Anda di halaman 1dari 11

Journal Reading

KEMATIAN AKIBAT ASFIKIA TRAUMATIS DI

DAERAH VERANASI, INDIA

Oleh :

Faiz Chalidzar 1940312053

Frizki Amalya Putri 1840312771

Alya Binti Azmi 1840312772

Preseptor:

dr. Taufik Hidayat, M.Sc, SpF

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
Kematian Akibat Asfiksia Traumatis di Daerah Varanasi, India

Abstrak

Latar Belakang: Asfiksia traumatis terjadi ketika adanya suatu gaya tekan kuat yang terjadi
pada rongga dada. Hal ini sering terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor, industri, dan
kecelakaan pertanian serta pada kejadian runtuhnya jembatan serta bangunan-bangunan.

Metode: Selama periode Oktober 2016 sampai dengan Mei 2018, terdapat 33 kasus tentang
asfiksia traumatis yang telah tercatat di pusat otopsi distrik Varanasi, yaitu Departemen
Kedokteran Forensik Institut Ilmu Kedokteran Universitas Hindu Banaras, Varanasi Negara
Bagian Utter Pradehs, India.

Hasil: Angka kejadian asfiksia traumatis tidak berhubungan dengan jenis kelamin. Namun,
pria lebih rentan untuk terkena karena faktor lebih sering melakukan aktivitas di luar ruangan.
Dalam penelitian ini, distribusi pria lebih banyak daripada wanita. Kombinasi pemeriksaan
internal dan eksternal yang paling sering ditemukan adalah kongesti 26 kasus(78,8%),
sianosis 25 kasus(75%), dan perdarahan subkonjungtival 10 kasus (30,3%). Pada
pemeriksaan internal, patah tulang rusuk dengan flail chest tercatat dalam 5 kasus (15,2%)
pada kasus ini.

Kesimpulan: Kematian akibat kecelakaan asfiksia traumatis merupakan faktor utama


terjadinya asfiksia hebat. Hal ini bisa terjadi pada asfiksia karena adanya kompresi kuat dari
luar yang menekan dada.

2
1. Pendahuluan
Kematian akibat asfiksia dapat dikategorikan menjadi “asfiksia traumatis”, “asfiksia
lebur”, dan “penyakit Perthe’s” yang dikaitkan dengan adanya tekanan atau penetrasi ke
dada. Asfiksia traumatis banyak terjadi karena ketidaksengajaan. Biasanya disertai dengan
sianosis pada wajah, adanya kongsti, perdarahan subkonjungtival, perdarahan petekie pada
wajah, leher, dan bagian atas ada karena adanya tekanan kompresi kearah thoracoabdominal.
Berdesak-desakan di keramaian juga bisa menyebabkan asfiksia traumatis, karena
bisa menyebabkan bencana massal, yang kemungkinan paling besar terjadi adalah di
Mekkah. Kebanyakan kecelakaan besar di stadion sepak bola seperti di Botron, Ibrox, Park,
Lima, Hillsborough, dan stadion Helsi di Belgia terjadi karena tidak terkontrolnya massa
banyak yang berdesak-desakan. Sembilan orang meninggal karena asfiksia traumatis yang
disebabkan kerumunan yang tidak terkendali pada pertandingan basket di Kota New York
pada tahun 1991.
Penyerbuan manusia yang terjadi di kuil Hindu Naina Devi yang terjadi pada 3
Agustus 2008 di negara bagian Himadal Pracesh, India. Total 162 orang tewas setelah
berdesakan, terinjak-injak, dan terdorong-dorong dalam kerumunan yang panik. Dalam
insiden lain, terdapat setidaknya 65 orang meninggal dan lebih dari 100 orang terluka dalam
penyerbuan kuil Ram Janki pada tanggal 4 Maret 2010. Sebuah gerbang runtuh di Pratapgarh
distrik Uttar Pradesh, memicu kepanikan diantara 10.000 orang yang berkumpul untuk
beribadah. Tekanan berat pada dada terutama menekan sisi kanan jantung yang lebih tipis,
namun sisi kiri jantung akan terus memompa darah untuk sementara waktu. Perpindahan
darah dari vena cava superior ke dalam vena subklavia dan vena kepala serta leher
merupakan hasil dari kompresi tiba-tiba pada dada atau perut.
Cedera terkait seperti memar paru-paru, memar jantung, hemopneumothoraks, dan
tulang rusuk patah. Dampak mendadak pada dada bisa meningkatkan tekanan intratoraks.
Kematian asfiksia traumatis dapat terjadi dalam berbagai situasi, seperti kecelakaan bermotor,
kecelakaan kereta api, kecelakaan lift, bangunan runtuh, dan longsor.
2. Material dan Metode
Penelitian prospektif ini dilakukan di Departemen Kedokteran Forensik Institut Ilmu
Kedokteran Universitas Hindu Banaras, di Negara Bagian Varanasi, India. Kami menyelidiki
autopsi medikolegal pada mayat yang dibawa dari kantor polisi Varanasi dan sekitanya. Total
didapatkan 33 kasus kematian yang disebabkan karna asfiksia traumatis dalam rentang
Oktober 2016 sampai dengan Mei 2018. Kasus penelitian dipilih dari para korban kematian
akibat kekerasan asfiksia yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan post-mortem. Kasus yang

3
tidak dilaporkan polisi sebagai kasus kekerasan kematian karna asfiksia namun pada
pemeriksan post-mortem positif dikatakan karna asfiksia dimasukan dalam penelitian ini
Sebanyak 33 kasus diteliti dari dua insiden yang berbeda dalam penelitian ini. Insiden
pertama adalah penyerbuan yang terjadi pada 16 Oktober 2016 di Jembatan Rajghat,
Varanasi. Dalam insiden ini 18 dari 24 korban dirujuk ke departemen kedokteran forensik
untuk dilakukan pemeriksaan medikolegal post-mortem. Data dari peristiwa Jembatan
Rajghat dapat dilihat pada Gambar 1. Insiden kedua terjadi pada 15 Mei 2018 saat
pembangunan jalan tol dekat stasiun kereta api runtuh. Dalam peristiwia ini terdapat 15 orang
yang meninggal dan jasadnya dirujuk ke departemen forensik untuk dilakukan pemeriksaan
post-mortem.

3. Hasil

Sesuai Tabel 1, terdapat total 33 kematian akibat asfiksia traumatis, 23 (69,7%) kasus
adalah laki-laki dan 10 (30,3%) adalah perempuan. Menurut data dari Tabel 2, sebagian besar
kasus terjadi pada kelompok usia 51-60 (33,3%) tahun, diikuti oleh kelompok usia 41-50
tahun sebanyak 8 (24,2%) kasus. Kasus terendah ditemukan pada kelompok usia 11-20 tahun
yaitu 1 (3,0%) orang. Kasus asfiksia traumatis turut diamati berdasarkan keadaan eksternal
yaitu menurut Tabel 3, terdapat 26 (78,8%) kasus dengan kongesti wajah, 25(75,8%) kasus
sianosis dan 24(72,7%) kasus abrasi/memar. Selain itu, terdapat 15(45,5%) kasus perdarahan
oral dan nasal, dan 10(30,3%) kasus perdarahan subkonjungtiva.

Tabel 4 memperlihatkan keadaan internal dengan kongesti organ dalaman sebanyak


29(87,9%) kasus, kontusio toraks 14(42,4%) kasus, fraktur iga (flail chest) sebanyak
5(15,2%) kasus, laserasi hepar pada 6(18,2%) kasus, kontusio paru-paru 6(18,2%) kasus serta
fraktur tulang tungkai atas dan bawah sebanyak 6(18,2%) dan 7(21,2%) masing-masingnya.

4. Diskusi

Tabel 1 distribusi jenis kelamin dari kasus asfiksia traumatis


Jenis Kelamin No. %

Laki-laki 23 69.7
Perempuan 10 30.3
Total 33 100

4
Tabel 1 menyimpulkan data tentang distribusi jenis kelamin dari kasus asfiksia

traumatis yang telah diteliti. Dari total 33 kematian akibat asfiksia traumatis, 23 (69,7%)

kasus adalah laki-laki, dan 10 (30,3%) adalah perempuan. Pengamatan serupa juga

dilaporkan oleh Singh A et al. yang menyelidiki 7 kematian medico-legal karena asfiksia

traumatis dari tahun 2000 hingga 2003; di antaranya 6 adalah laki-laki [7]. Studi yang

dilakukan Gill JR et al. melaporkan 9 orang yang meninggal karena asfiksia traumatis

disebabkan oleh kerumunan yang tidak terkendali pada komunitas pertandingan basket di

New York City pada 1991 [3]. Mariam Arif et al. mengeksplorasi 8 kasus asfiksia traumatis,

di antaranya, 6 adalah perempuan; data ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Karachi yang mendokumentasikan hasil dengan dominasi laki-laki [8].

Tabel 2 Distribusi Rentang Umur pada Kasus Asfiksia Traumatis


Kelompok umur No. %

0-10 0 0
11-20 1 3.0
21-30 2 6.0
31-40 5 15.2
41-50 8 24.2
51-60 11 33.3
61-70 5 15.2
71-80 1 3.0
Total 33 100

5
Tabel 3 Tampilan Eskternal Asfiksia Traumatis
Tampilan No. %

Kongesti pada wajah 26 78.8


Perdarahan di hidung dan mulut 15 45.5
Sianosis 25 75.8
Petekie pada leher 17 51.5
Edema wajah 8 24.2
Perdarahan subkonjungtiva 10 30.3
Abrasi/kontusio 24 72.7

Tabel 3 menyajikan tampilan eksternal asfiksia traumatis. Dalam penelitian kami,


26 (78,8%) subjek dengan kongesti wajah, 25 (75,8%) dengan sianosis, 24 (72,7%) dengan
abrasi / kontusio, dan 15 (45,5%) kasus dengan oral dan perdarahan hidung. Petekia leher
diamati pada 17 (51,5%) subjek dan 10 (30,3%) kasus mengalami perdarahan
subconjunctival. Pengamatan ini sejalan dengan penelitian oleh Sklar et al. yang
menggambarkan temuan otopsi di Jakarta dengan 24 kematian karena asfiksia traumatis;
ditemukan petechiae kulit, perdarahan subconjunctival, dan warna wajah ungu pada 58% dari
korban. Setidaknya 2 dari yang disebutkan di atas 3 temuan tercatat di 88% dari korban ini
[9].
Gill JR et al. berpendapat bahwa mayoritas orang memiliki petekie konjungtiva dan
wajah yang konsisten dengan kompresi dada [3]. Montes-Tapia et al. melaporkan 2
manifestasi klinis terjadi pada 3 kasus; beberapa petechiae di wajah, dan pendarahan
konjungtiva bulbar; Namun, sianosis wajah dan edema wajah hanya terbukti pada 2 dan 1
pasien, masing-masing [10]. Sah B et al. Pemeriksaan otopsi terungkap petechiae sianosis,
edematosa, dan multipel berbeda pada dagu, dan sisi kiri atas leher korban. Perdarahan
subconjunctival bilateral juga terdeteksi [11]. Menurut Hurtado TR et al. dan Esme H et al.,
petechiae dapat lebih menonjol pada konjungtiva dan mukosa mulut, kebanyakan sering pada
2 hingga 3 jam setelah kecelakaan [12, 13]. Pathak H et al. mempelajari kematian asfiksia
traumatis dalam kecelakaan mobil, yang bertujuan untuk mendiagnosis asfiksia traumatis
berdasarkan temuan khas terdiri dari kongesti serviks dengan pembengkakan, multipel
perdarahan petekie pada kulit dan konjungtiva dengan riwayat kompresi traumatis [14].

6
Tabel 4. Tampilan Internal pada kasus Asfiksia Traumatis
Tampilan No. %

Kontusio thorax 14 42.4


Patah tulang iga (flail chest) 5 15.2
Kontusio paru 6 18.2
Kongesti organ-organ viscera 29 87.9
Laserasi hepar 6 18.2
Patah tulang extremitas atas 6 18.2
Patah tulang ekstremitas bawah 7 21.2

Tabel 4 menyimpulkan data tentang cedera internal di kasus asfiksia traumatis.


Kami mendeteksi kerusakan organ viscera pada 29 (87,9%) kasus, kontusio toraks pada 14
(42,4%) kasus, dan patah tulang rusuk dengan flail chest di 5 (15,2%) kasus. Laserasi / ruptur
hepar diamati pada 6 (18,2%) kasus, kontusio paru pada 6 (18,2%) kasus, dan fraktur tulang
ekstremitas atas dan bawah dalam 6 (18,2%) dan 7 (21,2%) kasus, masing-masing.
Temuan serupa dicapai oleh Sah B et al. siapa yang mengamati fraktur di tulang rusuk
ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh kiri. Secara internal, hematoma hadir di dagu
dan daerah leher yang berdekatan; paru-paru tersumbat dan memotong permukaan
mengungkapkan keluarnya darah berbusa [11].
Montes-Tapia et al. melaporkan seorang pasien dengan kontusio paru-paru,
berkaitan dengan mekanisme cedera. Mereka mendapat keuntungan hasil dengan pasien
dikelola dengan tambahan oksigen; dia dipulangkan tanpa komplikasi. Manifestasi paru-paru
yang dijelaskan lainnya adalah hemotoraks dan pneumotoraks [10]. Young EK et al.
menyatakan bahwa diagnosis banding meliputi sindrom vena cava superior dan dasar
tengkorak fraktur di mana perdarahan konjungtiva dan ekimosis periorbital ada [15].
Newquist MJ et al. berpendapat bahwa asfiksia traumatis paling sering terjadi sekunder
akibat cedera yang parah, dan cedera traumatis lainnya, seperti pneumotoraks, hemotoraks,
flail chest, memar paru, tumpul perutcedera (mis. laserasi pada limpa dan hati), dan cedera
tumpul pelvis harus dipertimbangkan [16]

7
5. Kesimpulan

Studi tentang otopsi mediko-legal memberikan data penting secara statistik terkait
kematian. Asfiksia adalah bentuk kematian karena kekerasan yang berkontribusi sekitar 10%
dari keseluruhan kematian di dunia. Varanasi adalah kota suci yang menerima ramai individu
setiap hari dari seluruh dunia yang menyebabkan terjadi banyak insiden seperti itu. Gambar 2
menunjukkan contoh terjatuh dari pilar jembahan pilar di Cantt, Varanasi. Penemuan
membuktikan kemungkinan korban massal karena kesalahan kecil oleh pihak otoritas
administratif. Pada Gambar 3-7 dapat dilihan beberapa kasus insiden.

Setiap pengumpulan orang ramai pada daerah kota yang sempit dapat menyebabkan
penyerbuan dan bencana massal. Satu kemungkinan penyebabnya adalah penyebaran berita
tidak benar dalam bentuk apa pun, penyebab lain mungkin karena pergerakan dalam
kerumunan yang tidak terkoordinasi. Oleh itu, pihak autoritas yang bersangkutan harus
memastikan langkah-langkah yang memadai untuk memastikan keselamatan kehidupan
sebelum mengorganisir atau mengizinkan pertemuan secara besar-besaran. Selain itu, kualitas
konstruksi pada bangunan-bangunan tinggi patut dipantau secara ketat oleh autoritas
pembangunan kota dan pusat kota sehingga dapat mempertahankan keruntuhan yang
mengarah kepada terjadinya bencana dalam bentuk apa pun.

Dalam kasus insidens seperti itu, orang ramai harus bertenang dan membantu
membawa korban ke rumah sakit terdekat secepatnya. Pada korban diperlukan bantuan medis
yang cepat, efektif dan memadai terutama dalam waktu 1 jam pertama (golden hour). Hal ini
dimungkinkan dengan layanan di tingkat pra-rumah sakit dan rumah sakit, dan dengan
menyediakan layanan ambulans yang lengkap alatnya. Ini akan meningkatkan peluang untuk
kelangsungan hidup korban. Rumah sakit perlu dilengkapi dengan fasilitas diagnostik dan
alat bedah untuk mengurangi kasus kematian akibat trauma. Pusat trauma berteknologi tinggi
perlu dilengkapi dengan ambulans udara untuk transportasi korban secara cepat.

Pertimbangan Etis

Kepatuhan dengan Pedoman Etika

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Institute of Medical Sciences, Banaras Hindu
University di Varanasi. Semua informasi telah diperoleh dengan pertimbangan komite etik
medis. Laporan kasus ini disusun dari otopsi medikolegal yang dilakukan di kamar mayat
departemen kami, kami memiliki wewenang hukung untuk melakukan pemeriksaan post

8
mortem serta mempublikasi temuan di bidang jurnal ilmiah untuk manfaat sastra dari Ilmu
Forensik dan calon Kedokteran Forensik, juga menyarankan langkah-langkah keamanan
yang memadai untuk pihak administrasi. Sesuai aturan persetujuan yang dijelaskan dalam
buku teks Kedokteran Forensik serta berbagai jenis literatur ilmiah Kedokteran Forensik,
persetujuan berdaasarkan informasi diperlukan hanya dalam otopsi patologis, bukan dalam
otopsi medikolegak. Tidak ada hak asasi manusia dan hak hewan dilanggar dalam studi kasus
ini.

Pendanaan

Penelitian ini disetujui oleh Institute of Medical Sciences, Banaras Hindu University
di Varanasi.

Kontribusi Penulis

Analisis statistik, penulisan: Satish Kumar Khalkho; Konseptualisasi, ulasan,


supervisi, metodologi: Manoj Kumar Pathak.

Konflik Kepentingan

Penulis mendeklarasi bahwa tidak ada konflik kepentingan.

Ucapan Terima Kasih

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada fakultas dan staf Departemen
Kedokteran Forensik IMS, BHU; Varansi untuk dukungan dan kontribusi berharga mereka
dalam pengumpulan data dari kasus-kasus yang diautopsi. Kami juga sangat menghargai
semua korban yang rinciannya telah dipakai untuk penelitian ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Richards CE, Wallis DN. Asphyxiation: A review. Trauma. 2005;7(1):37-45.


[DOI:10.1191/1460408605ta330oa]
2. Saukko P, Knight B. Suffocation and Asphyxia. In: Saukko P, Knight B, editors.
Forensic Pathology. 4th edition. Boca Raton, Florida: CRC Press; 2016.
3. Gill JR, Landi K. Traumatic asphyxial deaths due to an uncontrolled crowd. The
American Journal of Forensic Medicine and Pathology. 2004; 25(4):358-61.
[DOI:10.1097/01.paf.0000147316.62883.8b]
4. Sharma A, Rani A, Barwa J. Traumatic asphyxial deaths due to anuncontrolled crowd
at railway station: Two case reports. Journal of Indian Academy of Forensic
Medicine. 32(3):254-6.
5. Reddy KSN. Mechanical Asphyxia. In: Reddy KSN, Murty OMP,editors. The
Essentials of Forensic Medicine and Toxicology. 33rd edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2014.
6. Eken C, Yigit O. Traumatic asphyxia: A rare syndrome in trauma patients.
International Journal of Emergency Medicine. 2009; 2(4):255-6.
[DOI:10.1007/s12245-009-0115-x] [PMID] [PMCID]
7. Singh A. A study of demographic variables of violent asphyxial death. Journal of
Punjab Academy of Forensic Medicine and Toxicology. 2003; 3:22-5.
8. Arif M. Autopsy based epidemiological study of violent asphyxia deaths in Punjab.
Journal of Fatima Jinnah Medical Colledge of Lahore.
9. 2014; 8(4):54-9.
10. Sklar DP, Baack B, McFeeley P. Traumatic asphyxia in New Mexico: A five-year
experience. American Journal of Emergency Medicine. 1988; 6(3):219-23.
[DOI:10.1016/0735-6757(88)90003-4]
11. Montes-Tapia, Barreto-Arroyo I, Cura-Esquivel I, Rodríguez-Taméz A, de la O-
Cavazos M. Traumatic asphyxia.Pediatric Emergency Care. 2014; 30(2):114-6.
[DOI:10.1097/PEC.0000000000000067]
12. Sah B, Yadav BN, Jha S. A case report of traumatic asphyxia. Journal of College of
Medical Sciences Nepal. 2014; 10(3):51-5. [DOI:10.3126/jcmsn.v10i3.12777]
13. Hurtado TR, Della-Giustina DA. Traumatic asphyxia in a 6-year-old boy. Pediatric
Emergency Care. 2003; 19(3):167-8. [DOI:10.1097/01.pec.0000081240.98249.32]

10
14. Esme H, Solak O, Yurumez Y. Perthes syndrome associated with bilateral optic disc
edema. Canadian Journal of Ophthalmology. 2006; 41(6):780-2. [DOI:10.3129/i06-
079]
15. Pathak H, Borkar J, Dixit P, Shrigiriwar M. Traumatic asphyxial deaths in car crush:
Report of 3 autopsy cases. Journal of the American College of Radiology. 2012;
221(1-3):e21-e24. [DOI:10.1016/j.forsciint.2012.04.011]
16. Yeong EK, Chen MT, Chu SH. Traumatic Asphyxia. Plastic andReconstructive
Surgery. 1994; 93(4):739-44. [DOI:10.1097/00006534-199404000-00013]
17. Newquist MJ, Sobel RM. Traumatic asphyxia: An indicator of significant pulmonary
injury. American Journal of Emergency Medicine. 1990; 8(3):212-5.
[DOI:10.1016/0735-6757(90)90325-T]

11

Anda mungkin juga menyukai