Di susun oleh :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yaitu Ns. Diah Tika A, M.Kep
selaku dosen dari mata kuliah Keperawatan Anak karena telah membantu kelancaran
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
makalah ini dibuat dengan judul “Penyakit paru obstruktif kronis”. Penulis berharap
dengan adanya makalah ini dapat memberikan informasi tentang sejarah keperawatan
di Indonesia maupun di dunia.
Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Selain itu, penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan tercapainya tujuan dari penulisan makalah ini.
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................................4
BAB 1......................................................................................................................................5
PENDAHULUAN..................................................................................................................5
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................5
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................5
C. TUJUAN..........................................................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.....................................................................................................................7
A. Pengertian PPOK............................................................................................................................7
B. Prevelensi.........................................................................................................................................8
C. Etiologi dan Fator Resiko...............................................................................................................9
D. Patofisiologi...................................................................................................................................11
E. Tanda dan Gejala..........................................................................................................................14
F. Komplikasi.....................................................................................................................................15
G. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................................................16
H. Penatalaksanaan medis................................................................................................................18
I. Pathway..........................................................................................................................................21
J. Asuhan Keperawatan....................................................................................................................22
BAB III.................................................................................................................................30
PENUTUP............................................................................................................................30
A. Kesimpulan............................................................................................................................30
B. Saran..............................................................................................................................................30
Daftar Pustaka.....................................................................................................................31
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pola hidup masyarakat yang buruk merupakan penyebab utama penyakit
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yaitu kebiasaan merokok masyarakat
Indonesia. Karena setiap batang rokok mengandung ribuan bahan kimia yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan maupun kerusakan paru. Kandungan
tembakau pada rokok juga merangsang inflamasi/peradangan, dan juga dapat
merangsang produksi sputum sehingga menyebabkan sumbatan pada saluran
nafas (Chang, 2010).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) juga dapat disebabkan karena polusi
udara yang berupa asap kendaraan, asap pabrik dan orang yang sebelunya sudah
pernah menderita penyakit paru misalnya bronkhitis (Ikawati, 2011). World
Health Organizatiton (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 angka kejadian
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang sebelumnya ada pada peringkat 6
akan mengalami kenaikan dan akan menduduki peringkat 3 di dunia penyebab
kematian tersering di dunia (Yani I dkk, 2016).
B. RUMUSAN MASALAH
4
9. Bagaimana Asuhan Keperawatan ?
10. Bagaimana Pathway ?
C. TUJUAN
1. Memaparkan Pengertian, tipe/grade/klasifikasi PPOK
2. Menjelaskan Prevelensi PPOK
3. Memaparkan Etiologi dan Faktor resiko PPOK
4. Menjelaskan Patofisiologi PPOK
5. Memaparkan Tanda dan gejala (DS dan DO) PPOK
6. Memaparkan Komplikasi PPOK
7. Memaparkan Pemeriksaan penunjang (lab, dll) PPOK
8. Memaparkan Penatalaksanaan medis (Farmakologi, dll) PPOK
9. Menjelaskan Asuhan Keperawatan PPOK
10. Menjelaskan Pathway PPOK
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian PPOK
6
Sedang penyempitan jalan <70% dengan pasien datang
napas, ada sesak perkiraan nilai berobat karena
napas terutama FEV1 diantara 50- eksaserbasi atau
pada saat exercise 80% dari nilai keluhan pernapasan
prediksi. kronik
Derajat III: Perburukan rasio FEV1/FVC
PPOK Berat penyempitan jalan <70% dan nilai
napas yang FEV1
semakin berat, menunjukkan
sesak napas diantara 30-50%
bertambah, dari nilai prediksi.
kemampuan
exercise berkurang
berdampak pada
kualitas hidup
Derajat IV: Penyempitan jalan rasio FEV1/FVC Sering disertai
PPOK Sangat napas yang berat <70% dan nilai komplikasi. Pada
Berat FEV1 diperkirakan kondisi ini kualitas
kurang dari 30% hidup rendah dan
ataupun kurang sering disertai
dari 50% dengan eksaserbasi
kegagalan berat/mengancam
respiratorik kronik. jiwa.
B. Prevelensi
Sekitar 600 juta orang di dunia diperkirakan mengidap penyakit PPOK dan 2
akan terus meningkat setiap tahunnya serta 5% dari seluruh kematian di dunia atau
3,17 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2016 (WHO, 2017). Jumlah
penderita PPOK di seluruh dunia mengalami peningkatan dari 227 juta kasus pada
7
tahun 1990 menjadi 384 juta kasus tahun 2010. Prevalensi PPOK diperkirakan akan
meningkat dalam 30 tahun kedepan dan pada tahun 2030 di perkirakan ada 4,5 juta
kematian setiap tahun akibat PPOK Data yang ada menunjukkan bahwa morbiditas
akibat PPOK meningkat dengan usia dan lebih besar terjadi pada pria daripada wanita
(GOLD, 2017).
Pada penyakit PPOK lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki
sebanyak 83,17% pada daerah di Mesir tahun 2012 sebesar 97,5%, di Taiwan tahun
2013 sebesar 57% dan pada di tahun 2014 Mesir sebesar 95% dan di Korea Selatan
tahun 2016 sebesar 72,36% (Sidabutar et al., 2012). Penyakit Paru Obstruksi Kronis
di Indonesia pada umur ≥30 tahun sebesar 508.330, pada laki-laki sebanyak 242.256
dan pada perempuan penderita penyakit PPOK sebanyak 266.074 sedangkan
prevalensi pada provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 10% dan untuk Provinsi
Jawa Tengah prevalensi kejadian PPOK sebanyak 3,4% (Riskesdas, 2018).
8
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab bersihan jalan
nafas tidak efetif pada PPOK, tetapi bila ditambah merokok risiko akan lebih
tinggi. Zat – zat kimia juga dapat menyebabkan PPOK adalah zat – zat pereduksi
O2, zat – zat pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
d) Pekerjaan Pekerjaan yang memiliki risiko besar terkait dengan terjadinya PPOK
adalah para pekerja tambang emas, pekerja yang terpapar debu silica yaitu
pekerja industry gelas dan keramik serta pekerja asbes.
9
D. Patofisiologi
PPOK merupakan kombinasi antara penyakit bronkitis obstruksi kronis, emfisema,
dan asma. Menurut Black (2014), patologi penyakit tersebut adalah :
a. Bronkitis Obstruksi Kronis
Bronkitis obstruksi kronis merupakan akibat dari inflamasi bronkus, yang
merangsang peningkatan produksi mukus, batuk kronis, dan kemungkinan
terjadi luka pada lapisan bronkus. Berbeda dengan bronkitis akut, manifestasi
klinis bronkitis kronis berlangsung minimal tiga bulan selama satu tahun
dalam dua tahun berturut-turut. Bila pasien memiliki resiko FEV1 (Forced
expiratory volume in one second) / FVC (Force vital capacity) kurang dari
70% setelah pemberian bronkodilator dan bronchitis kronis, maka pasien
tersebut dapat didiagnosa bronkitis obstruktif kronis, yang menunjukkan
pasien memiliki kombinasi obstruksi paru dan batuk kronis.
Bronkitis kronis ditandai dengan hal-hal berikut :
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa pada bronkus yang
menyebabkan peningkatan produksi mukus.
2) Peningkatan jumlah sel goblet yanag juga memproduksi mukus.
3) Terganggunya fungsi silia, sehingga menurunkan pembersihan mukus.
b. Emfisema
Emfisema adalah gangguan yang berupa terjadinya kerusakan pada dinding
alveolus. Kerusakan tersebuat menyebabkan ruang udara terdistensi secara
permanen. Akibatnya aliran udara akan terhambat, tetapi bukan karena
produksi mukus yang berlebih seperti bronchitis kronis. Emfisema
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kapiler paru, serta penurunan
perfusi dan ventilasi oksigen lebih jauh.
Beberapa bentuk dari emfisema dapat terjadi akibat rusaknya fungsi
pertahanan normal pada paru melawan enzim-enzim tertentu. Peneliti
10
menunjukkan enzim protease dan elastase dapat menyerang dan
menghancurkan jaringan ikat paru. Ekspirasi yang sulit pada penderita
emfisema merupakan akibat dari rusaknya dinding di antara alveolus (septa),
kolaps parsial pada jalan nafas, dan hilangnya kelenturan alveolus untuk
mengembang dan mengempis. Dengan kolapsnya alveolus dan septa,
terbentuk kantong udara di antara alveoli (belb) dan di dalam parenkim paru
(bula). Proses tersebut menyebabkan peningkatan ruang rugi ventilasi
(ventilator dead space), yaitu area yang tidak berperan dalam pertukaran udara
maupun darah. Usaha untuk bernafas akan meningkat karena jaringan
fungsional paru untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida 14 Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta berkurang. Emfisema menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah kapiler paru, serta penurunan perfusi dan ventilasi oksigen
lebih jauh.
c. Asma
Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan edema
mukosa, sekresi mukus, dan peradangan saluran nafas. Ketika orang dengan
asma terpapar alergen ekstrinsik dan iritan (misalnya : debu, serbuk sari, asap,
tungau, obat-obatan, makanan, infesi saluran napas) saluran napasnya akan
meradang yang menyebabkan kesulitan napas, dada terasa sesak, dan mengi.
11
mempunyai peran besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari
berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yaitu partikel noxius yang terhirup bersama
dengan udara akan memasuki saluran pernafasan dan mengendap dan
terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas sillia. Akibatnya pergerakan
15 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta cairan yang melapisi mukosa berkurang
dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar
mukosa. Kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet
sampai produksi mukus yang akan berlebih. Produksi mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini
merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus.
Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif (Antariksa
B dkk, 2011). Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa
rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus
yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveolus satu dan yang lain
membentuk abnormal large-space. Selain itu, terjadinya modifikasi fungsi
anti-protase pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk menghambat
neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Seiring dengan terus terjadinya iritasi di saluran pernafasan makan lama-
kelamaan akan menyebabkan erosi epitel hingga terbentuknya jaringan parut
pada saluran nafas. Selain itu juga dapat menimbulkan metaplasia skuamosa
(sel yang berada di permukaan dan lapisan tengah kulit) dan penebalan lapisan
skuamosa yang dapat menimbulkan stenosis dan obstruksi irreversibel dari
saluran nafas. Walaupun tidak bergitu terlihat seperti pada penderita penyakit
asma, namun pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga dapat terjadi
hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan masalah
gangguan sirkulasi udara pada sisitem pernafasan (GOLD, 2017).
12
Pada bronkitis kronis akan terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi saluran pernafasan, hipertrofi otot polos serta
distorsi yang diakibatkan fibrosis. Sedangkan pada emfisema ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, yang disertai dengan
kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya renggang
elastisitas paru-paru. Terdapat dua jenis emfisema yang relevan terhadap
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), yaitu emfisema pan-asinar dan
emfisema sentri-asimar. Pada jenis pan-asinar kerusakan pada asinar bersifat
difus dan dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan luas
permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi bronkiolus dan
daerah perifer asinar, yang banyak disebabkan oleh asap rokok (Sudoyo AW,
2017).
Tanda dan gejala yang biasa dialami pasien PPOK yang mengalami bersihan
jalan napas tidak efektif(Ikawati, 2016) sebagai berikut :
a. Batuk kronis selama 3 bulan dalam setahun, terjadi berselang atau setiap
hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari.
b. Produksi sputum secara kronis
c. Lelah,lesu
d. Sesak nafas (dispnea) bersifat progresif sepanjang waktu, memburuk jika
berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksipernapasan.
e. Penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik (cepat lelah,terengah-engah)
F. Komplikasi
13
Biasanya muncul pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Hal
tersebut sebagai akibat terganggunya mekanisme pertahanan normal paru
dan penurunan imunitas. Oleh karena status pernafasan sudah terganggu,
infeksi biasanya akan mengakibatkan gagal nafas akut dan harus segera
mendapatkan perawatan di rumah sakit (Black, 2014).
b. Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya belb (kantong udara
dalam alveoli) pada penderita emfisema. Pecahnya belb itu dapat
menyebabkan pneumothoraks tertutup dan membutuhkan pemasangan
selang dada (chest tube) untuk membantu paru mengembang kembali
(Black, 20014).
c. Dypsnea
Seperti asma, bronchitis obstruktif kronis, dan emfisema dapat memburuk
pada malam hari. Pasien sering mengeluh sesak nafas yang bahkan muncul
saat tidur (one set dyspnea) dan mengakibatkan pasien sering terbangun dan
susah tidur kembali di waktu dini hari. Selama tidur terjadi penurunan tonus
otot pernafasan sehingga menyebabkan hipoventilasi dan resistensi jalan
nafas meningkat, dan akhirnya pasien menjadi hipoksemia (Black, 2014)
d. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan tingkat PO2<55 mmHg
dengan nilai saturasi O2<85%. Pada awalnya pasien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap
lanjut akan timbul gejala seperti sianosis (Permatasari, 2016).
e. Asidosis Respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain, nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan
takipnea. Asidosis respiratori yang tidak ditangani dengan tepat dapat
mengakibatkan dypsnea, psikosis, halusinasi, serta ketidaknormalan tingkah
laku bahkan koma. Hiperkapnia yang berlangsung lama atau kronik pada
14
pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan menyebabkan
gangguan tidur, amnesia, perubahan tingkah laku, gangguan koordinasi dan
bahkan tremor (Hartono, 2013).
f. Kor Pulmonale
Kor pulmonale (yang disebut pula gagal jantung kanan) merupakan keadaan
tarhadap hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan, yang dapat terjadi akibat
komplikasi sekunder karena penyakit pada struktur atau fungsi paru-paru
atau system pembuluh darah. Keadaan ini bisa terjadi pada stadium akhir
berbagai gangguan kronik yang mengenai paruparu, pembuluh darah
pulmoner, dinding dada dan pusat kendali 20 Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta pernafasan. Kor pulmonale tidak terjadi pada gangguan yang
berasal dari penyakit jantung kongenital atau pada gangguan yang mengenai
jantung sebelah kiri (Hartono, 2013).
G. Pemeriksaan Penunjang
15
dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume
maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal atau dapat
disebut forced vital capacity (FVC). Spirometri juga berfungsi untuk
mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama atau
disebut juga forced expiratory volueme in 1 second (FEV1). Rasio dari
kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk
menilai fungsi paruparu. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC
serta nilai dari rasio pengukuran FEV1/FVC < 70% maka ini
menunjukkan adanya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Pengujian ini dilakukan pada saat penderita atau pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada masa stabil atau tidak
dalam masa ekserbasi akut. Dan hasil pemeriksaan spirometri setelah
pemberian bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berdasarkan derajat
obstruksinya.
c. TLC (Total Lung Capacity) : meningkat pada bronchitis berat dan
biasanya pada asma, menurun pada penderita emfisema (Soemantri,
2008).
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada penderita emfisema (Soemantri,
2008). 22 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
e. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun
dan PCO2 normal meningkat (pada bronchitis kronis dan emfisema).
Sering kali menurun pada asma dengan pH normal atau asidosis,
alkaiosis respiratori ringan sekunder akibat terjadinya hiperventilasi
(emfisema sedang dan asma) (Soemantri, 2008).
f. Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi,
kolaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran
kelenjar mukus (bronchitis) (Muttaqin, 2014).
16
g. Pemeriksaan Darah Lengkap : dapat menggambarkan adanya
peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan peningkatan eosinofil
(asma) (Muttaqin, 2014).
h. Kimia Darah : menganalisis keadaan alpha 1-antitypsin yang
kemungkinannya berkurang pada emfisema primer (Muttaqin, 2014).
i. Sputum Kultur : pemeriksaan pada bakteriologi gram pada sputum
pasien yang diperlukan untuk mengetahui adanya pola kuman dan untuk
menentukan jenis antibiotik yang paling tepat. Infeksi saluran
pernafasan yang berulang merupakan penyebab dari ekserbasi akut pada
penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Muttaqin, 2014).
j. Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi pemeriksaan ECG (Elektro
Kardio Graph) yang difungsikan untuk mengetahui adanya komplikasi
yang terjadi pada organ jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau
hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan namun 23
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta jarang dilakukan yaitu uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi brunkus, CT-scan resolusi tinggi,
ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha 1-antitrypsin (Putra PT
dkk, 2013)
H. Penatalaksanaan medis
Menurut Ikawati, (2016) tujuan dilakukkan terapi pada pasien PPOK adalah
untuk memperbaiki keadaan obstruksi kronis, mengatasi dan mencegah
eksaserbasi akut, menurunkan kecepatan perkembangan penyakit,
meningkatkan keadaan fisik, dan psikologis pasien sehingga dapat melakukan
kegiataan sehari-hari. Melakukan penatalaksanaan pada PPOK yaitu dengan
terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non-farmakologi antara
lain seperti berhenti merokok, rehabilitasi, melakukan aktivitas fisik, dan
vaksinasi. Penghentian merokok merupakan hal yang penting karena hal
17
tersebut dapat menurunkan gejala, dan meningkatkan kualitas hidup penderita.
Selain itu, perlu menghindari polusi udara dan menjaga kebersihan untuk
mencegah infeksi. Terapi nonfarmakologis lainnya yang perlu diberikan pada
pasien PPOK adalah pemberian vaksinasi influenza. Pemberian vaksin ini
terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai
50 % (Ikawati, 2016).
Untuk terapi farmakologi yang diberikan untuk pasien PPOK adalah sebagai
berikut:
a. Bronkodilator
b. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi
virus atau bakteri. Data menunjukan bahwa sedikitnya 80 % eksaserbasi akut
PPOK disebabkan oleh infeksi. Dari infeksi ini 40-50% disebabkan oleh
bakteri, 30 % disebabkan oleh virus, dan 5-10 % tidak diketahui bakteri
penyebabnya. Karena itu, antibiotik merupakan salah satu obat yang sering
digunkan dalam penatalaksanaan PPOK. Contoh antibiotik yang sering
digunakan adalah penicillin (Ikawati, 2016).
c. Mukolitik
18
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatikbila tedapat dahak yang lengket dan kental. Contohnya :
glycerylguaiacolate, acetylcysteine (Saftarina et al., 2017).
d. Anti inflamasi
I. Pathway
19
Gangguan pembersihan diparu – paru
Radang / inflamasi
Akumulasi mukus pada bronkuse Hipertermi Produksi mukus
Hipoxemia
Kelelahan
Intoleransi aktifitas
Atelektasis
Anoreksia Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
Peningkatan kompensasi
frekuensi napas
J. Asuhan Keperawatan
20
Seorang pasien laki-laki , 49 th, datang ke IGD dengan keluhan Utama
Dispneu, Demam dan batuk-batuk disertai pengeluaran sputum sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit 2 tahun.
Saat dianamnesa pasien sering berkeringat, anoreksia dan Letarghi.pasien juga
mempunyai kebiasaan merokok sudah 6 tahun dan pasien profesinya seharihari
adalah seorang kondektur metro mini (angkutan bus Jakarta). Riwayat penyakit
sebelumnya pasien menderita Bronkitis tetapi pasien tidak pernah meminum
obatnya saat dilakukan pemeriksaan fisik : TTV: TD 140/90 mmHg, Nadi
100x/. Suhu 38.5ºC, RR: 28 x/mnt. Pemeriksaan penunjang: Foto Rontgen:
kesan :Tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang parallel keluar dari
hilus menuju apex paru dan corakan paru yang bertambah. Lalu Dokter
mendiagnosis pasien menderita PPOK jenis Bronkhitis Kronis. Pasien bertanya
kenapa bisa terkena penyakit tersebut. Lalu Dokter memberikan O2 dan Terapi
Eksaserbasi akut: Kontrimoksazol. Perawat dan dokter serta paramedic lainnya
yang terkait, melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari /
mengurangi resiko komplikasi lebih lanjut.
Asuhan Keperawatan
Riwayat Kesehatan :
1. Keluhan Utama : Dispneu, Demam dan batuk-batuk disertai pengeluaran
sputum sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling
sedikit 2 tahun. Saat dianamnesa pasien sering berkeringat, anoreksia dan
Letarghi, Pasien perokok aktif selama 6 tahun dan pasien seorang kondektur
metromini.
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu : Pasien mengatakan pernah menderita
Bronkitis tetapi pasien tidak pernah meminum obatnya.
21
1. KU : lemah / lelah (Latergi) - pasien mengatakan sesak
2. TTV: TD 140/90 mmHg, nafas(dyspnea), demam dan batuk-
3. Nadi 100x/. batuk disertai sputum
- hasil dari anamnesa mengatakan
4. Suhu 38.5ºC,
adanya gangguan pola makan
5. RR: 28 x/mnt.
(anoreksia)
6. Sering berkeringat
- pasien mengatakan mepunyai
7. Terdapat sputum
kebiasaan merokok sudah 6 tahun
- pasien mengatakan bekerja sebagai
kondektur metro mini
Data Penunjang :
Foto Rontgen: kesan :Tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang
parallel keluar dari hilus menuju apex paru dan corakan paru yang bertambah.
Analisa Data :
Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia : 49 Tahun
22
1 Ds: Spasme Bersihan
- Pasien mengatakan mengalami Jalan Napas Jalan Nafas
sesak nafas (Dyspnea) ,dan adanya Tidak
batuk-batuk disertai pengeluaran Efektif
sputum sekurang-kurangnya 3 (D.0149)
bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit 2 tahun
- pasien mengatakan mempunyai
kebiasaan merokok sudah 6 tahun
dan pasien profesinya seharihari
adalah seorang kondektur metro
mini (angkutan bus Jakarta).
- Pasien merngatakan Riwayat
penyakit sebelumnya pasien
menderita Bronkitis tetapi pasien
tidak pernah meminum obatnya
Do:
- RR: 28 x/menit.
- Foto Rontgen: kesan :Tubular
shadow berupa bayangan garis-garis
yang parallel keluar dari hilus
menuju apex paru dan corakan paru
yang bertambah.
- Dokter memberikan O2 dan Terapi
Eksaserbasi akut: Kontrimoksazol.
23
2. Ds : Kelemahan Intoleransi
hasil dari anamnesa mengatakan adanya Aktivitas
gangguan pola makan (anoreksia)
(D.0056)
Do :
1. KU : lemah / lelah (Latergi)
Do :
1. Suhu 38.5ºC,
2. Sering Berkeringat
N Diagnosa Keperawatan
o
1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif Berhubungan dengan Spasme Jalan Napas
2. Intoleransi Aktivitas Berhubungan dengan kelemahan
3. Hipertermia Berhubungan dengan Proses Infeksi Penyakit Virus Bronkitis
24
nya dispnea dan 2. Monitor pola napas
frekuensi nafas (seperti bradypnea,
membaik takipnea ,
hiperventilasi,
KH : kussmaul, chyne-
1. Produksi srokes, biot , dyspnea
Sputum : tidak dan biot)
ada
3. Monitor
2. Dispnea : tidak kemampuan batuk
ada efektif
2.Dokumentasi hasil
pemantauan
Kolaborasi :
1.Jelaskankan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2.Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
(I.01014)
25
dapat beraktivitas keluarnya makanan
secara normal dan cairan serta
kebutuhan kalori
KH :
1. Keadaan Umum Teurapeutik :
: Baik 1. Timbang berat
badan secara rutin
2. Keinginan
makan : 2. Diskusikan perilaku
membaik makan dan jumlah
aktifitas fisik
3. Asupan makan (Termasuk Olahraga)
membaik yang sesuai
4. Asupan cairan :
membaik 3. Lakukan kontrak
5. Kemampuan perilaku (mis. Target
merasakan berat badan, tanggung
makanan : jawab perilaku)
membaik
6. Kemampuan 4. Dampingi ke kamar
menikmati mandi untuk
makanan : pengamatan perilaku
membaik memuntahkan
7. Asupan nutrisi : Kembali makanan
membaik
8. Stimulus untuk 5. Berikan penguatan
makan : positif terhadap
membaik keberhasilan target
dan perubahan
perilaku
6. Berikan kosekuensi
jika tidak mencapai
target sesuai kontrak
7. Rencanakan
program pengobatan
untuk perawatan di
rumah (mis. Medis,
konseling)
Edukasi :
26
1. Anjurkan membuat
catatan harian tentang
perasaan dan situasi
pemicu pengeluaran
makanan (mis.
Pengeluaran yang di
sengaja, muntah,
aktivitas berlebihan)
2. Ajarkan pengaturan
diet yang tepat
3. Ajarkan
keterampilan koping
untuk penyelesaian
masalah perilaku
makan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang target
berat badan,
kebutuhan kalori dan
pilihn makanan
(I.03111)
3. 18 Hipertermia Berhubungan Setelah dilakukan Manajemen
Agustus dengan Proses Infeksi tindakan Hipertermia
2021 keperawatan dalam Buku Siki hal.181
waktu 1x24 jam Observasi :
diharapkan 1. Identifikasi
masalah penyebab hipertermia
peningkatan suhu (mis. Dehidrasi,
tubuh dalam batas terpapar lingkungan
normal. panas)
27
lingkungan yang
dingin
2. Longgarkan atau
lepas pakaian
3. Lakukan
pendinginan
ekternal (mis.
Kompres dingin
pada dahi, leher,
dada, abdomen dan
axila)
Edukasi :
1. Anjurkan tirah
baring
Kolaborasi :
1. Kolborasi dalam
pemberian cairan dan
eliktrolit intervena,
jika perlu
(I.03114)
Implementasi
28
18 agustus Memonitor frekuensi, irama, Frekuensi nafas pasien Kelompok 1
1 2021 kedalaman, dan upaya nafas 20x/mnt, irama suara
nafas pasien masih
07.00 sedikit terdengar suara
mengi, kedalaman nafas
pasien sedikit dalam,
upaya nafas pasien maish
terasa sedikit sesak
29
3 18 Agustus Melakukan pendinginan ekternal Pasien tampak
2021 (mis. Kompres dingin pada dahi, mengompres dahinya
09.10 leher, dada, abdomen dan axila) Kelompok 1
30
3 18 Agustus Menjelaskankan tujuan dan Perawat sudah
2021 prosedur pemantauan menjelaskan apa tujuan
11.50 dari pemantauan tersebut Kelompok 1
Menginformasikan hasil
pemantauan, jika perlu Perawat sudah memberi
tahu keluarga pasien dari
hasil yang sudah
didaptkan dan keluarga
pasien sudah mengerti
Memonitor suhu tubuh
Suhu tubuh pasien 37,5C
Mensediakan lingkungan yang
dingin
Ruangan pasien tampak
lingkungan ruanganya
sudah terasa dingin
31
3 18 Agustus Menlonggarkan atau lepas Pasien tampak
2021 pakaian menggunakan kaos
13.55 dalam saja Kelompok 1
32
2 18 Agustus Timbang berat badan secara rutin Berat badan pasien sudah Kelompok 1
2021 sedikit membaik
14.00
33
Evaluasi
No Tanggal/
Evaluasi TTD
Dx Jam
1, 2 18 Agustus S:
2021 Pasien mengatakan dahaknya sudah tidak sebanyak kemarin, Pasien
13.55
mengatakan dia sudah minum 7 gelas air perhari, Pasien mengatakan
Kelompok 1
penyebab ia demam yaitu urangnya minum tapi sekarang dia sudah
lebih banyak minum air putih, klien mengatakan nafsu makan sudah
meningkat, klien mengatakan kemampuan merasakan makan juga
membaik, klien mengatakan berat badan menambah
O:
Frekuensi nafas pasien 20x/mnt, irama suara nafas pasien masih sedikit
terdengar suara mengi, kedalaman nafas pasien sedikit dalam, upaya
nafas pasien maish terasa sedikit sesak, Pola nafas pasien masih terasa
sedikit sesak tapi tidak seseak kemarin, Pasien tampak koperatif dan
Kelompok 1
mengikuti arahan perawat, Pasien tampak mengompres dahinya,
Interval pernafasan pasien tampak stabil, Suhu tubuh pasien 37,5C,
Ruangan pasien tampak lingkungan ruanganya sudah terasa dingin,
Pasien tampak menggunakan kaos dalam saja, Tangan sebelah kanan
pasien terpasang infus RL dengan 20 tetes permenit, klien tampak
nafsu makan, klien juga menghabiskan makanan sendiri, klien terlihat
sudah tidak lemas, terlihat BB klien menambah, ajarkan pengaturan
diet yang tepat, kolaborasi dengan ahli gizi tentang target BB,
kebutuhan kalori dan pilihan makanan
A:
Kelompok 1
Masalah teratasi sebagian
34
P: Kelompok 1
Memantau frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas, pola nafas
pasien intervensi dilanjutkan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu kondisi yang ditandai
dengan obstruksi jalan nafas yang membatasi aliran udara, menghambat
ventilasi yang terjadi ketika dua penyakit paru terjadi pada waktu bersamaan:
35
bronchitis kronis dan emfisema. Bronchitis kronis terjadi ketika ketika bronkus
mengalami inflamasi dan iritasi kronis. Pembengkakan dan produksi lendir
yang kental menghasilkan obstruksi jalan nafas besar dan kecil. Emfisema
menyebabkan paru kehilangan elastisitasnya, menjadi kaku dan tidak lentur
dengan merangkap udara dan menyebabkan distensi kronis pada alveoli.
Etiologi/faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya penyakit PPOK, yaitu
dapat dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan ( salah satunya rokok), dan
faktor host.
B. Saran
Daftar Pustaka
Mengko, Cornelis Yohni. 2018. Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronis . Accessed
Agustus 18, 2021. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2128/1/KTI%20CORNELIS
%20YOHNI%20MENGKO.pdf.
Rusdianto, Aris. 2017. Asuhan Keperawatan pada Klien Bronkitis dengan Ketidakefektifan Jalan
Napas. Accessed Agustus 18, 2021. file:///C:/Users/user/Downloads/ARIS.pdf.
36
37