Ara Baysari *
dr. Andi Hasyim, Sp.An **
Ara Baysari *
dr. Andi Hasyim, Sp.An **
i
CASE REPORT SESSION (CRS)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218031 / Oktober 2019
** Pembimbing / dr. Andi Hasyim, Sp.An
Ara Baysari *
dr. Andi Hasyim, Sp.An **
Disusun Oleh :
Ara Baysari
G1A1218031
Pembimbing
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat case report session (crs) yang berjudul “G1P0A0
Hamil Aterm dengan Bekas SC 2 kali dan Riwayat Asma” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Anastesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Andy Hutarius, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada referat CRS ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan referat ini.
Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca.
Ara Baysari
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi regional (RA) dan anestesi umum (GA) adalah teknik anestesi yang
umumnya digunakan untuk operasi caesar (Sectio Caesaria), keduanya memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dengan anestesi regional (anestesi epidural), anestesi
dimasukkan ke dalam ruang di sekitar tulang belakang pasien, sementara dengan
anestesi spinal, obat ini disuntikkan ke dalam kolom tulang belakang pasien. Dengan
dua jenis anestesi regional, ibu terjaga untuk kelahiran tetapi mati rasa dari pinggang
ke bawah. Dengan anestesi umum, ibu tidak sadar untuk kelahiran dengan anestesi
mempengaruhi seluruh tubuhnya.1,2
Banyak pertimbangan perlu dilakukan sebelum menentukan jenis anestesia
untuk Sectio Caesaria, bila digunakan anesthesia regional diperlukan blok saraf
setinggi T4. Banyak perubahan fisiologik karena kehamilan meningkatkan risiko di
bidang anestesia. Meningkatnya kemungkinan aspirasi dan regurgitasi, peningkatan
tekanan intraabdominal dan sulitnya penanganan jalan nafas adalah di antara alasan
yang menyebabkan anestesia regional lebih disukai untuk wanita hamil.2
Anestesia regional yang paling populer pada bedah caesar tanpa komplikasi
adalah penggunaan teknik sub arachnoid block (SAB) atau anestesia spinal. Teknik
ini mudah, awitannya cepat dan harganya murah. Kombinasi antara anestetika lokal
seperti bupivacaine dengan atau tanpa opioid seperti fentanyl atau morfin sering
digunakan dan menghasilkan anestesia yang memuaskan.2
Risiko kematian ibu dengan operasi caesar adalah empat kali yang terkait
dengan semua jenis kelahiran vagina, yang adalah 1 per 10.000 kelahiran. Hal ini
diketahui bahwa ada risiko lebih besar terjadinya neonatal distress with caesar
dibandingkan persalinan vagina, tanpa memperhatikan usia kehamilan. Hal ini telah
digambarkan sebagai ringan dan sementara, operasi caesar biasanya dianggap aman
untuk janin. Operasi caesar sering digambarkan sebagai pilihan (ketika direncanakan)
atau keadaan darurat.1
3
Asma bronkial merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi.
Jenisnya berupa inflamasi dan hiperaktivitas bronkus sebagai respon terhadap
berbagai macam stimulasi. Secara klinis, asma dimanifestasikan sebagai episode
serangan sesak napas yang reversibel akibat kontraksi otot polos bronkus, edema dan
peningkatan sekresi. 1
Asma merupakan salah satu masalah medis yang serius pada kehamilan.
Asma merupakan faktor resiko terjadinya komplikasi pada ibu hamil dan janin. Ibu
hamil dengan asma meningkatkan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsia,
bayi dengan berat lahir rendah dan kelahiran prematur.2
Insiden perioperatif bronkospasme pada pasien asma bronkial yang menjalani operasi
kurang dari 2% jika pengobatannya rutin. Frekuensi komplikasi meningkat pada
pasien usia lebih dari 50 tahun serta pasien asma yang tidak terkontrol baik (gejala
yang nyata, sering kambuh atau sering dirawat di rumah sakit) beresiko dalam
masalah pernapasan perioperatif (bronkhospasme, retensi sputum, atelektasis, infeksi,
dan gagal napas). Insiden terjadinya kondisi yang mengancam jiwa selama anestesi
0,17 - 4,2%.1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 20 x/menit
Suhu : 37 ̊C
b. Kepala : Normochepal
c. Mata : SI (-/-), CA (-/-), RC (+/+), isokor
d. THT : Nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-), mallapati I
e. Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
f. Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal Fremitus (+/+), krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi :
Atas kanan : ICS II linea parasternal dextra
Atas kiri : ICS II linea parasternal sinistra
Bawah kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Bawah kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
g. Abdomen
Inspeksi : Tampak membesar, striae (+), luka bekas operasi (+)
Palpasi : TFU 31 cm, letak punggung janin kiri, presentasi kepala,
taksiran berat janin 3100 gram, HIS (-) nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : DJJ 150 x/menit, bising usus (+) normal
h. Genital : Dalam batas normal
i. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Darah Rutin 20 Oktober 2019
Leukosit 10.140/mm3
Eritrosit 3.900.000/mm3
Hemoglobin 11,6 gr/dL
Hematokrit 34,9 %
Trombosit 237.000/mm3
CT 2’
BT 4’
Kimia Darah
GDS 88 mg/Dl
Protein urin ++
2. EKG
SR, HR 68x/menit
4. STATUS ASA : 1/2/3/4/5/E
C. LAPORAN ANESTESI
3.1.2 Indikasi
Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah (daerah
papilla mammae kebawah) :5
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum – perineum
4. Bedah obstetrik – ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
3.1.3 Kontraindikasi
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman/tanpa di damping konsultan anestesi
3.1.4 Kontraindikasi Relatif
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis
9. Peningkatan tekanan intracranial
3.1.5 Persiapan
Operasi bedah sesar dengan anestesi regional pada umumnya tidak
memerlukan sedasi, namun jika pasien tampak sangat cemas, berikan midazolam
0,5 – 2 mg. Oleh karena kemungkinan aspirasi isi lambung pada wanita hamil
lebih tinggi diperlukan premedikasi seperti antagonis reseptor H2 (ranitidine /
famotidin) beguna untuk mengurangi sekresi asam lambung dan metoklorpramid
berguna untuk memfasilitasi pengosongan lambung. Meningkatkan tonus LES
(lower sphincter esophagus) dan efek antiemetik. Selain itu diperlukan :2,
1. Posisi maternal
Pada kehamilan aterm, pembesaran uterus menyebabkan desakan pada
pembuluh darah besar di abdomen (aorta abdominalis dan vena cava
inferior) yang disebut kompresio aorta – caval. Penekanan ini menurunkan
venous return. Ditambah vasodilatasi akibat pengaruh hormonal, dapat
terjadi penurunan tekanan darah, berkurangnya perfusi uterus dan
bradikardia janin. Untuk mencegah hal tersebut, kecukupan cairan
intravaskular perlu dipastikan. Selain itu dapat memposisikan pasien
dekubitus lateral kiri atau dilakukan manipulasi posisi uterus dengan
kedua tangan untuk menggeser uterus ke arah kiri sehingga mengurangi
penekanan aorto kaval.
Anatomi tulang belakang lebih mudah di palpasi pada posisi duduk di
bandingkan lateral dekubitus, penderita dengan bantuan seorang asisten
dan memeluk bantal diposisikan duduk dengan punggung belakang di
fleksikan maksimal dan kedua kaki menggantung diatas lantai atau di atas
bangku.
2. Pemantauan
Pemantauan meliputi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu, pastikan
EKG terpasang secara benar. Perhatikan pula kemungkinan perubahan
teknik anestesia regional menjadi umum karena adanya penyulit atau
terjadi kegawatan pada ibu hamil
3. Pemberian cairan
Pemberian cairan sesaat sebelum anestesia terutama anestesia regional
dapat menurunkan kejadian hipotensi, memperbaiki curah jantung dan
sirkulasi uteroplasenta. Masih terdapat kontroversi mengenai jumlah dan
jenis cairan yang mengandung glukosa karena dapat menyebabkan
hiperglikemia dan hiperinsulinemia pada ibu dan janin. Sisa insulin dapat
memicu hipoglikemia pada tubuh janin setelah lahir.
4. Persiapan sebelum induksi5
- Informed consent (izin dari pasien)
- Pemeriksaan fisik : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan
tulang punggung dan lain – lainnya.
- Pemeriksaan laboratorium anjuran : hemoglobin, PT (prothrombine
time) dan PTT (partil prthrombine time)
5. Peralatan anesthesia
Selain alat pemantau seperti monitor, nadi oksimetri denyut dan EKG,
juga diperlukan peralatan resusitasi/anestesi umum, jarum spinal dengan
ujung tajam (Quinckee Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil
(pencil point, whitecare) jarum spinal dipasarkan dalam ukuran 16 – 30
dan yang sering digunakan pada anestesi spinal sectio sesaria yaitu ukuran
25-27. Diameter yang lebih besar akan meningkatkan kemungkinan
bocornya liquor serebrospinal, menimbulkan traksi saraf yang
memperbesar terjadinya post dural puncture headache (PHDH) yang
merupakan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke
posisi duduk/tegak, mulai terasa 24 – 48 jam setelah dilakukan penusukan
untuk anestesi. 4,5
3.1.6 Teknik anestesi3-6
- Identifikasi space atau celah antar ruas tulang belakang landmark yang
dapat digunakan yaitu berpatokan bahwa garis khayalan setinggi krista
iliaka dianggap setinggi L4 atau L4 – L5 dengan posisi pasien duduk
dengan punggung bawah difleksikan/membungkuk agar prosesuss spinosus
mudah teraba. Tusukan pada L1 – L2 atau di atasnya dapat berisiko
menimbulkan trauma medulla spinalis. Posisi lateral dekubitus lebih
nyaman bagi pasien dan dapat meningkatkan aliran darah uterus wanita
hamil.
- Tentukan tempat tusukan misalnya L2 - L3, L3 – L4 atau L4 – L5.
3.2 ASMA
3.2.1 Definisi
Asma adalah gangguan umum ditemukan pada 5-7% populasi. Pokok
permasalahan dari gangguan ini adalah terjadinya peradangan pada jalan napas
(bronkus) dan respon hiperaktif. Secara klinis, asma bermanifestasi sebagai serangan
dispnea, batuk dan mengi terjadi secara episodik. Hal tersebut terjadi karena adanya
obstruksi jalan napas akibat konstriksi otot polos bronkus, edema, dan peningkatan
sekresi. Umumnya obstruksi dicetuskan oleh alergen berupa serbuk tumbuhan, bulu
binatang, debu, polutan, dan berbagai zat kimia lainnya, termasuk obat-obatan. Asma
bronkial merupakan penyakit yang kronis dan umum, dapat menyerang siapa saja,
juga dapat menyerang ibu hamil.10
Asma tak terkontrol pada kehamilan meningkatkan risiko kematian perinatal,
preeklampsia, kelahiran prematur, Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan
berat bayi lahir rendah.11
Pada penelitian didapatkan ibu hamil dengan asma akan menimbulkan resiko
pada bayinya. Pengelolaan asma pada ibu hamil agak berbeda, karena pengobatan
harus juga memikirkan efek samping pada bayi dalam kandungan.11
Tujuan utama pengelolaan dari ibu hamil dengan asma adalah selain untuk
keselamatan ibunya juga untuk bayi yang dikandung. Harus memperhatikan obat-obat
yang dipakai apakah mempengaruhi janin.11
Ibu hamil dengan asma dapat menyelesaikan kehamilan sebanyak 60%, dan
10% mengalami eksaserbasi setelah persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap
serangan asma pada setiap penderita tidak sama, bahkan pada seorang penderita
serangan asma pada kehamilan pertama dan berikutnya tidak sama. Biasanya
serangan asma akan timbul mulai umur kehamilan 24 – 36 minggu dan berkurang
pada akhir kehamilan.11
3.2.2 Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor
genetik dan faktor lingkungan.12
1. Faktor genetik
a. Hiperaktivitas
b. Atopi/alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur, dll)
b. Alergen diluar ruangan (tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker,
dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dan perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktifitas tertentu
j. Perubahan cuaca
Proses inflamasi pada penyakit ini sangat kompleks dan melibatkan faktor
genetik, faktor lingkungan, sel radang, mediator inflamasi, serta interaksi berbagai
sel. Elemen seluler yang berperan terutama mast cell, eosinofil, limfosit T, makrofag,
netrofil dan sel-sel epitel.12
Insiden terjadinya kondisi yang mengancam jiwa selama anestesi 0,17-4,2%.
Tujuan ahli anestesi adalah meminimalkan resiko terjadinya bronkhospasme dan
menghindari faktor pencetus.13
3.2.3 Patofisiologi
Tanda patofisiologi asma bronkial adalah pengurangan diameter jalan nafas
yang disebabkan kontraksi otot polos bronkus, kongesti pembuluh darah, edema
dinding bronkus dan sekret kental yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan
resistensi jalan nafas, penurunan FEV1 dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru
dan dada, peningkatan kerja pernafasan, perubahan pada fungsi otot saluran napas,
ketidak sesuaian ventilasi/perfusi dan perubahan gas darah. 13
Secara klinis asma dibedakan dalam dua kelompok yaitu alergi (ekstriksik),
dan idiosinkrasi (intrinsik). Asma alergi biasanya berhubungan dengan riwayat
penyakit alergi pada individu tersebut ataupun keluarganya, reaksi kulit yang positif
terhadap ekstrak dari antigen, dan peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE) diserum.
Mekanisme imunologis tampaknya merupakan penyebab yang berhubungan dengan
25% - 35% dari keseluruhan kasus. Asma idiosinkrasi tidak dapat diklasifikasikan
berdasarkan pada mekanisme imunologis, dan mungkin berhubungan dengan
abnormalitas sistem saraf parasimpatis. Bronkospasme terprovokasi ketika agen
tertentu menstimulasi reseptor trakeobronkial. 13,14
Asma bronkial akibat alergi bergantung pada respon IgE yang dikendalikan
oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast lalu diikuti pembentukan dan pelepasan mediator-
mediator. Mekanisme inflamasi pada asma dapat terjadi secara akut, subakut atau
kronik dan edema jalan nafas serta sekresi mukus turut memberikan kontribusi untuk
terjadinya obstruksi jalan nafas serta reaktifitas bronkhus. Bermacam derajat dari
mononuklear sel dan infiltrasi eosinofil, hipersekresi mukus, deskuamasi epitelium,
hiperplasia smooth muscle dan remodeling jalan nafas muncul. 13
Gambar 1. Asma bronchiale 15
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut menjalar kepinggang sejak 1 hari
smrs. keluar air-air (-), keluar darah bercampur lendir (+). Riwayat penggunaan KB
(+) kb pil. Pasien memiliki riwayat asma dari usia 3 tahun, semenjak 10 tahun ini
pasien tidak meminum obat asma, jika berulang hanya dengan istirahat asma hilang.
Asma berulang <1 kali per tahun
Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi diperoleh hasil abdomen
tampak membesar, striae (+), luka bekas operasi (+) 2x, pada palpasi diperoleh hasil
tinggi fundus uteri 30 cm, letak punggung janin, presentasi kepala, taksiran berat
janin 3100 gram, pada perkusi diperoleh hasil timpani (+), pada auskultasi didapatkan
hasil denyut jantung janin 138 kali per menit, bising usus (+) normal. Pada
pemeriksaan darah rutin didapatkan dengan nilai haemoglobin 11,6 gr/dL.
Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang lebih 2 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan.
Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum,
keadaan fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien secara umum
baik. Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), keadaan pasien
Ny. R tergolong ke ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan atau sedang.
Pada operasi SC, kita membutuhkan efek analgesi setinggi T10. Oleh karena
itu maka jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal. Anestesi spinal
diindikasikan untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah
(daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua
operasi abdomen bagian bawah, bedah obstetri, bedah urologi, rektum-perineum, dan
ekstremitas bawah.3
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan
tujuan melancarkan anastesia. Tujuan premedikasi sangat beragam, diantaranya:
Anestesi Spinal
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala
menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung yaitu antara vertebra
lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27 ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL hiperbarik 15 mg. Bupivacain merupakan
anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan
rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok
proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel.
Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi spinal, maka perlu dilakukan monitoring tekanan
darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah
yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-
30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi dan bradikardi merupakan salah
satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja dari syaraf
simpatis. Namun bila dengan cairan infus masih terjadi hipotensi, maka dapat
diberikan vasopresor berupa efedrin dengan dosis 10 mg intravena yang dapat diulang
tiap 3-4 menit sampai tekanan darah yang dikehendaki.
Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid secara
intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah
ke ruang ketiga. Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu
3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1500 ml (3
kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang
karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 6 jam.
Kebutuhan cairan pasien ini
Diketahui :
Berat badan : 70 kg (saat hamil) 50 kg (tidak hamil)
Lama puasa : 6 jam
Lama anestesi : 1 jam 1
Stress operasi : Sedang
o Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 50
= 100 cc
o Pengganti Puasa (P)
P =6xM
= 6 x 100
= 600 cc
o Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (operasi sedang)
= 50 x 6 cc
= 300 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (600) + 100 + 300
= 700 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (600) + 100 + 300
= 550 cc
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul, sehingga dapat
mengantisipasinya. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum
pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi pada kasus ini berlangsung dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA