Disusun Oleh :
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain:
tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, kesulitan belajar, gangguan
perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan, dan kesulitan bersosialis.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka,
contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan
braille (tulisan timbul) dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat
(bahasa tubuh).
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis
pendidikan bagi anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU
No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan
Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan
Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang
pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik
berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara;
d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i.
autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.
Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 Pendidikan khusus bagi peserta
didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus
dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan
pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Pasal 133 ayat (4)
menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan
secara terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan.
Permendiknas No. 70 tahun 2009 Pasal 3 ayat (1) Setiap peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) Peserta didik
yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 terdiri atas: a.
tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g.
berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k.
menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; l.
memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda Integrasi antar jenjang dalam bentuk
Sekolah Luar Biasa (SLB) satu atap, yakni satu lembaga penyelenggara mengelola
jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB dengan seorang Kepala Sekolah.
Sedangkan Integrasi antar jenis kelainan, maka dalam satu jenjang pendidikan khusus
diselenggarakan layanan pendidikan bagi beberapa jenis ketunaan. Bentuknya terdiri
dari TKLB; SDLB, SMPLB, dan SMALB masing-masing sebagai satuan pendidikan
yang berdiri sendiri masing-masing dengan seorang kepala sekolah.
Altenatif layanan yang paling baik untuk kepentingan mutu layanan adalah
Integritas Antar Jenis. Keuntungan bagi penyelenggara (sekolah) dapat memberikan
layanan yang tervokus sesuai kebutuhan anak seirama perkembangan psikologis anak.
Keuntungan bagi anak, anak menerima layanan sesuai kebutuhan yang sebenarnya
karena sekolah mampu membedakan perlakuan karena memiliki fokus atas dasar
kepentingan anak pada jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB.
Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan
Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis.
Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat
merugikan anak karena dalam praktiknya seorang guru yang mengajar di SDLB juga
mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama antara
kepada siswa SDLB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran juga
kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan
karakteristik rentang usia.
Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di
Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu,
SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk
tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Autisme spectrum disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan komplek yang
dapat menyebabkan masalah dalam berpikir, perasaan, berbahasa dan kemampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain. Keadaan ini merupakan kelainan neurologis,
yang berarti mempengaruhi fungsi otak. Efek ASD dan keparahan gejala berbeda
pada setiap orang (APA, 2013).
B. TUJUAN
a. TUJUAN UMUM
Meningkatkan persepsi
b. TUJUAN KHUSUS
1. Anak dapat mengenali warna
2. Anak dapat mengenali bentuk
3. Mengembangkan imajinasi anak
BAB II
DESKRIPSI KASUS
Sasaran terapi bermain ini adalah anak usia sekolah di SLBN Kabupaten Tegal.
Dengan kriteria sebagai berikut :
1. Anak usia sekolah
2. Anak berkebutuhan khusus, seperti Autisme, tuna rungu dan tuna grahita.
3. Laki-laki dan perempuan
B. ANALISA KASUS
METODOLOGI BERMAIN
A. JUDUL PERMAINAN
Mewarnai gambar
B. DESKRIPSI PERMAINAN
Terapi bermainan yang akan diberikan adalah mewarnai gambar. Permainan ini akan
dilakukan dengan cara siswa akan memilih salah satu dari gambar yang di sukai dan
siswa akan mewarnai gambar yang sudah di pilihnya.
C. YUJUAN BERMAIN
1. Memberikan kesempatan pada anak untuk berekspresi.
2. Dengan berekplorasi dengan gambar, anak dapat membentuk, mengembangkan
imajinasi dan berekplorasi dengan ketrampilan motoric halus.
3. Anak dapat mengespresikan perasaannya.
4. Sebagai terapi kognitif, pada anak menghadapi kecemasannya.
E. JENIS PERMAINAN
Mewarnai gambar
G. WAKTU PELAKSANAAN
Tempat : Ruang kelas SLBN Kabupaten Tegal
Hari/Tanggal : Kamis / 28 Januari 2021
Pukul : 07.00-selesai
H. PROSES BERMAIN
b. Seting tempat
Keterangan:
: Leader
: Fasilitator
: Observer
: Peserta
Leader :
Fasilitator :
Observer :
PELAKSANAAN BERMAIN
A. TAHAP PERSIAPAN
1. Mahasiswa meminta ijin kepada guru kelas untuk melakukan terapi bermain
mewarnai gambar.
2. Mahasiswa berkenalan dengan siswa.
3. Mahasiswa menjelaskan cara dan aturan bermain kepada siswa.
4. Mahasiswa menyiapkan alat permainan.
B. PELAKSANAAN KEGIATAN
Siswa duduk di tempat yang sudah diatur
C. EVALUASI
1. Evaluasi struktur
a. Anak hadir diruangan
b. Penyelengaraan terapi bermain dilakukan di kelas.
c. Pengorganisasian penyelenggaraan terapi dilakukan sebelumnya
2. Evaluasi proses
a. Anak antusias dalam kegiatan mewarnai gambar
b. Anak mengikuti terapi bermain dari awal sampai akhir
c. Tidak terdapat anak yang rewel atau malas untuk mewarnai gambar
3. Evaluasi hasil
a. Anak terlihat senang dan gembira
b. Mewarnai sesuai yang di inginkan anak
c. Anak mampu menyebutkan warna yang di pakai
D. FAKTOR PENDUKUNG
1. Anak berpartisipasi dengan baik jalannya kegiatan
2. Anak mampu memahami penjelasan dan berinteraksi dengan baik
3. Lingkungan cukup tenang untuk melakukan terapi permainan
4. Leader, fasilitator, dan observer bekerjasama dengan baik
5.
E. HAMBATAN
1. Anak sulit berkonsentrasi.
2. Anak bercanda dengan temannya.
F. KEBERHASILAN
1. Anak mewarnai sesuai dengan keinginannya.
2. Anak dapat mewarnai semua gambarnya tepat waktu.
3. Anak tampak senang dan gembira.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bermain merupakan aspek penting dalam kehidupan anak yang mencerminkan
kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan social anak tersebut, tanpa
mempergunakan alat yang menghasilkan atau memberikan informasi, memberi
kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak, dimana dalam bermain anak
akan menemukan kekuatan serta kelemahannya sendiri, minatnya, serta cara
menyelesaikan tugas-tugas dalam bermain.
B. SARAN
a. Orang tua
Sebaiknya orang tua lebih selektif dalam memilih permainan bagi anak agar
anak dapat tumbuh dengan optimal. Pemilihan permainan yang tepat dapat
menjadi poin penting dari stimulus yang akan didapat dari permainan tersebut.
Faktor keamanan dari permainan yang dipilih juga harus tetap diperhatikan.
b. Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan lebih mempelajari bagaimana menangani anak
dengan berkebutuhan khusus dengan terapi bermain sesuai dengan tingkat
kemampuan siswa tunagrahita. Karena dengan terapi bermain yang tepat, maka
anak dapat terus melanjutkan tumbuh kembang anak walaupun mempunyai
keterbatasan mental.
DAFTAR PUSTAKA
Wong, D. L, (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta. Hal: 194-197,
651.