Anda di halaman 1dari 38

Case Report Session (CRS)

*Pendidikan Profesi Dokter/ G1A217032/ April 2019

**Pembimbing/ dr. Ade Susanti, Sp.An

Resusitasi pada Pasien dengan


Penurunan Kesadarana e.c Cedera Kepala Ringan di IGD RSUD Raden Mattaher Jambi

Oleh :

M. Ridho Rifhansyah

G1A217032

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

2019

LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

Resusitasi pada Pasien dengan Cedera Kepala Ringan

di IGD RSUD Raden Mattaher Jambi

Disusun Oleh:

M. Ridho Rifhansyah

G1A217032

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JAMBI

2019

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada: Jambi, April 2019

Pembimbing

dr. Ade Susanti, Sp.An


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas Case Report Session (CRS) pada Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Jambi
yang berjudul “Resusitasi pada Pasien dengan Cedera Kepala ringan di IGD RSUD
Raden Mattaher Jambi”.
Case Report Session (CRS) ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih
dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi, dan melihat penerapannya secara langsung di
lapangan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.Hj.
Ade Susanti, Sp.An sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan Case Report Session (CRS) ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga tugas ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, April 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena
mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar -
benar, serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk
cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan
penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah
identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik
adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.
Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara
tepat dan cepat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa
dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat
keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : An. K
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Desa Teluk RT 14 Pemayung
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pelajar
MRS tanggal : 12/04/2019
Tanggal Pemeriksaan : 12/04/2019

2. Anamnesis (Alloanamnesis)
a. Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak ± 30 menit SMRS
b. Riwayat Perjalan Penyakit :
Pasien dibawa oleh warga ke IGD RSUD Raden Mattaher dengan penurunan
kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas sejak kurang lebih 30 menit SMRS,
diketahui pasien mengendarai motor sendiri tanpa menggunakan helm dan
bertabrakan dengan mini bus yang datang dari arah berlawanan. Menurut
keterangan warga, kepala pasien berbenturan dengan bagian depan mini bus.
Setelah kecelakaan tersebut pasien tidak sadar, kemudian dibawa ke RS. Keluar
darah dari telinga dan hidung (-), muntah (-) kejang (-).
Riwayat Penyakit Dahulu : (-)
Riwayat trauma sebelumnya (-)
Riwayat mengonsumsi alkohol dan obat-obatan (-)
3.1.Pemeriksaan Fisik
Primary Survey
1. Airway :
Snoring (+), trauma maksilofacial (-)
Tindakan : Dipasangkan Oropharingeal Airway
C-spine control dipasang, dicurigai adanya cedera cervical

2. Breathing :
Look : Jejas pada dinding dada (-),pergerakan dinding dada simetris,
RR : 28 kali/menit
Listen : Pernafasan spontan
Feel : Pernafasan spontan
Tindakan : Pasang Pulse oksimetri saturasi O2 90%
Beri O2 NRM 12L/menit.

3. Circulation :
Perdarahan aktif (+) pada region frontal
TD : 170/100 mmHg,
Nadi : 88 x/menit isi cukup, kuat dan teratur,
pucat pada wajah dan ektremitas (-)
Tindakan : Pasang IV line dengan cairan Ringer Laktat 20gtt/I,
Pasang kateter

4. Disability :
GCS: E4M45V4 = 13

5. Exposure :
Seluruh pakaian os dibuka, lalu os diselimuti.
Reevaluasi ABCDE
Stabil

Secondary survey
Anamnesis :
A : Alergi : tidak ada
M : Medikasi : tidak ada obat-obatan yang diminum saat ini
P : Past Illness : tidak ada penyakit penyerta lainnya
L : Last meal : sebelum kecelakaan, os terakhir makan pukul 17.00.
E : Event/environment : Pasien mengalami kecelakaan pada malam hari,
dijalan raya yang cukup ramai

Pemeriksaan Fisik :
 Keadaan Umum : tampak sakit berat
 Kesadaran : Composmentis
 GCS : E2M4V2 8
 Tanda Vital : TD : 170/100 Nadi : 88x/I
RR :28x/I T : 37,2 °C
 Kepala : Normocephale, hematoma regio temporooksipital
dekstra ukuran 4cm
 Mata : raccoon eyes -/-, CA -/-, ukuran Pupil
3mm/3mm, isokor, reflex cahaya +/+.
 Leher : jejas (-), deviasi trakea (-) JVP 5±2cmH2O
 THT : hematorrhe auricula dextra (+) rinorhea (-/-),
battle sign -/-
 Thoraks : Pulmo :
- Inspeksi : jejas (-), simetris,
- Palpasi : krepitasi -/-, nyeri tekan -/-
- Perkusi : sonor +/+,
- Auskultasi : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea aksilaris
anterior sinistra, tidak kuat angkat
- Perkusi : Pekak
- Auskultasi : BJ I, II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
- Inspeksi : jejas (-), distensi (-)
- Auskultasi : Bising usus +/+ Normal
- Palpasi : soepel, Nyeri tekan (-), defans muscular (-)
- Perkusi : timpani (+)

 Ekstremitas : akral hangat, edema (-), deformitas (-), krepitasi (-)


Kekuatan motorik estremitas superior 5/5, sensibilitas +/+
Refleks fisiologis (+): Refleks biceps (+) refleks triceps (+)
Kekuatan motorik estremitas inferior 5/5, sensibilitas +/+
Refleks fisiologis (+): Refleks patella (+), reflex achiles (+)

Status lokalis :
- Temporo oksipital dekstra Hematoma 4x3cm
- regio antebrachii posterior dextra :Vulnus laceratum ukuran 7x1cm
- region patellaris dextra :Vulnus laceratum 4x1cm

3.2. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium :
Hemoglobin 12,9
Leukosit 11,5
Eritrosit 4,07
Trombosit 241
MCV 90,9
MCH 31,7
MCHC 34,9
Na 144,03
K 3,48
Cl 108,78
Ca 1,25

b. Radiologi
- Rontgen Cervical AP/L
- CT-SCAN

c. Diagnosa
 Penurunan Kesadaran e.c Cedera Kepala ringan e.c Post KLL
 Suspek Trauma Cervical

3.3.Terapi/Tindakan
 O2 NRM 12L/menit
 IVFD RL 20 gtt/i
 Kateter terpasang
Terapi definitif
 Konsul ke dokter spesialis bedah saraf
 Citicoline 250 mg (100-500 mg, 1-2x/hari)
 Asam traneksamat 500mg IV (15-25 mg/KgBB, 2-4x/hari)
 Ranitidine 50mg IV (1mg/kgBB)
 Ceftriaxon 1x2gr IV\
 Inj. ATS 10.000 IU IM
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun
permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.

2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit
 Connective tissue atau jaringan penyambung
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan
langsung dengan tengkorakLoose areolar tissue atau jaringan penunjang
longgar.
 Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah
terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap
sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.
Tulang Tengkorak Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.
b. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

c. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar
14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon
(otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
d. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
e. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior)
f. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat
menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal
kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak
normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya.
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat
dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu
volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan
volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean
arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari
70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan
mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang
cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah
sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-12
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 13-15.

Glasgow Glasgow Coma Scale nilai ai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)

c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign),
kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput
duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya
fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup
berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian
dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis.

a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal
arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga
kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan
epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan
adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula
mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan
perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan
pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat
pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda
space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater
biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras
secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).

b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan
EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan
laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada
atau tidak.
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural
akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan
medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan
sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan
epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya
hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural.
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh
karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area
hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,
berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama
densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan
akhirnya menjadi hipodens.

c. Kontusi dan hematoma intraserebral.


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya,
kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut.
Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau
dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak
jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi
dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam
beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh
darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
d. Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan
disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa
sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist
neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain.
Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat
cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam
dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan
gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedeera
otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua
keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.

6. PENEGAKAN DIAGNOSA
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis, informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital system
organ, dan pemeriksaan neurologis yang lebih dalam mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf cranial, fungsi motorik dan sensorik, serta reflex fisiologis dan
patologis. Pada bagian thoraks perlu diperiksa fungsi pernapasan dan
kardiovaskuler. Pada daerah abdomen perlu diperhatikan adanya kemungkinan
cedera organ dalam3.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Rontgen
Pemeriksaan radiologi yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala, yang sering dijadikan pemeriksaan skrining adanya fraktur tulang
tengkorak. Sejak ditemukannya cr-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti
fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-scan dan dapat dideteksi dengan
foto polos maka cr-scan dianggap lebih menguntungkan dari pada foto Rontgen
kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia maka foto polos x-ray
dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP
(anteroposterior), lateral, Towne's view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Bila diperlukan,
dapat pula dilakukan foto lateral dari kedua sisi. Foto polos cranium dapat
menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik atau pneumosefal.
Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan
jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau
osteoblastik. Dengan keunggulannya terhadap rontgen polos kepala maka jika ada
indikasi jelas untuk pemeriksaan CT-scan dianjurkan untuk tidak perlu lagi
melakukan rontgen kepala.

b. CT scan
Pemeriksaan CT-Scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera
setelah hemodinamik distabilkan. Pemeriksaan CT-scan ulang harus diulang bila
terjadi perburukan status klinis pasien dan secara rutin l2-24jam setelah trauma bila
dijumpai gambaran kontusio otak atau hematoma pada CT-Scan awalnya. Hasil
pemeriksaan CT-scan yang berrnakna antara lain pembengkakan kulit kepala atau
perdarahan subgaleal ditempat benturan. Retak atau garis fraktur tampak lebih jelas
pada CT-Scan “bone window”. Penemuan terpenting dalam CT-Scan Kepala adalah
adanya perdarahn intracranial, kontusio dan pergeseran garis tengah.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk
kecurigaan adanya cedera ligamnetum, jaringan lunak dan vaskuler.
2.Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera kepala adalah :
a. Hb, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat.
b. Leukosit, berguna sebagai salah satu indicator berat ringannya cedera kepala
yang terjadi.
c. Golongan darah, sebagai persiapan untuk tranfusi bila diperlukan.
d. Gula darah sewaktu, untuk memonitor pasien agar tidak terjadi
hiper/hipoglikemia.
e. Fungsi ginjal
f. Analisa gas darah, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
g. Elektrolit, gangguan elektrolit merupakan salah satu penyebab terjadinya
penurunan kesadaran.

Penatalaksanaan Awal
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada
tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat3.
Prinsip penanganan awal meliputi primary survey dan secondary survey.
Dalam penatalaksanaan primary survey hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak3,10.

Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)


Kira-kira 80 % penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala akan
termasuk dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat
mengalami amnesia terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan cedera yang
dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk
dibuktikan terutama bila disertai minum alkohol atau di bawah pengaruh obat-obatan3.
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna, walaupun
mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3% mengalami
perburukan yang tidak terduga, dengan akibat disfungsi neurologis yang berat, yang
seharusnya dapat dicegah dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih awal3.
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama
bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan
kondisi penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat
diobservasi selama 12-24 jam di rumah sakit. Dalam suatu penelitian terhadap 658
penderita dengan cedera kepala ringan yang mengalami kehilangan kesadaran
sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18% terdapat abnormalitas pada
pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan tindakan pembedahan,
sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT scan yang abnormal dan 10%
memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu GCS 13 diklasifikasi sebagai cedera
kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542 penderita dengan CT scan Kepala normal
pada saat masuk rumah sakit menunjukan perburukan neurologis ataupun memerlukan
tindakan operatif. Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus dengan CT
scan awal yang normal timbul lesi masa beberapa jam kemudian3.
Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada cedera
kepala tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen dilakukan
maka dokter harus menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi
kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara air
pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur tulang wajah, (6) benda asing. Pada
cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur tengkorak pada 3% penderita sedangkan
pada cedera kepala berat sampai 65%. Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur
daripada dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen
kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis periorbital, rhinorea, otorea,
hemotimpani atau Battle's sign merupakan indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan
penderita harus dirawat dengan observasi khusus3.
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau rasa
pegal di leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti
Kepala acetaminophen, walaupun dapat juga diberikan kodein pada keadaan yang
sangat nyeri. Suntikan toksoid tetanus secara rutin diberikan pada setiap luka terbuka
Bila tidak ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan Pemeriksaan
kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat toksik dalam urine sangat berguna
baik untuk diagnostik maupun untuk tujuan medikolegal. Penderita cedera kepala ringan
yang memungkinkan untuk dibawa kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat
dipulangkan dengan nasihat-nasihat yang perlu bagi keluarganya.
Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita selama
sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa kembali
ke rumah sakit. Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk observasi penderita
dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita sebaiknya tidak dilakukan observasi di
rumah sakit selama beberapa jam dan dilakukan evaluasi secara periodik mengenai
fungsi neurologisnya dan dibolehkan pulang bila tidak terdapat gejala perburukan3.
Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka penderita harus dirawat
oleh seorang ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama beberapa hari
sesuai dengan perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah saraf tidak ada di rumah
sakit semula maka, penderita harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki
seorang ahli bedah saraf. Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita
pulang atau segera dilakukan bila keadaan memburuk3.
Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera kepala
sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana, namun
biasanya mereka tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis
fokal seperti hemi paresis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera kepala sedang
mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Karena itu, penderita-penderita cedera
kepala sedang harus diperlakukan sebagai 'penderita cedera kepala berat, walaupun
tidak secara rutin dilakukan intubasi. Namun demikian airway harus selalu diperhatikan
dan dijaga kelancarannya3.
Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan
kepala selalu dilakukan pada setiap penderita cedera kepala sedang (dalam penelitian
terhadap 341 penderita dengan GCS 9-12, ternyata 40% kasus menunjukan gambaran
abnormal pada CT scan inisial ini dan 8% diantaranya memerlukan tindakan
pembrdahan).
Penderita harus dirawat untuk observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial
dilakukan selama 12-24 jam walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status
neurologis penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak menunjukan adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan maka penderita dapat dipulangkan
beberapa hari kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip
penatalaksanaanya menjadi sama dengan penatalaksanaan penderita dengan cedera
kepala berat3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala sedang


Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS: 3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-
perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilisasi. Walaupun
definisi ini mencakup berbagai jenis cedera kepala, tetapi mengidentifikasikan
penderita-penderita yang mempunyai resiko besar menderita morbiditas dan mortalitas
yang berat. Pendekatan "Tunggu dulu" pada penderita-penderita cedera kepala berat
sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala Berat

Terapi Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel
saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi
normal kembali, sebaliknya bila sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan
kehilangan fungsi sampai mengalami kematian3.
A. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu dianggap sebagai konsep terapi bagi
cedera kepala, kini ternyata justru merupakan tindakan yang membahayakan bagi
penderita3. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan
berikan cairan hipotonik pada penderita cedera kepala. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak
yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam
fisiologis atau Ringer's Lactate3.
Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas normal.
Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang, harus
dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi3.

B. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan volume intra kranial ini akan
menurunkan TIK. Hiperventilasi yang berlangsung lama dan agresif dapat
menyebabkan iskemia otak karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang pada
akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PC02 turun sampai di bawah 30 mm
Hg (4,0 kPa) 3.
Umumnya, PC02 dipertahankan pada 35 mm Hg atau sedikit di atas.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan jika
diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut sementara pengobatan lainnya
baru mau dimulai3.

C. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan
cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor utama yang
berkaitan dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2)
perdarahan intra kranial, dan (3) fraktur depresi3.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan antikonvulsan
profilaktik tidak bermanfaat mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma, tetapi dalam
penelitian uji buta ganda ternyata phenytoin bermanfaat dalam mengurangi insidens
terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu3.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa
dosis awalnya adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian
tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8jam, dengan
titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang
berkepanjangan diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin
sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus kadang
memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera
karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera
otak3.

D. Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya dengan
konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai adalah 1 gram / kg BB diberikan
secara bolus intra vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita
hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas penggunaan
manitol adalah pada penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal tetapi
kemudian timbul dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Pada keadaan ini
pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus dihabiskan secara cepat (sampai 5 menit) dan
penderita segera dibawa ke CT Scan atau langsung ke kamar operasi3.
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi
bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi pemberian
manitol untuk penderita-penderita cedera kepala tanpa defisit neurologis fokal atau
tanpa perburukan neurologis tidaklah jelas3.

E. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat
atau prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat hipotensi, karena
barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak boleh diberikan pada fase akut
resusitasi) 3.

F. Pembedahan
Manajemen operatif kadang diperlukan pada luka kulit kepala, lesi massa intracranial,
dan cedera tajam pada otak3.
a Luka Kulit Kepala
Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan
debridement yang tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan
darah yang cukup ekstensif terutama pada anak-anak3.
Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang
menyebabkan syok. Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat
dihentikan dengan penekanan lokal langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh besar,
kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal penting yang harus dilakukan adalah
inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya fraktur tengkorak atau benda asing.
Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya robekan duramater3.
Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam
keadaan ini diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan. Luka kulit
kepala yang berada di atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus venosus lainnya
harus ditolong oleh seorang ahli bedah saraf di kamar operasi3.
b. Fraktur depresi tengkorak
Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif adalah bila
tebalnya depresi lebih besar dari ketebalan tulang didekatnya. Pemeriksaan CT Scan
dapat menggambarkan secara jelas beratnya depresi tulang dan yang lebih penting
menentukan ada tidaknya perdarahan intra kranial atau adanya suatu kontusio3.
c. Lesi-lesi Masa Intrakranial
Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Prosedur
pembedahan ini khususnya untuk pasien dengan status neurologi yang memburuk
dengan cepat dan tidak membaik dengan terapi non-bedah3.
PROGNOSIS

Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli bedah
saraf. terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki daya pemulihan yang
baik. Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah
untuk pemulihan dari cedera kepala3.
BAB IV
PEMBAHASAN

ANAMNESIS TEORI
Penurunan kesadaran sejak ± sejak 1 Cedera kepala adalah trauma
jam SMRS. Sebelumnya Os mekanik terhadap kepala secara
mengalami trauma di kepala akibat langsung ataupun tidak langsung
kecelakan motor melawan mobil yang menyebabkan gangguan fungsi
yang dialami Os. Setelah kecelakaan neurologis yaitu gangguan fisik,
Os tidak sadarkan diri lalu di bawa ke kognitif, fungsi psikososial baik
IGD RSUD Raden Mattaher. temporer maupun permanen
(Perdossi, 2006). Cedera kepala dapat
menyebabkan cedera pada kulit
kepala, tulang tengkorak, dan
jaringan otak, oleh karenanya
dinamakan juga cedera kranioserebral
yang masuk dalam lingkup
neurotraumatologi yang
menitikberatkan cedera terhadap
jaringan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah otak.
Setelah kecelakaan Os tidak sadarkan cedera otak ringan maka penderita-
diri lalu di bawa ke IGD RSUD penderita tersebut sadar namun dapat
Raden Mattaher. Beberapa saat mengalami amnesia berkaitan
setelah tiba di IGD RSUD Raden dengan cedera yang dialaminya.
Mattaher Os sadar. Sebagian besar penderita cedera
otak ringan pulih sempurna,
walaupun mungkin ada gejala
sisa yang sangat ringan.
Keluar darah dari telinga kanan (+), Pembagian cedera kepala menurut
keluar darah dari hidung (-), Perdossi (2006) dibagi dalam
ganggauan pendengaran (-), muntah kategori cedera kepala minimal,
(+), kejang (-), sesak (-), nyeri dada (- ringan, sedang dan berat yang dapat
), kelemahan anggota gerak (-), nyeri dinilai berdasarkan GCS, gambaran
anggota gerak kanan atas (+), nyeri klinik (lama pingsan dan ada atau
perut (-), BAK dan BAB tidak ada tidaknya defisit neurologis) serta
keluhan. gambaran CT-Scan.
CEDERA KEPALA RINGAN
 Kehilangan kesadaran <10
menit
 Tidak terdapat fraktur
tengkorak, kontusio atau
hematom
 Amnesia post trauma < 1 jam.
 Tidak terdapat defisit
neurologis
 GCS = 13-15
 Keluar darah dari telinga
kanan menunjukkan adanya
trauma di kepala sebelah
kanan.
 Nyeri di anggota gerak kanan
juga menunjukkan adanya
trauma pada anggota gerak
kanan
PEMERIKSAAN FISIK TEORI
Primary Survey Kriteria pembagian cedera kepala
Airway berat menurut Perdossi (2006) yaitu
Dipasangkan Oropharingeal Airway
GCS 13-15, kehilangan kesadaran
C-spine control dipasang
<10 menit, serta CT scan normal
Breathing
Pasang Pulse oksimetri saturasi O2 • Pada pasien GCS 13, pingsan

90% +/- 5 menit

Beri O2 NRM 12L/menit. • C- Spine terpasang pada


Circulation pasien yang mengalami
Pasang IV line dengan cairan Ringer cedera kepala sampai terbukti
Laktat 20gtt/I, tidak ada kelainan di bagain
Pasang kateter
cervical.
Disability
GCS 13

ABCD clear
DEFISIT Neurolgis (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG TEORI


CT SCAN Untuk mengetahui adanya kelainan
RONTGEN atau cedera otak diperlukan
pemeriksaan CT-Scan, hasil CT-Scan
pada pasien ini tidak dilakukan. Hasil
pemeriksaan rontgen cervical tidak
tampak fraktur, kompresi, listess,
maupun penyempitan diskus
vertebralis. Timbulnya gejala-gejala
yang dialami pasien kemungkinan
diakibatkan oleh benturan pada
daerah kepala.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 2008, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta

Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC

Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra


Utara: USU Press.

Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott
Williams and Wilkins

Anda mungkin juga menyukai