Oleh:
Dosen Pengampu:
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan nikmat yang begitu banyak sehingga penulis dapat membuat dan
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar sebagaimana mestinya.
Penyelesaian makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Ujian
Akhir Semester mata kuliah Dirasat Syi‟iriyah. dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan mengenai tema-tema keistimewaan syi‟ir Arab di masa Dinasti
Umayyah dan mampu memberikan contoh serta analisis terhadap syi‟ir Arab
kepada pembaca.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pengampu yang
telah memberikan arahan dan masukan bagaimana menyusun makalah dengan
benar sehingga makalah ini terselesaikan dengan baik. Juga ucapan terima kasih
kepada teman-teman untuk membantu memberikan saran dalam penyusunan
makalah ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu oleh penulis. Makalah ini
belum bisa dibilang sempurna karena penulis menyadari masih ada keterbatasan
dan pengetahuan penulis dalam tema yang diambil. Maka dari itu, penulis
memohon kepada berbagai pihak untuk kiranya memberikan kritik dan saran
untuk perbaikan makalah yang dibuat selanjutnya.
Akhir kata, mohon maaf dari penulis apabila ada kesalahan dalam penulisan
makalah. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat yang berguna
untuk para pembaca terutama bagi penulis.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
Dadang Ismatullah, Membaca Fungsi Sastra Dinasti Umayyah, Alfaz, Jurnal Bahasa dan Sastra
Arab, IAIN Maulana Hasanuddin Banten, Vol. 2 (2), 2014, hal. 77.
1
B. Siapakah al-Farazdaq itu?
C. Bagaimana karakteristik karya syi’ir al-Farazdaq?
D. Apa saja karya syi’ir al-Farazdaq?
C. Tujuan Makalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syi’ir
شعرا – وشعرا االرجل اٌ علم و احس به-الشعر لغت من شعر و شعر – يشعر
Yang memiliki arti, mengetahui dan merasakannya, Dan adapun menurut
pendapat Ahmad Asy-Syayib, syi’ir atau puisi Arab adalah ucapan atau
tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme gaya
lama) dan qafiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satr) serta terdapat
unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding
prosa.2
Syair akan tetap ada, baik di masa terdahulu maupun di masa yang
akan datang. Syair juga merupakan sebuah ungkapan yang datang dari
dalam hati yang penuh kasih sayang , yang berisi rintihan hati dan
kepiluan. 3
Syair menurut Paul Valery adalah salah satu seni sastra yang paling
popular dan banyak tersebar di penjuru bumi. Syair juga berupa gambaran
sastra pertama yang muncul dalam kehidupan manusia sejak zaman awal.
Dan juga sebagai cara untuk mengekspresikan emosi manusia. 4
B. Biografi al-Farazdaq
2
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab, Jakarta:Fajar Interpratama Mandiri, 2012, hlm.10
3
Ikhlas Fakhri, asy-syi’ir wa humu al insani al ma’ashir, Kairo:Maktabah al- adab, 1992, hlm.7
4
Izuddin Ismail, Al-Adab wa Fununuhu, Kairo: Dar al-Fikr, 1968, hlm.130
3
Al-Farazdaq lahir di Basrah pada tahun 20 Hijriah bertepatan
dengan tahun 641 Masehi. Sebagian sejarawan mencatat bahwa Al-
Farazdaq lahir pada tahun 19 Hijriyah. Ia lahir dari keluarga aristokrat.
Ayahnya yang bernama Abu Ghālib merupakan pimpinan kelompok Bani
Tamīm. Ibunya bernama Laila binti Hâbis saudara perempuan dari al-
Shahābi al-Aqra‟ ibn Hābis seorang yang dianggap berpengaruh pada
masa Jahiliyah.5
Ia lahir di Kadhima (sekarang Kuwait) dan tinggal di Basra. Ia
adalah anggota Darim, salah satu divisi paling terhormat di Bani Tamim,
dan ibunya berasal dari suku Dabbah. Kakeknya Sa'sa' adalah seorang
Badui terkenal, ayahnya Ghalib mengikuti cara hidup yang sama hingga
Bashrah didirikan, dan terkenal akan kelemahlembutannya.
Pada usia 15, Farazdaq dikenal sebagai penyair, dan meskipun
pernah diminta oleh khalifah Ali bin Abi Thalib untuk bercurah pada studi
al-Qur'an, ia segera kembali membuat puisi. Dalam jiwa Badui yang
sesungguhnya ia banyak mencurahkan bakat ke satir dan menyerang Bani
Nahshal dan Bani Fuqaim. Saat Ziyad, anggota suku yang terakhir,
menjadi gubernur Basra pada tahun 669, penyair itu dipaksa pergi,
pertama ke Kufah, dan kemudian, karena masih dekat dengan Ziyad, ke
Madinah, wdi mana ia masih diterima oleh emir kota itu, Sa'id bin al-'Ash.
Ia tetap di sana hingga 10 tahun, menulis satir pada suku Badui, namun
menghindari politik kota.6
5
Cahya Buana, Budaya Satire pada Masa Dinasti Umayyah dalam Syair Hijā’ Al-Farazdaq,
Jurnal al-Turas, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Vol. 25, No. 2, 2019, hlm. 212.
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farazdaq
4
terhadap pemerintahan Umayyah. Hal itu disebabkan oleh karena puisi
pada masa itu menjadi sumber mata pencaharian penyair. Sehingga
mayoritas penyair memuji khalifah melalui puisinya, agar memperoleh
pendapatan atau upah dari karyanya tersebut.7
Masa Dinasti Umayyah juga melahirkan penyair-penyair Naqa'id,
seperti Jarir dan Farazdaq yang sampai beberapa tahun saling berdebat
lewat puisi-puisi mereka. Pada masa Dinasti ini, muncul tema-terna politik
dan polemik yang menggambarkan pergulatan politik dan aliran
keagamaan. Pada masa ini, Islam mencapai prestasi pembebasan wilayah
yang luar biasa sehingga memunculkan puisi-puisi yang bertema
pembebasan, dakwah Islam, dan tasawuf. 8
Syi’ir yang diciptakan oleh al-Farazdaq menyerupai syi’ir pada
zaman Jahiliyah sehingga syi’ir atau puisi al-Farazdaq mempunyai
karakter yang kuat, bahkan para ahli bahasa dan sastra memuji al-Farazdaq
dengan kalimat “kalau bukan karena puisi al-Farazdaq, maka akan
hilanglah 1/3 (sepertiga) bahasa Arab” seperti dalam kitab yang disebutkan
oleh Ahmad al-Hasyimi yaitu Jawahir al-Adab fi Adabbiyat wa Insya
Lughat al-Arab, juz II. Maka akhirnya, perintahan pada masa Umayyah
bersedia mengangkat al-Farazdaq menjadi penyair istana.9
Seorang penyair Umawi terkenal dalam puisi sanjungan dan
hinaannya dari Bashrah, al-Farazdaq (641-733 H.), suatu waktu lewat di
salah satu jalanan di Bashrah. Di sana, ada anak-anak sedang bermain
dengannya. Ketika melewati al-Farazdaq yang berada di atas
kendaraannya, mereka melempar pandangan padanya yang dinilainya
merupakan sesuatu yang tidak baik. Sikap tidak terpuji mereka itu
membuatnya ingin menghentikannya. Al-Farazdaq pun ingin menakuti
mereka seraya berkata:
نظر التبىس إلً مدي القصاب نظروا إليك بأعين محمرة
7
Asep Mufti Ramdlani, Puisi Sebagai Alat Propaganda Pada Masa Dinasti Umayyah Studi Kasus
Puisi Karya al-Farazdaq, Jarir, dan al-Akhtal, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia,
2013, hlm. 2.
8
Fadhil Munawwar Manshur, Sejarah Perkembangan Kesusastraan Arab Klasik dan Modern,
Universitas Gajah Mada, 2007. hlm. 5.
9
Asep Mufti Ramdlani, hlm. 2.
5
Mereka memandangmu dengan mata memerah Bagaikan merahnya al-
tabus memandang sepanjang bambu.10
Dan pada syi’ir Naqoid terdapat tiga macam gaya bahasa (Al
ushlub Bayan) pada syiir naqoid Jarir dan Farazdaq. Gaya bahasa
keduanya sangat indah dengan penggunaan Tasybih, Majaz (Isti‟aroh dan
Kinayah). Gaya bahasa yang digunakan Jarir lebih mudah dipahami karena
tiadanya kata-kata asing. Lain hal nya dengan gaya bahasa Farazdaq yang
lebih condong pada bahasa Al-Quran, sehingga sulit sekali untuk
dipahami. Imajinasi dalam puisi naqoid Jarir cenderung diqqah (sukar
dipahami) sedangkan Farazdaq lebih indah dan bagus karena
kepandaiannya menciptakan gambaran dalam angan-angan. 11
lamiyah.12
10
Moh. Pribadi, Sumbangan al-Khalil dalam Perkembangan Nahwu Arab, Jurnal Adabbiyat, UIN
Sunan Kalijaga, Vol. 1, No. 1, 2007, hlm. 76.
11
Endang Oktavia Arida, Gaya Bahasa Pada Syiir Pertikaian Jarir dan Farazdaq, Tesis,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2015.
.12 Novi Arini, Tema Satire dalam Puisi Jarir Ibnu Athiyyah Ibn Khathfy, Jurnal Ilmiah,
Universitas Indonesia, 2013, hlm. 5
6
“Walaupun gemintang malam dilempar dengan kehinaan bani
kulaib, tidaklah bintang itu menjadi gelap sementara kehinaan mereka
tetap berlalu. Walaupun siang dilempar dengan kehinaan mereka,
siang tetaplah terang sedang kehinaan mereka semakin terjadi. Dan
tidaklah ketua bani Kulaib bepergian kecuali untuk meminta
kebutuhannya pada tetangga”.13
Bait puisi ini menggambarkan pertikaian antara al-Farazdaq
dengan Jarir. Bait ini diawali dengan prolog al-Farazdaq
membanggakan kaumnya kemudian baru menyerang Jarir dan
sukunya.
أعز وأطول
ّ بيتا دعائمو
حكم السماء فإنو ال ينقل
املنزل
ّ وقضى عليك بو الكتاب
وجندل،أو عدس الفعال،سفيان
األول
ّ واألكرمون إذا يع ّد
إليو خيلو املنهل،ورد العشي
13
Ahmad al-Iskandari, Al-Wasit fi al-Adabi wa al-Tarikh, Mesir: Darul Ma‟arif, 1967, hlm. 174.
7
ال حيتيب بفناء بيتك مثلهم
14
H. Wildana Wargadinata, Sastra Arab dan Lintas Budaya, Semarang: UIN Malang Press, 2008
8
رش مل أبل ٍ تكثّر
ٍ ولو ال يدا ب# غيظ يف فؤاد املهلب
حلاىم
ُ األزد ََت ُفو ِ مزوين لئي ٍم املر
َ وملا رأيت# كب ٍ حوايل
ِ وس
ًأعنّة ِ ُعد ال ُقل ِ
َ َ ُم َقلَّ َدةً ب# يعجب ومن يسمع بىالك،عجبت
ُ
ِ احملص
ً فكيف ومل أيتوا مب ّكةَ منسكا# ب َّ ومل يعبُدوا األوََث َن عند
9
Sebagai pembuka syair, pada bait 1-4 al-Farazdaq memuji Bisyr
bin Marwan sebagai keturunan Bangsa Arab asli dari keluarga yang
terhormat. Bisyr Bin Marwan adalah saudara Khalifah Abdul Malik
bin Marwan (74 H). Ia saat itu menjabat sebagai walikota Iraqain (dua
Irak) yaitu Basrah dan Kufah. Pada baik ke-5 dan seterusnya,
Farazdaq menggunakan syairnya untuk mengejek dan
mempermalukan al-Muhallab. Al-Muhallab adalah penguasa Irak
yang dibaiat oleh Abdullah bin Zubair, salah seorang sahabat Nabi
SAW yang menyatakan untuk memisahkan diri dari kekuasaan Bani
Umayyah. Abdullah bin Zubair menginginkan al-Muhallab yang
memimpin Iraqain, namun Abdul Malik menempatkannya sebagai
walikota Khurasan. 15
Sebagai penyair istana, al-Farazdaq memuji-muji Bisyr bin
Marwan sebagai keturunan Arab Asli dan dari keluarga yang
terhormat. Sebaliknya al-Muhallab bukan keturunan Arab Asli, ia
keturunan nelayan, dan memiliki postur tubuh yang buruk. Untuk
menyerang lawan politik pimpinannya, al-Farazdaq juga
menggunakan sindiran personal, seperti menghina keturunan dan
bentuk tubuh lawan. Sebagai contoh pada syair di atas Al-Farazdaq
mengejek al-Muhallab sebagai seorang Mazuni yang artinya
keturunan nelayan. Al-Muhallab adalah keturunan Bani Azad dan
Ardasyir bin Babik adalah orang yang pertama kali menjadikan suku
Azad sebagai nelayan di laut Oman pada masa Jahiliyah. Al-
Mulahhab sendiri adalah keturunan Bani Azad (nelayan). Syair ini
salah satu contoh dari sekian banyak tema politik khususnya satire
yang digunakan al-Farazdaq untuk menyerang lawan politik
pimpinannya. 16
2. Al-Madah (pujian)
15
Cahya Buana, hal. 220
16
Cahya Buana, hal. 221
10
Semasa hiupnya Al-Farazdaq tidak pernah memuji para penguasa
untuk mengumpulkan harta darinya. Akan tetapi ia selalu memuji
pada penguasa iraq untuk melakuan pendeatan terhadap mereka
karena suatu kebutuhan qabilahnya atau karena khawatir akan
kedzalimannya.
3. Al-Fakhru (membangga-banggakan)
11
Berikut adalah puisi Al-Farazdaq yang membangga-banggakan:
فَعُ ْىلُ ْن َمفَا ِع ْيلُ ْن فَعُ ْىلُ ْن َمفَا ِعلُ ْن# فَعُ ْىلُ ْن َمفَا ِع ْيلُ ْن فَعُ ْىلُن َمفَا ِعلُ ْن
Bentuk taqti‟ pada syi‟ir al-Farazdaq seperti pada contoh berikut ini :
فَعُ ْى/ َمفَا ِع ْيلُ ْن/ُ فَعُ ْىل# َمفَا ِعلُ ْن/ُ فَعُ ْىل/ َمفَا ِع ْيلُ ْن/ُفَعُ ْىلn َمفَا ِعلُ ْن/ُل
3. Sajak atau Qafiyah (kata terakhir pada bait syi‟ir yang dihitung mulai
dari huruf yang terakhir pada bait sampai dengan huruf hidup sebelum
mati yang ada ndi antara kedua huruf hidup tersebut) yang terdapat pada
syi‟ir farazdaq yang berakhiran huruf hamzah dan alif. Nama qafiyah itu
disebut mutadarak.18
17
Sadunku, Biografi al-Farazdaq dan Karya Puisinya yang Indah, 2014
18
Siti Zumrotus Sholiha, Taghyiraat al-Auzan al-‘urudliyah wa Qofiyah fi Syi’ri al-
Farazdaq:Dirasah Urudliyah waqafiyah, Tesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, hlm. 108-
109.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
شعرا – وشعرا االرجل اٌ علم و احس به-الشعر لغت من شعر و شعر – يشعر
13
DAFTAR PUSTAKA
Arida, Endang Oktavia. 2015. Gaya Bahasa Pada Syiir Pertikaian Jarir
dan Farazdaq. Tesis. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
http://digilib.uinsby.ac.id/3187/
Diakses pada tanggal 10 Juni 2020, pukul 16. 00 WIB
Arini, Novi. 2013. Tema Satire dalam Puisi Jarir Ibnu Athiyyah Ibn
Khathfy, Jurnal Ilmiah. Universitas Indonesia. 2013.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351941-MK-
Novi%20Arini.pdf
Diakses pada tanggal 20 Juni 2020, pukul 16. 00 WIB
14
Manshur, Fadhil Munawwar. 2007. Sejarah Perkembangan
Kesusastraan Arab Klasik dan Modern. Universitas Gajah
Mada.
https://repository.ugm.ac.id/33018/1/9._SEJARAH_PERKEMB
ANGAN_KESUSASTRAAN_ARAB_KLASIK_DAN_MODE
RN-Fadlil.pdf
Diakses pada tanggal 16 Juni 2020, pukul 19.40 WIB
15
Wargadinata, H. Wildana. 2008. Sastra Arab dan Lintas Budaya,
Semarang: UIN Malang Press.
https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farazdaq
16