Anda di halaman 1dari 106

Bahan AJAR

FAKTOR –FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN
KUALITAS TELUR

Prof. Ir. I Made Mastika, MSc., PhD


Ir Anthonius Waayan Puger, MS
Ir. Tjok Istri Putri, MP

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadapan Ida Sanghiang Widhi Wasa /
Tuhan yang Maha Esa, berkat asung kerta wara nugrahanya penyelesaian buku
ajar dengan judul” Faktor-faktor yang Mempengaruhi produksi dan Kualitas
Telur” dapat diselesaikan pada waktunya. Manuskrip ini merupakan
penyempurnaan dari manuskrip dan penyempurnaan bab yaitu penyesuian agar
buku ini menjadi buku ajar dan penambahan-penambahan untuk memperkuat
subtansi yang dibahas. Faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan kualitas
telur amat penting untuk diketahui baik kalangan konsumen, produsen, mahasiswa
, dosen dan pemerhati bidang peternakan unggas. Faktor yang akan diuraikan
selanjutnya sangat penting dalam kita memilih telur, memproduksi telur dan lain-
lain kepentingan baik untuk riset maupun keperluan pengajaran. Buku faktor
yang mempengaruhi kualitas telur dibagi dalam 5 bab, dimana Bab I akan
menguraikan tentang Pendahuluan, Bab II akan membahas tentang Fisiologi
Pembentukan Telur, Bab III membahas tentang Faktor Pakan dan Nutrisi, Bab IV
membahas tentang Genetika dan Manajemen dan Bab V menguraikan tentang
Mengukur Kualitas telur.
Dengan terbitnya buku ajar ini maka gunanya menjadi sangat penting baik
bagi mahasiswa, dosen dalam penelitian dan pemerhati serta konsumen telur
sebagai pengetahuan dasar untuk mengetahui seluk beluk kualitas telur. Buku ini
juga penting bagi peternak yang memelihara unggas untuk tujuan produksi telur.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Wayn
Bryden Gatton- campus University of Queensland, Australia yang telah bersedia
menerima kami dalam melaksanakan program “SAME”, Staff Academic Mobility
and Excange dari Dikti untuk tahun 2013. Terimakasih pula kepada Pemerintah
Indonesia melalui Dikti dengan Universitas Udayana yang melalui program
SAME telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mencari data
tambahan dalam penyusunan manuskrip ini di University of Queensland. Terima
kasih kepada semua pihak baik dalam maupun luar negeri yang memberikan
bantuan untuk melengkapi naskah manuskrip buku ini. Khusus untuk J. Robert,
Dept of Animal Science, University of New England kami sampaikan terimakasih
atas buku-buku hasil riset yang telah dilakukan selama bertahun-tahun yang kamai
pergunakan sebagai bahan rujukan dalam penyusunan manuskrip ini.

Denpasar, Desember 2014

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ……………………………………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… iv
I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
1.1. Karakteristik telur grade A ……………………………………… 2
1.2. Karakteristik telur grade B …………………………………….. 3
II FISIOLOGI PEMBENTUKAN TELUR …………………………….. 5
2.1 Ovarium (Indung Telur) dan Oviduct (Saluran Telur) ………… 5
2.2 Pembentukan Telur 5
2.3 Struktur Telur 10
2.4. Komposisi Telur 10
2.5 Bentuk Telur 12
2.6 Ukuran Telur 14
2.7 Telur Abnormal 15
III FAKTOR PAKAN DAN NUTRISI 20
3.1 Protein dan Asam Amino 25
3.2 Energi 28
3.3 Mineral Ca, P dan Mineral Lainnya 30
3.4 Lemak dan Asam Lemak 35
3.5 Serat Kasar 37
3.6 Feed Additive / Probiotik- UGF 39
3.7 Additive atau Feed Supplement 42
3.8 Air Minum 43
3.9 Vitamin 44
3.10 Bahan Pakan Limbah Inkonvensional 46
3.11 Zat Antinutrisi 50
IV GENETIKA DAN MANAJEMEN 51
4.1 Genetika 52
4.2 Manajemen 54
4.2.1. Umur Ayam 54
4.2.2. Sistem Pemeliharaan 61
4.2.3. Sistem Pemeliharaan dan Kandang 62
4.3 Temperatur dan Kelembaban Kandang / Lingkungan 65
4.4 Penanganan Pasca Panen ( Pembersihan, Temperatur, Waktu, 69
Tempat Penyimpanan, Pengepakan dan Transportasi)
4.5 Penyakit dan Parasit 70
V TEKNIK / CARA MENGUKUR KUALITAS TELUR 73
5.1. Kualitas Luar Telur 74
5.2 Kualitas Internal Telur 78
PENUTUP 82
DAFTAR PUSTAKA 83

3
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
1 Fungsi Oviduct dan lama waktu yang dipergunakan pada bagian-bagian 9
oviduct (Scanes et al. 2004)
2 Komposisi Kimia Telur 10
3 Komposisi kimia telur (Scane et a1., 2004) 11
4 Komposisi Bagian Telur pada berbagai Jenis Unggas 12
5 Komposisi kimia telur, kulit telur 13
6 Turunnya produksi karena penyebab non infeksi (Jacob dan Pescatore, 2011) 22
7 Tanda diagnosa khas yang berkaitan dengan penyakit dan kondisi umum 23
yang dapat menurunkan produksi telur (Jacob dan Pecastore, 20ll)
8 Pengaruh dedak padi terhadap penampilan ayam petelur umur 22-30 minggu 49
(Ersin Samli et a1.,2006)
9 Pengaruh dedak padi terhadap berat organ (% Berat badan) Ayam Petelur 49
(Ersin Samli et al.2006)
10 Pengaruh dedak padi terhadap kualitas telur (umur 22-30 minggu) Ersin 49
Samli et al. 2006).
11 Dewasa kelamin (hari) dan perfonnan produksi telur pada berbagai breed dan 53
crosbreed (least square means) (Zaman et a1.,2004)
12 Nilai rataan dari konsumsi pakan, produksi dan karakteristik kualitas telur 55
ayam muda dan ayam tua atau afkir (Yasmeen et al., 2008)
13 Pengaruh aras suplementasi (g/ekor/hari) terhadap masak kelamin dan 58
produksi telur pada berbagai breed (Zanan et a1.,2004)
14 Pengaruh umur ayam terhadap kualitas luar dan dalam telur (Zaman et 59
al.,2004) telur pada berbagai breed (Zanan et a1.,2004)
15 Kualitas telur ayam kampong pada sistim pemeliharaan intensif I dan semi 61
intensif II
16 Hasil evaluasi kualitas telur pada ayam yang dipelihara dengan sistim 63
berbeda (Krawczyk, 2009)
17 Hasil Evaluasi Kulit Telur pada ayam yang dipelihara dengan sistim berbeda 63
(Krawczyk, 2009)
18 Pengaruh tingkat temperature lingkungan (34oC) terhadap karakteristik telur 67
(Kirunda et al., 2001)
19 Klasifikasi ukuran telur menurut USDA adalah sebagai beriukut: 74

4
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
Foto saluran reproduksi ayam betina dewasa (Robert and Ball, 2004) 6
2 Skema saluran reproduksi dan bagian-bagiannya pada ayam betina 7
dewasa ( Taylor dan Field, 2004)
3 Diagram potongan melintang dari telur unggas (Roberts ,2004) 10
4 Tingkat peneluran dari produksi unggas yang dikandangkan (Zaman et 53
al., 2004)

5
I. PENDAHULUAN
Dalam bab Pendahuluan ini dibahas secara umum tentang telur, pengertian telur yang
bersifat perishable. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kualitas telur. Juga dibahas
pengelompokkan telur menjadi grade A atau B. Pengetahuan tentang produksi dan
kualitas telur dan factor yang mempengaruhinya akan menjadi sangat penting baik ditinjau
dari segi konsumen maupun produsen telur demi keberlangsungan usahanya. Setelah
membaca bab ini pembaca diharapkan akan lebih mengerti tentang telur yang bersifat
perishable dan factor-faktor yang mempengaruhinya.

Di negara-negara berkembang masalah kualitas telur mungkin belum


menjadi masalah yang begitu penting. Tetapi di negara-negara maju, kualitas telur
menjadi sangat penting karena menyangkut kesehatan manusia (ada tidaknya
salmonella), menyangkut masalah estetika dan hasil akhir produk olahan yang
menggunakan telur sebagai bahan dasar misalnya penyediaan telur setengah
matang, telur mata sapi dan jajan untuk restoran, hotel dan pabrik pembuat jajan.
Namun demikian, sejalan dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan,
pengalaman masyarakat ditambah lagi kemajuan di bidang teknologi informasi
maka kualitas telur secara bertahap dan pasti akan menjadi sangat penting bagi
Indonesia. Para peternak produsen di negara-negara maju akan sangat hati-hati di
dalam menjaga kualitas produknya berupa telur, karena akan sangat
mempengaruhi harga dan permintaan pasar (konsumen) dus berarti akan sangat
menentukan pendapatan dan keberlanjutan usaha peternakan unggasnya
dikemudian hari.
Telur adalah termasuk produk peternakan yang "perishable" artinya mudah
rusak seperti produk ternak lainnya yaitu susu, daging dan produk sampingannya.
Oleh karena itu pengetahuan tentang kualitas telur dan faktor yang
mempengaruhinya akan menjadi sangat penting baik ditinjau dari segi konsumen
maupun produsen telur demi keberlangsungan usahanya. Pengetahuan tentang
kualitas telur merupakan langkah awal menuju masyarakat yang sehat oleh
konsumen dan langkah keberlanjutan usaha bagi produsen.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kualitas telur?. Menurut Roberts dan
Ball (1998) kualitas telur dapat didefinisikan sebagai "penampakan dan karakter
fisik telur yang mempengaruhi penerimaan oleh pembeli produk tersebut". Sudah
tentu definisi ini diberlakukan untuk telur konsumen. Untuk industri unggas

6
penghasil telur bibit (telur tetas) akan melihat kualitas telur terkait dengan daya
tetas dan kualitas "Day Old Chick" (DOC) yang dihasilkan. Pendekatannya akan
berbeda dengan kualitas telur untuk konsumsi. Scott et al. (1982) menjelaskan
bahwa sekilas tampaknya istilah kualitas telur sangat sederhana. Ini meliputi
pemikiran yang menjelaskan bahwa kemungkinan telur bervariasi dalam nilai
makanan, penampilan atau sifat lain sedemikian rupa sehingga beberapa telur
lebih baik dari pada yang lainnya. Bila karakteristik telur diasosiasikan dengan
kualitas yang bagus diperiksa, akan tampak bahwa kualitas telur tidak bisa
didefinisikan secara sederhana. Sebegitu banyak dan luas tingkatan dari sifat fisik
dan kimia membentuk sejumlah kualitas telur. Diantaranya: (1) kualitas kulit
telur, (2) tingkat kualitas albumen, (3) kualitas gizi atau nilai gizi dan tujuan
konsumen, (4) bebas dari kerusakan seperti blood spot, bintik merah (motling) dan
sebagainya, (5) kualitas kuning telur termasuk pigmentasi dan (6) dalam kondisi
tertentu seperti misalnya ukuran telur. Penulis lain Kramer (1951) mendefinisikan
kualitas telur sebagai "sejumlah karakter dari suatu jenis produk yang
mempengaruhi daya terima atas pilihan dari suatu makanan oleh konsumen".
Berdasarkan definisi ini jelas bahwa kualitas telur berarti sesuatu yang berbeda
untuk orang yang berbeda dan persepsi konsumen tentang kualitas. Perbedaan ini
tergantung tujuan penggunaan telur dan pilihan mereka. Hal ini akan sangat jelas
tergambarkan dengan adanya berbagai peraturan tentang telur yang dijual di
seluruh dunia. Sebagai contoh peraturan pemasaran telur untuk Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE), telur dikatagorikan kelas A atau B ( Council of the
European Union, 20A6; dan European Commision, 2003) dan hanya telur kelas A
yang bisa dijual langsung untuk konsumsi manusia atau ke pengecer.

Karakteristik telur grade A dan B seperti yang dijelaskan oleh European


Commision (2003) sebagai berikut:

1.1. Karakteristik telur grade A


a. Telur grade A harus mempunyai karakter minimum sebagai berikut:
Kulit telur dan cuticle : Normal, bersih dan tidak rusak
(lapisan terluar telur)
Rongga Udara : Dalam posisi tegak dan diam tidak lebih dari 6
mm, tapi telur yang dijual sebagai ekstra baik,
rongga udara tidak lebih dari 4 mm.

7
Transparan, jernih, konsistensinya seperti
Putih telur : gelatin, bebas dari bahan-bahan luar dan
sejenisnya
Kuning telur : Jelas terlihat pada saat peneropongan
(candling) seperti bayangan dengan batas luar
yang tidak jelas, tidak bergerak dari pusat
rotasi telur, bebas dari bahan-bahan luar dan
sejenisnya.
Sel tumbuh (germ : Tidak berkembang
cell)
Bau : Bebas dari bau

b. Telur grade A tidak dicuci/bersihkan atau dibersihkan dengan alat


sebelum dan sesudah grading (seleksi). Menurut peraturan, telur yang
dicuci atau dibersihkan menurut artikel 6(4) dari Peraturan EEC no
l907/90, bahkan bila memenuhi kriteria untuk telur grade A, tidak boleh
dijual sebagai telur grade A dan harus ditandai "telur yang dibersihkan".
c. Telur grade A tidak boleh diberikan pengawet atau didinginkan di dalam
ruang /pabrik bila temperatur secara buatan diperlakukan dibawah 5oC.
Akan tetapi, telur yang sudah disimpan pada temperatur di bawah 5oC
dalam pengangkutannya tidak lebih dari 24 jam atau di lingkungan
pengecer atau di bagian lain, tidak dipertimbangkan sebagai telur
beku/didinginkan, dengan ketentuan jumlah yang disimpan di dalam
gudang tidak lebih dari kebutuhan untuk 5 hari bagi si penjual. Menurut
aturan, telur beku / dingin menurut artikel 6(5) dari Peraturan EEC No
1907/90, tidak boleh dijual sebagai telur grade A, walaupun memenuhi
kriteria telur grade A. Telur tersebut harus dijual sebagai telur
beku/dingin (Chilled eggs).

1.2. Karakteristik telur grade B

Telur grade B adalah telur yang tidak memenuhi standar tersebut diatas
(grade A). Telur ini hanya boleh dijual untuk industri makanan dan digunakan
menurut artikel 6 dari Direktive 89/437/EEC atau kepada pelaksana individu
bukan untuk makanan.

8
Negara maju lainnya seperti Amerika Serikat juga mempunyai persyaratan
kualitas telur misalnya grade AA, A dan B. Karakteristik telur grade AA, A dan B
menurut versi Amerika Serikat yang dijelaskan oleh USDA, Food Inspection
Service (tanpa tanggal)
 Telur grade AA versi Amerika Serikat mempunyai putih telur kental dan
tebal, kuning telur melengkung tinggi, bundar dan praktisnya bebas dari
cacat, bersih dan kulit utuh. Telur grade AA dan A adalah terbaik untuk
digoreng dan di “rebus tanpa kulit" (poaching) dimana penampilan sangat
penting dan juga untuk keperluan lain.
 Telur grade A versi Amerika Serikat mempunyai karakteristik sama dengan
telur grade AA kecuali putih telurnya agak kental (reasonably, firm).
Biasanya kualitas ini yang dijual di pasar.
 Telur grade B versi Amerika Serikat mempunyai putih telur yang lebih tipis
(encer) dan kuning telur lebih pipih melebar dibanding telur grade yang
lebih tinggi. Kulit telur tidak pecah, tapi sering menunjukkan sedikit/agak
berwarna. Kualitas ini jarang diketemukan di pasar karena telur semacam ini
dipergunakan untuk membuat telur cair, beku dan produk telur kering.
Menurut Taylor dan Field (2004) standar kualitas menurut USDA untuk
mengklasifikasikan telur adalah sebagai berikut :

Faktor kualitas luar:


o Kebersihan telur
o Kondisi kulit telur (retak, kuat atau utuh dan tekstur)
o Bentuk

Faktor kualitas dalam:


o Tinggi albumen
o Kondisi kuning telur
o Kondisi dan ukuran rongga udara
o Abnormalitas (blood spot, meat spot)

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia saat ini belum ada standar


kualitas telur seperti di negara Eropa atau USA. Suatu saat dengan perkembangan
pendidikan, pengetahuan masyarakat konsumen terutama didalam kaitannya
dengan pasar global dimana kualitas merupakan salah satu kunci di dalam
memenangkan kompetisi pasar maka senang tidak senang kita secara bertahap

9
harus berani menuju kearah "pengkelasan" (grading) kualitas telur. Bila tidak
niscaya industri unggas kita sebagai penghasil telur akan kalah bersaing dengan
negara-negara lain.
Pengukuran kualitas telur secara ilmiah telah diketahui dan telah ada
alatnya. Masalahnya untuk skala besar industri memerlukan peralatan yang lebih
modern dan komputerisasi, sehingga penentuan kualitas telur lebih cepat dan
akurat. Secara lebih rinci teknik pengukuran kualitas telur akan diuraikan pada
bab IV.
Kontaminasi ransum dengan mikotoksin mempunyai dampak yang jelas
menurunkan produksi telur dan kualitas kerabang telur walaupun tampaknya
dimediasi dengan penurunan makanan yang dikonsumsi pada pakan yang
terkontaminasi (Suksupath, 1989).

Beberapa jenis unggas memiliki sifat menurun secara genetic, akumulasi


sejumlah trimethylalanin (TMA) dalam telur, mengakibatkan telur bau amis.
Oleh karena ketidak mampuan ayam untuk mengoksidasi TMA yang ada pada
ransum seperti rapessed meal dan fish meal (Pingil and Jeroch, 1997).

10
II. FISIOLOGI PEMBENTUKAN TELUR
Dalam bab ini dipaparkan proses pembentukan telur dan tempat terjadinya proses masing-
masing komponen telur pada saluran reproduksi unggas. Dibahas tentang ovarium,
oviduct yang terdiri dari infundibulum, magnum, isthmus, kantong kelenjar kulit telur dan
vagina dan tugas masing-masing bagian dan lamanya proses terjadi seperti proses
kalsifikasi. Struktur telur dan komposisi kimia telur juga dibahas. Faktor yang
mempengaruhi bentuk telur dan ukuran telur serta bentuk bentuk telur abnormal juga
dikupas dalam bab ini. Dengan membaca bab ini diharapkan para pembaca akan
mengetahui dan memahami proses, mengetahui saluran reproduksi unggas dan juga
mengetahui bentuk telur dan penyebab keabnormalan telur yang dihasilkan oleh unggas.

Untuk mengetahui dan mengevaluasi penyebab dan pemecahan masalah


terkait dengan kualitas telur dan kulit telur, adalah merupakan hal yang sangat
penting untuk mengerti dan mengetahui proses pembentukan telur dan kulit telur.

2.1. Ovarium (Indung Telur) dan Oviduct (Saluran Telur)

Bila kita perhatikan gambar 1 dan 2 yaitu gambar saluran reproduksi unggas
pada umumnya. Diantara hewan, sistem saluran reproduksi unggas sangat unik
dimana hanya satu indung telur yaitu bagian kiri berkembang sampai pada tingkat
dimana terjadi proses lepasnya telur atau ova ke saluran telur (oviduct). Ovarium
ayam dewasa mengandung ribuan oocyte (sel telur) yang berkembang secara
berurutan menjadi folikel (dikenal sebagian ova atau kuning telur yang sudah siap
dilepas ke saluran indung telur (oviduct). Oviduct ini berbentuk saluran seperti
pipa yang nantinya melengkapi bagian telur sehingga keluar menjadi telur yang
utuh. Saluran ini dibagi menjadi beberapa bagian, masing-masing mempunyai
peran tersendiri didalam pembentukan telur. Bagian-bagian ini adalah
infundibulum, magnum, isthmus, kantong kelenjar kulit telur dan vagina.

2.2. Pembentukan Telur

Proses pembentukan telur merupakan area penelitian yang sudah


berkembang dengan baik. Struktur telur dan peran fisiologis dari saluran indung
telur selama proses pembentukan telur telah diketahui dengan baik. Ringkasan
singkat akan dipusatkan dalam struktur dari telur yang dibentuk dibandingkan
dengan fisiologi dari saluran reproduksi.

11
Pada saat ovulasi, kuning telur dilepas dari indung telur ke dalam rongga
badan. Infundibulum adalah bagian pertama dari saluran (oviduct) dan tugas
(peran utamanya) adalah secara aktif menangkap yolk (kuning telur) dari rongga
tubuh dan menangkap langsung ke dalam oviduct. Kuning telur bertahan di dalam
infundibulum selama 15 menit. Selama periode ini, bila ada sperma, terjadilah
fertilisasi dan telur dibuahi untuk menjadi telur fertil. Infundibulum juga
mempunyai peranan penambahan membran yang segera membungkus kuning
telur (membrane perivitellin) dan dalam pembentukan chalaza (seperti jangkar
yang memagari kuning telur pada tempatnya).

Gambar l. Foto saluran reproduksi ayam betina dewasa (Robert and Ball, 2004)

12
Gambar 2. Skema saluran reproduksi dan bagian-bagiannya pada ayam betina
dewasa ( Taylor dan Field, 2004)

13
Bagian saluran selanjutnya disebut magnum yang merupakan bagian
terpanjang dari oviduct. Akan tetapi kuning telur yang hanya memerlukan waktu
tiga jam untuk melewatinya. Selama berada dalam magnum, mendapatkan
tambahan protein putih telur. Kurang lebih 40 jenis protein yang menyusun putih
telur. Lapisan protein penyusun dilengkapi dengan proteksi secara mekanis dan
protein kuning telur dan/disamping membentuk lapisan untuk pembentukan
membran lapisan telur dan kulit telur. Lapisan tersebut dibentuk dari lapisan
mukus sulfat dipergunakan bagian akhir dari magnum.
Kuning telur dengan lapisan putih telur selanjutnya lewat isthmus dan
tinggal selama satu jam. Bagian isthmus ini terdapat banyak sel-sel sekresi yang
menghasilkan serat penyusun bagian dalam dan luar membran kulit telur. Disini
terjadi proses yang cepat dan telur bergerak cepat ke bagian berikut dari oviduct.
Selanjutnya telur masuk ke bagian kelenjar kulit telur yang bertanggungiawab
untuk menghasilkan bagian isi akhir dari putih telur (albumen) dan penyelesaian
kulit telur. Kelenjar kulit telur (shell gland) dibagi menjadi dua bagian yaitu
kelenjar kulit telur yang berbentuk lonjong, dan kelenjar kulit telur berbentuk
kantong. Telur berada pada bagian ini selama 20 jam lebih pada kelenjar kulit
telur dan 5 jam pertama berada pada kelenjar yang berbentuk lonjong. Kelenjar
kulit telur yang berbentuk tabung (lonjong) mempunyai dua tugas:
1. Sebagai penyebab meningkatnya volume albumen dengan jalan memfasilitasi
pergerakan air (kurang lebih 8 ml), kaya akan elektrolit, masuk ke dalam
telur, dan
2. Mengikat bagian luar serat dari membran kulit telur ke dalam inti mammilary
yang secara kimia dimodifikasi bagian akhir dari membran kulit telur melalui
pemindahan garam kalsium ke dalam serat membran kulit telur.
Pusat mammilary penting karena merupakan titik kontak dari kristal kalsium
karbonat yang membentuk sebagian besar kulit telur walaupun waktu yang
dipergunakan pada bagian ini jauh lebih singkat dari waktu yang digunakan pada
kelenjar berbentuk kantong, proses pengaturan oleh inti mammilary adalah
langkah kritis di dalam penentuan kualitas kulit telur dari telur lengkap.
Telur akhirnya bergerak ke bagian lebih bawah dari kelenjar kulit telur dan
kelenjar berbentuk kantong. Proses disini disebut kalsifikasi terjadi dimana

14
lapisan kalsium karbonat ditambahkan untuk membentuk kulit telur. Proses
kalsifikasi dapat dibagi menjadi dua fase:
1. Fase pertama terjadi setelah 4 jam pertama dan proses kalsifikasi ini
relative lambat. Kalsium dipindahkan dari darah melalui kelenjar kulit
telur ke cairan kelenjar kulit telur. Begitu kalsium di dalam cairan kelenjar
kulit telur selanjutnya terjadi presipitasi kristal kalsium karbonat (dalam
bentuk calcite) ke dalam struktur kulit telur. Plumping, suatu proses
pengambilan garam-garam, glukosa dan air ke dalam albumen, terjadi
selama fase pertama kalsifikasi. Pergerakan cairan menyebabkan volume
albumen meningkat dan diperkirakan proses penggelembungan (swelling)
dari inti mammilary pada membran kulit telur. Setelah proses ini mulailah
fase kalsifikasi berikutnya.
2. Fase kedua meliputi pembentukan kulit telur secara besar-besaran yang
merupakan lapisan kristal kalsium karbonat ditempatkan secara cepat.
Selama dua jam terakhir dari pembentukan kulit telur, pigmen (warna)
ditempatkan untuk memberikan perlindungan masuknya bakteri/mikroba
dan hilangnya air dari isi telur. Hasil dari proses kalsifikasi adalah kulit
telur yang terdiri dari kurang lebih 95% kalsium karbonat dan 5% bahan
organik. Telur yang sudah lengkap didorong ke bagian luar melalui vagina
dan cloaca.

Selanjutnya Scanes et al. (2004) merumuskan lama waktu yang dipergunakan


oleh telur pada masing-masing bagian oviduct pada Tabel 1

Tabel l. Fungsi Oviduct dan lama waktu yang dipergunakan pada bagian-bagian
oviduct (Scanes et al. 2004)

Bagian Lama waktu Fungsi


yang digunakan
/proses
Infundibulum 15 menit Menangkap kuning telur dari rongga
tubuh. Fertilisasi terjadi di bagian ini
Magnum 3 jam Albumen tebal menyelimuti kuning telur.
Tempat pembentukan chalaza dan lapisan
tipis / tebal albumen
Isthmus l jam 15 menit Membran kulit telur bagian luar dan
dalam memberikan perlindungan isi telur

15
Uterus (kelenjar 20 Jam 45 menit Proses penggelembungan telur dan mulai
kulit telur) sekresi kalsium ke seluruh membran
telur. Bila kulitnya berwarna, maka
pigmen dikeluarkan pada bagian ini.
Vagina l5 menit Telur lewat dan berada pada bagian ini
sebelum telur keluar. Telur berputar
ujungnya l-2 menit telur keluar

Waktu yang dibutuhkan dari saat ovulasi sampai telur keluar kurang lebih 25 jam
30 menit

2.3. Struktur Telur

Bagian-bagian telur secara rinci dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 3.
Menarik untuk diperhatikan komposisi telur secara proporsional. Kulit telur hanya
9-14% dari berat telur sementara kuning telur dan albumen beratnya masing-
masing 32-35% dan 52-58%. Kulit telur jauh lebih kecil dibanding komponen lain
yang sebenarnya merupakan faktor terpenting dari kualitas telur dan selanjutnya
daya serap pasarnya.

Gambar 3. Diagram potongan melintang dari telur unggas (Roberts ,2004)

16
2.4. Komposisi Telur

Telur kaya akan zat makanan termasuk asam amino esensial, vitamin (A,
Choline, B compleks) dan lain-lain. Komposisi kimia telur dapat dilihat pada
Tabel 2. Komposisi telur secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi Kimia Telur

Bagian telur Air Protein Lemak KH Mineral


Kuning telur 49 16 33 1 1
Albumen 87 11 0 1 1
Cangkang (kulit <1 3 2 0 95
telur)
Sumber Scanes et a1., 2004

Tabel 3. Komposisi kimia telur (Scane et a1., 2004)

Komposisi Telur utuh Albumen Kuning telur Kulit


% dari telur utuh
100 58 31 11
Air 65,5 88,0 48,0
Protein 11,8 11,0 17,5
Lemak 11,0 0,2 32,5
Abu 17,7 0,8 2,0 96,0
Total 100 100 100 96,0

Sebagai perbandingan di bawah ini diberikan komposisi bagian telur berbagai


ternak unggas seperti pada Tabel 4.

Selanjutnya Scanes et al, (2004) menjelaskan bahwa kuning telur mengandung :


1. Triglyserida (70%), lemak lain seperti kolesterol (5%) dan phospholipid
(25%).
2. Phosphoprotein, lipoprotein dan phosphovitin serta lipovitellin dalam
bentuk butiran (kristal halus).

17
3. Protein larut seperti α-livetin (plasma albumen), β-livetin (α2-plasma
glycoprotein) dan γ-livelin (antiboby atau immunoglobulin)
4. Protein pengikat zat makanan (riboplavin, biotin, thiamin, Vit A, vit D dan
Fe).

Dikatakan pula komposisi lemak telur terdiri atas trigliserida (70%), phospholipid
(25%) dan kolesterol (5%). Komposisi asam lemak dari trigliserida telur adalah:
1. Mono unsaturated (asam lemak tak jenuh tunggal) sebanyak 44%
(kebanyakan 18: 1 asam oleat).
2. Poly unsaturated (asam lemak tak jenuh rangkap 1) sebanyak 10%
(kebanyakan l8:2 asam linoleat).
3. Saturated atau lemak jenuh sebanyak 40% (kebanyakan 16:0 asam
palmitat)
Sedangkan komposisi phospholipid telur terdiri atas :
1. Lecithin 75%
2. Cephalin 20%
3. Spingolipid 2,5%

Kandungan kolesterol untuk satu butir telur yang besar 213mg/butir


sedangkan konsumsi maksimal yang disarankan adalah 300mg/hari (Scanes et al.,
2004). Ditambahkan pula telur yang sangat besar mengandung kolesterol 230mg,
yang besar 213mg dan ukuran medium 180mg, Scanes et al. (2004)
menambahkan bahwa komposisi putih telur terdiri atas :
 Ovalbumen (54%)
 Ovotransferin (13%) mengikat Fe, Zn dan Cu
 Ovomucoid (11%) menghambat ensim protease
 Ovoglobulin (8%) antibody
 Lysozyme (3,5%) ensim yang memecah bakteri
 Ovomucin (2%) antimikroba
 Ditambah lagi komponen kecil yang mengikat vitamin seperti avidin
(pengikat biotin), plavoprotein (mengikat riboprotein) dan protein yang
mengikat thiamin.

18
Sebagai perbandingan pada Tabel 4 disajikan komponen telur dari berbagai jenis
unggas.

Tabel 4. Komposisi Bagian Telur pada berbagai Jenis Unggas

Berat Telur Komposisi (%)


Jenis Unggas
(g) Albumen Yolk Kerabang
Angsa 200 52,5 35,1 12,4
Kalkun 85 55,9 32,3 11,8
Itik 80 52,6 35,4 12,0
Ayam 58 55,8 31,9 12,
Merpati 17 74 17,9 8,1

Sumber : Campbell and Lasey (1977) dalam Supriyatno et al. (2005)

2.5. Bentuk Telur


Telur mempunyai bentuk lonjong (spheric) dengan satu ujung yang agak
tumpul sedangkan ujung lainnya agak meruncing. Gambar 3 menunjukkan
penampang dari telur unggas. Kulit luar (mineral) mengelilingi isi telur.
Selanjutnya bagian di dalamnya ada dua membran, satu melekat pada dinding
kulit telur dan yang satu dengan ketat membungkus isi telur. Rongga udara
biasanya terbentuk diantara dua membran di bagian tumpul telur segera begitu
telur keluar. Kurang lebih 7.000-17.000 pori kecil tersebar dipermukaan kulit telur
dengan jumlah yang lebih banyak pada ujung telur yang tumpul. Semakin tua
telur, pori kecil ini merupakan tempat keluarnya uap air dan karbon dioksida
bergerak keluar dan udara ke dalam membentuk rongga udara. Kulit telur
dibungkus dengan pembungkus pelindung yang disebut cuticle atau bloom.
Dengan jalan menutup pori-pori cuticle ini membantu menjaga kesegaran dan
mencegah kontaminasi mikroba terhadap isinya.
Putih telur atau albumen membentuk 4 lapisan yang berbeda. Salah satu
bagian ini melingkupi kuning telur ditengah sebutir telur. Pergerakan spiral pada
saat proses pembuatan telur pada bagian magnum mengakibatkan serat mucin
albumen menyatu membentuk lapisan chalaza. Terpelintirnya dari tali mucin ini
cenderung menekan kearah luar albumen tipis dan membentuk lapisan albumen
tipis terdalam. Kuning telur yang berada ditengah dimana isinya dibungkus oleh
lapisan transparan yang disebut membran vitelline berat rata-rata 2,02g berkisar

19
antara 1,5-2,502g. Bagian / komponen telur terdiri dari kulit telur (11%), albumen
(58%), dan yolk (31%) sedangkan kulit telur terdiri atas 94% dan kalsium
karbonat (Taylor and Field, 2004). Kuning telur mengandung lemak dan protein
relatif tinggi walaupun albumen mengandung lebih banyak protein. Komposisi
telur secara umum disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi kimia telur, kulit telur

Telur keseluruhan Total Air Protein Lemak Abu


---------------------------%--------------------------
100 65,5 11,8 11,0 11,7
Putih telur 58 88,0 11,0 0,2 0,8
Kuning telur 31 48,0 17,5 32,5 2,0
Kulit dan membran telur terdiri dari: 11
 Kalsium karbonat (%) 94,4
 Magnesium karbonat (%) 1,0
 Kalsium phosphat (%) 1,0
 Bahan Organik (%) 4,0
Sumber: USDA dalam Taylor dan Field (2004)

Dari uterus, telur melewati vagina dan keluar kloaka. Di dalam vagina,
pelapis tipis protein yang disebut bloom atau cuticle pada dinding luar kulit telur.
Bila zat ini telah kering, zat ini akan menutup pori-pori kulit telur. Hal yang
menarik dalam fenomena physiologis pada unggas ini adalah kenyataan saat telur
lewat ke bawah permukaan / bagian telur runcing yang pertama, akan tetapi segera
setelah akan keluarnya telur, telur berputar 180 derajat sehingga bagian tumpul
keluar pertama. Perputaran ini dipercaya untuk membantu otot pada saluran dalam
proses pengeluaran telur.

2.6. Ukuran Telur

Scanes et al. (2004) menyatakan bahwa banyak faktor penting yang


mempengaruhi ukuran telur:

20
1. Genetik. Besar telur merupakan faktor menurun walaupun faktor
lingkungan menyebabkan telur lebih kecil.
2. Umur Ayam. Pada saat ayam dara mulai bertelur, 80% atau lebih telurnya
di bawah 396g per lusin. Besar telur meningkat secara perlahan sampai
ayam berumur 12-14 bulan. Selanjutnya ukuran telur kecil menurun.
3. Cluth Order (Urutan Klat). Dalam satu cluth telur pertama adalah terberat
dan secara bertahap menurun sampai cluth terakhir.
4. Jumlah Telur dalam Setahun. Akan terjadi tendensi penurunan ukuran
telur sesuai dengan jumlah telur yang dihasilkan dalam satu tahun,
semakin banyak jumlah telur akan semakin kecil ukurannya.
5. Umur Saat Peneluran Pertama dan Musim Tetas. Penundaan peneluran
biasanya akan menghasilkan telur yang lebih besar pada awal produksi.
Juga musim penetasan dimana ayam tumbuh pada sinar alami
mempengaruhi dewasa kelamin dan ukuran telur pada awal paneluran. Di
negara-negara 4 musim, ayam yang menetas pada akhir musim gugur atau
winter akan mendapat peningkatan panjang hari dalam fase kritis yaitu
pada saat ayam berumur 8-20 minggu bila tidak ada tambahan sinar
lampu. Ini akan merangsang dewasa kelamin lebih cepat dan diakhiri
dengan periode produksi telur kecil yang lebih panjang.
6. Temperatur. Ukuran telur menurun selama bulan musim panas. Untungnya
ternperatur yang sesuai untuk telur yang lebih besar juga sesuai dengan
produksi telur yang tinggi. Dus, segala sesuatu yang dapat dikerjakan
untuk menjaga suasana musim dingin akan menguntungkan untuk ukuran
telur. Semua ini termasuk insulasi, ventilasi yang cukup, pemantul sinar
pada cat dinding atas atap, penyemprotan serta air dingin yang cukup.
7. Tipe Kandang. Ayam yang dipelihara pada battery bertelur 14g lebih berat
per lusin (12 telur) dibanding pemeliharaan pada kandang lantai. Ayam
yang dipelihara pada kandang lantai bambu bertelur l0% telur besar
dibanding dengan ayam pada lantai litter.
8. Pakan dan Air. Umumnya pakan merupakan faktor terkecil yang
menentukan ukuran besar telur selama ransum yang diberikan adalah
ransum yang seimbang. Akan tetapi, underfeeding (kurang pakan) sebagai

21
akibat tempat pakan kosong dalam periode yang lama atau ayam tak cukup
mendapat makanan karena tempat pakan terlalu sempit, defisiensi mineral
(Ca), atau kandungan protein rendah akan dapat menyebabkan ukuran
telur turun. Adanya lemak dalam ransum sedikit meningkatkan ukuran
telur. Bila konsumsi air terlalu sedikit sebagai akibat temperatur luar
terlalu dingin (winter) atau terlalu panas, tidak enak dikonsumsi atau air
tidak tersedia, ukuran telur akan sangat dipengaruhi selama periode
peneluran.
9. Penyakit. Beberapa penyakit mempengaruhi ukuran telur dan dalam
beberapa kasus pengaruhnya tetap beberapa bulan sejak ayam sudah
menjadi sakit. Penyakit ND dan bronchitis menyebabkan turunnya
produksi dengan beberapa telur mengecil dan sering terdapat bentuk telur
aneh. Terutama dengan bronchitis, telur kecil berlangsung beberapa bulan.
10. Fumigan Biji-bijian. Ethylene dibromida, dan zat campuran fumigan yang
biasanya digunakan pada biji-bijian akan menurunkan ukuran telur.
Penurunan ukuran telur sampai yang paling kecil 454g per 12 butir (lusin)
dan berat awal 675g per lusin (12 butir).

2.7. Telur Abnormal

Secara periodik penyimpangan mekanis di dalam proses pembentukan telur


akan menciptakan kelainan pada telur. Beberapa model abnormalitas telur (Scanes
et al, 2004) sebagai berikut:
1. Telur, berkuning telur kembar. Ini disebabkan oleh dua folikel
berkembang dan terjadi ovulasi secara bersamaan.
2. Bintik darah (blood spot). Disebabkan oleh pembuluh darah kecil pecah
pada saat ovulasi.
3. Bintik daging (meat spot) disebabkan oleh degenerasi bekuan darah dalam
telur
4. Telur tanpa kuning, kadang-kadang terjadi, benda atau bahan asing masuk
ke dalam oviduct dan merangsang sekresi albumen seperti layaknya
kuning telur (yolk), sehingga terbentuk telur tanpa kuning telur.

22
5. Dented (berlekuk) kulit telur. Bila satu telur tersimpan terlalu lama di
uterus, pada saat telur kedua lewat saluran dan akan menyentuh telur
pertama akan membuat lekukan pada telur kedua.
6. Telur dengan kulit lunak. Terjadi karena tidak ada kulit yang disekresikan
atau terjadi keadaan abnormal dimana hanya sedikit kulit yang
disekresikan dimungkinkan ada kaitannya dengan defisiensi kalsium dan
oleh karena factor penyakit.

Beberapa contoh kelainan bentuk dari kulit telur

Menurut Robert dan Ball (1998) bahwa terdapat banyak contoh kelainan
telur dilihat dari penampakan atas kulitnya. Kelaian ini diuraikan lebih detail
sebagai berikut:

White Banded Egg (telur dengan ban/gelang


putih). Telur ini terjadi pada saat induk
mempertahankan telur pada kantong kelenjar
telur dan telur kedua masuk, mengakibatkan
dua telur kontak satu sama lain. Pada bagian
telur tempat terjadinya kontak proses
kalsifikasi normal jadi terganggu. Telur
pertama pada kantong prosesnya telah selesai
dan terjadi proses penempelan lapisan ekstra
kalsium yang nampak sebagai gelang putih.
Masalah ini bisa terjadi pada saat stress karena
gangguan, perubahan penyinaran atau adanya
infeksi
Slab-Sided Eggs (telur datar pada dua sisi).
Terjadi dimana telur kedua masuk kantong,
telur kedua tidak sesempurna telur pertama
dan datar pada tempat terjadinya kontak. Ini
dikenal sebagai “slab sided eggs". Kejadian
ini kurang dari l% dari total produksi dan
disebabkan kejadian yang sama pada white
Banded Eggs

23
Translucency. Bagian translucent (bening)
dari telur tampak bila ditempatkan di depan
sumber sinar, tampak motle & atau seperti
kaca. Kondisi ini terjadi disebabkan tidak
teraturnya struktur. Penyebab lain adalah
kelembaban yang tinggi dalam kandang,
penyakit atau kandang sangat sesak. Ini
biasanya tidak menjadi masalah kecuali sangat
besar dan biasanya jumlahnya bervariasi
antara 2-11%.
Calcium Coated (pelapisan kalsium). Telur
ini mempunyai lapisan ekstra kalsium hampir
di seluruh bagian telur. Ada beberapa bentuk
antara lain: dari lapisan kalsium ekstra tipis
diseluruh permukaan atau pada bagian ujung
akhir telur. Insiden / kejadian ini antara 5-20%
sering dikatagorikan "kualitas rendah" tapi
pada kondisi yang sedang biasanya lewat
grading system.
Miss Happen Eggs (telur yang salah
bentuk), adalah telur yang berbeda dengan
bentuk dan ukuran telur normal. lni termasuk
telur yang terlalu kecil atau terlalu besar, bulat
yang seharusnya oval atau bentuk lain seperti
pada gambar. Kejadiannya antara 2-5% pada
grade kedua. Penyebabnya belum dewasanya
kelenjar kulit telur, penyakit, stress gangguan
dan terlalu padat.
Body Checked Eggs (telur yang cacat)
sebagai akibat kulit retak pada saat berada
pada kantong kelenjar kulit telur dan
diperbaiki sebelum telur keluar. Kejadian ini
meningkat dan l-9% pada akhir peneluran.
Disebabkan karena kesalahan penerangan
penyinaran, gangguan, kandang terlalu sesak.

Crack (retak). Banyak jenis retak pada kulit


telur, mulai dari retak rambut yang biasanya
tak tampak tanpa bantuan peneropongan.
Keretakan pada jumlah banyak pada kulit
pada seluruh permukaan. Di Australia (Nsw)
kejadian ini berkisar dari 45-85% pada telur
grade kedua. Penyebab banyak faktor seperti
stress panas, garam air, umur ayam dan pakan
tak baik.

24
Soft Shelled Egg (telur kulit lunak). Telur
keluar dalam keadaan tak komplit. Biasanya
telur hanya dilindungi oleh membran kulit
telur dan lapisan kalsium yang tipis.
Kejadiannya antara 0,5-6%. Biasanya
disebabkan karena kurang sempurnanya
kelenjar kulit telur, gizi yang rendah, air
garam, penyakit dan stress.

Pimpled Eggs (telur berjerawat). Ini adalah


materi kalsium pada kulit telur. Pimple ini
bisa dihilangkan dengan menggosok tapi ada
sebagian terletak pada membran dalam, dan
bila dihilangkan akan meninggalkan lubang
kecil pada kulit. Kejadiannya sebanyak
l%.Penyebab antara lain bahan atau materi
asing pada saat proses kalsifikasi terkait
dengan umur ayam jenis dan gizi.
Calcium Deposite (adanya endapan
kalsium). Bentuk endapan tak teratur pada
bagian luar telur. Tampak secara visual dan
disebabkan karena rusaknya kelenjar kulit
telur, gangguan pada saat proses kalsifikasi
dan gizi buruk

Corrugated egg (Kulit telur bergelombang


). Permukaan telur ini kasar dan
bergelombang. Terjadi karena penyakit infeksi
bronkitis.

25
Wrinkled Eggs (telur berkerut). Tampak
pada bagian permukaan, bisa terjadi pada
bagian lain kulit / permukaan. Diakibat kan
oleh stress, penyakit, terlalu padat dan
rusaknya kelenjar kulit telur.

White Speckled Eggs (telur bintik putih).


Sama dengan endapan kalsium, tapi
specklednya kecil dan terletak pada sebelum
atau setelah cuticle dengan warna putih

Brown Speckled Eggs (telur bintik coklat)


Samadengan white speckled egg, semua
merupakan endapan kalsium, specklenya lebih
kecil dan terletak sebelum atau sesudah cuticle
dan dengan warna coklat

Lilac Egg (telur lilak). Juga dikenal dengan


telur merah muda. Perbedaan ini disebabkan
karena tercampurnya cuticle dan lapisan
ekstra kalsium. Disebabkan karena stress atau
kelebihan kalsium pada pakan.

Broken and Mended (pecah dan


diperbaiki). Terjadi pecah pada saat
pembentukan (pecah diagonal) dan diperbaiki
sebelum keluar. Penyebab stress pada saat
kalsifikasi

26
III. FAKTOR PAKAN DAN NUTRISI
Dalam bab ini dibahas beberapa faktor yang berpengaruh pada produksi telur yaitu
pengaruh infeksi dan non infeksi. Pengaruh non infeksi seperti faktor makanan, nutrisi,
bahan tambahan lain, genetik dan factor infeksi seperti parasit dibahas dalam bab ini.
Diharapkan dengan membaca bab ini para pembaca atau mahasiswa akan mengetahui
penyebab penurunan dan peningkatan produksi telur dan factor faktor yang
mempengaruhinya.

Jacob dan Pescatore (2011) menyatakan bahwa ada beberupa faktor yang
dapat berpengaruh pada produksi telur bahkan bisa mengakibatkan penurunan
produksi telur secara tiba-tiba. Untuk meneliti turunnya produksi diperlukan
peninjauan sejarah ayam tersebut termasuk program penyinaran, konsumsi pakan,
kualitas dan kuantitas pakan, konsumsi air, infeksi parasit, penyakit dan perbedaan
praktek manajemen dan selanjutnya perlu dipertimbangkan umur ayam.
Disamping itu harus diketahui apakah telur dimakan oleh induk dan dimakan oleh
predator. Beberapa faktor penyebab penurunan produksi telur secara tiba-tiba
antara lain:
1. Menurunnya panjang hari penyinaran atau tidak cukup panjang sinar matahari.
Aktivitas seksual pada unggas termasuk produktivitas telur dipengaruhi oleh
jumlah jam adanya sinar dalam sehari. Produksi telur dirangsang dengan
peningkatan sinar dengan pengaruh khas terhentinya produksi dengan
menurunnya panjang sinar (day length). Bila tidak ada tambahan sinar lampu
(buatan) maka produksi telur menurun. Untuk mencegah penurunan produksi
telur, jalannya adalah tambahan sinar (lampu) untuk mempertahankan panjang
sinar paling tidak 14 jam per hari. Satu sumber sinar 40 watt untuk setiap 100
kaki kwadrat (±300cm2). Sebaiknya dianggap cukup tambahan sinar diberikan
pada pagi hari sehingga ayam tidak tidur pada saat matahari menurun. Ini akan
mencegah ayam akan berserakan pada saat setelah (lampu) sumber sinar
dimatikan.
2. Salah satu penyebab turunnya produksi telur adalah tidak cukupnya nutrisi.
Ayam memerlukan ransum yang seimbang agar mempertahankan produksi
pada tingkat yang tinggi. Ransum disusun untuk memenuhi kebutuhan gizi
ayam petelur pada sejumlah pakan yang dikonsumsi. Banyak kejadian pada

27
ransum yang tidak seimbang pada ayam petelur menyebabkan turunnya
produksi telur atau meningkatnya kejadian /masalah seperti prolapsus.
Prolapsus adalah suatu kondisi dimana saluran reproduksi ayam terdorong
keluar tubuh ayam. Prolapsus ini bisa terjadi karena ayam terlalu gemuk atau
telur terlalu besar. Kejadian ini bisa berakibat fatal karena muncul sifat
kanibalisme pada ayam lain. Pada ayam yang dipelihara pada deep litter
khususnya ayam petelur tidak disarankan memberikan coccidiostat karena:
a. Nicarbazine sebagai salah satu obat anticocidial akan mengurangi peran
dan fungsi reproduksi. Membran kuning telur akan melemah
mengakibatkan kondisi yang disebut dengan motling. Disamping itu bila
nicarbazine diberikan pada ayam petelur yang warna telurnya coklat,
warna kulit telurnya akan berubah menjadi putih dalam waktu 48 jam.
Namun warna ini akan hilang bila pemberian nicarbazine dihentikan.
b. Monensin. Adalah sejenis antibiotika yang biasa digunakan untuk
mengontrol coccidiosis pada ayam. Monensin atau ionosphore telah
dilaporkan mempunyai dampak pada produksi telur bila ayam diberi
ransum dengan protein rendah. Masalah lain terkait dengan pakan adalah
kurangnya air minum yang tersedia. Walaupun harganya murah dan relatif
gampang dicari namun air ini merupakan hal yang sangat penting karena
70% dari berat badan ayam adalah air. Ayam lebih sensitive kekurangan
air dari pada pakan. Kadangkala sering terjadi pada perusahan pakan atau
pencampuran pakan membuat kesalahan dan seringkali pakan dimana satu
atau dua zat nutrisi kunci penting terlupakan pada saat mencampur. Atau
sebaliknya terlalu banyak ikut tercampurkan maka zat makanan ini
memberikan dampak terhadap produksi telur.
c. Garam dapur. Merupakan bahan campuran yang biasanya ditambahkan
dalam bentuk NaCl. Sedangkan yodium jarang ditambahkan secara
terpisah pada ransum ayam. Yodium adalah zat makanan penting,
memegang peranan penting untuk mempertahankan volume cairan tubuh,
pH darah dan terkait dengan hubungan tekanan osmose. Kekurangan
secara terus menerus menyebabkan hilangnya nafsu makan. Defisiensi Na
berpengaruh terhadap penggunaan protein, energi dan berpengaruh

28
terhadap reproduksi. Selanjutnya Jacob dan Pescatore (2011) menyatakan
penyebab turunnya produksi yang sering diakibatkan oleh penyebab non-
infectious (Tabel 6) dan infeksi penyakit (Tabel 7) dalam ringkasan yang
lebih rinci.

Tabel 6. Turunnya produksi karena penyebab non infeksi (Jacob dan Pescatore,
2011)

Penyebab penurunan Gejala


produksi
HILANGNYA DARI DARI BAHAN PAKAN
Garam Meningkatkan nervous kelompok, meningkatkan pematukan
bulu
Kalsium Unggas tak dapat berdiri, meningkatkan kejadian telur tidak
berkulit
Vit D3 Meningkatkan mortalitas akibat kekurangan kalsium dan
meningkatkan kejadian telur tidak berkulit
Protein Meningkatkan nervous kelompok, meningkatkan mortalitas
(kanibalisme), kualitas albumen jelek, mematuk bulu
Lemak Pertambahan berat badan rendah, ukuran telur mengecil
KERACUNAN
Garam Meningkatkan mortalitas karena kerusakan ginjal, konsumsi
menurun
Fosfor Menurunkan konsumsi: meningkatkan telur kulit tipis atau
tanpa kulit, tulang lunak
Vitamin D3 Meningkatkan telur tanpa kulit, tulang lunak
Mikotoksin Meningkatkan nervous kelompok, lesi pada mulut, konsumsi
berkurang, meningkat insiden telur kulit tipis
Botulisme Kelemahan secara umum atau tidak mampu berdiri, leher
lumpuh (paralisa), bulu leher mudah rontok
ANTICOCOCCIDIA
Nicarbazin Meningkatnya insiden telur tanpa kulit, kehilangan pigmen
coklat pada telur, menurunnya fertilitas dan daya tetas pada
kelompok ayam pembibitan. Menurunnya konsumsi,
kehilangan kordinasi
Monensin Menurunnya konsumsi, kehilangan kordinasi
KESALAHAN MANAJEMEN
Kekurangan Meningkatkan kegelisahan kelompok, konsumsi menurun
pakan
Kekurangan air Jengger biru, ayam berdesakan di sekitar air
Panjang hari Bentuk (pattern) produksi telur tidak normal/umum
tidak cukup
Suhu lingkungan Ukuran telur menurun, konsumsi pakan berkurang,
tinggi meningkatkan konsumsi air, terengah-engah (panting)

29
PARASIT EKSTERNAL
Northern fowl Meningkatnya kegelisahan kelompok, mite ditemukan
mite pada ayam (biasanya sekitar kloaka)
Lice Meningkatkan kegelisahan kelompok, kehilangan berat,
mengurangi konsumsi
Stick-tight flies Fleas berkumpul melekat pada bagian daging dari kepala
ayam dan sekeliling mata
PARASIT INTERNAL
Nematoda Unthriftiness umum, menurunnya efisiensi pakan,
(cacing gilik) meningkatkan mortalitas
Cestoda (cacing Unthriftiness umum, bulu kering dan unkept, makan baik
pita) tapi ayam kehilangan berat badan

Tabel 7. Tanda diagnosa khas yang berkaitan dengan penyakit dan kondisi
umum yang dapat menurunkan produksi telur (Jacob dan Pecastore,
20ll)

PEIYYAKIT TANDA

Cacar ayam (Fowl Kelemahan seperti sisik pada bagian badan tidak
pox) berbulu (khususnya wajah dan jengger)
Coccidiosis Berak darah, lebih tinggi dari normal menyebabkan
kematian. Diagnosa didasarkan pada lesi yang khas
pada saluran pencernaan
Infectious bronchitis Gejala pernafasan: batuk, bersin. Produksi telur
drop sangat nyata (sampai 50%) dan telur berkulit
lunak dan atau bentuk telur tidak normal. Putih telur
berair. Ayam type petelur coklat akan mulai
bertelur warna putih
ND (Newcastle Menurunnya konsumsi pakan dan air. Stess
Disease) pernafasan. Produksi telur drop dramatis, dan
menurunkan kualitas kulit telur. Leher terpelintir
(twisted). Mortalitas meningkat.
Flu burung (AI) Listlessness (tidak berdaya), muka bengkak, tanda
pernafasan: batuk, bersin. Bintik merah gelap atau
putih pada sayap dan jengger. Diare
Avian Menunjukkan tanda klinis, jelas, produksi menurun
enchephalomyelitis secara temporer
Mycoplasma Tanda pernafasan: batuk, bersin, berbunyi menguik,
galliseptikum cairan dari mata dan hidung. Menurunnya konsumsi
pakan, menurunnya produksi telur
Fowl Cholera (kolera) Kematian tiba tiba tanpa teramati, penururan
konsumsi pakan, muka bengkak, keluar cairan dari
mata dan hidung, cyanosis pada kepala, diare
dengan air putih daan mukoid hijau
Infectious coryza Bengkak sekitar mata dan pial, tebal, cairan padat
dan berbau dari hidung. Sulit bernafas.
Menurunnya konsumsi pakan dan air

30
d. Chlorida. Elemen ini penting dan dalam bentuk HCl dilepas dari dalam
perut unggas (proventriculus) untuk membantu pencernaan. Disamping itu
penting untuk menjaga tekanan osmose. Ayam yang kekurangan elemen
ini lebih gampang terkejut menunjukkan peningkatan sensitifitas terhadap
suara bising. Pada unggas yang kurang NaCl akan tampak adanya
peningkatan pernatukan bulu dan menurunnya produksi telur. Perlu
diperhatikan apabila pemberian NaCl berlebihan maka kotoran akan basah.
Beberapa bahan pakan seperti tepung ikan, tepung gluten jagung, tepung
daging, whey dan tepung blji matahari mengandung kadar Na yang tinggi,
oleh karenanya pada pemakaian bahan ini penambahan garam dapur
dikurangi.

e. Kalsium. Kulit telur terbentuk utamanya dari kalsium karbonat. Pada saat
ayam mulai bertelur pertama kebutuhan kalsium meningkat empat kali
lipat. Mayoritas kalsium ini diperlukan untuk produksi kulit telur. Bila
kalsium tidak cukup maka akan terjadi penurunan produksi telur dan
kualitas kulit telur yang rendah. Ayam petelur akan menyimpan kalsium
pada tulang medularis dimana kalsium pada tulang ini bisa digunakan
untuk sumber kalsium pada pembentukan kulit telur. Bila kalsium dari
tulang ini diambil karena tidak cukup kalsium pada ransum maka
akibatnya ayam tidak bisa berdiri yang disebut dengan istilah caged layer
fatigue.
f. Fosfor. Kebutuhan fosfor terkait dengan kebutuhan kalsium karena tulang
mengandung kedua jenis mineral ini. Perbandingan Ca:P akan
mempengaruhi penyerapan kedua elemen ini. Kelebihan mineral yang satu
akan mengurangi penyerapan yang lainnya, akibatnya akan berpengaruh
pada produksi telur dan kualitas telur.
g. Vitamin D. Vitamin D diperlukan untuk terjadinya penyerapan dan
penggunaan kalsium secara normal. Bila kekurangan maka penyerapan
kalsium tidak diserap dengan baik. Ini mengakibatkan defisiensi kalsium
dan produksi telur turun walaupun kalsium ransum cukup. Kelebihan
vitamin D cenderung meningkatkan penyerapan kalsium yang
mengakibatkan terlalu tinggi Ca yang mengakibatkan penurunan produksi

31
telur. Untuk periode pendek unggas memerlukan sampai 100 kali
kebutuhannya.
h. Protein. Terdapat 22 jenis asam amino dalam protein tubuh, dan semua
penting. Secara fisiologis unggas tidak dapat mensintesa sebagian dari
asam amino. Oleh karena itu asam amino tersebut harus diberikan lewat
makanan. Kebutuhan asam amino berbeda atau bervariasi menurut umur,
jenis, breed atau strain dari ayam (pertumbuhan, periode bertelur dll).
Biasanya asam amino methionin sering kekurangan pada ransum ayam
petelur. Bila ayam mulai bertelur, peningkatan kebutuhan protein, vitamin
dan mineral perhari karena dipergunakan dan disimpan dalam telur. Bila
kekurangan protein dan kebutuhan asam amino tidak terpenuhi maka
produksi telur menurun dan turunnya daya tetas.
i. Lemak. Sementara lemak penting untuk sumber energi, juga mengandung
asam linoleat yang merupakan asam lemak esensial. Defisiensi asam
lemak linoleat mengakibatkan penurunan produksi telur. Lemak juga
berfungsi sebagai carrier utama vitamin yang larut dalam lemak. Banyak
ransum kekurangan vitamin A,D,E,K sebagai akibat ransum mengandung
terlalu rendah lemak.

Uraian lebih rinci dan didukung dengan berbagai hasil penelitian yang
mutakhir tentang pengaruh berbagai nutrisi terhadap produksi dan kualitas telur
akan diuraikan dalam bagian dari bab II selanjutnya.

3.1. Protein dan Asam Amino

Kandungan protein total pada telur menurut Scanes et al. (2004) sebanyak
30%, dan untuk mendapatkan kandungan yang tinggi tersebut perlu asupan dari
pakan berupa protein dan asam amino serta kualitas ketersediaan asam amino
yang baik ( amino acid availability). Adalah masuk akal bila tingkat produksi,
besar telur, kualitas telur dipengaruhi oleh protein pakan.
Ukuran telur dikontrol oleh banyak faktor, yaitu genetik, tingkat dewasa
kelamin, umur ayam, obat-obatan dan nutrisi serta beberapa zat makanan penting
lainnya (Scott et al., 1982). Faktor terpenting adalah faktor nutrisi mempengaruhi

32
ukuran telur adalah kecukupan protein dan asam amino dan asam linoleat.
Selanjutnya dijelaskan 50% dari bahan kering (DM) telur adalah protein. Jadi
penyediaan asam amino untuk sintesa protein adalah sangat penting untuk
produksi telur. Bila pemberian salah satu atau beberapa asam amino rendah, maka
produksi protein telur akan berubah. Bila ini terjadi jumlah sintesa protein telur
berkurang dan bila defisiensi berat, maka sintesa protein telur berhenti. Semua ini
akan berpengaruh pada ukuran telur dan bila defisiensi berat terjadi dalam waktu
yang lama maka produksi telur terhenti silma sekali.
Peran kandungan protein ransum semakin jelas pada penelitian Tarazewicz
et al. (2006) dalam penelitiannya pada burung puyuh dimana masing-masing
kelompok diberikan ransum dengan CP 2l%, 19% dan 17%. Dilaporkan bahwa
jumlah telur yang dihasilkan oleh puyuh yang diberikan ransum dengan protein
17% lebih rendah dibanding dengan kelompok yang mendapat CP 2l% dan l9%
yaitu 26,2% dan, 18,5%. Demikian pula jumlah telur yang dihasilkan perekor
puyuh adalah terendah 109 butir pada kelompok yang diberi ransum dengan CP
l7% dan diikuti oleh kelompok yang diberi ransum dengan CP l9% yaitu sebanyak
135 butir dan yang tertinggi pada kelompok yang diberi ransum dengan CP 2l%.
Selanjutnya dilaporkan bahwa berat albumen tertinggi pada kelompok dengan CP
2l % yaitu 60,04% vs 58,77% pada kelompok dengan CP 17%. Sebaliknya berat
kuning telur puyuh dengan 2l% adalah 29,17% vs 30,22% pada kelompok
dengaan 17% CP.
Pada ayam tampaknya kandungan protein ransum memberikan respon yang
berbeda terhadap produksi telur. Khayali et al, (2007) melaporkan hal yang
berbeda pada ayam petelur. Dalam penelitiannya dua kelompok ayam diberi
ransum dengan metade stepdown yaitur 20% CP-2930 ME, 18% CP-2930 ME
dan 16% CP – 3015 ME masing-masing pada fase starter (18-42 hari), grower
(43-63 hari) dan developer (64-119 hari). Kelompok lain diberikan protein 18,5%,
16,5% dar 14,6% untuk masing-masing fase starter, grower dan developer.
Selanjutnya pada fase bertelur (18-32 minggu) untuk kelompok kontol dan
kelompok lain (reduced protein) diberikan ransum dengan kandungan protein
17,8% dan 16,3%. Dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa tidak terdapat

33
perbedaan pada produksi telur (HD), berat telur, FCR, tinggi albumen , tebal kulit
telur dan kualitas kulit kulit telur pada kedua perlakuan.
Filardi et al. (2005) melakukan penelitian ransum berdasarkan ukuran asam
amino total dan asam amino tercerna. Untuk mempelajari hal tersebut diatas
dilakukan dengan aras penggantian jagung dengan pearl millet masing-masing
0%, 25%, 50%, 75% dan 100%. Penampilan ayam dan kualitas telur dievaluasi
selama 5 periode masing-masing 3 minggu per periode. Ayam petelur yang
digunakan adalah jenis Lohman LSL umur 25 minggu. Dalam penyusunan ransum
digunakan ukuran asam amino total dan asam amiro tercerna. Dilaporkan bahwa
terjadi penurunan secara liner pada konsumsi pakan, produksi telur, berat telur dan
warna kuning telur dengan peningkatan penggunaan pearl millet. Disimpulkan
bahwa peningkatan aras panggantian jagung dengan pearl millet berpengaruh
negatif terhadap penampilan ayam petelur.
Penelitian pada ayam petelur dilaporkan oleh Casartelli et al. (2006).
Penelitiannya menggunakan tepung biji matahari dengan aras 0%; 4%; 8% dan
12% pada ransum ayam petelur Lohman LSL umur 41 minggu. Penyusunan
ransum berdasarkan kandungan asam amino total dan asam amino tercerna.
Penelitian dilakukan dalam 5 periode masing-masing selama dua minggu. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa penambahan tepung bunga matahari pada
ransum petelur komersial tidak mempengaruhi penampilan ayam akan tetapi
sejalan dengan meningkatnya penggunaan tepung bunga matahari meningkatkan
kualitas kulit telur atau cangkang. Selanjutnya dilaporkan ayam yang mendapat
ransum dengan perhitungan asam amino total mempunyai nilai tertinggi pada
berat telur. Ransum yang diformulasi berdasarkan asam amino tercerna
menunjukkan peningkatan persentase kulit telur dan spesific gravity telur.
Penelitian penggunaan dedak padi sebanyak 20% pada ransum puyuh
petelur dengan perhitungan asam amino total atau asam amino tercerna telah
dilaporkan oleh Amoah dan Martin (2010). Selama 8 minggu penelitian
didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara puyuh dengan 20% dedak padi
vs kontrol (tanpa dedak padi) pada berat telur, massa telur dan angka kematian.
Mereka menyimpulkan bahwa ransum puyuh petelur dapat dibuat dengan 20%
dedak padi dengan perhitungan asam amino total atau asam amino tercerna.

34
Ketersediaan asam amino (amino acid availability) sangat penting dalam
produksi telur. Rinehart et al. (1973) dalam penelitiannya dimana ayam petelur
yang diberi ransum dried poultry waste (DPW) pada level 7, 14 dan 20% sehingga
kandungan asam amino ransum 80%, 100% dan 110% dari standar kebutuhan.
Dilaporkan produksi telur meningkat 6,1% bila ditambahkan DPW pada ransum
yang asam aminonya hanya 80% dari standar. Keadaan ini membuktikan bahwa
ayam menggunakan asam amino yang ada pada kotoran ayam tersebut.
Penelitian Green dan Persia (2009) meneliti penggunaan distiller dried grain
with soluble (DDGS) pada ayam petelur dalam jangka waktu yang lama. Ayam
petelur jenis Hy-Line W36 diberikan ransum yang mengandung DDGS dengan
aras 0; 17; 35 dan 50%. Setelah 24 minggu pengamatan dilaporkan total produksi
telur masing-masing 89,2; 84,0; 86,8 dan 63,5% dan trend ini diikuti oleh
konsumsi pakan yaitu masing-masing 104,1; 101,7; 105,4 dan 91,6g/ekor.
Rendahnya konsumsi pakan dan produksi telur pada kelompok ayam yang diberi
50% DDGS ditengarai karena kekurangan asam amino methionin. Jadi jelas
penggunaan DDGS dalam jumlah tinggi maka kecukupan ketersediaan dan
kandungan asam amino perlu mendapat perhatian.
Bahalli et al. (1995) dalam penelitiannya tiga aras protein 16; 18; dan 20%
diberikan pada burung puyuh yang sedang bertelur. Selama pengamatan 8-16
minggu dilaporkan bahwa jumlah telur lebih banyak pada puyuh dengan 18 dan
20% protein. Pemberian ransum 18 dan 20% protein meningkatkan massa telur
(g/ekor). Berat telur, kuning telur (%), albumen (%), kulit telur (%), haugh unit
dan kolesterol kuning telur tidak dipengaruhi oleh kandungan protein ransum.
Novak (2003) melaporkan penelitiannya dengan ayam Hyline W-98 yang
diberi ransum berbasis jagung, kedele dan bahan tepung glutein jagung yang
mengandung berbagai level suplementasi methionine, lysine, threonine dan
tryptophan. Menurunkan konsumsi protein dari 18,9 menjadi 16,3g/ekor/hari
selama fase 1 (20-43 minggu) dan dari 16,3 menjadi 14,6g/ekor/hari selama fase 2
(44-63 minggu) dengan pencampuran lebih rendah protein yang disuplementasi
dengan asam amino dapat mempertahankan produksi telur normal. FCR juga
secara linear lebih banyak sejalan dengan penurunan protein ransum. Berat telur
menurun bila diberi pakan dengan protein terendah (14,4 dan 13,8 g/ekor/hari

35
pada fase 1 dan fase 2 dibanding dengan kelompok yang diberi ransum protein
tinggi. Komponen telur dipengaruhi oleh aras protein tetapi tidak oleh rasio total
TSAA:lysine. Persentase albumen basah, albumen kering, semua albumen padat
semua secara linear menurun bila konsumsi protein menurun dan ini terkait
dengan berat telur yang menurun. Spesific gravity telur tetapi tidak kekuatan telur
secara linear menurun dengan menurunnya konsumsi protein dan hal ini perlu
penelitian lebih banyak. Penelitian lain mendapatkan bahwa menurunnya aras
protein diikuti dengn menurunnya kualitas kulit telur. Meningkatnya rasio
TSAA:Lysine meningkatkan kualitas kulit telur yang mungkin disebabkan
lebihnya kandungan sulfat dalam matrix kulit telur yang mempunyai sifat
mengikat Ca. Haugh Unit menurun dengan menurunnya konsumsi protein pada
fase 2. Pemberian protein yang lebih rendah berpotensi mengurangi biaya, lebih
rendahnya sekresi N, dan performans ayam sama atau tetap.

3.2. Energi

Protein dan energi adalah dua nutrien penting pada ayam petelur.
Diperkirakan 85% dari total harga ransum datangnya dari bahan protein dan
energi. Salah satu faktor nutrisi yang berperan dan mempengaruhi produksi, besar
telur adalah kandungan energi ransum. Pengaruh tingkat energi ransum terhadap
produksi telur (Wu et a1., 2005, Harms et a1., 2000, Jalal et al., 2006) masih
kontroversial. Selanjutnya Wu et al. (2005) melaporkan bahwa dengan
meningkatnya kandungan protein ransum, sangat jelas dapat meningkatkan berat
telur dari 60,85g menjadi 61,40g. Mereka menyimpulkan peningkatan energi
ransum dan zat makanan lain seperti asam amino, Ca dan P sangat nyata
meningkatkan berat kuning telur, albumen selama produksi awal (21-36 minggu).
Wu (2007) meneliti pengaruh nutrient density (kepadatan gizi) pada 8 strain ayam
White Leghorn. Kedelapan strain ayam ini diberikan tiga jenis ransum yaitu (l).
ME 2747 Kcal dengan protein 18,21%; (2). ME 2874 kcal dengan protein 18,71
% dan (3). ME 3002 kcal dengan protein 19,27%. Bila dihitung ME:CP rasio
masing-masing ransum (1), (2) dan (3) adalah 150,75; 152,6; dan 155,79, Selama
penelitian dari umur 21 sampai dengan 36 minggu didapatkan bahwa berat telur
secara liner meningkat dari 57,76-59,08g sejalan dengan peningkatan densitas gizi

36
ransum dari ransum (l) sampai ransum (3) demikian pula berat kuning telur secara
liner meningkat dari 14,88-15,39g.
Telah diketahui dan diterima sejak lama bahwa kandungan energi ransum
adalah faktor utama yang mengontrol jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ayam.
Penelitian yang mempelajari respon ayam petelur terhadap ransum dengan tiga
kandungan energi (ME/kg) telah dilaporkan oleh Harms et al. (2000). Tiga macam
kandungan energi yaitu energi rendah 2519 kcal ME/kg dengan CP 15,3%; energy
sedang 2798 kcal ME/kg dengan CP l6,03% dan energi tinggi 3078 kcal ME/kg
dengan CP l8,7%. Ransum diberikan kepada 4 jenis ayam petelur yaitu Hy-line
Brown, Hy-line W36, Hy-line W98 dan Dekalb White umur 36 minggu. Dari hasil
penelitian tersebut dilaporkan bahwa produksi telur tidak dipengaruhi oleh ketiga
jenis ransum tersebut. Dicatat bahwa berat telur ayam yang mendapat ransum
dengan kandungan energi tinggi adalah nyata lebih berat dari kelompok yang
mendapat ransum energi rendah atau sedang. Konsumsi ransum menurun sejalan
dengan meningkatnya energi ransum. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan
energi ransum yang tinggi sangat mempengaruhi berat telur. Peningkatan energy
ransum dengan penambahan minyak jagung merupakan cara potensial unfuk
meningkatkan berat telur pada awal peneluran.
Valkonen et al. (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh kandungan
energi ransum terhadap produksi dan kualitas telur ayam yang dipelihara dengan
sistem battery (CC) untuk 3 ekor dalam satu petak dan pemeliharaan dengan
"kandang yang dilengkapi" (FC) untuk 8 ekor dalam satu petak (2.000 cm2/ekor).
Ransum yang diberikan adalah ransum rendah energi 2.414 kkal ME, CP l7,l9%
dan tinggi energi 2.629 kcal ME, CP 19.01% pada fase I (20 minggu), pada fase 2
(16 minggu) ransum energi rendah 2394 kcal ME, CP 17,82% dan ransum energi
tinggi 2.629 kcal ME, CP 18,07% dan pada fase 3 (16 minggu) diberikan ransum
energy rendah 2.342 kcal ME, CP 17,82 % dan energi tinggi 2.581 kcal ME, CP
l9%. Dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa tidak ada perbedaan kedua jenis
kandang tersebut (CC vs FC). Selanjutnya dilaporkan bahwa produksi telur, berat
telur, konsumsi energi sama pada kedua jenis ransum yang diberikan. Nilai Haugh
Unit (HU) dan kekuatan kerabang tidak dipengaruhi oleh perbedaan energi

37
ransum, akan tetapi berat albumen (%) cenderung menurun pada kelompok yang
diberi ransum energi tinggi.
Gunawardana et al. (2009) meneliti pengaruh tiga jenis ransum yaitu ransum
dengan energi rendah (2.776 kkal/kg), energi sedang 2.820 kcal/kg dan energi
tinggi 2.864 kcal/kg dengan kandungan protein masing-masing l6,05%; l6,l8%
dan l6,32% dan diberikan pada 7 strain ayam. Dari hasil penelitiannya
disimpulkan bahwa kandungan energi ransum tidak berpengaruh terhadap
produksi telur, specific gravity telur, berat badan, angka kematian, massa telur dan
berat telur. Terhadap kualitas telur seperti berat komponen (% kuning telur, %
albumen dan % kerabang), kualitas telur (HU dan warna kuning telur) berat
albumen, berat kuning telur dan berat cangkang (g), bahan solid (padat) telur (%)
(seluruh telur, albumen dan kuning telur) tidak dipengaruhi oleh kandungan energi
ransum.
Penelitian pada burung unta (ostrich) oleh Brand et al (2003) mempelajari
pengaruh aras energy dan protein pada musim kawin (breeding season). Dewasa
ini kebutuhan protein dan energy masih berdasarkan kebutuhan energy dan
protein pada ayam sedangkan pengetahuan kebutuhan energy dan protein pada
ostrich masih terbatas (Brand et al., 2003). Di dalam penelitiannya induk ostrich
diberikan ransum yang mengandung energy (ME) masing-masing 8,5; 9,5 dan
10,5 MJ/kg dengan protein berturut-turut 13,5; 15,0 dan 15,5% CP pada musim
kawin pertama. Selanjutnya pada musim kawin kedua diberikan ransum dengan
kandungan energy 7,5; 8,5 dan 9,5 MJ/kg dengan protein masing-masing 10,5;
12,0 dan 13,5% CP. Induk ostrich yang diberi ransum dengan energi 7,5 MJ
ME/kg menghasilkan telur nyata lebih rendah dengan interval peneluran yang
lebih panjang dan mengakibatkan anak yang menetas rendah. Kandungan protein
ransum tidak berpengaruh pada produksi telur, massa telur, daya tetas, berat anak,
daya hidup anak. Disimpulkan bahwa kandungan energy 7,5 MJ ME/kg
berpengaruh kurang baik pada produksi telur dan dianjurkan ransum dengan
energy 8,5 MJ/kg dan 10,5 CP dipandang sebagai kebutuhan minimal yang
dipergunakan untuk musim kawin pada ostrich.

38
3.3. Mineral Ca, P dan Mineral Lainnya

Telur pecah, retak dan kerusakan fisik masih merupakan faktor kerugian
utama dalam industri perunggasan. Diperkirakan 13-20% dari produksi telur total
retak, pecah dan rusak sebelum sampai ketujuan (Roland, 1988). Oleh karena itu
ayam petelur harus diberikan pakan yang kaya kalsium tidak saja untuk
pembuatan telur tetapi untuk mendapatkan kualitas kulit telur yang baik, yang
penting artinya pada saat pengangkutan dan penetasan. Cangkang telur utamanya
terdiri dari kalsium karbonat (97%), sehingga seluruh telur mengandung 2,0-2,6g
kalsium murni. Untuk membentuk kulit telur yang kuat harus disediakan kalsium
dalam jumlah yang optimum. Kebutuhan kalsium perhari untuk satu telur adalah
2,3g (Trriszka. 2000). Masalahnya sumber kalsium yang bagaimana sebaiknya
diberikan pada ayam belum begitu jelas.
Dobrzanski et al. (2007) mempelajari pemberian kalsium peroksida pada
ayam petelur. Sebanyak 36 ekor ayam (Lohman Brown) dibagi dalam tiga
kelompok. Kelompok pertama, diberi ransum dalam bentuk mash dengan
kandungan kalsium 3%. Kelompok kedua dan kelompok ketiga, diberi ransum
yang sama hanya 0,5% dan 1,0% kalsiumnya diganti dengan kalsium peroksida
(CaO2) (51,8% Ca, 16,7% oksigen aktif, pH dalam larutan 12,5). Selama
penelitian berlangsung, 56 hari diketemukan tebal kulit telur paling tinggi adalah
pada kelompok yang menerima 0,5% CaO2 dibanding dengan kontrol dan
kelompok tersebut. Berat telur tertinggi adalah pada kelompok dua yaitu 0,5%
CaO2 dan ketiga l% CaO2. Kalsium peroksida tidak mengakibatkan discolorasi
pada kulit telur dan tidak berpengaruh pada warna kuning telur.
Proses pembentukan kulit telur normalnya terjadi pada malam hari, saat
tidak terjadi konsumsi pakan, penekanannya unggas tergantung pada kalsium dari
intestinum dan kalsium tulang untuk kalsifikasi kulit telur. Dalam penelitian de
Witt et al. (2009) menggunakan sumber kalsium yang terdiri dari butiran kecil
(<1,0 mm), medium (1,0-2,0 mm) dan besar (2,0-3,8 mm) batu kapur asal Afrika
Selatan yang biasa dipergunakan pada ransum ayam yang isokalori dan isoprotein
dengan kandungan Ca 3,995% Ca/kg. Dari penelitian de Witt et al. (2009) bahwa
ukuran partikel batu kapur tidak berpengaruh terhadap produksi telur dan kualitas
kulit telur. Disimpulkan bahwa ukuran partikel yang lebih besar tidak mutlak

39
diperlukan untuk menyediakan Ca pada ransum ayam petelur. Untuk produksi dan
kualitas telur pada periode peneluran adalah kandungan Ca memenuhi kebutuhan
ayam petelur tersebut.
Sumber bahan kalsium juga berpengaruh terhadap ketersediaan kalsium
pada ransum ayam. Kulit kerang merupakan salah satu sumber kalsium yang
sangat penting disamping berfungsi sebagai sumber Ca, grit membantu proses
penggilingan pakan dalam pencernaan ayam. Sultana et al. (2007) mempelajari
sumber kalsium dalam berbagai sumber pada ransum terhadap produksi telur dan
kualitas kulit telur puyuh (Javanese quail) dari umur 20-23 minggu. Sumber
kalsium adalah kulit kerang, batu kapur dan kalsium premix dengan aras 2,5%,
2,7% dan 3%. Dari hasil penelitian ini dilaporkan bahwa berat telur, berat
cangkang, persen kulit telur, kecuali produksi dan tebal kulit telur tidak
dipengaruhi oleh perlakuan. Kalsium premix berpengaruh pada induk tua yaitu
kualitas kulit telur. Disimpulkan bahwa ketiga jenis sumber kalsium itu dapat
dipergunakan pada puyuh petelur. Penelitian ini juga menyarankan aras 2,5%
meningkatkan berat telur, tebal kulit telur sedangkan aras 2,7% meningkatkan
berat badan dan 3% meningkatkan produksi telur dan persentase kulit telur.
Sebutir telur mengandung kurang lebih 3g kalsium. Oleh karena itu ransum ayam
harus mengandung cukup kalsium dalam bentuk yang dapat dipergunakan secara
efisien. Ada beberapa pendapat tentang partikel kalsium walaupun ada pendapat
umum bahwa 50-70% sumber kalsium dalam bentuk kasar (diameter 2-5 mm) dan
sisanya dalam bentuk tepung (Nys, 1999). Kekurangan Phosphor (P) pada ransum
menyebabkan pengambilan mineral kalsium pada fulang ayam. Perbandingan
antara kalsium dan phosphor dalam ransum sangat penting karena jumlah
Phosphor yang tinggi berpengaruh terhadap penyerapan kalsium dalam saluran
pencernaan dan menurunkan kualitas kulit / kerabang telur (Boorman dan
Gunaratne, 2001). Robert dan Ball (1982) menyatakan bahwa perbandingan Ca:P
dalam ransum ayam petelur adalah sangat penting. Imbalance Ca:P pada ayam
muda menyebabkan masalah pada ginjal dan cenderung menjadi masalah
lemahnya kaki. Biasanya kekurangan Ca menyebabkan masalah pada kulit telur.
Selanjutnya Scott et al. (1982) menyarankan kandungan Ca:P pada ransum ayam
petelur 3,5:1. Bahkan dengan memberikan ekstra sumber Ca berupa kulit kerang

40
dalam bentuk free-choice pada ayam petelur menyebabkan kulit telur menjadi
kuat (Mastika, 1992). Menurut Prabowo (1982) kalsium yang terdapat dalam
sebutir telur kurang lebih 1,975g dan P adalah 0,115g, disamping untuk kebutuhan
lain, kebutuhan Ca dan P pada periode bertelur adalah 2,25:0,75 atau idealnya
1,5:1 sampai 3:1.
Secara umum penggunaan enzym phytase akan membanfu ketersediaan
fosfor asal tanaman. Scott et al. (2000) meneliti pengaruh dua aras kalsium (3,7%
dan 4% Ca), dua aras Pav. (0,2% dan 0,4%) sampai ayam berumur 55 minggu,
0,1l% dan 0,22% Pav. sampai umur 67 minggu dan tiga aras enzim phytase (0;
250; 500 FTU/kg ransum) dengan bahan dasar ransum wheat/gandum dan tepung
kedele. Dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa aras Ca dan P serta enzim
phytase tidak berpengaruh pada berat telur, tinggi albumen, spesific gravity, berat
cangkang dan persentase cangkang. Mereka menganjurkan bahwa pengaruh
penambahan ensym phytase pada ransum sebaiknya dipertimbangkan bila
mencampur ransum yang bahan dasarnya gandum.
Kandungan Phosphor yang tersedia (Pav.) dalam ransum ayam petelur bisa
berpengaruh kurang baik terhadap performance ayam petelur dan mengurangi
kualitas kulit telur (Nys, 1999). Penelitian tentang penggunaan ransum basal
dengan wheat (gandum) dan jagung dengan konsentrasi Ptersedia (Pav.) pada aras
0,4%; 0,3% dan 0,2% yang diberikan pada ayam Isa Brown yang dipelihara pada
kandang lengkap (Enriched cage). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
deposisi Ca pada kulit telur meningkat pada ransum dengan gandum sebagai
bahan dasar. Ayam yang diberi ransum jagung sebagai bahan dasar telurnya lebih
kuat. Aras tertinggi Pav. (0,41%) pada ransum dengan bahan dasar wheat-jagung
nyata menurunkan tinggi albumen, indeks albumen dan haugh unit. Disimpulkan
bahwa kandungan Pav. sebanyak 0,27% pada ransum wheat-jagung dan 0,3%
pada ransum jagung adalah cukup untuk ayam petelur dengan kalsium 115g dan
3,5% Pav. tidak berpengaruh negatif pada performance dan kualitas telur.
Umumnya ransum unggas disusun sebagian besar menggunakan jagung dan
tepung limbah kacang kedele. Kurang lebih 2/3 phosphor asal tanaman dalam
bentuk asam phytat. Phosphor dalam bentuk phytate sangat sulit ketersediaannya
untuk ternak monogastrik karena kurangnya produksi enzim phytase pada saluran

41
pencernaannya. Rendahnya bioavailabilitas Phosphor pada bahan asal tanaman
menyebabkan masalah secara ekonomis dan lingkungan. Bila banyak Phosphor
tak termanfaatkan oleh ternak, maka akan keluar dan dapat mencemari air
lingkungan. Qabuk et al. (2004) mengadakan penelitian pengaruh suplementasi
enzim phytase pada ransum yang mengandung Phosphor (P) yang berbeda. Empat
jenis ransum yaitu ransum dengan kandungan 4,5g (0,45%) P dan 0,3% P tanpa
dan dengan suplemen enzyme phytase. Ensym phytase yang dipakai adalah
phyase microba komersiaf (Natuphos) ditambahkan pada level 300 phyase unit
(FTU)/kg ransum. Ransum mengandung protein dengan kalori yang sama yaitu
l6,5% CP, dan 11,5 Mjoule ME/kg. Dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa
suplementasi phytase pada ransum control (0,45%) dan yang rendah 0,3% P nyata
meningkatkan produksi telur HD dari 75,49-77,90% dan dari 64,5 -76,54%.
Tidak diketemukan perbedaan diantara perlakuan pada berat cangkang, tebal,
cangkang, kekuatan cangkang dan telur retak. Suplementasi phytase pada ransum
dengan 0,45% dan 0,3% meningkatkan berat telur masing-masing dan 62,66 g
menjadi 64,32g dan 62,49g menjadi 63,9g. Ikatan phytat pada phosphor sebagian
besar tidak tersedia untuk ternak monogastrik karena jenis ternak ini secara alami
tidak mempunyai ensim yang diperlukan untuk memecahnya yaitu ensim phytase.
Kemampuan unggas untuk menggunakan P-phytat sangat rendah (Ravindra et al.,
1999). Mohammad et al. (2010) dalam penelitiannya ingin melihat pengaruh
suplemen phytase pada penampilan ayam yang diberikan ransum mengandung
l0,30% dedak padi. Dedak padi telah dikenal mengandung fosfor yang berikatan
dengan asam phytat sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh ayam. Sebanyak 315
ekor ayam Hy-line White€ 6 dibagi dalam 5 kelompok. Kelompok kontrol, diberi
ransum basal tanpa suplementasi, sedangkan kelompok 2,3,4 dan 5 diberi ransum
yang disuplementasi enzim phytase pada aras 0,1; 0,15; 0,20; dan 0,25%. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa suplementasi enzim phytase nyata
meningkatkan produksi telur (%HD), jumlah telur, massa telur dan efisiensi,
sebaliknya berat telur menurun. Kualitas telur seperti tebal kulit telur, persentase
kuning telur, persentase albumen, tidak dipengaruhi oleh suplementasi ensim.
Disimpulkan bahwa aras paling baik suplementasi phytase adalah 2 kg
phytase/ton pakan yang mengandung 10,30% dedak padi.

42
Mineral lain diluar makro elemen yang juga berpengaruh terhadap kualitas
kulit telur adalah mikro elemen seperti Cuprum (Cu), Zn, J dan lain-lain. Cu-sulfat
terdapat secara alami dalam bentuk garam anorganik dan Cu merupakan trace
mineral esensial pada makanan unggas. Kekurangan mineral Cu pada ransum
menyebabkan hypercholesterolemia (Kelvay et al., 1984) dan mempengaruhi
fungsi ensim. Biasanya Cu ditambahkan pada ransum komersial pada level 100-
300mg/kg ransum karena mempunyai sifat pengaruh sebagai perangsang
pertumbuhan (Bahalli et a1.,1995). Dalam penelitiannya tiga aras protein 16; 18;
dan 20% serta tiga aras copper sulfat (0; 100; dan 200 mg/kg ransum) diberikan
pada burung puyuh yang sedang bertelur. Selama pengamatan 8-16 minggu
dilaporkan bahwa jumlah telur lebih banyak pada puyuh dengan 18 dan 20%
protein. Suplementasi Cu sebanyak 100 dan 200 mg/kg, nyata meningkatkan
produksi (%) telur. Pemberian ransum 18 dan 20% protein meningkatkan massa
telur (g/ekor) demikian pula suplementasi Cu 100 dan 200mg/kg. Berat telur,
kuning telur (%), albumen (%), kulit telur (%), haugh unit dan kolesterol kuning
telur tidak dipengaruhi oleh kandungan protein ransum. Suplementasi Cu
sebanyak 100 dan 200mg/kg ransum nyata menurunkan kolesterol kuning telur
(mg/g kuning telur) dari 471 menjadi 428 dan 423.
Mineral organik dan anorganik ditengarai berpengaruh terhadap produksi
dan kualitas telur unggas. Swiatkiewrcz and Koreleski (2008) meneliti pengaruh
Zn dan Mn organik dan anorganik pada ransum ayam petelur pada performance,
kualitas kerabang dan kualitas tulang ayam Hy-line Brown dari umur 25-70
minggu. Ransum yang diberikan adalah ransum basal yang disuplemen dengan
30mg Zn/kg dan 50mg Mn/kg dan dalam bentuk anorganik Zn (ZnO) dan Mn
(MnO) secara bertahap menggantikan dalam 0%; 50% atau 100% dengan bentuk
organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur, berat telur,
konsumsi pakan tidak dipengaruhi oleh perlakuan baik pemberian dalam bentuk
organik atau anorganik. Lichovnicova et al. (2008) meneliti penggunaan rape seed
segar dan pengaruh suplementasi jodium pada ayam petelur. Ayam Hybrid Isa
Brown diberikan ransum kontrol, ransum dengan 8% rape seed dan l0% rape seed
dan disuplementasi 1 mg yodium/kg dan 3 mg/kg pada ransum 10% rape seed
diberikan pada ayam dari umur 19-64 minggu. Dari hasil penelitian ini dilaporkan

43
bahwa berat telur menurun dengan peningkatan penggunaan rape seed dan diikuti
dengan menurunnya berat albumen dan cangkang telur. Penambahan yodium
3mg/kg pada ransum dengan l0% rape seed meningkatkan berat telur. Berat
kuning telur lebih tinggi daripada kontrol. Disimpulkan bahwa suplementasi
yodium meningkatkan berat kuning telur, kualitas cangkang dan tebal kulit telur.
Rasa dan penerimaan telur lebih rendah pada ayam dengan ransum rape seed.
Penambahan yodium tidak berpengaruh pada flavour, bau, rasa dan penerimaan
telur.
Rosi et al. (2009) meneliti penggunaan DDGS dengan tambahan atau tanpa
tambahan ensym evaplex (allzym SSF, Altech Inc, Nicholasville, K.J) pada aras
15%DDGS atau 23% pada ayam Hy-line W36 pada umur 17 minggu. Ransum
yang diberikan: (l) ransum kontrol (jagung-kedele); (2) 15% DDGS, (3) 15%
DDGS+enzym. (4) 23% DDGS+enzym. Hasil penelitiannya menyimpulkan
DDGS dapat dipergunakan sampai 23% tanpa mempengaruhi penampilan ayam
dan kualitas telur dan dapat digunakan untuk meningkatkan warna kuning telur.
Penggunaan pada aras 15% +enzym meningkatkan berat dan persentase kuning
telur.
Zn adalah trace mineral esensial dalam tubuh ternak. Elemen ini terlibat
dalam berbagai reaksi biokimia. Ion Zn adalah kofaktor dari banyak enzym dan
satu komponen metalloenzym yang berperan didalam berbagai proses metabolik.
Korenekova et al, (2005) menyatakan bahwa burung puyuh (Javanese quail)
sangat sensitif terhadap kekurangan mineral Zn. Kekurangan Zn pada puyuh
ditandai dengan pertumbuhan lambat, pertumbuhan bulu abnormal, pernafasan
menjadi sulit, jalannya pincang, abu tibia rendah dan rendahnya konsentrasi Zn
pada hati dan tibia. Dilain pihak cadmium secara kimia hampir sama dengan Zn
dan terdapat di alam bersama Zn dan Lead dalam bijih sulfida.
Di dalam penelitian Korenekova (2005) yaitu 60 ekor puyuh dibagi dalam
tiga grup yaitu: Grup 1: sebagai kontrol tanpa suplemen, Grup 2: diberikan
suplemen Zinc dalam bentuk ZnSO4.6H2O; Merch, Germany, di dalam air dengan
dosis 12mg Zn/ekor puyuh. Grup 3: diberi suplemen dalam bentuk cairan dengan
dosis 12 mg Zn dan 0,12mg Cd untuk satu ekor. Dari hasil penelitiannya selama

44
58 hari dilaporkan bahwa berat telur, tebal kerabang menurun dengan
suplementasi Zn atau Zn +Cd dibanding dengan kontrol.

3.4. Lemak dan Asam Lemak

Lemak ransum terutama mengandung asam lemak linoleat dan linolenat


sangat berpengaruh terhadap produksi, besar telur dan besar kuning telur (Scanes
et al., 2004). Selanjutnya Scott et al. (1982) penyatakan bahwa penurunan ukuran
telur akan sangat jelas bila ransum kekurangan asam linoleat. Pada kondisi
defisiensi yang sangat keras, berat telur pada ayam dewasa hanya 40 g
dibandingkan dengan 60 g pada ayam kontrol.
Mastika (unpublished data) melaporkan bahwa penggantian energi jagung
dengan lemak telo dengan aras 0,25; 37,5; 50, dan 100% tidak berpengaruh
terhadap berat telur rata-rata yaitu 55,3; 54,9; 54,10 dan 55,0g untuk masing-
masing perlakuan diatas. Namun demikian warna kuning telur berkurang sejalan
dengan peningkatan aras penggantian energi jagung dengan energi lemak telo. Hal
ini logis karena jagung kuning yang mengandung karotin dan bila pemakaiannya
menurun sesuai dengan tingkat penggantian dengan lemak telo sehingga karotin
yang dikonsumsi menurun mengakibatkan warna kuning telur menurun.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Wu (2005) yaitu peningkatan energi
ransum dengan penambahan minyak asal unggas secara liner meningkatkan berat
kuning telur. Kondisi ini didukung oleh pendapat Sell et al. (1987) bahwa ayam
dapat menggunakan lemak dari luar (pakan) sebagai lemak kuning telur pada awal
produksi telur.
Kjos et al. (2001) mengadakan penelitian tentang pengaruh silase ikan 5%
dan 1,8 g/kg; 8,8 g/kg; 16,8 g/kg dan 24,8 g/kg minyak ikan pada 1 kg ransum
ayam petelur (WL) umur 22 minggu. Ransum dengan 16,8 g/kg dan 24,8 g/kg
minyak ikan nyata menurunkan konsumsi ransum, produksi telur, HD produksi
dan meningkatkan indeks warna kuning telur. Silase ikan (5%) tidak berpengaruh
terhadap konsumsi pakan, produksi telur, komposisi asam lemak kuning telur,
warna kuning telur atau cita rasa telur dibanding dengan kontrol. Selanjutnya
dilaporkan bahwa kolesterol kuning telur tidak berbeda diantara perlakuan.

45
Dalam penelitian yang dilaporkan oleh Ahn et al.(1999), ayam petelur White
Leghorn umur 79 minggu, ayam diberi ransum mengandung 0%, 2,5% dan 5%
asam lemak linoleat jenuh (conyugated linoleic acid) CLA selama 4 minggu.
Telur disimpan pada temperature 4oC selama 1; 7; 21 atau 49 hari. Kandungan
asam mysteric, palmitic, stearic CLA (9-cis, ll-trans CLA dan 10 trans, 12-cis
isomer) dan asam lemak yang tidak teridentifikasi pada lemak kuning telur
meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan asam lemak linoleat jenuh
(CLA), tetapi sebaliknya asam lemak palmitoleic, oleic, linoleic, linolenic,
arachidonic dan docosahexanoic menurun.
Penelitian tentang berbagai aras dan jenis lemak pada ransum ayam
dipelajari oleh Peebles et al. (1993). Didalam penelitiannya dua aras 1,5% dan 3%
masing-masing untuk minyak jagung dan minyak asal unggas serta 3% minyak
babi dibandingkan dengan ransum kontrol. Selanjutnya dalam penelitian ini telur
utuh dibandingkan dengan telur yang dicuci untuk membersihkan cuticle.
Disimpulkan bahwa pencucian cuticle dan penambahan lemak pada ransum ayam
petelur bibit tampaknya mempengaruhi pertumbuhan embryo tanpa berpengaruh
pada daya tetas.
Sifat menguntungkan dari omega-3 asam lemak dan vitamin E dalam hal
melindungi dan mencegah penyakit kardiovaskuler menyebabkan pemikiran untuk
memperkaya telur konsumsi dengan penambahan asam lemak omega-3 dan
vitamin C pada ransum ayam untuk mendapatkan telur konsumsi yang kaya akan
asam lemak tersebut dan vitamin C (Melluzi et a1., 2000). Di dalam penelitiannya
sebanyak 192 ayam Hy-line Brown umur 39 minggu dibagi menjadi 8 group ,
empat group diberi ransum basal yang disuplementasi dengan 3% minyak babi
dan 4 dosis dl-α tochopherol acetat (dengan aras 0; 50 75; dan 100 ppm),
sedangkan empat group lain diberi ransum basal dengan 3% minyak ikan dan
dengan dosis suplemen vitamin E yang sama. Dari hasil penelitiannya dilaporkan
performance ayam dan berat telur tidak dipengaruhi oleh jenis lemak atau aras
vitamin. Penggunaan minyak ikan dalam ransum ayam menyebabkan peningkatan
yang dramatis semua asam lemak omega-3 pada kuning telur, terutama EPA
(Eicosapentaenoic acid) yaitu 19,53 vs 0,74mg/butir dan DHA (Decosa hexaenoic
acid) yaitu 143,7 vs 43,66 mg/butir telur dan penurunan yang cukup banyak dari

46
asam arachidonat (25,54 vs 69,72 mg/butir telur). Aras penggunaan vit E sedikit
berpengaruh pada komposisi asam lemak dan kuning telur. Kandungan α-
tochopherol meningkat sejalan dengaan peningkatan dL-α tochopherol pada
ransum. Pada kelompok dengan ransum kontrol 90,92µg kuning telur dan
313,84µg kuning telur bila ransum mengandung 200ppm dL- α tochopherol acetat
pada ransum. Selam 28 hari penyimpanan pada temperatur kamar tidak
mempengaruhi profil asam lemak dan kandungan vitamin E.
Ada beberapa asam lemak yang mempengaruhi kualitas telur. Scott et al.
(1982) menyebutkan asam lemak cyclopropene, asam malvalic dan Sterculic
menyebabkan warna pink pada putih telur bila ayam diberikan minyak biji kapas
dan atau bungkil biji kapas dalam jumlah tinggi.

3.5. Serat Kasar


Aderolu et al, (2004) melakukan penelitian pemberian sekam yang
difermentasi untuk meningkatkan nilai nutrisi untuk ayam petelur. Sekam padi
dibiodegradasi dengan Trichoderma viridii dan dicampur pada pakan ayam
petelur dengan aras 20%, 30%, dan 40% dan ayam diberikan ransum kontrol
berisi 20% sekam padi yang tidak didegradasi. Disimpulkan bahwa biodegradasi
memperbaiki nilai nutrisi pakan (CP lebih tinggi, serat kasar lebih rendah)
daripada bahan yang tidak diberi perlakuan. Tidak terdapat perbedaan konsumsi
atau produksi telur antara ayam diberi ransum dengan sekam tanpa perlakuan atau
diberi biodegradasi pada aras 20%. Peningkatan biodegradasi sekam padi dari 20
sampai 40% menyebabkan produksi telur secara liner menurun.
Hale dan Brown (2009) di dalam dua penelitiannya, masing-masing dengan
ayam petelur 200 ekor. Tepung sunflower sebagai sumber protein dibandingkan
dengan tepung ikan kualitas tinggi pada dua tingkat protein. Produksi tidak
dipengaruhi oleh rendahnya intake protein, disimpulkan bahwa kualitas protein
pada tepung sunflower cukup untuk produksi telur. Jika 25% tepung sunflower
dimasukkan dalam mash, konsumsi mash tidak berkurang tetapi ayam nampaknya
tidak mampu mempertahankan produksi telur yang tinggi dan untuk
mempertahankan berat badan pada saat yang sama. Dari hal ini disimpulkan

47
penggunaan persentase sunflower diatas akan memberikan kandungan serat kasar
yang tinggi dan rendah energi dalam ransum
Anita et al. (2009) mengadakan penelitian tentang pengaruh tingkat serat
atau CF (8% dan 12%) dalam ransum dan suplementasi enzym pada performan
produksi itik petelur dari umur 2l-56 minggu. Itik betina sebanyak 200 ekor dibagi
menjadi 5 kelompok perlakuan dengan 4 ulangan dan 10 ekor masing-masing
ulangan. Grup 1, diberi ransum mengandung 18,03% CP, 2552 Kkal/kg ME dan
8,02% CF. Empat grup lain, tingkat CF dalam ransumnya meningkat sampai
11,86% dan disuplementasi dengan polizyme masing-masing 0; 0,06; 0,12 dan
0,18%. Berat badan itik umur 40 minggu tidak dipengaruhi secara nyata oleh CF
atau suplementasi enzym. Berat badan itik umur 52 minggu nyata lebih tinggi
(P<0,05) pada suplementasi enzym 0,18% (grup 5) daripada grup diberikan
ransum dengan 8% CF (Grup 1). Jumlah telur kumulatif dari umur 2l sampai 56
minggu pada ransum l2% CF nyata lebih tinggi (P<0,05) dibanding 8% CF (Grup
1) dengan nilai tertinggi pada Grup 3 (0,06% enzym). Rata-rata berat telur dari 21
sampai 56 minggu nyata lebih tinggi (P<0,05) pada semua grup disuplementasi
enzym daripada 8% CF (grup 1). Konsumsi pakan harian perekor (21 sampai 56
minggu) nyata lebih tinggi pada semua grup CF tinggi dibandingkan dengan 8%
CF. Konversi pakan per 12 butir telur paling baik pada grup dengan 0,06%
enzym tetapi perbedaan ini tidak nyata. Konversi pakan per kg telur juga tidak
nyata diantara grup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12% CF dapat
dimasukkan dalam ransum yang memberikan keuntungan untuk itik petelur.
Suplementasi enzym 0,06% polyzyme pada rasum 12% CF memperbaiki
penampilan produksi itik petelur.

3.6. Feed Additive / Probiotik- UGF

Disamping zat makanan tersebut diatas, ada beberapa zat-zat makanan lain
yang juga berpengaruh terhadap ukuran telur. Ayam yang diberikan ransum murni
biasanya menghasilkan telur yang lebih kecil dibanding ayam yang diberikan
ransum biasa (practical diet) (Scott et al., 1982). Apakah hal ini disebabkan
karena Unidentified Growth Factor (UGF) yang ada pada ransum biasa atau dari

48
faktor defisiensi yang belum diketahui pada ransum murni (purified diet) belum
diketahui dan harus diteliti.
Berbagai upaya meningkatkan ukuran telur seperti diatas dan dengan
memberikan hormon tyroid atau dengan diethylstilbestrol biasanya tidak
memberikan dampak. Pemberian antibiotika baik dosis antibiotika yang tinggi
atau rendah tidak berpengaruh terhadap berat telur. Dikatakan pula nicarbazine
pada ransum ayam petelur menurunkan berat telur dengan menurunnya ukuran
kuning telur.
Penggunaan feed additive dalam ransum unggas dimaksudkan untuk
meningkatkan produksi melalui perbaikan ketersediaan zat-zat makanan.
Penggunaan antibiotika sebagai feed additive berperan sebagai perangsang
pertumbuhan dengan / melalui pencegahan penyakit dus memperbaiki produksi
ternak. Dewasa ini penggunaan antibiotika sebagai perangsang pertumbuhan
sudah mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena residu obat ini terdapat
dalam telur, daging yang berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan konsumen
(Dipeolu et al., 2005). Eoff et al. (1961) menemukan bahwa penggunaan zat
penenang dalam jumlah kecil meningkatkan berat telur, tapi penggunaan reserpine
dosis tinggi menurunkan berat telur.
Vondel (1933) pertama menemukan ayam bertelur dengan bau amis
walaupun tidak diberi pakan ikan atau produk ikan. Bau amis ini terkait dengan
penggunaan tepung rape seed dan dalam jumlah yang tinggi pada ransum ayam
petelur (Hobson-Frohokk et al., 1975; Overfield dan Elson, 1975). Banyak faktor
yang mempengaruhi terjadinya telur amis (taint) pada telur dengan kulit coklat.
Bau amis disebabkan karena adanya trimethylamine pada kuning telur ayam
dengan ketidakmampuan ayam mengubah trimethylamine menjadi N-oksida yang
tak bebau dan hambar (Lichovnikova 2008). Penambahan aromabiotik pada
ransum ayam petelur meningkatkan persentase produksi telur, masa telur harian
dan FCR pada ayam petelur. Selanjutnya dilaporkan pemberian shellbiotik
meningkatkan produksi telur l0% dan menurunkan jumlah telur retak serta
meningkatkan nilai HU telur (Vitamex, 2010).
Dewasa ini berkembang teknologi penggunaan mikroorganisme yang
mampu memperbaiki populasi mikroorganisme yang menguntungkan ternak

49
inang. Probiotik serta produk lainnya dalam istilah umum bisa mengandung sel
ragi, bakteri atau keduanya yang merangsang mikroorganisme yang dapat
merubah lingkungan saluran pencernaan untuk lebih sehat dan mengubah konversi
pakan. Penambahan probiotik pada pakan menguntungkan ternak inang dengan
mengubah mikroba saluran pencernaan, menghasilkan antibiotika, mensintesa
asam laktat dengan konsekuensi mengurangi mukosa usus, mencegah keracunan
dan merangsang respon kekebalan dalam saluran pencernaan (Cheeke, 1999).
Selanjutnya Haddadin et al. (1996) melaporkan bahwa ukuran telur, produksi
telur, kualitas telur meningkat dengan penambahan probiotik.
Penelitian yang dilaporkan oleh Dizaji dan Primohammadi (2009)
mempelajari pengaruh Saccharomyces C. dan Bioplus 2B pada penampilan ayam
petelur. Probiotik yang dipergunakan adalah Biosaf SC 47 yang mengandung
minimal 5x1010 cfu/g Saccharomyces C. (strain NCYC sc 47) dan Bioplus 28
yang mengandung minimum 3,2x109 cfu/g Baccillus subtiilis (CH201) dan
Baccillus lichenioformis (CH200) pada ayam petelur Hy-line W36 dan 44-56
minggu. Ayam diberi perlakuan yaitu ransum tanpa probiotik (kontrol), dan yang
kedua ayam diberi suplemen Saccharomyces (200, 300 dan 400 g/t) dan yang
ketiga diberikan suplemen Bioplus 2B 400, 800 dan 1200g/t. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suplementasi probiotik nyata menurunkan berat telur dan
tidak berpengaruh terhadap parameter yang lain kecuali peningkatan efisiensi
penggunaan ransum. Selanjutnya mereka melaporkan bahwa ayam petelur (46-55
minggu) yang mendapatkan pakan yang disuplementasi dengan Saccharomyces
cereviceae dan Bioplus 28, kelompok pertama tanpa probiotik (kontrol)
sedangkan kelompok kedua SC, BP dengan dosis 200; 300 g/t Saccharomyces
cereviceae dan 400, 800, 1200g/t, Bioplus 28. Dilaporkan bahwa ayam yang
rnendapat Bioplus, produksi telur, masa telur lebih rendah dari kontrol dan S.
Cereviceae.
Dalam beberapa tahun terakhir penggunaan probiotik, prebiotik dan
simbiotik yang dapat memperkaya populasi mikroorganisme tertentu dalam
saluran pencernaan merupakan pertimbangan alternatif pengganti penggunaan
antibiotik sebagai perangsang pertumbuhan dan produksi pada nutrisi unggas
(Patterson dan Brukholder, 2003). Probiotik dan jenis sel-sel mikroba baik yang

50
mono maupun campuran memberikan perlindungan yang menguntungkan kepada
ternak inang melalui kompetisi dengan mikroba yang merugikan ternak inang.
Mikroba ini merangsang nafsu makan, memperbaiki keseimbangan mikroba usus
dan lingkungan usus untuk proses pencernaan dan penyerapan nutrien. Mikroba
ini juga menghambat dan mencegah mikroba patogen yang menghasilkan racun
(Mahdavi et a1.,2005).
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi
probiotik dan prebiotik (mannan oligosakarida) pada ransum terhadap
performance, kualitas telur dan daya tetas bibit puyuh dilaporkan oleh GṻϚlu
(2011). Didalam penelitiannya 480 puyuh umur 18 minggu dibagi dalam 5
kelompok dengan 4 ulangan masing-masing terdiri dari 24 ekor (18 betina dan 6
jantan). Burung puyuh ini diberi ransum basal sebagai kontrol dan ransum basal
ditambah dengan 0,5kg dan 1kg/ton probiotik (Novartis International AG, Turkie)
mengandung jenis bakteri dan yeast (Lactobaccillus plantarum) 1,89x1010 cfu&g,
Lactobaccillus delbruecksi Subspp. 3,09x 1010 cfu/kg, Lactobaccillus acidophylus
3,09x1010 cfu/kg, Lactoboccillus rhemnosus 3,09x1010 cfu/kg, Bifidobacterium
bifidum 3,0x1010 cfu/kg, Streptococcus salivarius subsp, Thermophyllus 6,15x1010
cfu/kg, Enterococcus faecum 8,85x 1010 cfu/kg, Aspergillus oryza 3,98x1010
cfu/kg, Candido pentolopessi 3,98x1010 cfu/kg atau probiotik selama 12 minggu.
Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan suplementasi 0,5kg dan 1kg/ton prebiotik
tidak berpengaruh terhadap berat badan dan produksi telur sementara suplemetasi
0,5kg/ton probiotik meningkatkan produksi telur. Tebal kerabang lebih baik
hasilnya pada kedua suplementasi. Kedua suplementasi baik probiotik maupun
prebiotik tidak berpengaruh pada konsumsi pakan, efisiensi pakan, berat telur,
spesific gravity dan indeks albumen, indeks kuning telur dan haugh unit.
Suplementasi probiotik dan prebiotik meningkatkan persentase telur fertil dan
daya tetas tetapi tidak berbeda nyata dibanding kontrol.
Penggunaan antibiotika sebagai perangsang pertumbuhan sudah mulai
ditinggalkan bahkan dilarang di Negara Ekonomi Eropa. Oleh karena itu upaya
mengganti antibiotika banyak dilakukan dengan penggunaan enzym. Dipeolu et
al. (2005) mengadakan penelitian yang membandingkan pengaruh antibiotika
dengan enzyme pada ransum ayam petelur. Sebanyak 100 ekor induk ayam (Nera)

51
dan dibagi dalam 4 kelompok dan diberikan 4 jenis ransum. Ransum kontrol tanpa
antibiotik (Treatment 1); Treatment 2: disuplementasi dengan antibiotik
tetracycline pada level 200mg/kg. Treatment 3: ransum disuplementasi dengan
ensim (Avizym 1500) sebanyak 200mg/kg. Treatment 4: disuplementasi
antibiotika tetracyclin dan enzyme (Avizyme 1500). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan antibiotik, enzim secara sendiri-sendiri atau
kombinasi antibiotik dan ensym avizyme memberikan performance penampilan
terbaik seperti HD %, berat badan tertinggi pada kelompok yang mendapat
antibiotika atau enzym. Kualitas telur seperti berat telur, haugh unit tertinggi pada
kelompok yang mendapat ensym saja atau ensym + antibiotik. Bentuk telur,
komposisi telur, warna kuning telur dan bloodspot tidak dipengaruhi oleh
perlakuan antibiotik atau antibiotic +enzym.
Bayram et al. (2008) meneliti penggunaan bakteri xylanase pada burung
puyuh. Sebanyak 120 ekor puyuh umur 8 minggu dibagi dalam 6 kelompok.
Ransum basal 22% CP dan 2900 Kkal ME dipergunakan dalam penelitian.
Kandungan energi dikurangi untuk kelompok l,2,3,4 dan 5 masing-masing
sebanyak l,5% (43,5 Kkal ME/kg), 2% (58 kkal ME/kg), 2,5% (72,5 Kkal
ME/kg), 3% (87 Kkal ME/kg dan 3,5% (101,5 Kkal ME/kg). Selanjutnya masing-
masing ransum tersebut disuplementasi dengan 100 ppm bakteri xylanase. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa produksi telur (%), berat telur (g), indeks kuning
telur, indeks albumen, HU, indeks bentuk telur dan tebal kulit telur (mm x10-2)
tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Konsumsi pakan, FCR berbeda nyata antar
perlakuan. Disimpulkan bahwa suplemen dengan bakteri xylanase pada ransum
dengan bahan dasar jagung dan kacang kedele meningkatkan efisiensi penggunaan
energi dengan suplemen bakteri xylanase pada aras 3%.

3.7. Additive atau Feed Supplement


Terbatasnya ketersediaan bahan baku untuk pakan ternak akan sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan industri peternakan. Ketertarikan
produsen bidang peternakan terutama mencari bahan pakan yang lebih murah dan
selalu tersedia serta tidak berkompetisi dengan kebutuhan manusia. Salah satu
bahan di beberapa Negara Afrika yang menghasilkan ketela pohon seperti Nigeria

52
(Aderemi et al., 2006) merupakan bahan yang sangat potensial akan tetapi
kandungan serat kasar tinggi dan kandungan protein rendah, bahan ini perlu
diteliti lebih mendalam terutama untuk pakan unggas.
Aderemi et al. (2006) meneliti tentang penggunaan enzyme dan DPY (dried
pure yeast) yaitu ragi murni kering pada ransum dengan bahan dasar jagung.
Ayam jenis petelur umur 22 minggu sebanyak 120 ekor dipergunakan dalam
penelitian ini dan dibagi dalam empat perlakuan : Kelompok I diberikan makanan
dengan bahan dasar jagung (kontrol), Kelompok II diberi ransum dengan bahan
dasar ketela pohon (tanpa jagung dan dedak gandum) tanpa suplemen sedangkan
kelompok III dan IV sama dengan kelompok II tetapi pada ransum kelompok III
ditambahkan ragi murni kering 300g/100kg ransum dan kelompok IV diberi
ransum III dengan tambahan enzyme (avizym 1500) sebanyak 100g/100kg
ransum. Dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa ayam control pada ransum
bahan dasar jagung memberikan performans (konsumsi ransum, FCR,
pertambahan berat badan) terbaik dibanding dengan kelompok lain. Kualitas
telur, produksi HD, konsumsi ransum, berat albumen, rata-rata berat telur dan HU
pada ayam control nyata lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Tetapi
kelompok ayam yang mendapat ransum ketela pohon dengan suplementasi
enzyme parameter diatas lebih tinggi dibanding yang tidak mendapat suplementasi
enzyme. Ketebalan kulit telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan/ransum. Dari
sudut produksi telur, kelompok control produksinya tertinggi dan diikuti oleh
kelompok yang diberi ketela pohon dengan suplementasi enzyme.
Alasan penggunaan zeolit alam-clinoptilolite pada pakan ternak karena sifat
fisik dan kimianya yang khas. Clinoptilolite mempunyai kemampuan untuk
bertukar kation-kation untuk ion yang berasal dari lingkungannya (Milenova,
2003, Hertig et al., 2007). Selama penggunaan clinoptilolite sebagai feed
suplemen, penggunaan zat makanan meningkat (Olver, 1997); memberikan
pengaruh positif mekanisme pencernaan termasuk sifat menghilangkan logam-
logam berat (Tepe et al., 2004). Sifat ini termasuk sifat menyerap berbagai racun
mikotoksin telah dibuktikan demikian pula pengaruhnya pada pengurangan
pengaruh racun tersebut (Rizzi, 2003).

53
Hertig et al. (2008) meneliti tentang penggunaan clinoptilolite pada ayam
petelur breed Bovans Goldline. Sebagian ayam diberi makan ransum petelur
control (CP 17,15% dan ME 11,5 MJ/kg) dan sebagian lagi diberi ransum yang
sama hanya 1% gandum diganti dengan 1% clinoptilolite (zeolite yang diperjual
belikan secara komersial). Selama 22-68 minggu penelitian dilaporkan bahwa
pada kelompok ayam yang mendapat suplemen clinoptilolite intensitas peneluran
meningkat 1,4% dan sejalan dengan peningkatan jumlah telur sebanyak 3,08
butir/ekor. Rata-rata berat telur yang dihasilkan 66,3±6,25g pada control dan
65,6±5,44g pada kelompok yang mendapat clinoptilolite. Konsumsi pakan per
satu butir telur 4,1g lebih rendah pada kelompok clinoptilolite bila dibandingkan
dengan control. Kulit telur ayam yang diberi suplemen clinoptilolite mengandung
CP, Ca dan Mg nyata lebih tinggi daripada control. Mereka menyimpulkan
pemakaian clinoptilolite sangat berpengaruh terhadap penyimpanan Ca, P, Mg dan
CP pada kulit telur dan pada tulang, meningkatkan produksi telur, menurunkan
konsumsi pakan dan tetap menjaga kesehatan ternak.

3.8. Air Minum


Air minum merupakan kebutuhan mutlak pada ayam petelur walaupun air
minum tidak termasuk zat makanan. Kekurangan air minum pada ayam petelur
menyebabkan produksi berhenti dan akan kembali setelah 30 hari ayam sejak
diberikan air ad libitum. Mastika (2006) menyatakan pada ayam dewasa
kekurangan 20% air minum menyebabkan ovarium mengalami necrose
proventiculitus dan nephrosis. Kulit telur akan sangat tipis setelah 43 jam
mengalami kekurangan air dan selanjutnya telur berhenti sama sekali. Bila ayam
tidak mendapat air selama 24 jam, maka produksi telurnya akan turun 30% dan
memerlukan waktu 30 hari untuk kembali bertelur normal.
Walaupun air tidak termasuk elemen anorganik, tetapi air bahan anorganik
yang sangat penting di dalam tubuh ternak. Air sangat penting artinya dalam
menjalankan fungsi normal tubuh. Air merupakan bahan dasar dari darah, cairan
dalam sel dan cairan intra seluler dan berfungsi dalam pengangkutan zat zat
makanan, metabolit dan sisa metabolisme dari dan ke seluruh sel tubuh. Air juga
sangat penting artinya sebagai pelepas panas dan mempunyai sifat mudah

54
menguap, menyebabkan air sangat penting artinya sebagai pengatur temperatur
tubuh. Unggas dapat hidup lebih lama tanpa makanan dibandingkan tanpa air.
Pengurangan air satu hari saja menyebabkan perubahan physiologis yang
berakibat penekanan pertumbuhan yang sangat drastis pada broiler, atau mungkin
luruh bulu atau terhentinya produksi telur pada ayam petelur. Ternak yang
kelaparan mungkin kehilangan seluruh glycogen dan lemaknya, setengah dari
protein tubuh dan sekitar 40% dari berat badan dan masih hidup, sedangkan
kehilangan l0% air tubuh, menyebabkan kelainan yang serius dan bila sampai
20% menyebabkan kematian. Kandungan air pada tubuh ayam umur satu minggu
lebih kurang 85%. Kandungan air ini secara bertahap menurun dengan semakin
dewasanya ayam dan mencapai 55% pada ayam dewasa (umur 42 minggu). Telur
mengandung air sekitar 65% (Scott et al., 1982; Scanes et al., 2004), oleh karena
itu sangat penting untuk mempertahankan produksi telur.

3.9. Vitamin
Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa telur merupakan bahan makanan
yang kaya akan sumber gizi berkualitas tinggi seperti protein berkualitas tinggi,
vitamin-vitamin (A, D, E, asam folat, riboflavin, Vitamin B12, asam pantotenat
dan mineral seperti fosfor, yodium, besi dan Zn). Telur mengandung banyak
vitamin yang awalnya sangat penting untuk kesehatan embryo yang tumbuh.
Pengaruh suplementasi vitamin E (α-tocopherol acetat) dan vitamin C (L-
Ascorbic acid) pada ransum ayam petelur telah diteliti oleh δiftδi et al. (2005).
Ayam petelur jenis Hy-line, White Leghorn umur 150 hari dipergunakan sebagai
binatang percobaan. Ayam dibagi dalam 4 kelompok masing-masing 30 ekor .
Kelompok 1 diberi ransum basal sebagai kontrol, kelompok 2 diberi ransum yang
disuplementasi dengan 125 mg α-tocopherol acetat/kg (group vit.E), kelompok 3
diberi ransum dengan suplemen 200 mg L-Ascorbic acid/kg (group C) dan
kelompok 4 diberi ransum yang disuplementasi dengan 125 mg α-tocopherol
acetat/kg + 200 mg L-Ascorbic acid (kelompok E+C). Dari hasil penelitian ini
dilaporkan bahwa konsumsi pakan tidak berbeda diantara perlakuan tetapi angka
kematian nyata menurun pada kelompok yang mendapat vitamin E dan C
demikian pula efisiensi pakan dan pertambahan berat badan lebih baik dibanding

55
kontrol. Produksi telur (%HD), berat telur (g), ayam yang diberi suplemen vitamin
E, vitamin C dan kombinasi vitamin E+C –nyata lebih tinggi dibanding kontrol.
Selanjutnya albumen (%), Spesific Gravity, Haugh Unit, tebal kerabang, berat
kerabang (%), tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Berat kuning telur (%) ayam
yang diberi suplemen vitamitr E, C dan vitamin E+C nyata lebih berat dibanding
ayam kontrol.
Eid et al. (2008) mengadakan penelitian tentang pengaruh vitamin E pada
status antioksidatif dan lemak peroksidasi pada ayam petelur dan di dalam kuning
telur dalam kondisi stress oksidatif yang sengaja diberikan dengan menyuntikkan
dexamethason (DEX). Dalam penelitiannya menggunakan ayam petelur jenis
local Mesir (Gurmizah) umur 36 minggu. Ayam diberikan 4 perlakuan : DEX
4g/ekor/hari, Vitamin E (200mg/kg ransum); DEX 4mg/ekor/hari + Vitamin E
(200mg/kg ransum); dan Ransum kontrol. Pengamatan selama 7 hari
menunjukkan bahwa dengan pemberian stress dengan suntikan DEX nyata
menurunkan produksi telur dan berat telur. Dengan pemberian vitamin E
penurunan produksi dan berat telur dapat dicegah pada ayam yang dikenakan
stress dengan DEX. Terjadinya oksidasi lemak kuning telur terkait dengan
perlakuan stress oksidatif dapat dikurangi dengan suplemen vitamin E (200mg/kg
ransum). Disimpulkan bahwa suplementasi vit E 200mg/kg ransum dapat
meningkatkan performan peneluran dan sifat-sifat oksidatif pada ayam petelur
dalam kondisi stress.
Scott et al. (1982) menyatakan bahwa faktor nutrisi utama penyebab
terbentuknya "blood spot" adalah kekurangan vitamin A, yang biasanya sebagai
penyebab terjadinya kejadian pada telur. Kekurangan vitamin K dalam jumlah
sedikit juga mengurangi atau menurunkan kejadian blood spot, sedangkan aras
tepung alfalfa yang tinggi pada ransum ayam petelur meningkatkan insiden blood
spot. Selanjutnya ditambahkan bahwa pemberian nicarbazin menyebabkan adanya
titik-titik darah pada kuning telur. Bintik pada kuning telur juga dilaporkan oleh
penggunaan kombinasi obat cacing piperazine, phenothiazine dan dibutytin
divalerat pada ayam petelur. Dijelaskan pula secara tersendiri obat-obatan ini
tidak berpengaruh pada kuning telur.

56
3.10. Bahan Pakan Limbah Inkonvensional

Penggunaan sumber pakan yang tidak berkompetisi dengan sumber makanan


manusia adalah penting dalam industri perunggasan. Salah satu bahan yang tidak
bersaing dengan manusia terutama di negara-negara maju adalah penggunaan
tepung limbah (by-product) dari usaha rumah potong unggas yang disebut dengan
Poultry By-product Meal (PBPM). Nayafabody et al. (2007) menjelaskan bahwa
PBPM adalah salah satu by-product dari rumah potong melalui pengolahan
bagian-bagian karkas unggas yang tak dimakan meliputi kepala, kaki, vicera tidak
termasuk bulu. Kualitas PBPM yang baik mengandung 58-63% CP, 12-20% EE
dan l8-23% abu (Senkoylu et al., 2005).
Selanjutnya Wang dan Person (1984) melaporkan bahwa faktor pembatas
utama dalam pemakaian PBPM adalah empat asam amino yaitu cystine,
tryptophan, threonine, dan lysine. Sementara methionine merupakan asam amino
termasuk pembatas moderat. Dalam penelitiannya ayam petelur umur 66-74
minggu diberi ransum yang mengandung PBPM dengan aras 0; 2,5; 5 dan 7,5%.
Dilaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang diamati dalam hal produksi dan
kualitas telur yang dihasilkan. Disimpulkan pula bahwa peningkatan pemakaian
PBPM menyebabkan meningkatnya warna kuning telur yang disebabkan oleh
kandungan lemak yang tinggi pada PBPM meningkatkan penyerapan pigmen
kuning telur (Wiseman, 1984).
Bahan baku lain yang mahal dan tidak berkompetisi dengan kebutuhan
manusia adalah pemakaian tepung daun sebagai sumber protein pada ransum
ayam. Suksombat dan Buakeeree (2005) mencoba dalam penelitiannya
menggunakan tepung lucern (Degmotus virgatus) sebagai sumber protein pada
ayam petelur. Didalam penelitiannya ayam petelur (Hisex Brown) umur 22
minggu diberikan ransum tanpa tepung lucern (0% lucern) sebagai kontrol.
Kelompok kedua diberi ransum yang mengandung 2% tepung lucern dan
selanjutnya ransum 3; 4 dan 5 yang masing-masing mengandung 4; 6; 8% tepung
lucern untuk masing-masing kelompok lain. Perlakuan diberikan selama 28 hari.
Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan balrwa pemakaian 8% tepung lucern
sedikit menurunkan produksi 86,5l% vs 88,33%. Tidak diketemukan perbedaan
pada konsumsi ransum, pertambahan berat badan, berat telur, massa telur,

57
komposisi telur. Pengaruh terhadap kualitas telur dilaporkan tidak ada perbedaan
yaitu pada spesific gravity, tebal kulit telur, tebal albumen, Haugh Unit antara
perlakuan. Yang sangat menarik adalah warna kuning telur mempunyai nilai
warna paling tinggi (8,55) dan kontrol mempunyai warna kuning telur paling
pucat (4,53). Tampaknya tepung lucern yang mengandung prekursor karotin
(xanthophyl) dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan warna kuning telur.
Strakova et al. (2007) mempelajari pengaruh ransum yang terdiri dari
bahan nabati saja dibandingkan dengan ransum yang mengandung protein hewani
terhadap ayam petelur Isa Brown. Sumber protein nabati tepung ekstrak kacang
kedele dan tepung biji kefir. sedangkan ransum dengan protein hewani yaitu
tepung ikan. Selama 252 hari penelitian dilaporkan bahwa produksi telur kedua
perlakuan tidak berbeda (86,55% vs 86,11%). Akan tetapi berat telur per butir
nyata lebih tinggi (P<0,01) pada kelompok ayam yang diberi protein nabati (61,66
g vs 60,03g) dibandingkan dengan ayam yang diberi ransum protein hewani. Data
kualitas telur menunjukkan bahwa berat kerabang telur, berat albumen nyata lebih
tinggi (P<0,01) pada kelompok ayam yang mendapat protein nabati. Bila dihitung
secara persentase, berat kerabang, berat kuning telur lebih tinggi pada ayam yang
diberi protein nabati. Demikian pula warna kuning telur pada kelompok yang
diberi protein nabati lebih tinggi (skor warna 6,44 vs 5,87) dari pada protein
hewani. Dicatat pula kandungan kolesterol telur ayam yang mendapat protein
hewani lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ayam yang mendapat protein
nabati (l131,94mg/100 g vs 1116,09 mg/100 g).
Bahan pakan ternak seperti tepung daging-tulang (meat and bone meal) atau
MBM merupakan bahan limbah rumah potong yang potensial terutama di negara-
negara industri daging seperti Australia, Amerika. MBM ini sangat baik sebagai
sumber protein, kalsium dan phosphor, namun level pemakaian dalam ransum
masih banyak perlu informasinya. Meat and bone meal (MBM) digunakan sebagai
sumber protein, kalsium dan fosfor pada ransum ayam petelur tetapi aras yang
optimal penggunaan bahan ini belum disepakati. Bozkurt et al. (2004) meneliti
penggunaan meat and bone meal (MBM) dengan aras 2,0; 4,0; dan 6,0% pada
ransum ayam petelur. Ayam Brown Nick umur 84 minggu dan setelah forced-
molting ayam diberi ransum yang masing-masing mengandung MBM dengan aras

58
tersebut diatas. Penyusunan ransum dengan aras 2,0% MBM sangat nyata
meningkatkan produksi telur, akan tetapi penggunaan MBM ketiga aras tersebut
menurunkan berat telur. Spesific gravity telur ayam yang diberi ransum kontrol
nyata lebih rendah dengan perlakuaan lainnya. Tidak dikemukakan perbedaan
yang nyata pemakaian MBM pada skor warna kuning telur, tinggi albumen telur,
tebal kulit telur, berat kulit telur dan kualitas kulit telur. Disimpulkan bahwa
pemakaian MBM pada ransum jagung dan kacang kedele memperbaiki
penampilan produksi telur dan kualitas telur.
Penggunaan ampas biji-bijian yang telah dikeluarkan minyaknya telah
dilaporkan mempunyai potensi sebagai sumber protein dan energi di dalam
ransum ayam. Disamping tepung ampas kedele, kelapa, kacang tanah, salah satu
bahan adalah tepung ampas biji kapas, namun bahan ini belum banyak digunakan.
Adeyemo dan Longe (2008) membuat penelitian untuk mengganti sebagian bahan
tepung kacang kedele dengan tepung ampas biji kapas. Aras penggantian adalah
0% (kontrol), l5%, 30%, 45% dan 60%. Ransum kontrol mengandung protein
kasar (CP) l6,4% dan energi metabolis (ME) 2600 kkal/kg. Ransum dengan ampas
biji kapas kandungan proteinnya sama yaitu antara 16,39 sampai dengan 16,l1%
sedangkan kandungan energinya 2550 kkal/kg diberikan pada ayam Isa Brown
umur 28 minggu. Selama 12 minggu penelitian dilaporkan bahwa produksi telur
kelompok ayam yang mendapat ampas biji kapas meningkat antara 7,04-l0,l5%
dibanding dengan kontrol. Kualitas telur (tebal kulit telur, indeks kuning telur,
indeks bentuk telur, tinggi albumen, berat telur dan nilai haugh unit tidak
dipengaruhi oleh aras penggantian tepung ampas kacang kedele dengan ampas biji
kapas.
Bahan pakan terutama yang berasal dari limbah memang mempunyai
potensi tinggi dalam penyusunan ransum, namun mempunyai faktor tertentu yang
perlu mendapat perhatian yaitu bervariasinya kandungan nutrien yang dikandung
yaitu tingginya kandungan serat kasar, rendah kalori dan tersebar sumbernya
(Mastika, 2011), hal ini merupakan faktor pembatas penggunaan limbah untuk
ransum unggas. Untuk daerah tropis basah seperti Indonesia, dedak padi
produksinya cukup banyak dan bagus untuk campuran pakan ternak baik pada non
ruminansia maupun ruminansia. Untuk unggas pemakaiannya terbatas disamping

59
seratnya tinggi juga adanya kandungan P yang terikat dengan asam phytat, mudah
tengik. Penelitian oleh Ersin Samli et al. (2006) meneliti penggunaan berbagai
aras dedak padi pada ransum ayam petelur. Dalam penelitiannya, empat ransum
disusun dengan menggunakan aras dedak padi 0; 5; l0 dan 15% dengan ME dan
CP yang sama yaitu 17% CP dan ME 2800 kkal/kg yang diberikan pada ayam
WL umur 22 minggu selama l0 minggu. Hasil penelitiannya menunjukkan dedak
padi dapat diberikan pada aras l0% tanpa berpengaruh pada penampilan, produksi
telur dan kualitas telur (HU, berat kuning telur, tinggi albumen, tebal kerabang,
berat kerabang) dan organ pencernaan (Tabel 8,9, dan l0)

Tabel 8. Pengaruh dedak padi terhadap penampilan ayam petelur umur 22-30
minggu (Ersin Samli et a1.,2006)
Aras dedak Produksi Konsumsi pakan Berat telur Massa telur FCR (g
padi (%) telur (%) (g/ekor/hari) (g/butir) (g/ekor/hari) pakan/g telur
0 93,6a 104,8a 63,0 59,0a 1,778
5 91,0ab 101,1ab 62,3 56,7ab 1,790
10 92,3ab 101,7ab 61,7 56,9ab 1,791
15 87,8b 98,1 b 62,0 54,4b 1,805
Tingkat P 1,110 1,050 0,435 0,647 0,022
SEM 0,216 0,177 0,689 0,090 0.984

Tabel 9. Pengaruh dedak padi terhadap berat organ (% Berat badan) Ayam Petelur
(Ersin Samli et al.2006)
Aras Jantung Hati empedal pankreas Provetriculus Duodenum jejunum Ileum caecum
dedak
padi (%)

0 0,40 2,65 1,59 0,21 0,33 0,65b 1,29 1,06 0,81


l0 0,43 2,46 1,50 0,23 0,35 0,63b 1,35 1,13 0,71
15 0,42 2,36 1,62 0,29 0,33 0,67b 1,24 1,09 0,78
20 0,40 2,45 1,72 0,22 0,36 0,82a 1,46 1,14 0,84
P. level 0,641 0,172 0,421 0,257 0,620 0,068 0,185 0,879 0,760
SEM 0,010 0,047 0,042 0,015 0,009 0,028 0,036 0,035 0,040

60
Tabel 10. Pengaruh dedak padi terhadap kualitas telur (umur 22-30 minggu) Ersin
Samli et al. 2006).

Aras dedak Haugh Unit Berat kuning Berat Tebal kulit Berat kulit
padi (%) telur (g) albumen (g) telur (µ) telur (g)
0 96,0b 14,8 35,9 301,6 8,4
10 101,8ab 14,0 38,5 308,9 8,2
15 100,1 ab 14,0 35,8 320,0 7,7
20 102,2a 14,1 37,4 306,7 8,1
P. level 0,123 0,225 0,232 0,455 4,449
SEM 0,902 0,100 0,488 2,379 0,094
A-b
Nilai rata-rata pada kolom yang sama dengan huruf beda berbeda nyata pada taraf
(P<0,05). ANilai rataan mewakili 6 ulangan dan 4 butir telur masing-masing atau 24 butir
per perlakuan.

Dari hasil penelitian tersebut yang dipresentasikan pada Tabel 8, 9 dan 10 dapat
disimpulkan bahwa pemakaian dedak padi yang paling optimal dalah pada aras
10%.
Lichovnicova et al. (2008) meneliti penggunaan rape seed segar dan
pengaruh suplementasi jodium pada ayam petelur. Ayam Hybrid Isa Brown
diberikan ransum kontrol, ransum dengan 8% rape seed dan 10% rape seed dan
disuplementasi 1mg yodium/kg dan 3mg/kg pada ransum 10% rape seed
diberikan pada ayam dari umur 19-64 minggu. Dari hasil penelitian ini dilaporkan
bahwa berat telur menurun dengan peningkatan penggunaan rape seed dan diikuti
dengan menurunnya berat albumen dan cangkang telur. Penambahan yodium
3mg/kg pada ransum dengan 10% rape seed meningkatkan berat telur. Berat
kuning telur lebih tinggi daripada kontrol. Disimpulkan bahwa suplementasi
yodium meningkatkan berat kuning telur, kualitas cangkang dan tebal kulit telur.
Rasa dan penerimaan telur lebih rendah pada ayam dengan ransum rape seed.
Penambahan yodium tidak berpengaruh pada flavour, bau, rasa dan penerimaan
telur.

3.11. Zat Antinutrisi

Sedikit penggunaan gossipol yang terdapat pada tepung biji kapas dapat
menyebabkan perubahan warna kuning telur menjadi hijau-kebiruan dan
terjadinya motling. Pengaruh gossipol ini sangat jelas terutama pada telur yang
telah disimpan beberapa hari. Oleh karena itu semua produk biji kapas,

61
minyaknya, tepungnya tidak diberikan pada ayam petelur. Disamping itu gossipol
pada aras yang tinggi menyebabkan produksi telur turun dan menurunnya kualitas
telur.
Pemberian pakan jagung dengan fumigan seperti karbon tetraklorida dan
ethylene bromida dilaporkan menyebabkan menurunnya berat telur (Scott et al.,
1982) . Adanya jamur yang tumbuh dapat memproduksi toksin seperti mikotoksin
yang menyebabkan penurunan produksi dan berat telur. Daya tetas akan menurun
tapi tidak berpengaruh langsung terhadap fertilitas ( Robert dan Ball, 1998).
Penurunan produksi telur bila ayam petelur mengkonsumsi pakan yang
terkontaminasi mikotoksin dilaporkan oleh Jacob dan Pecastore (2011). Zat
antinutrisi lain seperti antitrypsin inhibitor yang terdapat pada biji kacang kedele
harus dinonaktifkan dengan memanasi (sangrai) pada biji kacang kedele segar
sebelum digunakan didalam menyusun ransum ayam.

62
IV. GENETIKA DAN MANAJEMEN

Pada bab ini dibahas tentang faktor genetik dan manajemen yang dapat mempengaruhi
produksi telur. Manajemen kandang seperti temperatur dan kelembaban kandang,
kekurangan pakan, pakan jamuran, adanya toksin, kepadatan kandang, sistim
pemeliharaan, dan penanganan pasca panen. Dalam bab ini juga dibahas beberapa
parasit daan penyakit yang sangat mengganggu usaha peternakan unggas. Dengan
membaca bab ini para pembaca akan mengetahui dan memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi telur.

Secara umum, keseluruhan bagian tubuh ternak dikontrol oleh faktor genetik
yang diterima tetuanya (Scott et al., 1982). Semua ini termasuk tidak hanya sifat
fisik yang sudah diamati, tetapi juga karakter, metabolisme termasuk system
ensymatis yang bertanggung jawab terhadap kemampuan ternak untuk mensintesa
hasil metabolisme yang sangat penting. Untuk jenis ternak dengan kelas yang
lebih tinggi, mesin metabolik ini sangat seragam (uniform) diantara spesies. Zat
makanan yang harus diedarkan dalam makanan secara mendasar adalah sama
untuk ayam, itik, kalkun, tikus, babi, kera dan manusia.
Variasi genetik akan kebutuhan gizi dapat dilihat, tetapi hal ini umumnya
lebih menekankan jumlah (kuantitatif) dari pada kualitatif. Gizi seperti riboflavin,
thiamin atau arginin berbeda, tidak satupun ayam mampu mensintesa zat makanan
tersebut. Variasi genetik yang dilaporkan dewasa ini adalah untuk kebutuhan gizi
untuk ayam yang akan mempengaruhi jumlah zat makanan yang dibutuhkan atau
efisiensi penggunaannya.
Banyaknya kebutuhan beberapa zat-zat makanan bervariasi diantaranya
breed atau strain ayam. Ayam tipe/jenis berat membutuhkaan lebih banyak
vitamin E untuk mencegah encephalomalacia dibanding dengan White Leghorn.
Leghorn menyimpan thiamin lebih banyak di dalam telurnya dibanding ayam
jenis berat yang yang diberi ransum yang sama. Lamoreaux dan Hutt (cyted by
Scott et al., 1982) mampu menyeleksi dua strain White Leghon yang berbeda
responnya terhadap defisiensi riboflavin. Perbedaan breed telah dilaporkan pada
kebutuhan zat makanan untuk asam pantotenat dan untuk pyridoxin. Demikian
pula kebutuhan akan cholin, namun perbedaan kebutuhan ini sangat kecil.

63
Telah diakui secara umum bahwa seleksi genetic telah dilakukan untuk
mengantisipasi pilihan konsumen termasuk ukuran telur (Holt et al., 2011).
Ukuran telur dikontrol oleh banyak faktor termasuk genetik (Scott et al., l982)
yaitu tingkat umur dewasa kelamin, umur dan bebarapa jenis obat-obatan dan zat
makanan. Bahkan di dalam satu strain unggas pada umumnya ukuran badan,
produksi telur, pertumbuhan akan mempunyai kebutuhan yang berbeda diantara
strain atau breed (Scanes et al., 2004). Di bawah ini akan diuraikan lebih rinci
tentang pengaruh genetika terhadap produksi dan kualitas telur berbagai jenis dan
breed ayam.

4.1. Genetika
Tidak disangkal lagi bahwa perkembangan dan peningkatan produksi telur
dalam satu strain dan antar strain tidak bisa dilepaskan dari faktor genetik. Sejarah
perunggasan menunjukkan dari nenek moyang jenis unggas yaitu ayam hutan
(Gallus gallus) yang produksi telurnya beberapa puluh/ekor/tahun sampai ayam
buras (sayur, ayam kampung) yang telurnya antara 40-60 butir pertahun. Dewasa
ini produksi telur ayam buras antara 40-60 butir pertahun (Sarwono, 2002) sampai
pada ayam yang telah melalui seleksi ketat dan lama yaitu ayam ras dewasa ini
yang mampu memproduksi telur antara 200-250 butir bahkan lebih pertahun tidak
terlepas dari seleksi genetik, persilangan dan seleksi antara bangsa unggas.
Demikian pula halnya berat telur mengalami perubahan secara drastis setelah
melalui proses seleksi genetik. Misalnya berat telur ayam buras berkisar antara
35-65g (Mastika, 1995) sedangkan berat telur ayam ras antara 50-65g (Scanes et
al., 2004; Taylor and Field, 2004). Disamping itu warna kulit telur beberapa jenis
ayam berbeda-beda, misalnya putih pada ayam White Leghorn dan coklat pada
ayam Rhode Island Red, Australorp dan Super Harco. Perbedaan warna kulit telur
itupun karena perbedaan genetik antar galur ayam tersebut.
Permasalahan dalam peningkatan produktivitas unggas di pedesaan adalah
ketidak cocokan breed dengan lingkungan, penyakit, manajemen, kurangnya
suplementasi dan kepadatan. Produktivitas juga sangat dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan bila ayam dipelihara secara diumbar. Produksi telur ayam
buras yang dipelihara secara ekstensif di pedesaan produksinya rendah yaitu

64
antara 30-40butir/ekor/tahun (Iskandar et al., 1989), dan peneliti lain melaporkan
40-50butir/ekor/tahun (Sarwono, 1990) sedangkan ayam buras yang dipelihara
secara intensif dengan kandang battery produksi telurnya sekitar 65butir/tahun
(Mastika, 1995).
Zarnan et al. (2004) mempelajari beberapa breed ayam yang dipelihara
semi-umbar. Empat breed ayam tersebuit adalah Rhode Island Red (RIR)
disilangkan dengan Nacked Neck (NN), NnxFay, RlRxFay dan Fay sebagai breed
murni. Ayam dipelihara secara diumbar dan diberikan suplemen pakan lengkap
15, 30 dan 45gram. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perbedaan breed
sangat nyata berpengaruh terhadap produksi telur (HH dan HD%), berat telur,
tebal kerabang, tinggi albumen, tinggi kuning telur, warna kuning telur dan Haugh
Unit. Pemberian suplemen pakan 15, 30 dan 45g pada pemeliharaan yang diumbar
nyata meningkatkan produksi telur dan berat telur ayam tersebut.

Table 11. Dewasa kelamin (hari) dan perfonnan produksi telur pada berbagai
breed dan crosbreed (least square means) (Zaman et a1.,2004)
NNxRrR* NNxFayouni RIRxFayouni Fayouni
Umur masak kelamin, hari 200,8b 194,9b 222,0a 201,2b
Produksi telur
Jumlah telur, HD 29,3ab 23,6b 41,6a 36,2ab
ab b
Jumlah telur, HH 21,1 16,0 33,2a 28,4a
bc c
Laju peneluran, HH% 16,7 12,0 32,0a 22.4b
Berat Badan, g
Umur saat masak kelamin 1142,0bc 1033,7c 1325,9a 1197,1b
Berat badan dua bulan 1242,5b 1133,6c 1376,4a 1276,9b
pertama
Berat badan dua bulan 1241,6ab 1112,5b 1310,6a 1299,9a
kedua
Kematian %
Kematian, diluar predator 40,0 37,0 27,0 31,0
b b
Kematian oleh predator 0,0 0,0 10,2a 0,7b
Kualitas telur bagian luar
Berat telur, g 41,9b 39,2b 44,4a 41,4b
Tebal kulit telur, mm 0,306b 0,315b 0,333a 0,330a
Kualitas telur bagian dalam
Tinggi albumen, mm 7,2b 7,1b 8,2a 7,9a
Tinggi kuning telur, mm 18,7 18,4 18,9 18,8
Yolk colour fan skor 8,8b 9,6a 9,8a 9,3ab
b b
Haugh unit 73,5 73,7 79,9a 79,2a
abc Rataan pada baris yang sama tanpa superskrip yang sama adalah berbeda
(p<0,05). * NN: Naked Neck; RIR: Rhode Island Red

65
Pengaruh breed dan crossbreed sebagai akibat perbedaan genetik ayam
terhadap produksi telur, berat badan, kualitas telur bagian luar dan dalam dapat
dilihat pada Tabel 11. Selanjutnya pola produksi telur ayam yang berbeda latar
belakang genetiknya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tingkat peneluran dari produksi unggas yang dikandangkan (Zaman et


al., 2004)

Pengaruh perbedaan genetic ayam juga akan berpengaruh terhadap


kebutuhan energy ransum. Hal ini disampaikan oleh Harms et al. (2000)
melaporkan hasil penelitiannya pada 4 (empat) strain ayam petelur: Hyline
Brown, Hyline W98, Hyline W36 dan Decalb White yang diberikan ransum
energy rendah (2.519kcal ME/kg), energy medium (2.798 kkal ME/kg-kontrol)
dan tinggi (3.078kkal ME/kg). Dilaporkan bahwa ayam strain Hyline W98 dan
Hyline Brown lebih sensitif terhadap perubahan kandungan energy ransum
dibanding dengan strain Hyline W36 dan Decalb White. Apabila diberikan
ransum energy tinggi (3.078kkal ME/kg), ayam strain Hyline W98 dan Hyline
Brown konsumsi energinya meningkat 40 kkal/hari dibanding dengan strain
Hyline W36 dan Decalb White yang hanya 20kkal/hari. Gunawardana et al.
(2009) meneliti pengaruh energy ransum terhadap performans, komponen telur,
kualitas telur pada tujuh strain ayam Leghorn selama fase dua peneluran (umur
88-97 minggu). Dilaporkan bahwa perbedaan strain berpengaruh secara nyata
terhadap konsumsi pakan, produksi telur, specific gravity telur, berat telur,
persentase zat padat telur dan nilaai haugh unit. Hasil penelitian ini jelas

66
menggambarkan bahwa latar belakang genetic dari beberaapa strain ayam petelur
akan sangat berpengaruh nyata terhadap performans ayam tersebut.
Mastika (1985) dalam penelitiannya mempelajari dua strain ayam petelur
(White Leghorn-Hyline) sebanyak 160 ekor dan Super Harco sebanyak 120 ekor
yang diberi pakan petelur lengkap (17,4% CP dan 2750 kkal ME) dan free-choice
protein konsentrat (27,1% CP dan 2076ME/kg) dan jagung butiran. Dari kedua
jenis ransum juga diberikan pada kedua strain ayam tersebut, suplemen pasir
(insoluble grit dan kulit kerang soluble grit (free choice). Dalam enam bulan
peneluran dicatat bahwa produksi telur rata-rata kumulatif dari perlakuan (dalam
kg), ayam WL-Hyline 14,194% lebih tinggi daripada ayam Super harco.
Ditambahkan beraat telur rata-rata /butir tidak dipengaruhi oleh perbedaan strain.
Telur ayam WL mempunyai berat albumen nyata lebih tinggi dan berat kuning
telur lebih rendah dan sebaliknya terjadi disbanding ayan Super harco, baik yang
diberi pakan komplit maupun free-choice. Pemberian grit (pasir) maupun kulit
kerang tidak berpengaruh pada parameter yang diukur pada semua perlakuan.

4.2. Manajemen

4.2.1. Umur Ayam

Umur ayam sangatlah berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas telur


unggas khususnya ayam petelur komersial (Scott et al., 1982, Scanes et al., 2004).
Setelah satu tahun produksi ayam petelur biasanya dijual untk keperluan daging.
Hal ini disebabkan bannyakfaktor seerti permintaan pasar, factor penyakit dan
lain-lain. Disamping itu memelihara ayam tua kurang menguntungkan karena
secara bertahap produksi telurnya menurun, cluth yang melebar dan efisiensi
menurun umumnya pada ayam petelur jenis berat. Oleh karena itu ada pemikiran
agar ayam muda dan ayam tua dikelola secara efektif dan efisien agar mendapat
keuntungan maksimal (Kekeocha, 1985). Menurut Yasmeen et al.(2008) dewasa
ini sedikit sekali penelitian yang dikerjakan dibawah kondisi iklim local terutama
di Fakistan. Selanjutnya mereka meneliti pengaruh umur terhadap produksi dan
berbagai karakteristik telur tantara ayam muda dan tua. Didalam penelitiannya
mereka membandingkan antara ayam umur 24 minggu dan ayam umur 76 minggu

67
(ayam afkir) dan dibrikan ransum petelur komersial selama 12 minggu. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ayam petelur muda (pullet) menghasilkan
lebih banyak telur dan menggunakan pakannya lebih efisien dari pada ayam
petelur afkir. Akan tetapi berat telur ayam petelur afkir lebih tinggi dari yang
lebih muda. Ayam muda juga menghasilkan kulit telur lebih tipis dan nilai HU
lebih tinggi daripada ayam petelur afkir. Konsumsi pakan dan nilai indeks kuning
telur nampaknya tidak terpengaruh oleh tingkat umur. Ayam muda juga
mempunyai karakteristik kualitas telur lebih baik dari pada ayam petelur tua.
Lebih detail hasil penelitiannya dapat dilihat pada table 12.

Tabel. 12. Nilai rataan dari konsumsi pakan, produksi dan karakteristik kualitas
telur ayam muda dan ayam tua atau afkir (Yasmeen et al., 2008)

Parameter Perlakuan
Ayam muda Ayam afkir
Konsumsi pakan (kg) 1,54±0,145 1,52±0,137
Produksi telur 12,80±1,114a 10,06±0,966b
Berat telur (g) 51,36±2,825a 58,05±3,541b
FCR/12 btr telur 1,45±0,111a 1,83±0,159b
FCR/kg berat telur 2,33±0,137a 2,61±0,120b
Tebal kulit telur (mm)) 0,40±0,014a 0,37±0,011b
Ketahanan kulit telur ( kg/cm2) 2,38±0,162a 1,33±0,097b
Berat kulit telur (g) 8,71±0,618a 10,58±0,899b
Berat albumen (g) 33,02±1,651a 37,22±1,973b
Berat kuning telur (g) 15,25±1,312a 18,53±1,612b
HU 92,77±2,783a 86,46±3,199b
Indeks kuning telur 0,52±0,037 0,49±0,031

Mereka menyimpulkan ayam muda menghasilkan telur lebih bannyak, FCR lebih
rendah dan keuntungan lebih tinggi daripada ayam afkir.
Beberapa kesalahan manajemen juga dilaporkan oleh Jacob et al. (2009)
antara lain: kelupaan memberi makan dan minum. Dijelaskan bila ayam
kekurangan pakan beberapa jam maka produksi akan menurun dan penurunan
tergantung lamanya tanpa pakan. Disamping itu secara umum 70% dari berat
badan ayam adalah air karena itu penyediaan air berlebihan merupakan syarat
penting. Bila ayam kekurangan air dalam beberapa jam maka produksi telur akan
menurun. Ayam petelur lebih sensitive kekurangan air daripada pakan. Kebutuhan

68
air pada ayam petelur tergantung pada temperatur lingkungan dan kelembaban,
komposisi pakan dan tingkat produksi telur. Faktor lain adalah di negara sub
tropis kecukupan sinar juga berpengaruh terhadap produksi telur. Ayam umumnya
memerlukan sinar 14jam/hari. Kurangnya sinar pada musim gugur dan autum
dimana sinar matahari pendek, bisa menyebabkan produksi telur turun bahkan
berhenti.
Temperatur kandang yang tinggi pada kandang akan berpengaruh terhadap
produksi telur, ukuran telur dan daya tetas karena stress. Menurut Jacob dan
Pescatore (2011) bahwa setiap stressor seperti memindahkan dan penanganan
ayam, perubahan lingkungan, ketakutan akan menyumbangkan dan merupakan
penyebab penurunan produksi telur. Stressor yang biasa adalah udara sangat
dingin di negara 4 musim pada saat winter ayam tidak bisa mengatasi kondisi
lingkungan dengan baik. Penanganan dan pemindahan terutama ayam petelur
yang sudah ditempatkan pada suatu tempat hendaknya jangan dipindah-
pindahkan. Penggantian pejantan dalam satu kelompok akan mengganggu dan
menimbulkan serta merangsang efek mematuk ayam tersebut. Kondisi ini
meningkatkan stres sosial. Bila ayam terkejut/takut pada beberapa jam ayam yang
sangat sensitif seperti White Leghorn, oleh karena itu hindari sedapat mungkin
batasi pergerakan anak-anak, anjing, ternak, kendaraan di sekitar kandang. Suara
keras juga memberikan rasa takut pada ayam.
Jacob dan Pescatore (201l) menjelaskan bahwa ada beberapa kesalahan yang
biasa terjadi dalam penanganan ayam petelur yang dapat menyebabkan produksi
telur menurun atau terhenti sama sekali. Faktor tersebut adalah:
a. Tidak ada atau kekurangan pakan. Bila ayam kekurangan pakan beberapa
jam saja maka produksi telur akan menurun tergantung berapa lama ayam
tanpa makan.
b. Pakan jamuran. Pakan yang disimpan di farm lewat dari dua minggu
mungkin jamuran. Jamur biasanya menghasilkan mikotoksin yang bila
dikonsumsi bisa berpengaruh buruk terhadap kesehatan ayam dan selanjutnya
dapat menurunkan produksi telur. Lebih dari 300 mikotoksin yang telah
diidentifikasi dan hasil dari pemberian pakan yang terkontaminasi dengan
mikotoksin akan tergantung pada jenis mikotoksin yang dimakan. Mikotoksin

69
dapat mempengaruhi penyimpanan atau metabolisme zat makanan tertentu
dan defisiensi Ca dan vitamin D bisa terjadi bila diberikan pada ayam petelur.
Tambahan lagi, beberapa jenis mikotoksin berpenganrh terhadap sistim
hormonal yang merupakan penyebab turunnya produksi telur. Jagung adalah
jenis biji-bijian yang biasa dipakai sebagai ransum ayam. Biasanya jenis
mikotoksin pada jagung adalah aflatoksin yang dihasilkan oleh jamur
Aspergillus flavus. Jagung bisa jamuran apakah di lapangan atau dalam
gudang. Bila pakan kena air atau basah harus dibuang.
c. BofuIisme. Botulisme disebabkan karena ayam makan toksin yang dihasilkan
oleh bakteri Clostridium botulism. Biasanya terjadi bila ayam makan daging
atau bangkai busuk atau bahan organik yang lapuk. Sumbernya bisa dari air
kolam, atau air tergenang dimana bahan-bahan yang lapuk mengandung
toksin.
d. Toksin jenis lain. Ada beberapa jenis tanaman yang meracuni unggas,
contohnya termasuk biji kapas, chickpeas, vetches dan nightshade. Bahan lain
yang potensial meracuni unggas termasuk jenis pestisida, herbisida
desinfektan, rabuk, obat-obatan, antibiotik dan bahan kimia lain termasuk
minyak kelapa dan zat anti beku.

Manajemen pemeliharaan akan berpengaruh terhadap produksi dan kualitas


telur terutama adanya perubahan pandangan antara cara pemeliharaan dengan
free-range, sistim organik dan sistim intensive. Di Eropa konsumen sudah mulai
tertarik akan adanya peningkatan ketertarikan terhadap telur dengan produksi free-
range (diumbar) karena komposisi kimia telur diubar sesuai dengan selera
konsumen yang cenderung lebih senang dengan warna kuning telur meningkat
disamping meningkatnya kandungan vitamin dan asam lemak tak jenuh pada
kuning telur.
Di alam bebas, beberapa jenis burung (unggas) mengalami puasa sendiri
dalam beberapa waktu yang dikenal dengan molting, saat ini unggas tersebut
kehilangan 50% dari massa / berat badannya ( Mrosovsky dan Sherry, 1980).
Setelah proses molting selesai, sistem reproduksinya diremajakan, dan unggas
akan kembali memasuki siklus produksi telur. Dalam sistim komersial, sistim ini
diterapkan pada ayam tua (setelah setahun produksi) untuk meningkatkan

70
produksi telurnya. Metode yang umum dipakai adalah dengan tanpa memberi
makan (dipuasakan) selama beberapa hari sehingga target berat badan turun 25-
30%. Ada pendapat umum bahwa tanpa memberi makan dan minum dalam
metode "molting" ini bertentangan dengen sudut pandang “animal welfare”. Oleh
karena itu peneliti mencari metode agar ayam tetap makan dan minum secara
bebas tetapi mengalami molting. Sejalan dengan ini Landers et al. (2005) meneliti
proses molting ini pada ayam White Leghorn umur 70-80 minggu dengan
memberikan ayam tersebut tepung alfalfa (perlakuan 1), alfalfa pellet (perlakuan
2), tanpa makan (perlakuan 3) dan diberikan makan (perlakuan 4) ransum petelur
selama 9 hari dan selanjutnya diberi ransum petelur yang sama. Hasil penelitian
menunjukkan produksi telur, berat telur ayam molting dengan alfalfa pellet adalah
tertinggi 70,1g dibanding dengan tepung alfalfa 65,6g, tanpa makan 65,3g dan
yang dipelihara biasa 68,3g. Tinggi albumen telur alfalfa pellet 6,07 mm vs
5,28mm (kontrol). Kualitas telur lainnya tidak dipengaruhi oleh perlakuan.
Tabel 13 . Pengaruh aras suplementasi (g/ekor/hari) terhadap masak kelamin dan
produksi telur pada berbagai breed (Zanan et a1.,2004)

15g 30g 45g


Umur dewasa kelamin (hari) 210.6 205.0 198.6
Produksi telur
Jumlah telur (HD) 31.6 30.0 36.3
Jumlah telur (HH) 23.1 21.0 30. l
Laju peneluran(HH%) 19.5 18 25,1
Berat badan (g)
Pada saat kematangan seksual 1175.7 1191.0 1157.4
Berat badan dua bulan pertama 1235.5 1243.2 1293.3
Berat badan dua bulan kedua 1258.0 1208.0 1256.0
Tingkat kematian
Diserang predator 42.0 31.6 28.1
Kualitas telur bagian luar
Berat telur (g) 41.2b 41.7ab 42.2a
Tebal kulit telur (mm) 0.321 0.319 0.323
Kualitas telur bagian dalam
Tinggi Albumen (mm) 7,4 7.7 7.6
Tinggi kuning telur (mm) 18.6 18.6 18.8
Skore kuning telur 9.5 9.4 9.2
Haugh unit 75.9 77.6 76.3

Dalam penelitian yang dilaporkan oleh Zanan et al. (2004), ayam buras dan
crossing dipelihara secara diumbar dan diberikan suplementasi pakan komplit

71
sebanyak 15, 30 dan 45 g/ekor/hari. Produksi telur, berat badan, tingkat kematian,
kualitas telur bagian luar dan kualitas telur bagian dalam dapat dilihat pada Tabel
13.

Disimpulkan bahwa suplementasi pakan komplit sebanyak 45g/ekor/hari


meningkatkan produksi telur, kualitas telur bagian luar dan bagian dalam.
Umumnya produksi telur ayam akan menurun pada akhir periode/siklus peneluran
demikian pula kualitas eksterior dan interior juga kurang baik terutama terkait
dengan cuaca panas. Upaya meningkatkan produksi dan kualitas telur dapat
dilakukan dengan memberikan alumium oksida pada pakannya. Yousaf dan
Ahmad (2006) meneliti ayam White Leghom umur 60 minggu diupayakan
molting paksa (forced molting) dengan memberikan aluminium oksida 4g/kg
pakan selama 2 minggu setelah itu ayam dipelihara pada kandang battery dan
sebagian pada sistim deep litter dan diberikan pakan petelur. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa produksi telur ayam pada kandang battery lebih tinggi
74,44% vs 71,59% dibanding deep litter, namun berat telur dan tebal kulit telur
cenderung lebih tinggi pada pemeliharaan deep litter dibanding dengan sistim
battery. Nilai haugh unit nyata lebih tinggi pada sistim battery. Tampaknya
kualitas telur juga dipengaruhi oleh umur ayam seperti yang disajikan pada Tabel
14.

Tabel 14 . Pengaruh umur ayam terhadap kualitas luar dan dalam telur (Zaman et
al.,2004) telur pada berbagai breed (Zanan et a1.,2004)

Umurl Umur2 Umur3 Umur4


Kualitas Luar
Berat telur (g) 39.6d 41.2c 42.5b 43.5a
Ketebalan kulit (mm) 0.325a 0,310b 0.324a 0.325a
Kualitas Dalam
Tinggi albumen (mm) 6.6b 8.2a 7.8ab 7.8ab
Tinggi Yolk (mm) 17.9d 19.4a 18.5b l8.9ab
Skor kuning telur 9.6a 9.4a 9.8a 8.6b
Haugh unit 71.5b 81.8a 79.3a 78.9a
Catatan : abc Rataan pada baris yang sama dengan superscript berbeda adalaha nyata beda
(p<0,05). Umur ayam:Umur 1 = umur masak kelamin, umur 2 : periode
bulan pertama, umur 3 : periode bulan kedua dan umur 4 : periode bulan
ketiga

72
Saat ini peternak petelur cenderung untuk meningkatkan jumlah ayam
dalam kandang battery dengan tujuan meningkatkan keuntungan usaha walaupun
terdapat dampak negatif pada ayam karena terlalu sesak/padat per kandang
(Nahashan et al,, 2006). Penelitian oleh Sarica et al. (2008) mempelajari
kepadatan kandang pada produksi telur, kualitas telur dan kondisi bulunya pada
induk ayam petelur. Dalam penelitiannya sebanyak 269 ekor Isa Brown petelur
dibagi menjadi 4 kepadatan kandang yaitu 2000, 1000 dan 500 cm2 per ekor
dengan menempatkan ayam 1,2,3 dan 4 perkandang battery yang luasnya 40x50
cm dan ayam diamati selama 18-53 minggu. Dari hasil penelitiannya dilaporkan
produksi telur (HH), massa telur, daya hidup, berat ayam nyata menurun dengan
meningkatnya kepadatan kandang, akan tetapi kualitas telur tidak dipengaruhi
oleh kepadatan kandang. Kematian akibat pematukan meningkat dengan
meningkatnya kepadatan kandang. Disimpulkan untuk menghindari pengaruh
yang kurang baik akibat kepadatan ayam dalam kandang, maka jumlah ayam ini
harus dikandangkan dengan kepadatan 1000-2000cm2 per ekor.
Temperatur kandang yang tinggi memberikan pengaruh yang kurang baik
pada semua jenis unggas. Konsumsi pakan, produksi telur, ukuran telur dan daya
tetas telur sangat dipengaruhi dan kualitasnya kurang baik pada kondisi stres
cekaman panas. Dengan membuat kandang yang berventilasi baik serta
penyediaan air yang sejuk akan mengurangi pengaruh cekaman panas (Jacob et
al., 2009) . Mulai 01 Januari 2012, Komisi Masyarakat Ekonomi Eropah (KMEE)
melarang penggunaan kandang battery biasa (unfurnished conventionol cage atau
CC). Mulai tanggal tersebut, pemeliharaan ayam untuk produksi telur hanya
diijinkan dengan sistim umbar atau kandang yang dilengkapi dengan sarang,
tempat bertengger dan litter sehingga luas total paling tidak 2.000cm2 /ekor dan
memberikan ruang seluas 750cm2 untuk satu ekor ayam. Sistim demikian disebut
dengan furnished (enriched cage atau FC). Hasil penelitian Zaman et al. (2004)
menunjukkan pemeliharaan ayam dengan pola diumbar dan dengan
disuplementasi pakan yaitu 45g/ekor/hari nyata meningkatkan produksi telur
(HD%) dan berat telur. Terdapat pula kecenderungan peningkatan tebal kulit telur
pada ayam dengan suplementasi 45g/ekor/hari (Tabel 13).

73
Mastika (unpublished data) dalam penelitiannya menggunakan ayam buras
umur 22 minggu sebanyak 48 ekor yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok
pertama dipelihara pada kandang battery dan diberi ransum ad libitum. Kelompok
kedua dipelihara diumbar dalam kandang jatring (tinggi 2m, panjang dan lebar
10m dan diberi pakan 75% dari kelompok I (semintensif 1). Pada kelompok 3,
ayam dipelihara sama dengan kelompok 2 akan tetapi ukuran kandangnya tinggi
2m, panjang 30m dan lebar 10m. Pengamatan dilakukan dari umur 22-34 minggu.
Dari hasil penelitian didapatkan seperti pada Tabel 14.
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa berat telur, indeks bentuk telur,
nilai HU, indeks kuning telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Selanjutnya berat
jenis telur, tebal kulit telur, berat kulit telur, berat kuning telur nyata lebih tinggi
pada ayam yang dipelihara dengan cara semi intensif I dan II dibanding dengan
pada battery. Walaupun tidak berbeda nyata namun nilai warna kuning telur pada
ayam yang dipelihara secara semi intensif II lebih kuning dibanding dengan
battery 12,14 vs 11,98). Ayam yang dipelihara pada battery lebih cepat dewasa
kelamin daripada ayam yang diumbar

Tabel 15. Kualitas telur ayam kampong pada sistim pemeliharaan intensif I dan
semi intensif II

Variabel Perlakuan SEM


A B C
Bagian luar
Berat telur (g/butir) 35,68a 35,66a 34,1a 0,656
Indeks bentuk telur 77,36a 76,09a 76,59a 0,506
Berat jenis telur l,08l2b l,0898a 1,0892a 0,00162
Tebal kulit telur 0,3098c 0,3438a 0,3342b 0,000023
Bagian dalam
Haugh unit 85a 87,84a 85,62a 0,999
Warna kuning telur 11,98a 11,84a 12,l4a 0,227
Indeks putih telur 0,l0l5b 0,1326a 0,0997a 0,00015
Indeks kuning telur 0,4547a 0,4599a 0,4586a 0,005
Berat Bagian Telur
Berat kulit telur (%) 8,02b 9,63a l0,l7a 0,302
Berat putih telur (%) 58,34a 57,00a 53,79b 0,734
Berat kuning telur 33,64b 33,37b 36,04a 0,578
(%)
Keterangan:
A:intensif. B:semiintensif I. C:semi intensif II. Angka dengan huruf kecil
yangsama pada baris yang sama berbeda tidak nyata (P>0,05).

74
4.2.2. Sistem Pemeliharaan
Unggas local dihargai karena rasanya yang lebih superior, memberi alasan
keberadaan sistim pemasaran untuk pasar kota dengan hasil unggas dari pedesaan
(Pousga et al., 2007). Biasanya pemeliharaan unggas di pedesaan diumbar tanpa
memberi pakan tambahan sehingga produksinya rendah. Pousga et al. (2007)
meneliti sistim pemeliharaan ayam pada sistim kurungan dan semi-umbar dan
diberi pakan : (1) Ayam dikurung dan diberi pakan ad lib yaitu campuran jagung
pecah, ampas biji kapas, dedak ditambah vitamin-mineral premix (ransum CB
13,9% CP) dan kulit kerang secara terpisah (treatment CCB). (2) Ayam diberi
kesempatan cari makan sendiri-diumbar pada siang hari pukul 8.00-16.00 dan
diberi ransum CB antara jjam 16.00-18.00) (treatment SCB). (3). Ayam
dipelihara dengan sistin SCB tetapi ransum dengan ampas biji kapas dan dedak
diganti dengan tepung ikan 19,3%CP (ransum FM)-treatmen SFM. ((4). Ayam
diumbar dari jam 08.00-16.00 tanpa pakan tambahan – treatment SO. Dari hasil
penelitian ini dilaporkan bahwa produksi hen day dan HH paling tinggi pada
treatmen CCB dan terendah pada SO. Sementara itu tidak terdapat perbedaan
HD, HH pada ayam yang dipelihara secara semi diumbar dengan suplemen –
treatmen SCB dan SFM. Berat telur dan tebal kulit telur tertinggi pada perlakuan
SCB dibanding dengan SFM. Warna kuning telur paling gelaap pada SO dan
terpucat pada CCB (dikandangkan). Disimpulkan bahwa tepung ikan bisa diganti
dengan ampas biji kapas pada pemeliharaan semi diumbar dari yang dikurung.
Selanjutnya angka kematian tertinggi pada ayam yang dikurung CCB yaitu 20%
dan terendah pada SFM (0%), dxan terendah pada SFM (0%), SCB (33%) dan SO
(3,3%).

4.2.3. Sistem Pemeliharaan dan Kandang

Undang-undang tentang animal welfare telah dikeluarkan atau diterapkan di


beberapa negara Ekonomi Eropa dengan petunjuk peraturan yang ketat yang
menekankan pada ketersediaan luas ruang per ekor dalam pemeliharaan dengan
sistim battery, bahkan beberapa hal telah dilarang. Pemeliharaan secara
alternative yaitu misalnya penggunaan kandang litter dengan tempat bertengger

75
dan sarang bertelur sedang dikembangkan di beberapa negara dan masih sedang
diteliti.
Sehubungan dengan hal tersebut Krawczyk (2009) mengadakan penelitian
pemeliharaan ayam dengan pemberian pakan organik (kelompok l), backyard
(kelompok 2) dan Intensive dimana ayam dipelihara dalam ruang kandang
(kelompok 3 sebagai kontrol). Ayam pada kelompok 1 (200 ekor) diberi pakan
yang mengandung 70% biji-bijian dan lupin, batu kapur giling, kentang matang
dan tanaman kering (l3,9% CP). Ayam pada kelompok 2 (50 ekor) dipelihara pada
padang gembala 20 m2/ekor, ayam ini diberi pakan biji-bijian giling dan biji
gandum dan barley (11,75% CP). Kelompok 3 (60 ekor) dipelihara dalam
kandang litter dalam kandang ayam dimana temperatur dan kelembaban dapat
dikontrol dan diberi pakan ransum ayam petelur (18,24% CP). Dari hasil
penelitiannya (Tabel 16 dan 17) dilaporkan bahwa produksi telur kelompok l,
berat telur totalnya tertinggi dengan berat kuning telur tertinggi serta dengan
warna yang sesuai selera. Kuning telur kelompok I ini mempunyai kandungan
kolesterol terendah, dan kekuatan cangkang paling rendah namun kandungan
Vitamin E yang paling tinggi. Ayam yang dipelihara dengan "backyard"
(kelompok 2) produksi berat telur dan total berat kuning telurnya terendah,
kandungan protein albumen tertinggi, kandungan vitamin A tertinggi namun
kandungan vitamin E terendah pada kuning telurnya dibandingkan dengan
kontrol. Untuk melihat lebih rinci hasil penelitiannya dapat dilihat pada Tabel 16.

Dewasa ini ada banyak perubahan mendasar pada sistim kandang pada
pemeliharaan ayam petelur. Ada beberapa alternatif kandang yang digunakan dan
diantaranya adalah sistim "deep litter" yang masih digunakan. Oleh karena itu
banyak peneliti di negara MEE meneliti sistim alternatif untuk melihat
keuntungan dan kerugiannya. Para peneliti masih banyak berargumentasi tentang
keuntungan dan kerugian sistim battery dibanding dengan sistem kandang lainnya
tergantung dari sudut pandang dan argumentasi yang dikemukakan. Misalnya
Savory (2004) menyatakan dari sudut animal-welfare, kandang battery
mempunyai kelemahan kurangnya ruang gerak untuk ayam petelur namun dibalik
itu status kesehatan ayam petelur lebih baik karena gampang dikontrol

76
Tabel 16. Hasil evaluasi kualitas telur pada ayam yang dipelihara dengan sistim
berbeda (Krawczyk, 2009)

Group I Group 2 Group 3 (deep SEM


(Sistim (Sistim litter atau Sistim
organik) backyard) intensive)
Index telur (%) 74.2±2.37 74,3±1,95 75,6±2,35 0,325
Berat telur (g) 57.3±5.60b 54,1±2,66a 56,5±3,82ab 0,605
Berat kuning telur (g) 17.9±3.0b 16,2±0,60a 17,2±1,17ab 0,271
Proporsi ke berat telur (70)
Albumen 59.9 60,1 59,5
Yolk 31.2 30,0 30,4
Tinggi albumen (mm) 4,78±1,29AB 6,36±1,59B 5,64±1,27B 0,210
Haugh unit 65,9±13,05aA 80,0±10,55B 74,2±9,48bB 1,709
Blood spots (%) 3,3 0,0 0,0
Meat spots (Yo) 0,0 0,0 0,0
Warna kuning telur 8,5±0,99 7,9±0,83 7,8±0,93 0,133
(La Roche)
Kandungan 12,89±0,61A 13,83±0,22B 13,93±0,27B 0,111
Cholesterol pada
kuning telur (mg/g)
Kandungan protein 10,3±0,10A 11,7±0,44bB 10,6±0,58a 0,245
albumen (%)
Kandungan Vitamin
pada yolk (mcg/g)
A 5,8±0,50ab 6,3±0,46b 5,1±0,33a 0,224
B 91,33±14,1B 36,42±5,67A 84,05±10,76B 9,155

aA nilai rata-rata pada baris dengan superskrip yang berbeda adalah berbeda nyata
untuk huruf kecil - P≤0,05; huruf kapital -P≤0,01

Tabel 17. Hasil Evaluasi Kulit Telur pada ayam yang dipelihara dengan sistim
berbeda (Krawczyk, 2009)

Group I Group 2 Group 3 (deep SEM


(Sistim (Sistim litter atau
organic) backyard) intensive )
Warna (pts) 61,7±4,77b 63,7±3,15bB 57,7±6,12aA 0,782
Berat (g) 5,08±0,85A 5,35±0,47AB 5,71±0,43B 0,091
Densitas (mg/cm2) 67,8±11,2A 73,3±7,75AB 78,1±5,6B 1,297
Ketebalan (µm) 308±33,0A 320±27,9AB 338±21,2B 4,180
Kekuatan (Strength) (N) 20,57±7,35a 26,51±12,56a 30,17±9,63b 1,559
Kandungan kulit dari 8,9 9,9 10,1
telur (%)
Kandungan Calcium 383±1,00 387±3,23 386±4,51 1,109
(g/kg)
aA nilai rata-rata pada baris dengan superskrip yang berbeda adalah berbeda nyata
untuk huruf kecil - P≤0,05; huruf capital -P≤0,01

77
. Peneliti lain Paternrann (2003) menyatakan model kandang dengan sistim
deep litter mengandung kelemahan yaitu lebih tingginya angka kematian.
Selanjutnya de-Boer dan Cornelissen (.........) mempertimbangkan sistim battery
lebih cocok dibanding sistim lain, terutama ditinjau dari sudut ekonomi, emisi gas
amonia, kualitas telur dan kesehatan petani. Selanjutnya Duncan (2001)
menyatakan ayam yang dipelihara dengan sistim battery keuntungannya yaitu
rendahnya kasus penyakit, rendahnya friksi sosial dan tidak adanya masalah yang
diakibatkan adanya litter. Masalah kelemahannya adalah kurangnya ruang gerak
fisik yang berdampak pula pada psikologi ayam petelur, kurangnya ruang untuk
gerak harian dan tidak punya sarang dan tidak ada kesempatan mandi debu (dust
bathing) dan lebih tingginya bengkak (lession) pada kaki ayam petelur. Masih
banyak lagi perbedaan-perbedaan yang ditinjau dari sudut pandang berbeda
tentang keuntungan dan kerugian dari sistim kandang pada ayam petelur, namun
yang jelas untuk negara Uni Eropa (MEE), mulai tahun 2012 sistim battery
konvensional (tanpa tempat bertengger, tanpa tempat bertelur, ruang gerak kecil)
akan dilarang penggunaannya.
Barbosa Filho et al. (2005) meneliti tentang penggunaan dua jenis kandang
yaitu battery dan deep litter dengan kelengkapan tempat bertengger dan tempat
bertelur (enriched cage) dan dipelihara pada dua temperatur yaitu 26oC
kelembaban 60%, dan 35oC dengan kelembaban 70%. Dilaporkan bahwa
perbedaan sistim kandang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
parameter yang diukur yaitu berat telur, tebal kulit, spesific gravity dan haugh
unit.
Selanjutnya, Pistekova et al. (2006) mencoba membandingkan kualitas telur
dari ayam petelur yang dipelihara dengan sistim battery dan sistim “deep litter".
Ayam petelur Isa Brown dipelihara dengan sistim battey dan sebagian (36 ekor)
dipelihara dengan deep litter dengan kepadatan (space) 338cm2/ekor. Kelompok
lainnya ayam dipelihara pada kandang battery individu dengan luas 4l8cm2/ekor.
Selanjutnya pada pakan dengan sumber protein hewani 18,51% CP diganti dengan
protein nabati 16,156% CP. Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa ayam
yang dipelihara pada sistim deep litter berat telurnya lebih tinggi, albumen juga
lebih tinggi dibanding dengan yang di kandang battery. Kandungan kolesterol dan

78
warna kuning telur lebih tinggi dari pada ayam yang dipelihara dengan sistim
deep litter. Berat kuning telur tidak dipengaruhi oleh sistim pemeliharaan.
Dari uraian tersebut diatas masih banyak terdapat perbedaan hasil penelitian
dari berbagai jenis kandang dan sistim pemeliharaan ayam petelur dewasa ini,
walaupun Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) telah memutuskan untuk melarang
penggunaan kandang battery pada produksi ayam petelur.

4.3. Temperatur dan Kelembaban Kandang / Lingkungan

Keberhasilan ekonomi dari usaha petelur dalam peternakan unggas


tergantung pada kualitas telur yang dihasilkan. Kualitas telur umumnya terdiri dari
beberapa aspek seperti kualitas kulit, albumen, kuning telur dan biasanya dibagi
dalam kualitas eksternal dan internal. Berbagai faktor yang menentukan kualitas
telur seperti kualitas pakan, penyakit, temperatur dan kelembaban lingkungan
serta cara penyimpanan telur tersebut. Menurut Samli et al.(2005) waktu
penyimpanan dan temperatur tampaknya faktor terpenting yang mempengaruhi
kualitas albumen dan nilai haugh unit.
Temperatur tinggi dapat menjadi masalah pada unggas dan biasanya disebut
stres panas. Konsumsi pakan, produksi telur, ukuran telur dan daya tetas sangat
jelek dampaknya pada kondisi stres panas. Atap, ventilasi, dan air dingin yang
banyak membantu mengurangi pengaruh buruk dan stres panas (Jacob dan
Pescatore, 2011).
Temperatur atau iklim panas merupakan masalah umum di negara tropis
dimana temperatur sering mencapai diatas 30oC. Pengaruh jelek terhadap
lingkungan panas pada penampilan unggas telah diteliti dan didokumentasikan
dengan baik. Dampak panas menurunkan konsumsi pakan dan meningkakan air
minum.
Penelitian oleh Scott dan Balnave (1988) menggunakan ayam yang sudah
bertelur yang dipelihara pada ruangan panas (25-35oC) atau temperarur dingin (6-
16oC) dan diberi pakan ransum komplit atau self select nutrient (free choice) dari
kedua komponen ransum yang terpisah yaitu pakan kaya energy dan pakan kaya
protein. Dengan merubah kandungan protein ransum komplit (densitas ransum)
dari ransum komplit gagal meningkatkan produksi telur pada temperatur panas

79
dibanding dengan temperatur dingin. Pada kedua temperatur (napas dan dingin)
ayam yang diberi free-choice konsumsi proteinnya meningkat tetapi tidak
konsumsi energinya. Terjadi peningkatan produksi telur dan berat badan ayam
yang dipelihara pada temperature tinggi tetapi tidak pada temperatur dingin. Pada
temperatur panas (25-35oC) kelompok ayam yang diberi free-choice bertambah
berat badannya pada saat ayam berumur 22 minggu. Mereka menyimpulkan
ayam yang sudah dilatih pada free-choice sumber energi dan protein secara
terpisah lebih baik produksi telurnya pada awal peneluran dengan kondisi
pemeliharaan temperature tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa memberikan
latihan free-choice pada awal sebelum peneluran akan memberikan kemampuan
ayam memilih makanannya pada lingkungan temperature tinggi.
Upaya untuk mengurangi dampak cekaman panas terhadap ayam petelur
telah dilakukan oleh Kirunda et al. (2001) dengan memberikan suplementasi
vitamin E pada ransum. Dalam penelitiannya yang menggunakan ayam petelur
WL umur 36 minggu dan diberi ransum yang disuplementasi dengann vitamin E
masing-masing 20, 60 dan 120 IU vit E/kg ransum. Setelah dua minggu diberikan
ransum maka setengah dari jumlah masing-masing perlakuan dipelihara pada
temperature lingkunngan 21oC dengan kelembaban 50-55% dan sebagian lagi
dipelihara pada temperature lingkungan 34oC dengan kelembaban 42-48%. Hasil
penelitiannya menyarankan bahwa temperature tinggi 34oC menyebabkan
penurunan konsumsi pakan, produksi telur, HU, berat telur, kuning telur, albumen
padat, stabilitas buih, warna kuning telur dan kapasitas emulsi. Suplementasi
ransum dengan 60 IU vit E/kg pakan pada temperature tinggi (40oC) memperbaiki
konsumsi pakan, produksi telur, yolk dan albumen padat, stabilitas buih, akan
tetapi berat telur, kapasitas emulsi, warna kuning telur, indeks kuning telur,
viscositas kuning telur tidak dipenngaruhi oleh suplementasi vitamin E. Pada
setiap aras suplementasi vitamin E untuk ayam yang dipelihara pada temperature
panas (34oC) kandungan vitamin E pada kuning telur lebih rendah dibanding yang
dipelihara pada temperature 21oC. Dampak dari pada temperature lingkungan
yang berbeda dari penelitian ini secara jelas dapat dilihat pada Tabel 18

Chang et al. (1990) mempelajari pengaruh vitamin C suplemen (0, 100 dan
200 ppm) terhadap penampilan dua strain ayam petelur yang dipelihara pada dua

80
kepadatan kandang yaitu 3 atau 4 ekor perkandang dan kelembaban 40% dan
60%. Penelitian berdasarkan design faktorial (3xZx2x2) dan ayam dipelihara pada
temperatur 31,1oC selama tiga bulan penelitian. Sebagai kontrol, ayam dipelihara
pada temperatur 23,9oC dan kelembaban 40% dan diberi pakan tanpa
suplementasi vitamin C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian menurun
pada kelompok yang mendapat suplementasi vitamin C. Berat kulit telur
meningkat pada kelompok ayam yang mendapat suplementasi vitamin C. Nilai
HU meningkat pada kelompok ayam yang mendapat suplementasi vitamin C
sebanyak 200 ppm dengan kelembaban 40%. Kelembaban 60% menyebabkan
penurunan produksi telur sebanyak 4,l6% dan efisiensi pengunaan pakan
meningkat dari 2,29 menjadi 2,45 g pakan/g massa telur. Kelembaban 60%
menyebabkan perubahan kimia darah, CO2 darah, HCO3- darah dan kadar
vitamin C pada darah dan adrenalin yang merupakan gejala pernafasan alkalosis,
yang biasa terjadi pada pernafasan petelur pada temperature tinggi. Disimpulkan
bahwa suplementasi vitamin C sangat efektif menurunkan angka kematian karena
stres lingkungan dan sedikit berpengaruh pada kualitas telur.
Tabel.18 Pengaruh tingkat temperature lingkungan (34oC) terhadap karakteristik
telur (Kirunda et al., 2001)
Suhu/Vit.E Konsumsi Produksi telur Berat telur Indeks yolk HU Kekuatan pH yolk pH albumen
(IU/kg (g/ekor/ hari) HD(%) (g) membraan
pakan) yolk TA4 (g)
N/20 90,16b±3,34 74,28abc±1,38 51,36a±1,44 0,408a±0,03 82,10ab±3,12 555,13b±0,03 6,13a±0,40 8,58ab±0,26
H/20 79,46d±9,98 52,86d±1,35 44,55b±3,24 0,405a±0,02 77,50c±2,14 456,41c±0,09 6,06a±0,17 8,64a±0,19
N/60 92,36ab±3,55 79,86ab±2,43 51,00a±1,44 0,433a±0,02 83,60a±2,21 575,44b±0,06 6,04a±0,19 8,41b±0,22
H/60 84,75c±4,07 71,29c±2,58 45,09b±5,76 0,409a±0,05 81,00b±2,04 543,39b±0,06 6,03a±0,28 8,62a±0,20
N/120 94,40a±1,49 83,71a±2,13 50,44a±1,44 0,419a±0,05 83,30a±2,11 611,88a±0,06 6,06a±0,16 8,43b±0,52
H/120 85,37c±5,21 72,86c±2,58 48,28b±5,76 0,407a±0,02 79,00b±2,34 575,33b±0,04 6,02a±0,05 8,47b±0,28

Balnave dan Abdullah (1990) melaksanakan tiga penelitian untuk


mempelajari pengaruh self selection feeding (free-choice) terhadap konsumsi
pakan, protein dan energi metabolis (ME) dan produksi telur pada ayam calon
petelur sampai umur 40 minggu. Ayam sudah dilatih dengan cara makan diatas
pada umur 15-19 minggu dan dipelihara pada temperatur dingin (10-200C) dan
panas (25-350C). Pada kedua penelitian awal dengan melibatkansinar dan
didapatkan tidak ada pengaruh. Pada penelitian 2, menunjukkan konsumsi protein
dan ME nyata lebih baik bila ayam diberi pakan ME rendah (10,2 MJ/kg) atau ME

81
tinggi (12,0 MJ/kg) pakan komplit pada kedua temperatur pemeliharaan diatas
pada saat diberikan protein secara terpisah (free-choice). Peningkatan produksi
massa telur sangat jelas bila ransum komplit dengan ME tinggi free-choice dengan
protein konsentrat pada temperatur tinggi. Produksi, massa telur sama dengan
yang didapatkan pada kelompok yang diberi ransum komplit ME rendah bersama
protein konsentrat atau bila diberikan pakan komplit berdasarkan konsumsi
ransum ME tinggi dan protein konsentrat secara terpisah yang dipilih oleh ayam
pada penelitian terdahulu. Dengan memberikan tambahan butiran sumber Ca
secara terpisah tidak tampak respon yang jelas pada ayam yang diberi makan
secara free-choice .
Balnave (1998) mencoba mempelajari nutrisi ayam petelur pada temperature
tinggi dengan beberapa metode. Pertama, dengan metode free-choice feeding atau
self selection feeding yaitu dengan menyediakan beberapa komponen pakan
misalnya sumber energi, sumber protein, vitamin dan kalsium dalam kotak yang
berbeda. Kedua dengan pakan komplit yang mengandung protein yang diperkaya.
Ketiga, dengan penambahan lemak dan minyak pada ransum dan keempat adalah
dengan penambahan vitamin. Ayam dipelihara pada temperatur tinggi yang
berbeda. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa pengaruh utama temperatur
tinggi pada penampilan ayam petelur ditunjukkan dengan menurunnya konsumsi
pakan walaupun pengaruh stress panas perse bervariasi dengan pengukuran output
yang berbeda. Upaya untuk menjelaskan kebutuhan gizi pada temperatur tinggi
terfokus pada energy dan protein karena secara ekonomis sangat penting. Dengan
pola free-choice atau self select nutrient feeding pakan yang mengandung energi
tinggi dan protein tinggi yang mengandung beberapa nutrien penting atau
memberi ransum komplit dengan peningkatan konsentrasi protein menunjukkan
konsumsi protein merupakan faktor terpenting ketimbang konsumsi energy untuk
mempertahankan produksi telur yang optimal pada temperatur tinggi. Lemak dan
minyak adalah sumber energi penting dengan heat increament rendah dan sebagai
tambahan kandungan asam linoleat yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan
berat telur. Walaupun kandungan fosfor pada plasma menurun pada temperatur
tinggi, peningkatan fosfor pada ransum menurunkan kualitas kulit telur. Ia
menambahkan peningkatan kualitas telur dapat dilakukan dengan penambahan

82
sodium bikarbonat pada ransum dengan catatan ayam mendapat bikarbonat
selama periode pembentukan kulit telur. Pemberian suplemen vitamin C
menunjukkan dapat mengurangi dampak buruk dari cekaman panas pada daya
hidup, produksi telur, berat telur dan kualitas telur.
Dengan kenaikan temperatur lingkungan, unggas harus mempertahankan
keseimbangan antara produksi panas dan panas yang harus dibuang sehingga
konsumsi menurun untuk mengurangi panas metabolisme. Barbosa Filho et al.
(2005) meneliti tentang penggunaan dua jenis kandang yaitu battery dan deep
litter dengan kelengkapan tempat bertengger dan tempat bertelur dan dipelihara
pada dua temperatur yaitu 26oC kelembaban 60%, dan 35oC dengan kelembaban
70%. Dilaporkan bahwa terjadi penurunan yang sangat jelas pada berat telur, tebal
kulit, spesific gravity dan haugh unit. Moreki (2003) menyatakan peningkatan
temperature 1oC akan berakibat rnenurunkan konsumsi sebanyak 5% pada
temperatur antara 32-330C. Dari penelitian tersebut terlihat tampaknya pengaruh
temperature panas secara langsung mempengaruhi konsumsi pakan ungggas
sehinggga pasokan zat-zat makanan yang mendukung produksi telur, kualittas
telur menjadi berkurang. Maka upaya yang mampu meningkatkan konsumsi
pakan akan mampu mengurangi produksi dan kualitas telur.

4.4. Penanganan Pasca Panen ( Pembersihan, Temperatur, Waktu, Tempat


Penyimpanan, Pengepakan dan Transportasi)
Penanganan pascapanen seperti pembersihan, temperatur, waktu dan tempat
penyimpanan telur, pengepakan dan model transportasi berpengaruh terhadap
kualitas telur telah didokumentasikan dengan baik (Taylor dan Filed, 2004)
Raji et al. (2009) meneliti tentang pengaruh cara penyimpanan dan waktu
penyimpanan pada kualitas telur dalam kondisi iklim panas dan kering. Dalam
penelitiannya waktu penyimpanan dibagi dalam 7, 14, 2l dan 28 hari dengan
temperatur ruang penyimpanan 32oC, dilapisi dengan minyak, disimpan pada
nuang pendingin 5oC dan temperatur tinggi 40oC. Dilaporkan bahwa pengaruh
cara penyimpanan dan waktu penyimpanan sangat nyata berpengaruh terhadap
semua bagian telur yang diukur. Berat telur, albumen, tinggi kuning telur, haugh

83
unit, % albumen dan kuning telur menurun dengan meningkatnya waktu
penyimpanan sementara lebar albumen dan lebar kuning telur meningkat.
Penyimpanan di tempat dingin mempunyai nilai yang sebanding pada haugh unit,
albumen, tinggi kuning telur dibandingkan dengan telur segar. Pelapisan dengan
minyak memberikan nilai lebih baik daripada telur yang disimpan pada
temperatur kamar. Telur disimpan pada temperatur tinggi (400C) sudah rusak dus
tak bagus untuk konsumsi setelah dua minggu penyimpanan. Disimpulkan bahwa
semakin lama waktu penyimpanan maka kualitas telur semakin menurun.
Ahn et al. (1999) mengadakan penelitian pengaruh pemberian ransum yang
mengandung 0; 2,5; dan 5,0% asam linolenat jenuh (CLA) terhadap kualitas telur
dan disimpan dalam waktu yang berbeda. Telur disimpan pada 4oC untuk 1; 7; 21
atau 49 hari. Dari hasil penelitiannya bahwa lama penyimpanan pada suhu 4oC
meningkatkan persentase kuning telur tetapi menurunkan kandungan albumen dan
lipida kuning telur setelah penyimpanan 21 hari atau diatasnya. pH telur
meningkat sejalan dengan lama waktu penyimpnan, tanpa pengaruh pakan tetapi
peningkatan lebih besar pada telur yang dihasilkan oleh ayam yang diberi pakan
CLA. pH albumen meningkat secara nyata setelah penyimpanan 7 hari dan tetap
sampai 21 hari penyimpanan. Ransum CLA tidak berpengaruh terhadap pH
albumn sampai 49 hari, setelah 49 hari penyimpanan, pH albumen telur dari ayam
yang diberi CLA lebih rendah disbanding control. Warna kuning telur tidak
dipengaruhi oleh pakan CLA dan kadang-kadang mempunyai warna lebih gelap
dengan bintik sinar. Pakan CLA dan waktu penyimpanan meningkatkan
kekerasan (firmness) dari kuning telur yang dimasak matang. Tekstur kuning
telur yang dimasak matang agak bersifat seperti karet dan elastic dan lebih sulit
dipecahkan dengan alat Instran. Ditengarai bahwa perubahan kualitas pada telur
ayam yang diberi CLA terkait dengan kandungan kuning telur, pergerakan ion
antara yolk dan albumen melalui selaput kuning telur dan perubahan –perubahan
pH yolk selama penyimpanan.

84
4.5. Penyakit dan Parasit

Menurut Jacob dan Pescatore (2011) masalah penyakit bisa terjadi pada
peternakan yang diatur dengan baik. Gejala utama dalam peternakan ayam petelur
adalah turunnya produksi telur. Gejala lain adalah ayam kurang lincah, tampak
pucat, air keluar dari mata dan hidung, batuk, molting, lumpuh dan meningkatnya
angka kematian. Cara terbaik untuk melindungi dari penyakit adalah membeli
ayam sehat dari usaha peternakan yang telah diketahui sejarahnya. Selanjutnya
dikatakan ada beberapa parasit dan penyakit yang sangat mengganggu usaha
peternakan unggas diantaranya:

a. Parasit eksternal.
Northern Fowl Mite (Ornithonysus sylviarum) adalah parasit eksternal yang
paling biasa pada unggas. Parasit ini termasuk penghisap darah dan menyebabkan
iritasi pada unggas. Bila serangan berat terjadi pada ayam, menurunnya konsumsi
pakan, efisiensi dan produksi telur, ternak tak tahan untuk mengatasi masalah ini.
Baberapa Kutu pengunyah diketemukan pada ayam terutama pada pemeliharaan
diumbar. Kutu unggas ini makan sisik kering, bulu atau koreng pada kulit. Iritasi
yang terus menerus menyebabkan ayam tidak tenang. Produksi telur turun ±l0%
dan bila terinfeksi berat bisa turun sampai 20%. Kutu yang melekat (stick-tight
fleas) kadang-kadang menyerang ayam piaraan di rumah tangga dan sulit untuk
dihilangkan. Kutu dewasa melekat pada kulit muka dan kepala menyebabkan
iritasi keras, dalam beberapa hal buta.

b. Parasit internal

Infeksi berat pada unggas menyebabkan peternakan kurang efisien, efisiensi


rendah, pertumbuhan kurang baik, menurunkan produksi telur dan kematian pada
ternak. Ayam terinfeksi lebih peka terhadap berbagai penyakit dan stres.

Nematoda atau cacing gilik lonjong, silindris dan tidak beruas merupakan parasit
pada saluran pencernaan ayam. Banyak jenis nematoda dan setiap jenis
menyerang pada bagian spesifik pada saluran pencernaan.

85
Cacing pita atau cestoda berwarna putih kekuningan. Cacing pita ini beruas dan
merupakan cacing pipih. Ukurannya bervariasi 0,17-12 inchi panjangnya.
Walaupun cacing ini tidak menyebabkan kerusakan pada usus halus, mereka
berkompetisi zat makanan dengan ayam. Cacing pita tidak mencerna makanan
sendiri. Bila melekat pada dinding dalam usus ayam, menyerap makanan sebelum
ternak inang memanfaatkan. Bila ternak dalam keadaan sehat, maka proses
fisiologis yang terjadi di dalam tubuh ternak akan berjalan sesuai dengan fungsi
normalnya, dan ternak akan dapat berproduksi sesuai dengan genetik
potensialnya. Namun harus diingat faktor-faktor lain seperti pakan (nutrisi),
kondisi lingkungan harus tersedia dan sesuai dengan kebutuhan ternak itu sendiri.
Bila kondisi tersebut di atas terganggu oleh kondisi diluar kontrol ternak itu
sendiri maka ternak akan mengalami gangguan penyakit atau stress yang
mengakibatkan ternak tidak bisa berproduksi sesuai dengan genetic potensialnya.

Fowl Fox (cacar ayam). Fowl Fox adalah penyakit virus pada ayam ditandai
dengan lesu seperti koreng pada kulit dan bagian-bagian tubuh yang tidak berbulu
atau pada membran mulut dan saluran pernafasan. Infeksi menyebabkan
pertumbuhan tidak baik, turunnya produksi telur.

Coccidiosis. Penyebabnya adalah protozoa dengan tanda infeksi pada perut dan
diare pada unggas. Coccidiosis ditemukan hampir di semua tempat di dunia
dimana ayam dipelihara. Penyakit ini dapat menyebar dari intensitas kurang
sampai keras. Tanda khasnya berak darah, kematian tinggi, pucat, konsumsi pakan
turun, mencret dan produksi telur turun pada ayam petelur.

Infectious Bronchitis. Penyakit ini sangat menular (disebabkan oleh virus, dapat
dikontrol dengan berbagai jenis desinfektan. Di Australia telah dikembangkan
vaksin yang dapat mencegah penyakit ini. Penyakit ini menyerang semua umur
ayam. Pada ayam petelur dewasa ditandai dengan tanda pernafasan; sesak nafas,
bersin, batuk dan produksi telur sangat menurun. Kualitas telur juga sangat
dipengaruhi. Kualitas telur rendah, kelainan kulit telur seperti kulit telur lunak,
salah bentuk. Sementara ini tidak ada obat yang efektif, kecuali broad spektrum
untuk infeksi sekunder.

86
New cattle Desease (ND). Disebabkan oleh virus dengan penularan yang sangat
cepat. Pada ayam. Petelur dewasa gejala khasnya adalah depresi, hilang nafsu
makan, konsumsi air minum menurun dan penurunan produksi telur secara
dramatis. Penyakit ini berjangkit 10-14% hari tapi ayam tidak akan bertelur
kembali dalam 5-6 miggu. Pencegahan penyakit dengan vaksinasi.

Avian Influenza. Penyebabnya adalah virus dan menyerang pernafasan, saluran


pencernaan pada berbagai unggas. Tandanya adalah unggas bersin, batuk, dan
diare dan bagian muka membengkak, dekadiasi cyanofia (bintik merah/putih)
pada kaki dan jengger. Kematian dari 0 sampai 100%. Penurunan produksi telur
sangat jelas. Telur dari ayam petelur aman untuk dikonsumsi tapi kulit telur harus
dicuci bersih dan disanitasi.

Avian enchepalomyelitis. Penyebabnya adalah virus, biasanya menyerang ayam


muda. Tandanya tremor, jalan tak teratur terutama kepala dengan leher. Ayam
petelur dewasa menunjukkan tanda bila seluruh kelompok terjangkit. Setelah
produksi turun 5-20%, produksi telur bisa normal kembali.

Mycoplasma gallisepticum. Infeksi saluran pernafasan secara kronis, PPLO


infection, batuk, bersin, ada cairan keluar dari hidung dan mata. Konsumsi pakan
dan produksi telur menurun.

Fowl cholera. Penyebabnya adalah bakteri pada unggas, penyerangannya akut,


kematian tiba-tiba terjadi pada kawanan. Ayam petelur bisa diketemukan mati
pada sarang, ayam sakit menunjukkan gejala hilang nafsu makan, depresi,
cyanosis, cairan keluar dari mata atau hidung, diare hijau dan putih berair.
Produksi telur menurun. Disamping itu pula tanda-tanda penyakit yang ringan
dimana ayam lesu, tidak lincah, nafsu makan hilang demikian pula konsumsi air
turun atau naik drastis diikuti dengan produksi telur yang menurun.

87
V. TEKNIK / CARA MENGUKUR KUALITAS TELUR
Dalam bab ini dibahas tentang pengukuran kualitas telur yaitu sifat fisik dan kimiawi telur
dengan metode pendekatan langsung dan tidak langsung. Kualitas bagian luar telur dan
bagian dalam telur dan metode pengukurannya juga disajikan dalam bab ini. Dengan
membaca bab ini para pembaca mengatahui cara pengukuran kualitas telur baik dilihat
dari luar berupa sifat fisik telur maupun dari dalam telur dan cara pengukurannya.

Pengukuran kualitas telur dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu


pengukuran bagian yang kelihatan dengan indera mata atau bagian luar dan bagian
yang tidak kelihatan yaitu bagian dalam. Secara konvensional pendekatan bagian
luar dapat dilakukan dengan mengamati bagian kulit telur, rongga udara
sedangkan bagian dalam harus dengan memecah telur atau metode langsung
(Robert, 2004). Yang termasuk metode langsung adalah mengukur kekuatan kulit
terhadap pecah atau retak, sebagai akibat dengan pemberian tekanan atau quasi
static campresion. Metode tak langsung meliputi spesific gravity, deformasi tanpa
merusak telur, ketebalan dan berat telur. Pengukuran langsung dan tidak langsung
kekuatan kulit telur masing-masing dapat juga dimaksudkan sebagai sifat mekanis
dan fisik dari telur (Hammrele, 1969). Dengan perkembangan teknologi dan
perkembangan perunggasan sangat cepat serta produksi yang tinggi tentu ada
pendekatan lain yang dilakukan dengan alat-alat yang bisa memberikan hasil
pengamatan tanpa harus memecah telur. Kualitas kulit telur meliputi berat telur,
warna kulit, ketahanan kulit terhadap pecah, kelainan pembentukan telur, berat
kulit, tebal kulit dan % berat kulit (rasio berat kulit dengan berat telur).
Kualitas internal meliputi tinggi albumen, haugh unit (dihitung komponen
berat telur dan tinggi albumen), skore warna kuning telur. Kulit telur
mengandung ribuan pori halus dan setelah telur dikeluarkan, pori ini berguna
untuk mengadakan pertukaraan gas dengan udara luar. pH albumen nornalnya
sekitar 7,6 tapi dengan lepasnya CO2 ke udara maka pH albumen akan meningkat
menjadi sekitar 9,3 dan ini menyebabkan perubahan pada protein albumen,
menyebabkan putih telur menjadi encer. Perubahan kualitas telur ini dapat
dideteksi dengan mengukur pH, Haugh Unit atau Yolk indeks.

88
Kualitas eksternal yaitu mengukur kualitas yang bisa diukur dari luar.
Kekuatan kulit telur adalah penting, tetapi bukan satu satunya faktor yang
menentukan kualitas kulit telur. banyak faktor lain seperti: ukuran telur,
pengamatan visual kulit telur, warna kulit, kekuatan kulit telur, spesific gravity, %
kulit (berat kulit x 100/berat telur), ketebalan kulit (mm) dan struktur ultra dari
kulit. Kualitas telur dapat dilihat dari dua aspek yaitu kualitas telur bagian luar
(eksternal) dan kualitas telur bagian dalam (internal). Secara lebih rinci kedua
aspek ini dapat dilihat seperti diuraikan pada bagian berikut ini.

5.1. Kualitas Luar Telur

Penampilan luar dari telur dapat dilakukan secara visual dan dengan
menggunakan beberapa alat:
a. Berat Telur. Diukur dengan timbangan yang sesuai. Timbangan digital
dan individual egg scale umum dipakai. Berat telur erat kaitannya
dengan besar telur. Semakin berat telur semakin besar telur dan ini
menentukan kualitas telur. Standar berat telur yang normal dalam
pemasaran adalah 56,7gram (Jull. 1952).

Tabel l9.Klasifikasi ukuran telur menurut USDA adalah sebagai beriukut:

Klasifikasi Berat telur (ounce)


Per lusin Per butir
Jumbo 30 2,5
Extra large 27 2,2
Large 24 2,0
Medium 21 1,7
Small 18 1,5
Peewee 15 1,2

b. Berat jenis telur


Berat jenis dapat ditentukan dengan terlebih dahulu mengetahui volume
telur. Volume telur dapat diketahui dengan bertambah banyaknya
volume air bila telur dimasukan dan melayang atau tenggelam dalam
air.

89
c. Rongga Udara.
Rongga terletak pada bagian tumpul dari telur. Dengan peneropongan
akan diketahui besarnya rongga udara, warna putih telur dan kuning
telur, atau adanya benda asing dalam telur. Pada usaha komersial, telur
diteropong (candler) menggunakan sinar untuk mendeteksi ada
keretakan dan kejadian lain atau telur melewati detektor elektronik
untuk mendeteksi keretakan telur (Robert, 2004). Telur yang segar
memiliki rongga udara yang lebih kecil dibandingkan dengan telur tua.
Rongga udara grade AA kedalamannya l/8 inchi (0,3 cm) atau kurang,
grade A 3/16 inchi (0,5 cm) atau kurang dan kualitas B lebih dari 3/16
inchi (Jacob et a1., 2009). Kedalaman kantong udara diukur dengan
official egg air gauge (Nursiam,20ll).
d. Indeks Telur. Ditentukan dengan perbandingan lebar telur dengan
panjang telur dikalikan 100% (Romanoff & Romanoff, 1949).

e. Kulit telur (cangkang telur).

Kulit telur adalah struktur yang sangat penting dengan dua alasan.
Pertama kulit telur membentuk ruangan embrionik untuk
perkembangan anak ayam dengan memberikan proteksi mekanis dan
control pertukaran udara menjadi medium. Kedua, memberikan wadah
untuk pemasaran, yang memberikan perlindungan terhadap isi yang
merupakan suatu packing yang unik untuk bahan pangan yang bernilai.
Kulit telur terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar yang tebal disebut
dengan bagian kulit telur tebal (kerabang, atau cangkang) dan bagian
dalam yang tipis disebut dengan selaput kulit tipis.
1. Pengamatan visual kulit telur.
Tekstur kulit telur yang halus sangat disukai, sementara kulit kasar
cenderung lebih mudah pecah. Telur yang abnormal (kulit telur
yang rata) mempunyai bentuk yang berbeda dengan telur normal
yang teksturnya halus (Gerber, 2011). Telur-telur yang besar juga
jauh lebih mudah pecah daripada telur kecil. Selanjutnya warna
kulit telur dimonitor secara visual dibandingkan dengan standar
grade atau diukur dari pantulan cahaya yang direfleksi oleh kulit

90
telur, banyak insiden cahaya yang tak normal memberikan indikasi
keadaan kulit telur pada kondisi yang sudah dikontrol.

2. Komposisi Kulit telur


Kulit telur menyusun l0-1l% dari telur utuh, dengan berat rata-rata
5-6 gram, dengan kekuatan mekanis yaitu kekuatan menahan pecah
(>30N) dan dengan ketebalan 300-350 mikrometer (Robert dan
Ball, 1998). Kandungan kalsium dari kulit telur mendekati 1,7-
2,5g. Rata-rata kulit telur mengandung kalsium karbonat 94-97%,
phosphor 0,3%, magnesium 0,2%, organic matter <2%, sodium,
potasium, mangan, besi dan Copper sedikit sekali (trace) (Grupta,
….. .). Lebih lanjut Butcher and Miles (2004) menyatakan kulit
telur yang sangat bagus untuk ayam petelur komersial mengandung
2,2 g kalsium dalam bentuk kalsium karbonat. Dari 95% berat
kering kulit dalam bentuk kalsium karbonat dengan berat 5,5 g.
Rata-rata kulit telur mengandung 0,3% P, 0,3% Mg dan trace
mineral seperti sodium, potasium, zinc, mangan, besi dan copper.
Jika kalsium kulit dihilangkan, bahan organik dalam bentuk
matriks ada di dalamnya. Bahan organik ini akan mengikat kalsium
yang berpengaruh terhadap kekuatan kulit telur. Jumlah bahan
organik yang sedikit ini disusun sebagian besar oleh protein
matriks (campuran protein dan polisakarida yang kaya molekul
sulfat) dan pigmen kulit. Protein matriks ini adalah penting dan
kritis di dalam menentukan struktur kulit telur dan penyedia
deposisi kalsium karbonat. Karena pecah atau retaknya kulit telur
merupakan masalah yang sangat serius dalam pemasaran telur
pengukuran kekuatan kulit telur, menjadi penting dalam industri
perunggasan. Pecah atau retaknya. kulit telur sebagai hasil dari
kombinasi kekuatan, integritas dan besarnya tekanan yang
diterima selama penanganan. Estetika kualitas kulit telur berkaitan
dengan kualitas factor-faktor yang berpengaruh seperti utuhnya
telur, bentuk kulit telur dan warna kulit telur. Untuk usaha
komersial petelur dan pembibitan, kualitas yang dimaksud adalah

91
meningkatkan ketebalan kulit dan kekuatan untuk menahan pecah
untuk mengurangi jumlah telur yang pecah rneningkatkan jumlah
telur terjual atau telur tetas. Untuk menghitung persentase kulit
telur digunakan rumus :

% kulit telur = (berat kulit x 100/berat telur)

3. Kekuatan kulit telur (strength) umumnya diukur dengan alat


quasi-static compression dimana telur ditekan dyne/cm2 (N) pada
kondisi terkontrol sampai kulit telur pecah atau retak (Tyler, 1961).
Tekanan minimum yang diperlukan yang menyebabkan kerusakan
kulit kemudian dicatat. Wells (1967) menyatakan bahwa ada
korelasi negatif yang nyata antara kekuatan kulit telur dengan
tekanan (quasi static compression) dan persentase telur pecah.
Banyak faktor berpengaruh terhadap gampang pecah atau retaknya
kulit telur. Pecahnya telur secara langsung berkaitan dengan kualitas
dari kulit telur. Faktor tersebut seperti nutrisi, masalah kesehatan
kelompok, praktek manajemen, kondisi lingkungan dan pembibitan.
Kekuatan kulit telur tidak hanya ditentukan oleh berat kulit yang
ada namun juga ditentukan oleh kualitas kontruksi kulit itu sendiri.
Kualitas kontruksi ini bisa diuji struktur ultranya dengan alat
scanning electron microscope (Salomon, 1999). Dalam hal berat
telur, persentase kulit, ketebalan kulit adalah baik namun kekuatan
relatrif rendah, kondisi ini bisa dijelaskan oleh kondisi struktur ultra
kulit atau bagaimana kontruksi kulit dibentuk.

4. Ketebalan kulit mempunyai hubungan dengan kekuatan kulit.


Ketebalan kulit dapat diukur dengan memecah telur, kulit telur
dikeringkan dan kemudian diukur ketebalannya. Ketebalan kulit
telur umunmya diukur dengan gauge yang sesuai yang biasanya
diukur dengan tiga ketebalan dari berbagai posisi kulit telur. Contoh
alat Mitutoyo model 2109-10 dial comparator gauge, mounted on a
frame (Robert, 2004). Tebal kulit normal rata-rata 0,31mm, dengan

92
rata jenis rata-rata 1.095 (Orr dan Fletcher, 1973, sedangkan
stadelman dan Cotterill (1973) menyatakan tebal kulit telur normal
0,33 mm dengan berat jenis 1,065-1,10
5. Kebersihan Telur. Kebersihan telur mungkin aspek kualitas telur
yang paling mudah dikontrol dan manajemen yang baik memegang
peranan penting. Sebagian besar telur dikeluarkan dari tubuh unggas
dalam keadaan bersih dan selanjutnya menjadi terkontaminasi
dengan kotoran atau kontaminan lainnya. Kekurangan (cacat) dari
daftar EPF code of practice (EPF and NSFSA,2002) maka telur
akan dikeluarkan dari kategori ini.
6. Warna Kulit telur.
Warna kulit telur bersifat khas, ditentukan oleh sifat genetik ayam,
ayam berbulu putih menghasilkan telur warna putih dan berbulu
coklat mengasilkan telur warna coklat (Jacob et al., 2000).
Permintaan pasar berbeda-beda tergantung wilayah sehingga ayam
yang dipelihara juga disesuaikan dengan warna kulit telur yang
disukai.
7. Kelainan Telur ( penampakan luar).
Bentuk telur yang normal adalah berbentuk ellip. Telur-telur dengan
bentuk tidak seperti biasanya, seperti panjang, pendek, bundar atau
rata satu sisi (vide telur abnormal) tidak bisa dimasukkan ke dalam
grade AA atau A. Telur-telur yang bundar atau panjang tidak seperti
biasanya mempunyai penampilan yang buruk dan tidak pas di kertas
kantong karton, sehingga akan lebih banyak yang pecah. Indeks telur
dihitung dengan menentukan atau mengukur panjang dan lebar telur.
Kelainan telur telah diuraikan lebih detail pada bab 1.
Indeks telur= lebar telur /punjang telur

7. Spesific Gravity

Pengukuran dengan spesific gravity adalah suatu metode menguji


ketebalan kulit telur. Spesific gravity ditentukan dengan
memasukkan telur ke dalam larutan garam dengan konsentrasi
tertentu. Telur-telur dengan kulit tipis akan mengapung. Karena

93
spesific gravity merupakan alat ukur yang sangat simpel dan tidak
memecah telur, maka metode ini sangat berguna untuk menitoring
ketebalan kulit telur secara rutin dan kontinyu dan memeriksa
masalah keretakan telur. Larutan garam dengan spesific gravity
1.080 dapat digunakan untuk mengidentifikasi telur yang retak atau
telur dengan kulit tipis (Bennett, 1993). Spesific gravity adalah
perbandingan berat dengan volumenya relatif setara dengan berat
dan volume air yang sama pada temperatur yang sama. Pengukuran
spesific gravity dari telur utuh diukur dengan memasukkan telur
kedalam larutan garam dengan spesific gravity yang berbeda dan
pada spesific gravity berapa telur itu melayang dalam larutan
(Robert, 2004)

f. Selaput Kulit Telur (inner shell)

Seperti keratin tipis dengan ketebalan 0,01-0,02mm, penting untuk


pertahanan pertama terhadap masuknya mikroorganisme

5.2. Kualitas Internal Telur

Tidak seperti kualitas luar (kulit telur), kualitas internal telur mulai
menurun segera setelah telur dikeluarkan dari tubuh unggas. Kualitas internal ini
jauh lebih sulit diamati atau dievaluasi secara langsung bahkan dengan
menggunakan peneropongan. Bagian dalam telur terdiri dari albumen dan kuning
telur. Kualitas internal telur dapat diukur dengan beberapa cara. Kualitas telur
yang bagus adalah bebas dari blood spot, pigmen spot dan meat spot.
1. Albumen
Albumen disusun oleh 4 fraksi yaitu lapisan tipis bagian luar albumen, lapisan
tipis bagian dalam albumen, ketebalan albumen dan chalaza. Secara normal
albumen adalah transparan dengan warna yellow green yang cerah. Perubahan
warna albumen manjadi lebih kuning bila telur disimpan pada periode di luar
waktu dan pada kondisi jelek (Coutts dan Wilson, 1990). Kualitas albumen
diukur dengan mengukur tinggi albumen yang jaraknya l cm dari pinggir
kuning telur.

94
a. Haugh Unit (HU). Adalah suatu ukuran kualitas protein telur berdasarkan
tinggi X putih telur (albumen) dan berat telur (Monira et al. 2003). Test ini
telah diperkenalkan oleh Raymond (1937). Tinggi albumen kemudian
dikonversi ke haugh unit. Tinggi albumen diukur dengan tripod
micrometer (mm). Caranya, Telur ditimbang, kemudian dipecah pada
permukaan datar (metode pemecahan); dan mikrometer digunakan untuk
menentukan tinggi albumen (tick albumen) segera di sekeliling kuning
telur. Tinggi dikorelasikan dengan berat untuk menentukan rating haugh
unit. Semakin tinggi nilainya semakin baik kualitas telur. Umumnya
sebagian besar telur yang ada di peternakan nilai HU berada pada kisaran
75-85 (Coutts and Wilson, 1990)

Haugh Unit =100 log (H+7, 57 -1,7 W 0,37)

Menurut Monira (2003), formula untuk menghitung haugh unit adalah

H.U=100*log (h -1,7W 0,37 +7,6)

Keterangan: HU: Haugh Unit


H : tinggi albumen (mm) yang diukur
W: berat telur (g)

Tabel 18. Penentuan kualitas telur berdasarkan HU

Grade HU menurut HU menurut


USDA(2011) STADELMAN DAN
COTTERILL, 1973
AA >72 79
A 60-72 55-78
B 31-60 31-45
C <31 <31

b. Indeks Putih Telur: perbandingan antara tinggi albumen kental


dengan rata-rata diameter panjang dan pendek putih telur kental
(Arief, 2011). Indeks putih telur = H/0,5x(D1+D2)
Keterangan : H - tinggi putih telur kental (mm)
Dl: diameter terpanjang putih telur (mm)
D2:diameter terpendek putih telur (rnm)

95
c. pH putih telur:
Diukur dengan portabel pH meter. Sebelum diukur putih telur
diaduk dahulu agar homogen. Telur yang lama disimpan maka CO2
akan banyak keluar sehingga putih telur menjadi asam dan pH akan
menurun

2. Kuning Telur

a. Kekuatan selaput viteline. Kuning telur dibungkus oleh membrane


viteline dan ditekan ketengah telur oleh chalaza dan dihubungkan dengan
permukaan dari membran telur. Terdapat dua komponen kualitas kuning
telur yaitu warna dan kekuatan membran perivitellin yang mengelilingi
kuning telur. Jika kekuatan membran perivitellin lemah seperti telur yang
umurnya sudah tua maka kuning telur gampang pecah (Kirunda dan
McKee, 2000 ).
b. Warna. Meskipun warna kuning telur menjadi faktor kunci pada beberapa
survey konsumen berkaitan dengan kualitas telur (Jacob et al., 2000)
pilihan warna kuning telur sangat subyektif dan sangat bervariasi dari satu
negara ke negara lain. Selera terhadap warna kuning sangat berbeda-beda
pada berbagai wilayah karena itu pigmen alami atau buatan sering
ditambahkan untuk memenuhi selera yang diinginkan terhadap warna
kuning telur. Di Australia warna kuning telur pada angka 11 skala R.oche,
di negara lain mungkin lebih gelap atau terang. (Robert, 2004). Untuk
mengetahui standar kuning telur digunakan standard dari Roche yaitu Yolk
colour fan (sekarang DSM yolk colour fan), hasil dari warna kuning telur
dibandingkan dengan pilihan warna pada yolk colour fan sehingga
diketahui indeks kuning telur.Warna kuning telur yang baik berada pada
kisaran angka 9-12
c. Indeks Kuning Telur didefinisikan sebagai rasio tinggi dan lebar dari
kuning telur, diukur pada posisi normalnya jika telur dipecah pada
permukaan datar. Tinggi kuning telur diukur dengan tripod screw
micrometer dan lebar dengan kaliper yang diambil pada dua posisi
menyilang (Wells, I968). Funk (1948) menemukan bahwa Indeks kuning

96
telur pada posisi alaminya harus dikoreksi dikurangi l0% dibandingkan
dengan perhitungan setelah kuning telur dipisahkan dengan putih telurnya.

Indeks kuning telur = H/0,5 x (d1+d2)

Keterangan : H = tinggi kuning telur (mm)


d1, d2 =diameter kuning telur (mm) diukur dari dua
arah

d. pH kuning telur. Diukur dengan portabel pH meter. Sebelum diukur


kuning telur diaduk dahulu agar homogen. pH telur yang segar 6,0
(Stadelman dan Cotterill, 1973)
e. Bentuk kuning telur. Kuning telur telur segar yang baru keluar dari tubuh
unggas adalah bundar dan bersifat keras (firm) (Jacob et al., 2000).
Semakin tua umur telur dan membran vitelline mengalami degenerasi, air
dari albumen bergerak ke kuning telur yang membuat bentuk kuning telur
bentuknya berubah menjadi datar.

97
PENUTUP

Ada banyak faklor yang berpengaruh sangat jelek terhadap produksi telur
pada ayam (Jacob dan Pecastore, 201l). untuk mengetahui penyebab turunnya
produksi ayam, beberapa pertanyaan di bawah ini harus dijawab.
1. Berapakah umur ayam anda?
2. Berapa konsumsi pakan perhari ayam anda?
3. Apakah ada perubahan konsumsi pakan akhir-akhir ini?
4. Apakah ada perubahan jenis dan sumber pakan yang dipergunakan?
5. Apakah ada cendawan pada pakan?
6. Berapa lama sinar perhari di daerah pemeliharaan ayam anda? Apakah ada
perubahan?
7. Apa jenis sumber sinarnya?
8. Bagaimana kondisi kandang anda?
9. Apakah ayam mendapat cukup air minum yang bersih?
10. Bagaimana kondisi ayam anda?
11. Bagaimana aktifitas ayam anda?
12. Bagimana kualitas kulit telur ayam anda?
13. Bagaimana kualitas bagian dalam telur ayam ayam anda?
14. Apa ada tanda-tanda penyakit pada ayam anda?
15. Apakah ayam anda terlalu padat?
16. Apakah ada tanda serangan eksternal dan internal parasit?
17. Apakah ayam anda mendapat akses tanaman yang sebelumnya dia tidak
punya?
18. Apakalr ada /pernah ada penggunaan pestisida atau herbisida di sekitar
area?

Dengan menjawab pertanyaan tersebut maka anda akan menjadi tahu tentang
penyebab turunnya produksi telur ayam anda.

98
DAFTAR PUSTAKA
Abaza, I.M., W.Ezzat, M.S. Shoeib, A.A. El-Zaiat and I.I. Hassan. 2009. Effect of
Copper Sulfat on Production, Reproduction Performance and Blood
Constituents of Laying Javanese Quail Fed Optimal and suboptimal
Protein. Int. J. of Poult. Sci. 8(1):80-89.
Aderemi, F.A., T.E. Lawai, O.M. Alabi, O.A. Ladokum and G.O. Adeyemo.
2006. Effect of enzyme supplemented cassava roat sieviate on egg quality
gut morphology and performance of egg type chicken. International
Journal of Poultry Science 5(6):526-529
Aderolu A.Z,E A Iyayi, A A Onilude** and I Eniola. 2A04. Biodegraded rice
husks in laying bird's diet: 1) Performance and egg quality parameters.
Livestock Research for Rural Development 16 (11) 2044
Adeyemo, G.O., and O.G. Longe. 2008. Effect of Cotton Seed Cake based Diets
on Performance and Egg Quality Characteristic of layer. Pakistan J. of
Nut. 7(4):597-602
Ahn, D.U., J.L Sell, C. Jo, M. Chamrospollert and M. Jeffrey. 1958. Effect of
Dietary Conyugated Linoleic acid on the Quality Characteristic of Chicken
Eggs During Refrigerated Storage. Poult. Sci., 78:922-928
Amoah, J.K., and E.A. Martin. 2010. Quail (Cortunix cortunix javanika) Layer
Diets Based on Rice Bran and Total or Digestible Amino Acid. J. Appl.
BioSci. 26:1647-1652
Anitha P., A.Jalaludeen, P.A.Peethambaran and J. Leo. 2009. Effect of crude fibre
and enzyme supplementation on production performance of layer ducks.
Indian Journal of Poultry Science. , Volume : 44, issue:2
Arief, H.S. 2011. Fengaruh lama penyimpanan terhadap total mikroba, kadar
kolesterol dan kualitas interior telur ayam ras yang disamak dengan ektrak
daun jati belanda (Guazuma ulmifolia). http ://doktorgrew.blogspo
t.com/2011/05/pengruh-lama-penyimpanan.
Bakalli, R.I. G.M. Festi, W.L. Rangland and V. Konjufca. 1975. Dietary Copper
in Axcees of Nutritional Requirement Reduces Plasma and Breast Muscle
cholesterol of Chickens. Poul. Sci. 74:360-365.
Balnave, D. 1998. High Temperature Nutrition of laying Hens. Proc. Aust. Poult.
Sci. Sym.34-41
Balnave, D. And T.M. Abdoellah. 1990. Self Selection Feeding of Commercial
pullets using a Complete Layer Diet and a Separate Protein Concentrate at
cool and hot temperature. J.Crop and Pasture Science. CsiRo . Australian
J.of Agricultural Research 4 1 (3)549-555
Barbosa Filho, J.A.O., S. Man, I.J.O. Silva and A.A.D. Loelho. 2005. Egg Quality
in layers Housed in Different Production System and Submitted to Two
Environmental Conditions. Brazilian J. of Poult. Sci 8(1):23-28
Bayram, I., I.S. Cetingul, A. Burhanuddin Akkaya and C. Uyarlar. 2008. Effect of
Bacterial Xylanase on Egg Production in the Laying Quail (Cortunix
cortunix Javanica) Diets based on Corn and Soybean Meal.
ARCH.Zootech. 11(3)69-74

99
Bennett, C.D. 1993, Measuring Table Egg Shell Quality with one Spesific Gravity
Salt Solution. J. Appl. Poult. Res.2:130-134
Boorman, K.N., and S.P. Gunaratne. 2001. Dietary Phosphorus Supplay, Egg
Shell Deposition and Plasma Inorganic Phosphorus in Laying Hens. Bri.
Poult. Sci., 42:81-91
Bozkurt, M., A. Allicek and M. Cabuk. 2004. The Effect of Dietray Inclusion of
Meat and Bone Meal on the Performance of Laying Hens at old Age.
South African J. of Anim. Sci. 34(l):31-36
Brand, Z., T.S. Brand and C.R. Brown. 2003. The Effect of Dietary Energy and
Protein Levels on production in Breeding Female Ostrich. British Poultry
Sci. 44(4):598-606
Butcher, G.D. and R. Miles. 2009. Concepts of Egg shell Quality. University of
Florida. Http://edis.ifasufl.edu/vm013.akses01/08/2011
Casartelli, E.M., R.S. Filardi, O,M. Junqueria, A.C. Lawentiz, Y.Assvena and
K.F. Duarte. 2006. Sun flower meal in commercial layer diets formulated
on total and digestible amino acids basis. Brazilian J. Poult. Sci. Vol 8, No
3: 161 -l7l
Castellini, C., P. Perella, C. Mugnal and A. Dal Bosco. 2006. Welfare,
productivity and qualitative traits of egg in laying hens reared under
different rearing systems. European Poult. Conference, Verona, 10-14
September.
Cheng, T.K., C.N. Coon and M.L. Hamre (1990). Effect of environmental stress
on the ascorbic acid requirement of laying hens. Poult. Sci. 69:774-780
Council of The European Union. 2006. Council Regulation (EC) No. 1026/2006
of 19 June 2006 on marketing Standards for eggs. Australia.
De Witt, F.H., N.P. Kuleile, H.J. Van Der Merwe and M.D. Fair. 2009. Effect of
limestone particle size on Egg Production and Egg Shell Qualityof Hens
during the producttion. South African ,J.of Anim. Sci. 39(suplemen:37-40)
Dipeolu, M.A., D. Eruvbetine, E.B. Oguntona, O.O. Bankole and K.S. Sowunmi.
2005. Comparison of Effect of Antibiotics and Enzyme Inclusion in Diets
of Laying Birds. ARCH. Zootec. 54(205):3-11
Dizaji S.B. and R. Pirmohammadi. 2009. Effect of Saccharomyces cereviceae and
Bioplus 28 on Performanae of Laying Hens. International Jou. of Agric.
And Biology . 11 (4):495 -497
Dobrzanski, Z., S. Opalinski, M. Korcynki, B. Walawska aand T. Trziszka. 2007.
Effect of Calsium Peroxide on the Performance, Egg Quality as well as
Calcium and Phosphorus Concentrations in the Blood Serum of Laying
Hens. Pol. J. Food Nutr. Sci. Vol. 57(4):107-111.
Eid, Y., T. Ebeid, M. Moaward and M. El-Habbok. 2008. Vitamine E
Supplementation Reduces Dexamethasone- Induced Oxidative Stress in
Laying Hens. Egypt Poult. Sci. Vol (28/lll):785-798
Eoff, H.J., R.E. Davies, T.M. Fergusson, and J.R. Couch. 1961. The Effect of
Transquilizer on Egg Production and Egg Shell Quality in Caged Layers.
Poult. Sci., 40: l3 15.
EPF and NZFSA. 2002. Egg producers federation of New Zealand (Inc) Code of
Practise (Includes Requirements for Risk management Programmes).
http://www.nzfsa.govt.nz/animalproducts/publications/consultation/egg-
cop/egg-cop.pdf

100
Ersinsamli, H., N. Penkoylu, H. Akyudek and A. Agna. 2006. Using Rice Bran in
Laying Hen Diets. J.of Center European Agriculture. Vo1.7(l):135-140
European Commision. 2003. Commision Regulation (EC) No 2295/2003 of 23
Decembre 2003, Introducing Detailed Rules for Implementing Council
Regulation (EEC) No 1907/90 on Certain marketing Standards for Eggs.
Filardi, R.S., O.M. Junqueira, E.M. Casartelli, A.C. Laurentiz, K.F. Duarte and
V. Assvena. 2005. Pearl Millet Utilization in Commercial Laying Hens
Diets Formulated on Total or Digestible Amino Acid Basis. Brazilian J.
Poult. Sci. Vol 7, No.2:99-105.
Funk, E.M. 1948. The relation of yolk index determined in natural position to the
yolk index as determined after separating the yolk from the albumen.
Poultry Science, 27,367
Green, J., D.U. Ahn and M.E. Persia. 2009. Effect of High Concentration of
Distiller Dried Grain with Solubles on Long-term laying Hens
performance. Poult. Sci, Vol 89: E-Suppl 1.
Gṻglṻ, B,K. 201I. Effect of Probiatic and Prebiotic (mannan oligosaccharida)
Supplementation on Performance, Egg Quality and hatchability in Quail
Breeders. Ankara Univ. Vet. Fac. Derg. 58:27-32
Gunawardana. P.G. Wu, K. Yuan, M.M. Bryant and D.A Roland. 2009. Effect of
Dietary Energ on Performance. Egg components-Egg solids egg quality
and profit in Seven Commercial Leghorn Strain During Second Cycle
Phase Two. Int. J. Poult. Sci. 8(4):223-327
Haddadin, M.S.. S.M. Abdulrahin. E.A.R. Hoshlamoun and R.K. Robinson. 1996.
The Effect of Lactobacillus acidophyllus on the Production and Chemical
Composition of Hens Egg. Poult. Sci.75:491-494
Hale' R.W. and W. O. Brown. 2009. Sunflower meal as a protein concentrate for
laying hens. The Journal of Agricultural Science (1957), 48: 366-372.
Published online; 27 March 2009
Harms. R.H., G.B. Ruswell. and D.R. Sloan. 2000. Performance of four sttrains of
Commercial layers with Mayor Changes in Dietary Energy,. J. Appl.
Poult. Res. 9:535-541
Heirsig, I., E. Strakova, P. Suchy. 2008. Long-term application of clinoptilolite
via the feed of layers and its impact on the chemical composition of long
bones of pelvic limb (femur and tibiotarsus) and eggshell. Veterinary
Medician 53(10):550-554
Hobson-Frohokk, A., G.R. Fenwick, D.G. land, R.F. Curtis and L. Gulliver. 1975.
Rapessed Meal and Egg Taint. Br. Foult. Sci. 16:219
Holt, P.S., R.H. Davies, J. DeWulf, R.K. Gast, J.K. Huwe and D.R. Jones, D.
Waltman and K.R. William. 2011. The impact of different housing
systems on egg safety and quality. Poult. Sci. 90:1-12
Hosseinzade, H., Y. Ebrahimnezhad, H. Janmohammad, A.R. Ahmadzadeh and
M. Sarikhan. 2007 . Poultry By-product Meal: Influence on performance
and egg quality traits of layer. Int. J.Agric. Biol.12: 547-550
Jacob J. And T. Pescatore . 2011. Why Have My Hens Stopped Lying?. UK
Cooperative Extention Service. Unive. of Kentucky- Collage of
Agriculture. 10p.

101
Jacob, J.P., H.R. Wilson, R.D. Miles, G.D. Butcher, and F.B. Mather. 2009.
Factors affecting Egg Production in Backyard Chicken Flocks. UF,
University of Florida. IRAS Extention, PS-35. Institute of Agricultural
Sciences, University of Florida.
Jacob, J.P., R.D. Miles and F.B. Mather. 2000. Egg Quality. University of Florida.
http :// edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/P S /PS02000. PDF
Kekeocha, C.C. 1985. Poultry Production Hand Book, McMillar Publisher Ltd.
Ondon UK
Kelvay, L.M., L Inman, L.L.K. Johnson, M. Lawler, J.R. Maheko, D.B. Miline,
H. C1ukaski, M. Bolonchuh and H.H. Sandstead. 1984. Increased
Cholesterol in Plasma in a Young Man During Experimental. Copper
....?.... Metabolism 33:1112-1118
Khajali, F., M. Faraji and S.K. Dekkordi. 2007. Effect of Reduced Protein Diets at
Total Sulfur AA: Lysine ratio on pullet development and subsequent
laying hens performance. American J. Animal and Vet. Sci: 2(4): 89-92
Kjos, N,P., O. Herstad, A. Krede and M. Overland. 2001. Effect of Dietary Fish
fat on Performance and Egg of Laying Hens. Can. J. Anim, Sci. 8:245-251
Korenekova, B., M. Skalicha, P. Nad, J. Venglovsky, and J. Saly. 2005.
Supplementation of Zinc and Cadmium on Egg Quality of Javanesse
Quails. ISAH. Vol 2:118-121, Warsaw, Poland
Kramer, A. 1951. What is quality and how can it be measured. From a Food
Technology Point of View. In: Market Demmand and Product Quality.
Mktg. Res. Workshop Rept. Michigan State Odelege.
Krawczyk, J. 2009. Quality of Egg from Polish Greenleg Partridge chicken-hens
Maintained in Organic vs Backyard Production System. Animal Science
paper and Reports vol 27 (2009) no. 3:227-235. Institute of Genetics and
Animal Breeding, Jastrzcbiec, Poland
Landers, K.L., C.L. Woodward, X.Li, L.F. Kubena, D.J. Nisbet and S.C. Riche.
2005. Alfatfa as a Single Dietary Source for Molt Induction in Laying
Hens. Bioresource Technology 96:565 -57 0.
Lichovnikova, M., L. Zeman and J, Jandask. 2008. The Effect of feeding
untreated rapenseed and Iodine supplement on Egg Quality. CZECH. J.
Anim. sci. 53(2):77-82.
Mahdavi, A.H., H.R. Rahmani, and J. Pourrazid. 2005. Effect of Probiotik
Supplementation on Egg Quality and Laying Hens Performance. Int J.
Poult. Sci. 4:488-492s, Ansterdam, the Netherlands, 20-24 September
1992
Mastika I.M. 1992. Performance of Laying Hens Fed Whole Corn and Protein
Concentrat Free-Choice in the Tropics. .Proc. World Poultry Conggress ,
Amsterdam, The netherland 20-26 September 1992.'
Mastika I.M. 2006. Ilmu Gizi Temak Unggas. Ed ke 2. UPT Penerbit Universitas
Udayana
Mastika I.M. 2011. Potensi Limbah Pertanian Dan Industi Pertanian Untuk
Makanan Temak. Udayana University Press.
Mastika, I.M. 1985. Performance of Two Strain of laying Birds Offered a Choice
of Diets in Tropical Condition. Procc. The 3rd AAAP, Animal Science
Congress, May 6-10, 1985. Seoul, Korea. Pp 683-685

102
Mastika, LM. (1992). Performance of Laying Hen Fed Whole Corn and Protein
Concentrate Free Choice in the Tropics. Proc. World's Poultry Congress,
Amsterdam, the Nederlands, 20 - 24 September 1992.
Mohammad,Kh.A., M.A. Toson, H.H.M. Hassanien, M.A.H. Solimas and S.H.M.
El- Nagar. 2010. Effect of Phytase Supplementation on Performance and
Egg Quality of Laying Hens Fed Diets Containing Rice bran. Egypt. Poult.
Sci. Vol. 30(III):649-659
Monira, K., N. Salahuddin and M. Miah. 2003. Effect of Breed and Holding
Period on Egg Quality Characteristic of Chicken, International Journal of
Poultry Science 2(4):261-263
Moreki, J.C. 2008. Feeding Strategies in Poultry in Hot Climate. Poultry Today.
POU 0601, Januari 2008, Gaborone, Botswana
Mrosovsky, N. and D.F. Serry. 1980. Animal Anorexias Science 207: 837-842
Nalmshon, S.N., N.A. Adefoke, A. Amenyenu, and D. Wright. 20A6, Laying
Performance of Pearl Gray Guinea Powl Hens as Affected by Caging
Density. J Poult. Sci.85:1682-1689
Nayafabody, J., H.N. Moghaddam, J. Pourreza, F.E. Shahroredi and A. Golian.
2007. Determination of Chemical Composition, Mineral Content and
Protein Quality of Poultry By-product Meal. Int. J. Poult. Sci., 6:875-882
Novak, C. 2003. Low Protein Diets for Caged Lying Hens. Poultry Digest
online Volume 3, Nomor 6. 2003. Mid-Atlantic Annimal Nutrition
Conferennce.
Nursiam I. 2011- Uji Kualitas Telur. diakses 02/08/2011
Nys, Y. l999. Nutritional Factors Affecting Egg Shell Quality. Czech Jou. of
Anim. Sci. 44:135-143
Overfield, N.D., and H.A. Elson. 1975. Dietary rapessed Meal and the Incident of
Tainted Chicken Egg. Brit. Poult. Sci. 16:213
Patterson, J.A. and K.M. Burkholder. 2003. Application of Prebiotic and Probiotic
in Poultry production. Poult. Sci,82:627-631 Y
Peebles, E.D., T. Pansky, S.M. Doyle, C.R. Boyle, T.W. Smith, M.A. Latour and
P.D. Gerrard. 1998. Effect of Dietary fat and egg shell cuticle Removal on
Egg Water Loss and Embryo Growth in Broiler Hatching Eggs. Poult. Sci.,
77:1522- 1530
Pesti, G.M., and R.I. Bahalli. 1998. Studies on the Effect of Feeding Cupric Sulfat
Pentahydrat to Laying Hens on Egg Cholesterol Content. Poult. Sci.
77:1540- 1545.
Piteskove, V., M. Hovorka, V. Vecerek, E. Strakova and P. Suchy. 2006. The
Quality Comparison of Eggs laid by Laying Hens Kept in Battery Cages
and in a Deep litter System. Czech J. Anim. Sci. 51(7):318-325
Prabowo D. 1982. Kebutuhan Ca dan P pada ayam petelur. Poultry Indonesia.
PT.Kako Trading Co. Jl. K.S. Tuban 2C, Jakarta.
Qabuk, M., M. Bozkurt, F. Kirkpinar nd H. Ozkul. 2004. Effect of phytase
suplementation of diets with different level of phosphorus on perfornance
and egg quality of laying hens in hot climate condition, South Africans Jou
of Animal Sci,34(1)13-17.
Qiftδi, M., O.N. Ertas and T. Gṻler. 2005. Effect of Vitamin E and Vitamin C
Dietary Supplementation on Egg Production and Egg Quality of Laying
Hens Exposed to Chronic Heat Stress. Revue Med. Vet. 156(2):107-lll

103
Raji, A.O., J. Alyu, J.U. Igwebuike, and S. Chiroma. 2009. Effect of Storage and
Time on Egg Quality Traits of Laying Hens in a Hot Dry Climate. ARPN.
J.of Agric.and Biol. Sci. 4(4):1-7
Ravindra, V.S., G. Cabakug and W.L. Brydin. 1999. Influence of Microbial
Phytase on Apparent Ideal Amino Acids Digestibility of Feedstuffs for
Broilers. Poult. Sci. 78:699-706
Rizzi, L., M. Simioli, P. Roncada, A. Zaghini. 2003. Aflatoxin B1 and
clinoptilolite in feed for laying hens; Effect on egg quality, mycotoxin
residues in levers, and hepatic mixed-function oxygenase activities.
Journal of Food Protection, 66, 860-865.
Robert, J.R. 2004. Factors Affecting Egg Internal Quality and Egg Shell Quality
in Laying Hens. Journal of Poultry Science, 4l: 16l-177
Roberts, J.R. and M. Ball. 1998. Egg Shell Qualiy, Problems, Causes and
Solutions. Published and printed at the Printing, University of New
England, Armidalle, NSW 2351. Australia.
Roland, D.A. 1988. Research Note. Egg Shell Problems: Estimates of incidence
and economic impact. Poult. Sci.67:1801-1803
Romanoff A.L. and Romanoff, A.J. 1949. The Avian Egg. John Wiley and Sons,
Inc., New York.
Rosi, P., A.J. Pescaton, A.H. Cantor, J.L. Pierse, T. Ao, L.M. Macalintal, M.J.
Ford, W.D. Krg, and H.D. Gillespie. 2009. Effect of Disstiller Dried
Grains with Solubles and Enzym Supplementation on Production
Performance and Egg Quality of laying Hens through 36 Weeks of Egg
Production. Poult. Sci. Vol. 89, E-Suppl. 1.
Samli, H.E., A. Agma and N. Senkoyln. 2005. Effect of storage time and
temperature on Egg Quality in old Laying Hens. J. of App. Poult.
Research 14:548-553
Sarica, M., S. Boga, and V.S. Yamak. 200. The effect of space allowance on
egg yield, egg quality and plumage condition of laying hens in battery
cages. Czech J. Anim. Sci. 53(8):346-353
Scanes, C.G., G. Brant and M.E. Ensminger. 2004. Poultry Science. 4th Eds.
Pearson Education, lnc.Upper Saddle River, New Yersey 07458
Scott, M.L., M.C. Nesheim, and R.S. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. 3rd
Ed. Published by M.L. Scott & Associates, Itacha, New York.
Scott, T.A. and D. Balnave (1983). Comparison between concentrated complete
diets and self selection for feeding sexually - maturing pullets at hot and
cold temperature. Br. Poult. Sci., vol 29 (3) 613-625.
Scott, T.A., R. Kampen and F.G. Silvnside. 2000. The effect of phosphorus
phytase enzyme and calsium on the performance of layer fed wheat based
diets. Ca. J. Anim.Sci 80:183-190
Sell, J.R., R. Angel, and F. Escrbano. (1987). Influence of supplemented fat on
weight of eggs and yolks during early egg production. Poult. Sci. 66:1807-
1 812.
Senkoylu, N,. H.E. Samli, A.H. Khyurek, A. Agma and S. Yasar. 2005.
Performance and Egg Characteristics of Laying Hens Fed Diets
Incorporated with Poultry By-product and Feather Meal. J. Appl. Poult.
Res. 14:542-547

104
Skrivan, M., M. Englmaierova and Skrivanova. 2010. Effect of different
phosphorus levels on the performance and egg quality of laying hens fed
wheat and maize based diets. Czech. J. Anim. Sci 55(10):420427
Strakovi, E., P. Suchy, M. Sugerkouva and M. Machacek. 2007. Positive effect of
Poult-base Diet on the Performance and Health of Laying Hens. Acta Vet
BRNO. 76:S31-S37
Suksombat, W and K. Buakeeree. 2005. Utilization of Hedge Lucerne Meal
(Desmatus virgatus) as protein in Layer Diets. Suranaree J. Sci.
Technol.13(2):181-187
Sultana, F., M.S. Islam, and M.A. Rhowlider. 2007. Effect of dietary calcium
sources and levels on egg production and egg shell quality of javanese
quail. International J. Poult Sci. 6(2):131-136
Supriyatno, E., U. Amomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Wisma Ayam. Jl. Raya Bogor Km 30
Mekarsari, Cimanggis, Depok 16952
Swiatkiewicz, S., and J. Korelaski. 2008. The Effect of Time and management
Source in the Diets for Laying Hens on Eggshell and Bone Quality.
Veterinary Medicine, 5 3( 1 0): 55 5-563
Swiatkiewicz, S., and J. Koreleski. 2008. The Effect of time and Management
Source in the Diets for Laying Hens on Egg shell and Bone Quality.
Veterinary Medicine, 53( 10):555-563
Tarasewicz, Z., D. Szezerbinska M. Ligochi, M. Wiercinska, D. Majewska and K.
Romanisym . 2006. Animal Science Paper and Report . Vol 24, No 3, p
207-216. Institute of Genetic and Animal Breeding. Jastrzetiec. Poland.
Taylor, R.E and T.G. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production. An
Introduction to Animal Science. 8Eds. Pearson Education Inc, Upper
Saddle River, New Jersey 07458
Tepe, Y., I. Akyurr, C. Ciminli, E. Mutlis, M. Caliskan (2004). Protection effect
of clinoptilolite on lead toxicity in common carp (Cyprinus carpio).
Fresenius Environmental Bulletin 13, 639-642.
USDA. Food Safety and Inspection. 2011. Sheel eggs from farm to table.
www.fsis.usda, gov/factsheets/focus_on_shell_eggs/-cached
Valkonen, 8' E. Venalainen, L. Rossow and J. Valapa. 2008. Effect of dietary
energy content on the performance of laying hens in furnished and
conventional cages. J. Poult. Sci. 87:844-852
Vitamex. 2010. Quality Eggs from Adequate Nutrition. www.vitamex.com
Voedell, J.H. 1933. Is the production of Off-flavored Eggs an Individuaal Birds
Chareacteristic. US Egg and Poultry Mag. 4:18
Wang, X and C.M. Person. 1984. Under of amino acid limitation in poultry by-
product meal. British Poult. Sci. 39:113-116
Wells, R.G. 1968. The measurement of certain egg quality characteristics: A
Review. In: Egg Quality, Edit. Carter, T.C., Oliver and Boyd, Edinberg
Wu, G., M.M. Bryant, R.A. Voitle and D.A. Rolland Sr. 2005. Effect of Dietary
Energy on Performance and Egg Composition of Bovans white and Decalb
White Hens During Phase 1. Poult. Sci. 84: l610-1615

105
Wu, G., N.M. Bryant, P. Gunawardana and D.A. Roland Sr. 2007. Effect of
Nutrient Density on Performance, Egg component, Egg solids, Egg
quality, and Profit in Eight Commercial Leghorn Strain During Phase One,
Poult. Sci., 86:691-697
Yasmeen, P., S. Mahmood, M. Hassan, N. Akhtar and M. Yaseen. 2008.
Comparative productive performance and egg characteristics of pullets and
spent layers. Pakistan Vet. J., 2008, 28(1):5-8
Yousaf, M., and N. Ahmad. 2006. Effect of Housing Systems on Production
Performance of Commercial Layers Following Induced Molting by
Aluminium Oxide Suplementation. Pakistan Vet.J, 26(3)101 - I 04
Zaman, M.A., , P Sorensen and M A R Howlider. 2004. Egg production
performances of a breed and three crossbreeds under semi-scavenging
system of management. Livestock Research for Rural Development
16(8):1-4

106

Anda mungkin juga menyukai