Anda di halaman 1dari 41

TUGAS KELOMPOK

BIOFARMASEUTIKA

OLEH:
KELOMPOK IV ( EMPAT )

SALMAN ARFANDY ( 518 011 398 )


RAHMAWATI ( 518 011 202 )
RAHMI HUSAIN ( 518 011 143 )
HERLIANI LIMBONG MINANGA ( 518 011 204 )
HARTINA ISMAIL ( 518 011 167 )

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas
Biofarmaseutika.
Saya menyadari makalah ini masih kurang sempurna oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan guna penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Makassar, 18 Maret 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

2
Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................ 1


...............................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................. 2
................................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 4
................................................................................................
A. Latar Belakang ................................................. ................. 4
B. Tujuan ................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 6

A. BIOFARMASI SEDIAAN OBAT YANG DIBERIKAN


SECARA PERKUTAN..................................................... 6
1. faktor yang mempengaruhi liberasi, disolusi, serta absorbsi
obat secara perkutan ...................................................... 6
2. eva luasi biofarmasetika sediaan secara perkutan .......... 11

B. BIOFARMASI SEDIAAN OBAT YANG DIBERIKAN


SECARA OPHTALMIK...................................................... 14
1. Anatomi dan fisiologi mata ............................................ 14
2. Saraf yang ada dimata ..................................................... 19
3. Karakteristik organ mata ................................................. 19
4. Pembuluh darah yang melewati mata.............................. 19
5. Penggunaan Obat dengan Rute Melalui Mata ................ 20
6. Mekanisme Umum Perpindahan Obat Melalui Kornea
Mata ............................................................................... 20
7. Faktor-faktor formulasi yang mempengaruhi proses biofarmasetik
sediaan ophtalmik............................................................ 21
8. Evaluasi sediaan Ophtalmik…………………………… 33
BAB III PENUTUP ............................................................................... 39

A. KESIMPULAN ....................................................... 39

B. SARAN ............................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 40

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar, baik
pengaruh fisik maupun kimia. Kulit merupakan sawar fisiologik yang penting karena ia mampu
manahan penembusan bahan gas, cair maupun padat baik yang berasal dari lingkungan luar
tubuh maupun dari komponen organisme. Meskipun kulit relatif permeable terhadap senyawa-
senyawa kimia, namun dalam keadaan-keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa obat
atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik, baik yang bersifat
setempat maupun sistemik (Yusriadi, 2014).
Kulit memiliki fungsi sebagai ; perlindungan awal dari tubuh dengan lingkungan luar
tubuh, melindungi jaringan yang lebih dalam dari kerusakan fisik, kimia, dan mencegah
masuknya mikroorganisme, melindungi tubuh dari kehilangan cairan tubuh dengan mencegah,
penguapan air yang berlebihan, bertindak sebagai pengatur panas, tempat penyimpanan pro
vitamin d dan pembentukan vitamin D, merupakan salah satu organ ekskresi, yaitu melalui
keringat, sebagai organ pengindra, sebagai tempat pembentukan kolagen.
Kulit, organ terbesar dalam tubuh manusia, terdiri dari dua lapisan: epidermis dan dermis.
Di bawah dermis terletak subkutan, yang sebagian besar terdiri dari sel lemak. Epidermis
membentuk lapisan luar. Di dasar lapisan ini, sel-sel terus menerus terbagi, membentuk sel-sel
baru. Dermis membentuk lapisan di bawah epidermis dan lebih tebal dari epidermis. Dermis
terutama terdiri dari serat kolagen dan elastin. Hal ini juga berisi pembuluh darah, saraf, organ-
organ sensorik, kelenjar sebaceous, kelenjar keringat, dan folikel rambut. Subkutan, lapisan ini
terletak di bawah dermis dan terdiri dari sel-sel lemak (Shai, A., dkk., 2009).

Pada molekul yang dapat diserap, derajat penembusan dapat diubah dengan
menggunakan bahan pembawa yang sesuai, dengan komposisi yang dapat mendorong pelepasan
zat aktif sedemikian agar dapat mencapai jaringan tempat ia menunjukkan aksi teraupetiknya
(Yusriadi, 2014).
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai anatomi fisiologi kulit ; pembuluh darah
yang melewati tiap lapisan kulit ; komponen dan karakteristik tiap lapisan kulit ; faktor yang
mempengaruhi liberasi, disolusi, serta absorbsi obat ; evaluasi biofarmasetika sediaan ; dan

4
kondisi yang memungkinkan dan tidak memungkinkan untuk digunakan sediaan topikal.
Indera adalah kumpulan dari reseptor yang membentuk organ atau alat khusus sedangkan
reseptor adalah ujung syaraf yang berfungsi untuk menerima rangsang, propioseptor adalah
kumpulan reseptor yang tidak membentuk alat khusus.
Mata adalah alat indra penglihat yang di dalam nya terdapat jaringan-jaringan indera
penglihatan tersebut berpotensi menimbul kan penyakit atau kelainan dalam penglihatan.
Dalam mengatasi penyakit atau kelainan mata atau indera penglihatan dapat
menggunakan berbagai cara.mahluk hidup selalu berhubungan dengan perubahan lingkungan
luar.untuk mengatasi perubahan lingkungan mahluk hidup di lengkapi dengan organ yang dapat
menerima impuls syaraf dengan berbagai bentuk.organ tersebut ialah reseptor yang mampu
menerima impuls dan disebut indra

B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi liberasi, disolusi, serta absorbsi
obat secara perkutan
2. Mengetahui dan memahami evaluasi biofarmasetika sediaan secara perkutan
3. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi mata
4. Mengetahui dan memahami pembuluh darah yang melewati mata
5. Mengetahui dan memahami komponen dan karakteristik mata
6. Mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi liberasi, disolusi, serta absorbsi
obat pada pemberian secara ophtalmik
7. Mengetahui dan memahami evaluasi biofarmasetika sediaan ophtalmik

5
B A B II
PEMBAHASAN

A. BIOFARMASI SEDIAAN OBAT YANG DIBERIKAN SECARA PERKUTAN


1. Faktor Yang Mempengaruhi Liberasi, Disolusi, Serta Absorbsi Obat
Menurut M.T Simanjuntak (2006), berbagai faktor yang mempengaruhi proses LDA obat
pada pemberian secara perkutan
a) Penyerapan (Absorbsi)
Sampai saat ini secara keseluruhan dari proses penyerapan secara perkutan obat, belum
diketahui. Kajian yang telah dilakukan hanya terbatas pada faktor-faktor yang dapat
mengubah ketersediaan hayati zat aktif yang terdapat dalam sediaan yang dioleskan pada
kulit, seperti :
Lokalisasi Sawar (Barrier)
Kulit mengandung sejumlah tumpukan lapisan spesifik yang dapat mencegah
masuknya bahan-bahan kimia dan hal ini terutama disebabkan oleh adanya lapisan tipis
lipida pada permukaan, lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi. Pada daerah ini,
ditemukan juga suatu celah yang berhubungan langsung dengan kulit bagian dalam
yang dibentuk oleh kelenjar sebasea yang membatasi bagian luar dan cairan
ekstraselular, yang juga merupakan sawar tapi kurang efektif, yang terdiri dari sebum
dan deretan sel-sel germinatif.
Peranan lapisan lipids yang tipis dan tidak beraturan pada permukaan kulit (0,4 -
4 μ m) terhadap proses penyerapan (absorpsi) dapat diabaikan. Peniadaan dari lapisan
tersebut oleh eter, alkohol atau sabun-sabun tertentu tidak akan mengubah secara nyata
permeabilitas kulit (Tregear, R, T. thn 1966), keadaan yang sama juga terjadi setelah
pengolesan pada permukaan kulit yang mempunyai sebum setebal 30 μm (Eligman, A,
M. thn 1963).
Lapisan lipida dapat ditembus senyawa-senyawa lipofilik dengan cara difusi dan
adanya kolesterol menyebabkan senyawa yang larut dalam air dapat teremulsi.
Sawar (barrier) kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum),
namun demikian pada cuplikan lapisan tanduk (stratum corneum) terpisah, juga
mempunyai permeabilitas yang sangat rendah dan kepekaan yang sama seperti kulit
utuh (Sprott W, E,. thn 1965 dan Scheuplein R, J,. dkk, thn 1669). Lapisan tanduk
6
berperan melindungi kulit (TregearR, T, thn 1966; Blank I. H, dkk, thn1969). Deretan
sel-sel pada lapisan tanduk saling berikatandengan kohesi yang sangat kuat dan
merupakan pelindung kulit yang paling efisien. Sesudahpenghilangan lapisan tanduk
(stratum corneum), impermeabilitas kulit dipengaruhi oleh regenerasi sel; dalam 2 (dua)
atau 3(tiga) hari meskipun ketebalan lapisan tanduk (stratum corneum) yang terbentuk
masih sangat tipis, namun lapisan tersebut telah mempunyaikapasitas perlindungan yang
mendekati sempurna (Matoltsy A, G, dkk, thn 1962; Monash S,dkk, thn 1963).
Dengan demikian epidermis mempunyai 2 (dua) jenis pelindung, yang pertama
adalah pelindung sawar spesifik yang terletak pada lapisan tanduk (stratum corneum)
yang salah satu elemennya berasal dari kulit dan bersifat impermeabel, dan pelindung
yang kedua terletak di sub-junction dan kurang efektif, dibentuk oleh epidermis hidup
yang permeabilitasnya dapat disamakan dengan membran biologis lainnya. Pada
sebagian besar kasus, proses pergantian kulit diatur oleh lapisan tanduk (stratum
corneum) yang impermeabel dan akan membentuk suatu pelindung terbatas.
Jalur Penembusan (Absorbsi)
Penembusan = penetrasi = absorbsi perkutan, terdiri dari pemindahan obat
dari permukaan kulit ke stratum corneum, dibawah pengaruh gradien konsentrasi,
dan berikutnya difusi obat melalui stratum corneum yang terletak dibawah epidermis,
melewati dermis dan masuk kedalam mikro sirkulasi.
Jumlah total daya difusi (Rkulit) untuk penembusan melalui kulit dijelaskan
oleh Chen sbb :
R = Rsc + Re + Rpd
Dimana :
R = Daya difusi
sc = stratum corneum
E = epidermis
pd = lapisan papilla dari dermis
Kulit, karena sifat impermeabilitasnya maka hanya dapat dilalui oleh
sejumlah senyawa kimia dalam jumlah yang sedikit. Penembusan molekul dari luar
ke bagian dalam kulit secara nyata dapat terjadi, baik secara difusi melalui lapisan
tanduk (stratum corneum) maupun secaradifusi melalui kelenjar sudoripori atau

7
organ pilosebasea.
Penahanan Dalam Struktur Permukaan Kulit dan Penyerapan Perkutan
Surfaktan amonik dan kationik juga tertahan di lapisan tanduk atau rambut
(Scott G. V, dkk, thn 1669), adanya muatan ion mempakan penyebab terjadinya
pembentukan ikatan ionik dengan protein dari keratin (Idson B, J, thn 1967).
Intensitas penahanan akan berbanding lurus dengan ukuran dan muatan kation atau
anion. Akibat pengikatan ini maka umumnya surfaktan dengan konsentrasi tinggi
akan merusak struktur lapisan tanduk (Scheuplein R, J, dkk, thn 1970), menyebabkan
peningkatan kehilangan air dan terjadi suatu iritasi yang bermakna. Pada konsentrasi
surfaktan yang rendah terjadi keadaan sebaliknya, ikatan sediaan kosmetika tertentu
dengan lipida akan mempermudah penyerapan sediaan ini pada lapisan tanduk dan
dengan demikian meningkatkan kerja pelembutan kulit (Idson B, J, thn 1967).
Penahanan senyawa pada lapisan tanduk akan mengurangi resiko keracunan
karena akan mencegah terjadinya penyerapan sistemik. Lapisan tanduk (stratum
corneum) bukan merupakan satu satunya penyebab terjadinva fenomena penahanan
senyawa pada kulit; dalam hal tertentu dermis berperanan sebagai depo.
b) Faktor fisiologik yang mempengaruhi penyerapan perkutan
Keadaan dan Umur Kulit
Kulit utuh merupakan suatu sawar (barrier) difusi yang efektif dan
efektivitasnya berkurang bila terjadi perubahan dan kerusakan pada sel-sel lapisan
tanduk.Pada keadaan patologis yang ditunjukkan oleh perubahan sifat lapisan tanduk
(stratum corneum); dermatosis dengan eksim, psoriasis, dermatosis seborheik, maka
permiabilitas kulit akan meningkat. Scott, thn 1959, telah membukfkan bahwa kadar
hidrokortison yang melintasi kulit akan berkurang bila lapisan tanduk berjamur dan
akan meningkat, pada kulit dengan eritematosis. Hal yang sama juga telah dibuktikan
bila kulit terbakar atau luka.Bila stratum corneum rusak sebagai akibat pengikisan
oleh plester , maka kecepatan difusi air, hidrokortison dan sejumlah senyawa lain
akan meningkat secara nyata
Aliran Darah
Perubahan debit darah ke dalam kulit secara nyata akan mengubah kecepatan
penembusan molekul. Pada sebahagian besar obat obatan, lapisan tanduk merupakan

8
faktor penentu pada proses penyerapan dan debit darah selalu cukup untuk
menyebabkan senyawa menyetarakan diri dalam perjalanannya. Namun, bila kulit
luka atau bila dipakai cara iontoforesis untuk zat aktif, maka jumlah zat aktif yang
menembus akan lebih banyak dan peranan debit darah merupakan faktor yang
menentukan. Demikian pula bila kapasitas penyerapan oleh darah sedikit atau
hiperemi yang disebabkan pemakaian senyawa ester nikotinat, maka akan terjadi
peningkatan penembusan. Akhimya, penyempitan pembuluih darah sebagai akibat
pemakaian setempat dari kortikosteroida akan mengurangi kapasitas alir dari darah,
menyebabkan pembentukan suatu timbunan (efek depo) pada lapisan kulit dan akan
mengganggu penyerapan senyawa yang bersangkutan.
Tempat pengolesan
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama, akan berbeda dan
tergantung pada susunan anatomi dari tempat pengolesan: kulit dada, punggung,
tangan atau lengan. Perbedaan ketebalan terutama disebabkan oleh ketebalan lapisan
tanduk (stratum corneum) yang berbeda pada setiap bagian tubuh, tebalnya bervariasi
antara 9 pm untuk kulit kantung zakar sampai 600 pin untuk kulit telapak tangan dan
telapak kaki.
Kelembaban dan Temperatur
Pada keadaan normal, kandungan air dalam lapisan tanduk rendah, yaitu 5-
15%, namun dapat ditingkatkan sampai 50% dengan cara pengolesan pada
permukaan kulit suatu bahan pembawa yang dapat menyumbat: vaselin, minyak atau
suatu pembalut impermeabel. Peranan kelembaban terhadap penyerapan perkutan
telah dibuktikan oleh Scheuplein R, J, dkk, thn 1971; stratum corneum yang
lembab mempunyai afinitas yang sama terhadap senyawa-senyawa yang larut
dalam air atau dalam lipida. Sifat ini disebabkan oleh struktur histologi sel tanduk
dan oleh benang-benang keratin yang dapat mengembang dalam air dan pada media
lipida amorf yang meresap di sekitarnya. Kelembaban dapat mengembangkan lapisan
tanduk dengan cara pengurangan bobot jenisnya atau tahanan difusi. Air mula-mula
meresap di antara janngan jaringan, kemudian menembus ke dalam benang keratin,
membentuk suatu anyaman rangkap yang stabil pada daerah polar yang kaya air dan
daerah non polar yang kaya lipida.

9
Menurut Howard C., Ansel (2008), faktor-faktor yang berperan dalam
absorbsi perkutan dari obat adalah sifat dari obat itu sendiri, sifat dari pembawa,
kondisi dari kulit dan adanya uap air. Walaupun sukar untuk diambil kesimpulan
umum, yang dapat diberlakukan pada kemungkinan yang dihasilkan oleh kombinasi
obat, pembawa dan kondsi kulit, tapi konsensus temuan hasil penelitian mungkin
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus bersatu pada permukaan kulit
dalam konsentrasi yang cukup.
2. Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat yang
diabsorbsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu, bertambah
sebanding dengan bertambahnya kkonsentrasi obat dalam suatu pembawa.
3. Semakin banyak obat diserap dengan cara absorbsi perkutan apabila bahan obat
dipakai pada permukaan yang lebih luas.
4. Bahan obat harus mempunyai suatu daya tarik fisiologi yang lebih besar pada kulit
dari pada terhadap pembawa, supaya obat dapat meninggalkan pembawamenuju
kulit.
5. Beberapa derajat kelarutan bahan obat baik dalam minyak dan air dipandang penting
untuk efektivitas absorbsi perkutan. Pentingnya kelarutan obat dalam air ditunjukan
oleh adanya konsentrasi pada daerah absorbsi dan koefisien partisi sangat
mempengaruhi jumlah yang dipindahkan melalui tempat absorbsi. Zat terlarut bobot
molekul yang dibbawah 800 sampai 100 dengan kelarutan yang sesuai dalam minyak
mineral dan air (>1mg/mL) dapat meresapkedalam kulit.
6. Absorbsi obat nampaknya ditingkatkan dari pembawa yang dapat dengan mudah
menyebar dipermukaan kulit, sesudah dicampur dengan cairan berlemak dan
membawa obat untuk berhubungan dengan jaringan sel untuk absorbsi.
7. Pembawa yang meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya cenderung
baik bagi absorbsi pelarut obat. Pembawa yang bersifat lemak bekerja sebagai
penghalang uap air sehingga keringat tidak dapat menembus kulit dan tertahan pada
kulit sehingga umunya menahasilkan hidrasi dari kulit dibawah pembawa.
8. Hidrasi dari kulit umunya fakta yang paling penting dalam absorbsi perkutan. Hidrasi
sratum corneum tampaknya meningkatkan derajat lintasan dari semua obat yang

10
mempenetrasi kulit. Peningkatan absorbsi mungkin disebabkan melunaknya jaringan
dan akibat pengaruh “bunga karang” dengan penambahan ukuran pori-pori yang
memungkinkan arus bahan lebih besar, besar dan kecildapat melaluinya.
9. Hidrasi kulit bukan saja dipengaruhi oleh jenis pembawa (misalnya bersifat lemak)
tetapi juga oleh ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya ketika pemakaian obat.
Pada umunya pemakaian pembungkusyang tidak menutup seperti pembawa yang
bercampur dengan air, akan mempengaruhi efek pelembab dari kulit
melaluipenghalang penguapan keringat dan oleh karena itu mempengaruhi absorbsi.
Penutup yang menutup lebih efektif daripada anyaman jarang dari pembungkus yang
tidak menutup.
10. Pada umunyan penggosokan atau pengolesan waktu pemakaian pada kulit akan
meningkatkan jumlah obat yang diabsorbsi dan semakin lama mengoleskan dengan
digosok-gosok, semakin banyak piula obat yang diabsorbsi.
11. Absorbsi perkutan nampaknya apabila obat dipakai pada kulit dengan lapisan tanduk
yang tipis daripada yang tebal. Jadi, tempat pemakaian mungkin bersangkut paut
dengan derajat absorbsi, dengan absorbsi dari kulit yang ada penebalannya atau
tempat yang tebal seperti telapak tangan dan kaki secara komparatif lebih lambat.
Pada umumnya, semakin lama waktu pemakaian obat menempel pada kulit,
semakin banyak kemungkinan absorbsi. Bagaimanapun juga perubahan dahidrasi
kulit sewaktu pemakaian atau penjenuhan kulit oleh obat, akan menghambat
tambahan absorbsi.
2. Evaluasi Biofarmasetika Sediaan Perkutan
Menurut Swastika A. Et. Mufrod., (2013) evaluasi sediaan (baik salep, krim, gel)
yang diberikan melalui kulit pada umumnya sebagai berikut :
1. Pemeriksaan organoleptis
Pengamatan meliputi perubahan warna, bau (ketengikan), konsistensi, dan terjadinya
pemisahan fase. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 5 minggu.

2. Pemeriksaan homogenitas
Pengamatan dilakukan secara visual dengan mengoleskan krim pada lempeng kaca,
kemudian dilihat warnanya seragam atau tidak. Pengamatan dilakukan tiap minggu
selama 5 minggu.

11
3. Uji viskositas
Viskositas krim ditetapkan dengan viscotester VT-04E (Rion CO, Ltd), rotor no 1.
Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 5 minggu.
4. Uji daya sebar
Setengah gram krim diletakkan di pusat antara 2 lempeng gelas, dimana lempeng
sebelah atas ditimbang terlebih dahulu kemudian diletakkan diatas krim dan biarkan
selama 1 menit. Di atasnya diberi beban 150 g, dibiarkan 1 menit dan diukur diameter
sebarnya. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 5 minggu.
5. Uji waktu lekat
Gelas objek ditandai 4 x 2,5 cm kemudian sebanyak 0,25 g krim diletakkan di titik
tengah uasan tersebut dan ditutup dengan gelas objek lain. Beri beban 1 kg selama 5
menit. Kedua gelas objek yang telah saling melekat 1 sama lain dipasang pada alat uji
yang diberi beban 80 gram. Setelah itu dicatat waktu yang diperlukan hingga dilakukan
tiap minggu selama 5 minggu.
6. Uji rasio pemisahan krim
Krim dimasukkan ke dalam tabung reaksi berskala tertentu. Masing-masing disimpan
pada suhu kamar selama 5 minggu penyimpanan. Amati volume pemisahan tiap 3 hari
sekali dan dihitung volume pemisahannya dengan menggunakan rumus persamaan
berikut :
Hu
F=
Ho
Keterangan : F = rasio volume pemisahan;
Hu =tinggi emulsi yang memisah;
Ho = tinggi emulsi mula-mula
Bila tidak terjadi pemisahan selama penyimpanan pada suhu kamar, dapat
dilakukan uji pemisahan fase dipercepat dengan metode sentrifugasi. Sebanyak 2 gram
lotion dimasukkan kedalam tabung sentrifuga, sentrifugasi 3750 rpm selama 5 jam
dengan interval waktu pengamatan setiap 1 jam. Amati pemisahan fase minyak dan fase
air yang terjadi dalam setiap interval waktu pengamatan (Lachman dkk., 1986).
7. Pemeriksaan pH

12
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas pH merk universal. Pengamatan
dilakukan setelah pembuatan krim yaitu pada minggu ke-0 dan minggu ke-5.
8. Evaluasi Tipe Krim
a. Metode Pengenceran
Krim yang jadi dimasukkan kedalam vial, kemudian diencerkan dengan air. Jika
emulsi dapat diencerkan maka tipe emulsi adalah tipe m/a.
b. Metode Dispersi Zat Warna
Emulsi yang dibuat dimasukkan ke dalam vial, kemudian ditetesi de-ngan beberapa
tetes larutan biru me-tilen. Jika warna biru segera terdispersi ke seluruh emulsi
maka tipe emulsinya adalah tipe m/a.
Menurut M.T Simanjuntak (2006), evaluasi ketersediaan hayati obat yang diberikan
melalui kulit :
a) Studi difusi in vitro
Berdasarkan dari penilaian biofarmasetik obat-obatan yang diberikan melalui
kulit, maka sesudah dilakukan uji kekentalan bentuk sediaan, ketercampuran,
pengawetan, selanjutnya dilakukan uji pelepasan zat aktif in vitro, dengan maksud
agar dapat ditentukan bahan pembawa yang paling sesuai digunakan untuk dapat
melepaskan zat aktif di tempat pengolesan. Ada beberapa metoda, yang dapat
dilakukan di antaranya adalah
- Difusi sederhana dalam air atau difusi dalam gel
- Dialysis melalui membran kolodion atau selofan
b) Studi penyerapan (absorbsi)
Penyerapan perkutan dapat diteliti berdasarkan dua aspek utama yaitu penyerapan
sistemik dan lokalisasi senyawa dalam strukiur kulit. Dengan cara in vitro dan in vivo
dapat dipastikan lintasan penembusan dan tetapan permeabilitas, serta
membandingkan efektivitas dari berbagai bahan pembawa. Absorbsi perkutan telah
lama diteliti baik secara in vivo dengan mempergunakan senyawa radioaktif atau
dengan tehnik in vitro mempergunakan sayatan kulit manusia.
c) Pembuktian Mekanisme Absorpsi Perkutan Dari Sifat Fisiko Kimia
Tehnik Umum untuk karakterisasi Membran

Seluruh membran mahluk hidup adalah bersifat heterogenous dan disusun

13
dalam fase makroskopis yang berbeda, dan menentukan difusi pasif molekul melalui
total barrier pada membran sangat diperlukan, dan hal ini tergantung pada pengaturan
dan rangkaian dari fase yang dialami selama proses transpor. Hukum difusi yang
sebenamya adalah bahwa molekul mengikuti lintasan yang bersifat diffusional
resistance yang paling sedikit. Lintasan yang bersifat diffusional resistance yang
paling sedikit ini ditentukan dari sifat fisiko kimia alamiah fase membran atau dengan
densisitas, viskositas dun, dimana terdapat protein dun makro molekul yang lain,
keberadaan ikatan silang dun susunan dari bahan polimer dalam masing masing fase,
seluruh hal diatas memberikan pengaruh terhadap kecepatan pergerakan difusi.
Lintasan yang bersifat sedikit resisten. juga dipengaruhi oleh afinitas relatip dari fase
terhadap bahan yang terpermiasi (permeant), terakhir akan berperanan untuk distribusi
internal dari permeant melalui pengaturan sifat fisiko kimia dari komponen membran,
dun oleh volume relatip dari fase. Resistensi dari setiap fase yang terdapat dalam
membran dapat dikarakterisasikan dalam istilah khusus yang berhubungan dengan
difusi dalam fase, terhadap seluruh variabel lengkap secara umum. Secara
keseluruhan, membran mungkin dianggap sebagai sejenis penghambat (resistor)
rangkaian antara 2 (dua) fase. Masing masing fase membran menentukan aliran difusi
melalui channel dalam elemen bahagian sebelah dalam (interior) membran, yang
menghasilkan masing masing resistensinya dan pengaturannya

B. BIOFARMASI SEDIAAN OBAT YANG DIBERIKAN SECARA OPHTALMIK


1. Anatomi dan fisiologi mata
Mata manusia secara umum terbagi atas segmen anterior dan posterior. Segmen
anterior yaitu kornea, konjungtiva, iris, badan siliari, cairan humor, dan lensa. Sedangkan
bagian posterior yaitu sclera, koroid, retina dan humor viterous. Kornea merupakan
membran transparan multilayer yang terletak paling luar pada bagian mata, tidak disuplai
darah dan mendapatkan nutrisi yang diperoleh dari humor aquos dan kapiler limbal. Kornea
manusia terdiri atas 5 lapisan, yaitu corneal epitelium, membran bowman, stroma, membran
descemet, endotelium. Humor aquor merupakan cairan yang terdapat pada segmen anterior
pada mata, merupakan sumber nutrisi terbesar untuk lensa dan kornea. Iris merupakan
bagian berwarna dari mata, terdiri atas sel epitel berpigmen dan otot sirkular. Bagian tengan
dari iris adalah pupil. Sfingter iris dan otot dilator membantu dalam menyesuaikan ukuran

14
pupil yang mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata badan siliari, otot berbentuk cincin
yang menempel pada iris terdiri dari otot siliari. Kontraksi dan relaksasi dari otot ciliary
mengontrol bentuk lensa. Lensa adalah unit kristal dan fleksibel yang terdiri dari lapisan
jaringan tertutup dalam kapsul. konjungtiva adalah membran mukosa yang melapisi bagian
dalam kelopak mata yang jelas dan menyebar dari permukaan anterior sclera hingga limbus.
Hal ini memfasilitasi pelumasan mata karena adanya mukus dan tear film. Sclera adalah
selubung putih sekitar bola mata dan disebut " bagian putih mata ". Ini bertindak sebagai
perisai utama untuk melindungi organ internal. Sclera ini disandingkan dengan jaringan
vaskular dikenal sebagai koroid, yang terdapat di antara retina dan sclera. Koroid
menyediakan nutrisi ke sel-sel fotoreseptor di retina. Retina adalah sensori
multilayer,jaringan sensitif terhadap cahaya yang melapisi bagian dalam mata, berisi jutaan
fotoreseptor atau elemen fotosensitif yang menangkap cahaya dan mengkonversi nya
menjadi impuls listrik. Impuls ini menjalar di sepanjang saraf optik ke otak , di mana mereka
diubah menjadi gambar. Humor vitreous adalah zat seperti jelly atau matriks hidrogel ,
didistribusikan antara retina dan lensa.
Mata adalah struktur bola dengan dinding terdiri dari tiga lapisan; bagian terluar
sclera, bagian tengah lapisan koroid, ciliary tubuh dan iris dan bagian dalam saraf lapisan
jaringan retina. Sclera adalah lapisan berserat keras yang melindungi jaringan dalam pada
mata bagian putih kecuali area transparan pada bagian depan dan kornea memungkinkan
cahaya untuk masuk ke mata.
Lapisan koroid, terletak di sclera, mengandung banyak pembuluh darah yang
dimodifikasi pada depan mata sebagai iris berpigmen bagian berwarna dari mata (biru, hijau,
coklat, cokelat, atau abu-abu).

15
a) Struktur kornea
Kornea terletak pada bagian depan mata yang menyampaikan gambar ke bagian
belakang sistem saraf. Kornea dewasa memiliki radius sekitar 7-8mm yang mencakup
sekitar seperenam dari total luas permukaan bola mata yang merupakan jaringan
pembuluh darah yang menyediakan nutrisi dan oksigen yang dipasok melalui cairan
lakrimal dan cairan hmor dan juga dari pembuluh darah yang terletak diantara kornea dan
sklera.
Kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu epitel, bowman, stroma, membran descemet,
dan endotelium, yang merupakan jalur utama permeasi obat pada mata. Epitel terbuat dari
5 hingga lapisan sel. Epitel skuamosa (5-6 lapisan sel) dengan ketebalan sekitar 50-100
um dan waktu turnover sekitar satu lapisan sel setiap hari. Sel-sel basal dikemas dengan
tight junction untuk membentuk tidak hanh ya penghalang yang efektif untuk partikel
debu dan kebanyakan mikroorganisme, dan juga untuk penyerapan obat. jalur transelular
atau paracellular adalah jalur utama untuk absorbsiobat di epitel kornea. Obat lipofilik
memilih rute transelular sedangkan yang hidrofilik memilih jalur paracellular untuk
penetrasi (difusi pasif atau difusi melalui intraseluler pada sel). Membran Bowman adalah
lembar homogen acellular dengan tebal 8 – 14 μm yang terletak di antara membran basal
epitel dan stroma.
Stroma, atau substania propria, mengandung air sekitar 85% dan sekitar 200-250
lamellae kolagen.
b) Konjungtiva

16
Konjungtiva melindungi mata dan juga terlibat dalam pembentukan dan
pemeliharaan precorneal tear film. Konjungtiva adalah membran transparan tipis terletak
pada permukaan bagian dalam kelopak mata. Molekul-molekul sampai 20.000 Da bisa
menyeberangi conjuctiva, sementara kornea membatasi masuknya molekul yang
berukuran lebih besar dari 5000 Da.
 Sistem drainase
nasolacrimal Sistem drainase Nasolachrymal terdiri dari tiga bagian; sistem sekresi,
sistem distributif dan sistem ekskresi. Bagian sekresi terdiri dari kelenjar lakrimal
yang mensekresikan air mata, menyebar di permukaan okular oleh kelopak mata
dengan adanya kedipan. Sistem sekresi dirangsang oleh kedipan dan perubahan suhu
karena adanya evaporasi air mata dan refluks secretors yang memiliki saraf
parasimpatis eferen yang kemudian disekresikan sebagai respon pengaruh emosional,
misalnya keadaan menangis.Sistem distributif terdiri dari kelopak mata dan meniskus
air mata yang menyebarkan air mata di atas permukaan okular dengan berkedip,
sehingga mencegah kering pada mata.
Bagian ekskretoris dari sistem drainase Nasolachrymal terdiri dari puncta lakrimal,
bagian superior, bagian inferior dan kanalikuli; kantung air mata, dan saluran
nasochrymal. Pada manusia, dua puncta adalah bukaan dari kanikuli lakrimal yang
terletak di tempat yang tinggi dikenal sebagai papilla lakrimal. Air mata dalam
jumlah besar akan terabsorbsi oleh mebran mukosa, dan hanya sebagian yang
mencapai rongga hidung.
B.1 Anatomi dan Fisiologi Kelopak Mata
Kelopak mata atau sering disebut palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata dari
trauma, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea.
Kelopak mata merupakan pelindung mata yang paling baik dengan membasahi mata dan
melakukan penutupan mata bila terjadi rangsangan dari luar.
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedangkan di bagian
belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. Pada kelopak mata
terdapat beberapa bagian antara lain; kelenjar sebasea, kelenjar keringat atau kelenjar Moll,
kelenjar zeis pada pangkal rambut bulu mata, serta kelenjar Meibom pada tarsus. Kelopak mata

17
bisa terjadi kelainan yaitu lagoftalmos (mata tidak menutup bola mata), ptosis (kelopak mata
tidak bisa dibuka).
B.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimalis
Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem
ekskresi mulai pada pungtum lakrimalis, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal yang terletak di
bagian depan rongga orbita, air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung
di dalam meatus inferior.

B.3 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva


Konjungtiva atau selaput lendir mata adalah membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang bersifat membasahi bola mata
terutama kornea dihasilkan oleh sel Goblet. Terdapat tiga bagian konjungtiva yaitu ; konjungtiva
tarsal yang menutup tarsus, konjungtiva bulbi membungkus bulbi okuli serta menutupi sklera,
dan konjungtiva forniks sebagai tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
B.4 Anatomi dan Fisiologi Bola Mata
a. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata serta
bagian putih pada bola mata yang bersama kornea sebagai pembungkus dan pelindung isi bola
mata. Kekakuan tertentu pada sklera mempengaruhi tekanan bola mata.
c. Kornea
Merupakan selaput bening mata dan bagian terdepan dari sklera yang bersifat transparan
sehingga memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kornea berperan meneruskan dan
memfokuskan cahaya ke dalam bola mata. Pembiasan terkuat dilakukan oleh kornea, dimana
40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea. Kornea
terdiri dari beberapa lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan yaitu epitel,
membran bowman, stroma, membran descement dan endotel. Saraf sensoris yang
mempersarafi kornea yaitu saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid yang masuk ke dalam stroma kornea menembus membran Bowman dan
melepaskan selubung Schwannya.
d. Bilik-bilik dalam mata

18
Bola mata mempunyai 2 bilik yaitu, bilik mata depan yang merupakan ruangan dibatasi oleh
kornea, iris, lensa dan pupil serta berisi humor aquos yang membawa makanan untuk
jaringan mata sebelah depan. Kemudian bilik mata belakang yang paling sempit pada mata.
e. Humor Aquos
Humor aquos atau cairan mata merupakan bagian dari mata yang dihasilkan oleh badan siliar
masuk ke bilik mata melalui pupil serta berfungsi memberikan makanan dan oksigen untuk
mempertahankan kornea dan lensa.
f. Uvea
Uvea merupakan lapis vaskuler di dalam bola mata yang banyak mengandung pembuluh
darah yaitu ; iris, badan siliar, koroid. Iris atau selaput pelangi mempunyai kemampuan
mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola mata. Badan siliar mengandung otot
untuk melakukan akomodasi sehingga lensa dapat mencembung dan merupakan susunan otot
melingkar dan mempunyai sistem ekskresi di belakang limbus. Koroid itu sendiri lapis
tengah pembungkus bola mata yang banyak mengandung pembuluh darah dan memberikan
makan lapis luar retina.
g. Pupil
Pupil pada anak-anak pupil berukuran kecil karena belum berkembangnya saraf simpatis.
Orang dewasa ukuran pupil sedang, dan orang tua pupil mengecil akibat rasa silau yang
dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis. Pada waktu tidur pupil mengalami pengecilan akibat
dari berkurangnya rangsangan simpatis dan kurang rangsangan hambatan miosis.
Mengecilnya pupil berfungsi untuk mencegah aberasi kromatis pada akomodasi.
h. Retina
i. Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor dan akan
meneruskan rangsangan cahaya yang diterimanya berupa bayangan. Dalam retina terdapat
makula lutea atau bintik kuning yang merupakan bagian kecil dari retina dan area sensitif
paling rentan pada siang hari.
2. Saraf yang ada di mata
1. Saraf optikus, membawa gel. Saraf yang dihasilkan didalam retina ke otak.
2. Saraf Lakrimalis, merangsang pembentukan air mata oleh kelenjar air mata.
3. Saraf lainnya, menghantarkan sensasi ke bag. Mata yang lain dan mrangsang otot pada
tulang orbita

19
3. Pembuluh darah yang melewati bagian mata

Arteri opthalmika dan arteri retinalis menyalurkan darah ke mata kiri dan mata
kanan, sedangkan darah dari mata dibawa oleh vena opthalmika dan vena retinalis.
Pembuluh darah ini masuk dan keluar melalui mata bagian belakang. Arteri inilah juga yang
akan menyalurkan darah ke cabang arteri lainnya :

1. Arteri retina sentralis,


2. Arteri lakrimalis,
3. Arteri siliaris posterior longa dan brevis, atau
4. Arteri palpebralis.
(J Hogan, michael. 1949)
4. Karakteristik Organ Mata
Kornea tidak mempunyai pembuluh darah tetapi banyak mengandung akan ujung
saraf. Ketika sediaan topikal diberikan untuk mata, akan terpapar pertama kali oleh kornea
dan konjungtiva, mewakili hambatan utama untuk penetrasi obat. Epitelium dan endotelium
dari kornea banyak mengandung lipid, sehingga menjadi penghalang untuk senyawa yang
larut dalam air. Stroma adalah lapisan hidrofilik mengandung 70% sampai 80% air, menjadi
penghalang untuk senyawa yang tidak larut dalam air. Sklera mengandung banyak pembuluh
darah yang mensuplai darah ke jaringan anterior pada mata. Konjungtiva dan permukaan
kornea dilumasi oleh sebuah lapisan cairan yang disekresikan oleh kelenjar air mata dan
konjungtiva. Kelenjar lakrimal menghasilkan cairan yang disebut dengan air mata. Kelenjar
sebaceous menghasilkan cairan berminyak yang akan tersebar dilapisan mata.
5. Penggunaan Obat dengan Rute Melalui Mata
Dibandingkan dengan pemberian obat rute yang lain,penghantaran obat melalui mata
harus mengatasi tantangan penting yang ditimbulkan oleh berbagai hambatan okular.
Banyak hambatan yang terkait dengan anatomi dan fisiologi mata membuatnya menjadi
tantangan untuk memberikan dosis yang tepat pada tempat yang sesuai. Kemajuan yang
signifikan telah dibuat untuk mengoptimalkan penghantaran obat yang terlokalisasi pada
mata, sehingga rute yang sekarang terkait dengan teknik pemberian obat yang sangat
canggih. Beberapa teknologi ini unik untuk mata dan banyak juga ditemukan di rute
pengiriman lainnya.

20
Bioavailabilitas sistem pengiriman obat mata tradisional seperti tetes mata sangat
buruk karena mata dilindungi oleh serangkaian mekanisme pertahanan yang kompleks yang
membuatnya sulit untuk mencapai konsentrasi obat yang efektif dalam area target mata.
Anatomi dan fisiologi mata adalah salah satu sistem yang paling kompleks dan unik dalam
tubuh manusia. Lachrymasi, drainase efektif oleh sistem nasolakrimalis, bagian dalam dan
luar barrier blood retinal, impermeabilitas kornea, dan ketidakmampuan struktur non-kornea
lainnya untuk menyerap Senyawa membuat mata sangat tahan terhadap zat-zat asing.
Meskipun hambatan-hambatan ini membuat mata terlindungi dari invasi senyawa asing,
patogen dan partikulat yang membahayakan mata, tapi dilain hal ini merupakan tantangan
untuk sistem penghantaranobat melalui mata.
6. Mekanisme Umum Perpindahan Obat Melalui Kornea Mata
1. Tingkat Organ
Rate-limiting membrane untuk kebanyakkan obat adalah epithelium kornea yang beraksi
ganda sebagai penghalang (barrier) untuk penetrasi dan sebagai reservoir untuk obat. The
rate-limiting barrier untuk kebanyakan obat tampaknya berada pada lapisan dua sel bagian
atas dari epithelium. Stroma adalah rate-limiting untuk obat-obat yang sangat larut lemak
(Malhorta and Majumdar, 2001).
2. Tingkat Sel
Molekul-molekul kecil, contohnya seperti : air, metanol, etanol, propanol, dan butanol,
mudah melintasi kornea diasumsikan melalui pori-pori berair. Konstanta permeabilitas
mereka sangat besar. Senyawa larut air melintasi kornea melalui rute paraselular. Konstanta
permeabilitas adalah konstanta partisi paling kecil. Peptida, ion-ion, dan senyawa muatan
lainnya tampaknya berpenetrasi ke kornea melalui rute paraselular. Zat-zat yang memiliki
kelarutan ganda lebih mudah melintasi kornea. Zat-zat larut lemak mudah melewati
membran selular yang membatasi. Mereka tidak bisa berpenetrasi dalam proporsi
konsentrasi mereka(Malhorta and Majumdar, 2001).
7. Faktor-faktor formulasi yang mempengaruhi proses biofarmasetik sediaan optalmik
1. Faktor Fisiologi
Hilangnya obat dari area precorneal adalah efek dari drainase sekresi air mata, absorpsi
non-korneal, dan kecepatan proses absorpsi korneal. Secara kolektif proses ini
menyebabkan waktu kontak kornea yang khas sekitar 2-4 menit pada manusia, untuk

21
memberikan larutan dan bioavailbilitas ocular kurang dari 10% (Malhorta and Majumdar,
2001).
a. Faktor Prekorneal
Faktor prekorneal yang menyebabkan hilangnya obat adalah :
1. Pergantian air mata yang normal
Air mata mencuci dengan kecepatan kira-kira 16% permenit, kecuali selama
periode tidur atau selama anastesi. Volume normal air mata hanya 7 mikroliter, jadi
obat yang menghilang besar (Malhorta and Majumdar, 2001).
2. Drainase larutan yang diberikan
Area prekorneal bisa menampung kira-kira 30 mikroliter, termasuk air mata pada
saat mata tidak berkedip. Volume berkurang menjadi 10 mikroliter ketika mata
berkedip. Oleh karena itu, kelebihan volume yang diberikan baik tumpahan atau
kecepatan saluran dari mata ke saluran nasokrimal dengan absorpsi ke dalam
sirkulasi sistemik. Drainase dari larutan yang diberikan jauh dari mata adalah
penyebab hilangnya obat dan karenanya mempengaruhi aktivitas biologis obat pada
mata. Kecepatan drainase berhubungan dengan volume larutan obat yang diberikan
dan peningkatan seiring dengan meningkatnya volume. Kecepatan drainase dari
volume yang diberikan meningkatkan kecepatan sebanding dengan volume cairan
pada mata lebih dari volume normal lakrimal. Kecepatan drainase 100 kali lebih
cepat dari kecepatan absorpsi (Malhorta and Majumdar, 2001).
3. Pengikatan protein
Air mata umumnya mengandung 0.7% protein dan level protein meningkat dengan
adanya infeksi atau inflamasi. Tidak seperti darah, dimana kompleks protein-obat
berlanjut ke sirkulasi, air mata digantikan secara cepat jadimemindahkan kedua
bentuk bebas dan terikat dari obat (Malhorta and Majumdar, 2001).
4. Absorpsi obat tidak produktif
Setelah pemberian, obat diabsorpsi ke dalam kornea dan konjungtiva. Luas area
konjungtiva 17 kali dari luas kornea dengan 2-30 kali permeabilitas yang lebih besar
terhadap banyak obat. Semua jaringan absorpsi yang lain dirasakan sebagai
kehilangan yang tidak produktif ketika target jaringan adalah bagian dalam mata
(Malhorta and Majumdar, 2001). b. Faktor Membran Faktor membran termasuk area

22
yang tersedia untuk absorpsi, ketebalan, porosity, dan tortuosity (sifat berliku-liku)
kornea dan kesimbangan lipofilik/hidrofilik. Kornea terdiri dari tiga lapisan yaitu
epithelium, stroma, dan endothelium (Malhorta and Majumdar, 2001).
 Epithelium
Studi permeabilitas pada kornea mengindikasikan lapisan paling luar dari
epithelium sebagai yang menentukan penilaian utama barrier (penghalang) untuk
penetrasi untuk obat larut air dan larut lemak. Karena epithelium larut lemak,
porositas yang rendah dan secara relatif tortuositas dan ketebalan tinggi, penetrasi
obat yang cepat harus memiliki koefisien partisi lebih dari 1 untuk mencapai
kecepatan penetrasi. Walaupun epithelium dan endothelium adalah lipofilik,
pengukuran permeabilitas air dari tiap lapisan mengindikasikan endothelium lebih
permeable 2.7 kali dari epithelium (Malhorta and Majumdar, 2001).
 Endhothelium
Penetrasi non elektrolit melalui endothelium terjadi secara utama melalui ruang
intraseluler (Malhorta and Majumdar, 2001).
 Stroma
Stroma pada dasarnya merupakan aseluler, hidrofilik, porositas tinggi, dan
tortuosity yang rendah tapi karena ini merupakan 90% dari ketebalan kornea,
stroma signifikan pada kontribusi keseuruhan terhadap resistensi. Epithelium
sebagai penentu penilaian barrier untuk senyawa hidrofilik dan stroma untuk
senyawa lipofilik. Ketika nilai absolut dibandingkan senyawa lipofilik ditemukan
memiliki koefisien permeabilitas yang lebih besar (Malhorta and Majumdar,
2001).
Penetrasi kornea dapat ditingkatkan dengan cara :
a. Penyesuaian keasaman sehingga pH sediaan memungkinkan untuk menghasilkan
partikel tidak terionisasi secara optimal.
b. Penggabungan peningkat absorbansi ke dalam komposisi sediaan.
c. Produksi prodrug atau pasangan ion. (Masteikova. Et al. 2004).
Karena dual kemampuan untuk mengakhiri aktivitas farmakologi obat
inheren aktif dan untuk mengubah obat aktif untuk menjadi gugus aktif mereka,
metabolisme obat di mata merupakan aspek aksi obat yang penting. Obat yang

23
mengalami degradasi secara oksidasi atau reduksi sedikit dimetabolisme di mata
dibandingkan dengan obat yang didegradasi secara hidrolisis (Malhorta and
Majumdar, 2001)
2. Faktor Fisiokimia
Faktor fisiokimia adalah penentu terbesar untuk difusi pasif melintasi kornea.
a. Koefisien partisi
Koefisien partisi adalah parameter untuk menentukan status yang cepat dari potensi
penetrasi obat ke membran biologis yang berbeda. Korelasi hubungan koefisien partisi
dengan permeabilitas membantu untuk mendesain obat-obat opthalmik yang
permeabilitasnya optimal. Obat yang hdirofilik (log koefisien partisi < 0), epithelium
memberikan persentase yang besae dari resistensi ke penetrasi kornea. Untuk obat
lipofilik dengan log koefisien partisi 1.6-2.5, stroma berkontribusi dengan persentase
yang signifikan terhadap resistensi. Keseimbangan lipofilik/hidrofilik yang optimal
pada struktur molekul dari penetrant harus dicapai untuk menghasilkan efek penetrasi
yang cepat melalui barrier lipofilik dan hidrofilik di kornea (Malhorta and Majumdar,
2001).
b. Kelarutan
Kecepatan penetrasi maksimum dicapai oleh permeating obat ke kornea adalah faktor
multiplikatif dari koefisien permeabilitas dan kelarutan air mata. Jika kelarutan obat
rendah, konsentrasinya pada lapisan air mata perkorneal mungkin dibatasi dan oleh
karena itu kecepatan absorpsi mungkin tidak cukup tinggi untuk mencapai konsentrasi
yang adekuat untuk aktivitas terapetik (Malhorta and Majumdar, 2001).
c. Konstanta Ionisasi
pKa dari obat-obat yang dapat terionisasi adalah faktor penting pada penetrasi korneal.
Derajat ionisasi mempengaruhi luas difusi yang melewati membran. Banyak obat-
obatan adalah asam dan basa lemah dan oleh karena itu sebagian terionisasi pada pH
fisiologis. Rata-rata pH air mata adalah 7.2 dan pKa dari obat sekitar 1 atau 2 dari nilai
tersebut, penetrasi kornea akan lebih karena proporsi yang besar dari dosis yang
diadministrasikan akan dalam bentuk tidak terionisasi. Bentuk ionisasi dari obat sedikit
larut lemak, jika fraksi ini terlalu besar, kecepatan penetrasi kornea mungkin tidak
cukup untuk menghasilkan efek terapeutik pada mata (Malhorta and Majumdar, 2001).

24
d. Berat Molekul
Berat molekul berhubungan dengan kekuatan difusional aktif selama permeasi korneal.
Untuk molekul kecil, koefisien difusi berhubungan terbalik dengan akar kuadrat dari
berat molekul. Molekul besar, koefisien difusi berhubungan terbalik dengan akar
pangkat tiga dari berat molekul. Perubahan berat molekul menunjukkan hubungan
terbalik terhadap permeabilitas (Malhorta and Majumdar, 2001).
e. Pengikatan Melanin
Kehadiran melanin dapat mengubah disposisi obat mata. Interaksi dengan pigmen ini
dapat mengubah ketersediaan obat bebas di tempat yang ditargetkan. Sehingga
pengikatan melanin akan menurunkan aktivitas farmakologis. Melanin dalam jaringan
okular terdapat pada uvea dan RPE. Melanin mengikat radikal bebas dan obat dengan
elektrostatik dan ikatan van der waals atau dengan transfer muatan sederhana. Dapat
disimpulkan bahwa semua obat lipofilik mengikat melanin. Obat yang terikat dengan
melanin biasanya tidak bisa berikatan dengan reseptor sehingga memerlukan pemberian
dosis yang lebih besar. Keberadaan melanin dalam koroid dan RPE mempengaruhi
tingkat penyerapan obat ke dalam retina dan vitreous transscleral atau pemberian obat
sistemik (Gaundana. Et al. 2010)
3. Faktor Formulasi
a) Konsentrasi
Peningkat penetrasi kornea bisa dicapai dengan peningkatan konsentrasi larutan obat,
untuk meningkatkan hasil terapi. Peningkatan konsentrasi akan menghasilkan larutan yang
hipertonis, yang berpotensi tidak nyaman dan bisa menginduksi peningkatan lakrimasi
yang bisa mempercepat kecepatan drainase dan mengurang persentase absorpsi (Malhorta
and Majumdar, 2011).
b) Tonisitas
Tonisitas adalah kemampuan larutan untuk memvariasikan ukuran dan bentuk sel dengan
mengubah jumlah air dalam sel. (James, 2008)

25
LARUTAN ISOTONIK

Larutan isotonik memiliki konsentrasi zat terlarut yang sama pada kedua sisi membran. Air
berpindah keluar masuk sel, tetapi tidak ada resultan pergerakan air. –bentuk sel tetap

LARUTAN HIPERTONIK

Pada laruran hipertonik, konsentrasi zat terlarut lebih pekat di luar sel daripada di dalam sel. Air
akan berpindah keluarsel ke larutan secara osmosis dan menyebabkan penciutan sel. –disebut
krenasi

LARURAN HIPOTONIK

Pada larutan hipotonik, konsentrasi zat terlarut lebih rendah di luar sel daripada di dalam sel. Air
akan masuk ke sel secara osmosis, menyebabkan pembengkakan sel dan sel pecah. –disebut
hemolisis

26
Tonisitas adalah istilah yang sering dipertukarkan dengan osmolaritas dan osmolalitas.
Sebenarnya, tonisitas menggambarkan efek dari larutan terhadap volume sel. Larutan isotonik
tidak mempunyai efek terhadap volume sel, sedangkan larutan hipotonik dan hipertonik akan
meningkatkan dan menurunkan volume sel.

Larutan dengan tekanan osmotic lebih rendah daripada cairan tubu(0,9% larutan NaCl)
disebut hipotonik. Sedangkan, larutan dengan tekanan osmotik yang lebih besar dari cairan
fisiologis disebut hipertonik.

Larutan hipertonik yang ditambahkan ke dalam system tubuh cendrung akan menarik air
dari jaringan tubuh dan membawanya ke dalam larutan, dalam usaha mengencerkan dan
membentuk keseimbangan konsentrasi. Suatu injeksi hipertonik dapat menyebabkan sel darah
menciut pada alirannya, pada mata larutan akan menarik air menuju tempat di mana larutan tadi
dikenakan. Sebaliknya, bila larutan hipotonik mungkin menimbulkan hemolisis sel darah merah,
atau lintasan air dari tempat pemakaian obat mata melalui jaringan pada mata.

Batas-batas isotonisitas suatu larutan untuk mata berupa natrium klorida atau
ekuivalensinya berkisar antara 0,6-2,0% tanpa rasa tidak nyaman pada mata. NaCl tidak dapat
dipakai untuk membentuk tekanan osmotic dalam larutan. Asam borat dengan konsentrasi 1,9%
membentuk tekanan osmotic yang sama dengan yang dibentuk oleh 0,9% NaCl. Semua zat
terlarut dalam larutan untuk mata, melarut termasuk bahan-bahan pembantu, bahan aktif dan
penunjang tekanan osmotic dari larutan. (Ansel,1989). Contoh larutan Isotonik : Atropin Sulfat,
asam borat, klorobutanol (hidrat), dan lainnya.

3. Surfaktan (Surface Active Agent)


Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus
lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.
Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda
dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik)
dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul
surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan
surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air,
membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai
hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak.

27
Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang,
sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. (Jatmika, 1998)

Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat golongan yaitu:

 Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat asam
lemak rantai panjang.
 Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation.
Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium dan
garam alkil dimethil benzil ammonium.
 Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam
lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina,
dialkanol amina dan alkil amina oksida.
 Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif dan
negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain.
Sediaan optalmik menggunakan surfaktan nonionic
 Surfaktan nonionic
Lebih banyak dipilih karena resiko toksiknya rendah. Jumlah surfaktan yang digunakan
dalam formulasi harus ditentukan dengan baik karena jika jumlahnya terlalu banyak
akan menyebabkan iritasi, akan terjadi foming selama proses manufaktur dan saat
produk dikocok, dan terjadi interaksi dengan eksipien lain. Contoh: ester gliserin asam
lemak, ester sorbiton asam lemak, ester sukrosa asam lemak. Penambahan surfaktan
dalam formula akan menambah kecepatan pelarutan bahan obatnya.
Sifat dari surfaktan adalah menambah kelarutan senyawa organic dalam system
berair, hal ini dikarenakan adanya efek pembahasan dan solubilisasi senyawa dalam
misel dari surfaktan.
Faktor yang mempengaruhi efektivitas surfaktan dalam membantu pelarutan
obat dalam media air :
a. Struktur surfaktan : makin besar bagian hidrofobik dari surfaktan , maka makin besar
pengaruhnya tehadap kelarutan obat dalam air

28
b. Suhu : pelarutan meningkat dengan kenaikan suhu
c. Elektrolit
d. Senyawa organik

4. Ukuran partikel
Peningkatan ukuran partikel pada suspensions ophthalmic akan meningkatkan
bioavaibilitas. Kekurangan: pada ukuran partikel > 10 µm(diameter) menyebabkan rasa tidak
nyaman dan peningkatan sekresi air mata. (Lorenzo et al, 2006 ; Ali et al, 2006; Wilson et al,
2001).
a. Mikroemulsi
Mikroemulsi adalah disperse air dan minyak yang difasilitasi oleh kombinasi oleh
surfaktan dan kosurfaktan dengan cara mengurangi tegangan antar muka. Ditandai dengan
stabilitas termodinamika yang tinggi, ukuran tetesan kecil(sekitar 100nm) dan penampilan yang
jelas. Penampilan transaparan, ukuran berkisar dari 100-1000 angstrom. Dimanfaatkan untuk
meningkatkan peresapan dikornea. Formulasi ini memberikan pelepasan obat diperpanjang
sehingga mengurangi frekuensi pemberian obat.
b. Nanosuspensi
Didefinisikan sebagai koloid submicron yang kelarutannya buruk tergantung dari media
disperse dan dapat distabilkan oleh surfaktan. Nanosuspensi terdiri dari pembawa koloid seperti
resin polimer yang inert di alam. Di gunakan untuk membantu meningkatkan kelarutan obat dan
juga bioavaibilitasnya. Tidak seperti mikroemulsi, nanosuspensi ini non iritasi.
c. Nanopartikel
Didefinisikan sebagai partikel dengan diameter kurang dari 1 µm terdiri dari
biodegradable atau non polimer terurai secara hayati, lipid, fosfolipid atau logam. Penyerapan
dan distribusi nanopartikel tergantung pada ukurannya.
5. Bentuk sediaan
a. Larutan
Larutan yang steril ditujukan untuk mata. Selain steril, preparat tersebut memerlukan
kewaspadaan seperti agen antimikroba, osmolaritas, buffer, viskositas, dan kemasan yang tepat.
Waktu kontak larutan ophtalmik topical meningkat dengan formulasi viskositas hingga 20 cp
(sentipose). Kenaikan lebih lanjut mengakibatkan robek dan reflex berkedip untuk mendapatkan
kembali viskositas asli dari cairan lakrimal (1,05-5,97 cp). Poli sintesis, seperti polivinil

29
alcohol(PVA), polivinil pirolidon(PVP), polietilen glikol(PEG), asam poliakrilat(PAA) dan
turunan selulosa bias digunakan sebagai peningkat viskositas karena kompatibilitas fisiologis dan
sifat fisikokimia yang memuaskan.
b. Suspensi Obat mata
Suspensi obat mata digunakan lebih sedikit daripada larutan. Suspense optalmik
digunakan untuk meningkatkan waktu kontak kornea sehingga memberikan kerja lepas lambat
yang lebih lama. Suspensi di perlukan ketika bahan aktif tidak larut dalam pembawa yang
diinginkan atau tidak stabil dalam bentuk larutan.
Suspensi obat mata harus mempunyai cirri-ciri sterilitas yang sama yang dimiliki oleh
larutan yaitu terhadap pengawetan, isotonisitas, pendaparan, viskositas dan pengemasan.
Suspense obat mata harus mempunyai kualitas sedemikian rupa, sehingga partikel yang
disuspensikan tidak menggumpal menjadi satu jika disimpan. Suspensi harus dikocok sebelum
dipakai dan partikel-partikelnya harus menyebar merata ke seluruh pembawa. Suspensi untuk
mata dikemas dalam wadah dengan jenis penetes yang sama dengan yang dipakai pada larutan
untuk mata.
Contoh : suspense steril untuk mata Tetrasiklin HCl 1% dalam plastibase 50W dan
minyak mineral ringan, Suspensi untuk Mata Deksametason untuk permukaan mata dari
adrenokortikal steroid deksametason(0,1%), Suspensi steril untuk Mata Prednisolon Asetat dan
Sulfasetamid Natrium digunakan bila kombinasi zat antiinflamasi dan antiinfeksi dianggap perlu.
c. Salep Mata
Dasar salep untuk salep mata harus tidak mengiritasi mata dan harus memungkinkan
difusi bahan obat ke seluruh mata yang dibasahi karena sekresi cairan mata. Dasar salep harus
bertitik lebur mendekati suhu tubuh. Contoh dasar salep mata yaitu: sampuran dari petrolatum
dan cairan petrolatum(minyak mineral). Keuntungan utama suatu salep untuk mata adalah
penambah waktu hubungan antara obat dengan mata. Waktu kontak antara obat dengan mata,
dua sampai empat Makalah Biofarmasetika dan Farmakokinetika I 19 Biofarmasi Sediaan Obat
yang Diberikan Secara Opthalmik kali lebih besar dipakai salep dibandingkan jika dipakai
larutan garam. Kekurangan adalah kaburnya pandangan yang terjadi begitu dasar salep meleleh
dan menyebar melalui lensa mata. Contoh: salep Mata Atropin Sulfat, Salep Mata
Kloramfenikol, salep Mata Klortetrasiklin HCl, salep mata deksametason Na Fosfat, dan lainnya.
d. Emulsi

30
Umumnya dibuat dengan melarutkan atau mendispersikan bahan aktif ke dalam fase
minyak, menambah emulsifying yang cocok. Setiap fase biasanya disterilkan sebelum atau
selama pengisian ke wadah. Bentuk sediaan yang dihasilkan harus mengandung tetesan minyak
kecil dan seragam. Kelarutan air yang terbatas dari zat obat adalah alasan untuk mengmbangjan
emulsi mata. Zat obat ditambahkan ke tahap di mana ia dapat larut pada awal proses manukatur,
atau ditambahkan setelah emulsi dibuat dengan proses disperse yang cocok.
e. Gel
Terdiri dari polimer mukoadhesif untuk mata. Polimer ini memperpanjang waktu kontak
obat dengan jaringan biologi sehingga meningkatkan bioavaibilitas ocular. Polimer memainkan
peran penting dalam kinetika pelepasan obat dari bentuk sediaan. Contoh: karboksimetilselulosa,
karbopol, polycarbophil, dan natrium alginate.
f. Sisipan pada Mata (Ophthaalmic Inserts)
Suatu macam alat dengan system OCUSERT (Alza Pharmaceuticals). Unit inserts
dirancang supaya siap melepaskan jumlah obat yang telah ditetapkan dan diperhitungkan
sebelumnya, sehingga kemungkinan pengurangan pemakaian dosis oleh sipasien, menjamin
pengobatan waktu malam, dan menyajikan cara yang lebih dapat di terima oleh pasien.
6. Sterilisasi dan Penggunaan Pengawet
Sediaan optalmik harus steril dan bila mungkin ditambahkan pengawet yang cocok untuk
menjamin sterilitas selama pemakaian. Larutan untuk mata yang dimaksudkan untuk digunakan
selama operasi atau pada mata yang terkena trauma, umumnya tidak mengandung bahan
pengawet, karena hal ini menyebabkan iritasi pada jaringan di dalam mata. Larutan ini biasanya
dikemas dalam wadah untuk dosis tunggal dan semua larutan yang tidak dipakai harus dibuang.
(Ansel,H. 1989).
Larutan untuk mata disterilkan dengan uap air mengalir dalam otoklaf. Metode ini mahal,
memakan waktu dan boros. Cara lain, yaitu metode saringan bakteri. Saringan bakteri digunakan
untuk menghindari pemakaian panas. Sterilisasi dengan saringan bakteri tidak dapat menjamin
seperti otoklaf. Sterilisasi dengan filtrasi , pembuatan larutan steril dengan melewatkan melalui
syringe tetap dengan penyaring mikroba(atas bantuan Millipore Corporation). Cara lain , yaitu
Menambahkan zat kimia obat untuk menghilangkan kuman yg dimasukkan kedalam air destilasi
yg mendidih atau botol pada air destilasi steril yg komersial atau larutan isotonik yg mengandung
garam atau dididihkan atau larutan baffer steril. Pengawet yang digunakan harus kompatibel

31
dengan zat aktif dan zat tambahan yang lain.

Jenis pengawet yang biasa digunakan: Klorbutanol 0,5% , Benzalkonium klorida 0,013%,
Benzetonium klorida 0,01%, fenilmerkuri asetat 0,004%, fenilmerkuri nitrat 0,004%, timerosal
0,01%. (Ansel,1989).
Syarat pengawet dalam sediaan optalmik:
a. Harus efektif
b. Tidak berinteraksi dengan bahan aktif atau bahan pembantu lainnya
c. Tidak iritan terhadap mata
d. Tidak toksik (Ansel,1989)
7. Pendaparan (pH)
Dapar mungkin digunakan dalam suatu larutan untuk mata karena salah satu atau semua
alasan, yaitu: 1. untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien, 2. Untuk menjamin kestabilan obat,
3. Untuk mengawasi aktivitas terapeutik bahan obat. (Ansel,1989)
pH air mata normal 7,4 memiliki suatu kemampuan dapar. Pemakaian suatu larutan yang
mengandung obat pada mata merangsang aliran air mata mencoba menetralkan setiap kelebihan
ion hydrogen atau hidroksil yang dikenakan pada mata bersama larutan. Kebanyakan obat yang
digunakan untuk mata seperti garam-garam alkaloid adalah asam lemah dan kemampuan
daparnya juga lemah. Kerja mendapar air mata mampu menetralkan larutan untuk mata, dengan
demikian dapat mencegah tanda-tanda ketidaknyamanan. (Ansel,1989).
Beberapa obat seperti pilokarpin hidroklorida dan epineprin barbiturat sangat bersifat
asam dan melemahkan sapar dari cairan mata. Untuk kenyamanan, suatu larutan mata harus
mempunyai pH yang sama dengan pH cairan mata. USP menyediakan formula-formula untuk
pembuatan larutan dapar, yaitu: Ansel,1989)
a. Pembawa Asam Borat.
pH dibawah 5,0. Dibuat dengan melarutkan 1,9 gr asam borat ke dalam air yang sukup
untuk mendapatkan 100 mL larutan. Pembawa ini cocok untuk garam yang larut dalam air dari
zat obat: benoksinat, kokain, dibukain, fenilefrin, pilokarpin, piperokain, prokain, proparakain,
tetrakain, dan seng.
b. Pembawa Fosfat Isotonik

32
Pembawa ini disesuaikan untuk tonisitas dan pH berkisar antara 5,9-8,0. Dibuat dengan
menggunakan dua larutan persediaan, satu mengandung 8,0 gr mononatrium difosfat(NaHPO4)/
L dan lainnya mengandung 9,47 gr dinatrium monofosfat(Na2HPO4)/L, sedangkan beratnya
sebagai anhidrat.
8. Agen peningkat viskositas
Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida.
Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir.
Cairan yang mengalir cepat memiliki nilai viskositas kecil. Cairan yang mengalir lambat,
viskositasnya besar. Jadi viskositas tidak lain menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan.
Agen peningkat viskositas digunakan untuk memperpanjang kontak waktu mata,
sehingga mengurangi tingkat pengeringan dan meningkatkan bioavaibilitas obat. Manfaat
lainnya dari bahan pengental yaitu efek pelumas. Untuk mengetahui viskositas di uji dengan
metode viskometer kapiler, metode rotasi Rheometer dan viscometer rolling ball.
Untuk menaikkan viskositas ditambahkan metilselulosa sehingga menambah efektivitas
terapinya. Pada umumnya, meltilselulosa tipe 4000 cps viskositas dipergunakan dalam
konsentrasi 0,25%, dan tipe 25 cps pada konsentrasi 1%. Hidroksipropil metilselulosa dan
pilovinil alcohol digunakan sebagai pengental pada larutan untuk mata. Kadang-kadang larutan
metilseluloasa 1% tanpa obat dipakai sebagai pengganti air mata. Viskositas untuk sediaan mata
berkisar 15-25 cp. (Ansel,1989) Polimer sintesis peningkat viskositas:
a. Polivinilalkohol (PVA)
b. Polivinilpirolidin (PVP)
c. Polietilen glikol (PEG)
d. Asam poliakrilat (PAA)
9. Waktu kontak (tipe Eye Ophthalmic solution)
Waktu kontak - Kornea optimal pada viskositas formula 20(eP). Kenaikan viskositas
selanjutnya: Reflex mengeluarkan air mata dan berkedip untuk mendapatkan kembali viskositas
asli dari cairan lakrimal(1,05-5,97 ep).
Peningkatan viskositas yang sesuai akan meningkatkan waktu kontak, bioavaibilitas
tinggi dan dosis obat terpenuhi, efek obat lebih tahan lama, frekuensi pemberian obat dapat
direduksi, sehingga kenyamanan dalam pengobatan akan tercapai.
8. Evaluasi Sediaan Opthalmic

33
Prosedur dan kriteria penerimaan untuk menguji sediaan ophtalmik dibagi menjadi dua kategori:
1. Tes Kualitas Produk Obat (Tes Universal)
a. Deskripsi
Penjelasan kualitatif dari produk obat merupakan bagian dari spesifikasi pembuatan
produk. Kriteria penerimaan harus berisi ; penampilan akhir yang diterima, termasuk kejernihan
dan warna, bentuk sediaan, dan kemasan. Jika ada perubahan warna selama penyimpanan,
Mungkin diperlukan prosedur kuantitatif.
b. Identifikasi
Tes Identifikasi harus menentukan identitas obat atau obat yang ada dalam produk obat
dan harus dapat membedakan antara senyawa struktur terkait dengan yang kemungkinan akan
ada. Tes identitas harus spesifik untuk bahan obat (misalnya, spektroskopi inframerah). Prosedur
identifikasi yang paling sering digunakan untuk bahan obat yang terkandung dalam bentuk
sediaan farmasi adalah dengan menggunakan kromatografi dengan perbandingan dengan standar
yang sesuai.
c. Assay
Sebuah tes yang menunjukkan spesifik dan stabilitas harus digunakan untuk menentukan
kekuatan (content) dari produk obat. Misal dalam kasus ketika penggunaan tes nonspesifik-assay
dibenarkan, prosedur analitis pendukung lainnya harus digunakan untuk mencapai spesifisitas
keseluruhan. Sebuah prosedur spesifik harus digunakan bila ada bukti terdapat gangguan
eksipien dengan uji assay spesifik.
d. Ketidakjernihan
Proses ketidakjernihan, sintetis dengan produk, dan anorganik & organic tak jernih
lainnya mungkin ada dalam zat obat dan eksipien yang digunakan dalam pembuatan produk obat.
Ketidakjernihan ini dikendalikan oleh zat obat dan eksipien monograf kompendial. Kotoran
organik yang berasal dari degradasi zat obat dalam produk obat dan yang timbul selama proses
pembuatan produk obat harus dipantau.
e. pH
pH dan kapasitas dapar sediaan ophthalmic dapat berefek dengan keawetan sediaan,
karena stabilitas yang paling umum digunakan obat tetes mata sebagian besar dikendalikan oleh
pH lingkungan. Selain efek stabilitas, pH penyesuaian dapat mempengaruhi kenyamanan,
keamanan, dan aktivitas dari produk. Iritasi mata biasanya disertai dengan peningkatan sekresi

34
cairan air mata sebagai mekanisme pertahanan untuk mengembalikan kondisi fisiologis normal.
Oleh karena itu, di samping ketidaknyamanan, produk yang menghasilkan iritasi akan cenderung
terbilas dari mata, dan karenanya kerugian lebih besar dari obat dapat terjadi dengan
kemungkinan pengurangan respon terapi.
Air mata normal memiliki pH sekitar 7,4, tetapi bervariasi; misalnya, air mata yang lebih
asam pada pemakai lensa kontak. Air mata memiliki beberapa kapasitas buffer. Masuknya
produk obat ke dalam mata merangsang aliran air mata, yang menetralisir hidrogen atau ion
hidroksil berlebih dimasukkan. Larutan hyperosmotic intraokular dapat menimbulkan beberapa
pengeringan sementara pada jaringan ruang anterior sedangkan larutan hipotonik intraokuler
dapat menyebabkan edema yang dapat menyebabkan kornea berkabut.
Biasanya, tindakan penyangga dari air mata yang mampu menetralkan produk topikal
yang diaplikasikan dan dengan demikian mampu mencegah ketidaknyamanan. Untuk
kenyamanan maksimal, sediaan ophthalmic harus memiliki pH yang sama dengan cairan
lacrimalis. Namun, hal ini tidak memungkinkan secara farmasi karena pada pH 7,4 banyak obat
yang tidak larut dalam air. pH yang memungkinkan aktivitas terbesar juga mungkin terjadi pada
pH di mana obat ini paling tidak stabil. Untuk alasan ini maka dibutuhkan buffer, Jika buffer
digunakan, kapasitas obat tersebut dikendalikan menjadi serendah mungkin, sehingga
memungkinkan air mata untuk membawa pH mata kembali ke kisaran fisiologis. Efek buffer
pada tonisitas juga harus diperhitungkan dan menjadi alasan lain bahwa produk ophthalmic
biasanya hanya menggunakan buffer ringan.
f. Osmolaritas
Dalam memformulasikan sediaan ophthalmic , sangat penting untuk mempertimbangkan
sterilitas, stabilitas, dan pengawet, namun tidak membahayakan untuk memperoleh larutan tepat
isotonik.
g. Partikulat dan Benda asing
Partikel dapat berasal dari bahan baku serta pecahan kaca yang dihasilkan dari pemutusan
gelas ampul. Semua sediaan ophthalmic termasuk larutan, suspensi, emulsi dan implan yang
dimaksudkan untuk injeksi ophthalmic harus diperiksa sedapat mungkin untuk diamati
keberadaan benda asing dan partikulat.
Sediaan Ophthalmic, termasuk larutan, suspensi, emulsi dan implan, serta
pengemasannya harus dikembangkan dan diproduksi dengan cara yang dirancang khusus untuk

35
menyingkirkan materi partikulat asing yang terlihat dan untuk meminimalkan kandungan
partikulat asing yang tak terlihat. Wadah untuk penggunaan ophthalmic harus dievaluasi untuk
kebersihan dan terbukti bebas dari partikel keras seperti logam atau kaca.
h. Sterilitas dan pengawet antimikrob
Setiap produk ophthalmic harus diproduksi dalam kondisi tervalidasi untuk membuat itu
steril dalam wadah akhir untuk masa penyimpanan produk. Semua sediaan ophthalmic harus
steril ketika disalurkan, dan bila memungkinkan, bahan pengawet yang sesuai harus ditambahkan
untuk memastikan sterilitas selama digunakan.
Sediaan Ophthalmic yang dimaksudkan untuk digunakan selama operasi atau dalam mata
yang mengalami trauma umumnya tidak mengandung bahan pengawet karena dapat mengiritasi
jaringan dalam mata. Sediaan ini biasanya dikemas dalam wadah dosis tunggal dan bahan yang
tidak terpakai akan dibuang.
Prosedur sterilisasi yang digunakan akan tergantung pada sifat dari bentuk sediaan.
Metode yang paling banyak digunakan untuk mencapai produk steril adalah: sterilisasi uap
(autoklaf), sterilisasi panas kering, sterilisasi gas, sterilisasi dengan radiasi pengion, sterilisasi
dengan penyaringan, dan pengolahan aseptik.
Kombinasi dari dua atau lebih dari enam metode ini secara rutin digunakan untuk produk
ophthalmic yang dikemas dalam wadah plastik. Meskipun lebih baik untuk mensterilkan
ophthalmics dalam wadah akhir mereka dengan autoklaf, metode ini dapat mengahalangi
ketidakstabilan termal dari formulasi. Sebagai alternatif, prosedur sterilisasi lain seperti filter
bakteri atau radiasi dapat digunakan, asalkan kompatibilitasnya dengan formulasinya telah
diteliti.
i. Bakteri Endotoksin
Semua produk obat ophthalmic injeksi harus dipersiapkan dengan cara yang dirancang
untuk meminimalkan endotoksin bakteri
j. Keseragaman Unit Dosis
Tes ini berlaku untuk bentuk sediaan yang dikemas dalam satu unit kontainer.
Keseragaman unit dosis biasanya ditunjukkan oleh salah satu dari dua prosedur: keseragaman
konten atau variasi berat
k. Tempat penyimpanan

36
Bentuk sediaan semipadat seperti salep, lotion, krim, dan emulsi dapat menunjukkan
pemisahan fisik selama proses manufaktur dan / atau selama masa penyimpanan. Untuk
memastikan integritas dari produk obat, adalah penting untuk mengevaluasi keseragaman produk
jadi selama umur simpan yang ditetapkan. Selain itu kemasan harus ditutup atau disegel
sedemikian rupa untuk mencegah kontaminasi atau hilangnya isi. Validasi integritas wadah harus
menunjukkan tidak ada penetrasi dari kontaminasi mikroba atau kotoran kimia atau fisik.
2. Pengujian Kualitas Produk Obat (Tes Spesifik)
a. Viskositas
Dalam pembuatan larutan ophthalmic sering ditambahkan zat pengental yang sesuai
untuk meningkatkan viskositas. Meskipun mengurangi tegangan permukaan secara signifikan,
namun manfaat utamanya adalah untuk meningkatkan waktu kontak pada mata, sehingga
mengurangi tingkat drainase dan meningkatkan bioavailabilitas obat. Manfaat sekunder sebagian
besar zat pengental adalah efek lubrican. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa
meningkatkan viskositas produk ophthalmic akan meningkatkan waktu kontak dan efek
farmakologis, tapi ada sebuah tahapan yang tercapai setelah kenaikan lebih lanjut dalam
viskositas menghasilkan hanya sedikit atau tidak ada peningkatan efek. Letak tahapan tersebut
pada obat dan tergantung formulasi. Viskositas untuk larutan ophthalmic dianggap optimal di
kisaran 15-25 cp
b. Content dari Antioksidant
Stabilisator adalah bahan yang ditambahkan ke formulasi untuk menurunkan laju
dekomposisi obat yang ada dalam produk. Antioksidan adalah stabilisator utama yang
ditambahkan ke dalam beberapa produk ophthalmic, terutama yang mengandung epinefrin dan
obat oxidizable lainnya. Jika antioksidan terdapat dalam produk obat, tes untuk jumlah konten
harus dibuat kecuali degradasi oksidatif dapat dideteksi dengan metode tes yang lain seperti tes
pengotor. Kriteria penerimaan kadar antioksidan harus dibuat. Hal ini harus didasarkan pada
tingkat antioksidan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas produk pada semua tahap selama
penggunaan yang diusulkan dan umur simpan.
c. Kemampuan resuspensi / redispersi
Sebuah aspek penting dari setiap suspensi adalah kemampuan untuk resuspensi partikel
dengan mudah sebelum dipakaikan di mata dan memastikan dosis seragam tersampaikan.

37
Kemampuan resuspensi / redispersi suspensi pun harus dievaluasi di selama umur simpan
produk.
d. Ukuran partikel dan ukuran partikel terdistribusi
Potensi untuk setiap perubahan ukuran partikel suspensi oftalmik dan emulsi perlu
dievaluasi melalui pengujian stabilitas.
e. Ukuran tetesan
Volume tetesan tergantung pada sifat fisikokimia formulasi, khususnya tegangan
permukaan, desain dan geometri lubang pengeluaran, dan sudut di mana lubang pengeluaran
dalam kaitannya dengan permukaan yang menerima tetesan tersebut (dalam hal ini, mata).
Kontrol manufaktur harus dilakukan untuk memberikan ukuran tetesan yang seragam di selama
umur simpan produk. Ukuran drop biasanya bisa berkisar 20-70 µL.
f. Penambahan Bahan
Sensitivitas jaringan intraokular menempatkan pembatasan tertentu pada bentuk sediaan
intraokular. Secara umum, sediaan yang menggabungkan bahan-bahan yang lebih sedikit dalam
larutan yang seimbang akan memiliki lebih sedikit kemungkinan inkompatibilitas jaringan.
Pemilihan bahan aktif tertentu dan konsentrasi didasarkan bukan hanya pada kompatibilitas fisik
dan kimia tetapi juga pada biokompatibilitas dengan jaringan ocular.
Beberapa agen yang biasa digunakan dalam obat topikal okular hanya dapat digunakan
secukupnya atau tidak sama sekali untuk penggunaan intraokular, serta pH dan kapasitas
penyangga harus diperhitungkan.
Zat penstabil obat seperti antioksidan dan agen pengkhelat harus digunakan dengan hati-
hati dan harus digunakan dalam jumlah yang benar-benar minim hanya bila diperlukan.
Penggunaan surfaktan sangat dibatasi dalam memformulasikan produk ophthalmic. Penggunaan
bahan-bahan yang tidak perlu harus dihindari, dan penggunaan bahan-bahan semata-mata untuk
memberikan warna, bau, atau rasa adalah dilarang.

38
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Faktor yang mempengaruhi proses LDA obat pada pemberian secara perkutan:
Penyerapan absorbsi ;
- Lokalisasi Sawar (Barrier)
- Jalur Penembusan (Absorbsi)
- Penahanan Dalam Struktur Permukaan Kulit dan Penyerapan Perkutan
Faktor fisiologik yang mempengaruhi penyerapan perkutan

39
- Keadaan dan Umur Kulit
- Aliran Darah
- Tempat pengolesan
- Kelembaban dan Temperatur
Evaluasi ketersediaan hayati obat yang diberikan melalui kulit :
Studi difusi in vitro
Studi penyerapan (absorbsi)
Pembuktian Mekanisme Absorpsi Perkutan Dari Sifat Fisiko Kimia.
Salah satu alat indera pada manusia adalah mata atau indera penglihatan , yang disebut
juga dengan fotoreseptor karena mampu menerima rangsangan fisik yang berupa cahaya. Ada 3
lapisan jaringan atu selaput yang membungkus bola mata dari luar kedalam yaitu sklera , koroid ,
dan retina. Pada mata juga terdapat alat-alat tambahan yaitu otot-oto mata , pelupuk-pelupuk
mata dan kelenjar air mata , kotak mata ( rongga tempat mata ) & bulu mata.
B. SARAN
Kami merasa peda makalah kami banyak kekurangan , karena kurangnya referensi dan
pengetahuan saat pembuatan makalah ini, kami sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun pada pembaca agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
Demikian makalah ini kami buat untuk menambah pengetahuan dan informasi yang benar guna
mendapatkan apresiasi yang bisa digunakan untuk perbaikan demi kepentingan bersama, sekian
dan terima kasih.

DAFTAR PUSKATA

Shai, A., dkk., 2009, Handbook Of Skin Care, Second Edition, Replika Press Pvt Ltd, India.
Swastika A. Et. Mufrod., 2013, Jurnal : Antioxidant Activity Of Cream Dosage Form Of Tomato
Ekstrak (Solanum Lycopersicum L.), Universitas Gadjah Madah Mada, Yogyakarta
Prof Dr Raven P , H.Blumenthal Louise.2007.Atlas anatomi. Jakarta : Djambatan
www.google.com//indera penglihat
http://blog.Ruangguru.com. Klasifikasi Mata. Kresnoadi, januari, 2018.
http://rumus.co.id. Bagian-bagian-mata. Ulia Kumalasari, desember,2019.

40
www.gurupendidikan.co.id. Mata manusia, bagian-bagian mata dan fungsi, Aris Kurniawan,
2020
Ansel,H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi keempat. Penerjemah: farida Ibrahim.
Jakarta : UI-Press. Hal 541-557.
Ansel HC- Introduction to Pharmaceutical dosage form. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger,
1985 : 321-336.
Dale S. Aldrich, dkk. 2013. Ophthalmic Preparations. Vol 39.
Gaudana, Ripal. Et al. The American Association of Pharmaceutical Scientist Journal. Ocular
Drug Delivery. Vol 12. No. 3. September 2010.
James, Joyce. dkk. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta: Erlangga Medical
Series.
Lorenzo CA, Hiratani H, Concherio A. Contact lens for drug delivery. Achieving sustained
release with novel systems. Am J Drug Deliv. 2006; 4(3): 131-151. 1: 329-354.
Malhorta, Manjusha and D. K. Majumdar. Indian Journal of Experimental Biology. Permeation
Through Cornea. Vol. 39. January 2001, pp. 11-24.
Michael J. Hogan, M.D. 1949. The Preparation and Sterilization of Ophthalmic Solution. Vol 71.
San Francisco.
R, Masteikova. Et al. Biological Availbility of Opthalmic Drugs. 1. Increasing Drug
Permeability in The Cornea.2004. Mar;53(2):73-9.
Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : EGC

41

Anda mungkin juga menyukai