Disusun Oleh :
Nida Hasna Hafifah
Yuziwanti Panggabean
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar ..............................................................................................ii
Daftar isi .........................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 2
A. Latar Belakang............................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 3
c. Tujuan........................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5
A. Pengertian TSE dan CJD............................................................................. 5
1. Transmissible Spongiform Encephalopaty pada hewan .......................... 6
2. Transmissible Spongiform Encephalopaty pada manusia ....................... 7
B. Penyebab penyakit Transmissble Spongiform Encephalophaty (TSE) ....... 12
C. Gejala klinis Transmissible Spongiform Encephalophaty .......................... 13
D. Gambaran Penyakit ..................................................................................... 13
E. Cara Penyebaran Penyakit Prion ................................................................. 14
F. Pemeriksaan Fisik......................................................................................... 14
G. Pemeriksaan Laboratorium ........................................................................ 14
H. Pencegahan Transmissoble Spongiform Encephalopaty ............................ 15
I. Penatalaksanaan ............................................................................................ 15
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 17
A. Kesimpulan ................................................................................................. 17
B. Saran............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
populasi ternak, dan juga takut karena BSE dapat ditularkan dari satu makhluk
hidup kepada mahluk hidup yang lain. Sekitar 20 spesies hewan telah
didokumentasikan memiliki gejala dengan penyakit yang menyerupai BSE.
Hewan ini termasuk cerpelai, kucing, domba, rusa bagal, monyet, babi, tikus,
kambing, rusa, burung unta, cheetah, puma, dan ocelots.
BSE telah diketahui pertama kali tahun 1986 di Inggris. BSE merupakan penyakit
hewan yang dapat ditularkan kepada manusia (zoonosis) melalui konsumsi produk
asal hewan yang mengidap BSE. BSE merupakan salah satu penyakit yang
disebabkan prion dan tergolong dalam kelompok penyakit transmissible
spongiform encephalopathy (TSE). Pada manusia dikenal beberapa penyakit yang
disebabkan oleh prion, yaitu penyakit kuru, CJD (Creutzfeld Jakob Disesase),
vCJD (Variant Creutzfeld Jakob Disesase), Gerstmann-Staussler-Sheinker
Disease (GSS), dan FFI (Fatal Familial Insomnia). Beberapa teori tentang asal
timbulnya BSE dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya teori tentang adanya
perubahan pola pakan sapi dengan menggunakan tepung daging dan tulang (meat
and bone meal / MBM) yang terkontaminasi oleh agen penyebab scrapie (protein
penyebab penyakit sapi gila) pada domba dan kambing). Penyakit sapi gila ini
selalu dimasukkan ke dalam penyakit Creutzfeld-Jakob (CJ), karena penyakit ini
mirip dengan gejala penyakit yang ditimbulkan sapi gila. Hanya saja penyakit CJ
terutama menyerang pada lansia sedangkan penyakit sapi gila terjadi pada umur
relatif muda. Berdasarkan hal tersebut maka penyakit sapi gila disebut sebagai
varian baru penyakit CJ (new variant CJ). Akibat penyakit sapi gila, pada otak
terjadi perlubangan pada jaringan otak atau disebut spongious (berlubang seperti
busa).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa mengetahui transmissible spongiform encephalopathy?
2. Penyebab sapi gila bisa termasuk kedalam transmissible spongoifrom
encephalopathy?
3. Gejala klinis transmissible spongoifrom encephalopathy?
4. Cara penyebaran transmissible spongoifrom encephalopathykepada
manusia ?
3
5. Bagaimana cara pemeriksaan fisik transmissible spongoifrom
encephalopathy?
6. Bagaimana cara pemeriksaan laboratorium transmissible spongoifrom
encephalopathy?
7. Bagaimana cara pencegahan transmissible spongoifrom encephalopathy?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa transmissible spongoifrom encephalopathy
2. Untuk mengetahui cara penyebab penyakit transmissible spongoifrom
encephalopathy
3. Untuk mengetahui gejala klinik transmissible spongoifrom encephalopathy
4. Untuk mengetahui penyebaran transmissible spongoifrom encephalopathy
5. Untuk mengetahui cara pemeriksaan fisik transmissible spongoifrom
encephalopathy
6. Untuk mengetahui cara pemeriksaan laboratorium transmissible
spongoifrom encephalopathy
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Transmissible Spongiform Encephalophaty dan Creutzfeldt-
Jakob disease (CJD)
5
Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang sudah lanjut usia melalui
adanya kerusakan pada otak yang tidak diketahui alasannya. Karena, pada
dasarnya penyakitkan ini menyerang orang berusia 55 – 65 tahun. Namun,
dengan berkembangnya penyakit ini, kini terdapat vCJD atau variant Creutzfeldt
Jakob Disease yang menyerang orang – orang berusia muda atau yang berusia
dibawah 30 tahun. Orang yang berusia muda memiliki gambaran klinis yang
atapik yaitu dengan gejala psikiatrik dan sensoris yang jelas. Yaitu beberapa
penyakit yang dikarenakan abnormalitas neurokologik. Contohnya ataksia,
demensia, dan klonik otot
Penyakit CJD klasik tidak berhubungan dengan mad cow (sapi gila).
Pada dasarnya, CJD terklasifikasi menjadi 4, yaitu genetik, iatrogenik, sporadik,
dan variant. Namun, kasus yang sering terjadi adalah CJD klasik dan vCJD pada
usia muda. Berikut adalah tabel perbedaan CJD dan vCJD.
1. Transmissible Spongiform Encephalopaty pada hewan
Scrapie
Scrapie termasuk anggota dari Transmissible Spongiform
Encephalopathies (TSEs) sekelompok gangguan neurodegenerative yang
disebabkan oleh agen penyakit yang tidak konvensional karena agen
penyakit (prion) resisten terhadap perlakuan yang biasanya dilakukan untuk
penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan spora. Penyakit
yang ini disebabkan prion dan menyerang sistem syaraf pusat dari domba
dan kambing. Prion penyebab scarpie seumur hidup, dan dapat sebagai agen
scarpie walaupun mereka bersifat asimtomatik (tidak mengalami gejala
nyata). Masa Inkubasi biasanya 2 sampai 5 tahun pada domba, kasus jarang
terjadi pada domba berumur kurang dari satu tahun.
6
sehingga domba kadang bertingkah aneh dengan menggosok-gosokkan
badan pada dinding. Perubahan kondisi umum pada tahap awal, dan
penurunan berat badan yang signifikan. Bulu menjadi kering dan rapuh.
Sebagian besar hewan mati setelah dua sampai enam minggu setelah
timbulnya gejala, dan mengalami kematian ketika 6 bulan kemudian.
7
peduli akan kebersihan badannya, apatis, mudah marah, pelupa dan
bingung. Beberapa penderita merasakan mudah lelah, mengantuk, tidak bisa
tidur atau kelainan tidur lainnya.
Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang sudah lanjut usia
melalui adanya kerusakan pada otak yang tidak diketahui alasannya.
Karena, pada dasarnya penyakitkan ini menyerang orang berusia 55 – 65
tahun. Namun, dengan berkembangnya penyakit ini, kini terdapat vCJD
atau variant Creutzfeldt Jakob Disease yang menyerang orang – orang
berusia muda atau yang berusia dibawah 30 tahun. Orang yang berusia
muda memiliki gambaran klinis yang atapik yaitu dengan gejala psikiatrik
dan sensoris yang jelas. Yaitu beberapa penyakit yang dikarenakan
abnormalitas neurokologik. Contohnya ataksia, demensia, dan klonik otot.
8
Penyakit CJD klasik tidak berhubungan dengan mad cow (sapi
gila). Namun, mad cow berhubungan dengan penyakit vCJD. Karena pada
dasarnya, CJD terklasifikasi menjadi 4, yaitu genetik, iatrogenik, sporadik,
dan variant. Namun, kasus yang sering terjadi adalah CJD klasik dan
vCJD pada usia muda. Berikut adalah tabel perbedaan CJD dan vCJD.
9
protease
Kuru
Kuru diketahui disebabkan adanya transmisi materi otak yang dimakan
ketika ritual berkabung. Terjadi di New Guinea karena adanya praktek
10
kanibalisme. Gejala-gejala termasuk kehilangan koordinasi otot dan
kesulitan berjalan. Tangan dan kaki menjadi kaku, dan otot kejang. Gerakan
tanpa sengaja yang tidak normal, seperti gerakan yang berulang-ulang,
menggeliat lambat atau menghentak keras pada anggota gerak dan badan,
bisa terjadi (kuru berarti menggigil). Emosi bisa berubah tiba-tiba dari sedih
sekali sampai senang sekali dengan tiba-tiba tertawa meledak-ledak. Orang
dengan kuru menjadi gila dan kadangkala tenang, tidak bisa bicara, dan
tidak bereaksi terhadap sekelilingnya. Kebanyakan orang meninggal sekitar
3 sampai 24 bulan setelah gejala-gejalanya terlihat.
11
.
12
yang digunakan untuk sebagian besar instrumen bedah). Hal ini juga percaya
bahwa jika mengkonsumsi makanan dari hewan yang terkena prion, dapat
menyebabkan prion menumpuk perlahan-lahan pada syaraf manusia dan
menyebabkan pembentukan lubang pada jaringan otak seperti spobs maka disebut
spongiform encephalophaty.
D. Gambaran Penyakit
Gambaran penyakit yang disebabkan oleh viroid atau prion ditandai oleh :
1. Berhubungan dengan kelainan susunan saraf pusat
2. Masa inkubasi berlangsung lama
3. Manifestasinya sangat preoresif dan bersifat fatal
4. Gambaran histologinya terjadi gliosis, vacuolation dari sel-sel neuron
5. Peningkatan protein pada sel-sel otak.
13
E. Cara Penyebaran Penyakit Prion
1. Dari hewan ke hewan, melalui pemberian makan hewan yang berasal dari
hewan sakit (serbuk tulang, dll).
2. Hewan ke manusia, melalui makanan yang berasal dari hewan (sapi) yang
sakit BSE, material medis & produk hewan seperti: enzim, kapsul, vaksin
yang menggunakan biakan sel otak yang berasal dari hewan sakit.
3. Manusia ke Manusia, melalui jalur Iatrogenik seperti transplantasi kornea,
penggunaan electrode pada EEG, alat-alat nekropsi terkontaminasi,
hormon pituitary, dan transfusi.
F. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan beberapa gejala berikut:
- Kemunduran fungsi mental yang terjadi cepat
- Kedutan otot dan kejang (mioklonus). Ketegangan otot meningkat
atau bisa ter jadi kelemahan dan penyusutan otot
- Refl eks abnormal atau peningkatan respons refl eks normal
- Terganggunya lapang pandang
- Gangguan koordinasi yang berhubungan dengan perubahan persepsi
visuo-spasial dan perubahan serebelum
- Elektroensefalografi
- MRI otak
G. Pemeriksaan Laboratorium
Saat ini uji laboratorium spesifik yang bersifat definitf (golden atandard)
untuk diagnosis BSE atau TSE adalah pewarnaan imunohistokimia terhadap
jaringan otak. Uji-uji lain yang sedang dikembangkan yaitu uji untuk
mendeteksi prion yang terdapat dalam darah, tonsil, dan cairan
serebrospinal. Hasil pewarnaan imunohistokimia terhadap jaringan otak hewan
terinfeksi menunjukkan adanya plak yang menyerupai amiloid. Akumulasi
prion terdapat pada plak tersebut. Sedangkan hasil pewarnaan hematoksilin-
14
eosin menunjukkan degenerasi syaraf yang membentuk lubang atau vakuola
yang disertai astrositosis (Kudesia dan Wreghitt 2009).
Bovine spongiform encephalophathy (BSE) atau Transmissible
Spongiform Encephalophaty biasanya didiagnosis dengan mendeteksi prion di
SSP terutama di bagian obex. Obex merupakan bagian batang otak yang
berbentuk V. Akumulasi prion banyak ditemukan pada bagian obex tersebut.
I. Penatalaksanaan
Tidak ada perawatan kuratif untuk TSE. Banyak obat diuji dalam kultur
sel atau pada hewan: antibiotik, antiviral, antijamur, modulator respons imun,
hormon, antimitotik, polianion. Beberapa molekul ini meningkatkan durasi
inkubasi pada hewan namun tidak berpengaruh pada gejala klinis dan
Masalah fatal dari penyakit ini. Penelitian yang sedang berlangsung bertujuan
untuk mengembangkan molekul yang berinteraksi dengan struktur PrP atau
pada pengujian imunisasi untuk mengembangkan vaksin. Percobaan kontrol
15
acak sulit dilakukan pada penyakit langka dan membutuhkan kerjasama
internasional. Pada tahun 2001, laporan kemungkinan efek kuinacrine, obat
antiparasitik, menyebabkan banyak negara memberi wewenang penggunaan
molekul ini dengan penuh rasa kasih dalam perawatan TSE. Tidak ada
perbaikan signifikan yang dilaporkan, Pengobatan TSE saat ini tetap
simtomatik dan membutuhkan perawatan yang seksama di rumah atau di
rumah sakit.
TSE adalah penyakit yang menular yang tidak pasti. Pada tingkat klinis,
beragam dan beragam gejala kontras bentuk sporadis dengan fenotipe
stereotip Kuru, CJD iatrogenik setelah hGH dan vCJD. Hal ini menimbulkan
pertanyaan tentang berbagai jenis prion atau rute propagasi agen. Untuk
membatasi penularan penyakit dan untuk mengembangkan prosedur
terapeutik, tetap penting untuk mengembangkan tes diagnostik awal.
Diagnosis CJD memang harus dilakukan sesegera mungkin karena tindakan
pencegahan tertentu, yang harus dihormati: dekontaminasi atau insinerasi
bahan tertentu, pengecualian sumbangan darah.
16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Transmissible Spongiform Encephalopathies (TSEs) merupakan penyakit
yang menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala histopatologik utama
terbentuknya lubang-lubang kosong di dalam sel-sel otak, yang kemungkinan
dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam istilah
kedokteran disebut Subacute Spongiform Encephalopathy (SSE).
Penyakit Spongiform Encephalophaty disebabkan oleh partikel yang
menyerupai virus yang disebut prion atau viroid. Dan penyakit ini dapat
menyerang pada hewan dan manusia.
Creutzfeldt-Jakob disebabkan kelainan otak yang ditandai dengan
penurunan cepat fungsi mental disertai kelainan motorik.. Penyakit mirip
Creutzfeldt-Jakob terjadi pada domba (Scrapie) dan sapi (penyakit sapi gila).
Penularan antar binatang masih belum jelas dan kasus pada manusia terjadi jika
memakan daging hewan yang terinfeksi.
B. SARAN
Penulis menyarankan agar pembaca memperhatikan dan memahami transmisi
dan sumber infeksi dari penyakit diatas untuk menghindari terjadinya infeksi baik
pada manusia maupun pada hewan. Kontrol pada setiap hewan juga diperlukan
untuk meminimalisir terjadinya penyakit ini.
17
DAFTAR PUSTAKA
18