Anda di halaman 1dari 44

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218031 / Oktober 2019


** Pembimbing / dr. Andi Hasyim, Sp.An

G1P0A0 HAMIL ATERM DENGAN BEKAS SC 2X + RIWAYAT ASMA

Ara Baysari *
dr. Andi Hasyim, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANASTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
CASE REPORT SESSION (CRS)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218031 / Oktober 2019
** Pembimbing / dr. Andi Hasyim, Sp.An

G1P0A0 HAMIL ATERM DENGAN BEKAS SC 2X + RIWAYAT ASMA

Ara Baysari *
dr. Andi Hasyim, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANASTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

i
CASE REPORT SESSION (CRS)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218031 / Oktober 2019
** Pembimbing / dr. Andi Hasyim, Sp.An

G1P0A0 HAMIL ATERM DENGAN BEKAS SC 2X + RIWAYAT ASMA

Ara Baysari *
dr. Andi Hasyim, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANASTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)
G1P0A0 HAMIL ATERM DENGAN BEKAS SC 2X + RIWAYAT ASMA

Disusun Oleh :
Ara Baysari
G1A1218031

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF Ilmu Anastesi RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Oktober 2019

Pembimbing

dr. Andi Hasyim, Sp.An


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat case report session (crs) yang berjudul “G1P0A0
Hamil Aterm dengan Bekas SC 2 kali dan Riwayat Asma” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Anastesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Andy Hutarius, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada referat CRS ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan referat ini.
Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca.

Jambi, Oktober 2019

Ara Baysari
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi regional (RA) dan anestesi umum (GA) adalah teknik anestesi yang
umumnya digunakan untuk operasi caesar (Sectio Caesaria), keduanya memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dengan anestesi regional (anestesi epidural), anestesi
dimasukkan ke dalam ruang di sekitar tulang belakang pasien, sementara dengan
anestesi spinal, obat ini disuntikkan ke dalam kolom tulang belakang pasien. Dengan
dua jenis anestesi regional, ibu terjaga untuk kelahiran tetapi mati rasa dari pinggang
ke bawah. Dengan anestesi umum, ibu tidak sadar untuk kelahiran dengan anestesi
mempengaruhi seluruh tubuhnya.1,2
Banyak pertimbangan perlu dilakukan sebelum menentukan jenis anestesia
untuk Sectio Caesaria, bila digunakan anesthesia regional diperlukan blok saraf
setinggi T4. Banyak perubahan fisiologik karena kehamilan meningkatkan risiko di
bidang anestesia. Meningkatnya kemungkinan aspirasi dan regurgitasi, peningkatan
tekanan intraabdominal dan sulitnya penanganan jalan nafas adalah di antara alasan
yang menyebabkan anestesia regional lebih disukai untuk wanita hamil.2
Anestesia regional yang paling populer pada bedah caesar tanpa komplikasi
adalah penggunaan teknik sub arachnoid block (SAB) atau anestesia spinal. Teknik
ini mudah, awitannya cepat dan harganya murah. Kombinasi antara anestetika lokal
seperti bupivacaine dengan atau tanpa opioid seperti fentanyl atau morfin sering
digunakan dan menghasilkan anestesia yang memuaskan.2
Risiko kematian ibu dengan operasi caesar adalah empat kali yang terkait
dengan semua jenis kelahiran vagina, yang adalah 1 per 10.000 kelahiran. Hal ini
diketahui bahwa ada risiko lebih besar terjadinya neonatal distress with caesar
dibandingkan persalinan vagina, tanpa memperhatikan usia kehamilan. Hal ini telah
digambarkan sebagai ringan dan sementara, operasi caesar biasanya dianggap aman
untuk janin. Operasi caesar sering digambarkan sebagai pilihan (ketika direncanakan)
atau keadaan darurat.1

3
Asma bronkial merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi.
Jenisnya berupa inflamasi dan hiperaktivitas bronkus sebagai respon terhadap
berbagai macam stimulasi. Secara klinis, asma dimanifestasikan sebagai episode
serangan sesak napas yang reversibel akibat kontraksi otot polos bronkus, edema dan
peningkatan sekresi. 1

Asma merupakan salah satu masalah medis yang serius pada kehamilan.
Asma merupakan faktor resiko terjadinya komplikasi pada ibu hamil dan janin. Ibu
hamil dengan asma meningkatkan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsia,
bayi dengan berat lahir rendah dan kelahiran prematur.2

Prevalensi asma bronkhial pada penderita dewasa yang terdiagnosa di


Amerika Serikat tahun 2009 mencapai 8,2% dari jumlah penduduk, Insiden asma
dalam kehamilan antara 4 - 8% dari seluruh kehamilan, sedangkan di Inggris pada
tahun yang sama didapatkan angka 12%. Prevalensi global diperkirakan sekitar 4-8%.
1,2

Insiden perioperatif bronkospasme pada pasien asma bronkial yang menjalani operasi
kurang dari 2% jika pengobatannya rutin. Frekuensi komplikasi meningkat pada
pasien usia lebih dari 50 tahun serta pasien asma yang tidak terkontrol baik (gejala
yang nyata, sering kambuh atau sering dirawat di rumah sakit) beresiko dalam
masalah pernapasan perioperatif (bronkhospasme, retensi sputum, atelektasis, infeksi,
dan gagal napas). Insiden terjadinya kondisi yang mengancam jiwa selama anestesi
0,17 - 4,2%.1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Tanggal : 20 Oktober 2019


Nama : Ny. D
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB sebelum : 50 kg
BB saat : 70 kg
TB/BB : 155 cm
Gol. Darah :A
Alamat : Sarolangun
No. RM : 930174
Ruangan : Bangsal Kebidanan
Diagnosa : G3P2A0 hamil aterm, janin tunggal hidup intrauterine
presentasi kepala + bekas sc 2x + riwayat asma
Tindakan : Sectio Caesaria

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
Keluhan utama:
Os mengeluh nyeri perut menjalar ke pinggang sejak 1 haris msrs.
Riwayat perjalanan penyakit:
Os datang dengan keluhan nyeri perut menjalar kepinggang sejak 1 hari smrs.
keluar air-air (-), keluar darah bercampur lendir (+). Riwayat penggunaan KB
(+) kb pil
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat Operasi : (+) 2x, SC pada 2011 dan 2016
 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Asma : (+) dari usia 4 tahun, pergantian musim, hanya
1x/tahun, jika asma kambuh untuk meredakannya pasien beristirahat. Terakhir
serangan 3 minggu yang lalu.
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat jantung : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)
Riwayat penyakit keluarga:
Asma : (+) ibu
Hipertensi : (-)
DM : (-)

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 20 x/menit
Suhu : 37 ̊C
b. Kepala : Normochepal
c. Mata : SI (-/-), CA (-/-), RC (+/+), isokor
d. THT : Nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-), mallapati I
e. Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
f. Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal Fremitus (+/+), krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi :
Atas kanan : ICS II linea parasternal dextra
Atas kiri : ICS II linea parasternal sinistra
Bawah kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Bawah kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

g. Abdomen
Inspeksi : Tampak membesar, striae (+), luka bekas operasi (+)
Palpasi : TFU 31 cm, letak punggung janin kiri, presentasi kepala,
taksiran berat janin 3100 gram, HIS (-) nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : DJJ 150 x/menit, bising usus (+) normal
h. Genital : Dalam batas normal
i. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium
Darah Rutin 20 Oktober 2019
Leukosit 10.140/mm3
Eritrosit 3.900.000/mm3
Hemoglobin 11,6 gr/dL
Hematokrit 34,9 %
Trombosit 237.000/mm3
CT 2’
BT 4’
Kimia Darah
GDS 88 mg/Dl
Protein urin ++

2. EKG
SR, HR 68x/menit
4. STATUS ASA : 1/2/3/4/5/E

5. PERSIAPAN PRA ANESTESI

 Pasien telah diberikan informed consent


 Puasa sebelum tindakan operasi

C. LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 20 Oktober 2019


Nama : Ny. D
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 155 cm/70 kg
Gol. Darah :A
Alamat : Sarolangun
No. RM : 930174
Ruangan : Bangsal Kebidanan
Diagnosa : G3P2A0 hamil aterm, janin tunggal hidup intrauterine
presentasi kepala + bekas sc 2x + riwayat asma
Tindakan : Sectio Caesaria
Operator : dr. Hanif M. Noor, Sp.OG
Ahli Anestesi : dr. Andi Hasyim, Sp.An
1. Keterangan Pra Bedah
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 ( E=4, M=6, V=5 )
Tanda vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37 ºC
BB saat hamil : 70 kg
BB sebelum hamil : 50 kg
b. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium
Darah Rutin
Leukosit 10.140/mm3
Eritrosit 3.900.000/mm3
Hemoglobin 11,6 gr/dL
Hematokrit 34,9 %
Trombosit 237.000/mm3
CT 2’
BT 4’
Kimia Darah
GDS 88 mg/Dl
Protein urin ++

c. EKG : Sinus Rhytm, HR 68x/menit


2. Tindakan Anestesi
Diagnosa pra bedah : G1P0A0 hamil aterm janin tunggal hidup
intrauterine presentasi kepala + bekas sc 2x + riwayat
asma
1. Tindakan bedah :Sectio Caesaria
2. Status fisik ASA : II
3. Jenis anestesi : Spinal
Lokasi penusukan : L3-L4
Pramedikasi :
 Ondansentron 4 mg (IV)
 Dexametasone 5 mg (IV)
Anestesi Spinal : Bupivacaine 15 mg
Adjuvant :-
Pemeliharaan anestesi : O2
Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA II
Induksi mulai : 10.00 WIB
Operasi mulai : 10.10 WIB
Operasi selesai : 11.00 WIB
Berat badan pasien : 70 Kg (saat hamil) 50 kg sebelum hamil
Durasi operasi : 45 menit
Pasien puasa : 6 jam
Medikasi :
 Oxytocin 20 IU
 Methylergometrin 0.4 mg
 Asam traneksamat 1 gr
3. Keadaan Selama Operasi
a. Letak Penderita : Terlentang
b. Intubasi :-
c. Penyulit Intubasi :-
d. Penyulit :-
e. Lama Anestesi : ± 1 jam
f. Jumlah Cairan
Input :
 RL 500 ml
 RL 500 ml
 RL 500 ml + Ketorolac 30 mg
Output :
 Urine : ± 100 cc
 Perdarahan : ± 100 cc
g. Kebutuhan cairan pasien ini :
BB = 70 Kg
 Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
M = 2 cc x 50 kg
M = 100 cc/jam
 Pengganti Puasa (P)
P=6xM
P = 6 x 100
P = 600 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (operasi sedang)
O = 50 x 6 cc
O = 300cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (600) + 100 + 300
= 700 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (600) + 100 + 300
= 550 cc
 EBV = 65 x BB
= 65 x 50
= 3250 cc
 ABL = Δ Ht x EBV x 3
100
= (37-35) x 3250 x 3
100
= 195 cc
4. Monitoring
TD awal = 120/80 mmHg, Nadi = 82 x/menit, RR = 20 x/menit

Jam Tindakan Nadi Saturasi TD RR


(x/menit) O2 (%) (mmHg) (x/menit)
09.45  Pasien masuk ke kamar
operasi, dan dipindahkan ke
09.50 meja operasi 90 98 115/75 18
 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi, saturasi
09.55 O2 dan urin bag dikosongkan. 86 99 108/68 20
 Diberikan cairan RL 1 kolf dan
10.00 obat premedikasi 85 99 105/65 18
 Obat spinal dimasukkan
10.05 setinggi L3-L4 (Bupivacaine
10.15 15 mg)
10.20  Pasien diposisikan telentang 88 98 108/60 20
10.35  Operasi dimulai 70 99 109/62 22
10.50  Kondisi terkontrol 105 97 90/63 20
11.00 75 98 90/60 18
11.03 84 98 98/68 18
11.10  Operasi selesai
 Pelepasan alat monitoring
 Pasien dipindahkan ke RR
5. Ruang Pemulihan
 Masuk Jam : 11.10 WIB
 Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
 Tanda vital
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 95 x/menit
RR : 20 x/menit
 Pernafasan : Baik
 Skor bromage

Menit Jam Pindah Ruang


Post Anestesi
15 30 45 1 2 3 4
Gerakan penuh dari tungkai 0 0 0 0 0
Tak mampu ekstensi tungkai 0 0 0 0 0
Tak mampu fleksi lutut 0 0 0 2 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3 3 3 0 0
2

Instruksi anestesi post operasi:


 Monitoring tanda vital selama 24 jam
 Tramadol 100 mg/8 jam
 Tirah baring selama 24 jam
 Makan dan minum bila sadar penuh
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka


dinding perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan sectio sesaria jauh lebih aman
dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika, transfusi darah, teknik
operasi yang lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik. Karena itu kini ada
kecenderungan untuk melakukan sectio sesaria tanpa dasar yang cukup kuat. Dalam
hubungan ini perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan itu
merupakan seorang yang mempunyai parut uterus, dan tiap kali kehamilan serta
persalinan berikut memerlukan pengawasan yang cermat berhubung dengan bahaya
ruptura uteri.3
Banyaknya perubahan fisiologi karena kehamilan meningkatkan risiko di
bidang anesthesia seperti meningkatkan kemungkinan aspirasi dan regurgitasi,
peningkatan tekanan intrabdominal dan sulitnya penanganan jalan nafas adalah alasan
yang menyebabkan anesthesia regional lebih disukai untuk wanita hamil. Keuntungan
yang didapat pada pemakaian regional anestesi antara lain tekniknya yang sederhana,
cepat, ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, jumlah perdarahan karena tindakan
lebih sedikit, mobilisasi dan mulai pemberian makanan lebih cepat, sedangkan
keuntungan pada janin yaitu obat yang digunakan tidak melewati sawar plasenta
sehingga tidak menyebabkan depresi saluran pernafasan pada janin.1,4

3.1 SPINAL ANESTESI


3.1.1 Pengertian
Spinal anestesi (analgesia lumbal, blok sub arachnoid) adalah merupakan
suatu jenis regional anestesi dengan memasukkan obat ke dalam ruang
subarachnoid (antara L2 – L3, L3 – L4 atau L4 – L5 ). Spinal anestesi disebut
pula anestesi lokal di dalam ruangan sub arachnoid. Terjadi blok saraf yang
reversibel pada radik anterior dan posterior, radik ganglion posterior dan sebagai
medulla spinalis yang akan menyebabkan terjadi hilangnya aktivitas sensoris,
motoris dan otonom4,5

3.1.2 Indikasi
Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah (daerah
papilla mammae kebawah) :5
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum – perineum
4. Bedah obstetrik – ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
3.1.3 Kontraindikasi
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman/tanpa di damping konsultan anestesi
3.1.4 Kontraindikasi Relatif
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis
9. Peningkatan tekanan intracranial
3.1.5 Persiapan
Operasi bedah sesar dengan anestesi regional pada umumnya tidak
memerlukan sedasi, namun jika pasien tampak sangat cemas, berikan midazolam
0,5 – 2 mg. Oleh karena kemungkinan aspirasi isi lambung pada wanita hamil
lebih tinggi diperlukan premedikasi seperti antagonis reseptor H2 (ranitidine /
famotidin) beguna untuk mengurangi sekresi asam lambung dan metoklorpramid
berguna untuk memfasilitasi pengosongan lambung. Meningkatkan tonus LES
(lower sphincter esophagus) dan efek antiemetik. Selain itu diperlukan :2,
1. Posisi maternal
Pada kehamilan aterm, pembesaran uterus menyebabkan desakan pada
pembuluh darah besar di abdomen (aorta abdominalis dan vena cava
inferior) yang disebut kompresio aorta – caval. Penekanan ini menurunkan
venous return. Ditambah vasodilatasi akibat pengaruh hormonal, dapat
terjadi penurunan tekanan darah, berkurangnya perfusi uterus dan
bradikardia janin. Untuk mencegah hal tersebut, kecukupan cairan
intravaskular perlu dipastikan. Selain itu dapat memposisikan pasien
dekubitus lateral kiri atau dilakukan manipulasi posisi uterus dengan
kedua tangan untuk menggeser uterus ke arah kiri sehingga mengurangi
penekanan aorto kaval.
Anatomi tulang belakang lebih mudah di palpasi pada posisi duduk di
bandingkan lateral dekubitus, penderita dengan bantuan seorang asisten
dan memeluk bantal diposisikan duduk dengan punggung belakang di
fleksikan maksimal dan kedua kaki menggantung diatas lantai atau di atas
bangku.

2. Pemantauan
Pemantauan meliputi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu, pastikan
EKG terpasang secara benar. Perhatikan pula kemungkinan perubahan
teknik anestesia regional menjadi umum karena adanya penyulit atau
terjadi kegawatan pada ibu hamil
3. Pemberian cairan
Pemberian cairan sesaat sebelum anestesia terutama anestesia regional
dapat menurunkan kejadian hipotensi, memperbaiki curah jantung dan
sirkulasi uteroplasenta. Masih terdapat kontroversi mengenai jumlah dan
jenis cairan yang mengandung glukosa karena dapat menyebabkan
hiperglikemia dan hiperinsulinemia pada ibu dan janin. Sisa insulin dapat
memicu hipoglikemia pada tubuh janin setelah lahir.
4. Persiapan sebelum induksi5
- Informed consent (izin dari pasien)
- Pemeriksaan fisik : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan
tulang punggung dan lain – lainnya.
- Pemeriksaan laboratorium anjuran : hemoglobin, PT (prothrombine
time) dan PTT (partil prthrombine time)
5. Peralatan anesthesia
Selain alat pemantau seperti monitor, nadi oksimetri denyut dan EKG,
juga diperlukan peralatan resusitasi/anestesi umum, jarum spinal dengan
ujung tajam (Quinckee Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil
(pencil point, whitecare) jarum spinal dipasarkan dalam ukuran 16 – 30
dan yang sering digunakan pada anestesi spinal sectio sesaria yaitu ukuran
25-27. Diameter yang lebih besar akan meningkatkan kemungkinan
bocornya liquor serebrospinal, menimbulkan traksi saraf yang
memperbesar terjadinya post dural puncture headache (PHDH) yang
merupakan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke
posisi duduk/tegak, mulai terasa 24 – 48 jam setelah dilakukan penusukan
untuk anestesi. 4,5
3.1.6 Teknik anestesi3-6
- Identifikasi space atau celah antar ruas tulang belakang landmark yang
dapat digunakan yaitu berpatokan bahwa garis khayalan setinggi krista
iliaka dianggap setinggi L4 atau L4 – L5 dengan posisi pasien duduk
dengan punggung bawah difleksikan/membungkuk agar prosesuss spinosus
mudah teraba. Tusukan pada L1 – L2 atau di atasnya dapat berisiko
menimbulkan trauma medulla spinalis. Posisi lateral dekubitus lebih
nyaman bagi pasien dan dapat meningkatkan aliran darah uterus wanita
hamil.
- Tentukan tempat tusukan misalnya L2 - L3, L3 – L4 atau L4 – L5.

- Sterilkan tempat tusukan dengan betadin dan alkohol


- Cara tusukan median atau paramedian. Tusukan introduser sedalam kira-
kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian dimasukkan jarum spinal
berikut mandrinnya ke lubang tersebut. Struktur yang dilalui oleh jarum
spinal sebelum mencapai CSF, diantaranya kulit, lemak subkutan,
ligamentum interspinosa, ligamentum flavum, ruang epidural, dura, ruang
subarachnoid. Jarak kulit – ligamentum flavum dewasa kurang lebih 6 cm.
Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dimasukkan pelan-pelan
(0.5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit.
- Bekas suntikan di tutup dengan kassa dan diplester.
- Obat Anestesi spinal
Dosis 7,5 – 15 mg bupivacaine intratekal cukup untuk bedah sesar. Blok
saraf dilakukan pada ketinggian L3 – L4 atau L4 – L5 menggunakan jarum
spinal nomor 25 atau 27. Bupivacaine digunakan sebagai blockade saraf.
Opioid seperti fentanyl atau morfin dapat menambah efek analgesik yang
dihasilkan oleh anestesi lokal melalui pengikatan dengan reseptor spinal
yang spesifik. Oleh karena itu opioid dapat menurunkan dosis dari
bupivacaine yang diperlukan untuk mendapatkan efek adekuat dari anestesi
pada operasi.
Agen anestesi lokal dapat berupa molekul berat (hyperbaric), ringan
(hypobaric), dan beberapa isobarik seperti LCS. Larutan hyperbaric
cenderung menyebar kebawah, sementara isobaric tidak dipengaruhi oleh
arah. Hal ini akan lebih memudahkan untuk memperkirakan dari pemakaian
agen hyperbaric. Agen isobarik dapat dijadikan hiperbarik dengan
menambahkan dextrose. Agen hypobaric pada umumnya tidak digunakan.
Beberapa agen anestesi lokal yang digunakan pada anestesi spinal,
diantaranya :
a. Bupivacaine (Marcaine). 0.5% hyperbaric (heavy). Bupivacaine
memiliki durasi kerja 2-3 jam
b. Lignocaine (Lidocaine/Xylocaine). 5% hyperbaric (heavy), dengan
durasi 45-90 menit. Jika ditambahkan 0.2ml adrenaline 1:1000 akan
memperpanjang durasi kerja.
c. Cinchocaine (Nupercaine, Dibucaine, Percaine, Sovcaine). 0.5%
hyperbaric (heavy) sama dengan bupivacaine.
d. Amethocaine (Tetracaine, Pantocaine, Pontocaine, Decicain, Butethanol,
Anethaine, Dikain).
e. Mepivacaine (Scandicaine, Carbocaine, Meaverin).4% hyperbaric
(heavy) sama dengan lignocaine.
Obat anestesi lokal bekerja pada pompa Na dan K, sehingga terjadi
polarisasi. Menghambat transmisi impuls saraf atau blokade konduksi yaitu
mencegah peningkatan permeabilitas membran saraf terhadap ion Na
dengan memblok aliran ion Na.
3.1.7 Tinggi blok analgesia spinal
Faktor yang mempengaruhi :7
1. Volume obat anestesi lokal : makin besar makin tinggi daerah analgetik
2. Konsentrasi obat : makin pekat makin tinggi batas daerah analgetik
3. Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang – ulang meninggikan batas
daerah analgetik
4. Kecepatan : penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan adalah 3 detik untuk 1 ml
larutan.
5. Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan likuor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi : pada L4 – L5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal (Saddle block) pungsi L2 – L3 atau L3 – L4 obat lebih mudah
menyebar ke kranial.
7. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik atau hipobarik
8. Tekanan abdominal yang meninggi
9. Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis, makin
besar pula dosis yang di perlukan
10. Waktu : setelah 15 menit penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap atau tidak berubah sehingga batas analgesia tidak dapat di ubah
lagi dengan mengubah posisi pasien.
3.1.8 Manifestasi Fisiologi pada Anestesi Spinal1,5-7
1. Sistem Kardiovaskular
- Terjadinya hipotensi akibat blokade pada serabut saraf simpatis
preganglonik yang berhubungan dengan kecepatan obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarachnoid dan meluasnya blokade simpatis.
- Blokade yang tinggi diatas thorak 4 - 5, terjadi blokade simpatis yang
menginervasi jantung dan terjadilah penurunan heart rate setelah itu
akan menurunkan kontraktilitas dan venous return, penurunan kardiak
output dan tahanan perifer sehingga terjadilah hipotensi
- Blokade simpatis anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol
tekanan darah dan venous return tergantung gravitasi, vena dilatasi
mengakibatkan pooling vena sehingga terjadi penurunan venous return,
cardiac output dan tahanan perifer serta terjadi hipotensi
- Hipovolemia menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskular selama
spinal anestesi dan merupakan kontraindikasi spinal anestesi
- Tekanan darah di bawah 80 mmHg dan diastolik < 50 mmHg harus
diperhatikan
2. Sistem Respirasi
- Efek anestesi spinal pada fungsi respirasi berhubungan dengan level
blokade anestesi spinal yang meluas sampai level thorak tengah atau
lebih rendah, jarang menyebabkan perubahan fungsi respirasi
- Pasien dengan penyakit paru kronik berat, blokade motorik harus
dipelihara di bawah T7. Respiratory arrest dapat terjadi pada anesthesia
spinal total, karena paralisis otot respirasi atau iskemik brainstem
sekunder dari hipotensi berat. Respiratory arrest disebabkan aliran darah
meduller tidak adekuat karena cardiac output tidak adekuat, total spinal
dengan seluruh otot respirasi, efek toksik obat lokal anestesi serta efek
injeksi obat narkotik analgesi.
3. Sistem Gastrointestinal
- Blokade simpatis T5 – L1 pada anestesi spinal menyebabkan kontraksi
usus halus, sphinter relaksasi, peristaltik meningkat, tekanan dalam
lumen bowel meningkat, pengosongan lambung tidak dipengaruhi.
- Mual dan muntah terjadi karena hipotensi, peristaltik meningkat, tarikan
nervus dan pleksus terutama vagus, empedu di lambung, analgesik
narkotik, psikologik dan hipoksia.
4. Sistem Genitourinaria
- Pengaruh spinal anestesi pada fungsi ginjal adalah karena hipotensi,
menurunkan 5 – 10 % glomerular filtration rate (GFR).
- Blokade simpatis efferent (T5 – L1) berakibat peningkatan tonus sphinter
dan retensi urin.
5. Sistem Endokrin
- Anestesi spinal tidak merubah fungsi endokrin aktivitas metabolik.
- Anestesi spinal torakal tinggi berhubungan dengan blokade jalur otonom
ke medulla adrenal.
6. Temperatur Tubuh
- Anestesi spinal sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas
berkurang.
- Vasodilatasi anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya
hipotermi.
3.1.9 Komplikasi tindakan1,5
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai
T2.
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan :
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urin
5. Meningitis
Pencegahan :
1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus
2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
3. Hidrasi adekuat, minum/infuse sampai 3 L sehari selama 3 hari
Pengobatan
1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
2. Hidrasi adekuat
3. Hindari mengejan
4. Bila cara tersebut tidak berhasil, dipertimbangkan pemberian
“epidural blood patch” yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5 – 10
ml ke dalam ruang epidural.

3.2 ASMA
3.2.1 Definisi
Asma adalah gangguan umum ditemukan pada 5-7% populasi. Pokok
permasalahan dari gangguan ini adalah terjadinya peradangan pada jalan napas
(bronkus) dan respon hiperaktif. Secara klinis, asma bermanifestasi sebagai serangan
dispnea, batuk dan mengi terjadi secara episodik. Hal tersebut terjadi karena adanya
obstruksi jalan napas akibat konstriksi otot polos bronkus, edema, dan peningkatan
sekresi. Umumnya obstruksi dicetuskan oleh alergen berupa serbuk tumbuhan, bulu
binatang, debu, polutan, dan berbagai zat kimia lainnya, termasuk obat-obatan. Asma
bronkial merupakan penyakit yang kronis dan umum, dapat menyerang siapa saja,
juga dapat menyerang ibu hamil.10
Asma tak terkontrol pada kehamilan meningkatkan risiko kematian perinatal,
preeklampsia, kelahiran prematur, Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan
berat bayi lahir rendah.11
Pada penelitian didapatkan ibu hamil dengan asma akan menimbulkan resiko
pada bayinya. Pengelolaan asma pada ibu hamil agak berbeda, karena pengobatan
harus juga memikirkan efek samping pada bayi dalam kandungan.11
Tujuan utama pengelolaan dari ibu hamil dengan asma adalah selain untuk
keselamatan ibunya juga untuk bayi yang dikandung. Harus memperhatikan obat-obat
yang dipakai apakah mempengaruhi janin.11
Ibu hamil dengan asma dapat menyelesaikan kehamilan sebanyak 60%, dan
10% mengalami eksaserbasi setelah persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap
serangan asma pada setiap penderita tidak sama, bahkan pada seorang penderita
serangan asma pada kehamilan pertama dan berikutnya tidak sama. Biasanya
serangan asma akan timbul mulai umur kehamilan 24 – 36 minggu dan berkurang
pada akhir kehamilan.11
3.2.2 Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor
genetik dan faktor lingkungan.12
1. Faktor genetik
a. Hiperaktivitas
b. Atopi/alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur, dll)
b. Alergen diluar ruangan (tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker,
dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dan perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktifitas tertentu
j. Perubahan cuaca
Proses inflamasi pada penyakit ini sangat kompleks dan melibatkan faktor
genetik, faktor lingkungan, sel radang, mediator inflamasi, serta interaksi berbagai
sel. Elemen seluler yang berperan terutama mast cell, eosinofil, limfosit T, makrofag,
netrofil dan sel-sel epitel.12
Insiden terjadinya kondisi yang mengancam jiwa selama anestesi 0,17-4,2%.
Tujuan ahli anestesi adalah meminimalkan resiko terjadinya bronkhospasme dan
menghindari faktor pencetus.13
3.2.3 Patofisiologi
Tanda patofisiologi asma bronkial adalah pengurangan diameter jalan nafas
yang disebabkan kontraksi otot polos bronkus, kongesti pembuluh darah, edema
dinding bronkus dan sekret kental yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan
resistensi jalan nafas, penurunan FEV1 dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru
dan dada, peningkatan kerja pernafasan, perubahan pada fungsi otot saluran napas,
ketidak sesuaian ventilasi/perfusi dan perubahan gas darah. 13
Secara klinis asma dibedakan dalam dua kelompok yaitu alergi (ekstriksik),
dan idiosinkrasi (intrinsik). Asma alergi biasanya berhubungan dengan riwayat
penyakit alergi pada individu tersebut ataupun keluarganya, reaksi kulit yang positif
terhadap ekstrak dari antigen, dan peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE) diserum.
Mekanisme imunologis tampaknya merupakan penyebab yang berhubungan dengan
25% - 35% dari keseluruhan kasus. Asma idiosinkrasi tidak dapat diklasifikasikan
berdasarkan pada mekanisme imunologis, dan mungkin berhubungan dengan
abnormalitas sistem saraf parasimpatis. Bronkospasme terprovokasi ketika agen
tertentu menstimulasi reseptor trakeobronkial. 13,14
Asma bronkial akibat alergi bergantung pada respon IgE yang dikendalikan
oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast lalu diikuti pembentukan dan pelepasan mediator-
mediator. Mekanisme inflamasi pada asma dapat terjadi secara akut, subakut atau
kronik dan edema jalan nafas serta sekresi mukus turut memberikan kontribusi untuk
terjadinya obstruksi jalan nafas serta reaktifitas bronkhus. Bermacam derajat dari
mononuklear sel dan infiltrasi eosinofil, hipersekresi mukus, deskuamasi epitelium,
hiperplasia smooth muscle dan remodeling jalan nafas muncul. 13
Gambar 1. Asma bronchiale 15

Masuknya bahan allergen kedalam saluran nafas akan mengakibatkan reaksi


antara allergen dengan immunoglobin E (IgE) kemudian terjadi pelepasan bahan-
bahan mediator dari mastosit yang berakibat terjadinya peradangan di mukosa dan
submukosa bronkus sehingga kapiler (edema jalan nafas), dan sekresi yang banyak
serta kental, sehingga menimbulkan rekreasi inflamasi yang intensif. Infiltrasi sel-sel
radang seperti eosinofil, netrofil menimbulkan kerusakan epitel saluran nafas
sehingga terjadi pengeluaran mediator dan penebalan serta edema mukosa dan
submukosa. 13
Obstruksi jalan nafas merupakan akibat akumulasi 13:
1. Spasme dan hipertrofi otot polos jalan nafas
2. Inflamasi dan edema mukosa bronkus
3. Sekret yang banyak dan kental
3.2.4 Perubahan Sistem Pernapasan Selama Kehamilan
1. Perubahan hormonal
Tidal volume meningkat 45% sehingga terjadi peningkatan ventilasi permenit.
Peningkatan tidal volume diduga disebabkan karena pengaruh progesteron terhadap
resistensi saluran napas dan meningkatkan sensitivitas pusat pernapasan terhadap
karbondioksida.4
2.Faktor mekanik
Dengan bertambahnya usia kehamilan, abdomen juga bertambah besar
terutama trimester kedua. Dengan bertambah besarnya abdomen akan menekan
diafragma, mengakibatkan turunnya kapasitas residual fungsional. Pola pernapasan
juga akan berubah dari pernapasan abdomen menjadi pernapasan torakal sehingga
kebutuhan oksigen maternal meningkat.
3.2.5 Derajat Asma
Menurut National Asthma Education Program (NAEP), pembagian asma adalah :
1. Asma Ringan
Gejala singkat kurang dari 1 jam, eksaserbasi biasanya terjadi kurang dari dua
kali dalam satu minggu. Apabila aliran oksigen/udara kurang dari 80% tidak akan
menimbulkan bahaya.14
2. Asma sedang
Gejala asma kambuh lebih dari dua kali dalam seminggu, dan terjadi
gangguan aktifitas. Kadang seminggu kambuhnya sampai berhari-hari. Kemampuan
volume ekspirasi berkisar 60-80%.14
3. Asma berat
Gejala terus menerus sehingga menganggu aktifitas sehari-hari. Kemampuan
volume ekspirasi kurang dari 60%, diperlukan terapi kortikosteroid untuk
menghilangkan gejala.14
3.2.6 Evaluasi Perioperatif
Evaluasi pasien asma yang akan menjalani tindakan anestesi dan pembedahan
penting dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kejadian bronkospasme baik
intra operatif atau post operatif. Data-data yang diperlukan pada evaluasi penderita
meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru
dan analisa gas darah, Rontgen thorax.14
1. Riwayat penyakit
Data penting pada riwayat penyakit meliputi lama penyakitnya, frekuensi
serangan, hebat/lamanya serangan, keluhan/gejala penyakit, faktor- faktor yang
mempengaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan dan hasilnya, riwayat
perawatan di rumah sakit, riwayat serangan terakhir, beratnya dan pengobatannya.14
2. Pemeriksaan fisik
Tanda- tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dari inspeksi : penderita dalam keadaan sesak, wheezing, sianosis,
ekspirasi memanjang, berkeringat. Palpasi : takikardi. Perkusi : hipersonor.
Auskultasi : wheezing, ronki basah. Tanda-tanda serangan asma yang berat meliputi
penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas yang
panjang saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada wheezing (jalan napas tertutup,
sedikit gerakan udara, dan penurunan wheezing).14
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada asma pemeriksaan darah tampak eosinofil meningkat, leukositosis, kadar
immunoglobulin meningkat (IgG, IgE). Pada pemeriksaan sputum didapatkan
eosinofil.14
4. Pemeriksaan Rontgen thorax
Pada umumnya hasilnya normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan
bila ada kecurigaan adanya proses patologi di paru atau adanya komplikasi asma
seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia, dan lain- lain.11
Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi,
jantung mengecil dan lapangan paru yang hiperluscen.14
5. Pemeriksaan fungsi paru (Spirometri)
Untuk menentukan derajat obstruksi dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran
udara ekspirasi yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak
ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran
sebelumnya. Normalnya nilai volume ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki- laki adalah
lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi
(PEFR) adalah lebih dari 200 liter/menit (pada laki- laki dewasa muda bisa lebih dari
500 liter/menit). Nilai PEFR kurang dari 200 liter/menit pada pria (<150 liter/menit
pada wanita) menunjukkan gangguan efektifitas batuk dan akan meningkatkan
komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR <50% menunjukkan asma sedang –
berat. Nilai PEFR <120 liter/menit atau FEV1 1 liter menunjukkan adanya obstruksi
berat.14
Pemeriksaan ini juga memprediksi terhadap resiko komplikasi paru
postoperatif, memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan menilai respon
pengobatan (contoh bronkodilator preoperatif )15
6. Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan
hipokapnia ( PaCO2 <35mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2
justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat
berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 ≥45mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi paru-paru.14
7. Persiapan Preoperatif
Pada pasien asma persiapan preoperatif bertujuan untuk meningkatkan kondisi
pasien agar gangguan paru yang ada bisa reversibel.15 Kondisi optimal penderita
asma adalah bebas gejala dispnea, batuk maupun mengi atau gejala tersebut minimal.
Operasi elektif pada pasien asma yang dalam kondisi kambuh (eksaserbasi akut)
harus dihindari, dan pengobatan bronkodilator harus dilanjutkan sampai saat
operasi.16 Pasien dengan bronkospasme yang akut atau kronis harus diobati dengan
preparat bronkodilator yang berisi ß2-adrenergic agonis, dosis terapi teopillin dan
kotikosteroid. Sumber lain menganjurkan untuk dilakukan tambahan latihan napas
dan fisioterapi dada.14
Pasien asma dengan serangan bronkospasme aktif yang akan menjalani
pembedahan emergensi harus dilakukan perawatan intensif bila memungkinkan.
Pemberian oksigenasi, aminofilin intravena, glukokortikoid dan ß2-agonis aerosol
dapat secara cepat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam. Analisa gas darah
mungkin bermanfaat pada kasus berat. Hipoksemia dan hipokapnia sering terjadi
pada serangan asma sedang dan berat, bahkan hiperkapnia ringan menunjukkan
adanya air traping berat dan dapat merupakan indikasi ancaman gagal napas.4 Adanya
infeksi pada saluran napas harus diobati dengan antibiotik.
Berdasar patofisiologinya, pengobatan asma terdiri atas kortikosteroid untuk
mencegah gejala, menurunkan hiperaktifitas bronkus dan menurunkan eksaserbasi,
dan bronkodilator yang berfungsi memperbaiki fungsi paru dan mengurangi beratnya
gejala. Pengobatan terbaru menganjurkan pemakaian kortikosteroid sedini mungkin
pada pasien yang menggunakan agonis ß2 inhalasi. Terapi kombinasi solmeterol 50
mg dan flutikason dalam satu sediaan terbukti lebih efektif dibanding peningkatan
dua kali lipat dosis budesonide 80 mg.17
Pasien asma perlu diberikan latihan napas dalam dan upaya batuk yang kuat
pada masa paska bedah, bertujuan untuk meningkatkan pengembangan paru dan
pembersihan sekresi lendir.10
3.2.7 Penatalaksanaan Farmakologi
1. Kortikosteroid sering digunakan pada pasien asma. Terutama bentuk parenteral
yang digunakan untuk terapi serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini
melalui pengurangan edem mukosa, stabilisasi membran sel mast. Sebagai anti
inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui mekanisme antara lain:3
- menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi
leukotrin dan prostaglandin.
- Mengurangi kebocoran mikrovaskuler.
- Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi
- Menghambat produksi cytokins
- Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus.
Kortikoksteroid yang diberikan secara sistemik dalam jangka panjang dapat
menimbulkan efek samping, oleh karena itu dianjurkan pemberian obat secara
inhalasi.3 (Kortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan misalnya budesonide,
beclometasone, dexametason) dengan dosis maksimal 2000 mcg, sangat efektif
dalam pengendalian gejala asma dan dalam mencegah eksaserbasi.17 Bila
pemberian secara inhalasi belum bisa mengontrol serangan asma, maka
dianjurkan pemberian secara parenteral. Kortikosteroid parenteral yang biasa
digunakan adalah (1-2 mg/kg) hydrocortisone 100 mg IV per 8 jam dan methyl
prednisolone 40-80 mg IV per 4-6 jam, atau 80 mg IV per 8 jam, atau 0,8 mg/kg.
2. Simpatomimetiks, atau β-agonis agen, menyebabkan bronkodilatasi melalui
cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaksasi otot polos
bronkus.18 Obat-obat ini juga menghambat pelepasan histamin dan juga
neurotransmiter kolinergik.18
a. Obat-obat dengan campuran efek β1 dan β2 termasuk epinefrine (adrenaline),
isoproterenol (Isuprel), dan Isoetharine (bronkosol). Efek samping takikardi
dan aritmogenik obat ini membahayakan pada penderita penyakit jantung.4,18
b. Obat-obat dengan selektif β2 termasuk albuterol (Ventolin), terbutaline
(Brethine) dan metaproterenol (Alupent). Umumnya obat-obat ini diberikan
secara inhaler.19 Agonis β2 inhalasi sampai saat ini merupakan bronkodilator
yang paling efektif dan paling banyak dipakai. Ada 2 jenis sediaan
bronkodilator inhalasi yaitu agonis β2 aksi pendek dan aksi panjang. Agonis β2
aksi pendek seperti salbutamol, fenoterol dan terbutaline ini sangat efektif,
cepat dan aman untuk mengobati serangan asma akut. Agonis β2 aksi panjang
adalah salmeterol dan formoterol.4
3. Phosphodiesterase inhibitor (Teofilin), obat ini menyebabkan bronkodilatasi
dengan cara meningkatkan kadar cAMP intraseluler yang menghambat kerja
ensim phosphodiesterase. Selain bekerja sebagai inhibitor phosphodiesterase,
teofilin juga bekerja sebagai antagonis prostaglandin, inhibitor transport kalsium,
meningkatkan clearans mucosiliare dan meningkatkan kerja diafragma.4,18
Loading dose aminophylline adalah 5-6 mg/kg BB lebih dari 30 menit diikuti
infus kontinyu 0,4-0,9 mg/kg BB. Kadar theophylline dalam darah perlu
diperiksa dan dosisnya disesuaikan untuk menjaga kadar terapi yang sempit
antara 10-20 μg/dl. Penggunaan obat ini perlu dilanjutkan sampai pagi menjelang
operasi. Level obat di atas 20 μg/dl sering menyebabkan tanda-tanda toxic
berupa mual, muntah, headache, cemas, takikardia, arithmia dan kejang.18
4. Sodium Cromolyn dan Iodium nedokromil, adalah preparat inhalasi yang
digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui
stabilisasi membran sel mast dan anti inflamasi, Obat-obat ini sering digunakan
pada anak untuk mencegah efek samping kortikosteroid pada pertumbuhan
anak.3
5. Antikolinergik, mempunyai efek langsung berupa bronkodilatasi dengan
menghambat pembentukan cGMP. Atropin sulfat sebagai obat antikolinergik
mempunyai efek samping takikardia, sehingga jarang digunakan. Glycopyrolate
digunakan dengan nebulizer dosis 0,4 - 0,8 mg. Ipratoprium bromide adalah
turunan atropin dan bekerja sebagai antikholinergik. Pada serangan asma akut
dapat memperbesar efek bronkodilatasi dari beta-agonis dengan dosis 0,25 - 0,5
mg secara metered dose inhaler.
6. Antileukotrien, obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang
mensintesa leukotrin atau mempengaruhi ikatannya pada reseptor. Termasuk
antagonis reseptor leukotrin antara lain “zafirlukast, pranlukast dan
montelukast”. Zafirlukast dapat digunakan sebagai pengganti kortikosteroid
inhalasi.1 Termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah “Zilueton”. Obat-obat
antileukotrin ini biasa digunakan untuk terapi asma kronik.
BAB IV

ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut menjalar kepinggang sejak 1 hari
smrs. keluar air-air (-), keluar darah bercampur lendir (+). Riwayat penggunaan KB
(+) kb pil. Pasien memiliki riwayat asma dari usia 3 tahun, semenjak 10 tahun ini
pasien tidak meminum obat asma, jika berulang hanya dengan istirahat asma hilang.
Asma berulang <1 kali per tahun
Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi diperoleh hasil abdomen
tampak membesar, striae (+), luka bekas operasi (+) 2x, pada palpasi diperoleh hasil
tinggi fundus uteri 30 cm, letak punggung janin, presentasi kepala, taksiran berat
janin 3100 gram, pada perkusi diperoleh hasil timpani (+), pada auskultasi didapatkan
hasil denyut jantung janin 138 kali per menit, bising usus (+) normal. Pada
pemeriksaan darah rutin didapatkan dengan nilai haemoglobin 11,6 gr/dL.

Kunjungan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang lebih 2 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan.
Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum,
keadaan fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien secara umum
baik. Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), keadaan pasien
Ny. R tergolong ke ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan atau sedang.

Pemilihan Jenis Anestesi

Pasien ini direncanakan untuk dilakukan operasi seksio sesaria tubektomi.


Sektio sesaria adalah suatu tindakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan sektio sesaria jauh
lebih aman dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika, transfusi
darah, teknik operasi yang lebih baik, serta teknik anestesi yang lebih sempurna. Hal
inilah yang menyebabkan saat ini timbul kecenderungan untuk melakukan seksio
sesaria tanpa adanya indikasi yang cukup kuat.3

Pada operasi SC, kita membutuhkan efek analgesi setinggi T10. Oleh karena
itu maka jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal. Anestesi spinal
diindikasikan untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah
(daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua
operasi abdomen bagian bawah, bedah obstetri, bedah urologi, rektum-perineum, dan
ekstremitas bawah.3

Adapun beberapa keuntungan spinal anestesi dibandingkan general anestesi


yaitu jumlah perdarahan yang lebih sedikit, angka kejadian thrombosis vena dalam
lebih kecil, menghindari efek samping general anestesi seperti mual, tenggorokan
kering, gangguan kesadaran, dan sebagainya, serta kontrol nyeri yang lebih baik.1

Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan
tujuan melancarkan anastesia. Tujuan premedikasi sangat beragam, diantaranya:

- Mengurangi kecemasan dan ketakutan


- Memperlancar induksi dan anestesia
- Mengurangi sekresi ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual dan muntah pada paska bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ondansentron 4 mg (IV),
Dexametasone 5 mg (IV). Dalam pemberian obat premedikasi pada pasien ini
terdapat kesalahan waktu pemberian obat. Obat premedikasi seharusnya diberikan di
ruangan rawat 1-2 jam sebelum dilakukan induksi, namun pada pasien diberikan
sekitar 15 menit sebelum induksi spinal.

Anestesi Spinal
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala
menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung yaitu antara vertebra
lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27 ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL hiperbarik 15 mg. Bupivacain merupakan
anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan
rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok
proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel.

Oxiytocin 10 IU (drip) yang bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan


merangsang kontraksi uterus secara ritmik untuk mempertahankan tonus uterus post
partum.

Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi spinal, maka perlu dilakukan monitoring tekanan
darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah
yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-
30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi dan bradikardi merupakan salah
satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja dari syaraf
simpatis. Namun bila dengan cairan infus masih terjadi hipotensi, maka dapat
diberikan vasopresor berupa efedrin dengan dosis 10 mg intravena yang dapat diulang
tiap 3-4 menit sampai tekanan darah yang dikehendaki.
Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid secara
intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah
ke ruang ketiga. Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu
3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1500 ml (3
kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang
karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 6 jam.
Kebutuhan cairan pasien ini
Diketahui :
 Berat badan : 70 kg (saat hamil) 50 kg (tidak hamil)
 Lama puasa : 6 jam
 Lama anestesi : 1 jam 1
 Stress operasi : Sedang
o Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 50
= 100 cc
o Pengganti Puasa (P)
P =6xM
= 6 x 100
= 600 cc
o Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (operasi sedang)
= 50 x 6 cc
= 300 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (600) + 100 + 300
= 700 cc

Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (600) + 100 + 300
= 550 cc

Total kebutuhan pada pasien ini yaitu:


- 700 cc pada jam pertama
- 550 cc pada jam kedua
- 100 cc untuk mengganti kehilangan cairan pada perdarahan intraoperatif
- 100 cc untuk mengganti kehilangan cairan urin
Jumlah seluruh cairan yaitu 1450 cc, maka pemberian 1500 ml kristaloid
selama operasi sudah mencukupi kebutuhan cairan pasien.
BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul, sehingga dapat
mengantisipasinya. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum
pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi pada kasus ini berlangsung dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rofiq A, D Sutiyono. Perbandingan Antara Anestesi Regional Dan Umum


Pada Operasi Caesar. Journal Anestesi Indonesia (serial online) 2009. 1(3).
2. Nugroho AM. 2012. Anestesia Obstetrik. Dalam: Soenarto RF, S Chandra,
editor. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Hal 351 – 373.
3. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration
with Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the
Massachusetts General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins
page : 33-41
4. Suresh, Maya et al. 2013: Ashma in Pregnancy in Shnider and levinson’s.
Anesthesia for Obstetri. Fifth Edition Lippincott Williams & Wilkins page :
524-537
5. Winkjosastro H. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2007. Hal 133-134.
6. Fakultas Kedokteran Universitas Jambi. Catatan Anestesi. Jambi; 2012. Hal
21-24.
7. Latief S, KA Suryadi, MR Dachlan. Edisi ke-2: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. Hal 105 –
112.
8. Chris Ankcorn dan William F Casey. Spinal anaesthesia-a practical guide.
Available from : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u03/u03_003.htm.
9. Muhaiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Disusun Staf
Pengajar, Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989. Hal
123-133.
10. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri RA, Redjeki IS, Soenarto RF, dkk. 2019.
Anestesiologi dan terapi intensif Edisi pertama. Gramedia: Jakarta.
11. Subijanto, Achmad Arman. Review: Keanekaragaman genetik HLA-DR dan
variasi kerentanan terhadap penyakit asma; tinjauan khusus pada asma dalam
Kehamilan. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2008: 9(3).
12. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. 2008. Menkes RI
13. Morgan GE, Mikhail MS, Anesthesia for Patient with Respiratory Disease in
Clinical Anesthesiology, 2nd ed Lange medical book 1996; 441-444.
14. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumo D, Sutoyo, Yunus F, Suryanto E, dkk.
2004. Pedoman diagnosis dan penetalaksanaan Asma di Indoensia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. FKUI: Jakarta.
15. Hansen J, 2011. Asthma Bronchiale. available from:
www.britannica.com/EBchecked/topic/39778/Asthma
16. Nunn J.F., 1990 : Anaesthesia for Patients with Respiratory Disease in
General Anaesthesia, 5th ed., Butterworth International, page: 699-702.
17. Karnen B., 1990 : Asma Bronkiale dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 21 -39.
18. Epstein P.L., 1999 : Spesific Consideration with pulmonary Disease in
Clinical Anaesthesia Procedures of Massachussetts General Hospital, 6th ed,
LippinCott William & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.
19. Deepthi A., 1992 : Anaesthesia in Respiratory Disease in a Handbook of
Anaesthesia, Colombo, Srilangka, page : 58.

Anda mungkin juga menyukai