Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Interaksi Obat
Dosen Pengampu :
Dr. Apt. Delina Hasan, M. Kes.
Disusun Oleh :
Kelompok 4 BD
Annisa Nurul Fakriyah 11181020000062
Revita Fitri Amelia 11181020000063
Reyhan Diva Zaafira 11181020000065
Andreansyah Novario Ola K. 11181020000070
Nadya Firdausi 11181020000072
Heni Asnah Nurjannah 11181020000073
Muhammad Evan Rakha J. 11181020000083
Hanifah Razani 11181020000084
Mhd. Chairul Amin 11181020000097
Linatun Nafiroh 11181020000098
Cut Fadhilatul Habibi 11181020000103
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia, dan ilmu yang
bermanfaat. Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti. Segala puji dan syukur kami
panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan nikmat dan karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Osteoarthritis dengan
Penyakit Penyerta Hipertensi dan Kanker Ovarium”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Interaksi Obat yang terdapat pada Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Makalah ini berisi tentang interaksi yang terjadi pada obat yang digunakan untuk
mengatasi penyakit Osteoarthritis dengan Penyakit Penyerta Hipertensi dan Kanker Ovarium.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Delina Hasan Apt., M.Kes selaku
dosen pengampu mata kuliah interaksi obat dan pihak-pihak lain yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu kami memerlukan kritik dan saran yang membangun dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 5
1.1. Latar Belakang 5
1.2. Bukti Klinis Hasil Penelitian Terdahulu 9
1.3. Rumusan Masalah 10
1.4. Tujuan 11
1.5. Manfaat Penelitian 11
1.6. Ruang Lingkup 11
BAB II 13
2.1. Osteoarthritis 13
2.1.1. Patofisiologi 13
2.1.2. Etiologi 17
2.1.3. Epidemiologi 18
2.1.4. Manifestasi Klinis 19
2.1.5. Diagnosis Penyakit 21
2.1.6. Penatalaksanaan Pengobatan 23
2.1.7. Obat yang Digunakan 25
2.1.8. Penggolongan Obat yang Digunakan 26
2.1.9. Algoritma Pengobatan 27
2.2. Kanker Ovarium 29
2.2.1. Patofisiologi 29
2.2.2. Etiologi 31
2.2.3. Epidemiologi 31
2.2.4. Manifestasi Klinis 33
2.2.5. Diagnosis Penyakit 34
2.2.6. Penatalaksanaan Pengobatan 36
2.2.7. Obat yang Digunakan 37
2.2.8. Penggolongan Obat yang Digunakan 38
2.2.9. Algoritma Pengobatan 39
2.3. Hipertensi 39
2.3.1. Patofisiologi 40
2.3.2. Etiologi 41
2.3.3. Epidemiologi 41
2.3.4. Manifestasi Klinis 42
2.3.5. Diagnosis Penyakit 42
2.3.6. Penatalaksanaan Pengobatan 44
2.3.7. Obat yang Digunakan 51
2.3.8. Penggolongan Obat yang Digunakan 52
2.3.9. Algoritma Pengobatan 55
BAB III 58
3.1. Definisi Interaksi Obat 58
3.2. Mekanisme Interaksi Obat 58
3.3. Tingkat Keparahan Interaksi Obat 60
3.4. Interaksi Obat Antar Obat Osteoarthritis 61
3.5. Interaksi Obat Osteoarthritis Dengan Obat Kanker Ovarium 64
3.6. Interaksi Obat Osteoarthritis Dengan Obat Hipertensi 66
3.7. Interaksi Obat Hipertensi Dengan Obat Kanker Ovarium 68
BAB IV 72
4.1. Kesimpulan 72
DAFTAR PUSTAKA 74
BAB I
PENDAHULUAN
1.4. Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah
Interaksi Obat. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan pada sub bab
sebelumnya, makan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjawab beberapa
pertanyaan yang telah disebutkan, antara lain :
1. Untuk menjelaskan dan mengetahui potensi interaksi obat yang terjadi pada
pasien Osteoarthritis yang menerima pengobatan hipertensi.
2. Untuk menjelaskan dan mengetahui potensi interaksi obat yang terjadi pada
pasien Osteoarthritis yang menerima pengobatan kanker serviks.
3. Untuk mengetahui tingkat keparahan atau level signifikan efek yang terjadi
akibat adanya interaksi obat pada pasien osteoporosis dengan penyakit
penyerta hipertensi dan kanker ovarium
4. Untuk mengetahui mekanisme interaksi obat yang terjadi pada pasien
penggunaan obat osteoporosis dengan penyakit penyerta hipertensi dan
kanker ovarium
5. Untuk mengetahui manajemen interaksi obat atau solusi yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya interaksi obat
2.1. Osteoarthritis
2.1.1. Patofisiologi
Osteoarthritis terbagi dalam dua kelas etiologi utama. OA primer atau idiopatik
merupakan jenis yang paling umum dan tidak memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasi. Subkelas OA primer adalah OA terlokalisasi, yang melibatkan
satu atau dua lokasi dan OA umum, yang mempengaruhi tiga atau lebih lokasi.
Osteoarthritis erosif digunakan untuk menggambarkan keberadaan erosi dan
proliferasi yang ditandai pada sendi interphalangeal proksimal dan distal
tangan.
OA sekunder merupakan jenis osteoarthritis yang terkait dengan penyebab
yang diketahui, seperti reumatoid atau artritis inflamasi lainnya, trauma,
kelainan metabolik atau endokrin dan faktor kongenital. Klasifikasi skema dan
kriteria osteoartritis pinggul, lutut dan tangan dirancang oleh American
College of Rheumatology (ACR). Kriteria tersebut diantaranya adalah adanya
nyeri, perubahan tulang saat pemeriksaan, eritrosit normal laju sedimentasi dan
karakteristik radiografi. Untuk osteoartritis panggul, seorang pasien harus
mengalami nyeri pinggul ditambah dua dari hal-hal berikut yaitu eritrosit laju
sedimentasi kurang dari 20 mm/jam, radiografi femoralis atau osteofit
asetabular atau radiografi penyempitan ruang sendi.
Untuk osteoartritis lutut, pasien harus menderita nyeri lutut dan osteofit
radiografi ditambah salah satu dari hal berikut yaitu, usia lebih dari 50 tahun,
kaku di pagi hari dengan durasi 30 menit atau kurang dan krepitasi saat
bergerak.
Banyak perbedaan komposisi antara tulang rawan pada osteoartritis dan
individu normal. Pada tahap awal osteoartritis, kadar air tulang rawan
meningkat sebagai akibat dari kerusakan jaringan kolagen yang tidak mampu
membatasi proteoglikan. Saat osteoartritis berkembang, prostaglandin tulang
rawan menurun. Sintesis kolagen meningkat dan distribusi serta diameter serat
berubah, tetapi tampaknya kandungan kolagen tidak berubah sampai penyakit
menjadi parah. Teori menunjukkan bahwa pada osteoartritis tulang rawan
terkikis secara pasif, tetapi pada kenyataannya terdapat aktivitas peningkatan
metabolik yang menunjukkan respon reparatif terhadap kerusakan. Meskipun
sintesis matriks meningkat oleh kondrosit, terdapat kehilangan proteoglikan
sebagai degradasi yang berlangsung lebih cepat daripada sintesis.
Matrix metalloproteinases biasanya ditahan oleh penghambat jaringan
metaloproteinase, tetapi ada juga zat yang diproduksi oleh kondrosit yang
mengaktifkan Matrix metalloproteinases. Ketidakseimbangan antara aktivator
dan inhibitor Matrix metalloproteinases dalam cairan sinovial atau jaringan
lokal dapat menyebabkan proteolisis extracellular matrix yang mendorong
perubahan osteoartritis. Tulang subkondral yang berdekatan dengan tulang
rawan artikular juga mengalami perubahan patologis yang mungkin
mendahului, bertepatan dengan, atau mengikuti kerusakan pada tulang rawan
artikular. Namun demikian, kerusakan pada tulang subkondral ini diperlukan
dan tampaknya memungkinkan terjadinya kerusakan lanjutan ke kartilago
artikular, yang mengarah ke progresi menjadi osteoartritis.
Perubahan patologis pada tulang dan tulang rawan menyertai perubahan
biokimia yang baru. Perubahan ini terlihat pada sendi yang menahan beban dan
tidak menahan beban, dan pada OA primer dan sekunder. perubahan biokimia
pada tulang rawan osteoartritis diantaranya adalah :
1. Penebalan awal tulang rawan artikular sebagai ECM rusak dan kadar air
meningkat
2. Proliferasi kondrosit dan peningkatan ECM aktivitas anabolik dan
kerusakan katabolik sekunder jaringan atau perubahan pada struktur
ECM
3. Penurunan respon kondrosit untuk menstabilkan atau memulihkan
jaringan, mengakibatkan hilangnya tulang rawan secara progresif
4. Peningkatan pergantian tulang subkondral yang berdekatan,
menyebabkan pelepasan peptida dan enzim vasoaktif, menyebabkan
degradasi tulang rawan, neovaskularisasi, dan kemungkinan peningkatan
kebocoran tulang rawan yang berdekatan berkontribusi pada hilangnya
tulang rawan artikular selanjutnya
5. Fibrilasi atau pemecahan tulang rawan non kalsifikasi, kemungkinan
terkait dengan perubahan biokimia.
hilangnya tulang rawan memperlihatkan penyebab yang mendasarinya tulang
subkondral dan dapat menyebabkan fraktur mikro. Saat tulang rawan hancur
dan tulang subkondral yang berdekatan mengalami perubahan patologis,
kartilago terkikis seluruhnya, meninggalkan tulang subkondral yang gundul
menjadi padat, halus, dan mengkilat (eburnation). Hasil tulang yang lebih
rapuh dan kaku, dengan penurunan kemampuan menahan beban dan
perkembangan sklerosis dan Fraktur mikro.
Fraktur mikro menyebabkan produksi kalus dan osteoid. Formasi tulang baru
pada batas sendi yang jauh dari tulang rawan penghancuran disebut sebagai
osteofit, dan mungkin merupakan upaya untuk menstabilkan sendi. Kapsul
sendi dan sinovium juga menunjukkan perubahan patologis di OA.
Peradangan, yang secara klinis disebut sebagai sinovitis, dapat terjadi dari
pelepasan mediator inflamasi dari kondrosit, seperti prostaglandin. Peradangan
terlokalisasi pada yang terkena sendi, berbeda dengan yang terlihat pada
rheumatoid atau inflamasi lainnya artritida. Rasa sakit OA tidak berhubungan
dengan kerusakan tulang rawan, tetapi timbul dari aktivasi ujung saraf
nosiseptif di dalam sendi oleh iritan mekanis dan kimiawi. Nyeri OA bisa
terjadi distensi kapsul sinovial oleh peningkatan cairan sendi, fraktur mikro,
iritasi periosteal, atau kerusakan ligamen, sinovium, atau meniskus.
Osteoarthritis merupakan penyakit dengan gangguan keseimbangan
dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya
masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan
mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain
sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang
rawan sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim
yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan
sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar
proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang
rawan sendi. Pada proses degenerasi dari kartilago artikular menghasilkan
suatu substansi atau zat yang dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang
merangsang makrofag untuk menghasilkan IL-1 yang akan meningkatkan
enzim proteolitik untuk degradasi matriks ekstraseluler.
Patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan
mengalami fibrosis serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi
proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik.
Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid
pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya
mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya
menimbulkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung
ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit.
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya
mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang
sendi, peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot
ekstraartikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan
oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal
dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis
vena intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkondral.
Sinovium mengalami peradangan dan akan memicu terjadinya efusi
serta proses peradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi
akan retak dan terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis
dan tampak kehilangan rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon
dari tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan
kista. Pada ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan
jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan
gambaran seolah persendian yang terkena itu bengkak.
2.1.2. Etiologi
Etiologi osteoarthritis terdiri atas beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Obesitas
Peningkatan berat badan sangat terkait dengan osteoartritis
pinggul, lutut, dan tangan. Obesitas sering mendahului OA dan
berkontribusi pada perkembangannya, daripada terjadi sebagai akibat
dari tidak adanya aktivitas dari nyeri sendi. Massa tubuh tertinggi
dikaitkan dengan risiko relatif yang lebih tinggi dari OA lutut (risiko
relatif 1,5 hingga 1,9 untuk pria dan 2,1 hingga 3,2 untuk wanita).
Risiko berkembangnya OA meningkat sekitar 10% dengan setiap
penambahan kilogram berat badan, dan pada orang gemuk tanpa OA,
penurunan berat badan bahkan 5 kg mengurangi risiko OA lutut di
masa depan hingga setengahnya. Selain menjadi faktor risiko OA,
obesitas juga merupakan prediktor untuk prostetik akhirnya
penggantian sendi.
3. Faktor genetik
Keturunan berperan dalam osteoarthritis.Penemuan hubungan
genetik antara tulang rawan matriks dan OA dapat menjelaskan
perkembangan penyakit, dan memiliki potensi untuk membantu dalam
skrining dan strategi pengobatan dalam kelompok tertentu dari pasien.
4. Osteoporosis
Korelasi terbalik antara OA dan osteoporosis telah dibuktikan,
dan baik pria maupun wanita dengan OA telah meningkatkan
kepadatan mineral tulang di berbagai situs kerangka. Hubungan ini
mungkin berasal dari pengaruh berat badan pada kedua penyakit ,
karena orang yang berat memiliki kepadatan tulang yang lebih tinggi
serta peningkatan risiko dari OA. Meskipun risiko osteoporosis mereka
lebih rendah, individu dengan OA tidak terlindungi dari fraktur. Pasien
OA cenderung lebih sedikit postur stabil dan lebih cenderung jatuh,
jadi meskipun tulangnya lebih tinggi kepadatan, tingkat fraktur mereka
mirip dengan pasien tanpa OA.
2.1.3. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan sebagian besar bentuk arthritis dan penyebab
utama disabilitas pada lansia. OA merupakan penyebab beban utama untuk
pasien, pemberi pelayanan kesehatan, dan masyarakat. WHO melaporkan 40%
penduduk dunia yang lansia akan menderita OA, dari jumlah tersebut 80%
mengalami keterbatasan gerak sendi. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia
diatas 70 tahun. Bisa terjadi pada pria dan wanita, tetapi pria bisa terkena pada
usia yang lebih muda. Prevalensi Osteoartritis di Indonesia cukup tinggi yaitu
5% pada usia > 40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun dan 65% pada usia > 61
tahun.7 Berdasarkan studi yang dilakukan di pedesaan Jawa Tengah
menemukan prevalensi untuk OA mencapai 52% pada pria dan wanita antara
usia 40-60 tahun dimana 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. (Adhiputra,
2017)
b. Terapi Farmakologi
2019)9
2.2.3. Epidemiologi
Kanker ovarium adalah kanker paling umum ke-8, dan 8 penyebab
kematian paling umum akibat kanker pada wanita di dunia. Pada tahun 2018,
diperkirakan ada lebih dari 295.000 kasus kanker ovarium, dan hampir 185.000
mengalami kematian, dan lebih dari 750.000 wanita yang hidup dalam lima
tahun diagnosis (prevalensi 5 tahun). Diperkirakan bahwa pada tahun 2040,
insiden akan meningkat sebesar 47% menjadi total lebih dari 434.000, dengan
peningkatan yang lebih besar dalam jumlah kematian setiap tahun (naik hampir
59% menjadi lebih dari 293.000). (Reide, Frances et al. 2020)
Peringkat negara berdasarkan jumlah kasus kanker ovarium yang dilaporkan
pada tahun 2018 dan juga menunjukkan jumlah kematian, dan prevalensi lima
tahun.
5. Terapi hormon
Terapi hormon adalah pengobatan yang menghentikan tubuh dari
membuat hormon tertentu atau menghentikan aksi hormon. Terapi
hormon tidak digunakan sebagai pengobatan awal untuk kanker
ovarium. Tapi, itu dapat digunakan untuk kanker ovarium yang telah
kembali setelah perawatan lain.
Tamoxifen 20 mg/hari
2.3. Hipertensi
Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah suatu
sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif sebagai akibat dari
kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan, WHO menyatakan hipertensi
merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan
atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg, (JNC VIII) berpendapat
hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diatas 140/90 mmHg, sedangkan menurut
Brunner dan Suddarth hipertensi juga diartikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan darahnya diatas 140/90 mmHg. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik yang
persisten diatas 140 mmHg sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan.
2.3.1. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral
resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang
tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh
memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas
tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah
sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex
kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia,
susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos.
Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan
antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon
angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan
berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan
jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE).
ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh
hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat
yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting
pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan
mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
2.3.2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi
hipertensi primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi
jenis ini tidak diketahui penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi
sekunder akibat adanya suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti
stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma,
hiperaldosteronism, dan sebagainya.
2.3.3. Epidemiologi
Secara global prevalensi tertinggi peningkatan
tekanan darah usia ≥18 tahun pada tahun 2014 terdapat di
Afrika sebesar 30% dan terendah terdapat di Amerika
yaitu sebesar 18%. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia
menduduki peringkat ke-6 dengan prevalensi hipertensi
sebesar 24% setelah Bhutan (27,7%), Timor Leste (26%),
Nepal (25,9%), India (25,9%) dan Bangladeshn(25,1%),
sedangkan prevalensi hipetensi terendah yaitu Srilanka
sebesar 21,6%) (WHO, 2015). Prevalensi hipertensi
tertinggi di Indonesia berdasarkan pengukuran pada
umur ≥18 tahun menurut hasil Riskesdas 2013 terdapat di
Bangka Belitung (30,9%) dan prevalensi kejadian
hipertensi terendah terjadi di Papua (16,8%). Dilihat
secara Nasional prevalensi kejadian hipertensi pada
tahun 2013 di provinsi Bali sebesar 19,9% (Kemenkes.RI,
2014). Epidemiologi hipertensi berdasarkan orang dapat
diklasifikasikan menurut umur, jenis kelamin dan
riwayat keluarga. Semakin tinggi umur maka prevalensi
hipertensi akan cenderung meningkat (Kemenkes RI,
2013).
Lisinopril 10-40 1
Perindopril 5-10 1
Eprosartan 600 1
Irbesartan 150-300 1
Olmesartan 20-40 1
Telmisartan 20-80 1
Valsartan 80-320 1
Lercanidipin 10-20 1
Metoprolol 100-400 2
Tartrat
Mayor 3 6,38
Moderate 27 57,44
Minor 17 36,17
metabolisme
enzim hati
CYP2D6.
Kurangnya
manfaat yang
jelas dalam
kombinasi
penggunaan
aspirin dengan
NSAIDs
Diklofena Etodolak Aditif Obat 1 akan .Monitoring Moderate
k pasien,
meningkatkan hindari atau
level gunakan
Interaksi alternatif obat
farmakokinetik atau efek Obat 2 lain
: Kompetisi
dengan obat
asam (anionik)
untuk
pembersihan
tubulus ginjal.
obat asam
(anionik) untuk
pembersihan
tubulus ginjal.
Signifikansi
Tidak
Diketahui.
Kompetisi
dengan obat
asam (anionik)
untuk
pembersihan
tubulus ginjal.
Signifikansi
Tidak
Diketahui.
Laporan kejadian interaksi obat antara obat osteoarthritis dengan obat kanker
ovarium jarang ditemukan. Adapun penggunaan salah satu obat kanker ovarium
ditemukan memiliki efek samping timbulnya osteoarthrtitis. Bevacizumab (BVC) saat
ini digunakan pada kanker ovarium berulang dan sebagai bagian dari pengobatan awal
untuk kanker ovarium. Toksisitas paling serius yang terkait dengan BVC termasuk
perforasi gastrointestinal, penyembuhan luka yang tertunda, dan perdarahan. Artritis
tidak pernah terdeteksi pada pasien yang menerima pengobatan BVC. Ini adalah
laporan kasus pertama munculnya arthritis terkait dengan administrasi BVC. Seorang
wanita berusia 59 tahun dengan kanker ovarium menerima beberapa rejimen hormonal
dan sitotoksik selama 5 tahun dan kemudian mengalami perkembangan osteoartritis
erosif pada tangan akibat BVC dan paclitaxel. Efek ini dipastikan membaik setelah
pengobatan dihentikan (Vauleon, 2021).
Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat dari
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih menjadi berubah. Seperti pada
interaksi antar obat yang digunakan pada osteoartritis Tramadol dan Celecoxib,
Celecoxib mengurangi efek Tramadol dengan memengaruhi metabolisme
enzim hati CYP2D6 sehingga terjadi penurunan konversi Tramadol menjadi
metabolit aktif. Celecoxib juga berinteraksi dengan Captropil yang biasa
digunakan sebagai obat hipertensi dan dapat meningkatkan toksisitas masing-
masing obat dan menginduksi peningkatan tekanan darah sistolik secara
signifikan. Captropil juga berinteraksi dengan Topotecan yang bisa digunakan
sebagai obat kanker ovarium yang akan berefek. Captopril meningkatkan
tingkat atau efek topotecan oleh p-glikoprotein (MDR1) transporter efflux.
Interaksi obat dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme yaitu interaksi secara
farmasetik atau dapat disebut inkompatibilitas, interaksi secara farmakokinetik
(perubahan pengiriman obat ke tempat kerjanya) dan interaksi secara farmakodinamik
(modifikasi dari respons target obat).