Anda di halaman 1dari 78

MAKALAH INTERAKSI OBAT

“INTERAKSI OBAT OSTEOARTHRITIS DENGAN


OBAT HIPERTENSI DAN KANKER OVARIUM”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Interaksi Obat

Dosen Pengampu :
Dr. Apt. Delina Hasan, M. Kes.

Disusun Oleh :
Kelompok 4 BD
Annisa Nurul Fakriyah 11181020000062
Revita Fitri Amelia 11181020000063
Reyhan Diva Zaafira 11181020000065
Andreansyah Novario Ola K. 11181020000070
Nadya Firdausi 11181020000072
Heni Asnah Nurjannah 11181020000073
Muhammad Evan Rakha J. 11181020000083
Hanifah Razani 11181020000084
Mhd. Chairul Amin 11181020000097
Linatun Nafiroh 11181020000098
Cut Fadhilatul Habibi 11181020000103

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MEI/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia, dan ilmu yang
bermanfaat. Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti. Segala puji dan syukur kami
panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan nikmat dan karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Osteoarthritis dengan
Penyakit Penyerta Hipertensi dan Kanker Ovarium”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Interaksi Obat yang terdapat pada Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Makalah ini berisi tentang interaksi yang terjadi pada obat yang digunakan untuk
mengatasi penyakit Osteoarthritis dengan Penyakit Penyerta Hipertensi dan Kanker Ovarium.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Delina Hasan Apt., M.Kes selaku
dosen pengampu mata kuliah interaksi obat dan pihak-pihak lain yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu kami memerlukan kritik dan saran yang membangun dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 10 Mei 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I 5
1.1. Latar Belakang 5
1.2. Bukti Klinis Hasil Penelitian Terdahulu 9
1.3. Rumusan Masalah 10
1.4. Tujuan 11
1.5. Manfaat Penelitian 11
1.6. Ruang Lingkup 11

BAB II 13
2.1. Osteoarthritis 13
2.1.1. Patofisiologi 13
2.1.2. Etiologi 17
2.1.3. Epidemiologi 18
2.1.4. Manifestasi Klinis 19
2.1.5. Diagnosis Penyakit 21
2.1.6. Penatalaksanaan Pengobatan 23
2.1.7. Obat yang Digunakan 25
2.1.8. Penggolongan Obat yang Digunakan 26
2.1.9. Algoritma Pengobatan 27
2.2. Kanker Ovarium 29
2.2.1. Patofisiologi 29
2.2.2. Etiologi 31
2.2.3. Epidemiologi 31
2.2.4. Manifestasi Klinis 33
2.2.5. Diagnosis Penyakit 34
2.2.6. Penatalaksanaan Pengobatan 36
2.2.7. Obat yang Digunakan 37
2.2.8. Penggolongan Obat yang Digunakan 38
2.2.9. Algoritma Pengobatan 39
2.3. Hipertensi 39
2.3.1. Patofisiologi 40
2.3.2. Etiologi 41
2.3.3. Epidemiologi 41
2.3.4. Manifestasi Klinis 42
2.3.5. Diagnosis Penyakit 42
2.3.6. Penatalaksanaan Pengobatan 44
2.3.7. Obat yang Digunakan 51
2.3.8. Penggolongan Obat yang Digunakan 52
2.3.9. Algoritma Pengobatan 55

BAB III 58
3.1. Definisi Interaksi Obat 58
3.2. Mekanisme Interaksi Obat 58
3.3. Tingkat Keparahan Interaksi Obat 60
3.4. Interaksi Obat Antar Obat Osteoarthritis 61
3.5. Interaksi Obat Osteoarthritis Dengan Obat Kanker Ovarium 64
3.6. Interaksi Obat Osteoarthritis Dengan Obat Hipertensi 66
3.7. Interaksi Obat Hipertensi Dengan Obat Kanker Ovarium 68

BAB IV 72
4.1. Kesimpulan 72

DAFTAR PUSTAKA 74
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hal yang sangat penting bagi setiap orang adalah kesehatan. Tidak ada satupun
manusia yang menginginkan sakit. Penyakit yang diderita antar manusia tidak selalu
sama tergantung dari faktor penyebabnya, ada yang disebabkan dari faktor luar dan
ada juga yang disebabkan dari faktor dalam tubuh. Yang dimaksud dengan sakit
adalah suatu keadaan dimana tubuh tidak dalam kondisi normal, sehingga tidak dapat
melakukan aktivitas seperti biasanya secara maksimal. Hal yang akan dilakukan
seseorang apabila terjangkit suatu penyakit adalah mengobatinya. Upaya pengobatan
tersebut dapat dilakukan secara farmakologis maupun non farmakologis. Secara
farmakologis, biasanya orang yang sakit atau disebut juga sebagai pasien akan
meminum obat-obatan untuk menyembuhkan penyakitnya.
Beberapa kasus menyatakan, pasien yang menjalani terapi farmakologis dengan
obat-obatan tertentu tak jarang mengalami interaksi antar obat. Interaksi obat adalah
keadaan dimana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat atau dua atau lebih obat yang
diberikan pada waktu bersamaan dimana dapat menghasilkan efek meningkat atau
menurun atau menghasilkan efek baru yang tidak dihasilkan oleh obat tersebut.
Interaksi ini dapat terjadi dari penyalahgunaan yang disengaja atau karena kurangnya
pengetahuan tentang bahan-bahan aktif yang terdapat dalam hal terkait (Bushra et al.,
2011). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain,
obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya.
Definisi yang relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang
lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama atau dengan yang lainnya.
Interaksi obat dianggap penting secara klinis bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah)
(Mariam, 2016). Menurut data dari Committee for Proprietary Medicine Product Pada
beberapa kasus, interaksi obat terkadang dapat menimbulkan efek pada kedua obat
sehingga obat mana yang mempengaruhi dan obat mana yang dipengaruhi, menjadi
tidak jelas. Diperkirakan, insiden terjadinya interaksi obat sekitar 7% dari semua efek
samping obat dan kematian akibat ini sekitar 4%.
Interaksi obat menjadi salah satu masalah yang serius dalam terapi karena jika
terjadi interaksi obat akan mempengaruhi keberhasilan terapi dan berpotensi
menyebabkan kegagalan terapi, bisa menyebabkan gangguan tubuh baik bersifat
sementara atau permanen dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Meskipun begitu
tidak semua interaksi obat merugikan, bahkan ada yang menguntungkan (Manik,
2014). Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan
adalah akibat semakin banyaknya dan makin seringnya penggunaan obat - obat yang
dinamakan polifarmasi atau multiple drug therapy.
Osteoarthritis (OA) merupakan suatu penyakit sendi degeneratif yang berkaitan
dengan kerusakan kartilago sendi, penyakit ini terjadi seiring dengan pertambahan
usia dan biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia lanjut. Data radiografi
menunjukkan bahwa osteoarthritis terjadi pada sebagian besar usia lebih dari 65 tahun,
dan hampir pada setiap orang diusia 75 tahun (Depkes RI, 2012). Osteoarthritis
merupakan jenis artritis yang paling sering terjadi yang menimbulkan rasa sakit dan
hilangnya kemampuan gerak. Osteoarthritis merupakan kelainan yang mengenai
berbagai ras dan kedua jenis kelamin. Osteoarthritis lebih banyak ditemukan pada
perempuan jika dibandingkan dengan laki – laki yaitu 68,67% (Pratiwi, 2015).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO),
diketahui bahwa osteoarthritis diderita oleh 151,4 juta jiwa di
seluruh dunia dan mencapai 27,4 juta jiwa di kawasan Asia
Tenggara. Di Amerika Serikat prevalensinya meningkat sekitar
66% - 100% pada tahun 2020 dan pada tahun 2050 diperkirakan
130 juta orang menderita osteoartritis di seluruh dunia.
Prevalensi jumlah osteoartritis di Indonesia 50 – 60%. Kasus
osteoarthritis cukup tinggi di Indonesia yaitu 5% pada usia 61
tahun. Sedangkan prevalensi osteoartritis lutut berdasarkan
pemeriksaan radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu
mencapai 15,5% pada pria, dan 12,7% pada wanita . Menurut
Riskesdas 2018, prevalensi penyakit sendi berdasarkan
diagnosis dokter di Indonesia sebesar 29,3%. Jika berdasarkan
diagnosis kesehatan dan gejala tertinggi di Aceh yaitu
sebesar 13,3%. Jika dilihat dari karakteristik umur, prevalensi
tertinggi pada umur ≥ 75 tahun (18,9%). Penderita wanita juga
lebih banyak (14,6%) dibandingkan dengan pria (14,7%)
(Riskesdas, 2018).
Terapi untuk mengatasi osteoarthritis tergantung dari distribusi dan keparahan
sendi yang terlibat, adanya penyakit lain dan obat – obatan yang digunakan. Terapi
osteoarthritis umumnya simptomatik yang bertujuan untuk membantu mengurangi
keluhan nyeri pada pasien osteoarthritis, biasanya digunakan analgetik dan obat Non
Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID).
Penderita osteoarthritis yang paling sering terjadi pada usia lanjut karena pada
usia lanjut mengalami proses degeneratif yaitu penurunan fungsi atau perubahan
struktur dari keseluruhan organ. Degenerasi ini menimbulkan berbagai penyakit,
sehingga memungkinkan mereka menerima banyak obat atau polifarmasi. Polifarmasi
didefinisikan sebagai pengobatan multiple oleh satu pasien dan sering terjadi pada
pasien geriatri sehingga menimbulkan interaksi obat (Rahmawati, dkk., 2014). Hasil
penelitian di Kanada menunjukkan bahwa 24 pasien osteoarthritis teridentifikasi
mengalami interaksi obat sebesar 14% (Putnam, dkk., 2013).
Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan sekitar 1,13
Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia
terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap
tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar orang yang terkena
hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal akibat
hipertensi dan komplikasinya.
Hipertensi adalah penyakit yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
secara menetap (Dipiro, dkk., 2011). Umumnya, seseorang dikatakan mengalami
hipertensi jika tekanan darah berada di atas 140/90 mmHg. Hipertensi dibedakan
menjadi dua macam, yakni hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder.
Hipertensi dipicu oleh beberapa faktor risiko, seperti faktor genetik, obesitas,
kelebihan asupan natrium, dislipidemia, kurangnya aktivitas fisik, dan defisiensi
vitamin D (Dharmeizar, 2012). Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan
berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) > 120
mmHg dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) > 210 mmHg. Diagnosis hipertensi
ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD
> 90 mmHg dan/atau TDS > 140 mmHg.
Kanker adalah istilah umum untuk sekelompok besar penyakit yang dapat
memengaruhi setiap bagian tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas dan
neoplasma. Salah satu ciri khas kanker adalah pembentukan sel-sel abnormal cepat
yang tumbuh di luar batas biasanya, dan yang kemudian dapat menyerang bagian
tubuh yang bersebelahan dan menyebar ke organ lain, proses terakhir disebut sebagai
metastasis (WHO, 2018).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), kanker adalah penyebab
utama kematian kedua di dunia setelah penyakit kardiovaskular dan bertanggung
jawab atas perkiraan 9,6 juta kematian pada tahun 2018. Secara global, sekitar 1 dari 6
kematian disebabkan oleh kanker (WHO, 2018). Kanker ovarium adalah salah satu
kanker alat genital pada perempuan yang dapat menyebabkan kematian tertinggi. Pada
diagnosis penyakit kanker ovarium di Amerika Serikat, jumlah kasus baru didapatkan
sekitar 22.220 kasus setiap tahunnya dan sekitar 16.210 kematian akibat penyakit ini.
Terdapat 6% kanker ovarium dari total kanker pada perempuan dan dari 68
perempuan terdapat 1 yang menderita kanker ovarium (Simamora et al., 2018).
Berdasarkan data Global Burden of Cancer Study (Globocan), diketahui bahwa
pada tahun 2018 kanker ovarium menempati peringkat ke-8 dari berbagai jenis kanker
lainnya yang menyebabkan kematian pada perempuan. Di tahun 2018, terdapat
295.414 kasus baru kanker ovarium dan 184.799 kematian akibat kanker ovarium di
dunia. Di Indonesia, terdapat 13.310 kasus baru dan 7.842 kematian akibat kanker
ovarium (Globocan, 2018).
Kanker adalah penyakit pada sel dimana terjadi pembentukan jaringan di dalam
tubuh. Di dalam semua sel terdapat kode dalam proses pembentukan sel yang baru dan
mengatur sifat sel tersebut. Kode itu disebut dengan gen. Perubahan tidak normal pada
gen dapat mengubah sel ovarium yang normal menjadi sel kanker. Sel normal tumbuh
dan membelah membentuk sel baru. Pembentukan sel baru berguna untuk mengganti
sel yang rusak atau sel yang mati. Ketika sel normal sudah menjadi tua atau terjadi
kerusakan, mereka akan mati dan digantikan dengan sel yang baru. Namun, pada sel
kanker hal ini tidak terjadi. Perubahan pada gen menyebabkan sel kanker
menggandakan dirinya secara berlebihan (NCCN, 2017). Kanker selalu dinamai
dengan bagian tubuh yang pertama kali terkena, meskipun nantinya menyebar ke
bagian tubuh lainnya (CDC, 2019).
Kanker ovarium adalah pertumbuhan sel-sel yang tidak normal pada satu atau
kedua ovarium. Terdapat 3 tipe kanker ovarium. Epithelial ovarian cancer adalah tipe
kanker ovarium yang paling banyak terjadi pada wanita. Lebih dari 80% wanita
mengidap kanker ovarium tipe epithelial ovarian cancer. Tipe kanker ovarium yang
lain yaitu germ cell ovarian cancer dan sex-cord stromal cancer (Healthy Western
Australia, 2020).
Berdasarkan uraian di atas, untuk meminimalisir terjadinya kesalahan terapi yang
memperburuk kondisi, perlu dilakukan kajian mengenai interaksi-interaksi obat yang
akan digunakan terlebih pada pasien osteoartritis dengan penyakit penyertanya.

1.2. Bukti Klinis Hasil Penelitian Terdahulu


Studi kohort ini menganalisis penggunaan NSAID dan data diagnosis kanker
ovarium dari 2 kohort prospektif, 93 664 wanita dalam Nurses' Health Study (NHS),
yang ditindaklanjuti dari 1980 hingga 2014, dan 111,834 dalam Nurses' Health Study
II (NHSII). Yang ditindaklanjuti dari tahun 1989 hingga 2015. Tindak lanjut selesai
pada 30 Juni 2014, untuk NHS dan 30 Juni 2015, untuk NHSII. Data dianalisis mulai
13 Juni 2016 hingga 18 September 2017. Untuk setiap jenis analgesik (aspirin, aspirin
dosis rendah, NSAID nonaspirin, dan asetaminofen), waktu, durasi, frekuensi, dan
jumlah tablet yang digunakan dievaluasi.
Model bahaya proporsional Cox digunakan untuk memperkirakan rasio bahaya
(HR) dan 95% CI untuk asosiasi aspirin, NSAID nonaspirin, dan asetaminofen dengan
risiko kanker ovarium epitel. Semua uji statistik adalah 2-sisi, dengan tingkat
signifikansi 0,05. Di NHS, usia rata-rata (SD) pada awal (1980) adalah 45,9 (7,2)
tahun, dan 93% peserta diidentifikasi sebagai kulit putih non-Hispanik. Di NHSII,
usia rata-rata pada awal (1989) adalah 34,2 (4,7) tahun, dan 92% diidentifikasi sebagai
kulit putih non-Hispanik. Di antara 205.498 wanita di kedua kohort, ada 1054 kasus
insiden kanker ovarium epitel. Hubungan yang signifikan antara aspirin dan risiko
kanker ovarium tidak diamati ketika aspirin saat ini tidak digunakan dievaluasi
terlepas dari dosis (HR, 0,99; 95% CI, 0,83-1,19). Namun, ketika
aspirin dosis rendah (≤100 mg) dan dosis standar (325 mg)
dievaluasi secara terpisah, hubungan terbalik untuk aspirin
dosis rendah (HR, 0,77; 95% CI, 0,61-0,96), tetapi tidak asosiasi
untuk aspirin dosis standar (HR, 1,17; 95% CI, 0,92-1,49)
diamati. Penggunaan NSAID nonaspirin saat ini secara positif
terkait dengan risiko kanker ovarium dibandingkan dengan
tidak menggunakan (HR, 1,19; 95% CI, 1,00-1,41). Tampak konsisten
dengan studi kasus-kontrol yang menunjukkan penurunan risiko kanker ovarium di
antara pengguna reguler aspirin dosis rendah. Peningkatan risiko kanker ovarium
dengan penggunaan jangka panjang analgesik lain, terutama NSAID nonaspirin.
Beberapa penelitian telah meneliti hubungan hipertensi dan obat antihipertensi
dengan kanker ovarium. Secara khusus, beta-blocker, salah satu obat yang paling
sering diresepkan untuk mengobati hipertensi, dapat mengurangi risiko kanker
ovarium dengan menghambat sinyal beta-adrenergik. Secara prospektif mengikuti
90.384 wanita dalam Nurses' Health Study (NHS) antara 1988-2012 dan 113.121
peserta NHSII antara 1989-2011. Hipertensi dan penggunaan obat antihipertensi
dilaporkan sendiri setiap dua tahun. Model bahaya proporsional Cox digunakan untuk
memperkirakan rasio bahaya (HR) dan interval kepercayaan 95% (CI). Peneliti
mendokumentasikan 948 kasus kanker ovarium selama masa tindak lanjut. Hasil
serupa diamati pada dua kohort. Sementara hipertensi tidak terkait dengan risiko
kanker ovarium (Hr gabungan = 1,01; 95% CI = 0,88, 1,16), penggunaan obat
antihipertensi saat ini dikaitkan dengan sedikit peningkatan risiko dibandingkan
dengan yang tidak pernah menggunakan (Hr gabungan = 1,18; 95% CI: 1,02, 1,37).
Peningkatan risiko ini terutama disebabkan oleh penggunaan diuretik thiazide (HR
yang dikumpulkan = 1,37; 95% CI: 1,13, 1,68). Tidak ada hubungan yang diamati
untuk beta-blocker atau inhibitor angiotensin-converting-enzyme. Calcium channel
blockers (CCBs) dikaitkan dengan penurunan risiko (NHS HR = 0,73; 95% CI: 0,53,
1,01), setelah disesuaikan untuk semua obat antihipertensi. Asosiasi serupa di antara
wanita hipertensi dan lebih kuat untuk penggunaan diuretik thiazide dan CCB yang
lebih lama. Kesimpulannya, hasil pada penelitian tidak memberikan bukti bahwa beta-
blocker dikaitkan dengan penurunan risiko kanker ovarium.

1.3. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, maka didapatkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme interaksi obat antar obat Osteoarthritis ?
2. Bagaimana potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien Osteoarthritis yang
menerima pengobatan hipertensi ?
3. Bagaimana potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien Osteoarthritis yang
menerima pengobatan kanker serviks ?
4. Adanya penyakit penyerta dan polifarmasi dalam pengobatan Osteoarthritis
sangat berpotensi mengakibatkan terjadinya interaksi antar obat yang
digunakan.
5. Pasien memerlukan solusi yang harus dilakukan guna mencegah terjadinya
interaksi obat Osteoarthritis dengan obat hipertensi dan kanker ovarium

1.4. Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah
Interaksi Obat. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan pada sub bab
sebelumnya, makan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjawab beberapa
pertanyaan yang telah disebutkan, antara lain :

1. Untuk menjelaskan dan mengetahui potensi interaksi obat yang terjadi pada
pasien Osteoarthritis yang menerima pengobatan hipertensi.
2. Untuk menjelaskan dan mengetahui potensi interaksi obat yang terjadi pada
pasien Osteoarthritis yang menerima pengobatan kanker serviks.
3. Untuk mengetahui tingkat keparahan atau level signifikan efek yang terjadi
akibat adanya interaksi obat pada pasien osteoporosis dengan penyakit
penyerta hipertensi dan kanker ovarium
4. Untuk mengetahui mekanisme interaksi obat yang terjadi pada pasien
penggunaan obat osteoporosis dengan penyakit penyerta hipertensi dan
kanker ovarium
5. Untuk mengetahui manajemen interaksi obat atau solusi yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya interaksi obat

1.5. Manfaat Penelitian


Secara aplikatif, makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta menjadi informasi yang berguna untuk pelaksanaan terapi dari penyakit
osteoporosis dengan penyakit penyerta hipertensi dan kanker ovarium yang aman,
efektif, dan efisien.

1.6. Ruang Lingkup


Ruang lingkup dari penulisan makalah ini adalah mencakup pembahasan mengenai
interaksi obat pada pasien Osteoporosis dengan penyakit penyerta hipertensi dan kanker
ovarium yang meliputi :
a. Lingkup Keilmuan
Makalah ini termasuk dalam ruang lingkup ilmu kesehatan khususnya penyakit
Osteoporosis dengan penyakit penyerta hipertensi dan kanker ovarium
b. Materi Makalah
Makalah ini membahas mengenai Profil untuk setiap penyakit yang mencakup
patofisiologi, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinik, diagnosis penyakit,
penatalaksanaan pengobatan, obat yang digunakan untuk masing-obat penyakit
termasuk penyakit penyerta, penggolongan obat yang digunakan, algoritma
pengobatan untuk setiap penyakit, serta interaksi obat baik itu sesama golongan,
golongan lain ataupun dengan obat lainnya
c. Objek Makalah
Objek makalah ini adalah jurnal ataupun artikel resmi yang berasal dari nasional
maupun internasional
d. Waktu Pelaksanaan
Pembuatan makalah ini dilakukan pada tanggal 2-10 Mei 2021
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Osteoarthritis

2.1.1. Patofisiologi
Osteoarthritis terbagi dalam dua kelas etiologi utama. OA primer atau idiopatik
merupakan jenis yang paling umum dan tidak memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasi. Subkelas OA primer adalah OA terlokalisasi, yang melibatkan
satu atau dua lokasi dan OA umum, yang mempengaruhi tiga atau lebih lokasi.
Osteoarthritis erosif digunakan untuk menggambarkan keberadaan erosi dan
proliferasi yang ditandai pada sendi interphalangeal proksimal dan distal
tangan.
OA sekunder merupakan jenis osteoarthritis yang terkait dengan penyebab
yang diketahui, seperti reumatoid atau artritis inflamasi lainnya, trauma,
kelainan metabolik atau endokrin dan faktor kongenital. Klasifikasi skema dan
kriteria osteoartritis pinggul, lutut dan tangan dirancang oleh American
College of Rheumatology (ACR). Kriteria tersebut diantaranya adalah adanya
nyeri, perubahan tulang saat pemeriksaan, eritrosit normal laju sedimentasi dan
karakteristik radiografi. Untuk osteoartritis panggul, seorang pasien harus
mengalami nyeri pinggul ditambah dua dari hal-hal berikut yaitu eritrosit laju
sedimentasi kurang dari 20 mm/jam, radiografi femoralis atau osteofit
asetabular atau radiografi penyempitan ruang sendi.
Untuk osteoartritis lutut, pasien harus menderita nyeri lutut dan osteofit
radiografi ditambah salah satu dari hal berikut yaitu, usia lebih dari 50 tahun,
kaku di pagi hari dengan durasi 30 menit atau kurang dan krepitasi saat
bergerak.
Banyak perbedaan komposisi antara tulang rawan pada osteoartritis dan
individu normal. Pada tahap awal osteoartritis, kadar air tulang rawan
meningkat sebagai akibat dari kerusakan jaringan kolagen yang tidak mampu
membatasi proteoglikan. Saat osteoartritis berkembang, prostaglandin tulang
rawan menurun. Sintesis kolagen meningkat dan distribusi serta diameter serat
berubah, tetapi tampaknya kandungan kolagen tidak berubah sampai penyakit
menjadi parah. Teori menunjukkan bahwa pada osteoartritis tulang rawan
terkikis secara pasif, tetapi pada kenyataannya terdapat aktivitas peningkatan
metabolik yang menunjukkan respon reparatif terhadap kerusakan. Meskipun
sintesis matriks meningkat oleh kondrosit, terdapat kehilangan proteoglikan
sebagai degradasi yang berlangsung lebih cepat daripada sintesis.
Matrix metalloproteinases biasanya ditahan oleh penghambat jaringan
metaloproteinase, tetapi ada juga zat yang diproduksi oleh kondrosit yang
mengaktifkan Matrix metalloproteinases. Ketidakseimbangan antara aktivator
dan inhibitor Matrix metalloproteinases dalam cairan sinovial atau jaringan
lokal dapat menyebabkan proteolisis extracellular matrix yang mendorong
perubahan osteoartritis. Tulang subkondral yang berdekatan dengan tulang
rawan artikular juga mengalami perubahan patologis yang mungkin
mendahului, bertepatan dengan, atau mengikuti kerusakan pada tulang rawan
artikular. Namun demikian, kerusakan pada tulang subkondral ini diperlukan
dan tampaknya memungkinkan terjadinya kerusakan lanjutan ke kartilago
artikular, yang mengarah ke progresi menjadi osteoartritis.
Perubahan patologis pada tulang dan tulang rawan menyertai perubahan
biokimia yang baru. Perubahan ini terlihat pada sendi yang menahan beban dan
tidak menahan beban, dan pada OA primer dan sekunder. perubahan biokimia
pada tulang rawan osteoartritis diantaranya adalah :
1. Penebalan awal tulang rawan artikular sebagai ECM rusak dan kadar air
meningkat
2. Proliferasi kondrosit dan peningkatan ECM aktivitas anabolik dan
kerusakan katabolik sekunder jaringan atau perubahan pada struktur
ECM
3. Penurunan respon kondrosit untuk menstabilkan atau memulihkan
jaringan, mengakibatkan hilangnya tulang rawan secara progresif
4. Peningkatan pergantian tulang subkondral yang berdekatan,
menyebabkan pelepasan peptida dan enzim vasoaktif, menyebabkan
degradasi tulang rawan, neovaskularisasi, dan kemungkinan peningkatan
kebocoran tulang rawan yang berdekatan berkontribusi pada hilangnya
tulang rawan artikular selanjutnya
5. Fibrilasi atau pemecahan tulang rawan non kalsifikasi, kemungkinan
terkait dengan perubahan biokimia.
hilangnya tulang rawan memperlihatkan penyebab yang mendasarinya tulang
subkondral dan dapat menyebabkan fraktur mikro. Saat tulang rawan hancur
dan tulang subkondral yang berdekatan mengalami perubahan patologis,
kartilago terkikis seluruhnya, meninggalkan tulang subkondral yang gundul
menjadi padat, halus, dan mengkilat (eburnation). Hasil tulang yang lebih
rapuh dan kaku, dengan penurunan kemampuan menahan beban dan
perkembangan sklerosis dan Fraktur mikro.
Fraktur mikro menyebabkan produksi kalus dan osteoid. Formasi tulang baru
pada batas sendi yang jauh dari tulang rawan penghancuran disebut sebagai
osteofit, dan mungkin merupakan upaya untuk menstabilkan sendi. Kapsul
sendi dan sinovium juga menunjukkan perubahan patologis di OA.
Peradangan, yang secara klinis disebut sebagai sinovitis, dapat terjadi dari
pelepasan mediator inflamasi dari kondrosit, seperti prostaglandin. Peradangan
terlokalisasi pada yang terkena sendi, berbeda dengan yang terlihat pada
rheumatoid atau inflamasi lainnya artritida. Rasa sakit OA tidak berhubungan
dengan kerusakan tulang rawan, tetapi timbul dari aktivasi ujung saraf
nosiseptif di dalam sendi oleh iritan mekanis dan kimiawi. Nyeri OA bisa
terjadi distensi kapsul sinovial oleh peningkatan cairan sendi, fraktur mikro,
iritasi periosteal, atau kerusakan ligamen, sinovium, atau meniskus.
Osteoarthritis merupakan penyakit dengan gangguan keseimbangan
dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya
masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan
mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain
sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang
rawan sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim
yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan
sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar
proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang
rawan sendi. Pada proses degenerasi dari kartilago artikular menghasilkan
suatu substansi atau zat yang dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang
merangsang makrofag untuk menghasilkan IL-1 yang akan meningkatkan
enzim proteolitik untuk degradasi matriks ekstraseluler.
Patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan
mengalami fibrosis serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi
proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik.
Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid
pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya
mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya
menimbulkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung
ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit.
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya
mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang
sendi, peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot
ekstraartikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan
oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal
dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis
vena intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkondral.
Sinovium mengalami peradangan dan akan memicu terjadinya efusi
serta proses peradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi
akan retak dan terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis
dan tampak kehilangan rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon
dari tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan
kista. Pada ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan
jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan
gambaran seolah persendian yang terkena itu bengkak.

2.1.2. Etiologi
Etiologi osteoarthritis terdiri atas beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Obesitas
Peningkatan berat badan sangat terkait dengan osteoartritis
pinggul, lutut, dan tangan. Obesitas sering mendahului OA dan
berkontribusi pada perkembangannya, daripada terjadi sebagai akibat
dari tidak adanya aktivitas dari nyeri sendi. Massa tubuh tertinggi
dikaitkan dengan risiko relatif yang lebih tinggi dari OA lutut (risiko
relatif 1,5 hingga 1,9 untuk pria dan 2,1 hingga 3,2 untuk wanita).
Risiko berkembangnya OA meningkat sekitar 10% dengan setiap
penambahan kilogram berat badan, dan pada orang gemuk tanpa OA,
penurunan berat badan bahkan 5 kg mengurangi risiko OA lutut di
masa depan hingga setengahnya. Selain menjadi faktor risiko OA,
obesitas juga merupakan prediktor untuk prostetik akhirnya
penggantian sendi.

2. Pekerjaan, olahraga atau trauma


Hal ini berpartisipasi dalam aktivitas yang melibatkan gerakan
atau cedera berulang berada pada peningkatan risiko untuk
mengembangkan OA. Pekerja yang terpapar tekanan berulang pada
tangan atau tungkai bawah berisiko lebih tinggi untuk OA sendi yang
stres. OA ekstremitas bawah pada beberapa olahraga profesional juga
meningkat, kemungkinan sekunder akibat gerakan berulang, trauma
pada sendi, kehilangan integritas ligamen, atau kerusakan pada
meniskus. Risiko untuk OA tergantung pada jenis dan intensitas
aktivitas fisik. Studi Fra mingham menunjukkan bahwa aktivitas fisik
yang berat meningkatkan lutut Berisiko OA, terutama pada penderita
obesitas, sedangkan aktivitas sedang atau ringan. Usia saat cedera
memang penting, karena individu yang lebih tua yang merusak ligamen
cenderung mengembangkan OA lebih cepat daripada muda dengan
cedera serupa.

3. Faktor genetik
Keturunan berperan dalam osteoarthritis.Penemuan hubungan
genetik antara tulang rawan matriks dan OA dapat menjelaskan
perkembangan penyakit, dan memiliki potensi untuk membantu dalam
skrining dan strategi pengobatan dalam kelompok tertentu dari pasien.

4. Osteoporosis
Korelasi terbalik antara OA dan osteoporosis telah dibuktikan,
dan baik pria maupun wanita dengan OA telah meningkatkan
kepadatan mineral tulang di berbagai situs kerangka. Hubungan ini
mungkin berasal dari pengaruh berat badan pada kedua penyakit ,
karena orang yang berat memiliki kepadatan tulang yang lebih tinggi
serta peningkatan risiko dari OA. Meskipun risiko osteoporosis mereka
lebih rendah, individu dengan OA tidak terlindungi dari fraktur. Pasien
OA cenderung lebih sedikit postur stabil dan lebih cenderung jatuh,
jadi meskipun tulangnya lebih tinggi kepadatan, tingkat fraktur mereka
mirip dengan pasien tanpa OA.

2.1.3. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan sebagian besar bentuk arthritis dan penyebab
utama disabilitas pada lansia. OA merupakan penyebab beban utama untuk
pasien, pemberi pelayanan kesehatan, dan masyarakat. WHO melaporkan 40%
penduduk dunia yang lansia akan menderita OA, dari jumlah tersebut 80%
mengalami keterbatasan gerak sendi. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia
diatas 70 tahun. Bisa terjadi pada pria dan wanita, tetapi pria bisa terkena pada
usia yang lebih muda. Prevalensi Osteoartritis di Indonesia cukup tinggi yaitu
5% pada usia > 40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun dan 65% pada usia > 61
tahun.7 Berdasarkan studi yang dilakukan di pedesaan Jawa Tengah
menemukan prevalensi untuk OA mencapai 52% pada pria dan wanita antara
usia 40-60 tahun dimana 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. (Adhiputra,
2017)

2.1.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari OA biasanya terjadi secara perlahan-lahan.
Awalnya persendian akan terasa nyeri di persendian, kemudian nyeri tersebut
akan menjadi persisten atau menetap, kemudian diikuti dengan kekakuan sendi
terutama saat pagi hari atau pada posisi tertentu pada waktu yang lama.
Tanda kardinal dari OA adalah kekakuan dari persendian setelah
bangun dari tidur atau duduk dalam waktu yang lama, swelling (bengkak) pada
satu atau lebih persendian, terdengar bunyi atau gesekan (krepitasi) ketika
persendian digerakkan.
Pada kasus-kasus yang lanjut terdapat pengurangan massa otot.
Terdapatnya luka mencerminkan kelainan sebelumnya. Perlunakan sering
ditemukan, dan dalam cairan sendi superfisial, penebalan sinovial atau osteofit
dapat teraba.
Pergerakan selalu terbatas, tetapi sering dirasakan tidak sakit pada jarak
tertentu; hal ini mungkin disertai dengan krepitasi. Beberapa gerakan lebih
terbatas dari yang lainnya oleh karena itu, pada ekstensi panggul, abduksi dan
rotasi interna biasanya merupakan gerakan yang paling terbatas. Pada stadium
lanjut ketidakstabilan sendi dapat muncul dikarenakan tiga alasan:
berkurangnya kartilago dan tulang, kontraktur kapsuler asimetris, dan
kelemahan otot.
Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tak dapat
didasarkan hanya pada satu jenis pemeriksaan saja. Biasanya dilakukan
pemeriksaan reumatologi ringkas berdasarkan prinsip GALS (Gait, arms, legs,
spine) dengan memperhatikan gejala-gejala dan tanda-tanda sebagai berikut :
- Nyeri sendi
Nyeri sendi merupakan hal yang paling sering dikeluhkan. Nyeri sendi
pada OA merupakan nyeri dalam yang terlokalisir, nyeri akan bertambah
jika ada pergerakan dari sendi yang terserang dan sedikit berkurang
dengan istirahat. Nyeri juga dapat menjalar (radikulopati) misalnya pada
osteoarthritis servikal dan lumbal. Claudicatio intermitten merupakan
nyeri menjalar ke arah betis pada osteoartritis lumbal yang telah
mengalami stenosis spinal. Predileksi OA pada sendi-sendi;
Carpometacarpal I (CMC I), Metatarsophalangeal I (MTP I), sendi
apofiseal tulang belakang, lutut, dan paha).
- Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Kekakuan pada sendi yang terserang terjadi setelah imobilisasi
misalnya karena duduk di kursi atau mengendarai mobil dalam waktu
yang cukup lama, bahkan sering disebutkan kaku muncul pada pagi hari
setelah bangun tidur (morning stiffness).
- Hambatan pergerakan sendi
Hambatan pergerakan sendi ini bersifat progresif lambat, bertambah berat
secara perlahan sejalan dengan bertambahnya nyeri pada sendi.
- Krepitasi
Rasa gemeretak (seringkali sampai terdengar) yang terjadi pada sendi
yang sakit.
- Perubahan bentuk sendi
Sendi yang mengalami osteoarthritis biasanya mengalami perubahan
berupa perubahan bentuk dan penyempitan pada celah sendi. Perubahan
ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan
sendi, berbagai kecacatan dan gaya berjalan dan perubahan pada tulang
dan permukaan sendi. Seringkali pada lutut atau tangan mengalami
perubahan bentuk membesar secara perlahan-lahan.
- Perubahan gaya berjalan
Hal yang paling meresahkan pasien adalah perubahan gaya berjalan,
hampir semua pasien osteoarthritis pada pergelangan kaki, lutut dan
panggul mengalami perubahan gaya berjalan (pincang). Keadaan ini selalu
berhubungan dengan nyeri.
Menurut Dipiro tahun 2020, manifestasi klinis osteoartritis dibedakan
sebagai berikut :
● Nyeri saat bergerak
● Kekakuan pada sendi yang terkena
● Gerakan sendi terbatas
● Ketidakstabilan sendi penahan beban
● Biasanya durasi < 30 menit

2.1.5. Diagnosis Penyakit


Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tak dapat didasarkan hanya pada
satu jenis pemeriksaan saja. Biasanya kita lakukan pemeriksaan reumatologi ringkas
berdasarkan prinsip pemeriksaan GALS (Gait, arms, legs, spine). Penegakan diagnosis
OA berdasarkan gejala klinis. Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus yang dapat
menentukan diagnosis OA. Pemeriksaan penunjang saat ini terutama dilakukan untuk
memonitoring penyakit dan untuk menyingkirkan kemungkinan arthritis karena sebab
lainnya. Pemeriksaan radiologi dapat menentukan adanya OA, namun tidak
berhubungan langsung dengan gejala klinis yang muncul.
Gejala OA umumnya dimulai saat usia dewasa, dengan tampilan klinis kaku sendi di
pagi hari atau kaku sendi setelah istirahat. Sendi dapat mengalami pembengkakan
tulang, dan krepitus saat digerakkan, dapat disertai keterbatasan gerak sendi.
Peradangan umumnya tidak ditemukan atau sangat ringan. Banyak sendi yang dapat
terkena OA, terutama sendi lutut, jari-jari kaki, jari-jari tangan, tulang punggung dan
panggul.
Pada seseorang yang dicurigai OA, direkomendasikan melakukan pemeriksaan berikut
ini :
a. Anamnesis
- Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual)
- Tidak disertai adanya inflamasi (kaku sendi dirasakan < 30 menit, bila disertai
inflamasi, umumnya dengan perabaan hangat, bengkak yang minimal, dan
tidak disertai kemerahan pada kulit)
- Tidak disertai gejala sistemik
- Nyeri sendi saat beraktivitas
- Sendi yang sering terkena: Sendi tangan: carpo-metacarpal (CMC I),
Proksimal interfalang (PIP) dan distal interfalang (DIP), dan Sendi kaki:
Metatarsofalang (MTP) pertama. Sendi lain: lutut, V. servikal, lumbal, dan
hip.
Faktor risiko penyakit :
- Bertambahnya usia
- Riwayat keluarga dengan OA generalisata
- Aktivitas fisik yang berat
- Obesitas
- Trauma sebelumnya atau adanya deformitas pada sendi yang bersangkutan.
Penyakit yang menyertai, sebagai pertimbangan dalam pilihan terapi:
- Ulkus peptikum, perdarahan saluran pencernaan, penyakit liver.
- Penyakit kardiovaskular (hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke, gagal
jantung)
- Penyakit ginjal
- Asthma bronkhiale (terkait penggunaan aspirin atau OAINs)
- Depresi yang menyertai.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keluhan nyeri dan fungsi sendi
- Nyeri saat malam hari (night pain)
- Gangguan pada aktivitas sehari-hari
- Kemampuan berjalan
- Lain-lain: risiko jatuh, isolasi social, depresi - Gambaran nyeri dan derajat
nyeri (skala nyeri yang dirasakan pasien)
b. Pemeriksaan fisik
- Tentukan BMI
- Perhatikan gaya berjalan/pincang
- Adakah kelemahan/atrofi otot
- Tanda-tanda inflamasi/efusi sendi
- Lingkup gerak sendi (ROM)
- Nyeri saat pergerakan atau nyeri di akhir gerakan.
- Krepitus
- Deformitas/bentuk sendi berubah
- Gangguan fungsi/keterbatasan gerak sendi
- Nyeri tekan pada sendi dan periartikular
- Penonjolan tulang (Nodul Bouchard’s dan Heberden’s)
- Pembengkakan jaringan lunak
- Instabilitas sendi
c. Pendekatan untuk menyingkirkan diagnosis lain
- Adanya infeksi
- Adanya fraktur
- Kemungkinan keganasan
- Kemungkinan Artritis Reumatoid
Diagnosis banding yang menyerupai penyakit OA
- Inflammatory arthropaties
- Artritis Kristal (gout atau pseudogout)
- Bursitis (a.r. trochanteric, Pes anserine)
- Sindroma nyeri pada soft tissue
- Nyeri penjalaran dari organ lain (referred pain)
- Penyakit lain dengan manifestasi artropati (penyakit neurologi, metabolik dll.)
d. Pemeriksaan Penunjang
- Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk mendiagnosis OA. Pemeriksaan
darah membantu menyingkirkan diagnosis lain dan monitor terapi.
- Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk klasifikasi diagnosis atau untuk
merujuk ke ortopaedi.
e. Perhatian khusus terhadap gejala klinis dan faktor yang mempengaruhi pilihan terapi/
penatalaksanaan OA.
- Singkirkan diagnosis banding.
- Pada kasus dengan diagnosis yang meragukan, sebaiknya dikonsulkan pada
ahli reumatologi untuk menyingkirkan diagnosis lain yang menyerupai OA.
Umumnya dilakukan artrosentesis diagnosis.
- Tentukan derajat nyeri dan fungsi sendi
- Perhatikan dampak penyakit pada status sosial seseorang
- Perhatikan tujuan terapi yang ingin dicapai, harapan pasien, mana yang lebih
disukai pasien, bagaimana respon pengobatannya.
- Faktor psikologis yang mempengaruhi.
2.1.6. Penatalaksanaan Pengobatan
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah :
1. Meredakan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi sendi
3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas
hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi

a. Terapi non farmakologi


1. Edukasi pasien.
2. Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs):
modifikasi gaya hidup.
3. Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan,
minimal penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25.
4. Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises).
5. Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan
otot- otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive
devices for ambulation): pakai tongkat pada sisi yang sehat.
6. Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,
menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik sehari-

hari. (Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, 2019)

b. Terapi Farmakologi

GOLONGAN OBAT MEKANISME DOSIS

Analgesik Acetaminophen 325–650 mg setiap 4–6 jam


(Acetaminophen) mencegah sintesis atau 1 g 3-4 kali/hari
prostaglandin dengan
menghambat kerja
siklooksigenase sentral.

NSAID (Ibuprofen) Blokade sintesis 1200–3200 mg/hari dalam 3-4


prostaglandin melalui dosis terbagi
penghambatan
siklooksigenase (baik
enzim COX-1 dan
COX-2)

Glucosamine dan merangsang sintesis 500 mg 3 kali/hari atau 1500


Chondroitin proteoglikan dari tulang mg sekali sehari
rawan artikular in vitro
Corticosteroid mengurangi 10-40 mg/sendi besar (lutut,
(triamcolone) pembentukan dan pinggul, bahu)
pelepasan
prostaglandin, kinin,
enzim liposomal, dan
histamin.

Capsaicin melepaskan dan konsentrasi mulai dari 0,025%


akhirnya menghabiskan sampai 0,15%.
substansi P (substansi
yang terlibat dalam
transmisi nyeri di
arthritis) dari nosiseptif
aferen
serat saraf.

Tramadol penghambatan lemah 200 mg/hari,


reuptake dengan dosis maksimal 400
neurotransmiter mg/hari.
norepinefrin dan
serotonin.

2.1.7. Obat yang Digunakan

Kelas Obat Dosis (mg/hari) Dosis


maksimum
(mg/hari)

Analgesik oral Acetaminofen 325 - 650 mg 4000


setiap 4 - 6 jam
sekali atau 1
gram 3 - 4 kali
sehari

Tramadol 50 - 100 mg 400


setiap 4 - 6 jam

Analgesik Capsaicin Oleskan pada -


topikal 0.025% atau sendi 3-4 kali
0.075% sehari

Suplemen nutrisi Glucosamine 500 mg 3 kali 1500


sulfate sehari atau 1500
mg 1 kali sehari
AINS Asetil salisilat nyeri :325-650 3600
mg setiap 4-6
jam
antiinflamasi :
3600 mg sehari

Salsalate 500–1000 mg 2– 3000


3 kali sehari

Diclofenac 100–150 mg/hari 200

Ibuprofen 1200-3200 mg 3200


sehari dalam 3-4
dosis terbagi

Asam mefenamat 250 mg setiap 6 1000


jam

Piroxicam 7,5 mg sehari 15

Celecoxib 100 mg 2 kali 200


sehari atau 200
mg sehari

2.1.8. Penggolongan Obat yang Digunakan


1. Analgesik
a. Analgesik non opioid
Menurut The American College of Rheumatology (ACR) dan The
Amerika Pain Society (APS), parasetamol adalah obat lini pertama
untuk pengobatan OA. Parasetamol efektif, murah, serta relatif aman
untuk pengobatan OA ringan sampai OA sedang. Parasetamol bekerja
pada sentral yang menghasilkan analgesia dengan menghambat sintesis
prostaglandin di otak dan sumsum tulang belakang dengan
menghambat kerja enzim siklooksigenase. Namun, penghambatan
biosintesis prostaglandin lemah, sehingga efektif sebagai NSAID untuk
nyeri sendi ringan sampai sedang dan tidak menyebabkan iritasi
lambung (Syarif et al., 2012)
b. Analgesik opioid
Analgesik opioid digunakan bila parasetamol, analgesik lokal, dan
NSAIDs, tidak memberikan respon yang adekuat. Obat ini juga
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi NSAIDs
karena mengalami kegagalan ginjal dan memiliki resiko tinggi
arthoplasti. Salah satu analgesik opioid lemah yang digunakan adalah
tramadol.
2. Analgesik Topikal
Analgesik yang biasa digunakan adalah capsaicin. Sediaan topikal capsaicin
bekerja dengan mengosongkan neuropeptida substance P dari akhir saraf
sensorik, dan sebuah hasil pengujian menyatakan bahwa capsaicin topikal
lebih efektif dibanding placebo dalam mengurangi nyeri pada OA.
Capsaicin menimbulkan efek samping rasa terbakar dan harus digunakan
selama 3-4 minggu untuk memberikan efek maksimal.
Selain itu analgesik topikal yang lain adalah rubefacients topikal yang
mengandung metil salisilat, salisilat trolamin, dan salisilat lainnya.
Analgesik ini bertindak sebagai counter iritan dengan khasiat jangka pendek
untuk mengobati nyeri akut pada OA, sedangkan untuk nyeri kronis
analgesik ini kurang adekuat. Jarang menimbulkan efek samping, sehingga
sangat cocok bila digunakan dalam jangka panjang (Buys and Elliott, 2008).
3. Non steroid anti-inflamasi drugs (NSAIDs)
NSAIDs menimbulkan analgesik dan efek anti-inflamasi yang sama. NSAIDs
bekerja memblok sintesis prostaglandin dengan cara menghambat enzim
COX-1 dan COX-2 dan faktor- faktor lain yang menyebabkan rasa sakit dan
inflamasi. Terdapat dua NSAIDs yaitu non selektif NSAIDs dan selektif yang
menghambat COX-2 (McAlindon et al, 2014). Obat yang termasuk golongan
NSAIDs dan digunakan dalam terapi osteoarthritis aspirin, etodolak,
diklofenak, indometasin, nabumeton, ibuprofen (Dipiro ed 9, 2015)
4. Intra-articular corticosteorids
Injeksi Intraartikular ini diberikan bila nyeri sudah tidak teratasi oleh terapi
OA lain. Injeksi kortikosteroid bekerja dengan cara memperlambat infiltrasi
sel macrophage-like synovium pada OA (Herowati, 2014). Menurut dipiro
obat yang berada pada golongan ini adalah Triamcinolone dan
methylprednisolone acetate

2.1.9. Algoritma Pengobatan


Indonesian Rheumatologist Association (2014)
Keterangan :
Kekuatan Bukti- bukti Penelitian
Rekomendasi

A I Meta-analisis terhadap berbagai studi RCT (Randomized


Controlled Trials) (a)
Meta-analisis terhadap minimal satu studi RCT (Randomized
Controlled Trials) (b)

B II Sedikitnya satu Controlled studi dengan design penelitian yang


baik, namun tidak dilakukan randomisasi. (a)
Sedikitnya satu studi Quasi-eksperimental dengan design
penelitian yang baik (b)
III Sedikitnya satu studi deskriptif non eksperimental (contoh: studi
komparatif, korelsi atau studi kasus kontrol)

C IV Laporan komite ahli/pendapat ahli dan atau pengalaman para ahli.

2.2. Kanker Ovarium


2.2.1. Patofisiologi
Secara historis, sebagian besar teori patofisiologi kanker ovarium memasukkan
konsep bahwa ia dimulai dengan diferensiasi sel-sel pada permukaan ovarium.
Namun, bukti baru menunjukkan bahwa sebagian besar tumor ini sebenarnya berasal
dari fimbria tuba fallopi. Kanker ovarium biasanya menyebar ke permukaan
peritoneum dan omentum. Penyebaran dapat terjadi melalui perluasan lokal, invasi
limfatik, implantasi intraperitoneal, penyebaran hematogen, atau jalur
transdiafragmatik. Penyebaran intraperitoneal adalah karakteristik yang paling umum
dan dikenali dari kanker ovarium. Sel-sel ganas dapat berimplantasi di mana saja di
rongga peritoneum tetapi lebih mungkin untuk berimplantasi di tempat-tempat statis di
sepanjang sirkulasi cairan peritoneum. (Medscape, 2021)
a. Teori Ovulasi Terus Menerus
Pada awalnya, kanker ovarium diperkirakan berasal dari epitel permukaan sel
ovarium. Selama ovulasi, sel epitel permukaan ini mengalami trauma fisik, yang
kemudian segera diperbaiki. Selama siklus hidup wanita, ovulasi terjadi
berulang kali, yang menyebabkan trauma berulang pada epitel, pada akhirnya
menyebabkan kerusakan DNA seluler. Sel-sel epitel yang telah mengalami
kerusakan DNA sangat rentan terhadap perubahan, yang memfasilitasi
invaginasi ke stroma kortikal. Invaginasi ini akhirnya menjadi terperangkap dan
membentuk bola sel epitel di stroma yang disebut kista inklusi kortikal. Saat
berada di dalam ovarium, sel-sel epitel terpapar hormon ovarium yang
merangsang proliferasi sel, pada akhirnya berubah menjadi sel kanker.
Kelemahan teori ini adalah tidak dapat menjelaskan patofisiologi berbagai tipe
histologis kanker ovarium dan perbedaan prognostiknya. Secara histologis,
epitel permukaan ovarium (mesothelium) tidak memiliki kesamaan dengan
serosa, endometrioid, musinosa, sel jernih atau sel transisional. (Budiana, et al.

2019)9

b. Teori Tuba Falopi


Sebelumnya, sebagian besar peneliti percaya bahwa kanker ovarium berasal
dari ovarium itu sendiri. Namun telah dilaporkan bahwa terdapat displasia epitel
di tuba Fallopii pada 50% wanita dengan mutasi gen BRCA1/2 yang menjalani
salpingo-ooforektomi profilaksis. Displasia epitel ini menyerupai karsinoma
ovarium serosa derajat tinggi, yang disebut dengan tubal intraepithelial
carcinoma (TIC). Hal tersebut menyebabkan tuba falopi berkemungkinan akan
menjadi lokasi lesi prekursor kanker ovarium, yang akhirnya menyebar ke
ovarium yang berdekatan. Selain mutasi gen BRCA, mutasi gen TP53 juga
didapatkan pada TIC. Pada tuba falopi normal, pemeriksaan imunohistokimia
mengungkapkan bahwa ekspresi TP53 dalam sel sekretorik identik dengan
mutasi TP53 pada kanker ovarium serosa. Namun demikian, tidak semua mutasi
TP53 menjadi kanker. Ekspresi TP53 diduga merupakan respon yang
menunjukkan kerusakan DNA pada sel epitel tuba akibat paparan sitokin dan
oksidan. Sekitar 50% dari mutasi TP53 akhirnya menjadi kanker. (Budiana, et
al. 2019)
c. Teori Dua Jalur
Pada teori ini, kanker ovarium dibagi menjadi 2 jenis, yaitu tipe I dan tipe II.
Kanker ovarium tipe I terdiri dari tipe low grade serous, mucinous,
endometrioid, clear cell, dan transisional. Sedangkan kanker ovarium tipe II
terdiri dari tipe histology serous, undifferentiated carcinoma dan carcinosarcoma
derajat tinggi. Pada tipe I, lesi prekursor diperkirakan berasal dari ovarium itu
sendiri. kanker ovarium tumbuh lambat, cenderung jinak, biasanya hanya
mempengaruhi ovarium dalam diagnosis, dan secara genetik stabil. Tumor
ovarium mengalami serangkaian perubahan morfologi secara berkelanjutan dan
menjadi kanker ovarium setelah melewati fase intermediate (borderline). Lesi
prekursor kanker ovarium tipe II diduga berasal dari luar ovarium, salah satunya
dari tuba fallopi. Kanker ovarium tipe II cenderung tumbuh lebih agresif, secara
genetik tidak stabil, dan biasanya didiagnosis pada stadium yang lebih lanjut.
(Budiana et al 2019)
2.2.2. Etiologi
Etiologi kanker ovarium belum diketahui secara pasti. namun
multifaktorial. Resiko berkembangnya kanker ovarium berkaitan dengan
lingkungan, endokrin, dan faktor genetik. Faktor – faktor lingkungan yang
berkaitan dengan kanker ovarium terus menjadi subjek perdebatan dan
penelitian. Insiden tertinggi terdapat di negara – negara industri barat.
Kebiasaan makan kopi dan merokok, adanya asbestos dalam lingkungan, dan
penggunaan bedak pada daerah vagina, semua itu dianggap mungkin
menyebabkan kanker. Faktor risiko endokrin untuk kanker ovarium adalah
perempuan yang nulipara, menarche dini, menopause yang lambat, kehamilan
pertama yang lambat dan tidak pernah menyusui. Perempuan dengan kanker
payudara memiliki resiko dua kali lebih besar untuk berkembangnya kanker
ovarium. Pada faktor genetik Gen – gen supresor tumor seperti BRCA – 1 dan
BRCA – 2 telah memperlihatkan peran penting pada beberapa keluarga.
Kanker ovarium herediter yang dominan autosomal dengan variasi penetrasi
telah ditunjukkan dalam keluarga yang terdapat penderita kanker ovarium. Bila
terdapat dua atau lebih hubungan tingkat pertama dengan penderita kanker
ovarium, seorang perempuan memiliki 50 % kesempatan untuk menderita
kanker ovarium. (Istighosah, ningning dan Yunita, Nurma. 2018)

2.2.3. Epidemiologi
Kanker ovarium adalah kanker paling umum ke-8, dan 8 penyebab
kematian paling umum akibat kanker pada wanita di dunia. Pada tahun 2018,
diperkirakan ada lebih dari 295.000 kasus kanker ovarium, dan hampir 185.000
mengalami kematian, dan lebih dari 750.000 wanita yang hidup dalam lima
tahun diagnosis (prevalensi 5 tahun). Diperkirakan bahwa pada tahun 2040,
insiden akan meningkat sebesar 47% menjadi total lebih dari 434.000, dengan
peningkatan yang lebih besar dalam jumlah kematian setiap tahun (naik hampir
59% menjadi lebih dari 293.000). (Reide, Frances et al. 2020)
Peringkat negara berdasarkan jumlah kasus kanker ovarium yang dilaporkan
pada tahun 2018 dan juga menunjukkan jumlah kematian, dan prevalensi lima
tahun.

Menurut American Cancer Sociaty perkiraan kanker ovarium di Amerika


Serikat pada tahun 2021 adalah :

● Sekitar 21.410 wanita akan menerima diagnosis baru kanker ovarium.


● Sekitar 13.770 wanita akan meninggal karena kanker ovarium.
Kanker ovarium menempati urutan kelima dalam kematian akibat kanker di
kalangan wanita, terhitung lebih banyak kematian daripada kanker lain dari
sistem reproduksi wanita. Risiko seorang wanita terkena kanker ovarium
selama hidupnya adalah sekitar 1 dalam 78. Peluang seumur hidupnya untuk
meninggal akibat kanker ovarium adalah sekitar 1 dalam 108. Kanker ini
terutama berkembang pada wanita yang lebih tua. Sekitar setengah dari wanita
yang didiagnosis dengan kanker ovarium berusia 63 tahun atau lebih. Ini lebih
sering terjadi pada wanita kulit putih daripada wanita Afrika-Amerika.
(American Cancer Sociaty, 2021)

2.2.4. Manifestasi Klinis


Kanker ovarium sulit terdeteksi. hanya sekitar 10% dar i kanker
ovarium yang terdeteksi pada stadium dini. Hal ini dikarenakan gejala - gejala
kanker ovarium pada stadium dini tidak khas sehingga kanker ovarium
umumnya baru dapat dideteksi pada stadium lanjut.
Gejala-gejala yang mungkin timbul pada tahap awal penyakit: (Harsono, Budi
Ali. 2020)
● Kembung
● Nyeri panggul atau abdomen
● Kesulitan makan karena merasa cepat kenyang
● Merasa terdesak untuk buang air kecil atau sering buang air kecil
Pada stadium lanjut biasanya dijumpai gejala-gejala :
1) Penekanan pada rongga abdomen berupa rasa mual, muntah, hilang nafsu
makan, dan gangguan motilitas usus.
2) Pembesaran abdomen akibat penumpukan cairan dalam rongga abdomen.
3) Perasaan tidak nyaman pada rongga abdomen dan pelvis .
4) Menstruasi tidak teratur.
5) Perasaan lelah.
6) Keluarnyaa cairan abnormal pervaginam (vaginal discharge).
7) Nyeri saat berhubungan seksual .
8) Penurunan berat badan .

2.2.5. Diagnosis Penyakit


Berikut pemeriksaan klinis pada kanker ovarium :
1. Tes Darah CA 125
CA (Carbohydrate Antigen) 125 adalah protein yang ditemukan
pada permukaan sel kanker ovarium dan jaringan sehat
tertentu. Kadar CA 125 lebih tinggi pada sekitar 80%
pasien dengan kanker ovarium epitelial. Namun, kadar CA
125 yang lebih tinggi tidak selalu merupakan tanda pasti
terjadinya kanker ovarium, karena kondisi lain seperti
endometriosis dan radang usus buntu juga dapat
menyebabkan peningkatan protein CA 125. Pemeriksaan
petanda tumor CA 125 merupakan biomarker yang sering
digunakan untuk menilai perempuan dengan massa di
pelvis. Nilai 35 u/mL untuk CA-125 dianggap sebagai
batas yang normal. Kadar CA-125 >35 u/mL akan
ditemukan antara 80−90% penderita kanker ovarium
lanjut. (Rahmawati, Hegaria dkk. 2012)
Masalah dengan menggunakan tes ini untuk skrining kanker ovarium adalah
bahwa kadar CA-125 yang tinggi lebih sering disebabkan oleh kondisi umum
seperti endometriosis dan penyakit radang panggul. Juga, tidak semua orang
yang menderita kanker ovarium memiliki tingkat CA-125 yang tinggi sehingga
perlu dilakukan tes ultrasound transvaginal. (American Cancer Society, 2020)
2. Pemindaian Ultrasonografi (USG)
USG adalah cara pemeriksaan invasif yang lebih murah . Dengan USG dapat
secara tegas dibedakan tumor kistik dengan tumor yang padat. Melalui USG,
ovarium dapat tervisualisasi lebih dari 95% pada wanita pre-menopause dan
lebih dari 85% pada wanita post-menopause. Pada tumor dengan bagian padat
{echogenik) persentase keganasan makin meningkat. Sebaiknya , pada tumor
kistik tanpa ekointemal (anechogenic) kemungkinan keganasan menurun.
Pemakaian USG transvaginal (transvaginal color flow doppler) dapat
meningkatkan ketajaman diagnosis karena mampu menjabarkan morfologi
tumor ovarium dengan baik . Pemakaian USG transvaginal color Doppler
dapat membedakan tumor ovarium jinak dengan tumor ovarium ganas.
Pemeriksaan ultrasonografi internal (dikenal sebagai ultrasonografi
transvaginal), dimana probe ultrasonografi dimasukkan ke dalam vagina. Jenis
pemindaian lain adalah ultrasonografi eksternal, di mana probe diletakkan di
bagian samping perut. Gambar ultrasonografi menunjukkan ukuran dan tekstur
ovarium, serta kista yang mungkin ada. USG transvaginal memiliki tiga
kelebihan yaitu tidak memerlukan kandung kencing penuh, mudah memeriksa
pasien gemuk, dan tranducer probe dapat ditempatkan sedekat mungkin
dengan organ pelvis, sehingga kualitas gambar lebih jernih dan tajam
(Suastari, Ni Made Putri 2018)
3. Computed Tomography (CT) scan
CT scan merupakan modalitas yang direkomendasikan untuk staging kanker
ovarium dengan memperlihatkan ukuran tumor primer, ukuran, dan lokasi
implantasi peritoneal, serta kelenjar limfe. CT scan lebih banyak digunakan
untuk evaluasi metastasis baik pada jaringan sekitarnya hingga ke hati, ginjal,
ataupun vesika urinaria. Selain itu, CT thorax juga mampu mendeteksi
metastasis pleura dan paru. Hasil CT scan menunjukkan penebalan dinding,
proyeksi papilari pada lesi kistik, nekrosis pada massa padat, dan metastasis
peritoneal; ditemukannya invasi pada organ pelvis, implan peritonial,
adenopati, dan asites mengarahkan diagnosis pada suatu malignansi. CT scan
mampu mendeteksi massa ukuran lebih dari 1 cm dengan sensitivitas 85- 93%
dan spesifisitas 91-96%, tetapi sensitivitas turun menjadi 25-50% untuk
deteksi massa ukuran kurang dari 1 cm. (Suastari, Ni Made Putri 2018)
4. Positron Emission Tomography (PET) scan
PET scan untuk diagnosis awal kanker ovarium memiliki sensitivitas rendah
(58%) dan spesifisitas 76%. Interpretasi gambaran PET scan harus
dikorelasikan dengan siklus dan fase menstruasi. PET scan tidak
direkomendasikan untuk deteksi primer kanker ovarium baik untuk
karakteristik, diagnosis, maupun staging massa ovarium namun penting untuk
rencana terapi dan follow-up. PET scan menggunakan sinar 18F-
fluorodeoxyglucose (FDG) sangat berguna untuk deteksi rekurensi kanker
(Suastari, Ni Made Putri 2018).
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu membedakan jaringan dengan sangat baik dan digunakan untuk
mengetahui karakteristik lesi massa intermediate yang terlihat pada CT scan
atau USG, khususnya di kalangan wanita muda tanpa gejala dengan tumor
marker CA-125 normal atau sedikit meningkat. Gambaran MRI suatu
keganasan hampir sama dengan hasil CT scan dan USG; ditemukan dinding
kista ireguler, nodul intramural, proyeksi papilari, septa, komplek massa yang
berisi komponen padat dan kista, dan berukuran besar. Evaluasi diagnosis
kanker ovarium massa adneksa menggunakan MRI tanpa kontras mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas 76% dan 97%, sedangkan MRI dengan kontras
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas menjadi 81% dan 98%. Kelebihan
MRI adalah resolusi kontras tinggi, sehingga jaringan lunak akan terlihat
sangat baik dengan paparan radiasi ionisasi minimal (Suastari, Ni Made Putri
2018).
6. Pembedahan / Biopsi
Pembedahan atau biopsi diperlukan untuk membuktikan apakah sel-sel yang
terkena bersifat kanker atau tidak. Pembedahan yang dilakukan pertama
bertujuan untuk mendiagnosis (jinak/benigna atau ganas/maligna serta jenis sel
tumor), sedangkan tujuan yang kedua adalah untuk pengobatan, yaitu
mengangkat tumor yang menjadi penyebabnya. Dalam pembedahan kanker
tujuan ketiga adalah guna penetapan tahapan (surgical staging). (Rahmawati,
Hegaria dkk. 2012)

2.2.6. Penatalaksanaan Pengobatan


1. Pembedahan
Pembedahan adalah pengobatan pertama dan utama untuk
sebagian besar kanker ovarium. Ahli NCCN (Nation Comprehensive
Cancer Network) merekomendasikan bahwa operasi kanker ovarium
harus dilakukan oleh ahli onkologi ginekologi. Ahli onkologi
ginekologi adalah ahli bedah yang ahli dalam kanker yang dimulai
pada organ reproduksi wanita. Tujuan dari pembedahan ini adalah
untuk mengetahui seberapa jauh kanker telah menyebar dan untuk
mengangkat sel kanker. sel kanker diangkat bersama dengan organ
dan jaringan lain di mana sel kanker telah menyebar.
2. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan untuk membunuh sel
kanker. Obat kemoterapi membunuh sel yang tumbuh cepat di seluruh
tubuh, termasuk sel kanker dan sel normal. Banyak jenis obat
kemoterapi yang digunakan untuk kanker ovarium. Dua jenis utama
yang digunakan adalah agen platinum dan taxanes.
3. Terapi yang ditargetkan
Terapi bertarget adalah pengobatan dengan obat-obatan yang
menargetkan fitur spesifik atau unik dari sel kanker. Obat ini
menghentikan aksi molekul yang membantu sel kanker tumbuh. Terapi
yang ditargetkan lebih kecil kemungkinannya untuk merusak sel-sel
normal daripada kemoterapi.
4. Imunoterapi
Sistem kekebalan adalah pertahanan alami tubuh terhadap infeksi dan
penyakit. Jenis pengobatan kanker yang lebih baru yang disebut
imunoterapi meningkatkan aktivitas sistem kekebalan tubuh. Dengan
demikian, meningkatkan kemampuan tubuh untuk menemukan dan
menghancurkan sel-sel kanker.

5. Terapi hormon
Terapi hormon adalah pengobatan yang menghentikan tubuh dari
membuat hormon tertentu atau menghentikan aksi hormon. Terapi
hormon tidak digunakan sebagai pengobatan awal untuk kanker
ovarium. Tapi, itu dapat digunakan untuk kanker ovarium yang telah
kembali setelah perawatan lain.

2.2.7. Obat yang Digunakan


Obat Dosis (mg/hari)

Anastrozol 1 mg/hari secara oral

Bevacizumab 5 mg/kg berat badan diberikan tiap 14 hari sekali dengan


cara infus intravena.

Carboplatin 400 mg/m2 sebagai infus jangka pendek tunggal

Doxorubicin 60-75 mg/m2 intravena dosis tunggal

Olaparib 300 mg secara oral 2 kali sehari

Pazopanib 800 mg/hari secara oral 1 kali sehari

Plakitaksel 175 mg/m2 intravena dalam 3 jam

Tamoxifen 20 mg/hari

Vinorelbine 80 mg/m2 seminggu satu kali melalui intravena

2.2.8. Penggolongan Obat yang Digunakan


● Golongan obat anti angiogenesis sendiri merupakan obat yang
digunakan untuk menghalangi tumor maupun sel kanker membentuk
pembuluh darah yang baru. Pengobatan ini dapat digunakan untuk
berbagai jenis kanker. Inhibitor angiogenesis juga akan lebih efektif
jika pengobatan ini berlangsung bersamaan dengan jenis pengobatan
lain untuk pengobatan jenis kanker tertentu. Hal ini disebabkan
inhibitor angiogenesis tidak mematikan sel kanker, tetapi hanya
memperlambat perkembangan pembuluh darah baru yang berisiko
menyebabkan penyebaran sel kanker pada bagian tubuh yang lain.

● Golongan obat alkylating agent. Obat kemoterapi jenis ini memiliki


mekanisme kerja menambahkan gugus alkil berupa kation atau anion.
Zat pengalkilasi akan menambahkan gugus alkil kepada DNA sel
kanker, hal ini akan menyebabkan penghambatan pertumbuhan sel,
inisiasi kematian sel atau apoptosis. Namun efek samping zat
pengalkilasi adalah dapat menyebabkan mutasi, termasuk mutasi
karsinogenik, hal ini menjelaskan tingginya kejadian kanker bila
terekspos zat ini tanpa pelindung.

● Golongan obat antrasiklin. Mekanisme kerja obat ini dalam membunuh


sel kanker adalah melalui 4 cara yaitu menghambat sintesis DNA dan
RNA, mencegah replikasi sel kanker,menghambat enzim topoisomerase
II, menghasilkan radikal bebas yang merusak DNA sel kanker

2.2.9. Algoritma Pengobatan

2.3. Hipertensi
Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah suatu
sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif sebagai akibat dari
kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan, WHO menyatakan hipertensi
merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan
atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg, (JNC VIII) berpendapat
hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diatas 140/90 mmHg, sedangkan menurut
Brunner dan Suddarth hipertensi juga diartikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan darahnya diatas 140/90 mmHg. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik yang
persisten diatas 140 mmHg sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan.

2.3.1. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral
resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang
tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh
memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas
tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah
sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex
kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia,
susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos.
Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan
antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon
angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan
berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan
jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE).
ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh
hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat
yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting
pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan
mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.

2.3.2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi
hipertensi primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi
jenis ini tidak diketahui penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi
sekunder akibat adanya suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti
stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma,
hiperaldosteronism, dan sebagainya.

2.3.3. Epidemiologi
Secara global prevalensi tertinggi peningkatan
tekanan darah usia ≥18 tahun pada tahun 2014 terdapat di
Afrika sebesar 30% dan terendah terdapat di Amerika
yaitu sebesar 18%. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia
menduduki peringkat ke-6 dengan prevalensi hipertensi
sebesar 24% setelah Bhutan (27,7%), Timor Leste (26%),
Nepal (25,9%), India (25,9%) dan Bangladeshn(25,1%),
sedangkan prevalensi hipetensi terendah yaitu Srilanka
sebesar 21,6%) (WHO, 2015). Prevalensi hipertensi
tertinggi di Indonesia berdasarkan pengukuran pada
umur ≥18 tahun menurut hasil Riskesdas 2013 terdapat di
Bangka Belitung (30,9%) dan prevalensi kejadian
hipertensi terendah terjadi di Papua (16,8%). Dilihat
secara Nasional prevalensi kejadian hipertensi pada
tahun 2013 di provinsi Bali sebesar 19,9% (Kemenkes.RI,
2014). Epidemiologi hipertensi berdasarkan orang dapat
diklasifikasikan menurut umur, jenis kelamin dan
riwayat keluarga. Semakin tinggi umur maka prevalensi
hipertensi akan cenderung meningkat (Kemenkes RI,
2013).

2.3.4. Manifestasi Klinis


Pasien dengan hipertensi primer tanpa komplikasi biasanya awalnya
asimtomatik. Pasien dengan hipertensi sekunder mungkin memiliki gejala
gangguan dari penyakit yang mendasari. Contohnya adalah pasien dengan
pheochromocytoma mungkin mengalami sakit kepala, berkeringat, takikardia,
palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pada pasien dengan aldosteronisme primer,
mengalami gejala hipokalemia, kram otot, dan rasa lemas. Pasien dengan
sindrom Cushing mungkin mengalami penambahan berat badan, poliuria,
edema, ketidakteraturan menstruasi, jerawat berulang, atau kelemahan otot di
samping fitur klasik (moon face, buffalo hump, dan hirsutisme) (Wells et. al,
2015).

2.3.5. Diagnosis Penyakit


Peningkatan tekanan darah mungkin satu-satunya tanda hipertensi
primer pada pemeriksaan fisik. Diagnosis harus didasarkan pada rata-rata dua
atau lebih bacaan yang diambil pada masing-masing dari dua atau lebih
pertemuan klinis. Tanda-tanda kerusakan organ akhir terjadi terutama di mata,
otak, jantung, ginjal, dan pembuluh darah tepi (Wells et. al, 2015).

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 90-99

Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100


Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa (Wells et. al, 2015).
Untuk diagnosis tambahan, dapat dilakukan pemeriksaan funduskopi
yang mengungkapkan penyempitan arteriol, konstriksi arteriol fokal, robekan
arteriovenosa, perdarahan retinal dan eksudat, dan edema diskus. Kehadiran
papilledema biasanya menunjukkan keadaan darurat hipertensi yang
membutuhkan pengobatan cepat. Lalu pemeriksaan kardiopulmonal dapat
mengungkapkan detak atau irama jantung yang tidak normal, hipertrofi
ventrikel kiri (LV), penyakit jantung koroner, atau gagal jantung (HF). Dapat
pula dilakukan pemeriksaan vaskular perifer dapat menunjukkan bising aorta
atau abdominal, vena yang membesar, denyut perifer berkurang atau tidak ada,
atau edema ekstremitas bawah (Wells et. al, 2015).
Pasien dengan stenosis arteri ginjal mungkin mengalami bising sistolik-
diastolik perut. Hipokalemia dasar mungkin menunjukkan hipertensi yang
diinduksi mineralokortikoid. Protein, sel darah, dan gips dalam urin dapat
mengindikasikan penyakit renovaskular (Wells et. al, 2015).
Diagnosis tambahan lain yang dapat dilakukan seperti tes laboratorium
nitrogen urea darah (BUN) / serum kreatinin, profil lipid puasa, glukosa darah
puasa, elektrolit serum (natrium dan kalium), rasio albumin-kreatinin urin spot,
dan perkiraan laju filtrasi glomerulus (GFR, menggunakan Modifikasi Diet
dalam Persamaan Penyakit Ginjal [MDRD]). Elektrokardiogram (EKG) 12-
lead juga harus diperoleh. Lalu tes laboratorium untuk mendiagnosis hipertensi
sekunder dengan kadar norepinefrin plasma dan metanefrin urin untuk
feokromositoma, konsentrasi aldosteron plasma dan urin untuk aldosteronisme
primer, aktivitas renin plasma, uji stimulasi kaptopril, renin vena ginjal, dan
angiografi arteri ginjal untuk penyakit renovaskular (Wells et. al, 2015).
Gambar 1. Diagnosis Hipertensi. (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015)
Keterangan. TD = Tekanan Darah; HBPM : Home Blood Pressure Monitoring;
ABPM : Ambulatory Blood Pressure Monitoring.

2.3.6. Penatalaksanaan Pengobatan


a. Terapi Non-Farmakologi

Modifikasi Gaya Hidup Keterangan

Pengurangan garam Terdapat bukti kuat untuk hubungan antara


asupan garam yang tinggi dan peningkatan
tekanan darah. Kurangi garam yang
ditambahkan saat menyiapkan makanan, dan di
meja. Hindari atau batasi konsumsi makanan
tinggi garam seperti kecap asin, fast food, dan
makanan olahan termasuk roti dan sereal tinggi
garam. Garam meningkatkan jumlah natrium
dalam sel dan mengganggu keseimbangan
cairan. Masuknya cairan ke dalam sel akan
mengecilkan diameter pembuluh darah arteri
sehingga jantung harus memompa darah lebih
kuat yang berakibat meningkatnya tekanan
darah.

Diet sehat Makan makanan yang kaya biji-bijian, buah-


buahan, sayuran, lemak tak jenuh ganda dan
produk susu dan mengurangi makanan tinggi
gula, lemak jenuh dan lemak trans, seperti diet
DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension). Perbanyak asupan sayuran
tinggi nitrat yang diketahui bisa menurunkan
tekanan darah, seperti sayuran berdaun dan bit.
Makanan dan nutrisi bermanfaat lainnya
termasuk yang tinggi magnesium, kalsium dan
kalium seperti alpukat, kacang-kacangan, biji-
bijian, kacang-kacangan dan tahu.

Minuman sehat Konsumsi kopi, teh hijau dan hitam dalam


jumlah sedang. Minuman lain yang bermanfaat
termasuk teh karkadé (hibiscus), jus delima, jus
bit dan coklat.

Moderasi terhadap Terdapat hubungan linier positif yang nyata


konsumsi alkohol antara konsumsi alkohol, tekanan darah,
prevalensi hipertensi, dan risiko CVD. Batas
harian yang direkomendasikan untuk konsumsi
alkohol adalah 2 minuman standar untuk pria
dan 1,5 untuk wanita (10 g alkohol / minuman
standar). Hindari pesta minuman keras.

Pengurangan berat badan Pengendalian berat badan diindikasikan untuk


menghindari obesitas. Obesitas perut harus
ditangani. BMI ethnic specific dan lingkar
pinggang harus diperhatikan. Sebagai alternatif,
rasio pinggang-tinggi <0,5 direkomendasikan
untuk semua populasi.

Penghentian merokok Merokok merupakan faktor risiko utama


penyakit kardiovaskular, PPOK dan kanker.
Penghentian merokok dan rujukan ke program
berhenti merokok disarankan

Aktivitas fisik reguler Studi menunjukkan bahwa aerobik dan latihan


ketahanan secara teratur mungkin bermanfaat
untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi.
Latihan aerobik intensitas sedang (berjalan,
jogging, bersepeda, yoga, atau berenang)
selama 30 menit selama 5-7 hari per minggu
atau latihan interval intensitas tinggi yang
melibatkan semburan singkat aktivitas intens
secara bergantian dengan periode pemulihan
berikutnya dari aktivitas yang lebih ringan.
Latihan kekuatan juga dapat membantu
menurunkan tekanan darah. Performa latihan
ketahanan / kekuatan selama 2–3 hari per
minggu.

Mengurangi stres dan Stres kronis telah dikaitkan dengan tekanan


meningkatkan darah tinggi di kemudian hari. Meskipun
mindfulness penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan efek stres kronis pada tekanan
darah, uji klinis acak yang meneliti efek
meditasi / kesadaran transendental pada tekanan
darah menunjukkan bahwa praktik ini
menurunkan tekanan darah. Stres harus
dikurangi dan kesadaran atau meditasi
dimasukkan ke dalam rutinitas sehari-hari.

Komplementer, alternatif Sebagian besar pasien hipertensi menggunakan


atau pengobatan obat-obatan pelengkap, alternatif atau
tradisional tradisional (di wilayah seperti Afrika dan Cina),
namun uji klinis berskala besar dan tepat
diperlukan untuk mengevaluasi kemanjuran dan
keamanan obat-obatan tersebut. Dengan
demikian, penggunaan pengobatan tersebut
belum didukung.

Pengurangan paparan Bukti dari penelitian mendukung efek negatif


polusi udara dan suhu polusi udara pada tekanan darah dalam jangka
dingin panjang.
Tabel 2. Modifikasi gaya hidup pasien hipertensi (International Society of
Hypertension, 2020)
b. Terapi Farmakologi
Penanganan hipertensi bertujuan mengendalikan angka kesakitan,
komplikasi, dan kematian akibat hipertensi. Terapi farmakologis dapat
dilakukan di pelayanan strata primer/puskesmas, sebagai penanganan awal.
Berbagai klinik membuktikan bahwa, obat antihipertensi yang diberikan tepat
waktu dapat menurunkan kejadian stroke hingga 35-40%, infark miokard 20-
25%, dan gagal jantung >50%.
● Penentuan Batas Tekanan Darah untuk Inisiasi Obat
Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan
upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien. Meskipun
demikian pemberian obat antihipertensi bukan selalu merupakan langkah
pertama dalam penatalaksanaan hipertensi. (Indonesian Society of
Hypertension, 2019)

Kelomp Ambang batas TDS di Klinik untuk Inisiasi Obat TDD di


ok Usia (mmHg) Klinik
(mmHg)

Hiperten +Diabete +PGK +PJK +Stroke/


si s TIA

18-65 ≥140 ≥140 ≥140 ≥140 ≥140 ≥90


65-79 ≥140 ≥140 ≥140 ≥140 ≥140 ≥90

≥80 ≥160 ≥160 ≥160 ≥160 ≥160 ≥90


TDD di ≥90 ≥90 ≥90 ≥90 ≥90
Klinik
(mmHg)
Tabel 3. Ambang batas tekanan darah untuk inisiasi obat. (Indonesian Society
of Hypertension, 2019)
Keterangan. TDS = tekanan darah sistolik; TDD = tekanan darah diastolik;
PGK = Penyakit Ginjal Kronik; PJK = Penyakit Jantung Kronik; TIA =
Transient Ischemic Attack.
Dikutip dari Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada
Penyakit Kardiovaskular (2015), secara umum, terapi
farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan
tekanan darah setelah >6 bulan menjalani pola hidup
sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu
diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan
meminimalisasi efek samping, yaitu :
1. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal.
2. Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi
biaya.
3. Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti
pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid.
4. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs).
5. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi.
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
Gambar 2. Alur Panduan Inisiasi Terapi Obat Sesuai dengan Klasifikasi
Hipertensi (Indonesian Society of Hypertension, 2019)
Keterangan. HMOD = hypertension mediated organ damage; PJK = penyakit
jantung koroner; PKV = penyakit kardiovaskular; TD = tekanan darah.
*Inisiasi terapi obat pada kelompok pasien ini disarankan untuk
dikonsultasikan kepada spesialis dengan target tatalaksana disesuaikan dengan
panduan penyakit spesifik.
● Target Pengobatan Hipertensi
Salah satu pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa adalah
nilai atau ambang tekanan darah. Pada Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
PERHI tahun 2016, disepakati bahwa target tekanan darah adalah <140/90
mmHg, tidak tergantung kepada jumlah penyakit penyerta dan nilai risiko
kardiovaskularnya. Pada Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019 ini,
disepakati target tekanan darah seperti tercantum pada tabel di bawah ini.

Kelompok Target TDS (mmHg) Target


Usia TDD
(mmHg)
Hipertensi +Diabetes +PGK +PJK +Stroke/TI
A

18-65 Target Target Target Target Target 70-79


≤130 ≤130 ≤140 ≤130 ≤130
jika jika jika jika jika
dapat dapat dapat dapat dapat
ditoler ditoler ditoler ditoler ditoler
ansi ansi ansi ansi ansi
Tetapi Tetapi Tetapi Tetapi Tetapi
tidak tidak <120 tidak <130 tidak tidak <120
<120 <120

65-79 Target Target Target Target Target 70-79


130-139 130-139 130-139 130-139 130-139*
jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat
ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi

≥80 Target Target Target Target Target 70-79


130-139 130-139 130-139 130-139 130-139
jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat
ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi

Target 70-79 70-79 70-79 70-79 70-79


TDD
(mmHg)
Tabel 4. Target tekanan darah klinik. (Indonesian Society of Hypertension,
2019)
Keterangan. TDS = tekanan darah sistolik; TDD = tekanan darah diastolik;
PGK = Penyakit Ginjal Kronik; PJK = Penyakit Jantung Kronik; TIA =
Transient Ischemic Attack.
● Pengobatan Hipertensi Terapi Obat
Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan
hipertensi saat ini adalah dengan menggunakan terapi obat kombinasi pada
sebagian besar pasien, untuk mencapai tekanan darah sesuai target. Bila
tersedia luas dan memungkinkan, maka dapat diberikan dalam bentuk pil
tunggal berkombinasi (single pill combination), dengan tujuan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terdapat lima golongan
obat antihipertensi utama sebagai penatalaksanaan hipertensi yang rutin
direkomendasikan yaitu: ACEi, ARB, beta bloker, CCB dan diuretik.
(Indonesian Society of Hypertension, 2019)
2.3.7. Obat yang Digunakan

Kelas Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi


(/hari)

Tiazid atau Hidroklorotiazid 25-50 1


Thiazide Type
Diuretics Indapamide 1,25-2,5 1

ACE Inhibitor Captopril 12,5-150 2 atau 3

Enalapril 5-40 1 atau 2

Lisinopril 10-40 1

Perindopril 5-10 1

Ramipril 2,5-10 1 atau 2

ARB Candesartan 8-32 1

Eprosartan 600 1

Irbesartan 150-300 1

Losartan 50-100 1 atau 2

Olmesartan 20-40 1

Telmisartan 20-80 1

Valsartan 80-320 1

CCB- Amlodipin 2,5-10 1


Dihidropiridin
Felodipin 2-10 1

Nifedipin OROS 30-90 1

Lercanidipin 10-20 1

CCB- Diltiazem SR 180-360 2


Nondihidropiridi
n Diltiazem CD 100-200 1

Verapamil SR 120-480 1 atau 2

Obat-Obat Lini Kedua

Diuretik Loop Furosemid 20-80 2


Torsemid 5-10 1

Diuretik Hemat Amilorid 5-10 1


Kalium
Triamteren 5-10 1 atau 2

Diuretik Eplerenon 50-100 1 atau 2


Antagonis
Aldosteron Spironolakton 25-100 1

Beta Bloker - Atenolol 12-100 1 atau 2


Kardioselektif
Bisoprolol 2,5-10 1

Metoprolol 100-400 2
Tartrat

Beta Bloker - Nebivolol 5-40 1


Kardioselektif
dan Vasodilator
Tabel 5. Obat antihipertensi oral. (Indonesian Society of Hypertension, 2019)

2.3.8. Penggolongan Obat yang Digunakan


Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE inhibitor) adalah
pilihan lini pertama, dan jika mereka bukan agen pertama yang digunakan,
mereka harus menjadi agen kedua yang dicoba pada kebanyakan pasien. ACE
inhibitor memblokir konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat dan stimulator sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga
memblokir degradasi bradikinin dan merangsang sintesis zat vasodilatasi
lainnya, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin (Wells, et. al., 2015).
Obat golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) bekerja
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga bekerja
dengan menghambat aktivitas saraf simpatis dengan menurunkan pelepasan
noradrenalin, menghambat pelepasan endotelin, meningkatkan produksi
substansi vasodilatasi seperti NO, bradikinin, prostaglandin dan menurunkan
retensi sodium dengan menghambat produksi aldosteron. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah batuk batuk, skin rash, hiperkalemia. Hepatotoksik.
glikosuria dan proteinuria merupakan efek samping yang jarang. Contoh
golongan ACEI adalah captopril, enalapril dan lisinopril. (Yulanda &
Lisiswanti, 2017)
Angiotensin II dihasilkan oleh jalur renin-angiotensin (yang
melibatkan ACE) dan jalur alternatif yang menggunakan enzim lain seperti
chymase. ACE inhibitor hanya memblokir jalur renin-angiotensin, sedangkan
ARB memusuhi angiotensin II yang dihasilkan oleh salah satu jalur. ARB
secara langsung memblokir reseptor angiotensin II tipe 1 yang memediasi efek
angiotensin II. (Wells, et. al., 2015). Golongan obat Angiotensin Receptor
Blocker (ARB) menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan
cairan (mengurangi volume plasma), menurunkan hipertrofi vaskular sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Efek samping yang dapat muncul meliputi
pusing, sakit kepala, diare, hiperkalemia, rash, batuk-batuk (lebih kurang
dibanding ACE-inhibitor), abnormal taste sensation (metallic taste). Contoh
golongan ARB adalah candesartan, losartan dan valsartan. (Yulanda &
Lisiswanti, 2017)
β-Blocker hanya dianggap sebagai agen lini pertama yang tepat untuk
mengobati indikasi tertentu yang memaksa (misalnya, pasca infark miokard,
penyakit arteri koroner). Mekanisme hipotensinya mungkin melibatkan
penurunan curah jantung melalui efek kronotropik dan inotropik negatif pada
jantung dan penghambatan pelepasan renin dari ginjal. (Wells et.al., 2015)
Golongan obat beta bloker bekerja dengan mengurangi isi sekuncup jantung,
selain itu juga menurunkan aliran simpatik dari SSP dan menghambat
pelepasan renin dari ginjal sehingga mengurangi sekresi aldosteron. Efek
samping meliputi kelelahan, insomnia, halusinasi, menurunkan libido dan
menyebabkan impotensi. Contoh golongan beta bloker adalah atenolol dan
metoprolol. (Yulanda & Lisiswanti, 2017)
ɑ-1 Receptor Blocker seperti prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah
penghambat reseptor 1 selektif yang menghambat ambilan katekolamin dalam
sel otot polos pembuluh darah perifer, yang mengakibatkan vasodilatasi.
Fenomena dosis pertama yang ditandai dengan hipotensi ortostatik disertai
dengan pusing atau pingsan sementara, palpitasi, dan bahkan sinkop dapat
terjadi dalam 1 hingga 3 jam setelah dosis pertama atau setelah dosis
berikutnya meningkat. Pasien harus mengambil dosis pertama (dan dosis
pertama yang meningkat berikutnya) pada waktu tidur. Kadang-kadang,
pusing ortostatik berlanjut dengan pemberian kronis. (Wells et.al., 2015)
Calcium channel blockers (CCB) menyebabkan relaksasi otot jantung
dan otot polos dengan memblokir saluran kalsium yang sensitif terhadap
tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel.
Hal ini menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang sesuai.
Antagonis saluran kalsium dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi refleks
simpatis, dan semua agen (kecuali amlodipin dan felodipin) mungkin memiliki
efek inotropik negatif. (Wells et.al., 2015). Golongan obat CCB memiliki efek
vasodilatasi, memperlambat laju jantung dan menurunkan kontraktilitas
miokard sehingga menurunkan tekanan darah. Efek samping yang mungkin
timbul adalah pusing, bradikardi, flushing, sakit kepala, peningkatan SGOT
dan SGPT, dan gatal gatal juga pernah dilaporkan. Contoh golongan CCB
adalah nifedipine, amlodipine dan diltiazem. (Yulanda & Lisiswanti, 2017)
Golongan obat thiazide diuretic bekerja dengan meningkatkan ekskresi
air dan Na+ melalui ginjal yang menyebabkan berkurangnya preload dan
menurunkan cardiac output. Selain itu, berkurangnya konsentrasi Na+ dalam
darah menyebabkan sensitivitas adrenoreseptor–alfa terhadap katekolamin
menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau resistensi perifer menurun. Efek
samping yang mungkin timbul meliputi peningkatan asam urat, gula darah,
gangguan profil lipid dan hiponatremia. Contoh golongan thiazide diuretic
adalah hidroklorotiazid dan indapamide. (Yulanda & Lisiswanti, 2017)
Loop diuretics secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl di thick
ascending limb (TAL). Karena besarnya kapasitas absorptif NaCl segmen ini
dan kenyataan bahwa efek diuretik obat-obat ini tidak dibatasi oleh terjadinya
asidosis, seperti pada kasus dengan inhibitor karbonat anhidrase, loop
diuretics adalah obat diuretik paling efektif yang saat ini tersedia. Contohnya
adalah furosemid dan torsemid. (Katzung, et. al, 2012)
Diuretika hemat-kalium mencegah sekresi K+ dengan melawan efek-
efek aldosteron di tubulus koligentes. Inhibisi dapat terjadi melalui
antagonisme farmakologik langsung reseptor mineralokortikoid. Contohnya
spironolakton dan eplerenon. Selain itu dengan menghambat influks Na+
melalui saluran ion di membran luminal. Contohnya amilorid dan triamteren.
Sifat yang terakhir ini tampaknya juga dimiliki oleh antagonis adenosin, yang
terutama mengurangi reabsorpsi Na+ di PCT, dan juga menghambat reabsorpsi
Na+ dan sekresi K+ di tubulus koligentes. Yang terakhir, ularitid (urodilatin
rekombinan), yang saat ini masih diteliti, menumpulkan penyerapan Na+ dan
Na+ /K -ATPase di tubulus koligentes dan meningkatkan LFG melalui efek
vaskularnya. Nesitirid, yang kini tersedia secara komersial untuk pemakaian
intravena saja, meningkatkan LFG dan mengurangi reabsorpsi Na+ di tubulus
proksimal dan koligentes. (Katzung, et. al, 2012)

2.3.9. Algoritma Pengobatan

Gambar 4. Algoritma Terapi Obat untuk Hipertensi. (JNC 8, 2014)


Keterangan. TD = Tekanan Darah; PGK = Penyakit Ginjal Kronik; ACEI =
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor; ARB = Angiotensin II Receptor
Blocker; CCB = Calcium Channel Blocker; BP = Blood Pressure (Tekanan
Darah)
Gambar 3. Algoritma Terapi Obat untuk Hipertensi. (Indonesian Society of
Hypertension, 2019)
Keterangan. TDS/TDD = Tekanan Darah (Sistolik/Diastolik); PGK = Penyakit
Ginjal Kronik; ACEI = Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor; ARB =
Angiotensin II Receptor Blocker; CCB = Calcium Channel Blocker; MI =
Myocardial Infarction.

Dikutip dari Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, berikut


adalah algoritma farmakoterapi yang telah dikembangkan untuk memberikan
rekomendasi praktis pengobatan hipertensi. Beberapa rekomendasi utama,
yaitu :
1. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua
obat. Bila memungkinkan dalam bentuk SPC (single pill combination),
untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
2. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS bloker (Renin-
Angiotensin System blocker), yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau
diuretik.
3. Kombinasi beta bloker dengan diuretik ataupun obat golongan lain
dianjurkan bila ada indikasi spesifik, misalnya angina, pasca IMA,
gagal jantung dan untuk kontrol denyut jantung.
4. Pertimbangkan monoterapi bagi pasien hipertensi derajat
1 dengan risiko rendah (TDS <150 mmHg), pasien
dengan tekanan darah normal-tinggi dan beresiko
sangat tinggi, pasien usia sangat lanjut (≥80 tahun)
atau ringkih.
5. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS bloker (ACEi
atau ARB), CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi
dua obat.
6. Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten,
kecuali ada kontraindikasi.
7. Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila TD belum
terkendali dengan kombinasi obat golongan di atas.
BAB III
BAHASAN
3.1. Definisi Interaksi Obat
Interaksi obat-obat terjadi ketika efek farmakologis dari obat tertentu diubah
oleh aksi obat lain, yang mengarah ke efek klinis yang tidak terduga, interaksi ini
dapat membuat obat kurang efektif, menunda penyerapan obat, atau menyebabkan
efek samping berbahaya yang tidak terduga (Lu, 2017). Interaksi obat mengacu pada
interaksi in vivo antara obat. Interaksi obat mungkin merupakan kontraindikasi relatif
atau absolut terhadap penggunaan obat secara bersamaan. Interaksi obat dapat
menyebabkan penurunan atau peningkatan efek obat atau dapat menyebabkan
terjadinya toksisitas. Secara umum, interaksi obat memiliki dasar farmakodinamik
atau farmakokinetik (Alastair, 2013).

3.2. Mekanisme Interaksi Obat


Interaksi obat dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme yaitu interaksi
secara farmasetik atau dapat disebut inkompatibilitas, interaksi secara farmakokinetik
(perubahan pengiriman obat ke tempat kerjanya) dan interaksi secara farmakodinamik
(modifikasi dari respons target obat). Adanya interaksi antar obat atau drug-drug
interaction (DDI) sering dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya efek
samping dan rawat inap di rumah sakit. Secara garis besar, penjelasan lebih lanjut
mengenai ketiga mekanisme interaksi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi ini terjadi diluar tubuh ( sebelum obat diberikan) antara obat yang
tidak bisa di campur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan
terjadinya interaksi langsung secara fisika atau kimiawi, yang hasilnya mungkin
terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau
mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat
(Setiawati, 2003).
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi,
distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat
kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau
penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi,
sekalipun struktur kimia yang mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi
sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya
(Setiawati, 2003)
a. Interaksi proses absorpsi
Interaksi ini dapat terjadi akibat perubahan harga PH obat pertama. Pengaruh
absorpsi suatu obat mungkin terjadi akibat pengurangan waktu huni dalam
saluran cerna atau akibat pembentukan kompleks (Mutschler, 1991)
b. Interaksi proses distribusi
Jika dalam darah pada saat yang sama terdapat tempat ikatan pada protein
plasma. Persaingan terhadap ikatan protein merupakan proses yang sering
yang sesungguhnya hanya baru relevan jika obat mempunyai ikatan protein
yang tinggi, lebar, terapi rendah dan volume distribusi relatif kecil
(Mutschler,1991) Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya
antara digoxin dan kuinidin dengan akibat peningkatan kadar plasma digoxin
(Setiawati, 2003)
c. Interaksi pada proses metabolisme
Interaksi dalam metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yakni
pemacu enzim atau penghambat enzim. Suatu obat presipitan dapat memacu
metabolisme obat lain (obat objek) sehingga mempercepat eliminasinya
(Suryawati, 1995)
d. Interaksi pada proses eliminasi
Interaksi pada proses eliminasi melalui ginjal dapat terjadi akibat perubahan
PH dalam urin atau karena persaingan tempat ikatan pada sistem transformasi
yang berfungsi untuk ekskresi.
3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai
khasiat atau efek samping yang berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh
kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja
pada sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan dari
pengetahuan tentang farmakologi obat obatan yang berinteraksi. Pada umumnya,
interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga dengan obat-obat
sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada kebanyakan
pasien yang mendapat obat-obat yang berinteraksi (Anonim, 2000)

3.3. Tingkat Keparahan Interaksi Obat


Interaksi berdasarkan tingkat keparahan dibagi menjadi 3 macam yaitu:
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek
biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu
mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan
tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang
terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan
tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah sakit mungkin
diperlukan (Tatro, 2009).
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan
kerusakan permanen (Tatro, 2009).

Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi


obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan
mampu menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi
yang tepat. Hal ini juga tugas pada profesional kesehatan untuk dapat
menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus
mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter pasien
tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping
yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang
dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap
efek berbahaya dari obat. Adapun yang dimaksud dengan potensi berbahaya
adalah jika ada probabilitas tinggi dari peristiwa yang dapat merugikan pasien
dimana salah satu akibatnya dapat menyebabkan kerusakan organ yang dapat
membahayakan kehidupan pasien. Persentase kejadian interaksi obat
berdasarkan pada tingkat keparahan pada aplikasi Medscape dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :

Persentase kejadian Interaksi Obat berdasarkan level signifikansi

Level Kejadian Interaksi Persentase (%)

Mayor 3 6,38

Moderate 27 57,44

Minor 17 36,17

Total Interaksi 47 100

3.4. Interaksi Obat Antar Obat Osteoarthritis

Obat 1 Obat 2 Mekanisme Efek Manajemen/ Level


interaksi Solusi signifika
n

Tramadol Celecoxi Antagonis Penurunan Monitoring Moderate


b konversi pasien
tramadol
menjadi
Interaksi metabolit aktif.
Farmakokinetik Penggunaan
: Celecoxib dimonitoring
mengurangi
efek tramadol
dengan
memengaruhi

metabolisme
enzim hati
CYP2D6.

Aspirin Naproxe Aditif Obat 1 akan Hindari atau Moderate


n meningkatkan gunakan
level atau efek alternatif obat
Obat 2. Aspirin lain
Interaksi mengurangi
Farmakokinetik AUC Naproxen
: Kompetisi sebanyak 10-
dengan 15%.
obat asam Risiko
(anionik) untuk peningkatan
pembersihan kerusakan
gastrointestinal
tubulus ginjal
dari
penggabungan
obat aspirin
dengan NSAIDs,
sehingga harus
dihindari.

Kurangnya
manfaat yang
jelas dalam
kombinasi
penggunaan
aspirin dengan
NSAIDs
Diklofena Etodolak Aditif Obat 1 akan .Monitoring Moderate
k pasien,
meningkatkan hindari atau
level gunakan
Interaksi alternatif obat
farmakokinetik atau efek Obat 2 lain
: Kompetisi

dengan obat
asam (anionik)
untuk

pembersihan
tubulus ginjal.

Ibuprofen Meloxic Aditif Obat 1 akan Monitoring Moderate


am pasien,
meningkatkan hindari atau
level atau gunakan
Interaksi alternatif obat
farmakokinetik efek Obat 2. lain
: Kompetisi
dengan

obat asam
(anionik) untuk
pembersihan

tubulus ginjal.
Signifikansi
Tidak
Diketahui.

Meloxica Nabumet Aditif Obat 1 akan Monitoring Moderate


m on pasien,
meningkatkan hindari atau
level atau gunakan
Interaksi alternatif obat
farmakokinetik efek Obat 2. lain
:

Kompetisi
dengan obat
asam (anionik)
untuk

pembersihan
tubulus ginjal.

Signifikansi
Tidak
Diketahui.

3.5. Interaksi Obat Osteoarthritis Dengan Obat Kanker Ovarium

Obat yang Mekanisme Efek Manajemen/S Level


berinteraksi Interaksi Mekanisme olusi Signifika
(Obat OA-Obat Interaksi n
Kanker Ovarium)

Dexamethasone- Deksametason Obat kanker Mengganti Moderat


Paclitaxel dapat menjadi kurang obat atau
mengurangi efektif perubahan
kadar kekuatan dosis
PACLitaxel
dalam darah
pada beberapa
pasien

Dexamethasone- Dexamethasone Obat kanker Mengganti Moderat


Doxorubicin dapat menjadi kurang obat atau
menurunkan efektif perubahan
kadar kekuatan dosis
DOXOrubicin
liposomal
dalam darah
pada beberapa
pasien

Dexamethasone- Dexamethasone Obat kanker Penggantian Monitor


Tamoxifen mengurangi menjadi kurang obat yang tidak dengan
kadar atau efek efektif berinteraksi, ketat
dari tamoxifen atau dilakukan
dengan penyesuaian
mempengaruhi dosis, atau
metabolism dilakukan
enzim CYP3A4 monitoring
di hati/usus efek dengan
ketat

Dexamethasone- Dexamethasone Obat kanker Penggantian Moderate


Vinorelbine menurunkan menjadi kurang obat yang tidak
kadar atau efek efektif berinteraksi,
vinorelbine atau dilakukan
dengan penyesuaian
mempengaruhi dosis, atau
metabolism dilakukan
enzim CYP3A4 monitoring
di hati/usus efek dengan
ketat

Methylprednisolon Methylpredniso Obat kanker Penggantian Minor


e-Paclitaxel lone menjadi kurang obat yang tidak
menurunkan efektif berinteraksi,
kadar atau efek atau dilakukan
paclitaxel penyesuaian
dengan dosis, atau
mempengaruhi dilakukan
metabolism monitoring
enzim CYP3A4 efek dengan
di hati/usus ketat

Dexamethasone- Interaksi Obat kanker Penggantian Mayor


Olaparib farmakodinami menjadi kurang obat yang tidak
k efektif berinteraksi
Deksametason
akan
menurunkan
kadar atau efek
olaparib dengan
mempengaruhi
metabolisme
enzim CYP3A4
hati/usus.
Sumber drugs.com, Medscape, Diakses 2021

Laporan kejadian interaksi obat antara obat osteoarthritis dengan obat kanker
ovarium jarang ditemukan. Adapun penggunaan salah satu obat kanker ovarium
ditemukan memiliki efek samping timbulnya osteoarthrtitis. Bevacizumab (BVC) saat
ini digunakan pada kanker ovarium berulang dan sebagai bagian dari pengobatan awal
untuk kanker ovarium. Toksisitas paling serius yang terkait dengan BVC termasuk
perforasi gastrointestinal, penyembuhan luka yang tertunda, dan perdarahan. Artritis
tidak pernah terdeteksi pada pasien yang menerima pengobatan BVC. Ini adalah
laporan kasus pertama munculnya arthritis terkait dengan administrasi BVC. Seorang
wanita berusia 59 tahun dengan kanker ovarium menerima beberapa rejimen hormonal
dan sitotoksik selama 5 tahun dan kemudian mengalami perkembangan osteoartritis
erosif pada tangan akibat BVC dan paclitaxel. Efek ini dipastikan membaik setelah
pengobatan dihentikan (Vauleon, 2021).

Dengan munculnya osteoarthritis pada pasien kanker ovarium dapat membuka


kemungkinan pemberian obat-obatan osteoarthritis (OA) bersama dengan obat-obatan
kanker ovarium. Obat OA secara umum tidak memiliki interaksi dengan obat kanker
ovarium, namun dexamethasone dan metilprednisolon dari golongan kortikosteroid
ditemukan memiliki interaksi dengan beberapa obat kanker ovarium dengan
mekanisme gangguan pada metabolisme enzim CYP3A4 pada hati atau usus sehingga
obat kanker ovarium menjadi kurang efektif (Medscape.com, Drugs.com, 2021)

3.6. Interaksi Obat Osteoarthritis Dengan Obat Hipertensi


Osteoarthritis dan hipertensi sering terjadi bersamaan pada pasien usia >60
tahun, dimana penggunaan obat antiinflamasi dan nonsteroid dengan terapi hipertensi
merupakan hal yang umum dilakukan. Meski begitu, uji klinis pada pasien dengan
artritis menunjukkan bahwa banyak agen dalam kelas NSAID yang mungkin
menginduksi peningkatan yang signifikan dalam tekanan darah sistolik, terutama
ketika pasien menggunakan Beta blocker, atau diuretik sebagai antihipertensi.
Peningkatan tekanan darah yang berkelanjutan di lansia dikaitkan dengan peningkatan
resiko stroke iskemik dan hemoragik, gagal jantung kongestif, dan kejadian jantung
iskemik. (White, 2009)
Menurut jurnal adri White (2009), data yang telah terkumpul selama 15 tahun
terakhir menggarisbawahi pentingnya analisis manfaat dan resiko NSAID dan
inhibitor selektif COX-2 sebelum meresepkan obat tersebut. Sebagian besar pasien
dengan arthritis memiliki tingkat penyakit sedang hingga berat yang membutuhkan
terapi NSAID atau COX-2, dan biasanya pasien tersebut adalah pasien yang
cenderung tua dengan resiko tinggi untuk efek samping tertentu, termasuk
destabilisasi tekanan darah. Memilih kombinasi terapi yang menyembuhkan atau
meringankan gejala yang berhubungan dengan arthritis, meminimalkan hipertensi dan
risiko kardiovaskular, serta menjaga gastrointestinal saluran membutuhkan
pengambilan keputusan medis yang kompleks. Data sejauh ini menunjukkan adanya
interaksi antara beberapa NSAID dan COX-2 dengan obat antihipertensi yang dapat
menyebabkan peningkatan kejadian kardiovaskular pada pasien yang
menggunakannya dibandingkan dengan tidak.

Obat yang Mekanisme Efek Manajemen/ Level


Berinteraksi Interaksi Mekanisme Solusi Signifikan
Interaksi

COX-2 Mekanismenya Meningkatkan Hindari atau Mayor


inhibitor diduga toksisitas gunakan
celecoxib berhubungan masing-masing alternatif obat
dengan ACE dengan obat dan lain.
inhibitor kemampuan menginduksi
captopril NSAID untuk peningkatan
mereduksi tekanan darah
sintesis dari sistolik secara
vasodilatasi signifikan.
renal
prostaglandin.

ibuprofen atau Merupakan Efek terapeutik Hindari atau Mayor


piroxicam, antagonis nyaris berkurang gunakan
NSAID farmakodinami setengahnya, alternatif obat
dengan k. Mekanisme dapat lain.
lisinopril/hydr dari interaksi ini menyebabkan
ochlorothiazid berhubungan penurunan fungsi
e dengan ginjal, dan
kemampuan NSAID dapat
NSAID untuk menghilangkan
mereduksi efek
sintesis dari antihipersensitif
vasodilatasi dari ACE
renal inhibitor.
prostaglandin.

COX-2 Memberikan Meningkatkan Monitoring Moderate


inhibitor efek pada efek propranolol pasien
celecoxib metabolisme dan celecoxib
dengan Beta enzim hepatik keduanya
blocker CYP2D6. meningkatkan
propranolol serum
Ibuprofen Persaingan obat Efek ibuprofen Monitoring Minor
dengan asam (anionik) meningkat pasien
Metolazone dalam
membersihkan
tubulus ginjal

NSAID Merupakan Efek terapeutik Hindari atau Mayor


Piroxicam antagonis nyaris berkurang gunakan
dengan ACE farmakodinami setengahnya, alternatif obat
Inhibitor k. Mekanisme dapat lain.
Captopril dari interaksi ini menyebabkan
berhubungan penurunan fungsi
dengan ginjal, dan
kemampuan NSAID dapat
NSAID untuk menghilangkan
mereduksi efek
sintesis dari antihipersensitif
vasodilatasi dari ACE
renal inhibitor.
prostaglandin.

3.7. Interaksi Obat Hipertensi Dengan Obat Kanker Ovarium

Pengobatan kanker ovarium seringkali menggunakan kombinasi obat, baik


kombinasi obat kanker dengan obat kanker, maupun obat kanker dengan obat lain.
Penggunaan kombinasi obat memungkinkan terjadinya interaksi obat. Oleh karena itu,
kajian interaksi obat pada pasien kanker ovarium sangat penting untuk mengurangi
terjadinya interaksi obat yang tidak diinginkan. Atas dasar pertimbangan tersebut,
maka perlu dilakukan penelitian mengenai interaksi obat pada pasien kanker ovarium
dengan hipertensi. Berikut beberapa obat hipertensi yang menimbulkan interaksi
dengan obat kanker ovarium bila dipakai secara bersamaan :

Obat Obat Mekanisme Efek Manajemen/ Level


Kanker Hipertens interaksi Solusi signifika
Ovarium i n

Topotecan Verapamil Verapamil akan Interaksi Hindari atau Mayor


meningkatkan dengan cari alternatif
tingkat atau efek topotecan IV obat lain
topotecan oleh mungkin
p-glikoprotein kurang parah
(MDR1) tetapi
transporter kemungkinan
efflux. Hindari masih
atau gunakan memiliki
obat alternatif. makna klinis
Label produk
untuk Per Oral
topotecan
menyarankan
untuk
menghindari
penggunaan P-
gp.

Topotecan Captopril Captopril akan Interaksi Hindari atau Mayor


meningkatkan dengan cari alternatif
tingkat atau efek topotecan IV obat lain
topotecan oleh mungkin
p-glikoprotein kurang parah
(MDR1) tetapi
transporter kemungkinan
efflux. Label masih
produk untuk memiliki
Per Oral makna klinis
topotecan
menyarankan
untuk
menghindari
penggunaan P-
gp.

Bevacizum Paclitaxel Kemungkinan Efek Monitoring Moderat


ab penurunan paclitaxel pasien e
paparan menurun
paclitaxel
setelah 4 siklus
pengobatan
bevacizumab
dalam
kombinasi
dengan
paclitaxel dan
carboplatin.
Docetaxel Diltiazem Diltiazem akan Efek Monitoring Moderat
meningkatkan docetaxel pasien e
kadar atau efek meningkat
docetaxel
dengan
mempengaruhi
metabolisme
enzim CYP3A4
hati/usus.

Docetaxel Verapamil Verapamil akan Efek Monitoring Moderat


meningkatkan docetaxel pasien e
kadar atau efek meningkat
docetaxel oleh
transporter
penghabisan P-
glikoprotein
(MDR1)

Cisplatin Furosemid Baik Meningkatka Monitoring Moderat


(Diuretik) meningkatkan n toksisitas pasien e
racun dari yang obat
lain oleh
farmakodinamik
sinergis.
Gunakan
kewaspadaan /
Monitor. Aditif
ototoksisitas.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan

Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat dari
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih menjadi berubah. Seperti pada
interaksi antar obat yang digunakan pada osteoartritis Tramadol dan Celecoxib,
Celecoxib mengurangi efek Tramadol dengan memengaruhi metabolisme
enzim hati CYP2D6 sehingga terjadi penurunan konversi Tramadol menjadi
metabolit aktif. Celecoxib juga berinteraksi dengan Captropil yang biasa
digunakan sebagai obat hipertensi dan dapat meningkatkan toksisitas masing-
masing obat dan menginduksi peningkatan tekanan darah sistolik secara
signifikan. Captropil juga berinteraksi dengan Topotecan yang bisa digunakan
sebagai obat kanker ovarium yang akan berefek. Captopril meningkatkan
tingkat atau efek topotecan oleh p-glikoprotein (MDR1) transporter efflux.

Interaksi obat dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme yaitu interaksi secara
farmasetik atau dapat disebut inkompatibilitas, interaksi secara farmakokinetik
(perubahan pengiriman obat ke tempat kerjanya) dan interaksi secara farmakodinamik
(modifikasi dari respons target obat).

1. Interaksi sesama obat osteoarthritis


a. Kombinasi tramadol dengan celecoxib tidak direkomendasikan karena
dapat menyebabkan Penurunan konversi tramadol menjadi metabolit aktif.
b. Risiko peningkatan kerusakan gastrointestinal dari penggabungan obat
aspirin dengan NSAIDs (Non Steroidal Anti Inlfamantory Drugs),
sehingga harus dihindari.
c. Penggunaan obat NSAID lebih dari satu secara bersamaan tidak
direkomendasikan karena dapat menyebabkan gejala ulserasi dan
pendarahan GI (Gastrointestinal)

2. Interaksi antara obat osteoarthritis dengan obat kanker ovarium


a. Terjadi interaksi farmakodinamik antara obat kortikosteroid dengan obat
kanker dimana kadar obat kanker menjadi menurun sehingga kurang
efektif
b. Interaksi antara obat osteoarthritis dengan obat hipertensi
Penggunaan obat golongan NSAID (Non Steroidal Anti Inflamatory
Drug) dengan golongan ACE (Angiotensin-Converting Enzyme) Inhibitor
tidak direkomendasikan, seperti interaksi antara celecoxib dengan
captopril dapat meningkatkan toksisitas masing masing obat dan
menginduksi peningkatan tekanan darah sistolik secara signifikan. Dan
pada ibuprofen dengan lisinopril dapat menyebabkan efek terapeutik
nyaris berkurang setengahnya, dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal

3. Interaksi antara obat hipertensi dengan obat kanker ovarium


a. Interaksi antara obat topotecan dengan captopril dapat menyebabkan
peningkatan efek topotecan oleh p-glikoprotein (MDR1) transporter efflux
sehingga tidak disarankan pemberian kedua obat secara bersamaan
b. Obat docetaxel juga tidak disarankan untuk diberikan bersamaan dengan
obat golongan antagonis kalsium karena dapat meningkatkan kadar
docetaxel
DAFTAR PUSTAKA

Adhiputra, I Kt. Agus Indra. 2017. OSTEOARTRITIS. FAKULTAS KEDOKTERAN.


UNIVERSITAS UDAYANA : Bali. Diakses melalui
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/2cf12fb568dff97473695a20836
334d4.pdf
Alastair E. Cribb DVM, PhD, FCAHS, Mathieu Peyrou DVM, MSc, in Small Animal
Toxicology (Third Edition), 2013
American Cancer Society. 2021. Key Statistics for Ovarian Cancer. Diakses dari
https://www.cancer.org/cancer/ovarian-cancer/about/key-statistics.html
Budiana et al. 2019. Ovarian cancer: Pathogenesis and current recommendations for
prophylactic surgery. Journal of the Turkish German Gynecological Association 2019
Mar; 20(1): 47–54. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6501866/
CDC. 2019, ‘Basic Information About Ovarian Cancer’, Ovarian Cancer, [Online], accessed
on 5th May 2021, available at : https://www.cdc.gov/cancer/ovarian/basic_info/
Departemen Kesehatan RI. Halaman 19, 25, 35, 52. Pratiwi, 2015
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2020, Pharmacotherapy
Handbook, Tenth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
Edi, Kurniawan., Eko Budi, Prasetyo. 2014. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA
KONDISI OSTEOARTHRITIS GENUSINISTRADENGAN MODALITAS MICRO
WAVE DIATHERMY DAN PENGUATAN OTOT DENGAN METODE 1RM (ONE
REPITISI MAXIMAL). Pekalongan : GARUDA
Globocan. 2018, ‘Indonesia Fact Sheets’, International Agency for Research on Cancer,
[Online], accessed on 5th May 2021, available at :
https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-sheets.pdf
Harsono, Budi Ali. 2020. Kanker Ovarium : “The Silent Killer”. Indonesian Journal of
Obstetrics & Gynecology Science Volume 3 Nomor 1 Maret 2020.
Healthy Western Australia. 2020, ‘Ovarian Cancer’, Government of Western Australia,
Department of Health, [Online], accessed on 4th May 2021, available at:
https://healthywa.wa.gov.au/Articles/N_R/Ovarian-cancer
Herowati, R., 2014. Obat Dan Suplemen Untuk Osteoarthritis. Pharmacy, Vol.11 No. 01. p.
40-48.
Indonesian Rheumatologist Association. 2014. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan
Penatalaksanaan Osteoarthritis.ISBN 978-979-3730-24-0. Diakses dari
https://reumatologi.or.id/wp-
content/uploads/2020/10/Rekomendasi_Osteoarthritis_2014.pdf
Indonesian Society of Hypertension. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi. Jakarta :
Indonesian Society of Hypertension
International Society of Hypertension. 2020. 2020 International Society of Hypertension
Global : Hypertension Practice Guidelines. Retrieved from
https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/HYPERTENSIONAHA.120.15026
Istighosah, ningning dan Yunita, Nurma. 2018. Perbedaan Pengetahuan Wanita Usia Subur
(WUS) tentang Kanker Ovarium Sebelum dan Sesudah Diberi Penyuluhan ( Di RT 03
RT 04 Desa Sumengko Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk ). Jurnal Ilmu
Kebidanan Dharma Husada Vol. 7, No 1 April 2018)
JNC 8 Hypertension. JNC 8 Hypertension Guideline Algorithm. Diakses dari :
https://thepafp.org/website/wp-content/uploads/2017/05/2014-JNC-8-Hypertension.pdf
(Pada Juni, 2021)
Johari, A. B. & Siregar, F. G. 2012. Insidensi Kanker Ovarium berdasarkan Faktor Risiko di
RSUP Haji Adam Malik Tahun 2008-2011. USU, Medan, Indonesia.
Kalichman L and Hunter D. Lumbar Facet Joint Osteoarthritis: A Review. Semin Arthritis
Rheum 2007. 37: 69-80
Katzung, Bertram G., Masters, & Trevor. 2012. Farmakologi Dasar & Klinik. New York :
McGraw Hill Education
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Laporan
Nasional 2013.
Kompono, N. 2011. Kanker Ganas Alat Genital. PT. Bina Pustaka Sarwono, Yogyakarta,
Indonesia.
Lotz M. 2014.Value of biomarkers in osteoarthritis: current status and perspectives. Postgrad
Med J;90:171-178
Lu, Y., Figler, B., Huang, H., Tu, Y. C., Wang, J., & Cheng, F. (2017). Characterization of
the mechanism of drug-drug interactions from PubMed using MeSH terms. PloS one,
12(4), e0173548. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0173548
McAlindon, TE., Bannuru, R.R., Sullivan, M.C, Arden, N.K., Berenbaum, F., Bierma-
Zeinstra, SM., Hawker, GA., Henrotin, Y., Hunter, DJ., Kawaguchi, H., 2014. OARSI
guidelines for the non-surgical management of knee osteoarthritis. Osteoarthritis and
Cartilage. Vol 22. p. 363–388
Moore, RG., Miller, M.C., Steinhoff, M.M., Skates, SJ., Lu, K.H., Messerlian, G.L., Bast,
R.C. 2011. Serum HE4 lavel are less frequently elevated than CA125 in women with
benign gynecologic disorders. American Journal of Obstetrics and Gynecology
National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 2017, Ovarian Cancer, accessed on 8th
May 2021, available at : https://cureourovariancancer.org/wp-
content/uploads/2019/08/NCCN-ovarian.pdf
National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 2019, Ovarian Cancer: Epithelial
Ovarian Cancer, accessed on 13th April 2020, available at :
https://www.nccn.org/patients/guidelines/content/PDF/ovarian-patient.pdf
Octaviana, Riska., Didik Setiawan., Susanti. 2013. PERBANDINGAN INTERAKSI OBAT
DAN PERMASALAHAN DOSIS PADA PASIEN OSTEOARTHRITIS DI DUA
RUMAH SAKIT. Purwakerto : Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah
Purwokerto
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana
Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Retrieved from
http://www.inaheart.org/upload/image/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_penyakit
_Kardiovaskular_2015.pdf
Pratiwi, Anisa Ika. 2015. DIAGNOSIS AND TREATMENT OSTEOARTHRITIS.
ARTIKEL REVIEW. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Diakses dari
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/download/572/576
Putu, Imayati., Gede, Kambayana. 2014. CASE REPORT : OSTEOARTHRITIS. Bali : E-
Jurnal Medika Udayana.
Rahmawati, Hegaria dkk. 2012. Ovarian Dysgerminomas Cancer. Indonesian Journal Of
Clinical Pathology and Medical Laboratory Vol. 19, No. 1 November 2012.
Rahmawati, Y.,dan Sunarti, S. (2014). Permasalahan Pemberian Obat pada Pasien Geriatri di
Ruang Perawatan RSUD Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 28(2):
142.
Reide, Frances et al. 2020. World Ovarian Cancer Coalition Atlas 2020 Global trends in
incidence, mortality, and survival. Diakses dari
https://worldovariancancercoalition.org/wp-content/uploads/2020/10/2020-World-
Ovarian-Cancer-Atlas_FINAL.pdf
Riskesdas. (2018). Penyakit Sendi/Rematik/Encok. Kementerian Kesehatan RI: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Santosa, Jessica. 2018. OSTEOARTRITIS. Laporan Pengalaman Belajar Lapangan.
FAKULTAS KEDOKTERAN. UNIVERSITAS UDAYANA : Bali. Diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7a6bf247810cf2b5a888848974
6e9079.pdf
Setiawati, A., dan Nafrialdi, 2012, Obat Gagal Jantung, Farmakologi dan Terapi, Edisi V, 34
dan 300, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Soeroso.J,Algristian.H.,2011. Asam Urat. Penebar Plus: Jakarta
Simamora, R. A. P., Hanriko, R. & Sari, R. D. P. 2018, ‘Hubungan Usia, Jumlah Paritas, dan
Usia Menarche Terhadap Derajat Histopatologi Kanker Ovarium di RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2015-2016’, Majority, vol. 7, no. 2, pp. 7-13.
Suastari, Ni Made Putri. 2018. Pemeriksaan Radiologi untuk Deteksi Kanker Ovarium.
Cermin Dunia Kedokteran Volume 45 No 4 Diakses Dari
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/669
Syarif, Amir., Estungtyas, Ari., Setiawati, Arini., Muchtar, Azalia., Bahry, Bahroelin.,
Suyatna, Frans D., Dewoto, Hedi R., Utama, Hendra., Darmasyah, Iwan., Wuria., Sari,
Meta S., Nafriadi., dan Wilmana, Petrus F., 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI, hal 230-246
Vauléon, E., Behal, H., Lebellec, L., Desbarbieux, R., Baldacci, S., Simon, N., Pannier, D.,
Vieillard, M. H., & Turpin, A. (2021). Does bevacizumab increase joint pain in patients
with cancer? Results of the prospective observational BEVARTHRALGIA study.
Cancer chemotherapy and pharmacology, 87(4), 533–541.
https://doi.org/10.1007/s00280-020-04226-6
Wells, Barbara G., Joseph T. DiPiro, Terry L. Schwinghammer, Cecily V. DiPiro. 2015.
Pharmacotherapy Handbook : Ninth Edition. New York : McGraw Hill Education
WHO. 2015. Global Health Observatory (GHO) data : Raised blood pressure,Situation and
Trends. Diakses melalui : http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_text/en/
World Health Organization. 2018, Cancer, accessed on 4th May 2021, available at :
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/cancer#
Yulanda, Glenys & Lisiswanti. 2017. Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Majority 6(1) : 25-
33

Anda mungkin juga menyukai