Anda di halaman 1dari 25

Presentasi Kasus:

TRAUMA KAPITIS

RSUD SUNGAILIAT

Pembimbing:
dr.Zulkarnain, Sp.B

Oleh:
dr. Ricky Setiawan

TUGAS INTERNSIP PERIODE NOVEMBER 2016 - 2017


RSUD SUNGAILIAT, BANGKA-BELITUNG
1. DATA PASIEN
Nama : Nn. LM
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 56 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Kristen
Alamat : Jl. Ahmad Yani
Masuk RS : 26-01-2017, pk.19.15

2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamensis pada teman pasien
tanggal 26 Januari 2016 pukul 19.15 WIB di IGD

Keluhan Utama:
Os datang dengan nyeri pada telinga kiri setelah diserempet oleh sepeda motor

Primary Survey:
A : Sumbatan jalan nafas -, CLEAR
B : Pernafasan spontan, RR 28x/menit, SpO2 97%, CLEAR
PF thorax 
I : trakea di tengah, tidak ada jejas, dada simetris, gerak pernafasan simetris
P :fremitus kanan dan kiri simetris
P : sonor kanan dan kiri
A : suara nafas vesikuler +/+
C : TD : 140/100mmhg, N = 92x/menit, balut tekan pada telinga kiri
Pasang IV line 1 jalur Asering 20 tpm
D : GCS = E4M6V5 , pupil isokor 3/3mm, RC +/+
E : jaga kehangatan

Secondary survey:
Anamnesa : Os datang dengan keluhan nyeri pada telinga kiri setelah terjatuh akibat
terserempet motor. Keluhan tambahan perdarahan pada telinga kiri, nyeri pada kepala
-, dada-, perut-, ekstremitas kaki kiri nyeri ada luka terbuka. Muntah -, sesak -,
menurut pengakuan teman, Os sempat tidak sadar selama 5 menit. Os tidak dapat
mengingat kejadian kecelakaan.
Mata : KA (-/-)
Abdomen :
I = datar, jejas (-), defans muskular (-)
A = BU (+)
P = timpani di keempat kuadran
P = nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat
Alergi : tidak ada
Medikasi : tidak ada pengobatan rutin, atau sedang konsumsi obat
Past illness : tidak ada
Last meal : jam 17.00
Event : os seorang pegawai, jalan menuju rumah dan terserempet oleh motor.

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
26 Januari 2016

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,1 P: 13,0-18,0 W: 11,5-16,5 (g/dL)
Leukosit 11.100 4.000-10.000/ uL
Trombosit 371.000 150.000-400.000/ uL
Eritrosit 4.9 jt P: 4,5-6,5 W: 4,0-5,0 (juta/uL)
Hematokrit 30 P: 40-48 W: 37-43 (%)
MCV 61 82-92fl
MCH 20 23-31 pg
MCHC 34 32-36%
Gol Darah O/+

Diff.count
 Limfosit 53.6 20-40%
 Monosit 6.7 2-8%
 Neutrofil 31.8 50-70%
 Eosinofil 7.5 1-3%
 Basofil 0.4 0-1%
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Perdarahan 3 1-3 menit
Waktu Pembekuan 6 5-7 menit

4. DIAGNOSIS
Diagnosis pre-operatif : CKR + vulnus laseratum auricula sinistra

5. TATALAKSANA
Oksigen nasal kanul 3 lpm
IVFD Asering 20 tpm
Head up 30 derajat
Ranitidin 2 x 1 amp
Ketorolac 10 mg inj
Citicolin 3 x 250 mg
Konsul Sp.B (19.30) Tutup kassa lembab NaCl 0.9%
Tetagam 250 IU
Ceftriaxone 1 x 2 gr
Ketorolac 2 x 30 mg
Rencana debridement dan repair OK jam 23.00 WIB

Pukul 20.40
TTV tekanan darah 220/120 mmhg
Nadi 124 x/menit
saO2 97%
GCS E2M4V2 : 8
Pupil 3/5mm RC +/-
Perdarahan pada telinga menjadi aktif, darah masuk ke dalam telinga dan mulut
Dilakukan suction, ganti nasal kanul dengan NRM 10 lpm, pasang NGT, DC dan guedel
Diberikan asam tranexamat inj 500 mg dan vit K 1 amp
Konsul Sp.B perbaiki kondisi umum dulu
Piracetam 3 x 1 gr IV
Ondansetron 3 x 4 mg
Observasi kesadaran
Saran CT scan bila GCS lebih dari 8
Saran rawat ICU
Konsul Sp.An : ICU penuh , saran masuk HCU dan saran pasang ETT

Pukul 21.16
Konsul Sp.B GCS E1M1V1 : 3
Pupil midriasis 5/5mm RC-/-
Pasang ETT
CKB dan suspek EDH dengan lucid interval
Konsul Sp.An : acc masuk ICU dan informed consent ventilator

Rawat ICU
Koma , GCS 3 , nafas spontan (-), pupil 5/5mm RC -/-
TD 64/40 mmHg, Nadi 127 kali/menit, saO2 100% on ventilator
GDS 158 mg/dl
Diagnosis MBO
Terapi :
- Ceftriaxone 1 x 2 gr
- Ranitidine 2 x 1 amp
- Ketorolac 3 x 10 mg
- Citicolin 3 x 250 mg
- Piracetam 3 x 1 gr
- Ondansetron 3 x 4 mg

27 Januari 2016

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 6,1 P: 13,0-18,0 W: 11,5-16,5 (g/dL)
Leukosit 9.500 4.000-10.000/ uL
Trombosit 165.000 150.000-400.000/ uL
Eritrosit 2.9 jt P: 4,5-6,5 W: 4,0-5,0 (juta/uL)
Hematokrit 19 P: 40-48 W: 37-43 (%)
MCV 64 82-92fl
MCH 20 23-31 pg
MCHC 32 32-36%

KIMIA ELEKTROLIT
Na+ 153 135-148 mmol/L
K+ 4.2 3.5-5.3 mmol/L
Cl- 117 98-107 mmol/L

ANALISA GAS DARAH


pH 7.431 7.35-7.45
pCO2 41.3 35-45 mmHg
pO2 295.1 83-108 mmHg
SO2% 98.6 95-98%
Hct 21 35-49
Hb 6.9 P: 13,0-18,0 W: 11,5-16,5 (g/dL)
HCO3 22.5 21-28 mmol/L
BEeef -3.4 (-2)-(+2) mmol/L
BEb -2.3
A-aDO2 218.4
t 36.9
P02/FI02 369.5

Imunoserologi
HBsAg Negatif Negatif

6. PERJALANAN PENYAKIT
Hari Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
ke-
1 26/1/17 Os datang dengan perdarahan pada Oksigen nasal kanul 3 lpm
(19.15) telinga kiri setelah diserempet oleh Hentikan perdarahan pada
IGD sepeda motor telinga kiri dengan balut
TD : 140/100 mmHg tekan dengan kasa basah
N : 92x/m NaCl 0.9 %
RR : 24x/m IVFD asering 20 tpm
Ceftriaxone 1 x 2 gr
Kesadaran : CM Ranitidin 2 x 1 amp
GCS : E4M6V5 Ketorolac 10 mg inj
VL dengan perdarahan aktif pada Citicolin 3 x 250 mg
auricular sinistra Tetagam 250 iu
Pupil isokor 3/3mm RC +/+ Ketorolac 2 x 30 mg
Dx : CKR + VL auricula sinistra Konsul Sp.B
Rencana repair di OK jam
23.00
Lab :
Hb 10.1
Leukosit 11.100
Eritrosit 4.9 juta
Ht 30
MCV 61
Diff count limfosit 53.6
1 26/1/17 TD : 220/120 - O2 10 lpm NRM
(20.30) HR : 124 x/mnt - Suction
IGD SpO2 : 97% -Pasang Guedel +NGT+DC
- IVFD asering 20 tpm
GCS E2M4V2 : 8 -Ceftriaxone 1 x 2 gr
Pupil anisokor 3/5mm RC +/- -Ranitidin 2 x 1 amp
Perdarahan telinga aktif -Citicolin 3 x 250 mg
Darah masuk ke telinga dan mulut -Ketorolac 2 x 30 mg
-Vit K 1 amp
Dx: CKB + VL auricular sinistra -Asam tranexamat 3 x 500
mg
Konsul Sp.B
- Tunda operasi
- Piracetam 3 x 1 gr
- Ondansetron 3 x 4 mg
- Rawat ICU
- Saran CT scan bila GCS
tetap 8 atau lebih
Konsul Sp.An
-Rawat HCU
1 26/1/17 GCS E1M1V1 : 3 -Konsul Sp B
(21.15) Pupil midriasis 5/5 mm RC -/- Pasang ETT
IGD Terapi :
Dx: CKB + susp EDH dengan lucid IVFD Nacl 0.9 % 20 tpm
interval + VL auricular sinistra Ceftriaxone 1 x 2 gr
Ranitidin 2 x 1 amp
Ketorolac 3 x 10 mg
Citicolin 3 x 250 mg
Piracetam 3 x 1 gr
Ondansetron 3 x 4 mg

Konsul Sp.An acc masuk


ICU

1 26/1/17 Kesadaran koma Pernafasan dengan


ICU GCS E1M1V? ventilator
Nafas spontan (-) IVFD Asering 80ml/jam
TD : 64/40 mmHg Norepinefrin 8cc (1.14
N : 127 x/m cc/jam)
RR dan SaO2 100 % on ventilator Dobutamin 23 cc ( 3.2
Pupil 5/5mm RC-/- cc/jam)
Refleks kornea -/- Ceftriaxone 1 x 2 gr
Ranitidine 2 x 1 amp
GDS : 158 mg/dl
Produksi urin 0.75 ml/jam Ketorolac 3 x 10 mg
NGT tertutup
Citicolin 3 x 250 mg
Dx: MBO ec TC dengan lucid interval + Piracetam 3 x 1 gr
VL auricular sinistra
Ondansetron 3 x 4 mg

2 27/1/17 Kesadaran koma Pernafasan dengan


ICU GCS E1M1V? ventilator
Nafas spontan (-) IVFD Asering % 80ml/jam
TD : 57/33 mmHg Dobutamin 4.5 cc/jam
N : 113 x/m Ceftriaxone 1 x 2 gr
RR dan SaO2 100 % on ventilator Ranitidine 2 x 1 amp
Pupil 5/5mm RC-/- Ketorolac 3 x 10 mg
Refleks kornea -/- Citicolin 3 x 250 mg
Piracetam 3 x 1 gr
GDS : 101 mg/dl Ondansetron 3 x 4 mg
Produksi urin : uo 0.49ml/jam
NGT tertutup Lab
Hb 6.1g/dL
Dx: MBO ec TC dengan lucid interval + Eritrosit 2.9 juta
VL auricular sinistra Hematokrit 19 %
MCV 64
Elektrolit
-Na+ 153
-Cl- 117
AGD:
-Hct 21
-Hb 6.9
-PCO2 41.3 (35-45)
-PO 295.1 (83-108)
3 28/1/17 Kesadaran koma Pernafasan dengan
ICU GCS E1M1V? ventilator
Nafas spontan (-) IVFD Asering % 80ml/jam
TD : 88/52 mmHg Dobutamin 4.5 cc/jam
N : 94 x/m Ceftriaxone 1 x 2 gr
RR dan SaO2 100 % on ventilator Ranitidine 2 x 1 amp
Pupil 5/5mm RC-/- Ketorolac 3 x 10 mg
Refleks kornea -/- Citicolin 3 x 250 mg
Piracetam 3 x 1 gr
GDS : 111 mg/dl Ondansetron 3 x 4 mg
Produksi urin : uo 1.09 ml/jam
NGT tertutup Tes uji air dengan NGT 50
cc
Dx: MBO ec TC dengan lucid interval +
VL auricular sinistra
4 29/1/17 Kesadaran koma Pernafasan dengan
ICU GCS E1M1V? ventilator
Pk 14.00 Nafas spontan (-) IVFD Asering % 80ml/jam
TD : 46/26 mmHg Dobutamin 4.5 cc/jam
N : 93 x/m Ceftriaxone 1 x 2 gr
RR dan SaO2 91 % on ventilator Ranitidine 2 x 1 amp
Pupil 5/5mm RC-/- Ketorolac 3 x 10 mg
Refleks kornea -/- Citicolin 3 x 250 mg
Piracetam 3 x 1 gr
Produksi urin : uo 0.2 ml/jam Ondansetron 3 x 4 mg
NGT tertutup

Dx: MBO ec TC dengan lucid interval +


VL auricular sinistra

4 29/1/17 Asistol Os dinyatakan meninggal


ICU HR : 0 x/m
Pk 22.05 EKG flat

7. DISKUSI

Trauma Kepala

Definisi
Trauma kepala atau traumatic brain injury adalah trauma mekanik terhadap kepala baik
secara langsung ataupun tidak langsung pada bagian cranium maupun serebrum, yang dapat
menyebabkan luka pada kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, kerusakan otak dan pembuluh
darah intra ataupun ekstra serebral dan dapat gangguan fungsi neurologi baik temporer
ataupun permanen. Angkat kematian akibat kecelakaan di Indonesia yang disebabkan oleh
karena cedera kepala adalah 4.3 % pada tahun 2007.
Anatomi (ATLS)
Anatomi kepala meliputi scalp, tulang tengkorak, selaput otak, otak, sistem ventrikel, dan
kompartemen intracranial.
Scalp merupakan lapisan terluar dari kepala dimana terdiri dari kulit (skin), jaringan ikat
(connective tissue), aponeurosis (lapisan jaringan fibrous dari frontalis ke oksipitalis),
jaringan penunjang longgar (loose areolar connective tissue), dan pericranium.
Gambar 1 Anatomi kepala (ATLS ed 9th )
Gambar 2 Selaput otak (ATLS ed 9th )

Tulang tengkorak terdiri dari bagian kubah atau kalvaria dan basis kranii. Bagian kubah
temporal merupakan bagian yang tipis tetapi dilapisi oleh otot temporal. basis kranii tidak
rata sehingga dapat menyebabkan cedera pada otak ketika otak bergerak pada saat trauma.
Selaput otak atau meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid, dan piamater.
Duramater merupakan selaput keras yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Di antara kranium dan dura terdapat arteri meningea media yang terletak pada fossa temporal.
arachnoid adalah lapisan di bawah dura yang tipis dan transparan, ruang antara dura dan
arachnoid adalah ruang subdural, dimana pada cedera otak bridging veins yang berjalan dari
permukaan otak ke sinus venosus di dura melintas dan dapat terjadi pendarahan di ruang
subdural. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat dengan permukaan otak. Likuor
serebrospinal (LCS) mengisi ruang antara selaput arachnoid yang kedap dan piamater.
Otak terdiri dari serebrum, brainstem, dan serebellum. Serebrum terdiri dari hemisfer kanan
dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri. Lobus frontal mengatur fungsi eksekutif, emosi,
fungsi motorik. Lobus parietal mengatur fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu, lobus oksipital mengatur pengilihatan. Brainstem terdiri
dari midbrain, pons, dan medulla. Midbrain dan pons bagian atas mengandung reticular
activating sistem yang mengatur kesadaran. Di medulla terdapat pusat kardiorespirasi.
Serebellum mengatur koordinasi dan keseimbangan.
Ventrikel adalah suatu ruangan yang berisi LCS dan aquaduktus di dalam otak. Edema dan
lesi masa seperti hematoma dapat menyebabkan pendorongan pada ventrikel yang seharusnya
simetris.
Sekat selaput otak membagi otak menjadi beberapa bagian,tentorium membagi ruang
intracranial menjadi supra dan infratentorial. Nervus 3 berjalan sepanjang tepi tentorium dan
dapat tertekan bila ada herniasi temporal. Pada permukaan nervus 3 terdapat serabut
parasimpatis yang bila tertekan akan terjadi dilatasi pupil.
Bagian otak lain yang dapat mengalami herniasi adalah bagian medial dari lobus temporal
(uncus). Herniasi uncus menyebabkan penekanan pada traktus kortikospinalis di midbrain.
Penekanan pada midbrain dapat menganggu jaras motoric sehingga dapat terjadi hemiparesis
kontralateral.
Dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral adalah tanda klasik dari herniasi uncus.
Tekanan intracranial dipengaruhi oleh doktrin monro-kellie yang menyatakan bahwa isi
intracranial harus selalu konstan. Tekanan perfusi serebral sama dengan mean arterial
preassure di kurangi dengan tekanan intracranial. Pada MAP antara 50-150 mmHg terdapat
autoregulasi dalam mempertahakan tekanan. Trauma kapitis berat dapat menyebabkan
gangguan mekanisme autoregulasi.
Klasifikasi Trauma Kepala
Klasifikasi dari beratnya cedera kepala berdasarkan perhitungan dari Glasgow Coma Scale
(GCS)
Pemeriksaan Nilai

Buka mata (E) Spontan 4


Dengan perintah 3
Dengan nyeri 2
Tidak buka mata 1
Respon verbal(V) Orientasi baik 5
Bicara kacau 4
Kata-kata tidak sesuai 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
Respon motoric (M) Mengikuti perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi hindari nyeri 4
Dekortikasi 3
Deserbrasi 2
Tidak ada 1

Klasifikasi berat ringannya cedera kepala berdasarkan dari GCS


Skor GCS Cedera kepala
13-15 Ringan
9-12 Sedang
3-8 Berat

Bila ditemukan keasimetrisan dari kemampuan motorik pasien digunakan penilaian dari yang
terbaik.
Klasifikasi lain yang ada adalah berdasarkan dari lama amnesia pasca cedera yang
diperkenalkan oleh Russel dalam Jennet & Teasdale
Lama Amnesia Pasca Cedera Berat Trauma Kapitis
Kurang dari 5 menit Sangat ringan
5-60 menit Ringan
1-24 jam Sedang
1-7 hari Berat
1-4 minggu Sangat berat
Lebih dari 4 minggu Ekstrem berat
 
Cedera Primer Merupakan kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya
duramater, laserasi, kontusio). Cedera Sekunder Merupakan kerusakan lanjutan oleh karena
cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum
Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume
dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan
kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi
penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal  pada tingkat seluler. Penurunan
CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema
sitotoksik

Patologi Cedera Kepala


Cedera kepala dapat mencakup fraktur pada tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Fraktur
pada tulang tengkorak bisa terjadi pada tempurung atau dasar tengkorak. Fraktur dapat
terbuka atau tertutup dan berbentuk linear atau stellate. Fraktur linier adalah fraktur yang
ringan bila gaya destruktif lebih kuat maka dapat menjadi stelatum yang berbentuk bintang
atau fraktur impresi dimana tulang yang masuk dapat menusuk otak.
Gambaran klinis bila terdapat fraktur dasar tengkorak ekimosis periorbital (raccoon eye),
ekimosis retroaurikula (battle’s sign), kebocoran dari hidung (rinorea) atau telinga(otorea)
dan gangguan nervus 7 dan 8. Fraktur terbuka dapat menyebabkan hubungan dengan otak.
Fraktur pada kranium memerlukan tenaga yang kuat , fraktur dapat menunjukan
kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial 400 kali lebih tinggi.
Lesi intrakranial dapat dibagi menjadi 2 yaitu difus dan lokal. Cedera otak difus mulai dari
konkusio hingga iskemis. Cedera konkusio berisi gangguan neurologis nonfokal sesaat
dengan hilang kesadaran. Bila berat terjadi iskemik dapat terlihat pada CT scan dengan
gambaran otak difus dan substansia alba dan nigra tidak normal.
Cedera otak fokal meliputi hematoma epidural (EDH), subdural hematoma (SDH), kontusio,
dan hematoma intraserebral.
Epidural hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena darah mengisi ruang
antara tabula interna kranium dan duramater. EDH paling sering terjadi pada daerah
peritemporal akibat robekan arteri meningen media, tulang pada daerah temporal tipis dan
mudah terjadi fraktur. Karena berasal dari arteri darah akan terpompa terus keluar sehingga
hematom semakin membesar, kemungkinan pasien akan pingsan sebentar lalu sadar kembali
dalam waktu beberapa jam pasien akan merasakan nyeri kepala dan kesadaran akan menurun.
Masa antara dua penurunan kesadaran ini adalah lucid interval. Lucid interval terjadi pada
cedera primer pada epidural hematoma yang ringan. Pada cedera primer berat yang
menyebabkan EDH lucid interval mungkin tidak ditemukan karena dapat langsung masuk ke
fase tidak sadar. Pada 50 % kasus lucid interval berkisar antara 2 -3 jam.
EDH juga dapat disebabkan oleh karena laserasi dari sinus dura atau fraktur melalui ruang
diploic yang menyebabkan perdarahan vena pada ruang epidural. Biasanya ada pada daerah
sinus dura yaitu parietooksipital bawah.
Kerusakan yang muncul pada pasien dengan EDH lebih disebabkan oleh karena efek massa
dari darah yang terkumpul. Gambaran EDH adalah bikonveks karena darah yang mengisi
ruang menekan dura dari tabula interna.
Gejala klinis pada EDH adalah lucid interval, nyeri kepala, muntah proyektil, pupil anisokor
dengan midriasis pada sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologi
Babinski positif kontralateral lesi.

Gambar EDH dengan herniasi. Sumber ATLS ed 9th


Gambar EDH pada CT scan. Sumber mattox-trauma 6th ed.

Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pasien dengan trauma kapitis berat dimana 20-
40 % penderita CKB mengalami SDH. SDH terjadi karena robeknya vena-vena jembatan,
sinus venosus duramater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater
dan araknoidea. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil.
Kerusakan otak yang menjadi dasar dari SDH lebih berat daripada yang terjadi pada EDH
karena terjadinya kerusakan parenkim pada saat yang bersamaan dan onset yang cepat dari
efek massa. Tampilan CT scan pada epidural adalah lesi hiperdens berbentuk bulan sabit.
Bila darah lisis menjadi cairan disebut higroma atau hidroma subdural.
Gambar SDH pada CT-scan. Sumber mattox-trauma 6th ed

Kontusio atau intracerebral hematoma (20 – 30 %) dari CKB dan dapat muncul juga pada
CKS, sering terjadi pada lobus frontal dan temporal. kontusio dalam waktu beberapa jam atau
hari bisa menjadi hematoma intraserebral atau bergabung menimbulkan efek masa. Keadaan
ini biasanya disebabkan karena adanya trauma tumpul. Yang menyebabkan perdarahan
karena blood brain barrier kehilangan integritasnya sehingga terjadi perdarahan pada
parenkim otak yang banyak lokasi.
Kontusio umumnya perlu 12 -24 jam agar dapat tampak pada CT-scan, sehingga pada CT-
scan awal dapat menunjukan hasil awal normal. Keluhan yang dapat muncul pada awal
adalah penurunan GCS.
Pada trauma kapitis terjadi pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi sehingga bisa
menarik dan memutuskan pembuluh daah terutama vena. Pada waktu akselerasi terjadi 2
kejadian yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang
berlawanan dengan arah dampak primer. Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang
bersangkutan dinamakan lesi coup. Bila di daerah seberang dampak ada lesi dinamakan lesi
countercoup.

Gambar lesi coup dan contrecoup. Sumber Brain Injury.com


Pada pasien dengan trauma kepala dapat terjadi gangguan dari sistem otonom atau dapat
terjadi cushing’s reflex. Cushing’s reflex merupakan hal fisiologi yang terjadi karena
peningkatan tekanan intrakranial melalui sistem simpatis dan parasimpatis. Pertama
perdarahan pada otak menyebabkan efek masa yang menekan suplai pembuluh darah pada
otak, sehingga terjadi iskemia. Iskemia menyebabkan usaha untuk meningkatkan suplai darah
ke otak, terjadi vasodilatasi dan aktivasi simpatis sehingga menjadi takikardi dan hipertensi.
Hal ini menyebabkan tekanan intrakranial semakin tinggi, sehingga ada respon baroreseptor
pada badan karotis sehingga aktivasi parasimpatis dan bisa menjadi bradikardi kemudian
dapat muncul pernafasan irregular karena gangguan pada batang otak. Refleks cushing
bertujuan untuk membantu menyelamatkan otak dalam periode perfusi yang rendah. Tetapi
memiliki efek samping lanjutan yaitu peningkatan TIK dan dapat menyebabkan herniasi pada
batang otak yang menganggu pernafasan.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
- Hb, leukosit, diff count
- GDS : Hiperglikemia > 200 mg/dL reaktif menunjukan risiko kematian meningkat
- Ur dan Cr : pemeriksaan fungsi ginjal untuk pemberian manitol yang punya efek
samping buruk pada ginjal.
- AGD : pada trauma kepala dengan penurunan kesadaran. Diusahakan jaga p02 tetap >
90 mmHg, saturasi oksigen > 95%, dan Pco2 30-35 mmHg
- Elektrolit ( Na K Cl) : menyingkirkan kemungkinan penurunan kesadaran karena
gangguan elektrolit
- Albumin serum hari 1 : kadar albumin < 3.4 g/dL mempunyai risiko kematian 4.9 kali
lebih besar dibanding normal
- Trombosit, pt, apt, fibrinogen : dilakukan bila dicurigai ada gangguan pembekuan
darah
Kadar gula dapat meningkat pada pasien trauma kapitis karena berkurangnya glukosa yang
dibawa ke otak sehingga menyebabkan tubuh mengubah metabolisme dan meningkatkan
kadar gula dalam darah. Tetapi peningkatan kadar gula darah menunjukan prognosis yang
buruk pada neurologi. Kondisi hiper dan hipoglikemia dapat menyebabkan iskemik dari
jaringan otak.
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan seperti foto rontgen atau CT scan otak.
Indikasi CT scan otak pada pasien cedera kepala ringan antara lain :
- Risiko tinggi untuk dilakukan tindakan bedah saraf :
o GCS < 15 setelah 2 jam pasca trauma
o Curiga fraktur impresi terbuka atau tertutup
o Tanda fraktur basis cranii
o Muntah lebih dari 2 kali
o Usia lebih dari 65 tahun
- Risiko sedang untuk terjadinya cedera otak
o Hilang kesadaran lebih dari 5 menit
o Amnesia sebelum kejadian 30 menit
o Mekanisme membahayakan seperti ditabrak kendaraan bermotor atau jatuh
dari ketinggian 5 lantai atau 3 kaki.
Gambar hasil CT scan perdarahan intrakranial. Sumber ATLS ed 9th

Tatalaksana
Tatalaksana pasien cedera kepala sama dengan tatalaksana pasien trauma lainnya. Pertama
adalah ABCDE. Airway menjaga jalan nafas, melihat ada obstruksi, fraktur pada wajah,
mandibular, maksila, laring atau trakea,dan melindungi cervical. Pasien yang dapat berbicara
dianggap memiliki jalan nafas yang bersih, bila pasien GCS kurang dari 8 perlu dilakukan
pemasangan ETT. Manuver jaw-thrust atau chinlift untuk awal jaga jalan nafas bila pasien
tidak sadar bisa dibantu dengan OPA. Kedua adalah breathing dan ventilasi, airway yang baik
tidak menjamin adanya ventilasi yang baik. Inspeksi, periksa leher dan dada ada jejas, pola
pernafasan dan posisi trakea, auskultasi untuk memastikan udara masuk ke dalam paru,
palpasi dan perkusi untuk menemukan kelainan. Setiap pasien trauma perlu diberikan
suplemen oksigen. Lalu circulation dan kontrol perdarahan. Perlu diperiksa warna kulit, nadi,
tingkat kesadaran dan hentikan perdarahan, untuk perdarahan eksterna bisa dihentikan
dengan balut tekan atau pada ekstremitas bisa dilakukan pemasangan torniket pada
proksimalnya. Disability (evaluasi neurologi), pemeriksaan kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, GCS dan tanda lateralisasi. Pupil disebut asimetris bila terdapat perbedaan > 1 mm
antara pupil dan dilatasi > 4 mm, lalu pupil di cek refleks cahaya nya. Lalu terakhir exposure
atau kontrol lingkungan, baju pasien dibuka dan di evaluasi kemudian ditutup kembali agar
tidak terjadi hipotermia.

Gambar pupil anisokor kiri > kanan. Sumber ATLS ed 9th


Pemeriksaan tambahan saat survei primer antara lain monitor EKG, pemasangan kateter
uretra, NGT, pulse oksimetri, tekanan darah.
Survei sekunder tidak boleh dimulai bila survei primer belum selesai dan resusitasi berhasil.
Pemeriksaan pada tahap ini meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi
dan laboratorium. Anamnesa meliputi AMPLE (alergi, medikasi, past illness, last meal, dan
event yang berhubungan dengan trauma)
Pada pasien dengan trauma kapitis perlu dilakukan klasifikasi cedera kepala. Bila pasien
termasuk cedera kepala ringan dan tidak ada keluhan, tidak ada kelainan neurologi, maka
pasien dapat diobservasi selama beberapa jam, diperiksa ulang dan bila tetap normal dapat
dipulangkan. Pasien dipulangkan tetapi perlu diawasi selama 24 jam dan diedukasi agar
kembali ke IGD bila mengalami sakit kepala atau penurunan kesadaran atau defisit neurologi
fokal.
Pada pasien dengan CKS perlu dilakukan pemeriksaan CT scan, observasi selama 12 hingga
24 jam. Perlu dilakukan CT scan ulang 24 jam bila pada awal CT scan tidak normal atau
terjadi perburukan neurologi pasien.
Pasien dengan CKB dilakukan resusitasi dan primary survei saat pertama kali masuk ke IGD.
Pasang ETT, diventilasi dengan oksigen 100% target saturasi oksigen >98% dan PCO2 30-35
mmHg. Setelah ABC pemeriksaan neurologi yang terarah melalui GCS, respon cahaya pupil,
dan defisit neurologi fokal sebelum diberikan sedasi atau paralitik. Kondisi lain yang perlu
diperhatikan adalah penggunaan obat-obatan, alkohol, zat intoksikan dan cedera lain. Pada
pasien yang koma respon motoric dapat dilihat dengan menekan otot trapezius atau
permukaan kuku atau supraorbital. Bila TD sistolik tidak mencapai 100 mmHg perlu dicari
penyebab hipotensi. Bila TD sistolik > 100 mmHg dan didapatkan pupil anisokor atau
hemiparesis motorik perlu dilakukan CT scan kepala. CT scan juga harus diulang bila ada
perubahan klinis pasien secara rutin 24 jam pasca trauma. Pada CT scan bila terdapat
pergeserann lebih dari 5 mm merupakan indikasi untuk operasi evakuasi hematoma. Selesai
resusitasi posisikan pasien dengan kepala head up untuk membantu mengurangi TIK tetapi
setelah dipastikan stabilitas thoraco-lumbar spine.
Tatalaksana medikamentosa untuk pasien cedera kepala bertujuan untuk mencegah kerusakan
sekunder otak meliputi cairan intravena, hiperventilasi, manitol, salin hipertonik, barbiturat,
dan antikonvulsan. Tatalaksana ini dapat diberikan pada pasien yang dirawat pada ICU
Cairan intravena, untuk mencegah hipovolemia. Tidak diperbolehkan menggunakan cairan
hipotonik dan cairan yang mengandung gula karena berbahaya dapat menyebabkan
hiperglikemia. Sehingga disarankan menggunakan normal salin untuk resusitasi. Pemantauan
kadar elektrolit untuk mencegah hiponatremia yang dapat meningkatkan edema otak.
Hiperventilasi dapat menyebabkan penurunan kadar Co2 di otak sehingga vasokonstriksi
serebral. Hiperventilasi yang agresif dan lama bisa menyebabkan iskemia misalnya pada
PaCo2 < 30 mmHg. Hindari juga kadar PaCo2 > 45 mmHg karena dapat menyebabkan
vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial.
Manitol dapat digunakan untuk menurunkan TIK, sediaan yang dipakai 20 % (20 gr manitol
per 100 ml pelarut). KI pada pasien hipotensi dan hipovolemia. Defisit neurologi seperti pupil
dilatasi, hemiparesis dan penurunan kesadaran merupakan indikasi untuk diberikan manitol
pada pasien euvolemia. Bolus manitol 1 g/kg dalam 5 menit. Atau dapat digunakan cairan
salin hipertonis untuk mengurangi TIK, bisa digunakan dalam kondisi hipotensi. Selain itu
dapat digunakan barbiturat bila dengan cara lain TIK tidak dapat diturunkan, barbiturate tidak
diindikasikan pada saat resustiasi karena dapat menyebabkan hipotensi.
Antikonvulsan dapat diberikan karena dapat terjadi epilepsi pasca trauma pada 15% pasien
CKB. Antikejang dapat mencegah perbaikan otak sehingga digunakan pada saat benar-benar
dibutuhkan. Obat antikejang yang digunakan adalah fenitoin, untuk dewasa loading fenitoin 1
gr iv dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg/menit. Dosis rumatan 100 mg/8 jam dengan
titrasi.
Terapi pembedahan diperlukan bila ada luka pada scalp, fraktur impresi, lesi massa
intrakranial, dan luka tembus pada otak. Luka pada scalp dibersihkan, cek apakah ada
kebocoran LCS. Fraktur impresi memerlukan tindakan operasi untuk mengangkat bagian
yang masuk ke dalam.
Lesi massa intrakranial perlu dikeluarkan untuk mengurangi TIK, TIK normal adalah berkisar
10 mmHg tetapi terapi bedah baru dilakukan bila TIK > 20 mmHg. Indikasi terapi bedah
adalah bila pada CT scan didapatkan midline shift > 5 mm tetapi bukan indikasi absolut.
Hematoma kecil pada lokasi seperti posterior fossa dapat memerlukan drainase karena dapat
menekan batang otak.
Untuk menghilangkan lesi massa pada intrakranial perlu kalkulasi volume dari hematoma.
Volume dapat dihitung pada CT scan slice 10 mm, indentifikasi slice dengan bekuan darah
terbesar dan dianggap sebagai slice 1. Lalu hitung diameter terbesar dan dianggap sebagai
nilai A. lalu hitung 90 derajat dari A pada slide yang sama dan hitung sebagai B. lalu pada
slice CT lain yang terlihat bekuan darah bandingkan ukuran bekuan pada tiap slice dengan
slice 1. Bila ukuran bekuan > 75% dari ukuran bekuan pada slice 1 nilai 1. Bila 25 – 75%
nilai nya 0.5, bila kurang dari 25% nilainya 0. Lalu jumlahkan total point dari slice yang
tersisah dan dihitung sebagai C. Volume dapat diperkirakan (AxBxC)/2
Epidural hematoma volume > 30 cm2 perlu dievakuasi berapapun GCS pasien. Selain itu
pasien EDH dengan anisokor dan GCS < 9 perlu kraniotomi segera berapapun ukuran
hematoma. Kriteria untuk nonoperatif terapi adalah volume < 30 cm 2 ,midline shift < 5 mm,
dan ketebalan < 15 mm, tidak ada defisit fokal dan GCS > 8.
Burr Hole untuk dekompresi EDH dalam keadaan emergensi. Sumber Schwartz edisi 10th

Burr hole adalah teknik operasi emergensi untuk mengurangi TIK pada EDH, tindakan
evakuasi hematom pada EDH merupakan tindakan cito yang diperlukan dalam 70 menit. Burr
hole dibuat pada samping dari pupil yang mengalami dilatasi, setelah tindakan ini dapat
dilakukan kraniotomi.
Pada SDH tindakan evakuasi hematoma dimulai bila ketebalan 10mm atau midline bergeser
> 5 mm atau pada TIK > 20 mmHg.
Bila cedera tembus pada otak pada dianjurkan untuk segera dilakukan CT scan kemudian
perlu diberikan antibiotik spectrum luas, memantau TIK.

Brain Death
Diagnosis brain death dibuat ketika tidak ada lagi bukti klinis dari fungsi neurologi pada
pasien dengan suhu tubuh inti > 32.80c, mental status tidak dipengaruhi obat-obat sedasi dan
paralisis, yang telah mengalami resusitasi dengan tekanan darah sistolik > 90 mmHg dan
saturasi > 90%.
Kriteria brain death berdasarkan ATLS adalah
- GSC = 3
- Pupil non reaktif
- Hilang refleks batang otak ( okulosefalik, kornea, doll eye dan tidak ada refleks
muntah)
- Tidak ada usaha nafas spontan
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life


Support edisi 9 bahasa Indonesia. Komisi Trauma IKABI. 2014
2. McGraw-Hill. TRAUMA 6th edition. p 940-977
3. Sabiston textbook of surgery, the biological basis of modern surgical practice 19 th
edition.p 439-441
4. Schwartz’s Principles of surgery 10th edition. p 195-197
5. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Kalbemed.CDK-
193/vol.39 no.5, th 2012.

Anda mungkin juga menyukai