Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Oleh :
Friska Juliarty Koedoeboen

Pembimbing :
dr.Desidera Husadani , SpKK

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Periode 18 April – 22 Mei 2021
BAB I
Pendahuluan

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap
pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menyebabkan kelainan klinis berupa efloresensi
polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Dermatitis
juga diklasifikasikan atas 2 tipe yaitu: endogen dan eksogen. Dermatitis endogen terdiri dari
dermatitis atopik, dermatitis seboroik, liken simpleks kronis, dermatitis non spesifik (pompoliks,
dermatitis numuler, dermatitis xerotik, otosensitisasi), dan dermatitis akibat obat. Dermatitis
eksogen terdiri dari dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergik, dermatitis infektif, dan
dermatofitid.

Dermatitis kontak adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang disertai dengan adanya
spongiosis/edema interseluler pada epidermis karena kulit berinteraksi dengan bahan-bahan
kimia yang berkontak atau terpajan dengan kulit. Bahan-bahan tersebut dapat bersifat toksik
ataupun alergik. Dermatitis kontak iritan sering terjadi pada pekerja yang sering melakukan
pencucian tangan berulang atau paparan berulang pada kulit berupa air, bahan makanan, dan
berbagai zat yang dapat mengakibatkan iritasi ataupun alergik.

Penelitian yang dilakukan di rumah sakit DR. R. D. Kandou di Manado menunjukkan


bahwa dermatitis kontak terbanyak didapati pada umur 45-64 tahun. Pada penelitian yang
dilakukan di RSUP Kariadi di Semarang, didapati bahwa kejadian dermatitis kontak alergi lebih
banyak dialami para wanita dari pada laki-laki dan paling banyak pada umur >30 tahun dan lesi
yang paling banyak terdapat di wajah. Penelitian yang dilakukan pada karyawan binatu, di
Semarang didapati bahwa dari 50 responden terdapat 28 orang terkena dermatitis kontak akibat
kerja. Hasil penelitian yang dilakukan pada penari studio fantasi Ancol sebanyak 85 pekerja dari
104 pekerja, didapati bahwa 30,8 % tidak mengalami dermatitis kontak, sedangkan yang
mengalami dermatitis kontak akibat kosmetik 61,2% dimana diataranya 48,2% mengalami
dermatitis kontak iritan dan 12,9% mengalami dermatitis kontak alergi.

Pada penelitian yang dilakukan di Thailand tepatnya di rumah sakit Siriraj, terdapat 852
kasus dermatitis kontak alergi dimana 206 laki-laki dan 646 perempuan dengan umur rata-rata
39,14 tahun. Alergen yang paling sering adalah gold sodium thiosulfate (30,7%), nikel (27,6%),
parfum (18,3%) dan kobalt klorida (16%). Emas dan parfum lebih sering menimbulkan alergi
pada wanita terutama didaerah kepala dan leher. Beberapa studi di Eropa menunjukkanpekerjaan
yang sangat beresiko terkena dermatitis kontak ialah penata rambut, tenaga kesehatan dan
pekerjaan yang berhubungan denganlogam atau pekerja mesin. Angka insidensi dermatitis
kontak di Jerman adalah 4.5 kasus per 10.000 pekerja yang terkena dermatitis kontak
iritandibandingkan dengan 4,1 per 10.000 pekerja yang terkena dermatitis kontak alergi.
Pada penelitian yang di lakukan di rumah sakit St. Spridon Emergency Hospital di Rumania, dari
353 pasien di tahun 2006-2009 didapatkan bahwaperempuan lebih banyak terkena dermatitis
kontak yaitu 60,27% . Daerah yang paling banyak terkena yaitu wajah (25%) dan tangan
(19,07%), dimana 80-90% terjadi akibat kerja.
BAB II
Dermatitis

Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menyebabkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.
Tanda polimorfik tidak selalu terjadi bersamaan, bahkan mungkin hanya satu jenis misalnya
hanya berupa papula (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Sinonim
dermatitis ialah eksim. Ada yang membedakan antara dermatitis dan eksim, tetapi pada
umumnya menganggap sama.1

Epidemiologi
Kejadian dermatitis di dunia sangat banyak di jumpai, saat ini diketahui bahwa angka
kejadian dermatitis mencapai angka yang cukup tinggi, yaitu hampir 60% penduduk dunia
mengalami dermatitis terutama didaerah tropis yang beriklim panas dan lembab. Penelitian
WHO tentang penyakit kulit di 5 negara, memperlihatkan bahwa jumlah penderita dermatitis
sangat tinggi terutama di Amerika Serikat yang jumlah penderitanya mencapai 15 juta orang,
dimana 60% dari jumlah tersebut terjadi pada usia di bawah 12 tahun, 30% terjadi sebelum usia
5 tahun. Dermatitis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor lingkungan, dan
berkaitan erat dengan penyakit atopic pada organ lain seperti rhinitis alergika pada penderita
sendiri ataupun keluarganya, dan kejadian dermatitis di beberapa negara di dunia termasuk
Indonesia menunjukkan angka kejadian dermatitis yang tidak sedikit. Data di Inggris
menunjukkan bahwa dari 1,29 kasus/1000 pekerja merupakan dermatitis akibat kerja, jika
ditinjau dari jenis penyakit kulit maka lebih dari 95% merupakan dermatitis kontak.
Berdasarkan data gambaran kasus penyakit kulit dan subkutan lainnya di Indonesia,
dermatitis merupakan peringkat ketiga dari sepuluh penyakit utama dengan 86% adalah
dermatitis diantara 192.414 kasus penyakit kulit di beberapa Rumah Sakit Umum di Indonesia
tahun 2011. Prevalensi dermatitis di Indonesia cukup tinggi yaitu mencapai 67,8%. Dimana di
Provinsi Kalimantan Selatan (13%), diikuti Sulawesi Tengah (10,58%), DKI Jakarta (9,99%),
NTT ( 9,99%), Aceg (9,88%), Sulawesi Tenggara (6,22%). Prevalensi terendah terdapat di
Provinsi Sulawesi Barat yaitu (2,57%).2

Etiologi

Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar tubuh (eksogen), misalnya bahan kimia
(contoh:detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar, suhu), mikroorganisme (bakteri, jamur)
dan dapat pula dari dalam tubuh (endogen), misalnya dermatitis atopic. Sebagian lain etiologinya
tidak diketahui pasti.1

Klasifikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan klasifikasi
dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya multi faktor, tetapi juga karena seseorang dapat
mengalami lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu yang bersamaan. Ada yang memberi nama
berdasarkan etiologi (dermatitis kontak, radiodermatitis, dermatitis medikamentosa), morfologi
(dermatitis madidans, dermatitis eksfolivata), bentuk (dermatitis numularis), lokalisasi
(dermatitis tangan, dermatitis intertriginosa), dan ada pula yang berdasarkan stadium penyakit
(dermatitis akut, dermatitis kronis).1

Patofisiologi
Banyak dermatitis yang belum diketahui dengan pasti patogenesisnya, terutama yang
penyebabnya faktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah dermatitis kontak (baik tipe
alergik maupun iritan) dan dermatitis atopic.1

Gejala Klinis
Pada umumnya pasien dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
stadium penyakit, dapat sirkumskrip, dapat pula difus, dengan penyebaran setempat, generalisata
dan universalis. Pada stadium akut, kelainan kulit dengan gambaran klinis berupa eritema,
edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak membasah. Pada stadium subakut,
eritema dan edema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis
lesi tampak kering, berbentuk skuama, hiperpigmentasi, papul dan likenifikasi, meski mungkin
juga masih terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu
berurutan, bisa saja suatu dermatitis sejak awal memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit
stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensi tidak selalu harus polimorfik, mungkin hanya
oligomorfik.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan histologi
Perubahan histologic dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis, bergantung pada
stadiumnya. Pada stadium akut, kelainan di epidermis berupa spongiosis, vesikel atau bula,
edema intrasel, dan eksositosis terutama terdiri atas sel mononuclear. Dermis sembab, pembuluh
darah melebar, sebukan sel radang terutama sel mononuclear, eosinophil juga dapat ditemukan,
bergantung pada penyebab dermatitis.
Gambaran histologic pada stadium subakut hampir seperti stadium akut, terdapat
spongiosis, jumlah vesikel berkurang, epidermis mulai menebal (akantosis ringan), tertutup
krusta, stratum korneum mengalami parakeratosis setempat, eksositosis berkurang, edema di
dermis berkurang, vasodilatasi masih tampak jelas, masih terdapat sebukan sel radang dan
jumlah fibroblast mulai meningkat.
Epidermis pada stadium kronis menebal, disertai penebalan stratum korneum
(hyperkeratosis dan parakeratosis setempat), reteridges memanjang, kadang ditemukan
spongiosis ringan, eksositosis ringan, pigmen melanin bertambah terutama di sel basal. Papilla
dermis memanjang (papilomatosis), disertai penebalan dinding pembuluh darah. Dermis bagian
atas terutama sekitar pembuluh darah bersebukan sel radang mononuclear, jumlah fibroblast
bertambah disertai penebalan serabut kolagen.1

Penatalaksanaan
Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menghindari penyebabnya. Akan
tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multifactor, sehingga kadang sulit untuk mengetahui
penyebabnya dengan pasti. Oleh karena itu, umumnya pengobatan bersifat simtomatis, yaitu
dengan menghilangkan atau mengurangi keluhan dan gejala serta menekan peradangan.
Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin. Pada kasus akut dan berat dapat
diberikan kortikosteroid. Prinsip umum terapi topical sebagai berikut:
1. Dermatitis akut/basah (madidans) diobati secara basah (kompres terbuka). Bila subakut,
diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum (pasta pendingin). Krim
diberikan pada daerah yang berambut, sedangkan pasta pada daerah yang tidak berambut.
Pada kelainan yang kronik dapat diberikan salap
2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah persentase obat spesifik yang
digunakan, misalnya kortikosteroid.1
BAB III
Dermatitis Kontak

Dermatitis Kontak Iritan


DKI merupakan reaksi peradangan lokal non imunologik pada kulit yang disebabkan oleh
kontak dengan faktor eksogen maupun endogen, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses sensitisasi.1
Epidemiologi
Data National Health Interview Survei selama 12 Bulan menunjukkan prevalensi
dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 1.700 per 100.000 pekerja.
Menurut studi lain, kejadian tertinggi dermatitis kontak pada bidang industri adalah pada bagian
sumber daya alam dan pertambangan, manufaktur, dan bagian pelayanan kesehatan dimana 70-
80% dari kasus dermatitis kontak adalah DKI.1
DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis
kelamin. Jumlah penderita dermatitis ini diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan
dengan pekerjaan, akan tetapi data epidemiologi penderita DKI sulit didapat. Hal ini disebabkan
oleh banyak penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh.3
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa
249.000 kasus penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yang tidak fatal pada tahun 2004
untuk kedua jenis kelamin sebesar 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan
penyebab terbesar kedua untuk semua penyakit akibat kerja (okupasional). Juga berdasarkan
survei tahunan dari institusi yang sama, bahwa angka kejadian untuk penyakit akibat kerja pada
populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90- 95% dari penyakit okupasional adalah dermatitis
kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya adalah DKI.3
Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain
ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus
atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan
trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.1
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan
lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.
1. Faktor Endogen, antara lain :
 Faktor genetik
Terdapat sebuah hipotesa yang mengungkapkan bahwa individu memiliki kemampuan
mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim antioksidan, dan kemampuan
untuk membentuk perlindungan heat shock protein yang kesemuanya dibawah kontrol
genetik. Faktor tersebut juga menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-
bahan iritan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda
untuk setiap bahan iritan. Diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi
kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan sebagai marker
untuk kerentanan terhadap dermatitis kontak iritan.
 Jenis Kelamin
Gambaran klinik DKI paling banyak pada tangan, dan wanita dilaporkan paling banyak
dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit,
wanita lebih banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan
daripada laki-laki. Tidak ada perbedaan jenis kelamin untuk DKI yang ditetapkan
berdasarkan penelitian.
 Umur
Anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi. Ada penelitian lain yang
menyatakan iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada orang tua sementara
iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan) meningkat pada orang muda
 Suku
Karena eritema sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema
sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada
kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap bahan iritan daripada
kulit putih.
 Lokasi Kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan, sehingga kulit
wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan terhadap DKI jika
dibandingkan telapak tangan dan kaki yang lebih resisten
 Riwayat Atopik
Adanya riwayat atopik diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis iritan pada
tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan peningkatan
kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya
fungsi pertahanan, dan lambatnya proses penyembuhan. Pada pasien dengan dermatitis
atopi misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.
2. Faktor Eksogen
Faktor-faktor yang dimaksudkan yaitu:
a. Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah,
polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan;
b. Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan
serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya;
c. Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik
seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu
dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih
rentan pada bahan iritan.3,4
Patogenesis
Mekanisme seluler DKI masih belum diketahui. Kelainan kulit timbul akibat kerusakan
sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak
lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak pada lapisan tanduk, dan mengubah
daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit,
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau
komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat,
diasilgliserida, platelet activating factor (PAF), dan inositida. Asam arakidonat diubah menjadi
prostaglandin dan leukotrien. Prostaglandin dan leukotrien menginduksi vasodilatasi, dan
meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin.
Prostaglandin dan leukotrien juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan
neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, leukotrien dan prostaglandin lain, dan
PAF, sehingga memperkuat perubahan vascular.
Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage colony stimulant factor (GMCSF).
IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi intrasel-1 (ICAM-1). Pada
kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFα, suatu sitokin proinflamasi yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan
pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya
kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya,
sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.1,5

Maninfestasi klinis

DKI dibagi berdasarkan sifat iritan. Selain itu juga banyak hal yang mempengaruhi sebagaimana
yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, DKI
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :

1. DKI Akut
DKI akut biasanya diakibatkan kecelakan kerja, terjadi ketika kulit terkena iritasi kuat.
Reaksi iritasi mencapai puncaknya dengan cepat, biasanya dalam beberapa menit sampai
beberapa jam setelah paparan, dan kemudian mulai untuk menyembuhkan. Ini disebut
fenomena decrescendo.1
Gambar 1. caustic 'luka bakar' dari semen basah

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk DKI akut. Penyebab DKI akut adalah
iritan kuat misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya
natrium dan kalium hidroksida. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan
lamanya kontak dengan iritan yang terbatas pada tempat kontak. Gejala DKI akut berupa
kulit yang terasa terbakar, pedih, panas, kelainan yang terlihat berupa eritema edema,
bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya
asimetris.1,5
Gambar 2. DKI akut akibat perendaman dalam pemutih
2. DKI Lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8 sampai
24 jam atau lebih setelah kontak sehingga menyerupai DKA, namun gejala yang lebih
sering dikeluhkan adalah rasa terbakar dibandingkan pruritus. Bentuk DKI umumnya
terlihat selama uji diagnostik patch.1,3 Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut
lambat, misalnya podofilin, antralin (dithranol), tretinoin, etilen oksida, benzalkonium
klorida, asam hidrofluorat. Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh bulu
serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa
pedih esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel
atau bahkan nekrosis.1
3. DKI Kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lainnya ialah DKI kronis.
Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisik misalnya
gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin, juga bahan misalnya
deterjen, sabun, pelarut, tanah bahkan juga air).5
. Gambar 3. DKI bilateral pada kaki dan pergelangan kaki karena alas kaki yang bersifat oklusif
kronis

DKI kumulatif mungkin terjadi akibat gabungan berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan
secara sendiri tidak cukup kuat untuk menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru dapat terjadi
iritan bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru terlihat setelah kontak berminggu-
minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor penting.5

Gambar 4. Pola iritasi di sela jari berupa ekzema

Berbeda dengan DKI akut, batas lesi pada DKI kronis kurang jelas. Gejala DKI kronis
berupa pruritus dan nyeri akibat retakan kulit yang hiperkeratotik. Tanda-tanda mungkin terlihat
yaitu xerosis, eritema dan vesikel, tetapi likenifikasi dan hiperkeratosis lebih mendominasi.
Bila kontak terus berlangsung, pada akhirnya kulit akan menjadi retak seperti luka iris
(fisura), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan
deterjen. Keluhan penderita umumnya merasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisura). Ada
kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritemi, sehingga diabaikan oleh
penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru mulai diperhatikan.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak
ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh.
Contoh pekerjaan yang beresiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu; tukang cuci, kuli
bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut.1,5
4. Reaksi Iritan

Gambar 5. ekzema berbentuk 'diskoid' yang mempengaruhi


punggung tangan penata rambut. Faktor iritan, konstitusional dan alergi sering terjadi
bersamaan
Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang terpapar lingkungan
pekerjaan yang basah, misalnya penata rambut , katering, dan pekerja logam dalam beberapa
bulan pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama, eritema, vesikel,
pustule, dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri menimbulkan penebalan kulit (skin
hardening), kadang dapat berlanjut menajdi DKI kumulatif.1

Gambar 6. Palmaris kering atau dermatitis disepanjang jari. Sering dikaitkan dengan
pekerjaan basah

5. DKI Traumatik
DKI traumatik dapat berkembang setelah trauma kulit akut, seperti panas atau
laserasi, luka atau DKI akut. Pasien harus ditanya apakah mereka telah membersihkan
kulit dengan sabun atau deterjen yang kuat. Hal ini ditandai dengan lesi ekzema, paling
sering terjadi di tangan. Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat,
berlangsung selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, paling cepat 6 minggu
dengan kemerahan, infiltrasi, skala dan fisura di daerah yang terpapar.1
6. DKI Noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, dengan tahap awal iritasi
kulit ditandai perubahan dalam fungsi sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan
klinis.5
7. DKI Subyektif (DKI sensorik)
Kelainan tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau
terbakar (panas) yang terjadi dalam beberapa menit setelah kontak dengan bahan kimia
tertentu, misalnya asam laktat atau sorbat, kosmetik atau tabir surya.5
8. DKI Gesekan (Friksi DKI)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan yang
berulang. DKI gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah, hal ini juga
diketahui mempunyai peran dalam membantu terjadinya DKA dan DKI.
Respon gesekan menyebabkan terjadinya hiperkeratosis, akantosis dan likenifikasi,
dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura dan gatal pada daerah yang
terkena gesekan. DKI gesekan bisa hanya mengenai telapak tangan dan sering kali
terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak
gatal. Secara klinis, DKI gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujung
jemari tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi.5
Histopatologik
Gambaran histopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer),
dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah
dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel, dan
akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan epidermis dapat
menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit dan
neutrophil.1
Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis
yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga
penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI
kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga
ada kalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk itu diperlukan uji
tempel dengan bahan yang dicurigai.1
1. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada
anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien. Anamnesis yang dapat
mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah:
a. Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut. DKI
lambat dikarakteristikkan oleh penyebab pajanannya, seperti benzalkonium klorida
(biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24
jam setelah pajanan.
b. Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada DKI
kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu
bahan iritan yang merusak kulit.
c. Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat
pruritus yang terjadi
2. Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik bisa ditegakkan dengan melihat lesi berdasarkan Diagnostic
Criteria of Irritant Contact Dermatitis.4
Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis kontak iritan. Ruam kulit
biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat memberikan
indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Tidak ada tes spesifik yang dapat
memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan.
Dermatitis kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek berbagai
iritan.
Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan kontak dermatitis
dan digunkana untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi yang digunkan harus tepat. Jika terlalu
sedikit, dapat memberikan hasil negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu
tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam,
hasilnya dilihat dan reaksi positif dicata. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan
pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka
dapat didiagnosis sebagai DKI. Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis dengan
dermatitis kontak yang rekuren.
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder bakteri.
Pemeriksaan KOH dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikologi pada infeksi
jamur superfisial infeksi kandida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan morfologi dari lesi.
Pemeriksaan IgE untuk memeriksa peningkatan imunoglobulin E yang dapat mendukung adanya
riwayat atopik.6
Diagnosis banding
DKA berbeda dengan DKI. Pada DKA, terdapat sensitasi dari iritan. Gambaran lesi
secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah interpretasi ulang antigen oleh sel T
(memori), dan keluhan utama pada penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena
pajanan.
(a) (b) (c)
Ket :
(a) DKA akut pada pasien alergik menggunakan akrilat pada industri percetakan;
(b) kulit kering, bersisik dengan fisura pada dematitis kontak kronik;
(c) DKA dengan bahan nikel pada kancing jeans berbahan metal.

Pada yang akut, lesi dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedakan dengan DKI kronis, mungkin penyebabnya juga campuran.1 Pada patch tes,
didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan,dan sensitifitasnya berkisar antara 70 ±
80%.7

Dermatitis Atopi merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak- anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita.
Kejadiannya lebih meluas dibandingkan dermatitis kontak dan distribusinya mengikuti
permukaan fleksor.
(a) (b)

Gambar. (a) likenifikasi pada anak muda dengan dermatitis atopik, tanda pada kulit yang
berlebih-lebihan terlihat pada permukaan lengan ekstensor; (b) dermatitis tangan kronis yang
sangat parah pada orang dewasa dengan dermatitis atopik

Tinea pedis biasanya terjadi di antara jari kaki, tapak kaki, dan bagian pinggir atau tepi kaki,
tetapi tinea pedis juga dapat menyebar pada bagian dorsum dari kaki. dermatits kontak biasanya
terjadi pada dorsum pedis. Jika ragu, dapat dilakukan pemeriksaan KOH.5-7

(a)
(b)
Gambar. (a) tinea pedis menyebar pada bagian dorsum dari kaki; (b) kulit kering tipe infeksi
trikopiton rubrum

Penatalaksaan
Beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita DKI adalah sebagai berikut:
 Hal penting pengobatan DKI adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat
mekanik, fisis maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal
ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI
tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup
dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
 Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal,
misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan
kortikosteroid yang lebih kuat.
 Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan
bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan.4

Prognosis
Prognosis untuk DKI adalah baik jika penyebab iritasi dapat diketahui dan dieliminasi.
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka
prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya
multifaktor, juga pada penderita atopic.1

Dermatitis Kontak Alergi

I. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat
mengaktivasi reaksi alergi.7

II. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis
kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di
masyarakat (Djuanda, 2003). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi
akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh
dermatitis kontak akibat kerja (DKAK). Angka kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih
tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan.8
II.1 Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.9
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus
Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron
mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols.
Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen,
pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan
kimia fotografi).
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya antara
lain:
a. Faktor eksternal:
1) Potensi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lamapajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya : ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null pada kompleks
gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi.7,8
III. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed
hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi.1,5
Fase Sensitisasi
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu
mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya (Djuanda, 2003). Perubahan
ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten
(alergen yang memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi
tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini
kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting
cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009).
Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan
antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh,
juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase
induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.5
Gambar. Patogenesis dermatitis kontak alergi
Sumber : Health and Safety Executive, 2000
Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan
sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan
mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi
melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,
kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2)
oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan
sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut
berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga
histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa
mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau
meredakan peradangan. 10,11
IV. Gejala Klinis
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas,
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini
sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga
campuran. 5
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu
(phenyl – isopropyl – p - phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis purpura, dan
derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat
disebabkan oleh parfum dan kosmetik.5
IV.1 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis
yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal. Pertanyaan mengenai kontaktan yang
dicurigai didasarkan kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam
(nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat
topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya. Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 5.1 berikut.8-10
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA
dapat dilihat pada tabel 5.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan
oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di
tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit
lain karena sebab-sebab endogen.8-10
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam
keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah
dermatitis tersebut karena kontak alergi.8
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara
rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk
uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara
rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus
diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan
dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya
deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu,
atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan
potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn Chamber, dibiarkan
sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan
standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi.9
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel :
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi „angry back‟ atau „excited skin‟ reaksi
positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin
memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain),
sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan
pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar
(tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga
dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu
kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama
dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau
minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut.9
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau
96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen.
Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada
pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi. Untuk
menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua.
Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari
+/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung
menurun (reaksi tipe decrescendo). 8-10
5.2 GOLD Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji tempel.
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel
diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau
lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi.
Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang
dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak
standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui.10
V. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak
menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak
alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang bersentuhan
dengan alergen
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris, pakaian
atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-
4mg/dosis, sehari 2-3kali untuk dewasadan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak –
anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin atau
eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari

3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko
terhadap paparan allergen.6

VI. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis
yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia).
Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin
dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan
penderita.5

VII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi
kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah
warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus).4

BAB IV
Dermatitis Atopik

DEFINISI
Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif,
disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama pada bayi (fase infantile) dan
fleksural ekstremitas (pada fase anak), dan sering berhubungan dengan peningkatan serum IgE
dan adanya riwayat atopi, rhinitis alergi dan atau asma pada penderita atau keluarganya.1
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis atopic (DA) merupakan penyakit yang sering terjadi dan dapat ditemukan
pada seluruh dunia. Prevalensi DA semakin meningkat, terutama di Negara industry, dengan
perkiraan prevalensi pada anak sekitar 15-20% serta 1-3% pada orang dewasa. 3 DA dapat
mengenai semua kelompok usia, namun sebagian besar manifestasi klinis muncul pada 1 tahun
pertama kehidupan atau masa kanak-kanak dan lebih sering dijumpai pada perempuan
dibandingkan laki-laki (1.3:1).13 Insiden dan prevalensi DA sangat bervariasi, contoh prevalensi
DA yang diteliti di Singapura tahun 2002 menggunakan kriteria United Kingdom (UK) Working
Party pada anak sekolah (usia 7-12 tahun) sebesar 20.8% dari 12.323 anak. Di Negara
berkembang, 10-20% anak menderita dermatitis atopic dan 60% diantaranya menetap sampai
dewasa.12
Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensi DA semakin bertambah
sejak perang dunia II, dimana 90% kasus DA memiliki onset sebelum usia 5 tahun, 60%
penderita DA mulai memberikan gejala pada tahun perttama kehidupan dan 20% menjadi
penyakit rekuren seumur hidup. Avgerinou, dkk (Amerika Serikat 2008) melaporkan data DA di
AMerika Utara memperlihatkan perbedaan antar ras. Nurdin AR (Makasar 2011) melaporkan
data RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia di Makassar menemukan peningkatan
jumlah kasus DA secara berturut-turut pada dewasa dari tahun 2004 sampai 2006.14
ETIOPATOGENESIS
Etiologi dan pathogenesis DA sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. DA
merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor intrinsic dan ekstrinsik. Faktor intrinsic
meliputi suseptibilitas genetic, disregulasi sistem imun, dan disfungsi sawar kulit yang
merupakan faktor predisposisi. Faktor ekstrinsik sering kali sebagai faktor pencetus dalam
mekanisme terjadinya DA. Faktor pencetus DA adalah stress, berkeringat, iritan,
infeksi/mikroorganisme, xerosis, garukan, aeroallergen, makanan dan iklin. Infeksi yang dapat
mencetuskan DA adalah infeksi jamur, virus dan bakteri. Kulit kering merupakan gejala klinis
penting pada DA. Hal ini disebabkan adanya gangguan pada sawar epidermal water loss
(TEWL), penurunan hidrasi stratum korneum dan peningkatan penetrasi substansi yang berasal
dari luar sehingga memudahkan terjadinya penetrasi antigen ke kulit.14
Hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
Penyebab terjadinya DA merupakan hasil interaksi komplek antara kelainan genetic yang
menyebabkan terganggunya swar kulit, gangguan pada sistem imun bawaan, dan respon
imunologik yang meningkat terhadap allergen. Penyebab tersebut dapat dibagi dalam:12, 14,15
A. Faktor intrinsik, meliputi beberapa faktor: genetic (familial, mutasi gen flaggrin),
gangguan fungsi sawar kulit, imunologis (disregulasi faktor imun:innate dan adaptif,
autoalergen), psikologis.
B. Faktor ekstrinsik: lingkungan, misalnyai berbagai bahan iritan, polutan, allergen hirup
maupun makanan.

Dermatitis atopic berat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat menurunnya
fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lorikrin), berkurangnya volume seramid
serta meningkatnya enzim proteoltik dan trans-epidermal waterloss (TEWL). TEWL pada pasien
DA meningkat 2-5 kali orang normal. Sawar kulit dapat juga menurun akibat terpajan protease
eksogen yang berasal dari tungau debu rumah (house dust mite) dan superantigen
Staphylococcus aureus (SA) serta kelembapan udara. Perubahan sawar kulit mengakibatkan
peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas terhadap allergen (misalnya allergen hirup tungau
debu rumah). Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan air (skin
capacitance), serta perubahan komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit DA lebih kering
dan sensitivitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal
menimbulkan erosi atau ekskoriasi yang mungkin dapat meningkatkan penetrasi mikroba dan
kolonisasi mikroba di kulit. Peningkatan hipersensitivitas tersebut berdampak pula pada
meningkatnya DA terhadap alergen di kemudian hari.12,14
Abnormalitas imunologi
Sistem imunitas tubuh merupakan proses pertahanan tubuh terhadap antigen yang masuk.
Imunitas tubuh bersifat sangat komplek dan melibatkan berbagai sel imun dan sitokin. Pada
prinsipnya sistem imun bergantung pad tiga jenis sel imun yaitu: (a) antigen presenting cell
(APC), (b) antigen yang dapat dikenal sel, (c) sel yang membentuk antibody. Kemampuan sistim
imun tubuh manusia tidak hanya dipengaruhi oleh fungsi sel-sel yang berkompeten tetapi juga
bergantung pada produk yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut. Sel-sel imun tubuh yang bekerja
terus-menerus dan berulang meliputi makrofag/Langerhans, sel T natural killer (NK), sel B dan
sel T helper. Dermayitis atopic terjadi akibat aktivasi sel T yang berlebihan.14
Faktor genetic
Secara genetic terdapat 2 kelompok gen yang mendasar penyakit DA. Kelopok gen pertama
berhubungan dengan organ target, yaitu epidermal kulit seperti mutasi gen filargin (gen FLG).
Gen ini terletak pada kromoson 1q21, dimana gen ini berperan dalan diferensiasi akhir
epidermis. Kelompok gen kedua berhubungan dengan regulasi respon imun seperti sel T,
presentasi antigen, atau regulasi sintesis IgE. Mutasi gen ini menyebabkan masuknya protein
antigen yang bersifat imunogenik ke dalam epidermis yang behubungan dengan DA.14
Disfungsi neurologis
Neuropeptide (NP) terdiri dari sejumlah residu asam aminda dan berfungsi sebagai
neurotransmitter dan neuromodulator. Selain terdapat dalam sistem saraf pusat, neuropeptide
juga terdistribusi di seluruh sistem saraf perifer, termasuk kulit. Vasoactive intestinal peptide
(VIP), calcitonin generelated peptide (CGRP) dan substansi P (SP) adalah neuropeptide yang
paling banyak ditemukan di kulit. Pada DA, kadar VIP lebih tinggi pada kulit yang mengalami
lesi dibandingkan dengan kadar SP.14
Peran superantigen staphylococcus
Saat ini diketahui bahwa eksotoksin staphylococcus aureus dapat menginduksi reaksi imunologik
dan dikenal sebagai superantigen, superantigen merupakan molekul imunostimulator poten yang
bersama sel penyaji sitokin dalam jumlah sangat banyak. Superantigen staphylococcus ini akan
berikatan langsung pada sisi luar molekul major histocompatibility complete (MHC II), ikatan
ini akan menginduksi pengeluaran sitokin TNF dan IL-6 oleh sel penyaji antigen. Setelah
berikatan dengan sel penyaji antigen, selanjutnya superantigen akan berikatan pada reseptor sel
T. Sel T akan teraktivasi dan berproliferasi serta melepaskan bermacam-macam sitokin seperti
interferon (IFN), TNF, dan IL-12. Sitokin tersebut akan merangsang makrofag untuk lebih aktif
memfagosit antigen, meningkatkan aktivitas adesi molekul, kemotaktik faktor yang menarik
PMN, makrofag yang bertujuan untuk membunuh antigen dan efek sampingnya terjadi
inflamasi.14

KLASIFIKASI dan GEJALA KLINIS


Klasifikasi DA umumnya didasarkan atas keterlibatan organ tubuh, DA murni hanya
terdapat di kulit, sedangkan DA dengan kelainan di organ lain, misalnya asma bronkial, rhinitis
alergika, serta hipersensitivitas terhadap berbagai allergen polivalen (hirup dan makanan).
Bentuk DA murni terdiri atas 2 tipe, yaitu tipe DA intrinsic (DA tanpa bukti hipersensitivitas
terhadap allergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE total dalam serum), dan DA
ekstrinsik (bila terbukti pada uji kulit terdapat hipersensitivitas terhadap allergen hirup dan
makanan). Klasifikasi yang lebih praktis untuk aplikasi klinis didasarka atas usia saat terjadinya
DA, yaitu fase infatil, anak, dan dewasa. Manifestasi dan tempat predileksi DA masing-masing
fase dapat berbeda. Dibandingkan dengan dermatitis lainnya, DA secara subyektif lebih gatal.
Rasa gatal dan garukan yang terus menerus memicu kerusakan barrier kulit, sehingga
memudahkan masuknya allergen dan iritan. Keadaanya tersebut menyebabkan DA sering
berulang (kronik-residif). Perjalanan penyakit yang demikian berdampak gangguan fisik dan
emosi pasien, sehingga kualitas hidup menurun.12
DA fase infantile
Lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2 tahun), umumnya awitan terjadi pada usia 2
bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat
meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan, dan tungkai terutama di bagian
volar atau fleksor. Dengan bertambahnya usia dan fungsi motorik semakin sempurna, lesi kulit
dapat ditemukan di bagian ekstensor, seperti ,ulut, siku, atau tempat yang mudah mengalami
trauma. Gambaran klinis fase ini lebih mirip dermatitis akut, eksudatif, erosi dan ekskoriasi. Fase
infantile dapat mereda dan menyembuh. Sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak
atau remaja. Pada usia kurang dari 1 tahun, beberapa allergen makanan (susu sapi, telur, kacang)
kadang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang lebih tua allergen hirup dianggap lebih
berpengaruh (Gambar 1).12,15,16

Gambar 1. Dermatitis Atopik Infantil6


DA fase anak
Pada fase anak biasanya pada usia 2 tahun sampai 10 tahun dan dapat merupakan kelanjutan fase
infantile atau muncul tanpa didahului fase infantile. Tempat predileksi lebih sering di fosa kubiti
dan popliteal, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher, dan tersebar simetris (Gambar
2). Kulit pasien DA dan kulit pada lesi cenderung lebih kering. Lesi dermatitis cenderung
menjadi kronis, disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasii, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama.
Pada fase ini pasien lebih sensitif terhadap allergen hirup, wol dan bulu binatang.12

Gambar 2. Dermatitis Atopik Anak (kronik)6

DA fase remaja dan dewasa


Biasanya terjadi pada usia diatas 13 tahun dan dapat merupakan kelanjutan fase infantile atau
fase anak. Tempat predileksi mirip dengan fase anak, dapat meluas mengenai kedua telapak
tangan, jari-jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian anterior, scalp, dan putting susu.
Manifestasi klinis bersifat kronis, berupa plak hiperpigmentasi, hyperkeratosis, likenifikasi,
ekskoriasi dan skuamasi. Rasa gatal lebih hebat saat istirahat, udara panas dan berkeringat. Fase
ini berlangsung kronik-residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih.12

DIAGNOSIS DA
Diagnosis DA dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala utama gatal,penyebaran
simetris di tempat predileksi (sesuai usia), terdapat dermatitis yang kronik-residif, riwayat atopi
pada pasien atau keluarganya. Kriteria tersebut disebut kriteria mayor Hanifin-Rajka, untuk
memastikan diagnosis dibutuhkan 3 tanda minor lainnya. Biasanya dalam praktik sehari-hari
dapat digunakan kriteria William (Tabel 1) untuk menegakkan diagnosis DA karena lebih
sederhana, praktis, cepat, dan spesifik, sedangkan kriteria Hanafin Rajka (Tabel 2) lebih
sensitif.12
Tabel 1. Kriteria William1
I. Harus ada
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)

II. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:

 Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa popliteal, bagian


anterior dorsum pedis, atau seputar leher (termasuk kedua pipi pada anak
<10 tahun)

 Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak <4 tahun
pada generasi-1 dalam keluarga)

 Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun

 Dermatitis fleksural (pipi, dahi dan paha bagian lateral pada anak <4
tahun)

 Awitan di bawah usia 2 tahum (tidak dinyatakan pada anak <4 tahun)

Tabel 2. Kriteria Hanifin-Rajka12


Kriteria mayor (harus ada sedikitnya 3 atau Kriteria minor (harus ada sediktinya 3 atau
lebih) lebih)

1. Pruritus 1. Xerosis

2. Morfologi dan distribusi khas 2. Iktiosis/hiperlinear palmar/keratosis


pilaris
 Likenifikasi fleksural pada
pasien dewasa 3. Reaksi tipe cepat (tipe 1) pada uji kulit

 Erupsi di daerah wajah atau 4. IgE serum meningkat


ekstensor pada pasien bayi dan
anak 5. Awitan pada usia dini

3. Dermatitis kronik atau kronik residif 6. Kecenderungan infeksi kulit (khusunya


S.aureus dan herpes simplex), imunitas
4. Riwayat atopi pada diri atau keluarga
selular terganggu
(asma bronkial, rhinitis alergik,
dermatitis atopik) 7. Kecenderungan mengalami dermatitis
non spesifik pada tangan dan kaki

8. Eksema pada putting susu

9. Kheilitis

10. Konjungtiva berulang

11. Lipat Dennie-Morgan pada daerah


infraorbital

12. Keratokonus

13. Katarak subscapular anterior

14. Kegelapan pada orbita

15. Muka pucat atau eritema

16. Pitiriasis alba

17. Lipatan pada leher sisi anterior

18. Gatal bila berkeringat

19. Intoleransi terhadap wol dan pelarut


lemak

20. Aksentuasi perifolikular

21. Intoleransi makanan

22. Perjalanan penyakit diperngaruhi oleh


factor lingkungan dan emosi

23. White dermographism atau delayed


blanch

Untuk menilai derajat keparahan DA, Hanifin dan Rajka membuat skoring untuk derajat
penyakit (Tabel 3).12
Kondisi Ciri-ciri Skor
Luas Penyakit a. Fase anak
- <9% luas tubuh 1
- sekitar 9-36% luas tubuh 2
- >36% luas tubuh 3
b. Fase infantile
- <18% luas tubuh 1
- Sekitar 18-54% luas tubuh 2
- >54% luas tubuh 3
Kekambuhan - >3 bulan remisi/tahun 1
- <3 bulan remisi/tahun 2
- Terus menerus 3
Intensitas -Gatal ringan, kadang 1
mengganggu tidur di malam hari
-Gatal sedang, sering mengganggu 2
tidur malam hari (tidak terus-
menerus)
-Gatal hebat, mengganggu tidur 3
sepanjang malam (terus-menerus)

Indeks Score of Atopic Deratitis (SCORAD)


Cara lain menilai derajat sakit yaitu indeks SCORAD (Score of Atopic Deratitis). Indeks
SCORAD ini merupakan salah satu alat ukur yang paling sering digunakan untuk menilai derajat
keparahan DA.12
A. Penilaian luas penyakit: dihitung menggunakan sostem rule of nine. Pada anak dibawah
usia 2 tahun, wajah dan kepala masing-masing dihitung 8.5% dan kedua ekstremitas
masing-masing 6%. Sedangkan pada dewasa, wajah dan kepala masing-masing 4.5% dan
kedua ekstremitas bawah masing-masing dinilai 9%.
B. Penilaian intensitas: parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan dermatitis
yaitu eritema, edema tau papul, eksudat atau krusta, ekskoriasi, likenifikasi. Setiap lesi
dinilai sebagai berikut: 0 (bila tidak ada), 1 (ringan), 2 (sedang), 3 (berat). Sedangkan
untuk kulit kering yang dinilai adalah kulit di luar kelima lesi. Intensitas morfologi dinilai
oleh 2 orang pengamat dengan variasi (perbedaan) penilaian yang tidak bermakna.
Standar penilaian intensitas pada SCORAD adalah foto atau slide foto pasien.
C. Penilaian subjektif: dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua
parameter tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scales dari
0 sampai 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi derajat rasa gatal dan tidak bisa
tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di bawah 7 tahun pemberian
nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.
D. Total nilai indeks SCORAD: ditetapkan dengan rumus: A/5+ 7B/2 + C. Pada formula ini
A adalah luas luka (0-100), B adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala subjektif (0-
20). Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik (Gambar 1) digolongkan
menjadi:12,17
1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit menjadi
kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder.
2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit kemerahan, infeksi kulit
ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.
3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal, likenifikasi,
gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat
Gambar 1.
Indeks SCORAD12
DIAGNOSIS BANDING
Secara klinis diagnosis banding DA dapat bergantung pada fase atau usia, manifestasi
klinis, serta lokasi DA. Pada fase bayi mirip dermatitis seboroik, psoriasis, dan dermatitis popok.
Pada fase anak dapat mirip dermatitis numularis, dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan
dermatitis traumatika. Sedangkan fase dewasa lebih mirip neurodermatitis (Liken simpleks
kronis).12,17
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dermatitis atopik merupakann suatu diagnosis klinis. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium khusus untuk menegakkan diagnosis.6 Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
apabila ada keraguan klinis. Peningkatan kadar IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar
15 % orang sehat, demikian pula kadar eosinophil, sehingga tidak patognomonik. Uji kulit
dilakukan bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu, bukan untuk
diagnostik.1 Selain itu bila diperlukan, bisa dilakukan pemeriksaan prick test, atopy patch test,
eliminasi makanan, open challenge test, dan sebagainya.18,19
KOMPLIKASI
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit (striae atroficans)
dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.12
TATALAKSANA
Terdapat lima pilar penatalaksanaan DA:16
1. Edukasi dan empowerment pasien serta caregiver(s)
2. Menghindari dan memodifikasi faktor pencetus lingkungan/modifikasi gaya hidup
3. Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal
4. Menghilangkan penyakit kulit inflamasi
5. Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk

Edukasi dan konseling


Masalah pada DA sangat kompleks sehingga dalam penatalaksanaannya perlu dipertimbangkan
berbagai faktor yang mempengaruhi, upaya preventif atau terapi kausal sesuai etiologi dan
sebagian pathogenesis penyakit yang telah diketahui. 1 Perlu diberikan informasi dan edukasi
kepada orang tua, pengasuh, keluarga dan pasien tentang DA, perjalanan penyakit, serta berbagai
faktor yang mempengaruhi penyakit. Faktor pencetus kekambuhan, diantaranya allergen hidup
(tungau dan/atau debu rumah), allergen makanan pada bayi <1 tahun (susu sapi, telur, kacang-
kacangan, bahan pewarna, bahan penyedap rasa, dan aditif lainnya). Namun perlu dijelaskan
bahwa alergi terhadap makanan dapat menghilang berangsur-angsur sesuai dengan
bertambahnya usia. diet hanya boleh ditentukan oleh dokternya. Faktor psikologis seringkali
berperan sebagai faktor pencetus atau sebaliknya. Bila diperlukan pasien dapat dirujuk ke
psikolog atau psikiater.12
Perawatan saat mandi:20
- Mandi 1-2 kali sehari dengan air hangat selama 10-15 menit
- Menggunakan sabun mengandung pelembab, pH 5.5-6, tidak mengandung pewarna atau
pewangi
- Mencegah bahan iritan saat mandi, seperti sabun antiseptic
Perawatan setelah mandi:20
- Setelah mandi segera oleskan pelembab ke seluruh kulit kecuali kulit kepala
- Cara pemakaian: menggunakan tangan, dioleskan tipis di seluruh permukaan kulit kecuali
kulit kepala, apabila kulit terkena air atau bahan lain dalam waktu kurang dari 5 menit
setelah pengolesan, prosedur diulang kembali

Topikal12
1. Pelembab: berfungsi untuk memulihkan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis pelembab
antara lain berupa humektan (contohnya gliserin dan propilen glikol), natural
moisturizing factor (contoh urea 10% dalam euserin hidrosa), emolien (contohnya lanolin
10%, petrolatum, minyak tumbuhan dan sintesis), protein rejuvenators (misalnya asam
amino), bahan lipofilik (diantaranya asam lemak esensiel, fosfolipid, dan seramid).
Pemakaian pelembab dilakukan secara teratur 2 kali sehari, dioleskan segera setelah
mandi, walaupun sedang tidak terdapat gejala.
2. Kortikosteroid (KS) topikal: KS topical merupakan obat pilihan utama DA, namun
terdapat keterbatasan terutama effek samping yang timbul jika digunakan untuk jangka
panjang. Efek samping KS sistemik pada anak terutama supresi aksis hipotalamus-
pituitri-korteks adrenal (HPA) dan atrofi kulit. Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan
KS golongan VII-IV. Pada DA fase bayi/anak yang ringan dapat dimulai dengan KS
golongan IV, misalnya hidrokortison krim 1-2.5%, metilprednisolon atau flumetason.
Pada DA dengan derajat keparahan sedang dapat digunakan KS golongan VI, misalnya
desonid, triamsinolon asetonid, prednikarbat, hidrokortison butirat, flusinolon asetonid.
Bila kondisi DA lebih parah dapat digunakan kortikosteroid golongan V, misalnya
flutikason, betametason 17 valerat, atau golongan IV, yaitu mometason furoat (MF), atau
aklometason. Walaupun MF tergolong kortikosteroid potensi sedang, namun hasil
penelitian klinis membutktikan bahwa MF tidak mengakibatkan efek atrofogenik atau
hanya minimal. Dalam keadaan tertentu kortikosteroid topikal potensi kuat dapat
digunakan secara singkat (1-2 minggu). Bila DA sudah teratasi segera ganti dengan
potensi sedang atau lemah.
3. Obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus dan takrolimus): Untuk mengatasi pruritus
dan inflamasi dapat diberikan antihistamin sistemik (Sedatif atau non-sedatif), KS topical
dan inhibitor kalsineurin, diantaranya primekrolimus dan takrolimus. Takrolimus adalah
golongan penghambat kalsineurin bekerja pada sel T, sel Langerhans, sel mast, dan sel
keratinosit. Krim takrolimus 0.03% dan 0.1% aman digunakan pada anak 2-15 tahun
dalam jangka pendek atau panjang secara bergantian dan tidak menimbulkan efek atrofi
kulit, namun efek samping yang pernah dilaporkan yaitu nefrotoksik dan hipertensi.
Digunakan 1-2 kali sehari. Pimekrolimus termasuk golongan askomisin makrolaktam,
sebagai penghambat sitokin inflamasi dari sel mas yang teraktivasi dan mencegah
pelepasan mediator inflamasi (histamine, triptase) dari sel mast yang teraktiasi.
Pengobatan jangka panjang dengan pimekrolimus lebih aman dibanding dengan
pengobatan konvensional. Kedua obat ini tidak memiliki efek antiproliferasi dan tidak
mengganggu immunosurveillance.12

Sistemik12
Terkadang diperlukan terapi sistemik pada DA anak. Antihistamin sistemik mampu mengurangi
rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang dapat memperburuk penyakit.
Antihistamin yang bersifat sedatif (klorfeniramin maleat, hidroksisin) lebih efektif dalam
mengurangi rasa gatal dibandingkan antihistamin nonsedatif (loratadin, cetirizine, terfenadin,
feksofenadin). Obat imunosupresi sistemik pada DA, merupakan obat pilihan terakhir.
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang umumnya menyebabkan efek ketergantungan obat
dan penekanan siklus HPA. Penggunaan kortikosteroid sistemik dibatasi penggunaannya pada
kasus akut dan berat, serta diberikan untuk jangka waktu singkat. Pemberian siklosporin A pada
DA anak rekalsitrans pernah diteliti. Pengobatan dengan dosis 5mg/kgbb/hari memberikan hasil
pengobatan yang dinilai baik, namun DA dapat kembali kambuh bila dosis diturunkan.12

PROGNOSIS
Pada quo ad vitam dan quo ad functionam yaitu ad bonam, sedangkan pada qou ad
sanationam yaitu dubia ad malam, karena merupakan kelainan kulit inflamasi yang bersifat
kronis berulang, namun tergantung dari penatalaksanaan untuk mencegah kekambuhan.19

KESIMPULAN
Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif,
disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama pada bayi (fase infantile) dan
fleksural ekstremitas (pada fase anak). DA dapat terjadi di semua kelompok usia mulai dari bayi
sampai dewasa dengan gejala klinis dan tempat predileksi yang khas. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi DA yaitu pajanan dari allergen dan riwayat atopi pada keluarga. Terapi dari DA
sendiri dapat diberikan terapi seperti pemberian pelembab, kortikosteroid dan penghambat
kalsineurin yang bertujuan untuk menghilangkan inflamasi dan juga mengendalikan keluhan
seperti gatal dan garukan yang dapat memperburuk keadaan penyakit.

Kesimpulan

Dermatitis merupakan epidermo-dermatitis dengan gejala subjektif pruritus. Objektif


tampak inflamasi eritema, vesikula, eksudasi dan pembentukan skuama. Tanda-tanda polimorfik
tersebut tidak selalu timbul pada saat yang sama. Penyakit bertendensi residif dan menjadi
kronik. Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui, sebagian besar merupakan respon
kulit terhadap agen-agen, misalnya zat kimia, protein, bakteri dan fungi. Respon tersebut dapat
berhubungan dengan alergi dan iritasi. Dimana alergi adalah perubahan kemampuan tubuh yang
didapat dan spesifik untuk bereaksi dengan allergen tertentu.
Dermatitis yang merupakan kelainan kulit sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Dari segi penanganannya, kelainan ini dapat dimasukkan dalam kelompok kelainan yang
responsive terhadap steroid. Steroid adalah senyawa anti inflamasi yang kuat. Secara alamian
bahan ini merupakan hormone endogen yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Dalam pembuatan
bahan sintetik, analognya telah berkembang pesat dan merupakan terapi utama pada dermatitis.

Daftar Pustaka

1. Menaldi, Sri Linuwih SW, Kusmarinah Bramono, Wresti Indiatmi. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 156
2. Fajriyani, Noviyanti,W.O.N, Muslimin. Journal of Public Health, Vol 2. No.2 Desember
2019
3. Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update.
Tersedia dalam : http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical
%20guidelines/contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf
5. Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
6. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta : EGC
7. Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
8. Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke 5. Jakarta : FKUI
9. Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
10. Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulitdan
Kelamin. Jakarta : FKUI
11. Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372
12. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarrta:
FKUI; 2016.h.167-182.
13. Putri WE, Faizin M, Khamida, Ainiyah N. Profil kelainan kulit pada pasien dermatitis
atopic anak dan dewasa. 2019. Surabaya: Journal Health of Science; 12 (1).h.102-9.
14. Lestari W. Manifestasi klinis dan tatalaksana dermatitis atopic. 2018. Aceh: J.Ked.
N.Med; 1(1).h.84-90.
15. Indrastiti R, Kurniati ID, Saputri EO. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien
dermatitis atopic. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah; 2016.h.1-
10.
16. Diana IA, Boediardja SA, Sugito TL, dkk. Panduan diagnosis dan tatalaksana dermatitis
atopic di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2014.
17. Menaldi SL, Novianto E, Sampurna AT. Atlas berwarna dan synopsis penyakit kulit dan
kelamin. Jakarta: FKUI; 2015.h.87-90.
18. Evina B. Clinical manifestation and diagnostic criteria of atopic dermatitis. J-majority
Februari 2015; 4(4).p.23-30.
19. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, dkk.Panduan praktik klinis. Jakarta: PERDOSKI;
2017.
20. Dumakuri M. Dermatitis atopic: Lesi kemerahan dengan rasa gatal. 2018. Diunduh dari
https://www.idai.or.id/atikel/klinik/keluhan-anak/dermatitis-atopik-lesi-kemerahan-
dengan-rasa-gatal,
21. Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia perdoskI;
2017
22. Menaldi SL, Novianto E, Sampurna AT. Atlas berwarna dan synopsis penyakit kulit dan
kelamin. Jakarta: FKUI; 2015.h.20.
23. Menaldi, Sri Linuwih SW, Endi Novianto, Adhimukti T. Sampurna. Atlas Berwarna dan
Sinopsis Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. 91
24. James W, Berger T, Elston D. Atopic Dermatitis, Eczema, and Noninfectious
Immunodeficiency Disorders. In: Andrews' disease of the skin : CLINICAL
DERMATOLOGY. USA: Waunders Company; 2011. p. 80-81.
25. Chang MW, Orlow SJ. Neonatal, Pediatric, and Adolescent Dermatology. In: Freedberg
IM, Eisen AZ, Wolf K, Austen KF, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Vol. II. 7th Ed. New York: McGraw-Hill; 2011. Page 942-5

Anda mungkin juga menyukai