Anda di halaman 1dari 116

GAMBARAN POLA KOMUNIKASI GURU PADA

ANAK TUNA GRAHITA SEDANG DI SLB


KOTA BUKITTINGGI

SKRIPSI

Diajukan Sebagai
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Keperawatan

Oleh :
MUTIA SEPTI AFLIS
Nim: 1614201060

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN & PENDIDIKAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
FORT DE KOCK BUKITTINGGI
TAHUN 2020

1
UNIVERSITAS FORT DE KOCK BUKITTINGGI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PENDIDIKAN NERS
Skripsi, Mei 2020

Mutia Septi Aflis

Gambaran Pola Komunikasi Guru Pada Anak Tuna Grahita Sedang di SLB
Kota Bukittinggi

Vi + 6 BAB, 92 halaman, 4 tabel, 7 skema, 9 lampiran

ABSTRAK

Anak tuna grahita adalah anak yang memiliki intelegensi yang berada dibawah
rata-rata yang disertai dengan hambatan dalam perkembangan seperti,
ketidakmampuan dalam berkomunikasi. Maka dari itu, anak mendapat
pembelajaran di sekolah luar biasa, dimana guru mengajar dengan melakukan
komunikasi per anak atau individu. Jumlah murid tuna grahita sedang di SLB
Karakter Mandiri sebanyak 15 orang. Dimana SLB Karakter Mandiri menempati
urutan ke 3 dengan jumlah murid tuna grahita terbanyak. Tujuan penelitian ini
untuk mengeksplorasi bagaimana pola komunikasi guru pada anak tuna grahita
sedang. Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan
pennelitian diambil secara purposive sampling yang berjumlah 6 orang guru SLB
yang khusus mengajar anak tuna grahita di SLB Karakter Mandiri. Data diolah
dan dianalisi menggunakan metode Creswell. Hasil penelitian lahirlah beberapa
tema yaitu, menggunakan komunikasi verbal, menggunakan komunikasi non
verbal, kurangnya partisipasi orang tua dalam mendidik anak tuna grahita,
menggunakan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi,
meningkatkan kemampuan bina diri anak tuna grahita, koping guru terhadap anak.
Dapat disimpulkan bahwa guru sudah menggunakan komunikasi yang baik pada
anak tuna grahita yaitu dengan menggunakan komunikasi antar pribadi.
Diharapkan guru dapat mempertahankan dan meningkatkan komunikasi yang baik
dengan anak agar adanya feedback dan pesan dapat tersampaikan pada anak tuna
grahita.

Daftar Bacaan : 36
Kata kunci : Pola Komunikasi Guru

2
FORT DE KOCK UNIVERSITY BUKITTINGGI
NURSING AND NURSE PROFESSION EDUCATION PROGRAM
RESEARCH, MAY 2020

Mutia Septi Alfis


Overview of Teacher Communication Patterns for Children with Mentally
Disabled While in Extraordinary School Bukittinggi City
Vi + 6 CHAPTER, 92 pages, 4 tables, 7 schematics, 9 attachments
ABSTRACT
Children with Mentally Disabled are children who have intelligence that is below
average accompanied by obstacles in development such as, inability to
communication. Therefore, children get learning in Extraordinary Schools, where
teachers teach by communicating per child or individual. The number of Mentally
Disabled students is currently at Karakter Mandiri Extraordinary School as many
as 15 people. Karakter Mandiri Extraordinary School ranks third with the highest
number of Mentally Disabled students. The purpose of this study is to explore
how the communication patterns of teachers in moderate mentally retarded
children. Qualitative research methods with a phenomenological approach. The
research informants were taken by purposive sampling, amounting to 6
Extraordinary School teachers who specifically teach mentally disabled children
in Karakter Mandiri Extraordinary School. Data were processed and analyzed
using the Creswell method. The results of the study found several themes, using
verbal communication, using non-verbal communication, lack of parental
participation in educating Mentally Disabled children, using interpersonal
communication or interpersonal communication, increasing the ability to
developmentally Mentally Disabled children, coping with teachers to children. It
can be concluded that the teacher has used good communication in Mentally
Disabled children by using interpersonal communication. It is hoped that teachers
can maintain and improve good communication with children with that feedback
and messages can be conveyed to Mentally Disabled children.
References : 36
Key Word : Teacher Communication Pattern.

3
KATA PENGANTAR

Assalamua´laikum Wr,Wb

Alhamdulillah, puji syukur ke-Hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta telah memberi nikmat kesehatan,

kekuatan, pikiran yang jernih dan keterbukaan hati, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan proposal yang berjudul “Gambaran Pola

Komunikasi Pengajar Pada Anak Tuna Grahita Sedang di SLB Kota

Bukittinggi”. Penulisan proposal ini merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi dalam rangka untuk menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar

Sarjana Keperawatan di STIKes Fort De Kock bukittinggi.

Dalam penulisan proposal ini penulis banyak mendapat bimbingan,

arahan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih yang tulus terutama kepada yang terhormat Ibu

Ns. Wenny Lazdia S.Kep, M.A.N, selaku pembimbing I dan Ibu Ns. Cory

Febrina, S.Kep, M.Kes, sebagai pembimbing II. Penulis juga mengucapkan

terimakasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Dr.Hj.Evi Hasnita S.Pd, Ns, M.Kes, selaku Rektor Universitas

Fort de Kock Bukittinggi

2. Ibu Oktavianis S.ST, M.Biomed selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Universitas Fort de Kock Bukittinggi

4i
3. IbuAria Wahyuni, M.Kep, Ns. Sp.Kep.MB, selaku ketua Program

Studi Keperawatan & Pendidikan Ners STIKes Fort De Kock

Bukittinggi.

4. Seluruh dosen Keperawatan Universitas Fort De Kock Bukittinggi

yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

5. Dan teristimewa dalam hidup penulis, papa dan mama tercinta telah

memberikan semua yang terbaik dalam hidupku, yang tak putus-

putusnya memanjatkan doa untuk semua terbaik dalam hidupku,

yang tak putus-putusnya memanjatkan doa untuk mengiringi setiap

langkahku, serta abang-abang ku tersayang yang telah memberikan

dorongan dan semangat sehingga selesainya skripsi ini.

6. Serta semua sahabat dan rekan-rekan yang senasib dan

seperjuangan yang tidak disebutkan lagi namanya satu persatu yang

telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

Selanjutnya walaupun penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik

mungkin, namun apabila terdapat kesalahan dan kekurangan, penulis

mengharapkan kritik serta saran yang membangun. Akhirnya kepada-Nya jualah

kita berserah diri, memohon memberi manfaat untuk kita semua.

Bukittinggi, April 2020

Penulis

5 ii
DAFTAR ISI

ABSTRAK
ABSTRACT
KATAPENGANTAR...................................................................................... I
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL........................................................................................... v
DAFTAR SKEMA.......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan masalah.................................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian................................................................................. 7
E. Ruang Lingkup...................................................................................... 8

BAB II TINJAUAN TEORI 9


A. Konsep Tuna Grahita............................................................................ 21
B. Konsep Komunikasi.............................................................................. 42
C. Konsep Pola Komunikasi...................................................................... 44
D. Kerangka Teori......................................................................................

BAB III METODE PENELITIAN 45


A. Jenis Penelitian...................................................................................... 45
B. Tempat Dan Waktu .............................................................................. 45
C. Partisipan Penelitian.............................................................................. 47
47
D. Instrumen Penelitian..............................................................................
48
E. TeknikPengumpulan Data..................................................................... 49
F. Reabilitas dan Validitas data................................................................ 51
G. Prosedur Pengumpulan Data................................................................. 53
H. Analisis Data......................................................................................... 54
I. Keabsahan Data....................................................................................
J. Etika Penelitian.................................................................................... 58
BAB IV HASIL PENELITIAN 59
A. Karakteristik partisipan.........................................................................
79
B. Analisis tema......................................................................................... 81
BAB V PEMBAHASAN 83
A. Tema 1: Menggunakan komunikasi verbal.......................................... 85
B. Tema 2:Menggunakan komunikasi non verbal.................................... 87
C. Tema 3: Kurangnya partisipasi orang tua dalam mendidik anak tuna 89
grahita..........................................................................................
D. Tema 4: Melakukan komunikasi interpersonal...................................
E. Tema 5: Meningkatkan kemampuan iii bina diri anak tuna grahita.......... 91

6
F. Tema 6: Koping guru terhadap anak tuna grahita............................... 92

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................
B. Saran................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii

DAFTAR TABEL

7
Nomor Tabel Halaman
2.1................................................................................................................. 10
2.2................................................................................................................. 10
2.3................................................................................................................. 11
2.4................................................................................................................. 12

DAFTAR SKEMA

8
Nomor Skema Halaman
2.1. Kerangka Teori.................................................................................. 44
4.1. Tema 1 : Menggunakan komunikasi verbal...................................... 59

4.2. Tema 2 : Menggunakan komunikasi non verbal............................... 63

4.3. Tema 3 : Kurangnya partisipasi orang tua dalam mendidik anak

tuna grahita.............................................................................................. 66

4.4. Tema 4 : Melakukan komunikasi interpersonal............................... 69

4.5. Tema 5 : Meningkatkan kemampuan bina diri anak tuna grahita..... 73

4.6. Tema 6 : Koping guru terhadap anak tuna grahita........................... 76

vi

DAFTAR LAMPIRAN

9
Lampiran 1 : Surat Izin Pengambilan Data Awal

Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 : Surat Persetujuan Etik

Lampiran 4 : Permohonan Menjadi Partisipan

Lampiran 5 : Surat Persetujuan Responden

Lampiran 6 : Data Demografi partisipan

Lampiran 7 : Pedoman Wawancara

Lampiran 8 : Pertanyaa Wawancara Mendalam

Lampiran 9 : Matriks Analisa Data

vii

10
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak tuna grahita adalah anak yang memiliki intelegensi yang berada

dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku

yang muncul dalam masa perkembangan. Anak tuna grahita atau dikenal juga

dengan istilah keterbelakangan mental (retardasi mental) karena memiliki

keterbatasan kecerdasan yang mengakibatkan dirinya sulit untuk mengikuti

program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak tuna

grahita mendapatkan pendidikan melalui program sekolah luar biasa (Laili,

2013).

Tuna grahita di bagi atas 4 bagian yaitu, tuna grahita ringan, tuna

grahita sedang, tuna grahita berat dan tuna grahita sangat berat. Tuna grahita

ringan memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar antara 50-69, tuna grahita

sedang memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar antara 35-49, tuna grahita

berat yaitu memiliki IQ 20-34, sedangkan tuna grahita sangat berat memiliki

IQ<20. Tuna grahita atau retardasi mental merupakan kondisi dimana

perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai

tahap perkembangan yang optimal. Dimana tahap perkembangan yang belum

optimal yaitu kognitif yang merupakan tahap perkembangan otak yang belum

maksimal dalam menerima proses pembelajaran, dan perkembangan

psikomotorik yang menyangkut keadaan fisik dan perilaku dari anak tuna

grahita sedang (Adhityanto, 2018).

1
Menurut Bank Dunia dan badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2014,

tercatat sebanyak 785 juta orang mengalami gangguan mental dan fisik.

Tunagrahita merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama

pada negara-negara berkembang. Menurut PBB, hingga tahun 2000

diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia mengalami kecacatan dan 80%

dijumpai di negara-negara berkembang dan hidup di bawah garis kemiskinan

Sejalan dengan penghitungan WHO, diperkirakan sekitar 10% dari

penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Menurut data dari Inklusi

Penyandang Disabilitas pada tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah

tunagrahita di Indonesia sebanyak 1.389.614 jiwa (Arivai, 2017).

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat tahun

2015, di Kota Padang terdapat 36 Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan 2 SLB

milik pemerintah dan 34 milik swasta dengan jumlah anak 1535 orang. Jumlah

anak tuna grahita menduduki peringkat pertama diantara anak – anak

berkebutuhan khusus lainnya dengan jumlah anak yaitu 1001 orang (Gustiva,

2016).

Menurut data Dinas Pendidikan Wilayah I Kota Bukittinggi tahun

2019, di Kota Bukittinggi terdapat 6 Sekolah Dasar Luar Biasa (SLB)

diantaranya 1 SLB Negeri dan 5 SLB milik swasta. SLB di Kota Bukittinggi

meliputi, SLBN 1 Bukittinggi dengan jumlah siswa SLB tuna grahita sedang

sebanyak 34 orang, SLB Al Ikhlas Bukittinggi jumlah siswa tuna grahita

sedang sebanyak 2 orang, SLB Autisma YPPA Bukittinggi jumlah siswa tuna

grahita sedang sebanyak 4 orang, SLB Karakter Mandiri Bukittinggi sebanyak

7 orang, SLB Permata Bunda Bukittinggi dengan jumlah murid tuna grahita

2
sedang sebanyak 7 orang, dan SLB Al Azhar Bukittinggi dengan jumlah murid

tuna grahita sedang sebanyak 28 orang (Laporan Data Tahun 2019 Dinas

Pendidikan Wilayah I Kota Bukittinggi).

Tuna grahita sedang (retardasi mental) dikategorikan sebagai

retardasi mental dapat dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak memiliki

karakteristik diantaranya, ketidakmampuan dalam mengatur diri sendiri,

memiliki permasalahan dalam perilaku sosial, kesulitan dalam hal belajar,

mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan, kelainan pada sensori dan

gerak, ketidakmampuan dalam berkomunikasi. Hambatan yang paling

signifikan terjadi pada anak dengan tuna grahita sedang yaitu kesulitan dalam

berkomunikasi dengan orang dan lingkungan sekitar, sehingga proses

penyampaian informasi tidak berjalan secara optimal (Menageti, 2016).

Komunikasi merupakan salah satu bagian terpenting bagi manusia,

terutama dalam kehidupan bersosial. Karena dengan melakukan komunikasi,

manusia dapat berinteraksi dengan manusia lainnya. Komunikasi antarpribadi

merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sangat penting dalam proses

pembelajaran. Keutamaan komunikasi antarpribadi adalah kemampuannya

dalam mengubah pendapat, sikap dan perilaku siswa. Dengan adanya

komunikasi antarpribadi yang baik antara guru dengan siswa tuna grahita akan

membuat siswa lebih aktif dan semangat dalam proses pembelajarannya

sehingga perkembangan kemandirian siswa tuna grahita semakin baik (Bayu,

2018).

3
Pada dasarnya seorang guru adalah seorang komunikator. Proses

pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas merupakan proses komunikasi.

Dalam konteks komunikasi pendidikan, guru memenuhi segala prasyarat

komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pelajaran. Guru harus mampu

berkomunikasi dengan baik, jika guru sudah menjadi komunikator yang baik

maka materi pelajaran yang disampaikan akan maksimal(Rifaldi, 2012).

Pendidikan pada anak dengan kebutuhan khusus sangatlahpenting,

karena mereka memiliki kekurangan yang dapat menghambatkehidupan sehari-

hari Pendidikan yang diajarkan dapatberupa hal-hal dasar pada kehidupan

sehari-hari sampai keterampilan.Pendidikan akan berjalan maksimal jika di

dukung dengan guru yangmemiliki kapasitas dan kabilitas yang baik. Guru

sebagai komunikatordi dalam proses belajar mengajar dapat menyampaikan

pelajarandengan berbagai pendekatan agar murid mampu menyerap

pelajaran(Rifaldi, 2012).

Komunikasi antarpribadi yang terjalin antara guru dengan

siswaberkebutuhan khusus akan terjadi dalam proses belajar

mengajar.Komunikasi antarpribadi yang efektif memiliki lima ciri

yaituketerbukaan, emapati, sikap positif, sikap mendukung dan kesetaraan.

Lima ciri efektifitas komunikasi antarpribaditersebut dapat menjadi acuan

untuk melaksanakan komunikasi antarpribadi yang maksimal (Wisman, 2017).

Dampak apabila komunikasi pada anak tuna grahita sedang tidak

efektif yaitu, pertama dampak pada anak akan mengalami gangguan

kepercayaan diri dan anak akan kesulitan dalam berinteraksi dalam kehidupan

sehari-hari. Kedua, dampak terhadap keluarga yaitu orang tua tidak tahu

4
bagaimana cara merawat dan mendidik anak yang lahir dengan tuna grahita

sehingga pertumbuhan diri anak tidak maksimal. Ketiga, dampak bagi

masyarakat yaitu persepsi miring terhadap anak berkebutuhan khusus yang

dianggap berbeda dengan lingkungan disekitarnya. Namun ada juga

masyarakat yang memiliki pandangan positif terhadap anak berkebutuhan

khusus dengan tidak membeda-bedakan kondisi anak dengan anak normal

lainnya (Setyawan, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian di SLB-C Setya Darma Solo, komunikasi

dalam pembelajaran bagi anak tuna grahita yang dilakukan oleh guru dan

pelajar tuna grahita bersifat pasif. Dalam interaksi yang terjalin, guru yang

berperan menjadi komunikan mendominasi hubungan komunikasi dengan

pelajar tuna grahita. Selain itu dalam melakukan komunikasi terdapat gangguan

yang menyebabkan pesan yang akan disampaikan terhambat karena kondisi

anak yang memiliki keterbelakangan mental (Menageti, 2016)

Survey awal yang telah peneliti lakukan di beberapa SLB di Kota

Bukittinggi pada tanggal 24 April 2019 dengan observasi dan melakukan

wawancara kepada guru mengenai anak tuna grahita sedang. Dari hasil

observasi ditemukan bahwa komunikasi antara guru dan pelajar tuna grahita

tidak efektif. Sebagai contoh pada saat anak melakukan keributan, guru

menegur dengan nada yang tinggi dan ekspresi wajah yang terlihat marah dan

membuat kondisi kelas tidak kondusif. Sehingga dari permasalahan tersebut

komunikasi dalam pembelajaran tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya

guru harus memiliki komunikasi yang baik dengan anak, terutama dengan anak

berkebutuhan khusus.

5
Dan berdasarkan hasil wawancara kepada guru SLB ditemukan bahwa

hambatan yang paling signifikan terjadi pada anak tuna grahita yaitu

kemampuan komunikasi anak yang lemah. Dimana pada kondisi itu anak sulit

untuk berkomunikasi sehingga pesan yang ingin disampaikan tidak dapat

ditujukan sesuai yang diharapkan. Selain hambatan komunikasi, anak tuna

grahita juga memiliki perilaku enderung tidak bisa diam atau disebut juga

dengan hiperaktif. Dan anak tuna grahita sedang juga memiliki hambatan

dalam kemampuan membaca dan mengingat, dikarenakan kemampuan anak

tuna grahita sedang yang dibawah rata-rata normal sehingga mereka tidak

mampu belajar secara optimal.

B. Rumusan Masalah

Dalam proses pembelajaran pada anak tuna grahita sedang di SLB

Kota Bukittinggi, guru atau pengajar berperan penting dalam memberikan

pembelajaran disekolah. Guru atau pengajar harus dapat menjalin komunikasi

yang baik dengan siswa khususnya anak tuna grahita sedang, karena tujuan

dari komunikasi itu sendiri yaitu untuk menjalin hubungan yang akrab dan

saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah penelitian adalah

“Bagaimana Gambaran Pola Komunikasi Pengajar Pada Anak Tuna Grahita

Sedang di SLB Kota Bukittinggi”.

6
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana Pola

Komunikasi Pengajar Pada Anak Tuna Grahita Sedang di SLB Kota

Bukittinggi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan berguna :

1. Bagi Responden (Guru)

Sebagai masukan khususnya bagi guru atau pengajar bagaimana pola

komunikasi yang baik dan efektif bagi siswa tuna grahita dalam proses

pembelajaran agar tujuan dari komunikasi tercapai dengan maksimal.

2. Bagi Profesi Keperawatan

a. Sebagai masukan ilmu keperawatan dalam memberikan asuhan

keperawatan melalui komunikasi yang baik dan tepat pada anak tuna

grahita sedang.

b. Untuk mendorong perawat berpikir kritis dan perawat mampu

berkomunikasi secara efektif dalam mengembangkan berbagai sistem

pendukung yang dapat membantu perawat dalam mencapai tujuan

keperawatan.

3. Bagi Institusi

Sebagai bahan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bagi peserta

didik tentang Pola Komunikasi Pada Anak Tuna Grahita Sedang di SLB

Kota Bukittinggi.

7
4. Bagi Peneliti

Dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan sebagai acuan pembuktian

teori terutama dalam bidang keperawatan.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas

Pendidikan Kota Bukittinggi terdapat 6 Sekolah Luar Biasa di Kota

Bukittinggi satu SLB negeri dan lima SLB swasta. Dimana siswa dengan

tuna grahita sedang terbanyak yaitu di SLBN 1 Bukittinggi, SLB Al-Azhar

dan SLB Karakter Mandiri Kota Bukittinggi. Peneliti tertarik melakukan

penelitian yang berjudul “Gambaran Pola Komunikasi Pengajar Pada

Anak Tuna Grahita Sedang di SLB Kota Bukittinggi” data peneliti dapat

menggali, menganalisa dan menjelaskan fenomena yang nyata secara rinci,

luas dan mendalam. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

teknik Purposive Sampling. Pengumpulan data pada penelitian ini

menggunakan wawancara mendalam (In Dept Interview), alat perekam

suara (recorder).

8
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tuna Grahita (Retardasi Mental)

1. Pengertian Tuna Grahita

Terdapat berbagai macam definisi mengenai tuna grahita atau

retardasi mental. Menurut WHO (dikutip dari Menkes 1990), retardasi mental

adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi. Carter CH (dikutip dari

Toback C), mengatakan retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai

oleh intelegensi yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu

untuk belajar dan beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan

yang dianggap normal (Ranuh, 1995).

Menurut Crocker AC (1983), retardasi mental adalah apabila jelas

terdapat fungsi intelegensi yang rendah, yang disertai adanya kendala dalam

penyesuaian perilaku, dan gejalanya timbul pada masa perkembangan.

Sedangkan menurut Melly Budhiman, seseorang dikatakan retardasi mental,

bila memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Fungsi intelektual umum dibawah normal

b. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial

c. Gejalanya timbul dalam masa perkembangannya yaitu dibawah usia 18

tahun.

Yang dimaksud fungsi intelektual dibawah normal, yaitu apabila IQ

dibawah 70. Anak ini tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena

cara berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya

9
lemah, demikian pula dengan pengertian bahasa dan perhitungannya juga

sangat lemah (Soetjiningsih, 2014).

Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan

hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ (Intelengence

Quotient):

Tabel 2.1 Tes Fungsi Intelektual (Intelengence Quotient)

IQ adalah MA/CA x 100%

MA = Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil tes

CA = Chronological Age, umur berdasarkan perhitungan tanggal lahir.

b. Klasifikasi Retardasi Mental

Terdapat bermacam – macam klasifikasi retardasi mental, yaitu :

a) Klasifikasi menurut American Association Mental Deficiency (AAMD)

dan Word Health Organization (WHO)

Tabel 2.2 Klasifikasi Retardasi Mental Menurut AAMD dan WHO

Derajat AAMD WHO


Ringan 55 – 69 50 – 70
Sedang 40 – 54 35 – 49
Berat 25 – 39 20 – 34
Sangat Berat 0 – 24 0 – 20

b) Menurut Melly Budhiman, 1991

1) Retardasi mental tipe klinik

Pada retardasi mental tipe klinik ini mudah dideteksi sejak dini, karena

kelainan fisik mapun mentalnya cukup berat. Penyebabnya sering

10
adalah kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan terus

menerus dan kelainan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi atau

rendah. Orang tua anak penderita retardasi mental tipe ini cepat

mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelainan pada

anaknya.

2) Retardasi mentap tipe sosial budaya

Biasanya, kelainan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan

ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penempilannya seperti anak

normal, sehingga tipe ini disebut juga retardasi enam jam, karena

begitu mereka keluar sekolah, mereka dapat bermain seperti anak-anak

normal lainnya. Para orang tua anak pada tipe ini mengetahui kalau

anaknya retardasi mental dari gurunga atau psikologi, karena anaknya

gagal naik kelas beberapa kali.

c) Menurut American Association On Mental Retardation (AAMR)

Tabel 2.3 Klasifikasi Retardasi Mental Menurut AAMR

Derajat AAMR

Ringan (IQ) 55 – 69

Sedang (IQ) 40 – 54

Berat (IQ) 25 – 39

Sangat Berat (IQ) < 24

11
d) Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Tabel 2.4 Klasifikasi Retardasi Mental berdasar Pendidikan dan Bimbingan

Kategori IQ Pendidikan Bimbingan Prevalen

Ringan 55 – 70 Mampu didik Kadang – 0,9 – 2,7 %


kadang
Sedang 40 – 54 Mampu latih Terbatas

Berat 25 – 39 Tidak mampu Ekstensif 0,3 – 0,4 %


latih
Sangat < 25 Tidak mampu Pervasif
berat latih

c. Etiologi

1) Non – Organik

a. Kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis

b. Faktor sosiokultural

c. Interaksi anak dan pengasuh yang tidak baik

d. Penelantaran anak

2) Organik

a) Faktor prakonsepsi

a. Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolik, kelainan

neurocutaneous)

b. Kelainan kromosom (X-linked, translokasi, fragile-X)

c. Sindrom polygenic familial(Soetjiningsih, 2014).

12
b) Faktor Pranatal

Gangguan pertumbuhan otak trimester 1

a. Infeksi intrauteri, misalnya TORCH, HIV

b. Zat – zat teratogen (alkohol, radiasi, rokok, kokain, logam berat,

dan lainnya)

c. Disfungsi plasenta

d. Ibu malnutrisi

Gangguan Pertumbuhan otak trimester II dan III

a. Infeksi intrauteri, misalnya TORCH, HIV

b. Zat – zat teratogen

c. Ibu : diabetes melitus, PKU (Phenyketonuria)

d. Toksemia gravidarum

e. Disfungsi plasenta

f. Ibu malnutrisi

c) Faktor Perinatal

a. Sangat prematur

b. Asfiksia neonatorum, HIE (hipoxic ischemic encephalopathy)

c. Trauna lahir : perdarahan intra kranial

d. Meningitis

e. Kelainan metabolik : hipoglikemia, hiperbilirubinemia

d) Faktor pascanatal

a. Trauma berat pada kepala/susunan saraf pusat

b. Gangguan perkembangan otak : hidrosefalus, lissencephaly

c. Neurotoksin, misalnya logam berat

13
d. CVA (Cerebrovaskular accident)

e. Anoksia, misalnya tenggelam

f. Metabolik

g. Gizi buruk

h. Kelainan hormonal, misalnya hipotirodosis, pseudohipopatiroidosis

i. Aminoaciduria, misalnya PKU (phenyketonuria)

j. Kelainan metabolisme karbohidrat, galaktosemia, dll

k. Polisakaridosis, misalnya sindrom Hurler

l. Serebral lipidosis (Tay Sachs), dengan hepatomegali

m. Penyakit degenaratif/ metabolik lainnya

n. Infeksi

o. Meningitis, ensefalitis

p. Subakut skelrosing panensefalitis

Kebanyakan anak yang menderita retardasi mental ini berasal dari

golongan sosial ekonomi rendah, akibat kurangnya stimulasi dari

lingkungannya sehingga secara bertahap menurunkan IQ yang bersamaan

dengan terjadinya maturasi. Demikian pula pada keadaan sosial ekonomi

yang rendah dapat sebagai penyebab organik dari retardasi mental,

misalnya keracunan logam berat yang subklinik dalam jangka waktu yang

lama dapat mempengaruhi kemampuan kognitif, ternyata lebih banyak

pada anak – anak dikota dari golongan sosial ekonomi rendah. Infeksi

sitomegalovirus juga lebih banyak terdapat pada ibu – ibu dari golongan

sosial ekonomi rendah. Demikian puka dengan kurang gizi, baik pada ibu

14
hamil maupun pada anaknya setelah dapat mempengaruhi pertumbuhan

otak anak (Ranuh, 1995).

d. Epidemiologi

Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat adalah sekitar 0,3%

dari seluruh populasi; dan hampir 3% mempunyai IQ dibawah 70. Sebagai

sumber daya manusia, tentunya mereka tidak bisa dimanfaatkan, karena 0,1 %

dari anak – anak ini memerlukan perawatan, bimbingan, serta pengawasan

sepanjang hidupnya.

Menurut Sebastian CS (2002), angka kejadian retardasi mental di

ngara maju sekitar 1-3 % . sedangkan menurut Walker WO (2006), prevalensi

retardasi mental adalah sekitar 2 – 3 %. Menurut Harum KH (2001), prevalen

retardasi mental ringan adalah 0,9 – 2,7 %, sedangkan retardasi mental sedang,

berat dan sangat berat secara bersama – sama adalah sekitar 0,3 – 0,4%

(Alimul, 2005).

e. Gejala Klinis

Menurut Shapiro BK (2007), gejala klinis yang sering menyertai

retardasi mental berdasarkan umur adalah sebagai berikut :

a) Newborn : sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistem organ major

b) Early infancy (2 –4 bulan) : gagal berinteraksi dengan lingkungan,

gangguan penglihatan atau pendengaran

c) Later infancy (6 – 18 bulan) : keterlambatan motorik kasar

d) Toddlers (2 – 3 tahun) : keterlambatan atau kesulitan bicara

15
e) Preschool (3 – 5 tahun) : keterlambatan atau kesulitan bicara; masalah

perilaku termasuk kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan

motorik halus : menggunting, mewarnai dan menggambar

f) School age (>5 tahun) : kemampuan akademik kurang; masalah perilaku

(perhatian, kecemasan, nakal dan lain-lain) (Ranuh, 1995).

Sedangkan gejala dari retardasi mental tergantung dari tipenya, adalah

sebagai berikut :

1) Retardasi mental ringan

Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental.

Kebanyakan dari mereka ini termasuk dalam tipe sosial budaya, dan

diagnosis dibuat setelah anak beberapa kali tidak naik kelas. Golongan ini

termasuk mampu didik, artinya selain dapat diajar baca tulis bahkan bisa

sampai kelas 4-6 SD, juga bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal

hidupnya kelak dan mampu mandiri seperti orang dewasa yang normal.

Tetapi pada umumnya mereka ini kurang mampu menghadapi stres,

sehingga tetap membutuhkan bimbingan dari keluarganya.

2) Retardasi mental sedang

Kelompok ini kira-kira 12% dari seluruh penderita retardasi mental,

mereka ini mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan

intelektualnya hanya dapat sampai kelas 2 SD saja, tetapi dapat dilatih

menguasai suatu keterampilan tertentu. Mereka juga perlu dilatih

bagaimana mengurus diri sendiri. Kelompok ini juga kurang mampu

menghadapi stres dan kurang dapat mandiri, sehingga memerlukan

bimbingan dan pengawasan.

16
3) Retardasi mental berat

Sekitar 7% dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini,

diagnosis mudah ditegakkan secara dini, karena selain adanya gejala fisik

yang menyertai juga berdasarkan keluhan dari orang tua dimana anak

sejak awal sudah terdapat keterlambatan perkembangan motorik dan

bahasa. Kelompok ini termasuk tipe klinik. Mereka dapat dilatih higiene

dasar saja dan kemampuan berbicara yang sederhana, tidak dapat dilatih

keterampilan kerja, dan memerlukan pengawasan dan bimbingan

sepanjang hidupnya.

4) Retardasi mental sangat berat

Kelompok ini sekitar 1% dan termasuk dalam tipe klinik, diagnosis dini

mudah dibuat karena gejala baik mental dan fisik sangat jelas.

Kemampuan berbahasanya sangat minimal. Mereka ini seluruh hidupnya

tergantung pada orang sekitarnya (Soetjiningsih, 2014)

f. Diagnosis

Diagnosis retardasi mental baru bisa ditegakkan mulai umur 6 tahun.

Bila retardasi mental pertama kali didiagnosis sebelum umur 6 tahun,

sebaiknya digunakan istilah “global developmental delay” (GDD); kecuali bila

retardasi mental merupakan bagian dari suatu sindrom. Dikatakan GGD, bila

anak mengalami keterlambatan 2 atau lebih sektor perkembangan, terutama

pada sektor perkembangan adaptif dan bahasa. Pada anak yang didiagnosis

GGD, harus dilakukan stimulasi multimodal; dan pada umur 6 tahun,

17
dilakukan tes IQ untuk memastikan adanya retardasi mental (Soetjiningsih,

2014)

Diagnosis retardasi mental berdasarkan DSM IV adalah :

1) Intelegensi secara bermakna di bawah rata-rata. Rata-rata IQ sekitar 70

2) Terdapat kelainan fungsi adaptif, paling sedikit 2 area, yaitu: komunikasi,

merawat diri, kemampuan sosial dan interpersonal, menggunakan sarana

prasarana yang ada di masyarakat, kemampuan fungsi akademik, bekerja,

menggunakan waktu luang, kesehatan dan keamanan.

3) Onset terjadi sebelum umur 18 tahun (Soetjiningsih, 2014).

Kode penyakit berdasarkan beratnya retardasi mental adalah sebagai

berikut :

a. Mild mental retardation IQ 50-55 sampai 70

b. Moderate mental retardation IQ 35-40 sampai 50-55

c. Severe mental retardation IQ 20-25 sampai 35-40

d. Profound mental retardation IQ dibawah 20-25

e. Mental reatardation, severity unspecified: Bila kita sangat curiga adanya

retardasi mentaal, tetapi intelegensi tidak bisa dites dengan tes standar.

g. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang

menderita retardasi mental, yaitu (Shonkoff JP, 1992) :

1) Kariotipe kromosom

a. Terdapat beberapa kelainan fisik yang tidak khas

b. Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen

18
c. Terdapat beberapa kelainan kongenital

d. Genitalia abn

2) EEG (Elektroensefalogram)

a. Gejala kejang yang dicurigai

b. Kesulitan mengerti bahasa yang berat

3) CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance

Imaging)

a. Pembesaran kepala yang progresif

b. Tuberosklerosis

c. Dicurigai kelainan otak yang luas

d. Kejang lokal

e. Dicurigai adanya tumor intrakranial

4) Urin mukopolisakarida

a. Kiposis

b. Anggota gerak yang pendek

c. Badan yang pendek

d. Hepatosplenomegali

e. Kornea keruh

f. Gangguan pendengaran

g. Kekakuan pada sendi

5) Urin reducing substance

a. Katarak

b. Hepatomegali

c. Kejang

19
6) Serum asam amino atau asam organik

a. Kejang yang tidak diketahui sebabnya pada bayi

b. Gagal tumbuh

c. Bau yang tidak biasa pada air seni atau kulit

d. Warna rambut yang tidak biasa

e. Mikrosefali

f. Asidosis yang tidak diketahui sebabnya (Ranuh, 1995).

h. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi

dan sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak

penanganan multidisiplin merupakan jalan yang terbaik. Sebaiknya dibuat

rancangan suatu strategi pendekatan bagi setap anak secara individual untuk

mengembangkan potensi anak tersebut secara optimal (Ranuh, 1995).

Pada orang tuanya perlu diberi penerangan yang jelas mengenai

keadaan anaknya, dan apa yang diharapkan dari terapi yang diberikan.

Kadang-kadang diperlukan waktu yang lama untu meyakinkan orang tua

mengenai keadaan anaknya. Bila orang tua belum dapat menerima keadaan

anaknya, maka perlu pula konsultasi dengan psikolog. Disamping itu

diperlukan kerjasama yang baik antara guru dengan orang tuanya, agar tidak

terjadi kesimpang siuran dalam strategi penanganan anak disekolah dan

dirumah. Anggota keluarga lainnya juga harus diberi pengertian, agar anak

tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu masyarakat perlu diberikan

penerangan, agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu masyarakat

20
perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental, agar mereka dapat

menerima anak tersebut dengan wajar (Ranuh, 1995).

Anak dengan retardasi mental memerlukan pendidikan khusus, yangt

disesuaikan dengan taraf IQ-nya, mereka digolongkan yang mampu didik

untuk golongan retardasi mental ringan, dan yang mampu latih untuk anak

dengan retardasi mental sedang. Sekolah khusus untuk anak retardasi mental

ini adalah SLB-C. Disekolah diajarkan juga keterampilan-keterampilan

dengan harapan mereka dapat mandiri dikemudian hari. Diajarkan pula

tentang baik buruknya suatu tindakan tertentu, sehingga mereka diharapkan

tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji, seperti mencuri, merampas,

kejahatan seksual, dan lain-lain (Soetjiningsih, 2014).

B. Konsep Komunikasi

1. Pengertian Komunikasi

Kata Komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatio”yang

terbentuk dari dua akar kata : “com” (bahasa latin :”cum”) berarti “dengan”

atau “bersama dengan”; dan “unio” (bahasa latin : “union”) berarti “bersatu

dengan”. Jadi komunikasi dapat diartikan “union with” (bersatu dengan) atau

“unio together with” (bersama dengan) (Liliweri, 2007).

Komunikasi pada anak merupakan bagian penting dalam membangun

kepercayaan diri kita dengan anak. Melalui komunikasi akan terjalin rasa

percaya, rasa kasih sayang, dan selanjutnya anak akan merasa memiliki suatu

penghargaan pada dirinya. Dalam tinjauan ilmu keperawatan anak, anak

merupakan seseorang yang membutuhkan suatu perhatian dan kasih sayang,

21
sebagai kebutuhan khusus anak yang dapat dipenuhi dengan cara komunikasi

baik secara verbal maupun nonverbal yang dapat menumbuhkan kepercayaan

pada anak sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai (Alimul, 2005).

2. Komunikasi Pada Anak Tuna Grahita

Anak tuna grahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa.

Bukan mengalami kesulitan artikulasi, tetapi karena perbendaharaan kata yang

kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itulah mereka

membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya dan diajarkan

berulang-ulang. Beberapa kegiatan yang dilakukan guru untuk meningkatkan

kemampuan berbahsaa siswa tuna grahita, diantaranya membaca kata-kata

sederhana (Kurnia, 2017).

Dalam kegiatan belajar, pendekatan yang dilakukan guru dengan siswa

ialah pendekatan yang dapat dikatakan komunikasi antarpribadi. Komunikasi

ini dianggap berhasil oleh para guru dalam proses belajar. Dengan komunikasi

antar pribadi ini guru lebih muda mengetahui kekurangan dan kelemahan dari

siswa down singrom sehingga materi atau pelajaran yang diberikan, dapat

disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Metode pengajaran yang digunakan guru

dalam proses belajar iyalah pengajaran secara individual. Hal tersebut

dikarenakan keterbatasan yang dimiliki siswa sehingga apabila materi yang

diberikan secara keseluruhan maka materi yang diberikan sulit untuk diterima

oleh siswa (Ita, 2015).

22
3. Komponen Dalam Komunikasi

Komunikasi dapat terjadi bila prosesnya dapat berjalan dengan

baik. Proses komunikasi yang dimaksud disini adalah pengirim pesan

(informasi), penerus pesan, pesan itu sendiri, media dan umpan balik.

Proses tersebut merupakan suatu komponen dalam komunikasi yang satu

dengan yang lainnya saling berhubungan, diantara komponen dalam

komunikasi adalah sebagai berikut :

1) Pengirim pesan

Pengirim pesan disini adalah seseorang atau sumber pesan yang

memberikan informasi atau ide yang disampaikan.

2) Penerima pesan

Penerima pesan merupakan orang yang menerima berita atau

lambang dapat berupa klien (anak), keluarga atau masyarakat.

3) Pesan

Pesan merupakan berita yang disampaikan oleh pengirim pesan

melalui lambang pembicara, gerakan ataupun sikap.

4) Media

Media dalam komunikasi pada anak ini sangat beragam seperti

suara, atau beberapa hal yang dapat memudahkan dalam

penerimaan pesan khuauanya pada anak seperti berupa gambar

atau permainan secara konkret dan menarik bagi anak.

23
5) Umpan Balik

Merupakan bagian proses komunikasi yang dapat digunakan

sebagai alat pencapaian pesan/informasi yang telah disampaikan.

Komponen ini merupakan evaluasi tercapainya informasi yang

disampaikan pada anak, mengingat dalam komunikasi pada anak

sering menemukan kesulitan dalam proses umpan balik karena

anak merasa ketakutan (Alimul, 2005).

4. Fungsi Komunikasi

Fungsi komunikasi bagi komunikator (sumber) :

1. Informasi (menyampaikan informasi)

2. Pendidikan (infromasi yang mendidik)

3. Instruksi (memberikan instruksi)

4. Menghibur (informasi yang menghibur)

5. Persuasi (mempengaruhi

Berdasarkan uraian diatas, bagi komunikan (penerima) fungsi

komunikasi yaitu :

1. Mengetahui

2. Menambah pengetahuan

3. Mewajibkan-melarang

4. Menikmati

5. Mengubah sikap (Liliweri, 2007).

Selain itu, ada empat fungsi komunikasi dalam proses pembelajaran

yakni diantaranya :

24
1) Fungsi Menjelaskan

Fungsi untuk menjelaskan merupakan fungsi utama dari media

komunikasi. Dalam konteks ini posisi media pembelajaran lebih berperan

dan dipengaruhi oleh tindakan guru. Artinya bagaimana media

pembelajaran dapat membantu guru untuk menjelaskan infromasi yang

ingin disampaikan. Informasi itu sendiri adalah materi pelaran yang sudah

jadi sesuai dengan materi kurikulum yang berlaku. Dengan demikian

dalam fungsi menjelaskan ini, menempatkan media sebagai alat bantu

menjelaskan atau memaparkan materi pelajaran.

2) Fungsi Menjual Gagasan

Fungsi ini hampir sama dengan fungsi yang pertama. Bedanya terletak

dari isi dan sumber informasi yang disampaikan. Dalam fungsi menjual

gagsan isi dan sumber informasi berasal dari diri penyaji itu sendiri, yang

berkaitan dengan penyuguhan gagasan atau ide-ide baru untuk dikritisi

oleh penerima pesan.

3) Fungsi Pembelajaran

Yang dimaksud dengan fungsi pembelajaran adalah fungsi media

untuk membelajarkan siswa yang bukan hanya sekedar menerima

informasi yang disuguhkan akan tetapi bagaimana media dapat

merangsang siswa untuk beraktivitas mencapai tujuan pembelajaran.

Artinya, media pembelajaran dikembangkan bukan hanya memperhatikan

kepentingan dari sudut penyaji saja, akan tetapi memperhatikan sudut

penerima informasi atau pengguna media itu sendiri, baik yang berkaitan

25
dengan kebutuhan, minat dan bakat, serta kemampuan dasar penerima

pesan termasuk gaya belajarnya.

4) Fungsi Administratif

Fungsi administratif adalah pemanfaatan media sebagai alat bantu bagi

lembaga pendidikan dalam menyebarkan informasi tentang kegiatan

administrasi akademik. Misalnya informasi deskripsi mata pelajaran,

waktu dan tempat pembelajaran, dan lain sebagainya (W. Sanjaya, 2012)

5. Macam-macam Pola Komunikasi

a. Komunikasi Intrapersonal (Komunikasi dengan diri sendiri)

Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi dalam diri seseorang,

berupa proses pengolahan informasi melalui panca indera dan sistem saraf.

Manusia apabila dihadapi dengan suatu pesan untuk mengambil keputusan

menerima ataupun menolaknya akan mengadakan terlebih dahulu suatu

komunikasi dengan dirinya (proses berfikir). Dalam proses berfikir ini

seseorang akan menimbang terkait untung rugi atas usul yang disampaikan

komunikator.

b. Komunikasi Interpersonal (komunikasi antar pribadi)

Komunikasi antar pribadi adalah proses paduan penyampaian pikiran

dan perasaan oleh seseorang kepada orang lain agar mengetahui, mengerti,

dan melakukan kegiatan tertentu. Secara umum komunikasi interpersonal

dapat diartikan sebagai proses pertukaran informsi diantara komunikator

dengan komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam

hal mengubah sikap, pendapat, atau perilaku sesorang, karena sifatnya

26
dialogis berupa percakapan. Komunikasi interpersonal dampaknya dapat

dirasakan pada waktu itu juga oleh pihak yang terlibat.

c. Komunikasi kelompok

Komunikasi kelompok adalah komunikasi antara seseorang

(komunikator) dengan sejumlah orang (komunikasi) yang berkumpul

bersama-sama dalam satu kelompok. Komunikasi kelompok ini memiliki

karakteristik diantaranya: proses komunikasi terhadap pesan-pesan yang

disampaikan oleh seorang pembicara kepada khalayak yang lebih besar

dan tatap muka, komunikasi berlangsung secra kontinue dan bisa

dibedakan sumber dan penerima, pesan yang disampaikan terencana dan

bukan spontanitas untuk segmen khalayak tertentu (Khoir, 2014).

6. Konteks Komunikasi

a. Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi yang berlangsung sebagai komunikasi antarpribadi yakni

komunikasi yang dilakukan oleh 2 atau 3 orang dengan jarak fisik diantara

mereka yang sangat dekat, bertatap muka atau berrmedia dengan sifat

umpan balik yang berlangsung cepat, adaptasi pesan bersifat khusus, serta

memiliki tujuan/ maksud komunikasi tidak berstruktur.

b. Komunikasi Kelompok

Komunikasi dalam konteks kelompok merupakan komunikasi yang

terjadi di antara sejumlah orang (kelompok kecil berjumlah4-20 orang,

kelompok besar 20-50 orang), umpan balik pesan berlangsung cepat,

27
adaptasi pesan berifat khusus, tujuan/ maksud komunikasi tidak

berstruktur.

c. Komunikasi Organisasi

Komunikasi kesehatan dapat pula beroperasi dalam konteks organisasi.

Melalui organisasi beragam infromasi tentang kesehatan dapat disebar

luaskan kepada individu, komunitas atau kelompok-kelompok sasaran.

d. Komunikasi Publik

Aktivitas komunikasi juga beroperasi dalam konteks komunikasi

publik. Kini informasi kesehatan dapat diperoleh melalui aktivitas

komunikasi publik (Liliweri, 2007).

7. Model Komunikasi

a. Modele Lasswell

Lasswell mengetengahkan model komunikasi melalui pernyataan

yang sangat populer yaitu, “Who says what in which channel to whom

with what effect?” (Mulyana, 2000). Dari pernyataan diatas, komponen

komunikasi terdiri atas :

1) Who : siapa yang mengirim pesan/ komunikator

2) Says what : pesan apa yang disampaikan

3) On what channel : melalui apa pesan itu disampaikan/ media atau alat

bantu untuk mengirim pesan

4) To whom it may concern : siapa yang menerima pesan

5) At what effect : apa dampak/ hasil komunikasi

28
Disamping itu model ini juga model yang bersifat linear; artinya

model yang menggambarkan bagaimana sumber pesan menyampaikan

pesan. Ada dua hal yang menjadi kelemahan komunikasi model ini.

Pertama, model lasswell tidak menampakkan adanya umpan balik atau

“feedback” sehingga proses komunikasi bersifat satu arah. Kedua, model

komunikasi lasswell tidak mempertimbangkan gangguan komunikasi.

Model ini menggambarkan bahwa proses komunikasi akan selalu berhasil,

padahal dalam kenyataan tidak demikian.

Proses komunikasi seperti yang dikemukakan Lasswell ini

walaupun memiliki kelemahan, akan tetapi sangat membantu kita untuk

memahami terjadinya proses komunikasi, termasuk komunikasi dalam

proses pembelajaran (W. Sanjaya, 2012).

b. Model Komunikasi Schramme

Pada model ini komunikasi bukan hanya sekedar penyampaian pesan,

namun bagaimana pesan itu diolah melalui penyandian (encoder) oleh

komunikan dan diterjemahkan melalui penyandian ulang (decoder) yang

dilakukan oleh penerima pesan, dan selama proses penerjemahan itu

mungkin terdapat berbagai gangguan (noise) baik disadari maupun tidak

sehingga kemungkinan terjadi kesalahan penerjemahan oleh penerima

pesan. Inilah pentingnya umpan balik atau feedback untuk melihat apakah

pesan yang dikomunikasikan itu sesuai dengan maksud komunikan atau

tidak (Liliweri, 2007).

29
Berdasarkan uraian diatas, maka komponen-komponen komunikasi

dalam pembelajaran sebagai berikut :

1) Pengirim atau Komunikator

Adalah orang yang menginisiasi pengiriman pesan, yakni berbagai

informasi yang menjadi isi atau materi pelajaran, dalam konteks

pembelajaran pesan sebagai komunikator ini dapat diperankan oleh guru,

dosen atau instruktur.

2) Penyandian atau encoding

Yaitu proses yang dilakukan oleh komunikator untuk mengemas

maksud atau pesan yang ada dalam benaknya menjadi simbol – simbol :

suara, tulisan, gerakan tubuh dan bentuk lainnya untuk dapat dikirimkan

kepada komunikan.

3) Saluran dan media

Yakni tempat dimana pesan dalam bentuk simbol –simbol tadi

dilewatkan dari komunikator ke komunikan. Bagi manusia saluran

komunikasi ini diantaranya panca indra yang dapat berupa pendengaran,

penglihatan, penciuman, rabaan dan rasa. Oleh sebab itu manusia dapat

mengirimkan pesan secara tertulis melalui surat, papan tulis atau buku, dan

lain sebagainya.

4) Penyandian ulang atau decoding

Yaitu proses yang dilakukan oleh komunikan untuk

menginterpretasikan simbol-simbol yang diterimanya menjadi bermakna.

Pemahaman penerimaan terhadap pesan yang diterimanya merupakan hasil

komunikasi.

30
5) Penerima pesan atau komunikan

Adalah penerimaan pesan atau individu atau kelompok yang menjadi

sasaran komunikasi.

6) Umpan balik atau feedback

Adalah informasi yang kembali dari komunikan ke komunikator

sebagai respons terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dari

umpan balik ini komunikator dapat mengetahui pemahaman dan reaksi

komunikan terhadap pesan yang dikirimnya. Dengan adanya umpan balik

ini akan terbentuk arus komunikasi dua arah.

Dari kedua model yang telah dipaparkan diatas, maka model

terakhir merupakan model yang cukup memberikan gambaran yang

komprehensif tentang terjadinya komunikasi. Model tersebut bukan hanya

menjelaskan komponen-komponen komunikasi akan tetapi juga

memberikan gambaran tentang berlangsungnya proses komunikasi,

termasuk kemungkinan – kemungkinan yang akan terjadi melalui umpan

balik (W. Sanjaya, 2012).

8. Sikap Dalam Komunikasi

Sikap dalam komunikasi merupakan salah satu unsur penting

dalam membangun efektifitas dari proses komunikasi, dengan sikap yang

baik proses komunikasi dapat berjalan sesuai dengan sasaran dan tujuan

yang ada. Menurut Egan tahun 1995 dikutip Kozier dan Erb tahun 1983

menyampaikan sikap komunikasi merupakan sesuatu apa yang harus

31
dilakukan dalam komunikasi baik secara verbal maupun non verbal yang

dapat meliputi :

a. Sikap berhadapan

Berhadapan merupakan bentuk sikap dimana seseorang langsung

bertatap muka atau berhadapan langsung dengan anak, sikap ini

mempunyai arti bahwa komunikator siap untuk berkomunikasi.

b. Sikap mempertahankan kontak

Mempertahankan kontak mata merupakan kegiatan yang bertujuan

menghargai klien dan mengatakan adanya keinginan untuk tetap

berkomunikasi.

c. Sikap membungkuk kearah pasien

Bentuk sikap dengan memberikan posisi yang menunjukkan keinginan

untuk mengatakan atau mendengar sesuatu dengan cara membungkuk

sedikit kearah klien. cara ini dilakukan agar komunikasi berjalan sesuai

dengan yang diharapkan.

d. Sikap terbuka

Sikap ini merupakan bentuk sikap dengan memberikan posisi kaki

tidak melipat, tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi

yang dilakukan selama dalam proses komunikasi.

e. Sikap tetap rileks

Sikap ini sangat diperlukan sehingga saling memberikan berbagai

informasi yang diharapkan tanpa adanya sebuah paksaan. Selain

beberapa sikap yang ada, masih ada bebarapa sikap nonverbal selama

32
komunikasi seperti : gerakan mata, ekspesi muka dan sentuhan

(Soetjiningsih, 2014)

9. Cara Komunikasi Dengan Anak

a) Melalui orang lain atau pihak ketiga

Cara berkomunikasi ini pertama dilakukan oleh anak dalam

menumbuhkan kepercayaan diri anak, dengan menghindari secara

langsung berkomunikasi dengan melibatkan orang tua secara langsung

yang berada di samping.

b) Bercerita

Melalui cara ini pesan yang disampaikan kepada anak dapat mudah

diterima, mengingat anak sangat suka sekali dengan cerita, tetapi cerita

yang disampaikan hendaknya sesuai dengan pesan yang akan

disampaikan, yang dapat diekspresikan melalui tulisan maupun

gambar.

c) Memfasilitasi

Memfasilitasi anak adalah bagian cara berkomunikasi, melalui ini

ekspresi anak atau respon nak terhadap pesan dapat diterima. Dalam

memfasilitasi kita harus mampu mengekspresikan perasaan dan tidak

boleh dominan, tetapi anak harus diberikan respons terhadap pesan

yang disampaikan melalui mendengarkan dengan penuh perhatian dan

jangan merefleksikan ungkapan negatif yang menunjukkan kesan yang

jelek kepada anak.

33
d) Biblioterapi

Melalui pemberian buku atau majalah dapat digunakan untuk

mengekspresikan perasaan, dengan menceritakan isi buku atau majalah

yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan kepada anak.

e) Meminta untuk menyebutkan keinginan

Ungkapan ini penting dalam berkomunikasi dengan anak, dengan

meminta anak untuk menyebutkan keinginan dapat diketahui berbagai

keluhan yang didapatkan, dan keinginan tersebut dapat menunjukkan

perasaan dan pikiran saat itu.

f) Pilihan pro dan kontra

Penggunaan teknik komunikasi ini sangat penting dalam menentukan

atau mengetahui perasaan dan pikiran anak, dengan mengajukan pada

situasi yang menunjukkan pilihan yang positif dan negatif sesuai

pendapat anak.

g) Penggunaan skala

Penggunaan skala atau peringkat ini digunakan dalam mengungkapkan

perasaan sakit pada anak seperti penggunaan perasaan nyeri, cemas,

sedih dan lain-lain,dengan menganjurkan anak untuk mengekspresikan

perasaan sakitnya.

h) Menulis

Melalui ini anak akan dapat mengeksperikan dirinya baik pada

keadaan sedih, marah atau lainnya dan biasanya banyak dilakukan

pada anak yang jengkel, marah dan diam. Cara ini dapat dilakukan

apabila anak sudah memiliki kemampuan untuk menulis.

34
i) Menggambar

Seperti halnya menulis menggambar pun juga dapat digunakan untuk

mengungkapkan ekspresinya, perasaan jengkel marah biasanya dapat

dkiungkapkan melalui gambar dan anak akan mengungkapkannya

apabila gambar yang ditulisnya ditanya tentang maksudnya.

j) Bermain

Bermain alat efektif pada anak dalam membantu berkomunikasi,

melalui ini hubungan interpersonal antara anak dan orang disekitarnya

dapat terjalin, dan pesan – pesan dapat disampaikan (Alimul, 2005).

10. Komunikasi Efektif dan Komunikasi Tidak Efektif

Aspek-aspek yang paling terpenting dalam kemampuan komunikasi

secara efektif terdiri dari komunikator, komunikan, media yaitu alat untuk

menyampaikan pesan. Komunikasi efektif berkaitan dengan kemampuan

(ability) komunikator dan komunikannya. Kemampuan adalah kesanggupan,

kecakapan, kekuatan kita berusaha dengan diri sendiri (Wisman, 2017).

Komunikasi dikatakan efektif apabila :

a. Pesan dapat diterima dan dimengerti serta dipahami sebagaimana yang

dimaksud oleh pengirimnya

b. Pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat disetujui oleh penerima dan

ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminati oleh pengirim

c. Tidak ada hambatan yang berarti untuk melakukan apa yang seharusnya

dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim.

35
Menurut Effendy (2008) komunikasi dikatakan tidak efektif apabila:

a) Perbedaan persepsi

b) Reaksi emosional

c) Ketidak-konsistenan komunikasi verbal dan non-verbal

d) Kecurigaan

e) Tidak adanya timbal balik (feedback)

Sedangkan, Menurut Ron Ludlow & Fergus Panton hambatan-

hambatan yang menyebabkan komunikasi tidak efektif yaitu:

a. Status effect

Adanya perbedaan pengaruh status sosial yang dimiliki setiap manusia

b. Semantic Problems

Faktor ini menyangkut bahasa yang digunakan komunikator sebagai alat

untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada komunikan.

c. Perceptual distorsion

Cara pandang yang sempit pada diri sendiri dan perbedaan cara berpikir

serta cara mengerti yang sempit terhadap orang lain

d. Cultural Differences

Perbedaan kebudayaan, agama dan lingkungan sosial

e. Physical Distraction

Gangguan lingkungan fisik terhadap proses berlangsungnya komunikasi

f. Poor Choice of Communication Channels

Media yang dipergunakan dalam melancarka komunikasi

g. No Feedback

Tidak ada respon atau tanggapan dari penerima pesan (Wisman, 2017)

36
11. Faktor Yang Mempengaruhi Penyampaian Komunikasi Efektif Pada

Anak Berkebutuhan Khusus

a) Gangguan Bahasa

Gangguan bahasa dalam komunikasi merupakan gangguan yang paling

umum terjadi. Hal ini karena komunikan tidak mengerti bahasa yang

digunakan dalam berkomunikasi sehingga informasi tidak tersampaikan

dengan baik.

b) Gangguan Bicara

Gangguan bicara adalah salah satu jenis gangguan yang dapat

menyebabkan gangguan lain, yaitu gangguan emosional dalam

berkomunikasi. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki gangguan

emosional dalam beraktifitas ini akan sulit untuk diajak berinteraksi oleh

lingkungan sekitarnya.

c) Gangguan Suara

Suara merupakan faktor penyebab gangguan komunikasi yang cukup

umum dialami oleh anak berkebutuhan khusus. Salah satu contoh

gangguan suara yaitu suara bising yang ada disekitarnya sehingga

menyebabkan anak sulit berkonsentrasi dengan orang yang sedang

berinteraksi dengannya.

d) Gangguan Irama

Gangguan irama terdiri dari “Stuttering” dan “Cluttering”. Stuttering

merupakan gangguan irama yang terjadi karena tidak lancarnya dalam

pengucapan kata atau disebut juga dengan gagap. Sedangkan Cluttering

merupakan dimana anak berkebutuhan khusus biasanya akan berbicara

37
dengan sangat cepat yang mengakibatkan artikulasi dari kata yang

diucapkan menjadi tidak jelas dan sulit dimengerti.

e) Gangguan Lingkungan

Komunikasi pada anak berkebutuhan khusus juga bisa berasal dari

lingkungan. Gangguan seperti keamanan diri yang terancam atau suara

bising menjadikan anak mengalami gangguan makna dalam komunikasi.

Gangguan ini menjadikan anak tidak mengerti apa yang sedang

dibicarakan oleh komunikator karena konsentrasinya teralihkan oleh

keadaan lingkungan sekitar.

f) Gangguan Persepsi

Jika ingin berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus, usahakan

berkomunikasi dengan artikulasi yang jelas, tenang dan tidak terburu-buru

agar persepsi yang diterima oleh anak merupakan persepsi yang sama

dengan orang yang berkomunikasi dengannya.

g) Gangguan Budaya (Kultur)

Gangguan kultur merupakan hambatan komunikasi yang cukup sering

terjadi. Hal ini bisa terjadi karena karena masing-masing orang memiliki

latar belakang budaya yang berbeda dengan orang lainnya. Hal serupa juga

dialami oleh anak berkebutuhan khusus dimana komunikasi yang

dilakukannya terkadang sedikit berbeda dengan anak lainnya (Setyawan,

2018).

38
12. Peran Guru Dalam Media Pembelajaran

a. Guru sebagai pengembang media dan sumber belajar

Dalam pembelajaran konvensional pembelajaran terjadi secara langsung

antara guru dan siswa di tempat dan waktu yang telah ditentukan melalui

kegiatan tatap muka (face to face). Dalam konteks ini peran guru adalah

satu-satunya sumber belajar.

b. Guru sebagai pengelola pembelajaran

Tujuan pengelolaan pembelajaran adalah terciptanya kondisi lingkungan

belajar yang menyenangkan bagi siswa, sehingga dalam proses

pembelajaran siswa tidak merasa terpaksa apalagi tertekan. Oleh karena

itulah peran dan tanggung jawab guru sebagai pengelola pembelajaran

(manager of learning)adalah menciptakan iklim pembelajaran yang

kondusif, baik iklim sosial maupun iklmim sosiologis.

c. Peran guru sebagai administrator dan fasilitator

Sebagai administrator guru tidak terjun secara langsung pada proses

pembelajaran yang menjadi kegiatan pokok siswa. Sebagai administrator

berarti juga guru berperan sebagai organisator. Artinya, dalam proses

pembelajaran guru harus lebih banyak berperan dan bertanggung jawab

dalam mengorganisasikan pengalaman belajar. Sebagai fasilitator, tugas

guru adalah membantu untuk mempermudah siswa belajar. Dengan

demikian, guru perlu memahami karakteristik termasuk gaya belajar,

kebutuhan dan kemampuan dasar siswa.

39
d. Guru sebagai direktur

Sebagai direktur guru berperan dan bertanggung jawab dalam

mengarahkan apa yang harus dilakukan siswa untuk mempelajari bahan

pelajaran tertentu.

e. Guru sebagai evaluator

Sebagai evaluator guru berperan untuk menentukan tingkat keberhasilan

siswa dalam menguasai kompetensi sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Disamping itu juga guru dapat menunjukkan berbagai kelemahan dan

kekurangan siswa dalam penguasaan kompetensi, sehingga guru dapat

menunjukkan jalan keluar atau apa yang harus dilakukan siswa untuk

menutup setiap kekurangan dan kelemahan yang terjadi (W. Sanjaya,

2012)

13. Metode Komunikasi dalam Pendidikan

Metode komunikasi digunakan agar komunikasi antar manusia terjalin

secara efektif. Pengertian metode adalah suatu cara yang digunakan untuk

melakukan sesuatu hal. Metode komunikasi serinf kali dikenal dengan teknik

komunikasi, yaitu cara yang digunakan dalam menyampaikan infromasi dari

komunikator ke komunikan dengan media tertentu. Dengan adanya teknik ini,

diharapkan setiap orang dapat secara efektif melakukan komunikasi satu sama

lain dan secara tepat menggunakannya (Wisman, 2017).

40
Menurut Effendy (2006) metode komunikasi terdiri atas :

a. Komunikasi informatif

Suatu pesan yang disampaikan kepada seseorang atau sejumlah orang

tentang hal-hal baru yang diketahuinya.

b. Komunikasi persuasif

Proses mempengaruhi sikap, cara pandang, atau perilaku seseorang dalam

bentuk kegiatan membujuk dan mengajak, sehingga ia melakukan dengan

kesadaran sendiri.

c. Komunikasi instruktif/koersif

Komunikasi yang mengandung ancaman, sangsi, dan lain-lain yang

bersifat paksaan, sehingga orang-orang yang dijadikan sasaran melakukan

sesuatu secara terpaksa, karena takut akibatnya (Khoir, 2014).

Menurut M. Sobri Sutikno (2009) menyatakan “Metode Pembelajaran

adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik

agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai

tujuan”. Metode pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus secara umum,

yaitu:

a) Communication (Komunikasi)

b) Task analysis (Analisis tugas)

c) Direct Instruction (Instruksi langsung)

d) Prompts (Mendorong)

e) Cooperative learning (pembelajaran kooperatif atau pembelajaran

kelompok) (Bayu, 2018).

41
C. Konsep Pola Komunikasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti bentuk atau

sistem, cara atau bentuk (struktur) yang tetap dimana pola dapat dikatakan

contoh atau cetakan. Dalam Kamus Ilmiah Populer “pola” diartikan sebagai

model, contoh, pedoman (rancangan). Pola pada dasarnya adalah sebuah

gambaran tentang sebuah proses yang terjadi dalam sebuah kejadian sehingga

memudahkan seseorang dalam mengnalisa kejadian tersebut, dengan tujuan

agar dapat meminimalisasikan segala bentuk kekurangan sehingga dapat

diperbaiki (Khoir, 2014).

Sedangkan, definisi pola komunikasi yaitu bentuk atau pola hubungan

antara dua orang atau lebih dalam proses penyampaian dan penerimaan pesan,

dimana akan terjadi proses interaksi yang akan menimbulkan respon satu sama

lain. Dan proses penyampaian dan penerima dengan cara yang tepat akan

membuat pesan yang dimaksud dapat dipahami (Menageti, 2016).

Menurut Effendy, Pola Komunikasi terdiri atas 3 macam yaitu (Effendy,

2003):

1. Pola Komunikasi satu arah adalah proses penyampaian pesan dari

komunikator kepada komunikan baik menggunakan media maupun tanpa

media, tanpa ada umpan balik dari komunikan dalam hal ini komunikan

bertindak sebagai pendengar saja.

2. Pola Komunikasi dua arah atau timbal balik (Two way traffic

aommunication) yaitu komunikator dan komunikan menjadi saling tukar

fungsi dalam menjalani fungsi mereka, komunikator pada tahap pertama

menjadi komunikan dan pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi.

42
Namun pada hakekatnya yang memulai percakapan adalah komunikator

utama, komunikator utama mempunyai tujuan tertentu melalui proses

komunikasi tersebut, prosesnya dialogis, serta umpan balik terjadi secara

langsung.

3. Pola Komunikasi multi arah yaitu proses komunikasi terjadi dalam satu

kelompok yang lebih banyak di mana komunikator dan komunikan akan

saling bertukar pikiran secara dialogis (Setyawan, 2018).

43
E. Kerangka Teori

Tuna Grahita

1. Ketidakmampuan 1. Ringan
perawatan diri 2. Sedang
2. Hambatan dalam 3. Berat
berbahasa 4. Sangat Berat
3. Hiperaktif
4. Kesulitan dalam
berkomunikasi Pendidikan di Sekolah
Luar Biasa

Guru

Hambatan
Pola Komunikasi
Komunikasi

1. Komunikasi
Efektif : Pesan dapat Intrapersonal
diterima dan ada umpan 2. Komunikasi
balik Interpersonal
Tidak efektif : Tidak ada 3. Komunikasi
umpan balik Kelompok

Skema Gambar 2.1

Kerangka Teori Tuna Grahita dan Pola Komunikasi

44
45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Fenomenologi merupakan suatu metode yang

dapat digunakan untuk mempelajari pengalaman seseorang terhadap suatu

fenomena tertentu (Morse, 1994 : Afiyanti, 2014). Dengan pendekatan

fenomenologi diperoleh gambaran secara menyeluruh. Melalui pendekatan ini

peneliti memperoleh gambaran tentang Pola Komunikasi Pengajar Pada Anak

Tuna Grahita Sedang di SLB Kota Bukittinggi (Afiyanti, 2014).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini di lakukan di SLB Kota Bukittinggi pada bulan

Desember 2019 sampai dengan bulan Januari 2020.

C. Partisipan Penelitian

Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria dan tujuan penelitian.

Jumlah partisipan yang diambil sampai data yang diperoleh sudah saturasi.

Penetapan tersebut rekomendasi [Dukes (1984): Afiyanti (2014)] bahwa

dalam penelitian fenomenologi dengan menggunakan teknik pengambilan

sampel Purposive Sampling dan dilakukan wawancara mendalam terhadap

sedikit partisipan yaitu antara 1-10 orang.

45
Untuk memenuhi persyaratan studi ini kriteria untuk partisipan

sebagai berikut:

1. Pengajar atau guru di SLB Kota Bukittinggi

2. Pengajar atau guru yang sudah lama mengajar di SLB Kota

Bukittinggi

3. Bersedia menjadi partisipan

4. Mampu berkomunikasi dengan baik dan jelas.

5. Sadar dan bisa di ajak bekerja sama.

Pemilihan partisipan diambil dari guru atau pengajar yang mengajar

khususnya anak tuna grahita di SLB Kota Bukittinggi. Untuk

mengidentifikasi partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian,

selanjutnya peneliti menemui partisipan. Selanjutnya peneliti mencoba

melakukan pendekatan lebih mendalam dan membina hubungan saling

percaya dengan partisipan. Setelah terjalin pendekatan dengan calon

partisipan, kemudian peneliti menerangkan secara rinci tentang studi yang

akan dilakukan dan meminta persetujuan mereka untuk ikut sebagai

partisipan dalam penelitian ini, termasuk merekam seluruh pernyataan. Maka

peneliti meminta partisipan untuk menandatangani lembar persetujuan

penelitian (informed consent). Selanjutnya peneliti menyampaikan tidak ada

unsur paksaan dalam penelitian ini dan partisipan dapat keluar jika terdapat

unsur ketidaknyamanan.

46
D. Instrumen Penelitian

Instrumen utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti

sendiri, karena peneliti sendiri dalam memadu wawancara, serta pedoman

wawancara yang tidak terstruktur yang berisikan pertanyaan-pertanyan

terbuka untuk menggali data sesuai degan tujuan peneliti, catatan dilapangan

yang dipergunakan untuk mencatat pengamatan peneliti selama proses

wawancara, dan alat perekam suara yang dipergunakan untuk mempermudah

pendokumentasian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Guna mendapatkan data yang akurat dan kredibel, dalam penelitian ini

akan menggunakan beberapa teknik pengambilan data. Teknik pengambilan

data sangat beragam. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode

wawancara mendalam dan observasi sebagaimana berikut :

1. Wawancara (Interview)

Wawancara yaitu suatu cara untuk mendapatkan informasi dari

individu yang diwawancarai. Dan untuk mengeksplorasi perasaan,

persepsi, dan pemikiran pastisipan terhadap pengalaman selama

mengajar siswa tuna grahita sedang. Selama proses wawancara,

peneliti mencatat semua peristiwa kedalam catatan lapangan (field

note).

47
2. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu :

b. Pedoman wawancara, yaitu berupa garis besar pertanyaan yang

berhubungan dengan objek penelitian

c. Catatan dilapangan yang dipergunakan untuk mencatat pengamatan

peneliti selama proses wawancara.

d. Alat perekam suara(handphone) yang dipergunakan untuk

mempermudah pendokumentasian.

F. Reliabilitas Dan Validitas Data

Validasi penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif.

Dalam penelitian kualitatif, validitas kualitatif tidak memiliki konotasi sama

dengan validitas dalam penelitian kuantitatif, tidak pula sejajar dengan

reliabilitas (yang berarti pengujian stabilitas dan konsistensi respons) ataupun

dengan generalisasi (yang berarti validitas eksternal atau hasil penelitian yang

dapat diterapkan pada setting, orang, atau sampel yang baru) dalam penelitian

kuantitatif) mengenai generalisibilitas dan reliabilitas kuantitatif (Creswell,

2010).

Creswell (2010) menjelaskan bahwa validitas kualitatif merupakan

pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur-

prosedur tertentu, sementara reliabilitas kualitatif mengindikasikan bahwa

pendekatan yang digunakan peneliti konsisten jika diterapkan oleh

penelitipeneliti lain. Gibss sebagaimana yang dikutip oleh Creswell (2010)

memerinci sejumlah prosedur reliabilitas sebagai berikut :

48
1. Mengecek hasil transkrip untuk memastikan tidak adanya kesalahan

yang dibuat selama proses transkripsi.

2. Memastikan tidak ada definisi dan makna yang mengambang

mengenai kode-kode selama proses koding. Hal ini dapat dilakukan

dengan terus membandingkan data dengan kode-kode atau dengan

menulis cacatan tentang kode-kode dan definisi-definisinya.

3. Untuk penelitian yang berbentuk tim, mendiskusikan kode-kode

bersama partner satu tim dalam pertemuan rutin sharing analisis.

4. Melakukan cross-check dan membandingkan kode-kode yang dibuat

oleh peneliti lain dengan kode-kode yang telah dibuat sendiri. Sisi lain

yang perlu diperhatikan pula dalam penelitian kualitatif sebagaimana

uraian di atas adalah validitas data. Validitas dalam penelitian

kualitatif didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah

akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara

umum. Istilah validitas dalam penelitian kualitatif dapat disebut pula

dengan trustworthiness, authenticity, dan credibility (Creswell, 2010).

G. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu:

persiapan penelitian, tahap pelaksanaan dan tahap terminasi.

1. Tahap Persiapan

Sebelum melakukan pengumpulan data di lokasi, penelitian

terlebih dahulu menyusun pedoman wawancara mendalam, persiapan dan

49
pengecekan catatan lapangan yang digunakan untuk mencatat

pengamatan alat perekam, dan alat tulis.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah partisipan terindentifikasi memenuhuhi kriteria penelitian,

kemudian partisipan diberikan penjelasan mengenai kegiatan penelitian.

Kegiatan selanjutnya adalah wawancara dengan partisipan yang di awali

dengan menanyakan kondisi dan keadaan partisipan. Jika keadaan

partisipan tidak memungkinkan, maka peneliti membuat kontrak baru

untuk pertemuaan selanjutnya. Sebelum wawancara di mulai peneliti

menanyakan sudah siap untuk dilakukan wawancara dan keluhannya saat

ini. Setelah partisipan menyatakan kesiapannya, Peneliti membuat

kesepakatan kesediaan wawancara dengan partisipan kemudian

melakukan tanya jawab dengan mengacu pada pedoman wawancara yang

sudah dibuat.

Selama proses wawancara, peneliti mencatat semua peristiwa

kedalam catatan lapangan (field note). Isi field note meliputi prilaku non

verbal seperti ekpresi non verrbal, situasi saat wawancara, tempat,

tanggal dan waktu wawancara. Wawancara ini memerlukan waktu sekitar

60-90 menit. Dengan jumlah pertemuan yang dilakukan sampai dengan

melakukan konfirmasi dan validasi data dalam bentuk transkip verbatim

antara 2-3 kali pertemuan.

50
3. Tahap Terminasi

Terminasi dilakukan setelah pengumpulan data dirasakan cukup.

Peneliti menyampaikan pengumpulan data dalam penelitian sudah

selesai, wawancara ditutup dengan kesepakatan bahwa peneliti akan

menghubungi partisipan jika masih ada hal yang perlu ditanyakan.

Setelah wawancara selesai, segera dilakukan pengecekan kembali untuk

memastikan tidak ada informasi yang hilang selama proses wawancara

dengan mendengarkan kembali rekaman hasil wawancara.\

H. Analisis Data

Proses analisa data pada penelitian ini menggunakan beberapa

langkah tahapan menurut Colaizzi (1978); Creswell (2013), adapun

tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Penyusunan Transkrip

Memberi gambaran pengalaman personal terhadap fenomena yang

di teliti, yaitu peneliti mulai dengan mendengarkan deskripsi verbal

partisipan, membaca dan membaca ulang deskripsi tersebut. Selanjutnya,

peneliti menganalisis pernyataan pernyataan spesifik untuk memeberi

gambaran penuh tentang pengalamannya sendiri terhadap fenomena yang

diteliti.

51
2. Pembuatan Kategori

Membuat daftar pernyataan yang signifikan. Peneliti menemukan

pernyataan-pernyataan tentang bagaimana para partisipannya mengalami

berabagai pengalaman mereka yang dibuat dalam suatu daftar

pernyataan – pernyataan yang signifikan.

3. Formulasi Tema

Mengelompokkan pernyataan yang signifikan tersebut di

kumpulkan dalam satu unit data/ informasi yang lebih besar, yang disebut

“unit meaning” atau tema-tema.

4. Deskripsi Tekstural

Menuliskan deskripsi atau interpretasi “ apa” yang di alami para

partisipan terkait fenomena yang di teliti. Ini yang di sebut “ suatu

deskripsi tekstural“ tentang suatu pengalaman- apa yang dialami- dan di

lengkapi dengan contoh-contoh verbatim para partisipan.

5. Deskripsi Struktural

Menuliskan “bagaimana” pengalaman yang dialami partisipan. Ini

yang disebut dengan “ dekripsi struktural”, dan peneliti merefleksikan

pada setting atau konteks fenomena yang diteliti dialami partisipan.

6. Deskripsi Lengkap

Menuliskan deskripsi gabungan (interpretasi data), yaitu

menggabungkan deskripsi tekstural dan struktural. Ini yang disebut

“intisari” (essence) dari pengalaman para partisipan dan

mempresentasikan aspek inti dari studi fenomenologi yang dituliskan

peniliti melalui interpretasi data.

52
I. Keabsahan Data

1. Kredibilitas (Keterpercayaan) Data

Afiyanti (2014), Kredibilitas data atau ketepatan dan keakurasian

suatu data yang di hasilkan dari studi kualitatif menjelaskan derajat atau

nilai kebenaran dari data yang di hasilkan termasuk proses analisis data

tersebut dari penelitian yang dilakukan. Suatu penelitian di katakan

memiliki kreadibilitas yang tinggi atau baik ketika hasil-hasil temuan

pada penelitian tersebut dapat dikenali dengan baik oleh para

partisipannya dalam konteks sosial mereka.

2. Transferabilitas atau Keteralihan Data

Seberapa mampu suatu hasil penelitian kualitatif dapat di

aplikasikan dan di alihkan pada keadaan atau konteks lain atau kelompok

atau partisipan lainya merupakan pertanyaan untuk menilai kualitas

tingkat keteralihan atu transferabilitas. Transferability di pakai pada

penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep generalisasi yang di

gunakan pada penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep

generalisasi yang digunakan pada penelitian kualitatif (Afiyanti, 2014).

3. Dependendabilitas (Ketergantungan)

Pertanyaan dasar untuk memperoleh nilai dependabilitas atau

reliabilitas dari studi kualitatif adalah bagaimana studi yang sama dapat

di ulang atau replikasi pada saat yang berbeda dengan menggunakan

metode yang sama, partisipan yang sama, dalam korteks yang sama.

53
Dengan kata lain, dependabilitas mempertanyakan tentang

konsistensi dan reliabilitas suatu instrumen yang digunakan lebih dari

sekali penggunaan (Afiyanti, 2014).

4. Konfirmabilitas

Kriteria konfirbilitas menekankan pada kepastian data. Bermakna

secara objektivitas, dapat di percaya dan dapat dipastikan.

Konfirmabilitas (confirmability) memenggantikan aspek objektivitas

pada peneliti kuantitatif, namun tidak persis sama arti dari keduanya.

Yaitu kesediaan peneliti untuk mengungkap secara terbuka proses dan

elemen-elemen penelitiannya.

J. Etika Penelitian

Peneliti menggunakan berbagai pertimbangan etik dalam proses

penelitian. Pertimbangan etik digunakan untuk mencegah munculnya

masalah etik selama penelitian. Pertimbangan etik yang diterapkan dalam

penelitian kualitatif, yaitu prinsip menghargai martabat partisipan,

memerhatikan kesejahteraan partisipan, dan keadilan (justice)(Afiyanti,

2014).

1. Prinsip Menghargai Harkat dan Martabat Partisipan

Penerapan prinsip ini untuk memenuhi hak-hak partisipan dengan

cara menjaga kerahasiaan identitas partisipan (anonymity), kerahasiaan

data (confidentialy), menghargai privacy dan dignity, dan menghormati

otonomi (respect for autonomy).

54
Partisipan memiliki hak otonomi untuk menentukan keputusannya

secara sadar atau sukarela/tanpa paksaan setelah diberikan penjelasan

oleh peneliti. Menghormati otonomi partisipan adalah pernyataan bahwa

partisipan memiliki hak menentukan dengan bebas, sukarela, atau tanpa

paksaan untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan. Partisipan

memiliki hak untuk melanjutkan dan memutuskan keikut sertaannya

dalam penelitiaan tanpa sanksi apapun dari siapa pun.

Peneliti wajib menjaga kerahasiaan berbagai informasi yang

diberikan oleh para partisipan dengan sebaik-baiknya. Untuk menjamin

kerahasiaan (confidentialty) data, peneliti wajib menyimpan seluruh

dokumen hasil pengumpulan data berupa lembar persetujuan penelitian

mengikuti penelitian, biodata, hasil rekaman, dan transip wawancara

dalam tempat khusus. Hasil rekaman diberi kode partisipan tampa nama

(hak anonymity).

Partisipan memiliki hak untuk dihargai tentang apa yang mereka

lakukan dan apa yang dilakukan kepada mereka,termasuk kebebasan

dalam meberikan informasi yang bersifat personal atau rahasia. Hak

kebebasan lainnya adalah menentukan waktu dan tempat penelittian.

Peneliti dapat mengimformasikan bahwa partisipan berhak untuk

tidak menjawab pertanyaan wawancara yang dapat menimbulkan rasa

tidak nyaman bagi dirinya untuk menceritakan pengalaman yang tidak

ingin diketahui oleh orang lain. Jika partisipan merasa tidak nyaman

untuk berpartisipasi, partisipan dengan sukarela dapat mengundurkan diri

55
dari proses penelitian kapanpun ia inginkan. Hal ini dilakukan peneliti

untuk menhormati prinsip pripacy dan dignity.

2. Prinsip Memerhatikan Kesejahteraan Partisipan

Penerapan prinsip ini dilakukan peneliti dengan memenuhi hak-hak

partisipan dengan cara memperhatikan kemanfaatan (beneficience) dan

meminimalkan faktor resiko (nonmaleficience) dari kegiatan penelitian

yang dilakukan dengan memperhatikan kebebasan dari bahaya (free from

harm), eksploitasi ( free from exploitation), dan ketidaknyamanan ( free

from discomfort).

Setiap peneliti harus meyakinkan dan memastikan bahwa

penelitian yang dilakukan tidak hanya untuk kepentingan peneliti, tetapi

memastikan juga tidak menimbulkan resiko bahaya apapun terhadap

partisipan. Penerapan prinsip ini dilakukan peneliti dengan cara

memberikan penjelasan secara lengkap tentang kegiatan yang dilakukan.

Hak partisipan untuk mendapat resiko yang minimal dari penelitian

yang dilakukan (nonmaleficience). Hak ini berkaitan dengan prinsip

kemanfaatan yaitu setiap peneliti berkewajiban meyakinkan bahwa

kegiatan penelitian yang dilakukan tidak menimbulkan bahaya, tidak

mengeksploitasi, dan tidak mengganggu kenyamanan partisipan sekecil

apapun baik bahaya secara fisik maupun bahaya secara psikologis.

Prinsip ini juga menyatakan bahwa partisipan memiliki hak untuk diberi

penjelasan tentang bahaya atau resiko yang dapat ditimbulkan

selamakegiatan penelitian dilakukan.

56
Hak bebas dari ketidaknyamanan atau bebas dari bahaya (free from

harm) seperti secara fisik dapat mengalami kelelahan, secara psikologis

dapat mengalami stres dan rasa takut, dan secara sosial dapat mngalami

kehilangan teman, atau secara ekonomi dapat kehilangan penghasilan,

maka para peneliti harus meminimalisasi resiko terjadinya berbagai

ketidaknyamanan tersebut serta menyeimbangkan antara ketidak

nyamanan tersebut dengan besarnya manfaat yang diperoleh partisipan.

Terakhir, hak bebas dari eksploitasi (free from exploitation)

menyatakan bahwa keterlibatan para partisipan dalam penelitian yang

dilakukan tidak boleh merugikan mereka atau membuat mereka terpapar

situasi yang membuat mereka tidak siap karena merasa tereksploitasi

untuk menjawab pertanyaan yang sangat pribadi. Partisipan harus

dipastikan bahwa informasi yang telah mereka berikan tidak digunakan

untuk balik menentangnya.

3. Prinsip Keadilan (Justice)

Hak ini memberikan semua partisipan hak yang sama untuk dipilih

atau berkontribusi dalam penelitian tampa diskriminasi. Semua partisipan

memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama dengan menghormati

seluruh persetujuan yang disepakati. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap

partisipan penelitian memiliki hak untuk diperlakuan adil dan tidak

dibeda-beadakan diantara mereka selama kegiatan penelitian dilakukan.

Setiap penelita memberikan perlakukaan dan penghargaan yang sama

dalam hal apapun selama kegiataan riset dilakukan tanpa memandang

suku, agama, etnis, dan kelas sosial.

57
58

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik partisipan

Karakteristik demografi partisipan dalam penelitian ini, disajikan

dalam table 4.1 berikut:

Tabel 4.1

Karakteristik partisipan

Kode Inisial Umur Pendidikan Pekerjaan

P1 Ny. M 26 tahun S1 Guru SLB

P2 Ny. W 24 tahun S1 Guru SLB

P3 Ny. R 28 tahun S1 Guru SLB

P4 Tn. I 29 tahun S1 Guru SLB

P5 Ny. M 35 tahun S1 Guru SLB

P6 Ny. D 32 tahun S1 Guru SLB

Partisipan dalam penelitian ini adalah guru atau pengajar yang

mengajar anak tuna grahita di SLB Kota Bukittinggi minimal 2 tahun

terakhir. Pembatasan partisipan pada penelitian yang berjumlah 6 orang ini

disebabkan sudah tercapainya kelengkapan informasi atau data yang

diperlukan peneliti, atau dengan kata lain telah tercapai kejenuhan

(satured), dimana pada pengumpulan data tidak terdapat informasi baru

tentang gambaran pola komunikasi guru pada anak tuna grahita sedang.

58
B. Analisis Tema

1. Tema 1: Menggunakan Komunikasi Verbal

Kata Kunci Kategori Tema

1. Kita tu ngomong
lembut (P1,2)
2. Ngomong dengan
suara yang pelan
(P6) Bahasa lembut
3. Kalau anak tuna
grahita ko wak
lembut mangecek
(P4)

1. Harus ado kata


perintah (P3) Menggunakan
2. Tegas ka anak tu Kata Perintah Komunikasi
(P4,5) Verbal

1. Anak tuna grahita


sedang ko harus
wak angkek taruih
(P1)
2. Ya harus kita Kalimat Sanjungan
sanjung-sanjung
(P2,3)

1. Akak pakai bahasa


sederhana (P1,5)
2. Bahasanya tidak
berbelit (P2) Bahasa Sederhana
3. Menggunakan
kalimat yang efektif
(P6)

Skema 4.1

Tema 1: Menggunakan Komunikasi verbal

59
Berdasarkan hasil dari wawancara di peroleh informasi bahwa

partisipan menggunakan berbagai bahasa yang dapat membantu dalam

berkomunikasi dengan anak tuna grahita, agar pesan dapat tersampaikan

sehingga adanya feedback saat berkomunikasi dengan anak. Yang terbagi

ke dalam beberapa kategori. Kategori pertama yaitu bahasa lembut:

Pendapat partisipan mengenai bahasa lembut yang digunakan :

“kita tu lembut ngomongnya aa jadi ngomongnya tu kalau bisa oo

eeh kayak yang kak bilang tadi tu ee cepat sini dulu ndak bisa kayak gitu

do harus sini yaa” (P1)

“Kita tu ngomong lembut” (P2)

“Kalau anak tuna grahita ko lembut wak mangecek ndak buliah

kasa-kasa do”(P4) (Kalau anak tuna grahita sedang ni lembut kita

berbicara tidak boleh kasar)

“Ngomong dengan suara yang pelan, tidak boleh dengan nada

tinggi” (P6)

Berdasarkan dari pernyataan partisipan diatas, bahasa yang

digunakan harus bernada lembut, tidak bisa menggunakan nada atau suara

yang tinggi saat berkomunikasi dengan anak. Kategori selanjutnya yaitu

kata perintah. Pernyataan partisipan sebagai berikut:

““harus ado kato perintah, jadi harus aktif supaya ada komunikasi

sama dia kan”(P3) (Harus ada kata perintah, jadi harus aktif supaya ada

komunikasi sama anak)

60
“Kalau anak tu mada jan wak karehan bana, cuma tegas se”(P4)

(Kalau anak tu nakal jangan dikeraskan, cuma tegas aja)

“Ndak buliah wak kareh samo anak do, tapi harus dengan kalimat

tegas”(P5) (Tidak boleh keras sama anak, tapi harus dengan kalimat

tegas)

Dilihat dari pernyataan di atas bahwa partisipan menggunakan kata

perintah pada anak agar komunikasi dapat tersampaikan dengan baik, dan

partisipan tidak boleh marah melainkan harus tegas. Kategori selanjutnya

adalah kalimat sanjungan. Pernyataan partisipan sebagai berikut:

“anak tuna grahita sedang ko harus wak angkek taruih, kalau

segala sesuatu tu duh pintar ya kayak gitu wak mangecek”(P1) (Anak

tuna grahita sedang ni harus kita angkat terus, kalau segala sesuatu tu

bilang duh pintar ya kayak gitu kita ngomoongnya)

“tapi kalau anak down syndrom ni harus kita tinggi-tinggikan kek

gimana ya harus kita angkat disanjung-sanjung gitu aa”(P2)

“kalau anak ni bisa melakukan sesuatu kita kasih aplaus, kasih

semangat”(P3)

Kategori Selanjutnya yaitu bahasa sederhana. Berikut pernyataan

partisipan:

“Akak pakai bahasa sederhana oo bahasa ibu” (P1,5) (Kakak

menggunakan bahasa sederhana, bahasa ibu)

“ Bahasa yang kita gunakan tidak berbelit, supaya anak tidak

bingung”(P2)

61
“Kalimat yang digunakan harus efektif saat berkomunikasi”(P6)

Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa partisipan

menggunakan komunikasi verbal berupa lisan yaitu dengan bahasa yang

lembut, kata perintah dan kalimat sanjungan dan bahasa sederhana pada

anak untuk mendukung penyampaian proses informasi, sehingga

terjalinlah proses komunikasi yang baik dan efektif.

62
2. Tema 2: Menggunakan Komunikasi Non Verbal

Kata Kunci Kategori Tema

1. Pendekatan dengan
sentuhan (P1,2,5)
2. Anak ini kan butuh Sentuhan
kasih sayang (P3)
3. Anak ndak ngarati
wak rosok
pungguangnyo (P4)

Menggunakan
Komunikasi Non
Verbal

1. Kalau tidak paham,


kita suruh anak
menunjuk apa yang
dia maksud (P1)
2. Manunjuak pakai Bahasa Tubuh
bahasa tubuh (P4)
3. Kita bantu dengan
gerakan (P6)

Skema: 4.2

Tema 2: Menggunakan Komunikasi Non Verbal

63
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa partisipan

mengunakan berbagai cara untuk meningkatkan komunikasi pada anak

tuna grahita salah satunya melalui komunikasi non verbal. Yang terbagi

kedalam beberapa kategori. Kategori Pertama adalah sentuhan.

Pendapat partisipan mengenai sentuhan adalah :

“ Pendekatan ka anak aa pakai sentuhan (P1) (Pendekatan ke anak

dengan menggunakan sentuhan)

“Cuma kalau untuk diapain kali nggak yang udah besar, kecuali

yang masih kecil”(P2)

“Kalau anak-anak seperti ini kan butuh kasih sayang”(P3)

“kalau anak tu ndak ngarati wak rosok pungguangnyo”(P4) (Kalau

anak tidak mengerti di usap punggungnya)

“Komunikasi ka anak wak bantu jo sentuhan”(P5)(komunikasi ke

anak kita bantu dengan sentuhan”

Dilihat dari pernyataan di atas bahwa partisipan menggunakan

sentuhan saat berkomunikasi dengan anak. Kategori selanjutnya adalah

bahasa tubuh. Pernyataan partisipan sebagai berikut:

““ Manunjuak pakai bahasa tubuh kalau anak tidak paham”(P4)

(Menunjuk menggunakan bahasa tubuh jika anak tidak paham)

“ anak akan aktif kalau kita bantu dengan gerakan”(P6)

“Kalau kita tidak paham apa mau anak, kita suruh anak menunjuk
apa yang dia maksud”(P1)

64
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa

partisipan menggunakan sentuhan dan bahasa tubuh dalam berkomunikasi

dengan anak. Dimana dua hal tersebut termasuk ke dalam komunikasi non

verbal. Hampir seluruh partisipan mengatakan bahwa sentuhan merupakan

hal yang sangat penting dilakukan dalam berkomunikasi dengan anak tuna

grahita. Bahasa tubuh juga dapat dilakukan partisipan saat berkomunikasi

dengan anak.

65
3. Tema 3: Kurangnya Partisipasi Orang Tua dalam Mendidik Anak

Tuna grahita

Kata KunciKategoriTema

1. Pola asuh orang tua (P1)


2. Kalau komunikasi tidak
tersampaikan nanti kita
sampaikan ke orang Keterlibatan Orang
tuanya (P2,4) tua
3. Harus nyinyia samo anak
tu (P3)
4. Urang tuo ndak pernah
mengarahkan, makonyo
anak tu ndak bisa (P5)
5. Anak diajak berinteraksi
(P6)
Kurangnya
partisipasi orang tua
dalam mendidik
anak tuna grahita

1. Kakaknyo cuek se,


adiaknyo diam se dirumah
(P1)
2. Keluarga lebih
berpengaruh (P2,3,4)
3. Lingkungan sekitar harus Keterlibatan
terlibat (P5) anggota
4. Ajak anak ko untuak keluarga lain
berbicara secara aktif (P6)

Skema 4.3

Tema 3: Kurangnya Partisipasi Orang Tua dalam Mendidik Anak Tuna

grahita

66
Keterlibatan orang tua dan anggota keluarga dalam mendidik anak

merupakan hal paling penting untuk perkembangan anak tuna grahita.

Kategori pertama yang muncul adalah keterlibatan orang tua. Dari hasil

wawancara di ketahui bahwa ada orang tua yang berperan aktif terhadap

perkembangan anak dan ada yang tidak aktif. Hal ini sesuai dengan

pernyataan partisipan, sebagai berikut:

“kemampuan anak berbeda tergantung pola asuh orang tua juga

dirumah”(P1)

“kalau komunikasi nggak tersampaikan, ke orang tuanya kita

sampaikan misal ada tugas atau pr”(P2)

“pernah juga kami bilang ke orang tuanya harus nyinyia sama

anak tu supaya terlatih”(P3)

“kalau anak ndak datang ditanyo kaba ka urang tuo”(P4) (Kalau

anak tidak datang ditanyakan kabar ke orang tua)

“urang tuonyo ndak pernah mengarahkan anak makonyo anak tu

ndak bisa, peran orang tua sangat penting”(P5) (Orang tua tidak pernah

mengarahkan anak, makanya anak tida bisa, peran orang tua sangat

penting)

“anak tu harus diajak berinteraksi agar ndak pasif”(P6)

Kategori berikutnya adalah keterlibatan anggota keluarga lain.

Dimana dari hasil wawancara partisipan mengatakan bahwa masih ada

anggota keluarga yang bersikap acuh kepada anak tuna grahita. Hal ini

sesuai dengan pernyataan partisipan, sebagai berikut:

67
“kakaknyo cuek se ka manga, adiaknyo diam se dirumah”(P1)

(kakaknya cuek sibuk aja, adeknya diam aja dirumah)

“keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak,

karena waktu anak disekolah hanya sebentar”(P2,3,4)

“Dan bagaimana lingkungan sekitarnya sangat berpengaruh

terhadap perkembangan anak”(P5)

“ajak anak untuak berbicara secara aktif dirumah supayo

komunikasi anak ko lancar”(P6) (Ajak anak untuk berbicara secara aktif

dirumah, agar komunikasi anak lancar)

Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa peran orang

tua masih kurang dalam membantu proses perkembangan anak, selain

orang tua anggota keluarga lain serta lingkungan sekitar juga berbengaruh

terhadap diri anak. Berdasarkan pernyataan partisipan hanya beberapa

orang tua yang peduli dan mau mengajak anak berinteraksi saat dirumah.

68
4. Tema 4: Melakukan Komunikasi Interpersonal/Antar Pribadi
Pada Anak Tuna Grahita

Kata Kunci Kategori Tema

1. Kalau anak ndak mood,


wak ngecek ndak
diacuahan do (P1,2) Komunikasi
2. Nggak puas kita karena Satu Arah
anak nggak respon (P3)
3. Kalau anak ndak paham
wak tanyoan baliak ka
anak (P4)
4. Kalau anak nggak mood
tidak bisa kita paksakan
(P5,6)

1. Ndak bisa disamoan,


Melakukan
soalnyo karakteristik
komunikasi
anak berbeda (P1)
Komunikasi Dua Interpersonal/
2. Ganti-ganti komunikasi
Arah Antar pribadi
ke anaknya (P2,3,5,6)
pada anak tuna
3. Diarahkan anak agar
grahita
fokus (P4)
4. pembelajaran masing-
masing anak berbeda
(P1,4)

1. Komunikasi saat
pembelajaran tidak bisa
disamakan dengan anak Komunikasi
normal, tidak bisa Multiarah
sekaligus bersama (P1-6)

Skema: 4.4

Tema 4: Melakukan Komunikasi Interpersonal

69
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa partisipan

melakukan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi kepada

siswa tuna grahita. Ada beberapa kategorinya, kategori pertama yaitu

komunikasi satu arah. Berikut pernyataan partisipan:

“kalau anak sadang ndak mood wak ngecek ndak diacuahan,

anak tu diam se”(P1,2) (kalau anak sedang tidak mood, kita berbicara

tidak akan dipedulikan, anak diam saja)

“nggak puas kita rasanya komunikasi apabila anak tida

merespons”(P3)

“kalau anak ndak paham samo yang disampaian wak tanyoan

baliak ka anak tu”(P4) (kalau anak tidak paham sama yang disampaikan

kita tanyakan kembali pada anak)

“kalau anak tidak mood tidak bisa kita paksakan, kita tanya anak

maunya apa”(P5,6)

Kategori selanjutnya yaitu komunikasi dua arah. Dimana menurut

partisipan anak ada feedback saat dilakukan komunikasi dua arah. Saat

berkomunikasi anak mampu merespons partisipan.

Pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kalau dikelas kak ko ndak bisa disamoan muridnyo do, setiap

karakteristik anak tu beda-beda“(P1) (Kalau dikelas kak muridnya tidak

bisa disamakan, setiap karakteristik anak berbeda-beda)

“kalau kelas kak ni beda satu-satu jadinya ke anak, jadi ganti-

ganti komunikasi ke anaknya”(P2)

“komunikasi ke anak dilakukan secara bergantian”(P3)

70
“kadang-kadang pas baraja anak ko ndak amuah mancaliak wak

dek keadaannyo kan, jadi diarahkan mukonyo agar focus”(P4) (Kadang

saat belajar anak tidak mau melihat, jadi diarahkan wajahnya agar fokus)

“akak ngajanyo ka ciek-ciek anak”(P5) (Kakak ngajarnya ke satu

anak-satu anak)

“komunikasinyo ndak bisa langsuang ka sadonyo, harus ciek-ciek

anak wak dekati”(P6) (Komunikasi tidak bisa langsung ke semua, harus

satu-satu anak di dekati)

“pembelajaran masing-masing anak berbeda, soalnyo dikelas kak

anak beda-beda tingkatan kelasnyo”(P1) (Pembelajaran masing-masing

anak berbeda, soalnya dikelas kakak anak beerbeda tingkatan kelasnya)

“bang maagiah pelajaran ko ndak tinggi bana, sesuai kemampuan

anak se”(P4) (Bang memberikan pelajaran tidak tinggi, sesuai

kemampuan anak)

Dilihat dari pernyataan di atas bahwa semua partisipan

menggunakan komunikasi interpersonal atau komunikasi dua arah pada

anak tuna grahita saat pembelajaran. Kategori selanjutnya komunikasi

multi arah. Berikut pernyataan partisipan :

“setiap anak normal bisa disamaratakan ngomongnya, kalau ke

anak tuna grahita tidak bisa”(P1,5)

“ada perbandingan antara anak normal dengan anak luar biasa,

anak normal ngajarnya ya kayak biasa beda sama disini”(P2,3)

71
“komunikasi yang dilakukan secara bersama tidak efektif

dilakukan pada anak tuna grahita, karena memang hambatan anak yang

tidak mampu menerimanya, jadi disini pakai komunikasi individu”(P4,6)

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan partisipan dapat

disimpulkan bahwa komunikasi yang digunakan setiap guru pada anak

yaitu komunikasi antarpribadi atau interpersonal, komunikasi dilakukan

per anak tidak bisa dilakukan sekaligus bersama. Komunikasi multiarah

tidak efektif digunakan pada anak tuna grahita, karena kemampuan tiap-

tiap anak berbeda sehingga komunikasi tidak dapat dilakukan secara

bersamaan. Dan komunikasi akan terjadi satu arah apabila hanya guru

yang berbicara sedangkan anak tidak ada respons.

72
5. Tema 5. Meningkatkan kemampuan bina diri anak tuna grahita

Kata Kunci Kategori Tema

1. Lebih ke bina diri


sendiri (P1,2)
2. Anak diarahkan ke
keterampilan (P2)
3. Kita mengarahkan apa
yang anak mau (P3) Keterampilan
4. Keterampilan manjago anak
diri surang (P4)
5. Anak dilatih untuk
dirinya sendiri (P5)
6. Anak bisa merawat diri
(P6)
Meningkatkan
kemampuan bina
diri anak

1. Medianya harus
komplit (P1)
2. Media yang digunakan
biasanya gambar dan
video (P2,3,4) Bantuan
3. Tidak bisa menjelaskan media
dengan abstrak saja
(P5,6)

Skema: 4.5

Tema 5: Meningkatkan kemampuan bina diri anak tuna grahita

73
Meningkatkan kemampuan bina diri anak tuna grahita. Kategori pertama

yang muncul adalah keterampilan anak. Dari hasil wawancara diketahui

bahwa tujuan komunikasi dan pembelajaran pada anak tuna grahita

disekolah untuk mengembangkan keterampilan anak, dan anak juga

diajarkan bagaimana bina dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan

partisipan, sebagai berikut:

“ paling disini diajarkan lebih ke bina diri anak”(P1,2)

“kalau anak ni akademiknya nggak, cuma lebih ke keterampilan

kita arahkan”(P2)

“Cuma kita mengarahkan saja gimana anak-anak ni, misalnya

kemampuannya apa nggak mungkin kita paksain”(P3)

“Anak tuna grahita ko diajaan baa keterampilan manjago dirinyo

surang”(P4) (Anak tuna grahita ini diajarkan keterampilan menjaga

dirinya sendiri)

“Anak dilatih untuk dirinya sendiri”(P5)

“Anak diajarkan supaya bisa merawat dirinya dengan baik”(P6)

Kategori berikutnya adalah bantuan media. Berdasarkan hasil

wawancara dengan partisipan menjelaskan bahwa semua partisipan

menggunakan media yang nyata untuk memberikan pembelajaran pada

anak termasuk mengajarkan dalam hal bina diri, agar anak menjadi paham

karena diberikan contoh yang nyata. Berikut hasil wawancara yang

didapatkan:

74
“kalau anak tuna grahita sedang ko akak maajaannyo lebih ke

medianyo harus komplit”(P1) (Kalau anak tuna grahita sedang kakak

mengajarnya lebih ke medianya harus komplit)

“pembelajaran terkadang dibantu media, tergantung

pembelajarannya apa, media yang digunakan biasanya gambar”(P2)

“Media yang digunakan banyak misalnya pengenalan anggota

Tubuh kakak fotokan jadi harus pakai contoh”(P3)

“Menjelaskan dengan media seperti gambar dan video”(P4)

“Menjelaskan harus dengan media, tidak bisa dengan kalimat

yang abstrak saja”(P5,6)

Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa partisipan

melakukan pembelajaran dengan tujuan meningkatkan bina diri anak,

maksud dari bina diri ini yaitu bagaimana anak mampu melakukan

aktivitas sehari-hari seperti berpakaian, mandi makan dan lain halnya.

Akademik tidak terlalu pentingkan bagi anak berkebutuhan khusus, melain

anak lebih diarahkan ke keterampilan. Untuk membantu anak dalam

berkreativitas maka pastisipan menggunakan media agar anak bisa

mengerti dan paham.

75
6. Tema 6: Koping Guru Terhadap Anak Tuna Grahita

Kata Kunci Kategori Tema

1. Ndak buliah berang


do, ndak buliah emosi
(P1)
2. Keluar dulu untuk
menenangkan diri (P2)
3. Kita ngajar dari hati Meredakan amarah
jadi tidak ada kesal
(P3)
4. Kalau kesal ndak di
nampakan ka anak do
(P4)
5. Ndak buliah berang
beko anak takuik (P5) Koping guru
terhadap anak tuna
grahita

1. Harus lebih banyak


bersabar (P1,6)
2. Ka anak berkebutuhan
khusus wak harus sabar Sabar
(P4)
3. Harus berlapang hati
mengajar anak tuna
grahita (P3)

Skema 4.6

Tema 6: Koping guru terhadap anak tuna grahita

76
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa partisipan

harus mampu mengontrol emosi, dan partisipan mengatakan harus lebih

bersabar dalam mengajar anak tuna grahita karena keterbatan yang

dimiliki oleh anak. Yang terbagi ke dalam dua kategori, kategori pertama

yaitu kontrol emosi. Pernyataan partisipan sebagai berikut”

“dengan hambatan anak tu awak ndak buliah berang do ndak

buliah emosi, soalnyo anak ko tau ma yang sayang ka inyo”(P1) (Dengan

hambatan anak kita tidak boleh marah, tidak boleh emosi, soalnya anak tau

mana yang sama dia)

“Kalau cara kakak meredakan emosi, pergi kak keluar dulu untuk

menenangkan diri nantik masuk lagi”(P2)

“kita ngajarkan dari hati makanya nggak ada rasa kesal. Soalnya

anak tu dari awal kita udah tau, dan anak tu juga nggak ada bikin

kesal”(P3)

“kalau kesal ndak di nampakan ka anak do”(P4)(kalau kesal tidak

dilihatkan ke anak”

“Ndak buliah berang do, beko anak takuik ndak amuah baraja

samo akak do”(P6) (Tidak boleh marah, nanti anak takut tidak mau belajar

sama kakak)

Kategori berikutnya yaitu sabar. Pada penelitian ini didapatkan

infromasi bahwa partisipan harus bersikap sabar pada anak saat merasa

kesal. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

77
“kalau kesal pernah, tapi ndak berlarut ka anak berkebutuhan

khusus ko wak harus sabar”(P1,4) (kalau kesal pernah, tapi tidak berlarut

ke anak berkebutuhan khusus ini kita haru sabar)

“kesal tidak boleh harus sabar, karena mereka itu anak luar

biasa”(P6)

“Harus berlapang hati ngajar anak tuna grahita, karena itu

memang hambatan dari anak”(P3)

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan dapat disimpulkan

bahwa partisipan tidak pernah meluapkan emosinya pada anak tuna

grahita, karena anak ini memiliki perasaan yang sangat sensitif. Jika

merasa kesal partisipan berusaha untuk tidak memperlihatkan pada anak,

dan disini partisipan mengatakan bahwa harus sabar menghadapi anak,

karena mereka itu anak yang luar biasa.

78
79

BAB V

PEMBAHASAN

A. Tema 1: Mengunakan Komunikasi Verbal

Berdasarkan hasil penelitian komunikasi yang digunakan oleh

partisipan saat berkomunikasi pada anak tuna grahita yaitu komunikasi

verbal yang meliputi: bahasa yang lembut, kata perintah, bahasa sederhana

dan kalimat sanjungan.

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-

kata, entah lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai

dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka

mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan atau menyampaikan

fakta, data dan informasi. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang

peranan penting. Media yang dipakai yaitu bahasa. Karena, bahasa mampu

menjelaskan pikiran seseorang kepada orang lain (Kusumawati, 2016)

Bahasa sebagai pesan komunikasi baik itu verbal maupun non

verbal membutuhkan kemampuan mengabstraksi yang dapat dipenuhi

dengan kecerdasan intelegensi yang memadai. Berkaitan dengan

komunikasi, sebagai modal awal manusia berinteraksi dan beradaptasi,

diperlukan kemampuan untuk berbahasa. Untuk mengembangkan

kemampuan bahasa dan bicara pada seorang anak normal mungkin tidak

menemui kesulitan. Namun, tidak demikian dengan anak tuna grahita apa

yang dapat dilakukan anak normal sulit diikuti oleh anak tuna grahita

(Nur, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan

79
berbahasa pada anak tuna grahita khususnya tuna grahita sedang sangat

terbatas, perkembangan berbicara sangat terlambat jika dibandingkan

dengan anak pada umumnya, kosa kata atau kalimat yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari bersifat konkrit (Afiffah, 2017).

Penelitian ini juga sejalan dengan (Elisabeth, 2014), yang berjudul

Implementasi Komunikasi Instruksional Guru dalam mengajar anak tuna

grahita. Hasil penelitiannya adalah disekolah guru menggunakan

komunikasi verbal yang sederhana. Bahasa verbal sederhana dengan

pemilihan kata yang tidak bertele-tele lebih banyak digunakan guru saat

berkomunikasi dengan anak tuna grahita. Hal ini karena adanya

keterbatasn kemampuan berkomunikasi yang dialami oleh tuna grahita,

sehingga pemahaman terhadap katanya pun kurang baik.

Menurut asumsi peneliti, bahasa yang digunakan pada anak tuna

grahita harus disesuaikan dengan kondisi anak agar komunikasi dapat

terjalin dengan baik. Bahasa yang digunakan yaitu dengan bahasa yang

sederhana dan tidak berbelit, apabila anak tidak mengerti maka guru

mencari alternative lain agar anak memahami apa yang disampaikan. Guru

juga berperan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak agar

terlatih dalam berkomunikasi. Bahasa yang digunakan pada anak

disesuaikan dengan bahasa ibu atau bahasa biasa yang digunakan anak

dirumah sehari-hari. Guru yang mengajar anak dengan tuna grahita tentu

sudah memahami bagaimana karakter anak sehingga guru bisa

menggunakan bahasa yang efektif pada anak.

80
B. Tema 2 : Menggunakan Komunikasi Non Verbal

Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan informasi bahwa cara

komunikasi non verbal partisipan pada anak tuna grahita yaitu pendekatan

dengan sentuhan, kemudian komunikasi juga menggunakan bahasa tubuh.

Komunikasi merupakan penyampaian informasi dari satu orang

kepada orang lain yang dapat dilakukan dengan bahasa, suara, isyarat

gerak tubuh sedehana, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan sebagainya.

Keterampilan berkomunikasi yang baik diperlukan untuk dapat

menyampaikan sebuah pesan yang rumit sehingga tetap dapat diterima

dengan baik dan jelas oleh komunikannya (Nadya, 2019). Pada anak tuna

grahita lebih cenderung menggunakan komunikasi non verbal

dibandingkan komunikasi verbal (Kusumawati, 2016).

Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang menggunakan

pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk

melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan

tertulis. Dalam kenyataannya komunikasi non verbal dapat saling

melengkapi dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari. Begitupun

bagi anak tuna grahita mereka mengirim pesan-pesan nonverbal. Adapun

komunikasi non verbal pada anak tuna grahita salah satunya yaitu dengan

haptics/sentuhan (Yohana, 2012).

81
Hal ini sejalan dengan penelitian (Mulia, 2015), yang berjudul

Studi Deskriptif Pembelajaran Komunikasi Pada Anak Berkebutuhan

khusus. Hasil penelitiannya adalah selain menggunakan komunikasi non

verbal atau dengan sentuhan.

Pada penelitian (Rifaldi, 2012), yang berjudul Komunikasi Antar

Pribadi dalam Proses Belajar Mengajar Guru dan Murid Berkebutuhan

Khusus. Hasil penelitiannya adalah komunikasi non verbal berperan besar

untuk mempertegas komunikasi verbal. Anak tuna grahita akan lebih

merasa dihargai jika komunikasi non verbal digunakan.

Menurut asumsi peneliti komunikasi agar efektif dibantu dengan

sentuhan, karena dengan sentuhan anak akan merasa nyaman. Dimana

sentuhan ini termasuk kedalam komunikasi non verbal. Selain dengan

sentuhan, gerakan atau bahasa tubuh juga dapat dilakukan saat

berkomunikasi dengan anak tuna grahita. Karena gerakan tubuh ini dapat

membantu untuk menyampaikan pesan yang tidak dipahami oleh anak

tuna grahita.

82
C. Tema 3: Kurangnya Partisipasi Orang Tua dalam Mendidik Anak

Tuna grahita

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan dapat diperoleh

informasi bahwa partisipasi orang tua sangat penting dalam mendidik anak

tuna grahita. Namun ada sebagai orang tua yang bersikap acuh kepada anak

sehingga perkembangan anak tidak optimal. Selain partisipasi orang tua,

anggota keluarga yang lain seperti kakak dan adik juga harus aktif untuk

mengajak saudaranya berinteraksi agar terjalin komunikasi yang baik

sehingga anak tidak jadi pendiam.

Orang tua dalam membina dan membimbing buah hatinya merupakan

suatu hal yang sangat vital. Pendidikan yang diterima oleh seorang anak,

diawali dari para orang tuanya. Namun demikian saat ini belum sepenuhnya

disadari oleh para orang tua betapa pentingnya peran orang tua dalam

pendidikan anak. Terlebih lagi peran orang tua terhadap pendidikan anak

yang mengalami kebutuhan khusus (Kurniawan, 2012).

Semua orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh dan

berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan, tetapi pada kenyataannya

tidak semua anak dilahirkan dalam keadaan sempurna beberapa diantaranya

memiliki kekhusususan seperti tuna grahita. Pada kenyataan yang terjadi

banyak anak tuna grahita yang mengalami penolakan dilingkungan sekitarnya

bahkan tidak diterima dilingkungan keluarganya sendiri. Tetapi walaupun

demikian anak tuna grahita ini memiliki kemampuan yang dapat dioptimalkan

untuk membantunya beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Pengoptimalan

83
kemampuan anak tuna grahita ini sangat tergantung pada peran dan dukungan

dari orang tua dan keluarga (Djani, 2012).

Hal ini sejalan dengan penelitian (Vera, 2019), yang berjudul Peran

Orang tua dan Guru dalam Mendidik Anak Tunagrahita. Hasil penelitiannya

adalah adapun peran orang tua dirumah yaitu dengan mendidik anak-anak

tuna grahita seperti saudaranya yang lain, kalau ada tugas di sekolah suka

dibantu oleh orangtuanya. Dan orang tua juga mengajarkan beberapa

pekerjaan rumah pada anak.

Asumsi peneliti adalah pendidikan utama anak yaitu berasal dari

orang tua termasuk pada anak tuna grahita. Sikap orang tua cenderung tidak

menganggap penting pendidikan bagi mereka. Persoalan ini disebabkan

banyak hal, disamping karena adanya factor ketidak pahaman orang tua

tentang pendidikan anak yang berkebutuhan khusus, akibat rendahnya

pendidikan orang tua, factor lainnya ketika orang tua secara sadar dan sengaja

tidak mau memperdulikan pendidikan anaknya, karena merasa khawatir,

malu, dan menganggap sebagai aib mempunyai anak berkebutuhan khusus.

Namun sebaiknya orang tua harus memberikan dukungan dan motivasi

optimal pada anak, agar perkembangan anak dapat berkembang secara

maksimal dan anak dapat tumbuh secara baik dan aktif walaupun tidak seperti

anak yang normal.

84
D. Tema 4: Melakukan Komunikasi Interpersonal

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan informasi bahwa setiap

partisipan berkomunikasi pada anak tuna grahita dengan melakukan

komunikasi antarpribadi, komunikasi tidak dapat dilakukan secara bersamaan

pada anak tuna grahita.

Komunikasi Interpersonal disebut juga dengan komunikasi

antarpribadi. Menurut Kartika (2014), komunikasi interpersonal adalah suatu

proses antara orang yang satu dengan orang yang lain yang saling

menciptakan suatu hubungan antara mereka. Komunikasi interpersonal

merupakan suatu kegiatan yang melibatkan dua orang yang saling bertatap

muka secara langsung yang melakukan interaksi dan saling memberikan

umpan balik (Nur, 2013).

Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi ini adalah

komunikasi yang hanya ada dua orang, seperti guru dan muridnya. Dapat

disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian

informasi, pikiran dan sikap tertentu antara dua orang atau lebih yang terjadi

pergantian pesan baik sebagai komunikan maupun komunikator dengan tujuan

untuk mencapai saling pengertian, mengenai masalah yang akan dibicarakan

yang akhirnya diharapkan terjadi perubahan perilaku (Kurnia, 2017).

Hal ini sejalan dengan penelitian (Sondakh, 2017), yang berjudul Pola

Komunikasi Guru dalam Proses Belajar Anak Down Syndrom. Hasil

penelitiannya adalah komunikasi antarpribadi dianggap efektif dalam proses

pembelajaran, dengan komunikasi antar pribadi ini guru lebih mudah

mengetahui kekurangan dan kelemahan dari siswa down syndrome sehingga

85
materi atau pelajaran yang diberikan, dapat disesuaikan dengan kebutuhan

siswa. Metode pengajaran yang digunakan oleh guru yaitu individual, hal

tersebut karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak tuna grahita yang

kesulitan jika diberikan pembelajaran secara bersamaan.

Menurut (Rifaldi, 2012) penelitian yang berjudul Komunikasi

Antarpribadi dalam Proses Belajar Mengajar Guru dengan Murid

Berkebutuhan Khusus. Hasil penelitian menunjukkan pola komunikasi

antarpribadi yang terjadi antara guru dengan murid tuna grahita dapat terjadi

satu arah ketika murid tuna grahita tidak tertarik dengan materi pembelajaran,

namun dapat menjadik dua arah ketika murid tuna grahita tertarik dengan

materi pembelajaran.

Menurut asumsi peneliti, komunikasi yang seharusnya dilakukan

memang komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi pada anak

tuna grahita. Karena hambatan anak tadi menyebabkan komunikasi apabila

tidak dilakukan secara individu maka tidak akan efektif. Proses pembelajaran

dilakukan per anak secara bergantian, berbeda dengan anak normal

komunikasi bisa digunakan ke seluruh arah. Namun tidak pada anak tuna

grahita sedang harus menggunakan komunikasi antarpribadi, apabila anak

tertarik maka akan terjadi feedback, jika anak tidak tertarik maka komunikasi

tidak akan berjalan dengan baik.

86
E. Tema 5: Meningkatkan kemampuan bina diri anak tuna grahita

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan dapat disimpulkan

bahwa, tujuan dari pembelajaran pada anak tuna grahita yaitu lebih

mengarahkan anak pada keterampilan, anak tidak bisa dipaksakan untuk terus

menerus belajar dalam hal akademik. Keterampilan yang dimaksud yaitu

bagaimana meningkatkan kemampuan bina diri anak itu sendiri.

Istilah Activity of Daily Living (ADL) atau aktivitas kehidupan

sehari-hari dikenal dengan istilah bina diri dalam dunia pendidikan anak

berkebutuhan khusus. Bina diri merupakan suatu kegiatan yang bersifat

pribadi karena setiap keterampilan yang diajarkan atau dilatihkan sangat

berkaitan dengan kebutuhan pribadi yang seharusnya dilakukan tanpa dibantu

orang lain bila memungkinkan (Mirnawati, 2016).

Program bina diri memiliki peran sentral dalam mengantarkan peserta

didik dalam melakukan bina diri untuk dirinya sendiri. Pembelajaran bina diri

diarahkan untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan kemampuan

pediserta didik dalam melakukan bina diri untuk kebutuhan dirinya sendiri

sehingga tidak sepenuhnya membebani orang lain. Dalam program bina diri

ini terdapat berbagai aspek yang harus dikuasai dan dimiliki anak tuna grahita,

sehingga anak dapat hidup dengan wajar sesuai dengan fungsi kemandirian

antara lain: merawat diri, mengurus diri, menolong diri, berkomunikasi dan

menghindari bahaya (Kurniawan, 2012).

87
Hal ini sejalan dengan penelitian (Tjasmini, 2014), yang berjudul

Pembelajaran Bina Diri dalam Membantu Pemahaman Kesehatan Pada Anak

Tuna Grahita. Hasil penelitian mengemukakan bina diri harus diajarkan secara

terus-menerus agar mereka menjadi paham bahwa bina diri itu sangat penting.

Bina diri berarti usaha membangun diri individu baik sebagai individu

maupun sebagai makhluk social melalui pendidikan di keluarga, sekolah dan

masyarkat sehingga terwujudnya kemandirian anak.

Menurut asumsi peneliti, kemampuan bina diri anak tuna grahita itu

berpengaruh pada lingkungan sekitar anak baik dirumah, sekolah ataupun

masyarakat. Apabila lingkungan sekitar tidak memotivasi anak untuk dapat

melakukan aktivitas secara mandiri, maka anak tidak akan bisa dan

bergantung dengan orang lain. Pembelajaran bina diri ini bertujuan untuk

meningkatkan keterampilan anak dalam merawat diri sendiri, sehingga anak

mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Bina diri harus diajarkan secara terus-

menerus agar anak terbiasa dan terlatih melakukannya.

88
F. Koping Guru Terhadap Anak Tuna Grahita

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan dapat disimpulkan,

bahwa partisipan mampu mengontrol emosi saat berinteraksi dengan anak

tuna grahita. Partsipan mengatakan sebagai seorang pengajar tidak boleh

berlaku kasar dan keras pada anak, karena anak tuna grahita itu memiliki sifat

yang sangat sensitive.

Koping adalah proses dinamis yang merespons kepada perubahan

dalam kondisi penuh stres. Berbagai strategi koping bisa dilakukan dan

individu secara berkelanjutan mengevaluasi kembali situasi untuk menentukan

apakah usaha koping mereka berhasil atau tidak dalam menghadapi stres.

Koping stres strategi memampukan seseorang untuk melakukan proses

adaptasi terhadap berbagai macam tekanan atau stress dalam kehidupannya

(Joko, 2016).

Sistem pendidikian dapat berjalan dengan baik tergantung pada

beberapa factor, seperti guru, murid, kurikulum dan fasilitas. Berperan sebagai

guru merupakan tantangan karena disatu pihak guru di tuntut untuk ramah,

sabar, menunjukkan pengertian dan memberikan rasa aman namun di lain

pihak guru dituntut untuk memberikan tugas dan mendorong siswa untuk

mencapai tujuannya. Sementara itu, untuk anak betkebutuhan khusus guru

membutuhkan pola tersendiri dalam mengajar sesuai dengan kebutuhannya

masing-masing, yang berbeda antara satu dengan lainnya (Tongam, 2017).

Hal ini sejalan dengan penelitian (Maisyarah & Matulessy, 2015),

yang berjudul Dukungan Sosial, Kecerdasan Emosi dan Resiliensi Guru

Sekolah Luar Biasa. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa guru sekolah luar

89
biasa dituntut untuk memiliki kesabaran yang tinggi, kesehatan fisik dan

mental yang baik dalam bekerja. Mereka melakukan tugas fungsional

mengajar satu per satu siswanya dengan penuh kesabaran. Tanpa adanya

kemampuan untuk bertahan dengan kondisi sulit, mengajar bisa menjadi hal

yang berat dan memicu stress pada guru.

Menurut asumsi peneliti, guru yang mengajar khususnya di sekolah

luar biasa memiliki kemampuan yang kontrol emosi yang baik. Dimana guru

harus bersikap lembut dan ramah pada anak. Guru tidak boleh marah dengan

cara membentak atau kasar kepada anak, karena itu dapat melukai hati anak.

Guru dituntut untuk mampu mendidik anak dengan sabar, karena jika sempat

melontarkan kata yang tidak baik maka anak akan selalu mengingat apa yang

telah disampaikan. Dan anak tuna grahita tahu mana seseorang yang benar-

benar tulus menyayanginya. Maka dari itu kesabaran sangatlah penting dalam

mendidik anak tuna grahita, karena kita tidak bisa memaksakan anak harus

berbuat sesuai yang kita mau karena factor keterbatasan yang dimiliki oleh

anak membuat anak tersebut tidak mampu melakukan.

90
91

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan


sebagai berikut:
1. Saat berkomunikasi partisipan juga menggunakan komunikasi

verbal, yaitu melalui lisan. Komunikasi verbal yang digunakan

meliputi bahasa sederhana, bahasa yang lembut, menggunakan kata

perintah dan kalimat sanjungan. Hal ini dilakukan menyesuaikan

dengan kondisi anak tuna grahita yang memang kemampuan

komunikasinya tidak seperti anak normal lainnya.

2. Partisipan menggunakan cara berkomunikasi yaitu dengan

komunikasi non verbal salah satunya pendekatan dengan sentuhan

dan gerakan tubuh. Anak tuna grahita menyukai apabila partisipan

menggunakan pendekatan sentuhan, karena anak merasa aman dan

nyaman. Kemudian komunikasi juga dibantu dengan gerakan tubuh

agar anak dapat memahami pesan yang disampaikan

3. Partisipan mengatakan bahwa sebagian orang tua dan anggota

keluarga masih kurang partisipasinya dalam mengajak anak untuk

berkomunikasi. Partisipan mengungkapkan bahwa peran orang tua

dan keluargalah yang paling penting dalam mendidik anak, karena

disekolah anak hanya berada sebentar dan pembelajaran yang

didapat tentu tidak seoptimal dibanding ketika anak berada

dirumah.

91
4. Semua partisipan menggunakan komunikasi interpersonal atau

komunikasi antarpribadi saat berkomunikasi dengan anak. Dimana

komunikasi ini dapat terjadi dua arah apabila anak mampu

merespons pesan yang disampaikan. Khusus komunikasi dengan

anak tuna grahita itu tidak bisa dilakukan secara bersama,

melainkan harus bergantian.

5. Pembelajaran yang diberikan pada anak untuk membantu anak

dalam meningkatkan kemandiriannya salah satunya yaitu bina diri,

anak harus bisa melakukan aktivitas tanpa bergantung dengan

orang lain.

6. Semua partisipan memiliki strategi koping yang baik serta mampu

meredakan emosi dan amarah dengan baik tanpa meluapkan

langsung pada anak, berbagai upaya strategi koping yang baik

dilakukan agar tidak merasa kesal pada anak. Sabar juga menjadi

hal paling penting bagi partisipan, karena anak-anak ini memiliki

perasaan yang sensitif jadi pengajar harus berhati-hati dalam

berkomunikasi.

B. Saran

1. Bagi Partisipan

Agar partisipan tetap mempertahankan kemampuan dalam mengontrol

emosi saat mengajar anak tuna grahita. Dan partisipan lebih

bersemangat dalam menciptakan ide kreatif dan inovatif dalam

memberikan pembelajaran bagi anak tuna grahita.

92
2. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan perawat harus mampu meningkatkan cara berkomunikasi

yang baik khususnya pada anak berkebutuhan khusus. Dimana perawat

di tuntut untuk memiliki komunikasi dan attitudeyang baik dalam

memberikan pelayanan kesehatan kepada siapapun.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi

mahasiswa keperawatan yang berhubungan dengan komunikasi pada

anak berkebutuhan khusus seperti tuna grahita. Serta dapat

mengarahkan mahasiswa dalam memberikan pelayanan yang baik.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Agar melakukan penelitian lebih lanjut, lebih luas dan lebih dalam

cakupannya, dengan melibatkan guru atau pengajar dalam sharing

untuk meningkatkan kemampuan anak tuna grahita.

93
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta Selatan: Salemba

Medika.

Bayu, A. (2018). Komunikasi Dalam Pembelajaran. 5(3), 4077–4084.

Khoir, S. (2014). Pola Komunikasi Guru dan Murid di Sekolah Luar Biasa.

Liliweri, A. (2007). Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Menageti, E. (2016). Pola Komunikasi Interpersonal Pelajar Tunagrahita. 16(2),

1–16.

Ranuh, G. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Sanjaya, W. (2012). Pembelajaran (1st ed.). Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Setyawan, A. (2018). Pola Komunikasi Anak Difabel ( Tuna Grahita ) Pada

Sekolah Khusus AS-Syifa. V(2), 106–113.

Soetjiningsih. (2014). Tumbuh Kembang Anak (2nd ed.). Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Wisman, Y. (2017). Komunikasi Efektif Dalam Dunia Pendidikan. 3(2), 646–654.

Adhityanto, A. (2018). Pemberdayaan Tunagrahita Dalam Perspektif Pemenuhan

Kebutuhan Dasar. 6, 1–10.

Arivai, A. (2017). Mild Mentaly Disabled Students In Developing Students. 4(1),

1–14.

Gustiva. (2016). Meningkatkan Motorik Halus Bagi Anak Tuna Grahita Sedang.

5, 69–77.

94
Laili, F. (2013). Komunikasi bagi anak berkebutuhan khusus. 1, 163–189.

Rifaldi, R. (2012). Analisis komunikasi antarpribadi guru dengan murid

tunagrahita SLB.

Creswell, J.W. (2010). Research design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan


mixed. Yogyakarta: PT Pustaka Belajar.

Afiffah, N. (2017). Meningkatkan Kemampuan Berbicara pada Anak Tunagrahita

Sedang melalui Media Gambar. 18(1), 47–54.

Badrutaman, Z. (2017). Komunikasi Yang Efektif Dalam Mendidik Siswa Difabel

Di SLB C.

Djani, M. U. (2012). Upaya Orang Tua dalam Memberikan Layanan Pendidikan

bagi Anak Tunagrahita. 11, 32–37.

Elisabeth, F. (2014). Implementasi Komunikasi Instruksional Guru Dalam

Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus Di SLB C.

Ita, K. N. (2015). Gambaran Komunikasi Anak Usia Dini Tuna Grahita.

Kurnia, D. (2017). Komunikasi Interpersonal Guru dan Murid SLB.

Kurniawan, E. (2012). Pengaruh Program Bina Diri Terhadap Kemandirian

Anak Tuna Grahita. V(2), 616–628.

Kusumawati, T. I. (2016). Komunikasi Verbal dan Nonverbal. 6(2).

Maisyarah, & Matulessy, A. (2015). Dukungan Sosial, Kecerdasan Emosi dan

Resiliensi Guru Sekolah Luar Biasa. 4(03), 225–232.

Mirnawati. (2016). Pembelajaran Bina Diri bagi Anak Tuna Grahita di Sekolah.

1–9.

Mulia, D. (2015). Studi Deskriptif Pembelajaran Komunikasi Pada Anak

Berkebutuhan Khusus.

95
Nadya, K. (2019). Pola Komunikasi Komunitas Suara Hati Dalam Kegiatan

Sekolahku Luar Biasa.

Nur, A. (2013). Komunikasi Antarpribadi Tuna Grahita. 16(2), 137–152.

Rifaldi, R. (2012). Komunikasi Antar Pribadi dalam Proses Belajar Mengajar

Guru dengan Murid Berkebutuhan Khusus.

Sari, I. M. (2019). Pemerolehan Bahasa Pada Anak Tuna Grahita Di Sekolah

Luar Biasa.

Sondakh, R. (2017). Komunikasi adalah kegiatan yang paling utama dari

kehidupan manusia . Setiap manusia selalu membutuhkan komunikasi .

Menurut Rogers & O . Lawrence Kincaid , dengan adanya komunikasi

manusia dapat membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan

satu s. VI(1).

Tjasmini, M. (2014). Pembelajaran Bina Diri Dalam Membantu Pemahaman

Kesehatan Anak Tuna Grahita. 1(2), 204–210.

Tongam, I. (2017). Peran Guru Terhadap Anak Penyandang Tuna Grahita. 4(2),

1–13.

Vera, O. (2019). Peran Orangtua dan Guru Dalam Mrndidik Anak Tuna Grahita.

6, 1–13.

Yohana, N. (2012). Perilaku Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anak Tuna

Grahita. 15(2), 123–136.

96
97
98
99
Lampiran 4

PERMOHONAN MENJADI PARTISIPAN

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, mahasiswa Universitas Fort De


Kock Bukittinggi Jurusan Program Studi Keperawatan & Pendidikan Ners:

Nama : Mutia Septi Aflis


Nim : 1614201060
Alamat : Jl Unggek Dt Bagindo Gurpa Kota Bukittinggi

Bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Pola


Komunikasi Pengajar Pada Anak Tuna Grahita Sedang Di SLB Kota Bukittinggi“.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan pada guru
atau pengajar selaku responden, kerahasiaan informasi yang diberikan akan dijaga
dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian saja.
Apabila bapak/ibuk menyetujui, maka dengan ini saya mohon
kesediaannya menandatangani lembar persetujuan yang disediakan dibawah ini.
Demikianlah, atas perhatian dan ketersediaan bapak/ibuk sebagai
responden saya ucapkan terima kasih.

Bukittinggi, 2020

Peneliti

100
Lampiran 5
LEMBAR PERSETUUAN RESPONDEN

(INFORMED CONSENT)

Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, saya bersedia berperan


sebagai responden penelitian yang berjudul “Gambaran Pola Komunikasi
Pengajar Pada Anak Tuna Grahita Sedang Di SLB Kota Bukittinggi”, yang akan
dilakukan oleh mahasiswa Universitas Fort De Kock Bukittinggi.

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Menyatakan bahwa saya menjawab pertanyaan tanpa paksaan dari pihak


manapun juga. Saya mengerti bahwa penelitian ini tidak berakibat negatif bagi
saya.

Bukittinggi, ..............2020

Responden

(.......................................)

101
Lampiran 6

DATA DEMOGRAFI PARTISIPAN

Nama : ....................................................

Umur : ....................................................

Pekerjaan : ...............................................

Alamat : ...................................................

Pendidikan : ..............................................

Pengalaman : ..............................................

102
Lampiran 7

PEDOMAN WAWANCARA

A. Petunjuk Umum

1. Disampaikan ucapan terima kasih karena bersedia meluangkan waktu


untuk diwawancarai. Hal ini penting untuk merangkai persahabatan dan
hubungan baik.

2. Jelaskan maksud dan tujuan wawancara.

B. Petunjuk Wawancara Mendalam

1. Pembukaan wawancara mendalam

a. Ucapan terima kasih atas kesediaan untuk diwawancarai dan


ketenangan yang diberikan sangat bermanfaat.

b. Memperkenalkan diri pewawancara.

c. Menjelaskan tujuan wawancara mendalam untuk menggaali informasi


atau tanggapan.

2. Prosedur wawancara mendalam

a. Wawancara dilakukan oleh peneliti dan didampingi oleh seorang


pencatat atau alat rekam.

b. Partisipan bebas untuk menyampaikan pendapat, pengalaman, saran


dan komentar.

c. Pendapat, pengalaman, saran dan komentar partisipan sangat bernilai.

d. Jawaban tidak ada yang benar atau salah, karena wawancar ini untuk
kepentingan peneliti dan tidak ada penilaian.

103
e. Semua pendapat, pengalaman, saran dan komentar akan dijamin
kerahasiannya.

f. Wawancara ini akan direkan dengan alat perekam untuk membantu


pencatatan.

3. Penutup

a. Memberitahu bahwa wawancara telah selesai.

b. Mengucapkan terima kasih atas kesediaannya memberikan


informasi yang dibutuhkan.

c. Menyatakan maaf apabila terdapat hal-hal yang tidak


menyenangkan.

d. Bila kemudian hari terdapat informasi yang kurang mohon


kesediaan partisipan untuk diwawancarai lagi.

104
Lampiran 8

FORM PANDUAN WAWANCARA MENDALAM


PENELITIAN KUALITATIF

Judul : Gambaran Pola Komunikasi Pengajar Pada Anak


Tuna Grahita Sedang si SLB Kota Bukittinggi

Peneliti : MUTIA SEPTI AFLIS (1614201060)

Identitas Informan :

Nama :

No. Telp/Hp :

Usia :

Tingkat pendidikan :

Waktu wawancara :

Pertanyaan :

1. Coba bapak/ibu ceritakan alasan bapak/ibu memilih bidang yang


khusus mengajar anak berkebutuhan khusus?
2. Coba bapak/ibu jelaskan mengenai anak yuna grahita?
3. Sebagai guru yang mengajar di SLB agaimana cara bapak/ibuk
berkomunikasi dengan anak tuna grahita sedang?
4. Coba bapak/ibu jelaskan hambatan yang paling signifikan terjadi
pada anak tuna grahita sedang?
5. Coba bapak/ibu jelaskan apakah selama ini komunikasi yang
digunakan efektif?

105
1

Anda mungkin juga menyukai