Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka

1. Pengertian Stunting

Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan

adanya gangguan di masa yang akan datang yakni mengalami kesulitan dalam

mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Anak stunting

mempunyai Intelligence Quotient (IQ) lebih rendah dibandingkan rata – rata IQ

anak normal (Kemenkes RI, 2018).

Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada anak menurut

TB/U dengan hasil nilai Z Score = <-2 SD, hal ini menunjukan keadaan tubuh

yang pendek atau sangat pendek hasil dari gagal pertumbuhan. Stunting pada anak

juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kematian, masalah perkembangan

motorik yang rendah, kemampuan berbahasa yang rendah, dan adanya

ketidakseimbangan fungsional (Anwar, Khomsan, dan Mauludyani, 2014).

Stunting menjadi masalah gagal tumbuh yang dialami oleh bayi di bawah lima

tahun yang mengalami kurang gizi semenjak di dalam kandungan hingga awal

bayi lahir, stunting sendiri akan mulai nampak ketika bayi berusia dua tahun (Tim

Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017). Sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Schmidt bahwa stunting ini merupakan masalah kurang gizi

dengan periode yang cukup lama sehingga muncul gangguan pertumbuhan tinggi

badan pada anak yang lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya

(Schmidt, 2014).

10
11

2. Penilaian Status Gizi

Status gizi pada seorang balita (1 – 5 tahun) membutuhkan nutrisi yang lebih

banyak karena pada masa inilah dianggap sebagai masa keemasan. Dalam masa

ini seorang anak akan mengalami perkembangan fisik, mental, dan akan

menemukan berbagai hal yang baru, sehingga terpenuhinya nutrisi pada masa ini

sangatlah berperan penting (Hasdianah, Siyoto, & Peristyowati, 2014).

Penilaian status gizi pada dasarnya bisa dilakukan dengan empat macam

penilaian yakni ada antropomentri, klinis, biokimia dan biofisik (Supriasa, 2012).

a. Pengukuran Antropomentri

Antropomentri berasal dari kata antrophos yakni tubuh dan metros

yakni ukuran. Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi

yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan

tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan

komposisi tubuh seseorang (Supriasa, 2012).

b. Indeks Antropomentri

1) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Indeks status gizi BB/U merupakan indeks masalah gizi yang

digambarkan secara umum. BB/U yang rendah umumnya disebabkan

karena pendek (masalah gizi kronis) ataupun sedang menderita diare serta

penyakit infeksi lainnya (masalah gizi akut) yang tidak dijadikan indikasi

masalah gizi kronis dan akut (Trihono, 2015).

2) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Indeks status gizi berdasarkan TB/U ini dapat menunjukan masalah

gizi yang bersifat kronis. Hal ini disebabkan karena keadaan yang

berlangsung cukup lama seperti kemiskinan, perilaku hidup yang terbilang


12

tidak sehat, dan kurangnya asupan gizi yang didapatkan anak baik sejak di

dalam kandungan yang mengakibatkan seorang anak menjadi pendek

(Trihono, 2015).

3) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Indeks BB/TB memberikan indikasi terhadap masalah gizi akut yang

terjadi pada peristiwa yang tidak lama seperti adanya wabah penyakit dan

kekurangan makanan yang akan mengakibatkan seseorang nampak kurus

(Trihono, 2015).

c. Cara Pengukuran Antopomentri

Pengukuran berat badan, panjang/tinggi badan dimaksudkan untuk bisa

mendapatkan data status gizi sebuah penduduk (Riskesadas, 2007).

Pengukuran Panjang Badan (PB) dapat digunakan bagi anak usia 0 –

24 bulan dengan pengukuran terlentang, jika pengukuran pada usia anak 0 –

24 bulan dilakukan secara berdiri maka pengukuran dikoreksi dengan

menambahkan 0,7 cm. Sedangkan untuk pengukuran Tinggi Badan (TB) dapat

digunakan bagi anak dengan usia diatas 24 bulan, jika pada usia diatas 24

bulan pengukuran dilakukan dengan cara terlentang maka dikoreksi dengan

mengurangkan 0,7 cm (Kemenkes RI, 2010).

1) Pengukuran Tinggi Badan

Pengukuran tinggi badan ini dilakukan pada responden yang sudah

bisa berdiri. Pengukuran tinggi badan (microtoise) yang mempunyai

kapasistas ukur hingga 2 meter dengan ketelitian 0,1 cm (Riskesdas,

2007).

2) Persiapan Pengukuran Tinggi Badan


13

a) Menggantungkan bandul benang untuk memasang microtoise di

dinding sehingga dapat tegak lurus.

b) Letakan alat pengukur di lantai yang datar tidak jauh dari keberadaan

bandul dan menempel pada dinding. Pastikan dinding rata dan tidak

ada lekukan maupun tonjolan.

c) Tarik papan penggeser tegak lurus ke atas sehingga dapat sejajar

dengan benang berbandul yang tergantung. Tarik hingga angaka pada

jendela baca menunjukan angka 0 (nol). Rekatkan dan lakban pada

bagian atas microtoise.

d) Menghindari adanya perbuahan posisi pita berikan perkeat atau lakban

pada posisi 10 cm dari bagian atas microtoise.

3) Prosedur Pengukuran Tinggi Badan

a) Meminta responden untuk melepas alas kaki (sepatu/sandal), topi

(penutup kepala).

b) Memastikan bahwa alat geser berada diposisi atas.

c) Meminta responden untuk berdiri tegak di bawah alat geser.

d) Posisikan kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit

menempel pada dinding dimana microtoise terpasang.

e) Pastikan pandangan lurus kedepan dan posisi tangan tergantung bebas.

f) Menggerakan alat geser hingga menyentuh bagian atas kepala

responden, pastikan pada bagian tengah kepala. Dengan catatan bahwa

bagian belakang alat geser tetap menempel dinding.

g) Baca hasil tinggi badan pada bagian jendela baca ke arah angka yang

lebih besar (ke bawah). Pembaca tepat berada di depan jendela baca

pada garis merah, sejajar dengan mata petugas.


14

h) Pencatatan dilakukan dengan ketelitian hingga satu angka dibelakang

koma (0,1 cm) seperti contoh 157, 3 dan 163,9.

d. Klasifikasi Status Gizi

Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi

Indeks Status Gizi Z-Score


BB/U Gizi Buruk Zscore <-3,0 SD
Gizi Kurang Zscore - 3,0 SD s/d Zscore < -2,0 SD
Gizi Baik Zscore -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gizi Lebih Zscore > 2,0 SD
TB/U Sangat pendek Zscore <-3,0 SD
Pendek Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD
Normal Zscore -2,0 SD s/d 2 SD
Tinggi Zscore >2 SD
BB/TB Sangat Kurus Zscore <-3,0 SD
Kurus Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD
Normal Zscore -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gemuk Zscore >2,0 SD
Sumber : Kepmenkes No. 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang
standar antropomentri penilaian status gizi anak
e. Diagnosis Stunting

Stunting sendiri akan mulai nampak ketika bayi berusia dua tahun

(TNP2K, 2017). Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi

pada anak menurut TB/U mempunyai hasil Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD

(pendek) dan Zscore <-3,0 SD (sangat pendek). Hasil pengukuran Skor

Simpang Baku (Z-score) didapatkan dengan mengurangi Nilai Individual

Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang

bersangkutan, setelah itu hasilnya akan dibagi dengan Nilai Simpang Baku

Rujuk (NSBR). Jika tinggi badan lebih kecil dari nilai median, maka NSBR

didapatkan dengan cara mengurangi median dengan – 1 SD. Jika tinggi badan

lebih besar dari pada median, maka NSBR didapatkan dengan cara

mengurangi + 1 SD dengan median, berikut ini rumus yang bisa digunakan :


15

Z-Score = (NIS-NMBR)/NSBR

Gambar 1. Rumus Skor Simpang Baku (Z-score)


Sumber : TPNK, 2017

Keterangan :

NIS : Nilai Individual Subjek (Tinggi badan anak)

NMBR : Nilai Median Baku Rujukan

NSBR : Nilai Simpang Baku Rujuk

3. Faktor Risiko Stunting

a. Status Gizi

Status Gizi merupakan sebuah penilaian keadaan gizi yang diukur oleh

seseorang pada satu waktu dengan mengumpulkan data (Arisman, 2005).

Status gizi menggambarkan kebutuhan tubuh seseorang terpenuhi atau tidak.

Salah satu penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang yang

dilakukan oleh Putri, Sulastri, dan Lestari menunjukan bahwa status gizi

dalam masyakarat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sosial ekonomi,

pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah anak dalam keluarga, pola

asuh, dan pola asuh.

b. Kebersihan Lingkungan

Sanitasi yang baik akan mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak.

Sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit

infeksi (Kemenkes RI, 2018).

Penerapan hygiene yang tidak baik mampu menimbulkan berbagai bakteri

yang mampu masuk ke dalam tubuh yang menyebabkan timbul beberapa

penyakit seperti diare, cacingan, demam, malaria dan beberapa penyakit

lainnya. Penelitian di Libya, faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko


16

stunting akibat lingkungan rumah adalah kondisi tempat tinggal, pasokan air

bersih yang kurang dan kebersihan lingkungan yang tidak memadai. Kejadian

infeksi dapat menjadi penyebab kritis terhambatnya pertumbuhan dan

perkembangan. Penyediaan toilet, perbaikan dalam praktek cuci tangan dan

perbaikan kualitas air adalah alat penting untuk mencegah tropical enteropathy

dan dengan demikian dapat mengurangi risiko hambatan pertumbuhan tinggi

badan anak (Prendergast, 2014).

c. Makanan Pendamping ASI

Masalah kebutuhan gizi yang semakin tinggi akan dialami bayi mulai

dari umur enam bulan membuat seorang bayi mulai mengenal Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI) yang mana pemberian MP-ASI untuk menunjang

pertambahan sumber zat gizi disamping pemberian ASI hingga usia dua tahun.

Makanan pendamping harus diberikan dengan jumlah yang cukup, sehingga

baik jumlah, frekuensi, dan menu bervariasi bisa memenuhi kebutuhan anak

(Kemenkes RI, 2011).

d. ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan air susu yang dihasilkan seorang ibu

setelah melahirkan. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI yang diberikan sejak

bayi dilahirkan hingga usia bayi 6 bulan tanpa memberikan makanan atau

minuman lainnya seperti susu formula, air putih, air jeruk kecuali vitamin dan

obat (Kemenkes RI, 2016).

ASI mengandung enzim pencerna susu sehingga organ pencernaan pada

bayi sangat mudah untuk mencerna dan menyerap ASI, kata lain organ

pencernaan bayi belum memiliki enzim yang cukup untuk mencerna makanan
17

lain selain ASI. Komposisi ASI dengan konsentrasi sesuai dengan pencernaan

bayi akan membuat bayi tumbuh dengan badan yang seimbang (Arif, 2009).

Seorang anak yang minum ASI eksklusif mempunyai tumbuh kembang

yang baik, hal ini dikarenakan di dalam ASI terdapat antibodi yang baik

sehingga membuat anak tidak mudah sakit, selain itu ASI juga mengandung

beberapa enzim dan hormone (Pollard, 2015).

Pada ASI terdapat kolostrum yang mengandung zat kekebalan salah

satunya IgA (Immunoglobin A) yakni sangat penting untuk membuat seorang

bayi terhindar dari infeksi. IgA yang sangat tinggi tedapat pada ASI yang

mampu melumpuhkan bakteri pathogen Ecoli dan beberapa bakteri pada

pencernaan lainnya. Kandungan lainnya yang dapat ditemukan dalam ASI

ialah Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) yang sangat

penting dalam menunjang pembentukan sel – sel pada otak secara optimal

sehingga bisa menjamin pertumbuhan dan kecerdasan pada seorang anak

(Arif, 2009).

e. Berat Badan Lahir

Berat badan lahir adalah pengukuran berat badan yang setelah dilahirkan

(Kemenkes RI, 2016)

1) Klasifikasi Berat Lahir Bayi

a) Berat Bayi Lahir Cukup (BBLC) bayi dengan berat lahir antara 2500

gram sampai 4000 gram.

b) Berat Bayi Lahir Besar (BBLB) bayi dengan berat lahir lebih dari 4000

gram.

c) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) bayi dengan berat lahir antara 1500

gram hingga kurang dari 2500 gram.


18

d) Berat Bayi Lahir Sangat Rendah (BBLSR) bayi dengan berat lahir

antara 1000 gram hingga kurang 1500 gram.

e) Berat Bayi Lahir Ekstrim Rendah (BBLER) bayi dengan berat lahir di

bawah 1000 gram.

f. Berat Bayi Lahir Rendah

Berat bayi lahir rendah memiliki hubungan yang bermakna dengan

kejadian stunting. Dikatakan BBLR jika berat < 2500 gram (Kemenkes, 2010).

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan faktor risiko yang paling

dominan terhadap kejadian stunting pada anak baduta. Karakteristik bayi saat

lahir (BBLR atau BBL normal) merupakan hal yang menentukan pertumbuhan

anak. Anak dengan riwayat BBLR mengalami pertumbuhan linear yang lebih

lambat dibandingkan Anak dengan riwayat BBL normal (Rahayu, Yulidasari,

Putri, dan Rahman. 2015).

g. Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga mampu meningkatkan

risiko terjadinya malnutrisi pada anak. Tingkat pendidikan orang tua

merupakan salah satu penyebab terjadinya stunting hal ini dikarenakan

pendidikan yang tinggi dianggap mampu untuk membuat keputusan dalam

meningkatkan gizi dan kesehatan anak- anak. Pengetahuan yang tinggi juga

mempengaruhi orang tua dalam menentukan pemenuhan gizi keluarga dan

pola pengasuhan anak, dimana pola asuh yang tidak tepat akan meningkatkan

risiko kejadian stunting (Adriani, 2012).

Tingkat pendidikan bapak akan mempengaruhi kesempatan kerja yang

dimiliki seseorang. Pendidikan yang tinggi cenderung akan mempunyai

kesempatan kerja yang lebih baik dibandingkan pendidikan yang rendah


19

(Trihono dkk, 2015). Menurut Undang – Undang RI NO. 20 tahun 2013

tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan formal terdiri dari pendidikan

dasar (SD, MI, SMP, dan MTs), pendidikan menengah pertama (SMA, MA,

SMK), dan pendidikan tinggi (diploma, sarjana, magister, spesialis dan

dokter). Pemerintah di Indonesia mewajibkan belajar 9 tahun untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sehingga masyarakat di

Indonesia harus menempuh pendidikan minimal 9 tahun dihitung mulai dari

Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masyarakat

yang sudah menempuh pendidikan minimal 9 tahun tersebut dianggap sudah

mempunyai kualitas yang layak untuk menjalankan kehidupannya.

h. Pendapatan Orang Tua

Tingkat pendapatan keluarga memiliki hubungan yang bermakna dengan

kejadian stunting. Hal ini dikarenakan keluarga dengan pendapatan yang

rendah akan mempengaruhi dalam penyediakan pangan untuk keluarga. Daya

beli keluarga tergantung dengan pendapatan keluarga, dengan adanya

pendapatan yang tinggi maka kemungkinan terpenuhinya kebutuhan makan

bagi keluarga (Adriani, 2012).

Orang tua dengan pendapatan keluarga yang memadai akan memiliki

kemampuan untuk menyediakan semua kebutuhan primer dan sekunder anak.

Keluarga dengan status ekonomi yang baik juga memiliki akses pelayanan

kesehatan yang lebih baik. Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah

cenderung mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta

variasi yang kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih

dan membeli makanan yang bergizi dan bervariasi (Fernald LC dan Neufeld

LM, 2007).
20

Menurut Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor

320/KEP/2018 tentang penetapan upah minimum kabupaten/kota tahun 2019,

bahwa UMK Kulon Progo Rp. 1.613.200,00.

i. Penyakit Infeksi Diare

Diare merupakan keadaan dimana seseorang BAB dengan konsistensi

yang lembek atau bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi yang sering

bisa tiga atau lebih dalam satu hari. Penyakit infeksi diare ini sering diderita

oleh anak, seorang anak yang mengalami diare secara terus menerus akan

berisiko untuk mengalami dehidrasi atau kehilangan cairan sehingga penyakit

infeksi tersebut dapat membuat anak kehilangan nafsu makan dan akan

membuat penyerapan nutrisi menjadi terganggu (Kemenkes RI, 2011). Salah

satu penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Simolawang Surabaya yang

dilakukan oleh Desyanti dan Nindya (2017) menunjukan bahwa balita stunting

lebih banyak mengalami kejadian diare hingga 2 kali atau lebih dalam tiga

bulan terakhir.

j. Pola Pemberian Makan

Pola asuh yang baik dalam mencegah terjadinya stunting dapat dilihat

dari praktik pemberian makan. Pola pemberian makan yang baik ini dapat

berdampak pada tumbuh kembang dan kecerdasan anak sejak bayi. Pola asuh

pemberian makan yang sesuai dengan anjuran KEMENKES RI 2016, yaitu

pola makan pemberian makan yang baik kepada anak adalah dengan

memberikan makanan yang memenuhi kebutuhan zat gizi anaknya setiap hari,

seperti sumber energi yang terdapat pada nasi, umbi – umbian dan sebagainya.

Sumber zat pembangun yaitu ikan, daging, telur, susu, kacang – kacangan

serta zat pengatur seperti sayur dan buah terutama sayur berwarna hijau dan
21

kuning yang banyak mengandung vitamin dan mineral yang berperan pada

proses tumbuh – kembang bayi terutama agar bayi terhindar dari masalah gizi

salah satunya yang berdampak pada stunting. Pola makan bayi juga perlu

menjadi perhatian ibu dimana pola makan bayi harus sesuai dengan usia bayi

dan memberikan menu makanan yang bervariasi setiap harinya. Pemberian

menu makanan yang tidak bervariasi atau hampir sama setiap harinya dapat

mengakibatkan seorang anak tidak mendapatkan pemenuhan gizi yang sesuai

dengan kebutuhannya. KEMENKES juga menjelaskan bahwa pada bayi 0 – 6

bulan cukup diberi ASI saja, pada usia 6 – 8 bulan bayi tidak hanya diberi ASI

tetapi disertai pemberian makan lumat, usia 9 – 11 bulan bayi masih tetap

diberi ASI dan makanan lembik serta pada usai 12 – 23 bulan bayi selain di

beri ASI juga sudah diperbolehkan makan makanan keluarga. Salah satu

penelitian di Kabupaten Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur yang dilakukan

oleh Loya dan Nuryanto (2017) menunjukan bahwa pola asuh pemberian

makan pada balita stunting usia 6 – 12 bulan diperoleh hasil yang kurang tepat

dimana beberapa ibu tidak memperhatikan kebutuhan gizi anaknya. Pola asuh

yang diberikan mengikuti pola asuh pada umumnya yang ada di masyarakat

setempat. ibu hanya memberikan makan sesuai dengan makanan yang ada

didalam rumah tangga saja dan juga memberikan makanan mengikuti

keinginan anak.

k. Balita

Balita merupakan seorang anak yang mempunyai usia di atas satu

tahun atau yang lebih dikenal dengan sebutan usia bawah lima tahun

(Kemenkes RI, 2018).


22

l. Umur Balita

Umur balita didapat dengan menanyakan tanggal bulan dan tahun anak

lahir. Bila umur anak lebih dari 16 hari maka dibulatkan menjadi 1 bulan.

Seperti contoh umur 3 bulan 16 hari dinyatakan sebagai usia 4 bulan

(Kemenkes RI, 2010).

m. Jenis Kelamin Balita

Salah satu penelitian di Kota Semarang yang dilakukan oleh Setyawati

(2018) menunjukan bahwa anak balita laki – laki lebih banyak mengalami

stunting dibandingkan dengan balita perempuan hal ini dikarenakan

perkembangan motorik kasar anak laki – laki lebih cepat dan beragam

sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sehingga risiko menjadi lebih

tinggi jika pemenuhan kebutuhan energi tidak terpenuhi dengan baik.

3. Dampak Stunting

Dampak stunting dibagi menjadi dua, yakni ada dampak jangka panjang dan

juga ada jangka pendek. Jangka pendek kejadian stunting yaitu terganggunya

perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan gangguan metabolisme

pada tubuh. Sedangkan untuk jangka panjangnya yaitu mudah sakit, munculnya

penyakit diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, kegemukan, kanker,

stroke, disabilitas pada usia tua, dan kualitas kerja yang kurang baik sehingga

membuat produktivitas menjadi rendah (Kemenkes RI, 2016).

Kejadian stunting menjadi salah satu masalah yang terbilang serius jika

dikaitan dengan adanya angka kesakitan dan kematian yang besar, kejadian

obesitas, buruknya perkembangan kognitif, dan tingkat produktivitas pendapatan

yang rendah. Berbagai permasalahan ini sangat mudah ditemukan di negara –

negara berkembang seperti Indinesia (Unicef, 2007).


23

Stunting pada anak yang harus disadari yaitu rusaknya fungsi kognitif

sehingga anak dengan stunting mengalami permasalahan dalam mencapai

pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Stunting pada anak ini juga

menjadi faktor risiko terhadap kematian, perkembangan motorik yang rendah,

kemampuan berbahasa yang rendah, dan ketidakseimbangan fungsional (Anwar

dkk, 2014).

B. Landasan Teori

Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis (Kemenkes RI, 2018).

Penilaian status gizi stunting dapat dilakukan melalui pengukuran antropomentri

TB/U diklasifikasikan melalui klasifikasi status gizi (Supriasa, 2012).

Faktor risiko kejadian stunting dapat dilihat dari beberapa faktor seperti

sanitasi yang baik akan mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak (Kemenkes

RI, 2018) sehingga akan mengurangi resiko penyakit infeksi diare yang membuat

anak terhindar dari kehilangan asupan gizi selama mengalami diare (Kemenkes

RI, 2011). Pemberian ASI Eksklusif mendukung pertumbuhan bayi (Arif, 2009)

dan pemberian MP-ASI penunjang sumber zat gizi (Kemenkes RI, 2011). Berat

bayi lahir rendah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting

(Kemenkes, 2018), namun dengan adanya pengetahuan orang tua yang tinggi

dapat membantu dalam menentukan pemenuhan gizi keluarga (Adriani, 2012).

Terpenuhinya kebutuhan makan bagi keluarga tergantung pendapatan keluarga

(Adriani, 2012) sehingga keluarga mampu memberikan pola pemberian makan

yang baik sehingga keluarga akan mendapatkan asupan makan yang sesuai

(KEMENKES RI, 2016). Dampak stunting akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan fisik, kecerdasan, yang nantinya akan berpengaruh pada kualitas


24

kerja yang kurang baik sehingga membuat produktivitas menjadi rendah

(Kemenkes RI, 2016).

C. Kerangka Konsep

- Riwayat Pemberian ASI Eksklusif


- Tingkat Pendidikan Orang Tua
Faktor risiko
- Tingkat Pekerjaan Orang Tua
kejadian
- Riwayat Berat Badan Lahir
stunting
Rendah
- Riwayat Penyakit Infeksi
- Riwayat Pola Asuh Pemberian
Makan

Keterangan :

= Dideskripsikan

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran faktor risiko

kejadian stunting pada balita usia 24 - 59 bulan di Desa Karangsari Kabupaten

Kulon Progo tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai