Anda di halaman 1dari 18

ILMU PENDIDIKAN ISLAM

“Tokoh-tokoh Pendidikan Islam”

Dosen Pengampu :

Dr. H. Syahran Jailani, M.Pd

NAMA : RESI FITRI NIYANTI

NIM. 2013.11.1.0316

PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MAU’IZHAH
KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, karena atas rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
semoga tercurah limpahkan kepada junjunan kita semua, Rasulullah SAW.,
keluarga, para sahabat, tabin- tabiin dan seluruh ummatnya sampai akhir zaman
yang patuh dan taat kepada ajarannya.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sejarah Pendidikan Islam yang membahas tentang “Tokoh-tokoh Pendidikan
Islam di Indonesia”, yang didalamnya menjelaskan mengenai definisi, tokoh,
organisasi pendidikan Islam, dan hal lainnya yang akan penyusun bahas
dididalamnya.

Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat


banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun sebagai bahan masukan
supaya makalahnya bisa lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, dan
menambah khazanah keilmuan kita semua.Amin.

Penyusun

ii
DAFAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
DAFAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................4
PEMBAHASAN......................................................................................................................4
A. Ahmad Dahlan (1869-1923).............................................................................................4
B. Hasyim Asy’ari (1871-1947)............................................................................................6
C. Abdul Halim (1887-1962)................................................................................................9
D. Hamka............................................................................................................................11
E. Basiuni Imran.................................................................................................................12
F. Hasan Langgulung.........................................................................................................13
G. Azyumardi Azra.............................................................................................................14
BAB III..................................................................................................................................17
PENUTUP.............................................................................................................................17
A. Kesimpulan....................................................................................................................17
B. Saran..............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan pendidikan islam di Indonesia saat ini tidaklah terlepas dari
peranan tokoh-tokoh pendidikan Islam terdahulu. Diantara mereka ada nama-
nama besar yang tidak asing lagi bagi kita. Seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan,
Kyai Haji Hasyim Asy’ari, dan yang lainnya.

Ada diantara mereka yang merubah konsep pendidikan tradisional menjadi


pendidikan yang modern. kita bisa lihat perbandingannya sekarang, kalau dulu
belajarnya dengan menggunakan konsep khalaqah atau duduk melingkar dilantai,
sekarang tidaklah seperti itu lagi, belajarnya di ruangan kelas yang khusus untuk
belajar disertai sarana dan prasaran yang dapat menunjang proses pembelajaran
seperti meja, kursi, dan papan tulis. Selain itu, ada juga yang menambahkan
pelajarannya, seperti menambah pelajaran-pelajaran umum di dalam pesantren.
Anak-anak yang belajar di pesantren tidak hanya belajar agama saja yang
dipelajari, tetapi juga mata pelajaran umum.

Melalui kerja keras merekalah kita dapat menikmati pendidikan yang ada
saat ini. Oleh karena itu kami sangat tertarik untuk mengkaji tokoh-tokoh
pendidikan Islam di Indonesia. Supaya kita bisa lebih mengetahui bagaimana
perjuangan para tokoh tersebut dalam memajukan pendidikan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penyusun merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut:

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ahmad Dahlan (1869-1923)


Menurut Zuhairini (2013:199) Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta
pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari KH.
Abu Bakar Bin Kyai Sulaiman, khatib di Masjid besar (Jami’) kesultanan
Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang penghulu. Setelah beliau
menamatkan pendidikan dasarnya di suatu Madrasah dalam bidang Nahwu, Fiqih
dan Tafsir di Yogyakarta, beliau pergi ke Makkah pada tahun 1890 dan beliau
menuntut ilmu disana selama satu tahun. Sekitar tahun 1903 beliau mengunjungi
kembali ke Makkah dan kemudian menetap di sana dua tahun.
Sepulang dari Makkah yang pertama ia telah bertukar nama dengan Haji
Ahmad Dahlan. Tiada berapa lama kemudian ia menikah dengan Siti Walidah
putrid Kyai Penghulu Haji Fadhil. Zuhairini (Hamsyah. 2013. 199)
Semenjak ayahnya wafat, ia menggantikan kedudukan ayah dan dingkatlah
oleh Sri Sultan menjadi khatib mesjid besar Kauman Yogyakarta dan dianugrahi
gelar Khatib Amin. Disamping jabatannya yang resmi, ia menyebarkan agama
dengan menyebarkan agama dimana-mana. Beberapa tahun kemudian ia naik haji
untuk kedua kalinya (1903). Sekembali dari haji yang kedua inilah ia mendapat
sebutan Kyai dari masyarakatnya, semenjak itu dimana-mana ia terkenal dengan
nama Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Ia adalah seorang alim yang luas ilmunya dan tiada jemu-jemu ia
menambah ilmu dan pengalamannya. Dimana saja ada kesempatan, sambil
menambah atau mencocokkan ilmu yang telah diperolehnya. Observatorium
Lembang pernah ia datangi untuk mencocokkan tentang ilmu hisab. Ia ada
keahlian dalam ilmu itu. Perantauannya keluar Jawa pernah sampai ke Medan.
Pondok pesantren yang besar-besar di Jawa pada waktu itu banyak ia kunjungi.
Zuhairini (2013:199)
Perbuatan yang mula-mula dianggap aneh oleh masyarakat pada waktu itu
ialah perbuatan beliau menggarisi lantai masjid besar dengan garis miring 241/2
derajat ke utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari arah kiblat tidaklah lurus
seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tetapi miring sedikit ke utara 241/2

2
derajat. Perbuatan itu ditentang oleh masyarakat, bahkan Kanjeng Kyai Penghulu
sendiri turun tangan dan memerinthakan menghapus garis-garis itu. Kemudian
beliau membangun langgarnya sendiri, maka laggar itupun telah diperintahkan
untuk dirobohkan oleh Kanjeng Kyai Penghulu. Hampir-hampir Kyai Haji Ahmad
Dahlan berputus asa karena peristiwa-peristiwa lainnya dan rupanya semenjak itu
telah mulailah pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang diperoleh oleh Kyai
Haji Ahmad Dahlan melawan pikiran-pikiran kolot dari kyai-kyai tua. Zuhairini
(Hamsyah. 2013. 200)
Perubahan-perubahan ini, walaupun bagi kita sekarang mungkin sangat
kecil artinya, memperlihatkan kesadaran KH. Ahmad Dahlan tentang perlunya
membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan yang menurut pendapatnya
memang tidak sesuai dengan Islam. Perubahan-perubahan ini tidak perlu datang
dari pengaruh-pengaruh orang lain, sebab kaum tradisi (dan kitab-kitab mereka
juga) mengajarkan bahwa kiblat haruslah menuju ke Ka’bah dan bahwa seorang
muslim haruslah beresih dari segala kotoran-kotoran.
Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah tegas, ialah
hendak memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita agama Islam.
Usaha-usahanya ditujukan hidup beragama. Keyakinan beliau adalah bahwa untuk
membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu dibangun semangat
bangsa. Kalau Serikat Islam usaha-usahanya ditekankan kepada bidang politik
yang berlandaskan cita-cita agama. Muhamadiyah menekankan usahanya kepada
perbaikan hidup beragama dengan amal-amal pendidikan dan sosial.
Pada waktu beliau sakit menjelang wafat, atas nasihat dokter beliau
beristirahat di Tosari. Dalam peristirahatan itu beliau tetap bekerja keras, hingga
istri beliau memperingati berkali-kali agar beliau beristirahat. Akhirnya beliau
menjawab: “saya mesti bekerja keras untuk meletakkan batu pertama dari amal
yang besar ini. Kalau saya lambatkan atau saya hentikan karena sakitku, tidak ada
nanti yang sanggup meletakkan dasar itu. Beliau merasa bahwa umurnya tidak
akan lama lagi. Zuhairini (Hamsyah. 2013. 202). Ahmad Dahlan pulang ke
rahmatullah pada tahun 1923 Masehi tanggal 23 Februari, dalam usia 55 tahun
dengan meninggalkan sebuah organisasi Islam yang cukup besar dan disegani
karena ketegarannya.

3
B. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
Menurut Zuhairi (2013:202-203) Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal
14 Februari tahun 1981 M di jombang Jawa Timur, mula-mula ia belajar agama
Islam pada ayahnya sendiri. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren di
Purbalinggo, kemudian pindah ke Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain.
Sewaktu ia belajar di Siwalan Panji (Sidoarjo) pada tahun 1891, Kyai
Ya’kub yang mengajarnya tertarik kepada tingkah lakunya yang baik dan sopan
santunnya yang halus, sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan
akhirnya ia dinikahkan dengan putrid kyainya itu yang bernama Khadijah (tahun
1892). Tidak lama kemudian ia pergi ke Makkah bersama istrinya untuk
menunaikan ibadah haji dan bermukim selama satu tahun, sedang istrinya
meninggal disana.
Pada kunjunganny yang kedua ke Makkah ia bermukim selama delapan
tahun untuk delapan tahun untuk menuntut ilmu agama Islam dan bahasa Arab.
Sepulang dari Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuannya, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang
(pada tanggal 26 Rabi’ul Awal tahun 1899 M).
Pembaharuan Tebuireng yang pertama adalah dengan mendirikan
Madrasah Salafiyah (tahun 1919) sebagai tangga untuk memasuki tingkat
menengah pesantren Tebuireng.
Pada tahun 1929 Hasyim Asy’ari menunjuk KH Ilyas menjadi kepala
Madrasah Salafiyah. Zuhairini (Yunus. 2013. 203)
Dengn demikian KH Ilyas dapat melaksanakan hasratnya untuk
memperbaharui keadaan dalam pesantren Tebuireng menurut cita-cita pendirinya
KH Hasyim Asy’ari.
Maka dibawah pimpinan KH Ilyas dimasukkan pengetahuan umum ke
dalam Madrasah Salafiyah, yaitu:
1) Membaca dan menulis huruf Latin
2) Mempelajari bahasa Indonesia
3) Mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia
4) Mempelajari ilmu berhitung.
Semuanya itu diajarkan dengan memakai buku-buku huruf Latin.

4
Sejak saat itu mulailah surat-surat kabar masuk ke dalam pesantren, mulai
dikenal dan dibaca oleh kyai dan para pelajar. Begitu pula majalah dan buku-buku
yang berisi pengetahuan umum yang tertulis dengan huruf Latin dalam bahasa
Indonesia. Sedangkan sebelum itu hal-hal tersebut dipandang barang-barang
duniawi yang tidak sesuai dengan kehendak agama. Sebab itu sebagian orang tua
murid tidak mengizinkan anaknya belajar ilmu-ilmu itu, sehingga timbulah reaksi
besar di luar yang bersikap menentang dari setengah kyai dan orang tua murid
yang memerintahkan anak-anaknya pindah ke pesantren lain. Zuhairini (Yunus.
2013. 204)
Hasil usaha perbaikan ini diketahui dan dirasakan orang, ialah sesudah
berpuluh tahun kemudian, yaitu dalam masa pendudukan Jepang yang melarang
surat menyurat selain dalam huruf Latin. Pada waktu itu banyak Kyai keluaran
Tebuireng yang tertolong, karena mengetahui menulis dan membaca huruf Latin.
Begitu juga banyak mereka yang terpilih menjadi anggota Sang Kai (Dewan
Permusyawaratan Karesidenan), karena mereka mengerti pengetahuan umum dan
pandai dalam bahasa Indonesia, di samping pengetahuan keagamaan. Zuhairini
(Abubakar. 2013. 204)
Pada zaman kemajuan sekarang Tebuireng tidak mau ketinggalan. Di
samping pengajian secara lama dipesantren Tebuireng, terdapat madrasah yang
modern, sekolah agama yang teratur menurut cara modern sekarang. Madrasah itu
mempunyai gedung-gedung yang indah berkelas, bermeja, berbangku dan
berpapan tulis. Di sana ada madrasah bagian rendah, bagian menengah, bagian
atas dan bagian tinggi. Murid-muridnya berasal dari seluruh pelosok Indonesia.
Bahasa pengantar dipake bahasa Indonesia dan untuk beberapa pengajaran
tertentu dipakai bahasa Arab. Bahasa asing lainnya juga diajarkan di madrasah ini
bersama pengetahuan umum.
Tiap bulan Sya’ban para kyai dari berbagai daerah mengunjungi pesantren
Tebuireng untuk belajar selama satu bulan. Sebagai ilustrasi tentang pengetahuan
terhadap keahliannya. Dapat disebutkan bahwa seorang bekas gurunya pada tahun
1933 berkunjung ke Tebuireng untuk mendengarkan/mengikuti pelajaran yang ia
berikan. Zuhairini (Noer. 2013. 205)

5
Jasa KH. Hasyim Asy’ari selain dari pada mengembangkan ilmu di
pesantren Tebuireng ialah keikutsertaannya mendirikan organisasi Nahdatul
Ulama, bahkan ia sebagai Syeikul Akbar dalam perkumpulan ulama yang terbesar
di Indonesia.
Selain dari pada itu KH Hasyim Asy’ari duduk dalam pucuk pimpinan
MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Begitu pula dalam gerakan pemuda dan
kelasykaran, seperti: GPII Muslimat, Hizbullah, Sabilillah, barisan Mujahidin dan
lain-lain, ia menjadi penganjur dan penasihatnya.
Dalam rangka tersebut, beliau bukan hanya mengorbankan buah
pikirannya, tetapi juga harta bendanya.
Sebagai ulama ia hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan
belaskasihan orang. Tetapi beliau mempunyai sandaran hidup sendiri, yaitu
beberapa bidang sawah, hasil perniagaannya. Beliau seorang salih, sungguh
beribadat, taat dan rendah hati. Ia tidak ingin pangkat dan jabatan, baik di zaman
Belanda, atau di zaman Jepang. Kerap kali beliau diberi pangkat dan jabatan,
tetapi ia menolaknya dengan bijaksana. Zuhairini (Yunus. 2013. 205)
Masih menurut Zuhairini (2013:205-206) KH Hasyim Asy’ari
wafat/pulang ke rahmatullah pada tanggal 25 Juli 1947 M dengan meninggalkan
sebuah peninggalan yang monumental berupa pondok pesantren Tebuireng yang
tertua dan terbesar untuk kawasan Jawa Timur dan yang telah mengilhami para
alumninya untuk mengembangkannya di daerah-daerah lain walaupun dengan
menggunakan nama yang lain bagi pesantren-pesantren yang mereka dirikan.
Banyak alumni Tebuireng yang bertebaran diseluruh Indonesia, menjadi
kyai dan guru-guru agama yang masyhur dan ada diantara mereka yang
memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia,
seperti mentri aga dan lain-lain (KHA Wahid dan KH Ilyas).

C. Abdul Halim (1887-1962)


Abdul Halim lahir di Cibereleng, Majalengka pada tahun 1887 M. dia
adalah pelopor gerakan pembaharuan didaerah majalengka, Jawa Barat, yang
kemudian berkembang menjadi persyerikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911,
yang kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5
April 1952 M/ 9 Rajab 1371. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat

6
beragama (ayahnya adalah seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan keluarga-
keluarganya tetap mempunyai hubungan yang erat secara keluarga dengan orang-
orang dari kalangan pemerintah. Ahmad Halim memperoleh ajaran agama pada
masak kanak-kanak dengan belajar diberbagai pesantren di daerah Majalengka
sampai pada umur 22 Tahun, ketika ia pergi ke Makkah untuk naik haji dan untuk
melanjutkan pelajarannya. Zuhairini (Noer. 2013. 206)
Ketika masih berumur 10 tahun ia mempelajari Quran dan Hadis di
pesantren Kyai Haji Anwar di desa Ranji Wetan, Majallengka. Ia pindah ke desa
Lontangjaya untuk belajar pada Kyai Abdullah kemudian ke pesantren Bobos,
Cirebon dengan Kyai Haji Sudjak. Ia juga pergi ke pesantren Ciwedus di Cilimus
(Kuningan) untuk belajar pada Kyai Haji Ahmad Saubari, kemudian ke pesantren
lain pula di Kenayangan, Pekalongan, dengan Kyai Haji Agus, dan kembali lagi
ke Ciwedus. Pada tiap pesantren ini ia tinggal belajar setahun sampai tiga tahun.
Guru-gurunya di Makkah termasuk Syekh Ahmad Khatib dan Syekh
Ahmad Kyayyath. Ketika di Makkah ini pula ia berkenalan dengan Kyai Haji
Abdul Wahab, pendiri Nahdatul Ulama.
Selama tiga tahun berada di Makkah, ia juga mengenal tulisan-tulisan
Abduh dan Jamaluddin al Afghani. Ketika di Makkah ini pula ia pertama kali
mengenal KH Mas Mansur yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah.
Dua lembaga pendidikan yang menarik perhatian KHA Halim adalah yang
terdapat di Bab al Salam (dekat Makkah) dan di Jedah, yang menurut ceritanya
kedua lembaga pendidikan ini telah menghapuskan system halakah dan diganti
dengan mengorganisir kelas-kelas dengan kelengkapan meja dan bangku serta
menyusun kurikulum. Kedua lembaga pendidikan ini yang kemudian yang
mengilhaminya untuk mengubah sistem pendidikan tradisional didaerah asalnya,
Majalengka.
Sebuah organisasi yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan
berhasil didirikan KH Ahmad Halim pada tahun 1911 (sepulang dari Makkah)
yang diberi nama Hayatul Qulub yang kemudian dialih nama dengan Perserikatan
Ulama.

7
Dalam bidang pendidikan KH Ahmad Halim semula menyelenggarakan
pendidikan agama seminggu sekali untuk orang-orang dewasa. Pelajaran yang
diberikan adalah fiqh dan hadis.
Perlu juga dikemukakan bahwa, Perserikatan Ulama secara resmi
berpegang teguh pada mazhab Syafi’i. KH Ahmad Halim memang tidak pernah
menyingkirkan mazhab ini. Tetapi mempunyai hubungan yang erat pula dengan
lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh kalangan para pembaharu,
malah lebih erat lagi dibandingkan dengan hubungannya dengan kalangan tradisi.
Iapun juga sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan Sarekat Islam dari kira-kira 1918
sampai tahun 1933, termasuk dalam masalah-masalah perburuhan. Ia tidak pula
menolak untuk mengambil contoh lembaga-lembaga pendidikan bukan Islam
seperti, yang diakuinya, Shantiniketan kepunyaan Tagore, untuk memperbaiki
sekolahnya sendiri. Santri asrama memang memperlihatkan pendapat KH ahmad
halim bahwa Islam tidak menghendaki seorang muslim semata-mata mengejar
akhirat saja dengan mengabaikan dunia. Tetapi sebaliknya pula, ia tidak
menyetujui apabila kehidupan duniawi saja yang dikejar, tanpa memperhatikan
kehidupan rohani. Memang santri asrama itu mencerminkan perpaduan antara
aspek-aspek duniawi dan rohani dari keperluan manusia.
Pada umumnya KH Ahmad Halim berusaha untuk menyebarkan
pemikirannya dengan toleransi dan penuh pengertian. Dikemukakan bahwa ia
tidak pernah mengecam golongan tradisi ataupun orang lain atau organisasi lain
yang tidak sepaham dengan dia. Tablignya lebih banyak merupakan anjuran untuk
menegakkan etika didalam masyarakat dan bukan merupakan kitik tentang
pemikiran ataupun pendapat orang lain. Pada tahun 1933 ketika Sukiman
dikeluarkan dari Serikat Islam, KH Ahmad Halim yang memang sejak tahun 1918
telah berkecimpung di dalam partai ini tidak menyetujui keputusan partai tersebut.
Tetapi oleh karena keyakinannya bahwa tiap pertikaian, apapun juga sifatnya,
dapat diselesaikan atas dasar saling pengertian dan kompromi. Zuhairini (Noer.
2013. 208)
Pada tanggal 7 Mei 1962 KH ahmad Halim pulang ke rahmatullah di
Majalengka Jawa Barat dalam usia 75 tahun dan dalam keadaan tetap teguh
berpegang pada mazhab Syafi’i.

8
D. Hamka
1. Riwayat Hidup
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan
Hamka, lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari
1908. Ia adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama dan aktivis politik.
Ia mendapatkan pendidikan rendah di SD Maninjau. Ketika usia Hamka
beranjak 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Di situlah Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab.
(Syamsul, 2011. Hal. 225)
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada 1927 di Perkebunan
Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada 1929. Hamka
kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu
ia diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor
Universitas Mustopo, Jakarta. (Syamsul, 2011. Hal. 226)
Pada 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
muhammadiyah, pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi Hamka
kemudian meletak jabatan pada 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh
pemerintah Indonesia. (syamsul, 2011, hal. 227)
Dari tahun 1964-1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar
yang merupakan karya ilmiah terbesar. (Syamsul, 2011, hal. 228)
2. Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka
sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul (2011: 229) menyatakan bahwa bukan
hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, melainkan
lebih dari itu. Dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya,
memperluas akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Ini
berarti pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi dua, yaitu: pertama,
pendidikan jasmani yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan
jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan rohani yaitu pendidikan

9
untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman
yang didasarkan kepada agama.

Menurutnya, fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk


senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya.

E. Basiuni Imran
1. Riwayat Hidup

Ia lahir di Sambas, Kalimantan Barat pada 25 Zulhijjah 1302 H (16


Oktober 1885 M). Pada usia 6-7 tahun, ia mulai belajar di lembaga pendidikan
formal dan belajar agama secara informal. Pada usia itu pula, ia diajarkan ayahnya
membaca al-Quran, diajarkan nahwu dan sharaf. (Syamsul, 2011, hal. 257)

Syamsul (2011: 258) melanjutkan bahwa pada usia 17 tahun, Basiuni


Imran pergi ke Makkah untuk berhaji dan dilanjutkan dengan belajar di sana
selama 5 tahun.

Adapun karier Basiuni Imran sebagaimana yang dipaparkan oleh Syamsul


(2011: 259) diantaranya Imam Pembantu Masjid Jami' (1905), Maharaja imam,
Qadi, dam Mufti Kerajaan Sambas (1913), Pengawas Sekolah Agama Islam di
Sambas (1918), anggota Plaatselik Fonds Sambas (1920), dan sebagainya.

2. Pemikiran Pendidikan Islam Basiuni Imran


Dari karya-karya yang ditulis olehnya, seperti Tarjamah Durus al-Tarikh
al-Syariah, Bidayat al-Tauhid fi Ilm al-Tauhid, Risalah Cahaya Suluh, Tadzkir,
dan sebagainya. Hampir seluruh kandungannya berkenaan dengan upaya
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelaksanaan ajaran agama Islam di
Sambas.
Adapun motivasi yang mendorongnya menulis karyanya itu dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, keinginan untuk beramal jariyah di bidang
ilmu. Kedua, menurutnya ilmu-ilmu yang ia tulis dan atau terjemahkan
merupakan ilmu yang wajib dipelajari; meliputjh tauhid, tafsir, fiqh, dan sejarah
Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kesadaran akan masih kurangnya kitab-kitab
keagamaan (Islam) yang ditulis dalam bahasa Melayu. (Syamsul, 2011, hal. 261)

10
Pendidikan menurut Basiuni Imran bersifat utuh-menyeluruh dan tidak
mengenal pemisahan ketat antara ilmu agama dan ilmu umum. (Syamsul, 2011,
hal. 262)
Adapun syarat-syarat seorang pendidik, dalam pandangannya dapat
dikelompokkan dalam dua kategori: pertama syarat moral seperti ikhlas, sabar
dan bijaksana, dan menjauhi perdebatan. Kedua, syarat profesional meliputi
memiliki pengetahuan yang luas dan mengetahui keadaan peserta didik. (Syamsul,
2011, hal. 264)
Syarat pengetahuan yang luas bagi seorang pendidik juga mutlak
diperlukan. Seorang pendidik harus memiliki ilmu yang memadai untuk
mendukung profesinya. Salah satu ilmu yang sangat penting menurut Basiuni
Imran dalam konteks pendidikan Islam adalah bahasa Arab. Baginya, bahasa
merupakan pengantar untuk seseorang mengetahui ilmu-ilmu keislaman
khususnya al-Quran, sunnah, dan sejarah kaum Muslim. (Syamsul, 2011, hal. 265)

F. Hasan Langgulung
1. Riwayat hidup
Ia lahir di Rappang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, pada 16 Oktober
1934 dan wafat pada 2 Agustus 2008, di Kuala Lumpur, Malaysia. Riwayat
pendidikannya dimulai dari pendidikan formalnya di SD di Rappang Ujung
Pandang. (Syamsul, 2011, hal. 271)

2. Pemikiran tentang Pendidikan


Pendidikan menurut Hasan Langgulung sebenarnya dapat ditinjau dari dua
segi. Pertama, dari sudut pandang masyarakat, pendidikan berarti pewarisan
kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda, agar hidup masyarakat tetap
berlanjut. Kedua, dari sudut pandang individu, pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dalam hal ini, perlu adanya
penggalian dan penggarapan segenap bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh
masing-masing individu agar dapat bermanfaat bagi individu bersangkutan
khususnya kepada masyarajat luas pada umumnya. (Syamsul, 2011, hal. 275)

11
Syamsul (2011: 275) melanjutkan bahwa Hasan Langgulung juga
berpendapat bahwa mustahil kita memahami pendidikan Islam tanpa memahami
Islam itu sendiri, suatu kekuatan yang memberikan hidup bagi suatu peradaban
raksasa yang salah satu buahnya adalah pendidikan. Pendidikan itu wujud bukan
secara kebetulan di tengah-tengah rakyat yang kebetulan adalah orang-orang
Islam, tetapi dihasilkan dalam bentuk seperti itu oleh orang-orang Islam.

G. Azyumardi Azra
1. Riwayat Hidup
Ia lahir di Lubuk Alung, Sumatra Barat pada 4 Maret 1955 dan dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang agamis. Ia mulai pendidikan formalnya pada
umur 9 tahun di SD di sekitar rumahnya. Lalu ia meneruskan pendidikannya ke
Pendidikan Guru Agama Negeri di Padang. (Syamsul, 2011, hal. 285)

Azra adalah tokoh pemikir yang tak pernah diam. Obsesinya yang besar
untuk mengubah pemikiran Islam di Indonesia, telah pula ditorehkan melalui
karya-karya geniusnya, baik dalam bentuk tulisan artikel dan esai yang dimuat di
berbagai media masa maupun sejumlah buku yang diterbitkan. (Syamsul, 2011,
hal. 287)

Pada tahun 1999, ia menerbitkan dan meluncurkan enam buku: pendidikan


Islam: tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Esei-Esei Intelektual
Muslim, Renaisans Islam di Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, Konteks Berteologi
di Indonesia: Pengalaman Islam, Islam Reformis: Dinamika Gerakan,
Pembaharuan, dan Intelektual, Islam Substantif: Agar Umat Tidak jadi Buih.
(Syamsul, 2011, hal. 288)

2. Pemikiran tentang Pendidikan


Menurut Azyumardi Azra, pendidikan lebih dari sekedar pengajaran.
Pengajaran bisa dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan
transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala yang dicakupnya.
Dengan demikian, menurutnya pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan

12
"ahli" atau para spesialis karena perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis.
(Syamsul, 2011, hal. 290)

Menurutnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, perencanaan


kurikulum pendidikan Islam haruslah mempunyai nilai pokok dan permanen,
yakni persatuan masyarkat internasional berdasarkan kepentingan teknologi dan
kebudayaan bersama atas nili-nilai kemanusiaan. Tidak hanya itu saja, ia juga
merumuskan tujuan pendidikan Islam yang lebih khusus, yang meliputi tahap-
tahap penguasaan anak didik terhadap bimbingan yang diberikan dalam berbagai
aspeknya, pikiran, perasaan, intuisi, dan keterampilan. Dari tahap-tahap inilah
kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan
materi, metode, serta sistem evaluasi yang disebutnya kurikulum. (Syamsul, 2011,
hal. 291)

Azyumardi Azra juga mengatakan bahwa menurutnya pemisahan


keilmuan umum dan keilmuan agama menjadi paradigma keilmuan yang kaku
sehingga keduanya harus dipadukan. Pemikirannya mempunyai relevansi dengan
perkembangan sains dan teknologi serta mengikuti perkembangan zaman, bahkan
dalam tulisannya ia berupaya mengantisipasi masa depan sehingga ia patut
dimasukkan ke dalam kelompok modernis. (Syamsul, 2011, hal. 296)

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa dalam mengenal tokoh-tokoh pendidikan islam di Indonesia, maka
kita akan mengenal beberapa nama tokoh yang terkenal. Diantara para tokoh
tersebut, sangat andil besar dalam memperbaharui konsep dan sistem pendidikan
di Indonesia khususnya mengenai pendidikan Islam.

B. Saran
Penyusun berharap dengan adanya makalah ini, kita sebagai orang-orang
yang sudah terdidik bisa ikut serta dalam pembangunan pendidikan yang ada di
Indonesia saat ini. Penyusun melihat bahwa yang harus di perbaiki saat ini bukan
hanya sarana dan prasarana atau penggabungan mata pelajaran yang modern
dengan tradisional. Akan tetapi, pendidikan yang harus diperbaiki saat ini harus
menitik beratkan kepada akhlak atau karakter peserta didik, supaya tidak
menghasilkan kaum terdidik yang tidak amanah seperti korupsi, nepotisme, dan
kelakuan buruk lainnya yang sedang terjadi di Negara kita saat ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Mahrus, S. K. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-


Ruzz Media.

Zuhairini. (2013). Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: Bumi Aksara.

15

Anda mungkin juga menyukai