Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TETANUS DI

RUANG MELATI RUMAH SAKIT DAERAH DR. SOEBANDI JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

oleh
Aulana Ikhsan Fajar
NIM. 192311101147

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:

Nama : Aulana Ikhsan Fajar


NIM : 192311101147
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Tetanus Di Ruang Melati
Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, Februari 2020

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

__________________________ _________________________
NIP.............................................. NIP............................................
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

Laporan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:


Nama : Aulana Ikhsan Fajar
NIM : 192311101147
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Tetanus Di Ruang Melati
Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, Februari 2020

Tim Pembimbing

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

......................................................... .......................................................
NIP ................................................ NIP.................................................
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN.......................

LEMBAR PENGESAHAN ASUHAN KEPERAWATAN.........................

DAFTAR ISI...................................................................................................

LAPORAN PENDAHULUAN......................................................................

A. Definisi........................................................................................................
B..Review Anatomi Fisiologi.........................................................................
C. Epidemiologi..............................................................................................
D. Etiologi.......................................................................................................
E..Klasifikasi..................................................................................................
F..Tanda dan Gejala.....................................................................................
G. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................
H. Penatalaksanaan Medis............................................................................
I...Penatalaksanaan Keperawatan .............................................................
a. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul...........................
b. Perencanaan/ Nursing Care Plan...............................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi
Sel saraf atau neuron merupakan satuan kerja utama dari sistem saraf yang
berfungsi menghantarkan impuls listrik yang terbentuk akibat adanya suatu
stimulus (rangsang) (RICE, 2013).

Gambar 1. Sel saraf

Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya


terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf,
yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel
saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke sel saraf
yang lain atau ke jaringan lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya,
dendrit pendek. Pada ujung akhir dari akson terdapat sinapsis yang merupakan
celah antara ujung saraf di mana neurotransmiter dilepaskan untuk menghantar
impuls ke saraf selanjutnya atau organ yang dituju.

Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit.
Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat lapisan
lemak disebut myelin yang dibentuk oleh sel Schwann yang menempel pada
akson. Sel Schwann merupakan sel glia utama pada sistem saraf perifer yang
berfungsi membentuk selubung myelin. Fungsi myelin adalah melindungi akson
dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin
disebut nodus ranvier, yang dapat mempercepat penghantaran impuls (Sloane,
2003).
Berdasarkan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sel
saraf sensoris, sel saraf motorik, dan sel saraf intermediet (asosiasi) (RICE, 2013).
1. Sel saraf sensorik
Fungsi sel saraf sensorik adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis). Ujung
akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).
2. Sel saraf motorik
Fungsi sel saraf motorik adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke
otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan.
Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek
berhubungan dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat
panjang.
3. Sel saraf penghubung
Sel saraf penghubung disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan
di dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motorik
dengan sel saraf sensorik atau berhubungan dengan sel saraf lainnya yang ada di
dalam sistem saraf pusat. Sel saraf penghubung menerima impuls dari reseptor
sensorik atau sel saraf asosiasi lainnya.Kelompok-kelompok serabut saraf, akson
dan dendrit bergabung dalam satu selubung dan membentuk urat saraf. Sedangkan
badan sel saraf berkumpul membentuk ganglion atau simpul saraf.
Otak dan sumsum tulang belakang adalah sistem saraf pusat, dan merupakan
organ utama sistem saraf. Sumsum tulang belakang adalah struktur tunggal,
sedangkan otak orang dewasa dijelaskan dalam empat wilayah utama: otak besar,
diencephalon, batang otak, dan otak kecil. Pengalaman sadar seseorang
didasarkan pada aktivitas saraf di otak. Regulasi homeostasis diatur oleh daerah
khusus di otak (RICE, 2013).
Bagian- bagian otak menurut RICE (2013) adalah sebagai berikut:
1. Cerebrum
Cerebrum atau otak besar membentuk sebagian besar massa otak. Bagian
yang keriput adalah korteks serebral, dan sisa struktur berada di bawah lapisan
luar itu. Pemisah antara kedua sisi serebrum disebut fisura longitudinal. Ini
memisahkan otak menjadi dua bagian yang berbeda, belahan otak kanan dan kiri.
Fungsi neurologis pada cerebrum yaitu ingatan, emosi, dan kesadaran. Serebrum
terdiri dari materi abu-abu luar (korteks) dan beberapa nukleus dalam yang
termasuk dalam tiga kelompok fungsional penting. Nukleus ini berfungsi dalam
fungsi kognitif dan pengaturan gerak. Otak basal berfungsi dalam pembelajaran
dan memori. Korteks limbik adalah wilayah korteks serebral yang merupakan
bagian dari sistem limbik, kumpulan struktur yang terlibat dalam emosi, memori,
dan perilaku (RICE, 2013).

Gambar 1. Gambar otak lateral dan anterior


Beberapa bagian dari hemisfer mempunyai tugas yang berbeda terhadap
informasi yang masuk. Bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut (RICE,
2013).

Gambar 2. Lobus pada Korteks Cerebral


1). Lobus Temporal
Lobus Temporal berperan dalam mengolah informasi suara. Lobus temporal
dikaitkan dengan sensasi pendengaran primer, yang dikenal sebagai daerah
Brodmann 41 dan 42 di lobus temporal superior. Lobus temporal adalah bagian
dari sistem limbik dan memori adalah fungsi penting yang terkait dengan lobus
tersebut. Memori pada dasarnya adalah fungsi sensorik; kenangan adalah sensasi
yang teringat dan ingatan tentang gerakan. Struktur di lobus temporal bertanggung
jawab untuk membangun ingatan jangka panjang.
2). Lobus Oksipital
Lobus Oksipital berhubungan dengan pengolahan impuls cahaya dari
penglihatan. Lobus oksipital bertanggung jawab atas persepsi visual primer yang
terletak di bagian belakang dan mengaitkan informasi tersebut pada memori yang
ada dalam otak.
3). Lobus Parietal
Lobus parietal merupakan pusat pengaturan impuls dari kulit serta
berhubungan dengan pengenalan posisi tubuh. Sensasi utama yang terkait dengan
lobus parietal adalah somatosensasi, yaitu sensasi umum yang terkait dengan
tubuh. Area ini diidentifikasi sebagai area Brodmann 1, 2, dan 3. Rangsangan
sentuhan akan diproses di area ini, termasuk sentuhan, tekanan, gelitik, nyeri,
gatal, dan getaran, serta indera tubuh yang lebih umum seperti propriosepsi dan
kinesthesia.
4). Lobus Frontal
Lobus frontal merupakan bagian yang penting dalam proses ingatan dan
perencanaan kegiatan manusia. Lobus frontal dikaitkan dengan fungsi motorik.
Gyrus precentral adalah korteks motorik primer. Sel-sel dari daerah korteks
serebral ini adalah neuron motorik atas yang menginstruksikan sel-sel di sumsum
tulang belakang untuk menggerakkan otot rangka. Anterior ke wilayah ini adalah
beberapa area yang berhubungan dengan gerakan yang direncanakan. Area
premotor bertanggung jawab untuk memikirkan gerakan yang akan dibuat. Bidang
mata frontal penting dalam memunculkan gerakan mata dan dalam
memperhatikan rangsangan visual. Area Broca bertanggung jawab untuk produksi
bahasa, atau mengendalikan gerakan yang bertanggung jawab untuk berbicara.
Bagian anterior adalah lobus prefrontal, yang melayani fungsi kognitif yang dapat
menjadi dasar kepribadian, memori jangka pendek, dan kesadaran.
2. Thalamus
Talamus adalah kumpulan nuklei yang menyampaikan informasi antara
korteks serebral dan pinggiran, sumsum tulang belakang, atau batang otak. Semua
informasi sensorik, kecuali indra penciuman, melewati thalamus sebelum diproses
oleh korteks. Thalamus tidak hanya meneruskan informasi, tetapi juga memproses
informasi tersebut. Otak besar juga mengirimkan informasi ke thalamus berupa
perintah motorik. Ini melibatkan interaksi dengan otak kecil dan inti lainnya di
batang otak. Serebrum berinteraksi dengan nukleus basal, yang melibatkan
koneksi dengan thalamus.
3. Hypothalamus
Hipotalamus adalah kumpulan nuklei yang sebagian besar terlibat dalam
regulasi homeostasis. Hipotalamus adalah yang bertanggung jawab pada sistem
saraf otonom dan sistem endokrin melalui regulasi kelenjar hipofisis anterior.
Bagian lain dari hipotalamus terlibat dalam memori dan emosi sebagai bagian dari
sistem limbik.

Gambar 3. Letak thalamus dan hipotalamus


4. Batang otak
Otak tengah dan otak belakang (terdiri dari pons dan medula) disebut
sebagai batang otak. Struktur muncul dari permukaan ventral otak depan sebagai
kerucut tapering yang menghubungkan otak ke sumsum tulang belakang. Otak
tengah mengoordinasikan representasi sensorik dari ruang persepsi visual,
pendengaran, dan somatosensor. Pons adalah koneksi utama dengan otak kecil.
Pons dan medula mengatur beberapa fungsi penting, termasuk sistem dan laju
kardiovaskular dan pernapasan. Saraf kranial terhubung melalui batang otak dan
memberikan input sensorik dan output motorik yang terkait dengan kepala dan
leher.
5. Cerebellum atau otak kecil
Massa cerebellum sekitar 10 persen dari massa otak. Cerebellum merupakan
bagian otak yang mengendalikan koordinasi anggota tubuh dengan menerima
informasi dari otak besar dan panca indera, melalui saraf tulang belakang. Selain
mempengaruhi gerakan anggota tubuh, otak kecil juga menjaga keseimbangan
pada kemampuan berjalan (Sloane, 2003).

A. Definisi
Tetanus disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin) yang diproduksi oleh
bakteri anaerob Clostridium tetan (Hassel, 2013; Rahmanto, 2017). Tetanus dapat
didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang
mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot
menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan
sebelumnya (Rahmanto, 2017).
B. Epidemiologi
WHO memperkirakan pada 2008 (angka estimasi tahun terakhir yang ada),
59.000 bayi baru lahir meninggal akibat TN, terdapat penurunan 92% dari situasi
pada akhir 1980-an. Pada 2008 terdapat 46 negara yang masih belum eliminasi
TMN di seluruh kabupaten, salah satunya adalah Indonesia. Sebelum pengenalan
upaya eliminasi TN, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus
tertinggi di Asia. Survei berbasis komunitas untuk kematian TN dilakukan pada
awal 1980 di Jakarta dan daerah pedesaan di Bali, Jawa, Kalimantan, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera dan Sulawesi mengungkapkan
angka kematian berkisar 6-23 kematian TN per 1000 kelahiran hidup.
Berdasarkan data survei ini dan survei lainnya, jumlah kematian tahunan TN di
Indonesia secara keseluruhan diperkirakan 71.000 selama awal tahun 1980.5
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menurut SDKI tahun 2007 adalah 34
kematian per 1000 kelahiran hidup, dan kematian yang tertinggi terjadi pada
periode neonatal. Angka kematian neonatal di Indonesiaadalah 19 per 1000
kelahiran (Kemenkes RI, 2012).
C. Etiologi
Spora C. tetani terdapat di lingkungan bebas memasuki tubuh melalui luka
kulit yang terkontaminasi atau cedera jaringan termasuk luka tusukan Racun
diserap ke dalam aliran darah dan kemudian mencapai sistem saraf, menyebabkan
kontraksi otot yang menyakitkan dan seringkali keras (Maniloba, 2017).
Menurut Soedarmo (2010), penyakit tetanus disebabkan oleh kuman
Clostridridium tetani, karakteristik kuman ini berbentuk batang dengan ukuran
panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um serta kuman ini memiliki beberapa sifat,
antara lain.
a. Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
b. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
c. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit), kekeringan
dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar mencemari
lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan
yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.
d. Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah
di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada
tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,
tikus, babi, dan ayam.
e. Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun dapat
menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang
menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang
dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada
panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan
minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng
untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
f. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S dan menghasilkan gelatinase dan indol positif.
D. Klasifikasi
Berdasarkan temuan klinisnya, Ismanoe (2009) mendeskripsikan tetanus
menjadi 4 bentuk antara lain.
1. Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Maka inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat,
median onset setelah trauma adalah 7 hari, 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan
10% kasus terjadi setelah 14 hari. Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme
otot, dan apabila berat disfungsi otonomik.
2. Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan
dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat terutama setelah perawatan bekas
potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali
pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong
umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus
neonatorum. Diantara neonatonus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi
mental terjadi pada yang bertahan hidup.
3. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat
peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat
ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresif ke tetanus
generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya baik.
4. Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai
trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-
7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
E. Tanda dan Gejala
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan sistem saraf
pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang
lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup
tinggi GDA 59,2. Toksin tetanus menyebabkan hiperaktifitas otot sukarela dalam
bentuk kekakuan dan kejang. Kekakuan adalah tonik, kontraksi otot tak disengaja,
sementara kejang berlangsung lebih singkat. Kontraksi otot dapat disebabkan oleh
peregangan otot atau oleh stimulasi sensorik yang disebut refleks kejang.
Misalnya, kekakuan otot temporal dan masseter menyebabkan trismus (lockjaw),
kemampuan yang sangat berkurang untuk membuka mulut. Upaya membuka
mulut untuk pemeriksaan, dapat menyebabkan kejang yang menyebabkan rahang
mengepal sepenuhnya (Hassel, 2013)
Menurut Maniloba (2017), tanda dan gejala tetanus adalah sebagai berikut.
1. Tetanus yang terlokalisasi jarang terjadi dan ditandai oleh kontraksi otot yang
berkelanjutan pada area yang sama.
2. Kejang otot pada wajah menghasilkan risus sardonicus, ekspresi wajah khas
yang menyerupai senyum paksa.
3. Kejang otot-otot punggung yang berkelanjutan menyebabkan lengkungan
kepala, leher, dan tulang belakang ke belakang.
Menurut Muttaqin (2008), tanda dan gejala tetanus adalah:
1. Rigiditas yang dapat ditemukan :
a. trismus atau ”lockjaw” (rahang sulit dibuka)
b. risus sardonicus (kaku otot wajah)
c. kuduk kaku (kaku otot leher)
d. disfagia (kesulitan bicara)
e. gangguan nafas
f. perut papan
g. opistotonus (punggung melenting ke depan, tungkai atas kaku &
mengepal, tungkai bwh eksistensi, kesadaran baik)
2. Spasme/Kejang :
a. spontan
b. terangsang (oleh sentuhan, visual, auditori, emosi)
3. Disfungsi otonom :
a. tekanan darah tidak menentu
b. demam
c. jantung memelan
d. pernafasan cepat
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan ditandainya :
a. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
b. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
c. Ketegangan otot dinding perut
d. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu
anterior.
e. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas), sudut mulut
tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
f. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.
g. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior
dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan
tetap sadar. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi.
Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-
kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
h. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring.
Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna
vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
i. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
j. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
cairan otak.
F. Patofisiologi dan Clinical Pathway
Menurut Maniloba (2017), Toksin tetanus dibawa ke saraf neuron terminal
motorik bawah, sel-sel saraf yang mengaktifkan otot volunteer. Toksin tetanus
adalah metalloproteinase yang bergantung pada yang menargetkan protein
membran yang berhubungan dengan synaptobrevin/ vesikel dan VAMP) yang
diperlukan untuk pelepasan neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel
sinaptik dengan membran plasma neuron. Gejala awal infeksi tetanus lokal dapat
berupa kelumpuhan ringan, yang disebabkan oleh gangguan dengan pelepasan
asetilkolin vesikular di neuromuskuler, seperti yang terjadi dengan toksin
botulinum. Namun, tidak seperti toksin botulinum, toksin tetanus mengalami
transpor retrograde yang luas di akson neuron motorik bawah dan dengan
demikian mencapai sumsum tulang belakang atau batang otak. Kemudian toksin
diangkut melintasi sinapsis dan diambil oleh ujung saraf neuron penghambat
GABAergik dan glikinergik yang mengontrol aktivitas neuron motorik bawah.
Ketika masuk ke dalam saraf terminal penghambat, toksin tetanus membelah
VAMP, sehingga menghambat pelepasan GABA dan glisin. Fungsional denervasi
neuron motorik bawah, yang mengarah ke hiperaktif dan peningkatan aktivitas
otot yang ditandai dengan kekakuan otot dan kejang.
Clinical Pathway

Luka kotor,belum imunisasi, luka Chlostridium tetani


kecelakaan, luka tusuk, perawatan berproliferase dan Eksotoksin
tali pusat tidak baik memproduksi toksin

Menyebar ke saraf motorik


secara sistematik
Risiko Cedera

Tonus otot  Ganglion sumsum Saraf otonom Otak


tulang belakang

Otot Kaku Mengenai Saraf Gangguan pada


Anggota gerak neurotransmitter
Simpatis

Mulut Kesulitan Tidak bisa


bicara Hambatan Keringat berlebihan, mengontrol
mobilisasi hipotermi, hipertermi, eliminasi
tidak bisa fisik aritmia, takikardia
Hambatan
menelan makanan
komunikasi Gangguan eliminasi:
urine, defekasi
Gangguan menelan  O2 di otak
Hambatan
Kesulitan religiusitas Respon batuk
Nutrisi tidak berinteraksi Kesadaran  menurun
adekuat
Risiko ketidakefektifan Tidak bisa
Hambatan perfusi jaringan otak mengeluarkan
Ketidakseimbangan interaksi sekret
nutrisi kurang dari sosial
kebutuhan tubuh
Penumpukan
sekret

Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin (2008) pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus
meliputi:
1. Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
2. Fungsi ginjal: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
3. Elektrolit: ketidakseimbangan K dan Na merupakan predisposisi kejang kalium
(normal 3,80-5,00 meq/dl).
4. Radiologi, skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi.
5. EEG: Teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.
H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada pasien tetanus menurut Ritarwan (2004) adalah
sebagai berikut.
1. Human tetanus imun globulin (TIG) harus diberikan secara intramuskular
(lebih sering pada otot deltoid lengan atas atau otot paha lateral) dalam upaya
menetralkan toksin tetanus dalam cairan tubuh. TIG tidak memiliki efek pada
toksin yang sudah melekat pada jaringan saraf. Dosis terapi optimal TIG belum
ditetapkan. Kisaran dosis 3.000-6.000 unit umumnya yang diterima, berdasarkan
perhitungan jumlah imunoglobulin yang diperlukan untuk mencapai tingkat
antibodi yang melebihi yang ditemuka. TIG memiliki perlindungan minimal
terhadap efek toksin tetanus. Dosis total 500 unit TIG umumnya
direkomendasikan untuk anak-anak dan orang dewasa. Otot gluteal tidak boleh
digunakan sebagai tempat suntikan karena risiko cedera pada saraf skiatik
2. Tetanus antitoxin, Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus
Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja,
secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti
complementary aggregates of globulin yang dapat menimbulkan reaksi allergi
yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus
antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc
cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah
diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U)
diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar
3. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi.

Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Fokus
1. Anamnesa
a. Identitas pasien
a) Nama : Nama pasien
b) Usia : usia mulai dari bayi- dewasa, penderita muda ditemukan
riwayat mengalami kecelakaan, tertusuk paku atau pecahan kaca yang dapat
menyebabkan luka tusuk kecil yang dalam, tetanus pada bayi terjadi karena
infeksi pada tali pusat
b. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit sekarang
- Pengkajian RPS sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi
penyebab luka. Kaji dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti waktu
dimulainya serangan, sembuh, dan bertambah buruk. Keluhan kejang perlu untuk
dialkukan pengkajian lebih mendalam terkait sifat timbulnya kejang, stimulus apa
yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam
upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
- Adanya penurunan kesadaran atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan
perubahan perubahan perilaku juga terjadi. sesuai perkembangan penyakit dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
d. Riwayat penyakit terdahulu
- Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi klien mengalami
tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca,
terkena kaleng, atau luka yang menajdi kotor kerana terjatuh di tempat kotor dan
terbuka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka
bakar dan patah tulang terbuka, serta port de entrie lainnya seperti luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda
yang kotor
2. Pengkajian psiko sosio kultural
Pengkajian mekanisme koping klien untuk menilai respon atau pengaruh dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga dan masyarakat. Pengkajian psiko
sosial digunakan untuk menilai dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan melakukan sesuatu aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yanga salah (gangguan citra tubuh).
Karena klien harus menjalani rawat inap maka keadaan ini memberi dampak pada
status ekonomi klien, keena biaya perawatan dan pengobatan emerlukan dana
yang tidak sedikit.
3. Genogram
4. Pengkajian Keperawatan
a. persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
menjelaskan tentang bagaimana pendapat klien maupun keluarga mengenai
apakah kesehatan itu dan bagaimana klien dan keluarga mempertahankan
kesehatannya.
b. pola nutrisi/metabolik
antropometri yang dapat dilihat melalui lingkar lengan atau nilai IMT, biomedical
sign merupakan data yang diperoleh dari hasil laboratorium yang menunjang,
clinical sign merupakan tanda-tanda yang diperoleh dari keadaan fisik klien yang
menunjang, diet pattern merupakan pola diet atau intake makanan dan minuman
yang dikonsumsi.
c. pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau,
karakter)
d. pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living ,status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen
e. Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur
f. Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan keadaan
indera
g. Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan peran
diri
h. Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi
i. Pola peran & hubungan
j. Pola manajemen & koping stres
k. Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum (Kesadaran secara kualitatif maupun kuantitatif), tanda-tanda
vital seperti tekanan darah, pernafasan, nadi dan suhu
b. Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi):
1) Kepala
a) Rambut, Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut.
Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang,
kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa
sakit pada pasien.
b) Muka/ Wajah. Terdapat tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus, ada
gangguan nervus cranial
c) Mata, Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan
ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva?
d) Telinga, Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya
infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar
cairan dari telinga, melihat serumen telinga berkurangnya pendengaran.
e) Hidung, Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip
yang menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana
konsistensinya, jumlahnya?
f) Mulut, Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan
lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada
caries gigi?
g) Tenggorokan, Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-tanda
infeksi faring, cairan eksudat?
2) Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah
pembesaran vena jugularis?
3) Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale? Pada auskultasi,
adakah suara napas tambahan?
4) Jantung
Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya? Adakah bunyi
tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia?
5) Abdomen
6) Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen? Bagaimana
turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda meteorismus? Adakah
pembesaran lien dan hepar?
7) Kulit
8) Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma? Bagaimana keadaan turgor kulit?
9) Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang?
Bagaimana suhunya pada daerah akral?
10) Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi?
6. Pengkajian khusus/fisik:
1) Sistem pernafasan: dyspnea, asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot
pernafasan, AGD abnormal.
2) Sistem kardiovaskular: disritmia, takikardi, hipertensi dan perdarahan, suhu
tubuh awalnya 38 - 40°C atau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
3) Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
4) Sistem perkemihan: retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output
tidak ada/oliguria)
5) Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
6) Sistem integument dan muskuloskeletal: nyeri kesemutan pada tempat luka,
berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot
muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan
kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status
konvulsi dan kejang umum.
b. Pemeriksaan penunjang dan diagnostik
Pemeriksaan rangsang meningeal
Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda
asing seperti darah, maka dapat merangsang selaput otak.
a. Kaku kuduk dengan cara:
1) Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang
berbaring. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada.
2) Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
3) Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai
dada.
4) Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat,
kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang.
5) Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami
waktu menekukkan kepala.
b. Tanda laseque
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
1) Pasien berbaring lurus,
2) lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
3) Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.
4) Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.
5) Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit
atau tahanan.
6) Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70
c. Tanda Kerniq
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
1) Pasien berbaring lurus di tempat tidur
2) Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o,
3) Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
4) Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 o, antara tungkai bawah
dan tungkai atas.
5) Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai
sudut 135 o
d. Tanda Brudzinsky I
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
1) Pasien berbaring di tempat tidur.
2) Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.
3) Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan.
4) Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.
e. Tanda Brudzinsky II
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
1) Pasien berbaring di tempat tidur.
2) Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi
berada dalam keadaan lurus.
3) Brudzinsky II (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi
perhatikan apakah ada kelumpuhan pada tungkai.
Pemeriksaan diagnostik
Laboratorium: leukositosis ringan, peninggian tekanan cairan otak, deteksi kuman
sulit

a. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
oksigen di otak
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kontraksi paru
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret di
dalam trakea, kemampuan batuk menurun
4. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, dan kejang
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kejang umum
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan adanya kejang umum dan
kelemahan fisik
7. Risiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang umum
8. Hipertemi yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efketoksin di
jaringan otak
9. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan spasme abdomen
10. Gangguan eliminasi defekasi berhubungan dengan spasme abdomen
11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
asupan nutrisi kurang adekuat, ktidakmampuan menelan, keadaan kejang
abdomen, trismus
12. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang
berulang
b. Perencanaan/ Nursing Care Plan

Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi keperawatan Rasional
keperawatan
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 NIC :
perfusi jaringan jam, masalah ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral 1. Monitor TTV 1. Mengetahui
otak teratasi dengan kriteria hasil: 2. Monitor AGD, ukuran perkembangan tanda
berhubungan No. Indikator Awal Tujuan pupil, ketajaman, vital klien
dengan 1 2 3 4 5 kesimetrisan dan reaksi 2. Melihat adanya
penurunan 1. Tekanan darah 3. Monitor adanya diplopia, perubahan
oksigen di otak 2. Komunikasi pandangan kabur, nyeri 3. Memantau keluhan
3. Konsentrasi kepala klien terkini
4. Aktivitas kejang 4. Monitor level kebingungan 4. Menilai kesadaran klien
5. Nyeri kepala dan orientasi 5. Menilai kemampuan
5. Monitor tonus otot otot klien
Keterangan: pergerakan 6. Memantau adanya
1. Sangat terganggu 6. Monitor tekanan intrkranial keluhan klien
2. Banyak terganggu dan respon nerologis 7. Mendokumentasikan
3. Cukup terganggu 7. Catat perubahan pasien tindakan yang
4. Sedikit terganggu dalam merespon stimulus dilakukan
5. Tidak terganggu 8. Monitor status cairan 8. Memantau kebutuhan
cairan klien

2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 NIC :


pola napas jam, masalah ketidakefektifan pola napas teratasi Airway management
berhubungan dengan kriteria hasil: 1. Kaji frekuensi napas 1. Monitor indikator pola
dengan napas pasien
penurunan No. Indikator Aw Tujuan 2. Auskultasi suara napas 2. Mengidentifikasi
kontraksi paru al 1 2 3 4 5 3. Pertahankan posisi pasien adakah suara tambahan
1. RR 4. Monitor pola napas pasien 3. Membantu pasien
2. Sesak napas dalam ventilasi
3. Sianosis 4. Memantau keefektifan
4. Pernapasaan tindakan
cuping hidung
5. Retraksi dada

Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 1. Kaji fungsi paru, adanya 1. Membantu dan
bersihan jalan jam, masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas bunyi napas tambahan, mengatasi komplikasi
napas teratasi dengan kriteria hasil: perubahan irama dan pontensial. Pengkajian
berhubungan No. Indikator Awal Tujuan kedalaman, penggunaan fungsi pernapasan
dengan 1 2 3 4 5 otot-otot aksesori, warna, dengan interval yang
penumpukan 1. Tekanan darah dan kekentalan sputum teratur adalah penting
sekret 2. RR 2. Ajarkan cara batuk efektif karena pernapasan yang
3. Batuk tidak efektif dan
4. Ronkhi 3. Lakukan fisioterapi dada, adanya kegagalan ,
5. Otot bantu napas vibrasi dada karena adanya
kelemahan atau paralisa
4. Penuhi hidrasi cairan via pada otot –otot
oral seperti minum air interkostal dan
Keterangan: putih dan pertahankan diafragma yang
1. Sangat terganggu intake cairan 2500 ml/hari berkembang dengan
2. Banyak terganggu 5. Lakukan pengisapan cepat
3. Cukup terganggu lendir/suction pada jalan 2. Klien berada pada
4. Sedikit terganggu napas risiko tinggi bila tidak
5. Tidak terganggu 6. Berikan oksigen sesuai dapat batuk efektif
kebutuhan untuk membersihkan
jalan napas dan
mengalami kesulitan
dalam menelan, yang
dapat menyebabkan
aspirasi saliva, dan
mencetuskan gagal
napas akut
3. Terapi fisik dada
membantu
meningkatkan batuk
lebih efektif
4. Pemenuhan cairan
dapat mengencerkan
mucus yang kental dan
dapat membantu
pemenuhan cairan yang
banyak keluar dari
tubuh
5. Pengisapan mungkin
diperlukan untuk
mempertahankan
kepateanan jalan napas
menjadi bersihn napas
6. Pemenuhan oksigen
terutama pada klien
tetanus dengan laju
metabolism yang tinggi
4. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 NIC :
berhubungan jam, masalah nyeri akut teratasi dengan kriteria hasil: Pain Management
dengan kontraksi No. Indikator Awal Tujuan
otot 1 2 3 4 5 1. Kaji karakteristik nyeri dari 1. Pertimbangan tindakan
1. Tekanan darah precipitating, quality, selanjutnya
2. Kontrol nyeri region, severity, dan time 2. Pasien memahami
3. Mengenali nyeri (PQRST), skala nyeri keadaan sakitnya
4. Menyatakan 2. Berikan penjelasan mengenai 3. Respon non verbal
nyaman penyebab nyeri terkadang lebih
3. Observasi respon non-verbal menggambarrkan apa
Keterangan: pasien yang pasien rasakan
1. Sangat terganggu 4. Ajarkan teknik relaksasi 4. Mengajarkan pasien
2. Banyak terganggu nyeri : kompres hangat mengontrol nyeri yang
3. Cukup terganggu 5. Kolaborasi pemberian timbul
4. Sedikit terganggu analgesik 5. Mengontrol /
5. Tidak terganggu mengurangi nyeri
pasien
5. Hambatan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 NIC:
mobilitas fisik jam, masalah hambatan mobilitas fisik teratasi dengan Exercise therapy
berhubungan kriteria hasil: 1. Monitor tanda-tanda vital
dengan 2. Jelaskan manfaat melatih 1. Mengidentifikasi efek
kelemahan gerak pasien terapi kepada pasien
No. Indikator Awal Tujuan 3. Latih latihan rentang gerak 2. Pasien/ keluarga paham
1 2 3 4 5 (ROM) aktif / pasien terhaddap manfaat dari
1. Tekanan darah 4. Anjurkan pasien/ keluarga latihan gerak dan
2. Kekuatan otot untuk otot-otot anggota tubuh diharapkan dapat
3. Aktivitas sehari- dengan teratur/ sesering bekerja sama melatih
hari mungkin sesuai kemampuan rentang gerak pasien
4. Menyatakan pasien 3. Mencegah kontraktur
nyamana. 5. Evaluasi kemampuan karena otot-otot yang
mobilitas pasien jarang digunakan
Keterangan: karena tirah baring
1. Sangat terganggu 4. Meningkatkan
2. Banyak terganggu frekuensi latihan sesuai
3. Cukup terganggu kemampuan pasien
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu 5. Memonitor kemajuan
intervensi
yangdilakukan
Sumber: (Bulechek, 2013; Moorhead, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G & Butcher, H. 2013. Nursing Intervention Classification (Nic). Edisi


6. Elsevier.
Hassel, B. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, And The Possibility Of
Using Botulinum Toxin Against Tetanus-Induced Rigidity And Spasms.
73–83.
Kemenkes Ri. 2012. Data Dan Informasi Kesehatan Eliminasitetanus. 1
Maniloba. 2017. Tetanus. (July):1–6.
Moorhead, S. 2013. Nursing Outcome Classification (Noc). Edisi 5. United
Kingdom: Elsevier.
Muttaqin, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
Rahmanto, D. 2017. Tetanus. Universitas Diponegoro
Rice. 2013. Anatomy & Physiology. Edisi 2. Texas: Rice University.
Ritarwan, K. 2004. Digitized By Usu Digital Library 1. Universitas Sumatra
Utara. (1):1–10.
Sloane, E. 2003. Anatomi Dan Fisiologi. Jakarta: Egc.
Soedarmo, dkk. 2010. Tetanus. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Anda mungkin juga menyukai