, selama berbulan-bulan awal kehidupan, bayi menagis, mendekut,
mendenguk, menjerit, dan tertawa. Mereka seolah-olah menghasilkan tiap-tiap jenis
bunyi yang mungkin dibuat. Pada tahap meramban kedua, tahap ini disebut juga
tahap omong kosong atau tahap kata tanpa makna. Awal tahap meraban kedua ini
biasanya dimulai pada permulaan kedua tahun pertama kehidupan. Anak-anak
menghasilkan suatu kata yang dapat dikenal, tetapi mereka berbuat seolah-olah
mengatur ucapan mereka sesuai dengan pola suku kata.
E. Perkembangan Emosi
Ragam emosi dapat terdiri dari perasaan senang mengenai sesuatu, marah kepada
seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu. Kebanyakan ahli yakin bahwa emosi lebih
cepat beralu daripada suasana hati. Sebagai contoh, bila seseorang bersikap kasar,
manusia akan merasa marah. Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi
perkembangan emosi peserta didik, sejumlah penelitian tentang emosi anak
menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung kepada faktor
kematangan dan faktor belajar (Hurlock dalam Retno dalam Latifa, 2017:190).
Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada,
reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya system
endokrin. Keatangan dan belajar terjalin erat satu sama lainnya dalam mempengaruhi
9
perkembangan emosi. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar
memperoleh gambaran tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.
Adapun caranya adalah dengan membicarakan berbagai masalah pribadinya dengan
orang lain.
F. Perkembangan Kepribadian dan Seni
Kata kepribadian dalam bahasa asing disebut dengan kata personality. Kata ini
berasal dari kata latin, yaitu persona yang berarti topeng atau seorang individu yang
berbicara melalui sebuah topeng yang menyembunyikan identitasnya dan
memerankan tokoh lain dalam drama (Buchori dalam Latifa, 2017:190). Suadianto
dalam Latifa (2017:190) menjelaskan bahwa hal penting dalam perkembangan
kepribadian adalah ketetapan dalam pola kepribadian atau persistensi. Artinya,
terdapat kecenderungan ciri sifat kepribadian yang menetap dan relatif tidak berubah
sehingga mewarnai timbul perilaku khusus terhadap diri seseorang.
G. Pekembangan Moral dan Penghayatan Agama
Perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh individu dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock
dalam Latifa:190). Menurut teori behavioristik, perkembangan moral dipandang
sebagai hasil rangkaian stimulus-respons yang dipelajari oleh anak, antara lain berupa
hukuman dan pujian yang sering dialami oleh anak. Dengan kehalusan dan fitrah,
seseorang setidaktidaknya pasti mengalami, mempercayai bahkan menyakini dan
menerimanya tanpa keraguan, bahwa di luar dirinya ada suatu kekuatan yang Maha
Agung yang melebihi apapun termasuk dirinya, yang demikian itu disebut sebagai
pengalaman religi atau keagamaan.
10
penting dalam menciptakan stimulus respon agar siswa menyadari kejadian di sekitar
lingkungannya. Siswa kelas rendah masih banyak membutuhkan perhatian karena
focus konsentrasinya masih kurang, perhatian terhadap kecepatan dan aktivitas
belajar juga masih kurang. Hal ini memerlukan kegigihan guru dalam menciptakan
proses belajar yang lebih menarik dan efektif.
Piaget dalam Kawuryan (__:03), menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara
tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori
perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang
disebut schemata, yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil
pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang
objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan
konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses memanfaatkan
konsepkonsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika
berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru
menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun
pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan uraian tersebut,
maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya
dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang
proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya. Anak
usia sekolah dasar berada pada tahapan operasional konkret. Pada rentang usia
tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut:
1. Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek
lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak.
2. Mulai berpikir secara operasional.
3. Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda.
4. Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah
sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat.
5. Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.
11
Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar
anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:
1. Konkrit
Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit
yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik
penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan
lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan
bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya,
keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan
kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2. Integratif
Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai
suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai
disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal
umum ke bagian demi bagian.
3. Hierarkis
Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap
mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan
antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi .
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dari pembahasan pembelajaran di sekolah dasar diatas, telah dijabarkan dari
pengertiannya. Mungkin dari pembuatan makalah ini kami memiliki banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna, kedepanya diharapkan penulis makalah
akan lebih fokus dan teliti dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dan dapat dipertanggung
jawabkan.
13
DAFTAR PUSTAKA
14