Anda di halaman 1dari 123

PENDAHULUAN

PENGERTIAN ISLAM

Tujuan :

(1) Mahasiswa memahami pengertian Islam secara menyeluruh (jami‟an) dan terbatas
(mani‟an), (2) Mahasiswa terdorong untuk mempelajari dan mempraktekkan Islam dalam
semua aspek kehidupan sehari-hari

Konsep :

A. Pengantar

Sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendapatkan pertanyaan sebagai berikut: “Anda
itu orang Islam (muslim), tolong jelaskan kepada saya apa itu Islam?”; Sebagai seorang
muslim, mungkin kita pernah mendapatkan pernyataan ini : “Ini masalah politik, jangan
membawa-bawa agama, Ini masalah ekonomi, jangan membawa-bawa agama”.

Bagaimana sesungguhnya hubungan antara kita (manusia) dengan agama? Apa


sesungguhnya pengertian Islam itu? Bagaimana cakupan ajaran Islam ? Bagaimana
aplikasi Islam dalam kehidupan sehari-hari ?

B. Manusia dan Agama

Manusia adalah ciptaan Allah SWT yang diberikan berbagai potensi, baik berupa : (1)
akal (al-aqal), (2) potensi hidup (thaqah al hayawiyah) yang terdiri dari (a) kebutuhan
fisik (hajat udlowiyah), (b) naluri atau insting (gharizah). Pemenuhan kedua potensi ini
melahirkan dorongan yang membentuk perasaan(qalbu).

Akal adalah kemampuan untuk mencari dan menemukan kebenaran. Akal adalah proses
memindahkan gambaran fakta (fact) ke otak (brain) melalui indera(sense), dan dengan
informasi sebelumnya (previous information) tentang fakta itu, maka difahami atau
ditafsirkan fakta tersebut. Kebutuhan jasmani dan naluri membutuhkan pemenuhan.

1
2

Pemenuhan ini akan menghasilkan dorongan yang melahirkan perasaan. Perasaan adalah
ekspresi dari dorongan yang ada pada manusia dalam memenuhi naluri dan kebutuhan
jasmaninya.

Potensi pemikiran, perasaan, dan fisik akan membentuk perilaku yang kalau didasarkan
kepada landasan dan nilai-nilai tertentu akan membentuk kepribadian yang khas pada diri
manusia, secara personal. Secara kolektif, ketika manusia berkumpul dan bersama
manusia yang lain akan membentuk kelompok dan masyarakat yang khas pula.

Agama memberikan landasan, nilai-nilai dan aturan tertentu bagi manusia dalam
kehidupan. Agama adalah bentuk kepercayaan tertinggi yang ada pada diri manusia.
Agama ([bahasa Indonesia], religion [inggris], ad-diin [arab]) secara umum adalah sistem
keyakinan atas adanya Yang Mutlak (Pencipta) di luar manusia, sistem ritus (tata
peribadahan) manusia kepada yang dianggap Yang Mutlak itu, serta sistem aturan (tata
kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan alam
lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud.

Bila kita melihat dari sumbernya, agama ada dua kategori. Pertama, Agama samawi
(agama langit atau agama wahyu, revealed religion, addin as samawi, yaitu agama yang
diwahyukan atau diturunkan Allah kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul yang
dipilih Allah SWT). Kedua, agama budaya (agama bumi, non revealed religion, addin al
ardhi, yaitu agama yang berasal dari ciptaan manusia.

Hubungan antara agama dan manusia sepanjang sejarah kehidupan sangat jelas. Manusia
membutuhkan agama karena dua alasan utama. Pertama, secara fitrahnya, manusia
adalah ciptaan Sang Pencipta yang lemah dan terbatas. Manusia membutuhkan
bimbingan Sang Pencipta melalui agama. Ada satu ungkapan, we can not not to faith a
religion. Kita tidak bisa tidak pasti meyakini satu agama tertentu. Artinya manusia
beragama itu adalah bagian dari fitrah penciptaan. Kedua, manusia berusaha memenuhi
potensi dalam dirinya dan menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupannya. Agama
memberikan keyakinan dan aturan kepada manusia untuk memenuhi berbagai potensi
(fisik, akal, qalbu) dengan cara tertentu, sehingga kehidupannya akan sejalan dengan
warna kehidupan yang diberikan Sang Pencipta.
3

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa kita memilih Islam? Secara mendasar dapat
dikemukakan bahwa, Islamlah agama yang paling sesuai dengan fitrah manusia dan
sesuai dengan akal sehat manusia. Penjelasan ini akan diperdalam pada BAB 2 tentang
Konsepsi Islam Tentang KeTuhanan.

Islam adalah agama samawi yang bersumber dari Allah SWT datang untuk seluruh alam
dan manusia bukan hanya muslim saja (rahmatan lil „alamin), memberikan petunjuk
(hudan), penjelasan tentang petunjuk (al bayinah minal huda), dan sebagai pembeda (al
furqan) dalam memenuhi potensinya dan memberikan berbagai pemecahan atas berbagai
masalah dalam kehidupannya sesuai dengan fitrahnya sebagai ciptaan Allah SWT.

C. Pengertian Islam dan Cakupan Islam

1. Pengertian Islam

Syarat dalam satu pengertian adalah jami‟an (mencakup, include) dan mani‟an
(membatasi, exclude). Jami‟an artinya suatu definisi itu mencakup segala hal yang masuk
dalam definisi. Mani‟an artinya definisi itu mengeluarkan segala sesuatu yang tidak
termasuk.

Apa pengertian Islam? Maka, secara bahasa (etimologis, lughowi [arab]), Islam berasal
dari bahasa Arab, dari akar kata aslama – yuslimu –islaman: tunduk, patuh, terikat,
damai, sejahtera,dll.

Secara istilah (terminologis, istilahi [arab]), Islam adalah agama yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia.

Pengertian frasa “Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT “, bermakna ada
agama yang tidak diturunkan Allah SWT, artinya hasil rekayasa manusia atau sering
disebut sebagai agama budaya (cipta, rasa, karya manusia). Frasa “kepada Nabi
Muhammad SAW” artinya ada agama yang tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Dan frasa “mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, dan
sesama manusia”, berarti cakupan ajaran Islam dalam mengatur seluruh hubungan
(interaksi) manusia dengan berbagai pihak.
4

Sehingga Islam adalah sebuah agama (ad-din) yang sempurna, berbeda dengan agama
dan sistem kehidupan lainnya. Agama lainnya diluar Islam: ahlul kitab (yahudi dan
nasrani) dan musyrik (hindu, budha, dll). Sistem kehidupan lainnya (sistem kapitalisme-
demokrasi-liberalisme-sekuler dan sistem sosialisme& komunisme-materialisme).

Pengertian ini sekaligus menegaskan perbedaan Islam dengan agama dan sistem hidup
yang lain. Dasar ayat QS Al Imron(3):19:

“Sesungguhnya Agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah Islam”

QS Al Imron(3):85:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

QS Al Maidah (5): 3 :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku -cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

Sehingga dari sebagian ayat ini kita dapat memahami bahwa Islam adalah risalah yang
tinggi dan sempurna. Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Hadits
Nabi SAW: “Islam ya‟lu wala yu‟la alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih
tinggi dari [islam]). Kesempurnaan Islam berarti ajaran Islam mencakup semua aspek
kehidupan, sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk Allah SWT.
5

2. Cakupan Islam

Pengertian Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mencakup masalah


aqidah dan ibadah (ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji). Mencakup aturan kepada
dirinya sendiri, seperti dalam akhlaq, tata cara makan, minum, berpakaian). Sedangkan
cakupan hubungan sesama manusia, berarti Islam muamalah dan uqubat. Muamalah
dalam bidang pendidikan, sosial, pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional) dan
Uqubat ( sanksi dalam semua aspek, mencakup hudud, jinayah, ta‟zir dan mukhalafat).

Beberapa ulama muslim telah membuat skema atau penyederhanaan tentang cakupan
ajaran Islam sehingga mudah untuk dipahami:

1. Skema Pertama
AQIDAH

SYARIAH

2. Skema Kedua

AQIDAH

ISLAM
SYARIAH

AKHLAQ
6

3. Skema Ketiga
i ma n, shalat,zakat
Hub dg Allah
puasa,haji

ISLAM
Hub dg Diri Pa ka i a n, ma ka na n,
Sendiri mi numa n, a khl a q

Hub dg manusia
lain Muamalah dan
uqubat

4. Skema Keempat
Ima n kpd Al l a h,
ma l aikat, kitab, ra s ul ,
AQIDAH ki a ma t, ta kdi r

ISLAM
IBADAH MAHDLOH:
s ha lat, pua s a , za ka t,
ha ji

SYARIAH

IBADAH
G.MAHDLOH:
Mua ma l a h+Uquba t

AKHLAQ KPD ALLAH


AKHLAQ

AKHLAQ KPD MANUSIA


DAN SELAINNYA (ALAM,
HEWAN, TUMBUHAN)
7

Keempat skema diatas, hanyalah sebagian cara untuk menggambarkan bahwa Islam
adalah agama yang sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan.

D. Aplikasi Dalam Kehidupan

Bila kita memahami bahwa islam adalah agama yang sempurna, maka tentulah kita akan
senantiasa berusaha meyakininya (iman, aqidah), memahami (ilmu), dan berusaha
menerapkannya (amal) dalam kehidupan sehari-hari dan mengajak (dakwah) semua pihak
untuk bersama-sama menjalankan islam dalam semua aspek kehidupan. Sehingga Islam
akan menjadi sesuatu yang mengarahkan tujuan hidup kita (life direction), cara kita
memandang dunia dan kehidupan (life view), dan cara kita mengukur atau menstandarkan
segala sesuatu (life standard).

Sebagai tujuan hidup artinya, Islam memberikan arah yang tertentu kepada kaum
muslimin agar hidupnya memiliki tujuan yang jelas dan cara menempuhnya. Sebagai cara
pandang dalam menghadapi berbagai masalah dan memberikan solusi menurut konsep
Islam. Standar hidup artinya ada nilai-nilai tertentu yang digunakan dalam mengukur dan
membandingkan sesuatu perkara, baik itu perbuatan dan benda.

Bahan Diskusi

1. Mengapa kita beragama?


2. Mengapa kita memilih Islam ?
3. Apa Pengertian Islam ?
4. Apakah fungsi agama (Islam ) dalam kehidupan kita ?

Referensi

1. Jalal Al Anshori (editor), Mengenal Sistem Islam dari A sampai Z, Pustaka


Thariqul Izzah, 2004
2. Endang Saefuddin Anshori, Agama, Ilmu dan Filsafat, PT Bina Ilmu, 1990
3. M Rasyidi, Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi, Penerbit Bulan
Bintang
8

BAB I
KONSEPSI ISLAM TENTANG MANUSIA

Tujuan :

(1) Mahasiswa memahami fakta hakiki manusia sebagai makhluk Allah, (2) Mahasiswa
memahami konsepsi Islam dalam mengatur fungsi dan peran manusia

Konsep:

A. Konsep Islam tentang Manusia


1. Asal usul Manusia
Manusia adalah makhluk. Makhluk adalah ciptaan. Ciptaan dari Sang Khaliq
(Pencipta), Allah SWT.
Allah SWT menciptakan manusia dari tidak ada menjadi ada. Manusia pertama yang
diciptakan Allah SWT adalah Adam, alaihissalam. Adam diciptakan dari tanah,
tanpa melalui proses interaksi ayah dan ibu. Hal ini berbeda dengan malaikat yang
diciptakan Allah SWT dari cahaya. Berbeda dengan Iblis yang diciptakan dari api.
Sebagaimana diterakan dalam QS Al Baqarah(2):30, yang artinya:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."

Setelah Adam diciptakan, Allah menciptakan pasangannya, yaitu Hawa. Bila Adam
berjenis kelamin pria, maka Hawa berjenis kelamin wanita. Allah menjadikan
keduanya, Adam dan Hawa sebagai pasangan suami dan istri. Keduanya Allah
tempatkan di surga. Ketika iblis berhasil memperdaya mereka sehingga mereka
memakan buah dari pohon yang Allah haramkan. Mereka berdua sangat menyesali
apa yang mereka perbuat dan keduanya bertobat. Allah menerima taubat
keduanya.Lalu, Allah turunkan mereka ke bumi untuk memulai kehidupan baru. Di
bumi itu, keduanya melahirkan seluruh generasi manusia hingga saat ini.
9

Proses melahirkan generasi ini melalui interaksi pria dan wanita yang terikat dalam
hubungan pernikahan. Sehingga, dari pernikahan ini lahirlah manusia baru mulai
sejak dari tidak ada menjadi ada. Kemudian manusia akan kembali tidak ada. Siklus
kehidupan manusia ini digambarkan dalam QS Al Mukminun (23): 12-16.

12. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. 13. Kemudian Kami jadikan saripati itu nuthfah (air mani yang bercampur sel telur)
yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. Kemudian nuthfah itu Kami jadikan
‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan mudhghah (segumpal
daging), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. 15. Kemudian, sesudah itu,
sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. 16. Kemudian, sesungguhnya kamu
sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.

Bila diuraikan secara fisik dan biologis, maka proses penciptaam manusia itu akan
melalui tahapan sebagai berikut:
1. Fase Sulalah Min Thin
Sulalah min thin berarti intisari dari tanah. Fase ini menujukkan bahwa manusia
mengandung unsur yang dikandung dalam tanah, diantaranya karbon, oksigen,
hidrogen, fosfor, sulfur, nitrogen, kalsium, sodium magnesium, timah dan
aluminium. Dalam diri setiap orang mengandung unsur-unsur tersebut dengan
kadar yang berbeda-beda.
2. Fase Nuthfah
Nuthfah artinya setetes yang dapat membasahi. Sebagian ulama mengartikannya
setetes air mani (sel kelamin pria, sperma). Dalam QS.Al-Insan (76): 2
digunakan istilah nuthfah amsyaj, yaitu air mani yang tercampur (dengan sel
kelamin wanita, sel telur, ovum). Nuthfah ini berproses selama kurang lebih 40
hari.

3. Fase ‘Alaqah
„Alaqah berasal dari kata „alaqa yang artinya menggantung, menempel,
segumpal darah. Setelah terjadi pembuahan antara sel kelamin pria dan sel
kelamin wanita, berlangsung selama 40 hari. „Alaqah bermakna sesuatu yang
10

bergantung atau berdempet di dinding rahim. Proses ini merupakan persiapan


bagi pembentukan organ-organ tubuh telah matang.
4. Fase Mudghah
Mudghah artinya daging besar. Daging ini tumbuh sebagai kelanjutan proses
sebelumnya yaitu „alaqah. Proses ini berlangsung selama 40 hari. SelamaFase ini
mencakup proses pembentukan tulang belulang dan pembungkusan tulang
dengan daging. Proses ini terus berlangsung sampai fase siap untuk dilahirkan.
5. Fase Manusia Sempurna
Pada tahapan ini calon manusia sudah siap untuk dilahirkan. Secara waktu,
biasanya sekitar 9 bulan 10 hari. Sampai proses persalinan berlangsung, dan
manusia baru terlahir ke dunia.

Setelah manusia sempurna ini hadir ke dunia, mereka akan menjalani hidup sejak
dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya mati. Setelah kematian
mereka akan dibangkitkan di akhirat untuk mempertanggungjawabkan seluruh
apa yang dilakukan di dunia. Sebagaimana diuraikan dalam QS Al Hajj (22): 5,

5. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan
dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah
kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara
kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian
apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
11

2. Istilah Terkait dengan Manusia dalam Al Quran


Beberapa istilah dalam Al Quran yang terkait dengan manusia adalah sebagai
berikut:

a.Bani Adam
Istilah ini berujuk pada aspek historis, bahwa semua manusia berasal dari manusia
pertama, Nabi Adam AS. QS Al A‟raf (7): 31

b. Basyar
Istilah ini merujuk kepada aspek fisik atau biologis dalam manusia. Digunakan
sebanyak 37 kali, salah satunya dalam QS Al Kahfi (18):110. Manusia yang berasal
dari tanah, makan dan minum, dll.

c. Insan
Istilah ini disebut 65 kali. Merujuk kepada asepk potensi diri manusia secara
individu, baik dari sisi psikologis dan spiritual, yaitu berupa pemikiran dan perasaan
(mental). Disebut diantaranya dalam QS Al Alaq (96): 5.

d. An Naas
Istilah ini digunakan sebanyak 240 kali, Istilah ini merujuk pada aspek sosiologis,
dimana manusia adalah makhluk sosial dan hidup bersama secara kolektif.

B. Potensi Dasar Manusia

“Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk
kejadianya, kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thaaha: 50)

Manusia tersusun dari materi. Materi adalah sesuatu yang menempati ruang dan
memiliki massa tertentu. Allah SWT telah meletakkan nyawa (sirrul hayat) di dalam
jasad/tubuh/fisik manusia. Selain itu, dalam diri manusia terdapat dua potensi : (1) Akal
yang melahirkan pemikiran, (2) potensi kehidupan (thaqah al-hayawiyyah) yang terdiri
dari: (a) naluri (al-gharizah), (b) Kebutuhan Jasmani ( al-hajah al-„udlawiyyah).
12

Secara skematis, potensi dasar manusia dan hubungannya dengan perilaku manusia,
dapat disusun sebagai berikut:

Akal Otak, Pemikiran


indera,
fakta, info
MANUSIA Beragama, PERILAKU
Naluri Keturunan,
Eksistensi
POTENSI Perasaan
Makan HIDUP
Kebutuhan Makan,
Fisik Minum,
Tidur, dll

1. Akal ( Al Idraak, Al Fikr[Arab]; Mind[Inggris])


Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi kaum
yang memikirkan.”(QS. Ar Ra’d: 3).
“Sesungguhnya yang demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
menggunakan akalnya.”(QS. Ar Ra’d: 4).
“Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al ‘Ankabuut
43).
Al„Aql, Al-Idraak, al-fikr, atau mind bermakna satu. Akal adalah potensi (khasiat)
untuk memindahkan gambaran realitas melalui indera ke otak, dan dengan adanya
informasi sebelumnya tentang realitas itu, maka realitas itu dapat dipahami (ditafsirkan).
Kelebihan manusia dari hewan ada pada khasiat akalnya, dan inilah yang
menjadikan manusia pada derajat lebih utama dari hewan, firman Allah:
“ Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.
Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu).”(QS. Al Furqaan 4).
13

Ayat tersebut menunjukan binatang itu tidak berfikir. Proses berfikir harus
memenuhi empat syarat, yaitu :
1. Otak yang sehat (Al-dimaagh al-shaalih [arab]; brain [Inggris])
2. Realita yang terindera (Al-waaqi‟ al-mahsus [arab]; fact [Inggris])
3. Indera (Al-ihsaas [arab]; sense[Inggris])
4. Informasi sebelumnya(Al-ma‟luumaatu al-saabiqah [arab]; previous
information[Inggris])
Otak adalah materi yang ada pada tengkorak kepala. Otak ini dikelilingi tiga
lapisan / selaput secara baik, yang menembus dari sela-sela lapisan ini syaraf-syaraf yang
banyak, yang menghubungkan dengan otak, indera dan seluruh organ tubuh. Serabut-
serabut syaraf ini menyebar sampai batas yang sulit dipercayai, karena telah diketahui
bahwa urat syaraf / darah tersebar pada seluruh jaringan tubuh yang panjangnya
mendekati 200.000 mil. Dalam tugas otak menjaga tubuh melalui 76 urat syaraf kepala.
Berat otak manusia dewasa sekitar 1200 gram, yang menghabiskan 25 % dari
oksigen yang masuk melalui paru-paru. Para pakar ilmu syaraf telah menguji dengan
menggunakan alat dari listrik pada otak manusia, dan berkesimpulan bahwa otak adalah
salah satu organ yang berfungsi untuk berfikir pada manusia, serta dari penelitian tersebut
diketahui munculnya gelombang listrik secara tiba-tiba dari sel otak, pada saat manusia
mengkonsentrasikan fikirannya atau ketika dipengaruhi emosi dan mendengar kegaduhan
yang sangat atau ketika menghitung sesuatu yang rumit.
Dan diketahui putusnya sebagian otak pada sebagian orang sakit tidak
menghilangkan ingatannya. Juga telah diprediksi oleh sebagian pakar bahwa tempat
penyimpan memori dari informasi yang memungkinkan manusia menguasai informasi
tersebut sama kapasitasnya dengan 90 juta jilid buku yang penuh berisi dengan tulisan,
ini adalah suatu penciptaan yang mengagumkan pada otak manusia sebagai argumen
Maha hebatnya kekuasaan Allah, firman Allah :
“Dan bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang yakin, dan juga
pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (QS. Adz Dzaariyaat
20-21).
Adapun realitas atau fakta yang bisa dideteksi indera kadang-kadang realitas
yang sifatnya materi seperti bulan, buku dan kuda dan juga kadang-kadang realitas yang
14

terdeteksi hanya bekas atau pengaruh dari realitas yang sifatnya materi seperti suara
angin, suara kapal terbang dan bau harumnya bunga. Akan tetapi kadang-kadang ada juga
realitas yang sifatnya immateri hanya terdeteksi dari indikasi dan bekasnya saja seperti
sifat pemberani, malu, takut dan penyayang.
Adapun sesuatu yang diketahui wujudnya kadang-kadang mempunyai sifat
terindera dan terpegang, seperti tali, pohon dan kuda. Dan kadang-kadang hanya terindera
dan tanpa terpegang seperti gembira, sakit. Juga kadang-kadang tidak terindera dan tidak
terpegang, hanya bisa diketahui wujudnya dari wujud penampakannya saja, seperti tiga
naluri (tadayyun, baqa, nau‟) dan adanya kehidupan pada manusia.
Adapun penginderaan pada realitas adalah pemindahan realitas ke otak melalui
alat panca indera yaitu penginderaan penglihatan dengan alat mata, penginderaan
pendengaran dengan telinga, penginderaan perabaan dengan alatnya kulit, dan
penginderaan rasa dengan alatnya lidah serta penginderaan penciuman dengan alatnya
hidung.
Adapun mekanisme penginderaan dengan jalan mata secara lengkapnya sebagai
berikut: Sampainya sinar yang terang yang terpantul dari benda ke dalam kelopak mata
menuju jaring mata, lalu jaring mata meneruskan sinar terang tadi menuju syaraf mata
dalam bentuk gelombang-gelombang listrik ke pusat penglihatan di bagian belakang otak,
seketika manusia melihat bentuk gambar yang ada di depannya, akan tetapi orang yang
bisa melihat tersebut belum bisa memahami gambar yang ada di depannya, yakni tidak
bisa menghukumi gambar tersebut kecuali bila mempunyai informasi sebelumnya tentang
gambar yang dilihatnya yang sudah tersimpan di dalam otaknya.
Penglihatan manusia terbatas karena mata manusia punya daya jangkau
penglihatan sampai batas yang tidak mampu lagi melihat, hal ini terbukti ketika mata
manusia melihat sesuatu yang sangat lembut atau ketika melihat atom juga ketika melihat
sebagian bintang yang sangat jauh. Oleh karena kita tidak bisa melihat sebagian besar apa
yang sebetulnya ada, ini karena keterbatasan tadi, firman Allah :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu
lihat.” (QS. Al Haaqqah 38-39).
Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena melalui indera
ini manusia memperoleh ilmu, Allah telah menyebutkan di dalam ayat-ayat-Nya tentang
15

penginderaan ini dengan penyebutan lebih dahulu daripada indera penglihatan, firman-
Nya:
“atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan.”
(QS.Yunus 31)
Firman-Nya :
“Dan dia memberi kamu pendengaran dan penglihatan.” (QS. An-Nahl 78)
“Sesungguhnya pengendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (QS. Al Israa 36)
Indera pendengaran adalah yang menerima gelombang-gelombang suara lalu
diteruskan menuju ke syaraf pendengaran kemuadian ke otak. Telinga manusia bisa
menangkap getaran-getaran suara yang kecepatannya antara 16-20 ribu getaran tiap detik,
adapun suara yang getarnnya lebih cepat dari di atas, telinga manusia tidak mampu
memindahkannya ke otak.
Sedang telinga kucing kemampuannya 50 ribu getaran tiap detik, dan telinga
kelelawar mampu memindahkan getaran yang diterima ke otak sekitar 120 ribu getaran
tiap detik, sehingga mampu menggantikan penglihatannya, karena mempunyai ketajaman
terhadap benda yang ada di depannya walau tidak melihatnya, Maha Besar Allah, dengan
firman-Nya:
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang yakin. “(QS.
Adz Dzaariyaat 20)
Dan manusia tidak bisa mendengarkan sesuatu, kecuali sebagian dari suara yang ada di
sekitarnya.
Indera perasa dengan syaraf-syaraf yang banyak tersebar diseluruh bagian tubuh
manusia, terutama di kulit, tiap syaraf mempunyai fungsi tertentu, maka seperti indera
perasa mempunyai syaraf-syaraf yang tidak seluruhnya berfungsi memindahkan indera
rasa sakit, atau indera rasa dingin dan indera rasa panas. Seperti syarat-syarat
penginderaan rasa sakit terdapat di kulit, sehingga bila ditusukkan sebuah jarum lewat di
kulit, maka bila sudah masuk ke dalam otot-otot tidak terasa sakit, firman Allah :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit
16

mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka meraskan adzab. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisaa’ 56)
Setiap kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan menggantikan
dengan kulit yang lain agar syaraf-syaraf indera yang ada dikuliti bisa memindahkan
kepada orang kafir dengan merasakan sakitnya terbakar.
Sedangakan hidung dan mulut memindahkan penginderaan, bau atau makanan
melalui proses mekanisme kimiawi, yakni melalui syaraf-syaraf penciuman dan syaraf-
syaraf pengecapan ke otak.
Dan yang terakhir dari unsur-unsur pemikiran adalah informasi sebelumnya,
yaitu apa yang tersimpan di dalam otak dari informasi-informasi yang telah masuk berupa
realitas yang terindera. Otak akan mengeluarkan simpanan informasi yang telah masuk
tadi, bila dibutuhkan dalam proses pemikiran. Informasi ini ada 2 macam:
1. Pemikiran-pemikiran yang lalu tentang realitas yang terindera, pemikiran inilah yang
lazim digunakan untuk mempersepsi atau menghukumi tentang realitas yang ada di
depannya, yakni dengan menghubungkan antara pemikiran terdahulu dengan realitas
yang ada didepannya.
2. Informasi yang merupakan hasil dari respon otak karena penginderaannya yang lalu,
yang punya hubungan dengan realitas yang terindera, hal ini disebabkan berulang-
ulangnya penginderaan kepada realitas yang mempunyai hubungan dengan
pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani secara langsung.
Umumnya yang membentuk informasi dari realitas ini adalah dilihat apakah dapat
memenuhi atau tidak terhadap naluri dan kebutuhan jasmani, informasi seperti ini tidak
sesuai bila digunakan untuk menghukumi sesuatu.
Informasi sebelumnya dari realitas adalah bagian penting dari mekanisme berfikir
(thinking activity). Jadi tidak mungkin bisa berfikir tentang realitas tanpa adanya
informasi sebelumnya.
Sekarang timbul pertanyaan kritis, kalau informasi sebelumnya adalah bagian
penting dari mekanisme berfikir, dari mana awal mula datangnnya informasi sebelumnya
itu pada realitas pertama yang bisa dibuat pemikiran manusia ?
Konsekwensi logis dari manusia, bagaimanapun manusia tetap manusia, dengan
asumsi manusia yang pertama kali hidup atau yang pertama kali ada di dunia, lalu
17

bagaimana manusia yang pertama kali itu mendapatkan informasi sebelumnya yang bisa
di tangkap oleh inderanya ?
Dari sini bisa difikirkan, bahwa manusia yang pertama kali hidup di dunia harus
ada informasi sebelumnya dari sesuatu, sehingga ia bisa memikirkan dan mendapatkan
informasi sesuatu itu. Manusia tidak mungkin mendapatkan informasi yang bisa dan
cocok untuk digunakan sebagai salah satu dari empat syarat berfikir kalau hanya
penginderaan yang berulang-ulang dari sesuatu, apalagi bila digunakan untuk
mempersegi atau menghukumi sesuatu, hal ini bisa dihadirkan ketika dihadirkan
dihadapan kita realitas yang bisa terindera berupa bahasa china, lalu kita suguhkan secara
berulang-ulang bahasa china tersebut kepada orang yang tidak mengetahui dan
sebelumnya tidak pernah paham bahasa ini. Maka orang tersebut tidak akan bisa
mempersepsi dan memahami bahasa tersebut walaupun dengan cara diulang-ulang.
Jadi harus ada informasi yang datang dari luar manusia pertama, dan dari luar
realitas, karena penginderaan pada realitas bagaimanapun berulang-ulangnya senantiasa
hanya sebatas penginderaan saja, tidak bisa didapatkan informasi sebelumnya yang bisa
memindahkan dari penginderaan ke pemikiran.
Manusia senantiasa tidak akan bisa membentuk informasi sebelumnya dari
sesuatu, dan manusia adalah makhluk tertinggi yang ada di bumi, maka harus ada
informasi sebelumnya yang pertama untuk pemikiran yang datang dari luar dirinya yang
lebih sempurna dan lebih mengetahui, Dialah Al-Khaliq Allah SWT.
Dan Al-Qur‟an telah menukilkan kepada kita, yaitu kalam Allah yang pasti
sumbernya, bahwa Allahlah yang telah memberikan kepada manusia berupa informasi,
firman-Nya:
“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab:”Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahu lagi maha bijaksana”. Allah
berfirman:” hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu. Allah
berfirman:”Bukankah sudah-Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku
18

mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa
yang kamu sembunyikan?”(QS. Al-Baqarah 31-33)
Malaikat tidak mampu mengetahui nama-nama benda yang diajarkan kepada
Adam karena Malaikat tidak bisa memikirkan nama-nama benda itu, Malaikat berkata:
“Tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS.
Al Baqarah 32)
Sedangkan Adam dapat memberitahukan kepada Malaikat karena Allah telah
mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, yaitu mengajarkan rahasia
sesuatu itu seperti yang dianjurkan Allah kepada Malaikat. Allah memberikan informasi
yang pasti, yang dapat memikirkan sesuatu itu. Sehingga ketika Adam dituntut Allah
untuk memberitahukan hakekat sesuatu itu kepada Malaikat, Adam dengan menggunakan
informasi tersebut mampu menerangkan kepada Malaikat.
Dan inilah awal penggunaan akal oleh Adam dan awal pemikiran terhadap
sesuatu yang dibangun atas informasi sebelumnya dari sesuatu yang diberitahukan Allah
Rabbul‟alamin, yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang
disembunyikan makhluq-Nya ataupun yang ditampakkan, dan informasi ini adalah ni‟mat
besar yang diberikan kepada manusia, firman-Nya:
”Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (QS. Al ‘Alaq 5).
Informasi tersebut adalah inti pemikiran bagi manusia yang bertambah dari
sesuatu ke sesuatu dari generasi ke generasi dari zaman ke zaman hingga bermilyar-
milyar informasi, sebagai hasil penggunaan manusia pada informasi untuk menghukumi
benda dan perbuatan, sebab pemikiran manusia sebelumnya akan menjadi informasi
untuk manusia yang kemudian, dan hal ini akan berlanjut selama kehidupan manusia di
bumi.
Ketika manusia melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba, indera
memindahkan realitas ini ke otak melalui syaraf-syaraf indera, sehingga bila di dalam
otak ada informasi sebelumnya dari realitas yang diindera maka otak akan
menyambungkan realitas ini dengan informasi. Proses selanjutnya otak akan memberikan
penafsiran terhadap realitas dan mempersepsi/menghukuminya.
Semisal kita menyuguhkan tulisan bahasa inggris kepada seseorang yang
mempunyai informasi sebelumnya tentang bahasa tersebut maka indera mata orang
19

tersebut akan melihat tulisan yang di depannya, kemudian dilanjutkan indera ke otak
yang di dalam otak tersebut sudah tersimpan informasi sebelumnya terhadap bahasa yang
dikirimkan otak, lalu otak tersebut akan memproses apa yang masuk, yang dilanjutkan
oleh orang tersebut dengan membaca memahami bahasa tersebut, tetapi bila bahasa tadi
disuguhkan kepada orang lain yang tidak mempunyai sedikitpun informasi sebelumnya
pada bahasa inggris, maka indera penglihat akan melihat tulisan bahasa inggris yang ada
di hadapannya.
Walaupun penginderaan terhadap realitas tersebut berulang-ulang hanya jadi
sekedar penginderaan saja, tanpa bisa dibuat sebagai hasil dari pemikiran.
Adapun proses berfikir kadang-kadang hadir dengan realitas yang terindera tetapi
juga kadang-kadang tanpa terindera hanya tergambar di dalam otak saja. Manusia
kadang-kadang berfikir tentang seorang laki-laki yang dia lihat fotonya ketika membaca
berita kematiannya di koran, maka foto tersebut akan menjadi informasi di dalam otak
dan suatu saat dia bisa mengatakan kepada orang lain bahwa orang yang mati tersebut
mulia, karena sebelumnya dia telah memiliki informasi tentang kemulian orang yang mati
tersebut.
Kadang-kadang manusia berfikir tentang kapal terbang, dan dia bisa mempresepsi
kapal terbang tersebut apakah milik sipil atau militer, dengan mendengar suaranya,
karena sebelumnya telah ada informasi yang masuk tentang ciri-ciri kapal terbang.
Penginderaan pada realitas kadang-kadang dengan sampainya indera itu sendiri
pada realitas, dengan penginderaan mata dan lainnya, juga kadang terjadi dengan
sampainya indera pada realitas tidak secara langsung tetapi berhubungan dengan realitas
seperti suara atau gambar. Juga kadang-kadang dengan pengembalian indera pada realitas
di dalam otak, tanpa adanya realitas atau bekasnya di dalam pusat indera, hal ini sering
digunakan di dalam pembahasan di dalam pemikiran politik, pakar politik bisa
memecahkan problema politik melalui kumpulan-kumpulan berita, yang dari itu dapat
digambarkan sebuah realitas dan kemudian mengeluarkan ide politik tadi, yang
sebetulnya indera tidak mendapatkan realitas secara langsung.
Seperti apa yang telah dianalogikan oleh sebagian orang bahwa informasi
sebelumnya bisa dihasilkan dari eksperimen seseorang pada dirinya sendiri tanpa dimulai
dari informasi sebelumnya yang datang dari luar dirinya.
20

Mereka mengemukakan argumen dengan eksperimen dari binatang, yang


kemudian dari sini mereka menganalogikan antara manusia pertama dengan binatang. Di
dalam eksperimen tersebut mereka berhasil menjadikan beberapa binatang seperti anjing,
kera dan tikus tunduk pada eksperimen mereka, yakni mereka memukul bel setiap kali
memberikan makanan pada anjing tersebut dan diulangi setiap kali. Kemudian pada suatu
saat mereka memukul bel tanpa diiringi pemberian makanan maka anjing tersebut
mengalir air liurnya.
Dari sini mereka menyimpulkan bahwa informasi sebelumnya didapat pada anjing
tersebut dengan teori berulang kali eksperimen, dan menghukumi pada realitas dengan
menggunakan informasi yang diambil dari eksperimen tadi.
Kemudian mereka menganalisa di padang penggembalaan yang banyak
binatannya, binatang-binatang tersebut menjauhi dan tidak mau memakan rumput yang
kering, maka mereka menghukumi bahwa binatang faham dan bisa memikiran hakekat
sesuatu dengan disandarkan pada eksperimen di atas, yaitu binatang telah mendapatkan
informasi untuk menafsirkan realitas yang dihadapi.
Adapun yang benar apa yang dihasilkan dari eksperimen pada anjing di atas
adalah rasa naluriah / instink yang berhubungan dengan apa bisa memenuhi rasa naluriah
dan apa yang tidak, dan mengetahui secara instink ini adalah hasil dari khasiat yang telah
diberikan Allah kepada binatang tersebut.
Anjing pada eksperimen diatas mendengar suara bel, maka akan muncul reaksi
balik pada penginderaan yang dahulu, yakni yang berhubungan dengan pemenuhan rasa
lapar berupa makanan, sebab suara bel menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan
makanan, yang bisa memenuhi rasa laparnya, maka suara bel tidak ada bedanya menurut
anjing dari penglihatannya atau penciumannya pada makanan, maka dua hal ini (makanan
dan bel) ada dalam penginderaan yang dahulu yang terkait dengan apa yang bisa
memenuhi laparnya.
Dan dari sini menjadi jelas, sekiranya kita memukul bel di dekat telinga anjing
lain yang lapar, maka eksperimen di atas tentu tidak berguna, juga tentu air liur anjing
tersebut tidak akan mengalir. Dan akan mengalir air liurnya bila melihat atau mencium
makanan saja yang bisa memenuhi laparnya.
21

Adapun binatang tidak bisa berfikir karena otak yang ada padanya kosong dari
kemampuan untuk menghubungkan informasi antara realitas dan informasi oleh otak.
Jika alat inderanya mengindera suatu realitas, maka otak dan inderanya akan memberikan
reaksi balik terhadap sesuatu yang bisa memenuhi naluri atau kebutuhan jasmani saja.
Jadi binatang bisa mengindera, tetapi tidak bisa berfikir seperti manusia, firman Allah:
“ Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan dari mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, malah mereka lebih
sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”(QS. Al Furqaan 44).
Dari ayat ini bisa dipahami binatang itu tidak bisa berfikir.
Peneliti dari eksperimen di atas telah melakukan kesalahan, karena mereka
menganalogikan antara manusia dengan binatang, padahal manusia mempunyai
kemampuan menghubungkan, sedangkan binatang tidak mempunyai sehingga binatang
tidak bisa berfikir sedangkan manusia bisa. Juga kesalahan lain adalah menganalogikan
orang yang menyaksikan dengan orang yang tidak ada dan tidak menyaksikan, maka
mereka menganalogikan antara manusia yang ada sekarang dengan manusia yang
pertama ada. Dan analog yang benar adalah antara manusia dengan manusia, dan analog
orang yang tidak ada pada orang yang ada / menyaksikan.
Masih dalam pembahasan tentang manusia, manusia itu ada dan didapatkan
kekhususannya, yaitu manusia tidak bisa berfikir tentang sesuatu serta menghukuminya
tanpa ada informasi sebelumnya, maka faedah apa yang bisa kita petik dari mengetahui
cara berfikir manusia pertama ? Pertama: manusia pertama memiliki kekhususan yang
sama dengan manusia sekarang, dan dengan ini manusia sekarang tidak bisa berfikir
menghukumi sesuatu kecuali dengan informasi sebelumnya, begitu juga manusia pertama
tidak akan bisa dengan kemampuannya berfikir dan menghukumi sesuatu kecuali dengan
informasi sebelumnya, dan inilah yang telah diinformasikan oleh Al-Quran tentang
informasi sebelumnya yang pertama yaitu dari Allah:
“ Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.”(QS. Al-
Baqarah 31)
Firman-Nya lagi:
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al ‘Alaq 5 )
22

Adapun informasi yang terbentuk pada manusia dari proses berulang-ulang


pengindraannya yang berhubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani
adalah informasi yang tidak layak untuk menghukumi sesuatu, karena informasi seperti
ini hanya sebatas yang berhubungan dengan bisa dan tidaknya pemenuhan terhadap
naluri dan kebutuhan jasmani. Maka kemampuan menghubungkan yang terdapat pada
otak manusia dan tidak terdapat pada otak binatang, mampu menjadikan inderanya
melakukan proses reaksi balik yakni dalam mengembalikan realitas dengan bentuk yang
lebih baik dan lebih cepat dari hewan, maka jika disuguhkan kepada manusia sepotong
buah yang belum pernah diinderanya, lalu dimakannya dan merasakan rasa serta baunya ,
dan orang tersebut setelah memakannya merasakan bahwa buah tadi bisa memenuhi
kebutuhan jasmani, maka pada suatu saat yang lain orang tersebut melihat melihat buah
itu untuk kedua kalinya, maka otaknya akan mengulang kembali informasi dulu yang
telah terbentuk sebagai hasil dari penginderaannya yang pertama kali pada buah tersebut,
yakni berhubungan dengan rasa, bau dan bisa memenuhi kebutuhan jasmani. Akan tetapi
informasi seperti ini mempunyai hubungan dengan naluri dan kebutuhan jasmani tidak
berarti dan tidak concern untuk menghukumi terhadap esensi sesuatu materi, atau dalam
menghukumi terbentuknya materi tersebut.
Manusia tidak bisa menghukumi buah di atas dengan pernyataan, apakah masak
atau mentah juga apakah buah tersebut mengandung gula, garam dan air serta vitamin-
vitamin dan lainnya.
Bagaimanapun pengulangan atas penginderaan pada buah tersebut senantiasa
akan berkisar pada kesimpulan bahwa buah itu adalah materi yang bisa memenuhi dari
rasa lapar saja. Dan jika ingin menghukumi buah tersebut dari segi yang lain maka
dibutuhkan informasi sebelumnya dari luar otaknya dan dari luar buah tersebut, maka
tanpa informasi ini senantiasa pengetahuan pada buah tadi berkisar sama dengan
penginderaan hewan.
Dari preposisi di atas timbul masalah, lebih dahulu mana adanya pemikiran
dengan materi? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa menyampaikan: Materi lebih
dahulu dari pemikiran bila hal ini dinisbatkan kepada nabi Adam AS, Allah telah
mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang ada, sebelum pemberian Adam
tentang informasi tentang benda-benda tersebut.
23

Materi telah ada sebelum manusia berfikir, karena tanpa materi (yang berupa
realitas) proses berfikir tidak akan berjalan karena realitas adalah unsur asasi dari unsur-
unsur berfikir dan karena pemikiran berfungsi untuk menghukumi realitas, jika tidak di
dapatkan realitas tentu tidak akan didapatkan pemikiran, jadi materi bila dinisbatkan
dengan pemikiran adalah lebih dahulu.
Hal diatas bila dinisbatkan dengan manusia, adapun bila materi dinisbatkan dari
tidak adanya, telah datang dalil yang jelas dan pasti, bahwa perintah Allah lebih dahulu
dari adanya materi, firman-Nya:
“Sesungguhnya perinyah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya: “jadilah” maka jadilah ia .”(QS. Yaa Siin 82)
Maka perintah Allah dengan “jadilah” lebih dahulu dari adanya materi, maka
Allah Azza Wajalla adalah yang awal tempat bergantung yang tidak bisa disandarkan
wujudnya atau sesuatu, justru mahkluklah yang disandarkan wujudnya kepada-Nya,
Firman Allah:
“ Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuran
dengan serapi-rapinya.”(QS. Al-Furqaan 2)
“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu
apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.”(QS. An Nahl 20)

2. Potensi Hidup (Thaaqah Hayawiyah)


Ada dua jenis potensi kehidupan manusia, yaitu : (a) naluri (gharizah) dan (2)
kebutuhan jasmani / fisik(hajat al udlawiyah). Berikut uraiannya.
a.Naluri (Al-Gharizah[Arab];Instict[Inggris])
Naluri adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia, yang mampu
mendorongnya berkecenderungan pada benda (al-asyya‟) dan perbuatan (al-a‟maal),
atau punya kecenderungan untuk menahan dari benda dan perbuatan. Semua itu
mengacu kepada pemenuhan semua perkara yang terdapat dalam diri manusia.
Para pakar telah berbeda pendapat tentang jumlah naluri-naluri ini. Sebab
perbedaan ini dikembalikan atas ketidakmampuan indera dalam menjangkau realitas
naluri ini, dan tiadanya kemampuan akal untuk memikirkan realitas ini secara
langsung.
24

Para pakar menyatakan bahwa penampakan dari naluri-naluri ini beragam, dan
kesimpulannya jumlah naluri itu banyak, seperti naluri takut (gharizah al-khauf),
naluri cenderung pada lawan jenis (gharizatu al-maili al-jinsi), naluri menginginkan
sesuatu ( gharizah al-tamalluk), naluri beragama (gharizah al- taqdis), dan naluri
menampakkan sesuatu (gharizah hubbi al-istithla), dan lain- lainnya.
Setelah melakukan kajian yang mendalam terhadap berbagai penampakan dari
naluri di atas, sesungguhnya berbagai penampakan naluri itu dapat diklasifikasikan
di dalam tiga kelompok, dan tiap kelompok mengacu kepada satu naluri tertentu.
Jenis pertama dari tiga kelompok naluri ini adalah penampakan takut, cinta
memiliki harta, cinta negeri, cinta bangsa, kaum, cinta kemuliaan, cinta kepada
kekuasaan, dan lain sebagainnya. Semua di atas dikembalikan kepada satu naluri
yakni naluri mempertahankan diri (gharizah baqa; survival instict), sebab seluruh
penampakan ini mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan yang membantu baqa
(langgengnya, Arab) manusia yaitu diri pribadinya.
Adapun jenis kedua dari penampakan naluri ini adalah: al-mailu al-jinsi (senang
lawan jenis), al -umuumah (keibuan), al-abuwwah (kebapakan), hubbu al-bana
(cinta kepada anak), al-„athfi „ala al-insan (kasih sayang kepada sesama manusia),
kecendrungan untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan dan lain
sebagainya. Semua itu di atas dikembalikan kepada naluri melangsungkan
keturunan(gharizah nau’, sexual instict). Sebab semua penampakan di atas
mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan kelanggengan jenisnya.
Sedangkan jenis ketiga dari penampakan naluri ini adalah al-mailu li al-ihtirom
al-abthol (kecenderungan untuk menghormati pahlawan), al-mailu li‟ibaadatillah
(kecenderungan untuk ibadah kepada Allah), perasaan kurang dan lemah dan
membutuhkan serta lain sebagainya dikembalikan kepada naluri beragama
(gharizah tadayyun, religion instict) sebab penampakan di atas mendorong manusia
untuk membahas, mencari kepada pencipta (al-Khaliq) yang kuasa dan sempurna,
tidak menyandarkan wujud-Nya kepada orang lain dan makhluklah yang bersandar
kepada sang Pencipta.
Adapun naluri adalah suatu potensi (khaasiyah) yang fitri dan ada di dalam diri
manusia yang berguna untuk memelihara kepada baqanya dan untuk menjaga kepada
25

nau‟nya juga untuk memahami wujud dari Khaliq. Naluri ini tidak bisa diketahui oleh
indera secara langsung, akan tetapi bisa di jangkau oleh akal lewat indikasi
penampakkannya.
Allah telah menciptakan khasiat-khasiat dan mengilhamkan penggunaannya
kepada manusia ataupun hewan, Allah berfirman kepada lisan Musa di dalam
menghindari dan menolak keganasan Fira‟un, firman Allah:
“Berkata Musa: “Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap
sesuatu bentuk kejadian-Nya, kemudian memberikan petunjuk.”(QS. Thaahaa 50)
Yakni Allah meletakkan pada tiap sesuatu sebuah khasiat, dan memberinya
petunjuk melalui khasiat ini, di dalam melakukan aktifitas untuk memenuhi rasa
ketidakcukupan dan kekurangan oleh naluri dan kebutuhan jasmaninya. Firman
Allah:
“Dan Tuhannu mewahyukan kepada lebah:” Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu dan ditempat-tempat yang dibuat oleh manusia.”(QS. An Nahl
68)
Yakni Allah telah memberi dan mengilhamkan kepada lebah khasiat untuk
membangun sarang di gunung, pohon dan rumah. Dan Allah telah mengisyaratkan
sebagian penampakan naluri ini, firman-Nya:
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan
binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan
dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (QS. Yaa Siin 71).
Maka Allah menciptakan segala sesuatu bagi manusia, salah satunya adalah
binatang untuk dimilikinya sebagai pemuas hubbu al-tamalluknya, sebagai
penampakan gharizah baqa. Firman Allah yang ditujukan kepada nabi Ibrahim AS:
“Berfiman Allah: sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh
manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah
berfirman: JanjiKu (ini) tidak mengenai orang yang dholim.”(QS. Al Baqarah
124).
Dari ayat ini terlihat Ibrahim cinta kepada keturunannya dengan memohon kepada
Allah agar keturunannya juga dijadikan Imam manusia, apa yang dilakukan
Ibrahim adalah penampakan dari gharizah nau‟. Hal ini adalah untuk memenuhi
26

gharizah nau‟ yang telah Allah fitrahkan kepada manusia, dan terbukti Allah
mengabulkan doa Ibrahim, banyak keturunannya yang dijadikan Rasul-Rasul tetapi Allah
juga menolak dengan Firman-Nya : “Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang
dhalim.” (QS.Al Baqarah 124)
Firman Allah diatas menegaskan kepada Ibrahim bahwa imamah diberikan
kepada keturunannya yang shalih, dan janji tersebut tidak mencakup kepada keturunan
Ibrahim yang dhalim.
Firman Allah:
“ Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf
dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat
tanda (dari) Tuhan-Nya. Demikian agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran
dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS.
Yusuf 24).
Maka kecenderungan suka kepada lawan jenis adalah penampakan gharizah nau‟,
yang juga pada isteri Raja Mesir dengan menyukai Yusuf, dan hal ini adalah untuk
memenuhi gharizah nau‟nya.
Penampakan ini juga terdapat pada Yusuf, akan tetapi Yusuf tidak melakukan
perbuatan tersebut dengan berpaling dari ajakan isteri Raja Mesir, sebab Allah telah
memperlihatkan kepada Yusuf apa yang bisa mencegahnya dari keinginan dengan wanita
itu. Maka kata “laula” pada firman Allah diatas berfungsi sebagai sekat dan alat pencegah
adanya perbuatan kekejian, Yusuf telah menahan dari “keinginan” dengan isteri Raja
Mesir disebabkan telah melihat sinyal yang berupa “tanda” dari Allah, sehingga makna
ayat diatas sebagai berikut, seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, maka ia
akan “berkehendak” dengan isteri Raja Mesir sebagai hasil dari kecenderungannya
kepada wanita tersebut, akan tetapi Yusuf tidak berkehendak kepada wanita isteri Raja
Mesir, sebab ia melihat tanda dari Allah yang menghalanginya dari perbuatan keji dan
munkar.
Firman Allah :
“ Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada
Tuhannya, dengan kembali kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar 8 ).
27

Firman-Nya lagi :
“ Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (hari itu)
orang-orang bermuka asam penuh kesulitan.”(QS. Al-Insaan 10).
Maka kembali kepada Allah dan takut siksa-Nya adalah penampakan dari
gharizah tadayyun.
Tiga naluri di atas ada pada setiap manusia, dan tidak mungkin diganti dan tidak
mungkin dihilangkan atau didistribusikan dari manusia satu ke manusia lainnya, tetapi
dimungkinkan sebagian penampakan dari salah satu naluri terhimpun dan bertempat salah
satunya pada posisi yang lain. Maka dimungkinkan hubbu al-zaujah (cinta isteri)
menempati tempat hubbu al-um (cinta kepada ibu), hubbu al-siyaadah menempati tempat
hubbu al-tamalluk, dan taqdiisul al-basyar (pengkultusan manusia) dan taqdiisul al-
asnaam (pemujaan pada patung) menempati tempat ibadah kepada Allah.
Akan tetapi tidak mungkin menghapus dan memutus tiga naluri di atas dari
manusia, sebab gharizah adalah bagian dari esensi manusia. Sedangkan
penampakan dari gharizah bukanlah bagian dari esensi manusia.
Adapun bagaimana manusia mengetahui penisbatan penampakan ke gharizah,
maka sesungguhnya hal itu adalah dengan mempelajari realitas dari penampakan
(mazhahir), maka jika penampakan ini condong atau menahan yang menghasilkan
perbuatan untuk membantu kelanggengan (baqa‟) diri manusia, maka penampakan seperti
itu dinisbatkan kepada gharizah baqa seperti takut, kikir berani dan sebagainya. Maka
jika penampakan menghasilkan perbuatan yang membantu kelanggengan al-nau‟ al
insaaniy maka penampakan ini dinisbatkan ke gharizah nau‟ seperti mengasihi, lemah
lembut, senang kepada lawan jenis dan lain sebagainya.
Jika penampakan menghasilkan perbuatan yang membantu perasaan manusia
seperti lemah dan membutuhkan kepada Khaliq, maka penampakan ini dinisbatkan ke
gharizah tadayyun seperti takut kepada hari akhir, menghormati sesuatu yang lebih kuat
dan kagum dengan fenomena alam dan sebagainya.
Maka penampakan adalah tanpa perbuatan, seperti kecenderungan untuk memiliki
(al-mailu al tamalluk) bukanlah al-tamalluk (memiliki), karena al-mailu li al-tamalluk
adalah rasa yang ada di dalam diri manusia ketika menghadapi sesuatu itu dan
menyimpannya, sedangkan “memiliki” adalah hasil pelaksanaan suatu aktifitas. Seperti
28

menjual mobil atau mencuri harta, jadi penampakan itu tidak memuaskan gharizah,
karena sesungguhnya aktivitas yang mendorong kepada penampakan itulah memuaskan
naluri atau yang merealisasikan bagian dari pemuasan.
Maka kecenderungan mendapatkan keridloan dari Allah bukanlah ibadah, sebab
ibadah itu memuaskan gharizah tadayyun, sedangkan kecenderungan semata-mata
tidaklah bisa memuaskan gharizah tadayyun dan kecenderungan senang lawan jenis
tidaklah bisa memuaskan gharizah nau‟, sedangkan berkumpulnya pria dan wanita dalam
ikatan suami isteri bisa memuaskan sebagian dari gharizah nau‟ ini.
Penampakan (mazhahir) adalah kekuatan yang bisa mendorong manusia untuk
memuaskan nalurinya, dan bersifat internal dari dalam manusia. Penampakan ini akan
terkait dengan berbagai kondisi eksternal yang melingkupinya.
Naluri dan cabang-cabang dari penampakannya berbeda dalam kuat lemahnya
diantara manusia yang satu dengan yang lain, dan berbeda di dalam lemah serta kuatnya
diri manusia itu sendiri. Perbedaan lemah serta kuatnya mengikuti pengaruh ekstern
darinya dan perbedaan dalam tingkatan umur manusia.
Maka kita mendapatkan manusia yang hidupnya penuh dengan keinginan dalam
pemuasan tiga naluri sekaligus secara kuat, juga kita dapati manusia lain yang di dalam
umurnya malas dan lemah sehingga merasa cukup dengan sedikit demi sedikit untuk
memuaskan naluri ini.
Juga dari sudut pandang yang lain kita dapatkan manusia yang mencurahkan diri
di dalam memuaskan gharizah baqa, gharizah nau‟ dan tidak memperhatikan dalam
pemuasan gharizah tadayyun. Atau kita bisa memperhatikan kasih sayang ibu dicurahkan
kepada suaminya karena kecenderungannya suka kepada lawan jenis dan cintanya kepada
pasangannya atau sebaliknya.
Juga kita bisa memperhatikan kecenderungan suka kepada lawan jenis pada
umumnya timbul secara kuat pada waktu muda kemudian mulai menjadi lemah pada usia
tua, yang biasanya dilanjutkan dengan pemusatan ibadah serta takut kepada hari akhir
dan ini umumnya terjadi pada waktu tua dibanding pada usia muda.
Tingkat perbedaan naluri ini, baik dari skala intensitas, prioritas dan aktualitasnya
menjadikan sebagian orang mendahulukan salah satu naluri daripada naluri lainnya. Hal
ini kadangkala disebabkan kuat dan lemahnya naluri dan kadangkala disebabkan
29

perbedaan pengaruh-pengaruh yang ada, yakni berbeda dan bertentangan hukum-hukum


yang dibuat manusia atas perbuatan dan benda yang berhubungan dengan pemenuhan
gharizahnya juga pengaruh lingkungan serta pengaruh eksternal lainnya.
Tiga kategori status perbuatan manusia
Ada tiga kategori status perbuatan manusia ketika melakukan pemenuhan
nalurinya. Pertama, pemenuhan yang benar (shahih). Adalah aktivitas seseorang di
dalam memenuhi nalurinya pada tempat pemenuhan yang sesuai, yakni dengan jalan
yang telah ditentukan oleh aturan yang shahih dalam pemenuhan ini.Sehingga bila
mendatangi perempuan (dan sebaliknya, perempuan ke laki-laki) melalui aqad
pernikahan untuk pemenuhan kecenderungannya maka pemenuhan seperti itu adalah
pemenuhan gharizah nau‟ yang benar (shahih). Sebab perempuan (sebagaimana laki-laki)
menjadi pendorong eksternal bagi kecenderungan ini, adalah tempat yang memang telah
diciptakan Allah sebagai pemenuhan kecenderungan laki-laki (sebagaimana perempuan)
dan Allah telah mengatur aktivitas ini dengan satu-satunya legalitas yang absah yakni
dengan jalan pernikahan.
Kedua, pemenuhan yang salah (bathil). Bila seorang laki-laki mendatangi
perempuan yang tidak halal baginya atau mendatangi perempuan yang tanpa aqad
pernikahan yang sah maka pemenuhan kecenderungan tersebut adalah salah (batil), sebab
ia telah melakukan pemenuhan dengan menyalahi dengan norma yang shahih walaupun
ia telah tepat di dalam pemilihan tempat pemenuhan kecenderungannya yaitu perempuan.
Ketiga, pemenuhan yang rusak (fasad). Bila laki-laki mendatangi sesama laki-
laki atau binatang misalnya, maka pemenuhan kecenderungan tersebut adalah rusak
(fasad) karena hal itu adalah pemenuhan gharizah yang bukan pada tempatnya sekaligus
bertentangan dengan aturan yang shahih di dalam pemenuhan, sebaliknya begitu pula
dengan perempuan.
Sedangkan pemenuhan gharizah tadayyun yang datang dari Allah kepada manusia
dengan suatu aktifitas ibadah yang telah ditentukan baik norma dasar, bentuk sekaligus
mekanismenya, seperti shalat ini adalah pemenuhan yang shahih, tetapi apabila beribadah
kepada Allah dengan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan seperti berputar-
putar di sekitar diri sendiri hal ini adalah pemenuhan yang salah walaupun maksud orang
yang berputar tadi adalah beribadah untuk mencari ridlo Allah.
30

Disini kita semakin memahami tentang keberadaan iman yang sifatnya mendasar
dalam Islam, sebagai landasan dan fondasi perbuatan. Sehingga berangkat dari konsep
ini, maka tidak dapat diterima pendapat sebagian orang bahwa “yang penting tujuannya”,
“yang penting baik”, walaupun itu tidak diatur dalam Islam.
Demikian juga beribadah kepada berhala yang dianggap sebagai Tuhan. Hal ini
adalah pemenuhan yang menyeleweng, karena dengan demikian bukanlah tempat
pemenuhan gharizah tadayyun sebab penyembahan terhadap berhala tidaklah memuaskan
pemenuhan perasaan serba kurang dan lemah yang ada pada diri manusia, karena
sesungguhnya berhala lebih lemah dibanding manusia.
Dan pemenuhan gharizah baqa seperti al-tamalluk dengan jalan jual-beli adalah
pemenuhan yang shahih, sedangkan pemenuhan dengan jalan mencuri harta benda orang
lain adalah pemenuhan yang salah, sebab pencurian adalah aktifitas yang dilarang Syara.
Adapun pemenuhan gharizah baqa seseorang dengan jalan perdagangan semisal khamr
atau babi, ini adalah pemenuhan yang menyeleweng sebab aktivitas ini diharamkan, tiada
nilainya di mata Islam dan dilarang memilikinya, seperti itu bukan sebagai tempat untuk
pemenuhan yang benar dalam kerangka pandang Islam.

b. Kebutuhan Jasmani ( Al Haajatul Al Udlawiyah)


Jasad (badan, fisik) manusia yang dapat diraba /disentuh terbentuk dari sel-sel yang
bermacam-macam baik bentuk warna dan fungsi. Jumlahnya mencapai lebih dari 300.000
juta sel. Tiap sel tersusun dari dinding sel yang di dalamnya berisi materi-materi makanan
yaitu sitoplasma di tengahnya ada inti sel terbentuk dari kromosom-kromosom berjumlah
46 kromosom saja, tidak berkurang dan tidak bertambah kecuali pada sperma laki-laki
dan ovum wanita masing- masing berjumlah 23 kromosom.
Adapun susunan manusia tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain jika
dilihat dari aspek susunan anggota dan fungsi, bilamana berbeda mungkin di dalam
warna kulit, postur tubuh dan penampakan gerak tubuh. Setiap diri manusia terdiri dari
kepala, jantung, perut, paru-paru, usus dan lain sebagainya dan seluruh tubuhnya
terbentuk dari sel-sel yang sama sifatnya seperti yang telah diterangkan di atas. Tiap
anggota tubuh membutuhkan zat-zat makanan, pernapasan dan butuh istirahat, berhenti,
bergerak, melepaskan sisa-sisa kerja organ dengan jalan yang sama.
31

Potensi (khasiyat) kebutuhan tubuh manusia hanya pada hal-hal tertentu, dan
manusia mencari hal-hal ini, yakni khasiat yang Allah telah menitipkan pada diri manusia
yang disebut dengan al-haajatul al-„udlawiyyah.
Dan kebutuhan di atas membutuhkan pemenuhan, untuk memenuhi pemuasan ini
tubuh membutuhkan kepada tempat/kondisi), sesuatu dan perbuatan tertentu. Adapun
kondisi yang dibutuhkan tubuh adalah tempat tidur, istirahat dan derajat panas tertentu
serta suhu udara yang sesuai dengan tubuh manusia.
Sedangkan sesuatu yang dibutuhkan tubuh adalah makanan, minuman dan udara.
Dan perbuatan yang dibutuhkan tubuh adalah bernafas, aktivitas makan dan buang air.
Jika kebutuhan jasmani ini tidak dijaga untuk kelangsungan proses mekanisme tubuh
manusia maka akan mengalami kerusakan.
Kondisi dan sesuatu ini dituntut oleh tubuh agar bisa melaksanakan fungsi-fungsi
tubuh. Maka bila tubuh kekurangan air, melalui otak akan mengirimkan sinyal akan
kekurangan air ini, kemudian indera mencari air untuk menutup kekurangan ini. Jika
tidak di dapatkan air secara perlahan tapi pasti tubuh tersebut akan rusak. Dan demikian
dengan kebutuhan yang lain seperti kebutuhan pada makanan, udara dan tidur.
Dalam waktu tertentu tubuh membutuhkan melepas sisa-sisa proses tubuh yang
berbahaya bila tidak dikeluarkan seperti keringat, urine, kotoran dan karbondioksida.
Kebutuhan jasmani tetap didapat dari dalam tubuh manusia Allah telah memberi
sinyalemen tentang hal ini di dalam Al-quran surat Al-Ruum 23:
“ Dan diantara tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan
usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.”
Dan firman Allah selanjutnya yang menerangkan bahwa Rasul juga manusia
biasa:
“(Nabi) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu
makan dan minum dari apa yang kamu minum.”(QS.Al-Mukminun 33).
Allah telah membolehkan kepada manusia memakan terhadap segala makanan
yang telah disediakan Allah untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, kecuali yang
diharamkan namun ketika hal itu tidak dipenuhi dan akan menyebabkan rusaknya tubuh,
Allah membolehkan memakan yang haram, firman Allah SWT:
32

“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan yang haram) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Baqarah 173).
Demikan juga khalifah “Umar bin Khaththab tidak memotong tangan pencuri
pada waktu musim paceklik yang melanda daerah kekuasaan Islam, karena kebutuhan si
pencuri untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya.

Persamaan dan Perbedaan Antara Naluri dan Kebutuhan Jasmani


Persamaan antara naluri dan kebutuhan jasmani jika ditinjau dari karakternya
sebagai potensi yang fitriyyah ada sebagai anugrah Allah pada manusia, seperti potensi
banjir pada air, potensi membakar pada api. Maka keberadaan keduanya, tidak ada
seorangpun yang mampu menghilangkan kecuali Allah Rabbul „Alamin.
Sedangkan perbedaan antara kebutuhan jasmani dengan naluri ada dua segi: segi
pertama, pelaksanaan pemenuhan kebutuhan jasmani adalah wajib tidak bisa
ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi, tubuh akan rusak, jika seseorang tidak tidur
atau tidak makan atau tidak bernafas dan lainnya maka lama kelamaan akan rusak.
Adapun naluri pelaksanaan pemenuhan tidak suatu keharusan, jadi bisa
ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi tidak akan berpengaruh pada kerusakan tubuh
dan mekanismenya, tetapi hanya sebatas pada keguncangan, kacau, gelisah serta tidak
tenang. Sehingga bila seseorang tidak memenuhi gharizah tadayyun tidak akan merusak
dirinya tetapi akan merasa gelisah, sempit dan goncang, perasaan seperti ini nyata dan
jelas pada pasangan suami isteri yang tidak menghasilkan keturunan karena mandul salah
satunya atau keduanya.
Segi kedua, Sesungguhnya kebutuhan jasmani munculnya dipengaruhi dari faktor
internal tubuh, seseorang merasa butuh makan atau minum jika ia lapar atau haus
disebabkan tubuh membutuhkan pasokan materi-materi makanan atau minuman yang
diuraikankan tubuh untuk kebutuhan internnya, serta merasa butuh tidur atau istirahat jika
sangat mengantuk atau lelah.
Anggota tubuh tidak akan bisa melaksanakan fungsi-fungsinya jika tidak tidur
atau tidak beristirahat, setiap kekurangan di dalam kebutuhan jasmani dari tempat dan
33

sesuatu, manusia merasa sendiri dari dalam tubuhnya, jadi bukan tugas indera untuk
memberikan sinyalemen bila tubuh memerlukan pemenuhan ini.

Hubungan antara potensi manusia dan perilaku atau perbuatan


Lalu bagaimana hubungan potensi manusia dan perilaku bisa terjalin?
Jika manusia ingin memenuhi kebutuhan jasmaninya, yang ini dipengaruhi
faktor internal. Maka proses ini dimulai dari pengaruh sebagian sel-sel yang tersebar
diseluruh jaringan tubuh, kemudian pengaruh ini berpindah melalui syaraf-syaraf menuju
pusat tertentu di dalam otak, kemudian otak bekerja dengan pengkaitan informasi dari
rasa ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya, maka hal ini
mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya, maka jadilah
perilaku.
Sedangkan jika manusia ingin memenuhi nalurinya, yang ini dipengaruhi dari
faktor eksternal dirinya. Maka jika manusia melihat harta yang banyak, berpengaruh
baginya hubbu al-tamalluk (untuk memiliki) yang muncul dari gharizah baqa. Jika
melihat mayat akan berpengaruh baginya pemikiran bahwa manusia itu lemah, dan ini
adalah penampakan dari gharizah tadayyun. Jika melihat seseorang perempuan yang
cantik berpengaruh baginya kecenderungan ini adalah penampakan dari gharizah nau‟.
Maka dorongan ini membutuhkan pemenuhan. Jika dorongan ini dikaitkan dengan
persepsi tertentu dalam pemikiran (akalnya), maka akan membuat manusia melakukan
perilaku tertentu.
Pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri ini akan menghasilkan dorongan-
dorongan tertentu, yang menghasilkan perasaan-perasaan tertentu, yang bila dikaitkan
dengan persepsi yang ada dalam akal, maka akan menjadi kecenderungan bersikap dan
selanjutnya bila itu benar-benar dipenuhi maka akan menjadi perilaku atau perbuatan.
Inilah hubungan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri dengan
terbentuknya perilaku manusia.
Pada sisi yang lain ada hubungan antara kebutuhan jasmani dan naluri sebagai
satu kesatuan yang mendorong manusia berperilaku. Contoh: bila pemenuhan gharizah
baqa yaitu apabila sesuatu yang memenuhi kebutuhan jasmani manusia membantu baqa /
keberlangsungan manusia pada rantai kehidupannya, seperti makanan, minuman,
34

bernafas, tidur, buang air dan berkeringat adalah untuk menjaga keberlangsungan
manusia. Semua itu adalah kebutuhan yang merupakan keharusan bagi tubuh dalam
menjalankan fungsi-fungsi alamiahnya, akan tetapi mekanisme organ tubuh di atas juga
merupakan keharusan bagi kelangsungan rantai kehidupannya. Maka kecenderungan
memiliki makanan atau kecenderungan untuk makan adalah penampakan gharizah baqa,
karena kecenderungan ini kadang-kadang terdapat pada manusia walaupun organ
tubuhnya tidak sedang membutuhkan makanan, hal ini karena adanya informasi
sebelumnya tentang lezatnya makanan ini dan bergunanya untuk memenuhi kebutuhan
jasmani.
Maka jika pengaruh-pengaruh datang dari luar manusia saja tanpa adanya anggota
tubuh membutuhkan makanan maka itu adalah reaksi naluriah, dan kecenderungan untuk
makan adalah penampakan naluriah. Dan jika stimulus yang datang dari internal tubuh
karena adanya organ tubuh yang membutuhkan makanan maka itu adalah reaksi
kebutuhan jasmani, maka aktifitas makan menjadi sifat sebagai pemenuhan terhadap
kebutuhan jasmani jika manusia merasa lapar, dan makanan juga sebagai sarana
pemenuhan gharizah baqa, jika aktifitas makan manusia semata hasil dari cintanya
manusia kepada makanan, walaupun sebenarnya ia tidak lapar dan organ tubuhnya tidak
membutuhkan kepada penguraian materi atau gizi-gizi makanan, atau istilah lain
memberi makan nafsu, bukan memberi makan perut.
Kebutuhan jasmani dan naluri yang terdapat pada manusia juga terdapat pada
hewan. Meski kondisi dan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani manusia tidak
sama dengan kondisi dan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani hewan.
Sedangkan naluri juga terdapat pada hewan, seperti juga yang terdapat pada manusia,
semisal gharizah nau‟ dan apa yang muncul dari penampakannya seperti kecenderungan
pada lawan jenis dan juga seperti gharizah baqa dan penampakannya seperti takut kepada
bahaya.
Sedangkan gharizah tadayyun, antara manusia dengan hewan berbeda
penampakannya dan punya cara tersendiri. Manusia tidak bisa mengetahui penampakan
gharizah tadayyun hewan, hal ini hanya bisa kita ketahui dari dalil pasti yang
keabsahannya terjamin, yakni dalil yang datangnya dari Al-Qur‟an yang mengabarkan
tasbih dan shalatnya segala macam kehidupan lainnya, firman Allah:
35

“ Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun.” (QS. Al Israa 44).
Firman Allah SWT:
“ Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah: Kepadanya bertasbih apa yang ada di
langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing
telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan.” (QS. An Nuur 41)
Maka tasbih dan shalat adalah aktivitas sebagai hasil dari kecenderungan manusia
untuk mensucikan Pencipta (Khaliq), dan ini adalah sebagian penampakan dari gharizah
tadayyun yang semua makhluk melakukan, dan informasi ini datang langsung dari Allah,
tetapi kita tidak bisa mengetahui esensi ibadahnya, firman-Nya :
“ Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”(QS. Al-Israa 44).

C. Tujuan, Status dan Peran Manusia Muslim

Seluruh potensi manusia dalam uraian diatas, harus diarahkan dan dikembangkan untuk
mencapai dan meraih tujuan, status atau kedudukan dan peran manusia di dunia.

Tujuan (direction) adalah arah yang harus dituju. Tujuan manusia didunia adalah
beribadah, artinya menjalani hidup di dunia dengan mentaati perintah dan menjauhi
larangan Allah SWT, sehingga teraih kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan akhirat. (QS
Addzariyat: 59)

Status atau kedudukan (posisi) adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu. Kedudukan
manusia adalah sebagai hamba Allah (Abdullah) dan (2) Pengelola dan Pengurus
(Khalifah). (QS. Al Baqarah: 30)

Peran (role) adalah konsekuensi dari status. Sebagai hamba Allah (abdullah) adalah
senantiasa berusaha mendekat kepada Allah, menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dan
arah kehidupan. Ini adalah peran secara individual manusia sebagai ciptaan (habl
minallah). Sebagai pengelola dan pengurus (khalifah) adalah memakmurkan dunia
dalam kerangka merealisasikan rahmat Allah sesuai aturan (syariat) Islam . Peran ini
36

adalah sebagai makhluk sosial yaitu menciptakan tata dunia dan tata kehidupan yang
selaras dengan perintah dan larangan Allah (habl minannas). ***

Bahan Diskusi
1. Apakah potensi yang ada dalam diri manusia?
2. Apa jenis-jenis naluri yang ada dalam diri manusia?
3. Apakah kebutuhan jasmani itu?
4. Apa persamaan dan perbedaan antara naluri dan kebutuhan jasmani?
5. Apakah unsur-unsur berpikir itu? Bagaimana proses berpikir itu terjadi ?
6. Apa tujuan dan peran hakiki manusia muslim di dunia ini?

Referensi
1. Maurice Bucaille, Asal Usul Manusia Menurut Bibel, Al Quran dan Sains
(terjemah), Penerbit Mizan, 1992
2. Alexis Carrel, Man The Unknown (terjemah), Penerbit Rosda Karya Bandung,
1991
3. Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia, IIIT Indonesia, 2003.
4. Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam (terjemah),
Pustaka Thariqul Izzah, 2002
37

BAB II
KONSEPSI ISLAM TENTANG KETUHANAN

Tujuan :

(1) Mahasiswa memahami dan meyakini keberadaaan Allah SWT dan mampu membuat
argumen rasional untuk membuktikan keberadaanNya, (2) Mahasiswa memahami
konsepsi Islam tentang ketuhanan dan seluruh konsekuensi dari pemahaman tersebut.

A. Konsep Dasar

Konsep Ketuhanan dalam Islam dikenal setidaknya dengan tiga istilah. Pertama,
Konsep Tauhid. Kedua, Konsep Aqidah. Ketiga, Konsep Iman. Ketiga istilah ini saling
terkait dengan perbedaan penekanan dalam objek pembahasannya.
Konsep Tauhid (berarti esa, satu) merujuk kepada upaya membangun pengakuan
dan keyakinan bahwa hanya ada satu (esa, ahad) Tuhan, yaitu Allah SWT dengan segala
konsekuensinya. Dikenal ada tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma wa
sifat. Tauhd Rububiyyah berarti pengakuan bahwa Allah adalah Rabb (pencipta manusia
dan alam semesta). Tauhid Uluhiyyah adalah pengakuan bahwa hanya Allah SWT saja
yang patut disembah (illah). Tidak Ada Illah (sesembahan, Tuhan) selain Allah (SWT).
Tauhid Asma wa sifat adalah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah memiliki nama-
nama yang baik (asmaul husna) dan sifat-sifat Allah. Sebagian kalangan memberikan
tambahan pembahasan selain tiga konsep tauhid ini dengan konsep Tauhid Mulkiyyah
(Hakimiyyah), adalah pengakuan dan keyakinan bahwa aturan (hukum) Allah saja yang
layak untuk mengatur kehidupan manusia ini.
Konsep Aqidah (berasal dari kata: „aqada[bahasa Arab]: bermakna ikatan)
mengacu kepada upaya membangun keyakinan-keyakinan pokok dan mendasar yang
harus dimiliki oleh manusia, yang dibangun diatasnya pemikiran cabang atau turunan.
Konsep ini lebih mengacu bagaimana membangun cara berpikir yang sistematis, sejak
dari pemikiran dasar (asas) ke pemikiran cabang. Aqidah ini juga membandingkan cara
berpikir islam dan cara berpikir selain islam, ditinjau dari segi asas atau dasar
keyakinannya.
38

Sedangkan konsep Iman ( berasal dari kata : amana [bahasa arab], keyakinan)
mengacu kepada upaya membangun keyakinan terhadap pemikiran pokok yang meliputi
keyakinan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, dan Takdir. Konsep Iman
ini meliputi aspek keyakinan, lisan dan perbuatan (perilaku). Juga membedakan antara
keyakinan keimanan dan keyakinan selain keimanan (dzon, syak, dan wahm).
Ketiga konsep yang terkait dengan pembahasan Ketuhanan ini berfokus pada
pembahasan keyakinan dan pemikiran yang mendasar. Konsep Tauhid menekankan pada
aspek dan jenis pengakuan dan keyakinan bahwa Tuhan itu satu-satunya adalah Allah,
sebagai Rabb, Illah dan memiliki Asma dan Sifat Tertentu. Konsep Aqidah menekankan
pada aspek pembangunan landasan atau fondasi dari cara berpikir manusia. Konsep Iman
menekankan pada aspek keyakinan, lisan dan perbuatan.
Naluri beragama (ghorizah tadayyun) merupakan hal yang fitri bagi manusia.
Naluri ini menuntun manusia kepada keimanan akan keberadaan pencipta (al-kholiq).
Hanya saja, manusia seringkali salah dan keliru dalam memahami hakikat al-khaliq ini.
Ada di antara manusia yang menyangka bahwa al-kholiq itu adalah matahari, api,
bintang, patung/berhala, atau makhluq lainnya. Islam datang untuk membimbing manusia
dalam memenuhi ghorizah tadayyun-nya serta dalam memahami hakikat al-kholiq yang
sebenarnya.

B.Cara Beriman Yang Islami


Aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan
kehidupan (AMK), tentang sebelum kehidupan dan sesudahnya, dan tentang hubungan
ketiganya (AMK) dengan alam sebelum dan sesudahnya. Pemikiran menyeluruh ini
merupakan pemecahan dari permasalahan besar („uqdatul kubro) manusia. Yakni, dari
mana, untuk apa, dan akan ke mana kita ini ? Jawaban manusia atas pertanyaan ini
disebut aqidah. Adanya jawaban „uqdatul kubro belum menunjukkan bahwa aqidah
tersebut benar. Sebuah aqidah benar atau tidak, bergantung kepada kesesuaiannya dengan
fitrah manusia yang dapat melahirkan ketentraman pada jiwa manusia dan kesesuaiannya
dengan akal manusia (memuaskan akal manusia).
Aqidah Islam menjelaskan bahwa AMK adalah makhluq dari al-kholiq, yakni
Allah SWT. Alam akhirat adalah kehidupan setelah dunia. Hubungan kehidupan
39

(manusia) di dunia dengan sebelumnya adalah kesesuaian dengan perintah dan larangan
Allah SWT. Dan hubungan kehidupan (manusia) di dunia dengan sesudahnya adalah
hisab (pahala(tsawaab)/surga (al-jannah), siksa („iqoob)/ neraka(an-naar).
Aqidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari akhir, qodar baik buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna
iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul Jaazim), yang sesuai
dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus
persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta
artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan
diada-adakan. Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah / dalil
tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak ada pembenaran yang bersifat pasti.
Dalil yang tidak pasti (zhan) hanya menghasilkan pembenaran saja bukan iman.
Dengan demikian, iman adalah keyakinan yang kuat, tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-
ragu) atau wahm (persangkaan yang tidak beralasan) ataupun zhan (persangkaan yang
memiliki alasan kuat). Pengambilan dalil untuk perkara aqidah berbeda dengan perkara
hukum. Karena aqidah mensyaratkan dalil yang bersifat pasti, tidak ada keraguan
sedikitpun didalamnya, maka sumber pengambilan dalil aqidah harus pasti sumbernya
(qath‟i ats-tsubuut) dan pasti penunjukkannya (qath‟i dalalah). Sumber yang tergolong
qoth‟i ats-tsubuut adalah Al-Quran dan hadits mutawatir.
Suatu dalil untuk masalah aqidah/iman, adakalanya bersifat aqli dan atau naqli,
bergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra
akal maka dalil keimanan bersifat aqli, tetapi jika tidak (di luar jangkauan panca indra),
maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber
suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan dalil aqli. Artinya penentuan sumber dalil naqli
tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu semua dalil
tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini Imam
Syafi‟i berkata :
“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan
mencari dalil untuk ma‟rifat kepada Allah Ta‟ala. Arti berfikir melakukan penalaran dan
perenungan qalbu, dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma‟rifat
40

kepada Allah. Dengan cara seperti itu ia bisa sampai kepada ma‟rifat terhadap hal- hal
yang ghaib dari pengamatan dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini
seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang Ushuludin.” (Imam Syafi‟i dalam
Fiqhul Akbar).

Iman Kepada Allah


Akal manusia mampu membuktikan kebenaran suatu hal yang berada di luar
jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal
tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya
“Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?” Jawabnya :“Kotoran onta itu menunjukkan
adanya onta, dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. “
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya al-
kholiq/Sang pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-
Nya. Sebab kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya maka tentu saja akal tidak mampu
menjangkaunya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat kekuasaan Allah untuk
orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang
melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi
kaum yang meyakini.” (QS. Al-Jaatsiyat: 3-4).

Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir
langsung tentang dzat Allah sudah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya.
Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga
tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat
Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang
sebenarnya” (HR. Abu Nu‟im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu‟, isinya shohih).
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah
yang sebenarnya, bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas
Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau
41

dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun. Semisal manusia, makhluk
aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Dengan demikian beriman kepada keberadaan (wujud) Allah diperoleh dengan jalan
aqli, yaitu dengan berfikir secara cemerlang (mustanir). Dengan berfikir dan melakukan
perenungan yang mendalam akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu itu
mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya. Hal ini dapat diterangkan sebagai
berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga
unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan
bersifat lemah, kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia
terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung kepada yang lain, sampai
suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas,
mulai dari „ketiadaannya‟ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya.
Begitu pula dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan
selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja.
Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia
pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-
bneda di bumi dan di angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas.
Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam
semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa AMK, ketiganya bersifat terbatas
(termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa
segala hal tersebut tidak azali (azali tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia
azali bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang
terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan
adanya „sesuatu yang lain‟. Dan „sesuatu yang lain‟ inilah Al-kholiq yang menciptakan
AMK.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan
wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-
benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa
semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan
42

kepada yang lain. Yakinlah bahwa semua hanyalah makhluk. Oleh karena itu, untuk
membuktikan adanya Al-Kholiq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan
mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam manusia
itu sendiri.
Oleh karena itu dijumpai bahwa Al-Quran senantiasa melontarkan pandangannya
kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak menusia untuk turut
mengamatinya serta mengamati segala yang ada di sekelilingnya dan apa yang
berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan
mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia
terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa
adanya keraguan. Di dalam Al-Quran telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman Allah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal. “ (QS. Ali Imran : 190).
Juga firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta
berlain-lainannya bahasa dan warna kulitmu.” (QS. Ar-Rum: 22).
Serta firman-Nya yang lain seperti Q. S. Al-Ghaasiyah : 17-20 juga Ath-Thariq : 5-7
atau juga firman-Nya yang berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air dan awan yang dikendalikan antar langit dan
bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah : 164).

Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk
memperhatikan dengan seksama terhadap benda-benda alam, serta melihat apa yang ada
di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya) untuk
dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian
imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan
bukti.
43

Adapun beriman kepada sifat-sifat dan asmaul husna Allah didapatkan dengan cara
naqli/wahyu. Perkara ini tidak bisa dijangkau langsung oleh panca indra, akan tetapi
membutuhkan sejumlah informasi (ma‟lummat), yakni wahyu.

Iman Kepada Malaikat

Iman kepada malaikat berdasarkan dalil naqli, sebab akal tidak pernah mampu
menjangkau eksistensi/keberadaan Malaikat. Dalil syara‟ tentang adanya malaikat berasal
dari ayat-ayat Al-Quran dan sunnah rasul diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Allah telah terangkan bahwasanya tidak ada ilah selain Dia, Yang menegakkan
keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli ilmu. Tidak ada Ilah selain
Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS. Ali-Imran : 18).

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (sunguh-sungguh) kepada Allah dan


Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (Ketahuilah bahwa) siapa
saja kafir terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa : 136).

Iman Kepada Kitabullah


Kitab-kitab yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam,
yaitu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa a.s. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang
diturunkan kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa A.s. Sementara itu firman Allah
dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang dibenarkan kepada Nabi Ibrahim a.s.
Beriman terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman
dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka Al-Quran
adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara faktual/nyata, Al-Quran
merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau panca indera dan akal, dapat dipikirkan
atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak demikian halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya sudah
tidak ada, sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan kebenarannya
44

(bahwa kitab iut berasal dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut tidak mengandung
mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia (terutama manusia pada zaman kini). Juga
Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur, dan Injil) sebagai bukti
tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib meyakini kitab-kitab tersebut
pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu, baik yang diberitakan
dalam Al-Quran maupun yang tidak diberitakan.
Karena itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Quran, adalah dalil
naqli, yakni berdasarkan (ditunjukan) oleh Al-Quran dan Hadist Rasul yag pasti, seperti
firman Alah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
telah turunkan sebelumnya. Siapa saja yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka sesungguhnya telah sesat
sejauh-jauhnya.” (Q.S. An-Nisaa : 136).
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Al-Quran telah diwahyukan Allah SWT
kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril as, adalah
berdasarkan pada dalil aqli, yaitu dengan pembuktian dari segi ketinggian bahasa dan isi
yang dikandungnya. Kedua hal ini telah menunjukkan suatu mukjizat yang amat
menakjubkan dan besar, sekaligus membuktikan bahwa Al-Quran bukan hasil karya
seorang manusia.

Iman Kepada Rasul


Beriman kepada kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan
mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Quran. Ia adalah Kalamullah, yang telah membungkam
orang-orang kafir, terdiam tak mampu menandingi atau mendatangkan satu surat saja
semisal Al-Quran. Hal ini menjadi dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW
adalah seorang nabi dan rasul. Sebab, suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para
nabi dan rasul. Allah SWT berfirman :
“(Dan) jika kalian tetap meragukan Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad SAW), maka buatlah satu surat (saja) semisal Al-Quran dan ajaklah para
penolong selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23).
45

Disamping kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad SAW, kita wajib
percaya pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin (penutup para
nabi). Dikalangan ummat Islam sejak sahabat hingga kini, bahkan sampai akhir jaman
nanti wajib mentaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup (akhir) adalah Muhammad
SAW, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya sampai hari kiamat. Konsensus
ummat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Mahatahu segala
sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)

“Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis. Maka tidak ada nabi dan rasul
sesudahnya.” (Imam Ahmad bin Hambal dari Anas bin Malik).

“Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi sebelumku adalah sama


dengan seorang yang membuat sebuah rumah; diperindah dan diperbagusnya (serta
diselesaikan segala sesuatunya) kecuali tempat (yang disiapkan) untuk sebuah batu
bata di sudut rumah itu. Orang-orang yang mengelilingi rumah itu mengaguminya,
tetapi bertanya; “Mengapa engkau belum memasang batu bata itu ? Nabi pun
berkata „Sayalah batu bata (terakhir) -sebagai penyempurna -itu, dan sayalah
penutup para nabi‟.” (Imam Bukhari, Ahmad Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).

Adapun beriman kepada nabi dan rasul sebelum Muhammad SAW dengan dalil naqli.
Al-Quran menjelaskan bahwa mereka diutus oleh Allah dengan syari‟at masing-masing.
Namun diantara mereka tidak ada perbedaan dalam hal menyeru kepada tauhid.

“...beriman kepada Allah, malaikat, kitab, dan rasul yang tidak ada perbedaan satu
dengan yang lainnya diantara mereka.” (QS. Al-Baqarah : 285).
46

Iman Kepada Hari Akhir


Seorang muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir
kemudian berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan terhadap alam
akhirat/hari kiamat ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar keimanan).
Adapun bukti-bukti adanya hari kiamat, sekaligus dalil keimanannya, berasal dari wahyu
(ayat-ayat) Allah dan hadist Rasul. Dasar pemahamannya berdasarkan dalil naqli, bukan
dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu yang tidak terjangkau panca indera manusia,
sehingga akal tidak mampu menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha pengindraan
terhadap sesuatu. Tanpa adanya berita tentang hari kiamat dari wahyu Allah, maka
manusia tidak mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, serta
bagaimana bentuk kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli yang menjelaskan
tentang hari kiamat tersebut diantaranya adalah :

“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak dibangkitkan.


Katakanlah, Tidak demikian. Demi Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan,
kemudian akan diberikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hal demikian
adalah mudah bagi Allah”. (QS. At-Taghaabun : 7).
Hadist shohih, ketika jibril mengajarkan kepada Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Umar bin Khaththab :
“Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah tentang iman, maka Rasulullah
menjawab : “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para Rasul-Nya, juga kepada hari kiamat. Dan hendaklah engkau beriman
kepada Qodar yang baik dan buruk (dari Allah)”.

Iman kepada hari kiamat adalah iman kepada hari berbangkit, yaitu waktu
berakhirnya seluruh kehidupan makhluk di alam semesta yang fana ini, kemudian Allah
pasti menghidupkan kembali semua makhluk yang telah mati, membangkithidupkan
tulang belulang yang sudah hancur, mengembalikan jasad yang telah menjadi tanah
sebagaimana asalnya, dan mengembalikan ruh pada jasad seperti sedia kala.
47

Iman Kepada Takdir (Qadar)


Iman kepada takdir/qadar merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, sebab
hal ini memiliki sandaran nash-nash Al-Quran yang pasti serta dijelaskan oleh Rasulullah
SAW dalam sunnahnya (Q. S. An-Naml : 57, At-Taubah :51, Al-Hadid : 22, dan hadist
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab; ketika itu malaikat Jibril
datang kepada Nabi SAW dan bertanya yang artinya
“Coba ceritakan apa iman itu ? Lalu Rasululah menjawab : Iman itu percaya kepada
adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan
percaya kepada takdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT ”.
Iman kepada takdir berbeda dengan iman kepada „Qadha dan Qadar‟, ia bukan lahir
dari nash-nash syara‟ secara langsung. Istilah „Qadha dan Qadar‟, sebagai istilah tertentu
yang bermakna pula, tidak didapatkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah secara
beriringan. Kalau kita kaji dari buku-buku hadist, kita tidak akan menemukan masalah ini
(qadha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-qadar yang
bermakna takdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadist no. 6594-6620 dan Shahih
Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah takdir. Di dalam
Al-Quran sendiri tidak ada istilah „Qadha dan Qadar‟ yang digabungkan itu dan keduanya
hanya ditemukan terpisah.
Tiadanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu
pula) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi‟in (setelah masa
shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui
oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu/bersifat Al-
‟Alim), baik kejadian yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian
apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh
(kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dan hadist
Rasulullah SAW. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh
tentang segala sesuatu, semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan
di Lauhul Mahfuzh. Adapun masalah „Qadha dan Qadar‟ memerlukan penjelasan yang
lain yang lebih terperinci dan tidak diuraikan dalam tulisan ini.
48

C. Konsekeuensi Keimanan
Konsekuensi dari keimanan seseorang kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari
akhir dan takdir adalah sebagai berikut: Pertama, seorang mukmin akan menyandarkan
dirinya hanya kepada Allah dalam melakukan apapun perbuatan di dunia. Kedua,
seorang mukmin akan menerima secara menyeluruh semua perintah dan menjauhi
larangan Allah dan Rasul-Nya yang didasarkan kepada kitab Suci. Ketiga, seorang
mukmin akan bersungguh-sungguh dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena kelak
mereka akan diminta pertanggungjawaban di hari akhir dan ditentukan kedudukan atau
posisinya di hadapan Allah SWT. ***

Bahan Diskusi
1. Apa pengertian aqidah Islamiyah?
2. Bagaimana proses keimanan kepada Allah dan Rasul ?
3. Bagaimana proses keimanan kepada Malaikat dan Kitab Allah?
4. Bagaimana proses keimanan kepada hari Akhir dan takdir?
5. Apa konsekuensi keimanan seseorang?

Referensi

1. Muhammad Rahmat Kurnia, Mereformasi Diri dengan Tauhid, Al Azhar Press,


2003
2. Endang Saefuddin Anshori, Agama, Ilmu dan Filsafat, PT Bina Ilmu, 1990
3. M Abdurahman, Rahasia dibalik Keteraturan dan Keganjilan Alam Semesta,
Penerbit Pustaka Thariqul Izzah, 2004
FILSAFAT KETUHANAN
20 Februari 2018 Oleh : Saepul Anwar saefull@upi.edu
APA ITU FILSAFAT KETUHANAN
 Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang
Tuhan dengan pendekatan akal budi, maka
dipakai pendekatan yang disebut filosofis. Bagi
orang yang menganut agama tertentu (terutama
agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan
pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.
 Jadi Filsafat Ketuhanan adalah Pemikiran para
manusia dengan pendekatan akal budi tentang
Tuhan.
RENUNGKAN
 Kenapa manusia mencari “Tuhan”?
 Tanyakan kepada hati terdalam yang Kita miliki
siapa “Tuhan”?
 Bagaimana cara Kita mencari “Tuhan”?
WE AND UNIVERSE
APA ITU TUHAN
 Sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh
manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa,
dan sebagainya.
 Sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan: pada
orang-orang tertentu uang bisa dianggap sebagai
tuhan (KBBI)
 Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim Ph.D
mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang
dianggap penting dan dipentingkan sehingga
dirinya rela didominirnya
KAJIAN TUHAN DALAM FILSAFAT
 Secara filsafat, prestasi dalam pencarian Tuhan
biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan
saja, dan tidak sampai pada substansi tentang
Tuhan.
 Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal
sebagai absolut, berbeda (distinct) dan unik
PENCARIAN MANUSIA AKAN TUHAN

 Material Experience of Humanity


 Spiritual Experience of Humanity
 Inner Experience of Humanity
ALIRAN-ALIRAN KETUHANAN
 TEISME
 DEISME
 AGNOTISME
 ATEISME
TEISME
 Faham yang mempercayai adanya Tuhan.
 Tokoh faham teisme:
o Santo Agustinus

o Thomas Aquinas

o Descartes

o Immanuel Kant

o Hegel

o Scheleimer
SANTO AGUSTINUS (354-430 M)
 Tuhan ada dengan melihat sejarah dari drama
penciptaan, yang melibatkan Tuhan dan manusia.
 Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha tahu,
maha hadir, kekal, pencipta segala sesuatu.
THOMAS AQUINAS (1225-1274 M)
 Manusia bisa menemukan Tuhan lewat lima
cara:
o Gerak, bahwa segala sesuatu bergerak,
setiap gerakan pasti ada yang
menggerakkan, namun pasti ada sesuatu
yang menggerakkan sesuatu yang lain,
namun tidak digerakkan oleh sesuatu
yang lain, Dialah Tuhan
o Sebab Akibat, bahwa setiap akibat
mempunyai sebabnya, namun ada
penyebab yang tidak diakibatkan,
Dialah sebab pertama, Tuhan.
THOMAS AQUINAS (1225-1274 M)
 Lanjutan :
o Keniscayaan, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang
bisa ada dan ada yang bisa tidak ada (contohnya
adalah benda-benda yang dahulu ada ternyata ada
yang musnah, namun ada juga yang dulu tidak ada
ternyata sekarang ada), namun ada yang selalu ada
(niscaya) Dialah Tuhan
o pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melalui
perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang ada di
dunia ( yang baik-baik) ternyata ada yang paling
baik yang tidak ada tandingannya (sifat Tuhan yang
serba maha) Dialah Tuhan.
THOMAS AQUINAS (1225-1274 M)

 Lanjutan :
o Penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal

budi mempunyai tujuan yang terarah menuju yang


terbaik, semua itu pastilah ada yang
mengaturnya, Dialah Tuhan.
DEISME
 Deisme adalah pandangan khas tentang Tuhan di masa
Pencerahan, berasal dari deus yang artinya Allah.
 Namun pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab
Tuhan dipercaya hanya pada waktu penciptaan, selanjutnya
tidak berhubungan dengan dunia lagi karena dunia yang
sudah teratur dari semula.
 Tuhan dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa
berjalan sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.
 Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu
dianggap tidak ada.
 Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya
pandangan ateisme yang secara terbuka menyangkal
adanya Tuhan.
AGNOTISME
 Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak
mau tahu atau tidak tahu tentang adanya Tuhan.
Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan
pemikiran untuk mendefinisikan Tuhan. Bagi para
filsuf ini, Tuhan di berada di luar Jangkauan
pemikiran manusia
ATEISME
 Ateisme berari penyangkalan adanya Allah.
Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya,
tidak sama dengan pandagan semua orang, oleh
karenanya arti ateisme berbeda-beda juga.
 Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno
adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl
Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean
Paul Sartre
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
ISTILAH YANG DIGUNAKAN
 Tauhid
 Iman
 Akidah
MACAM-MACAM TAUHIDULLAH
 Rububiyyah
 Uluhiyyah
 Asma wa Sifat
KEIMANAN DALAM ISLAM
 Iman Kepada Allah
 Iman Kepada Malaikat
 Iman Kepada Kitabullah
 Iman Kepada Rasul
 Iman Kepada Hari Kiamat
 Iman Kepada Takdir
KONSEKUENSI KEIMANAN
 Menyandarkan diri hanya kepada Allah
 Penerimaan secara sadar akan perintah dan
menjauhi segala laranganNya
 Kesungguhan dalam menjalankan kehidupan di
dunia sebagai modal kehidupan di akhirat
TERIMA KASIH
BAB III

AL QURAN SUMBER HUKUM PERTAMA ISLAM

Kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti
wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang
utama adalah Al Qur‟an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan
kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran.
Selain itu, ijtihad, ijma‟, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat
bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur‟an dan sunah
Rasulullah SAW.
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini
dikaitkan dengan Islam atau syara‟ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan
bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku
manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua
yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan
yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia
maupun di akhirat.

A. Kedudukan Al-Quran
Al-Qur‟an adalah sumber ajaran Islam yang utama. Al-Qur‟an adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Al-Qur‟an
dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT, sesuai dengan firmannya sebagai berikut:
”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.”
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur‟an. Kalau sekiranya Al-
Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang
banyak di dalamnya.”
Al-Qur‟an menyajikan tingkat tertinggi dari segi kehidupan manusia. Sangat
mengaggumkan bukan saja bagi orang mukmin, melainkan juga bagi orang-orang
kafir. Al-Qur‟an pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul
51
52

Qur‟an). Wahyu yang pertama kali turun tersebut adalah Surat Alaq, ayat 1-5. Al-
Qur‟an memiliki beberapa nama lain. ,
Al-Quran ialah nama terbitan daripada kata kerja Qa-ra-a, yaq-ra-u yang bererti
bacaan. Selain daripada panggilan Al-Quran ia juga disebut dengan Al-Furqan,
Al- Kitab, Az-Zikr. Makna Al-Qur‟an dari segi istilah ialah kalam (firman) Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w dalam bahasa Arab yang
disampaikan secara mutawatir dan membacanya suatu ibadah.
B. Turunnya Al-Quran
Al-Quran adalah hidayah Allah s.w.t kepada semua umat manusia. lanyajuga
merupakan mukjizat yang menyokong kerasulan Nabi Muhammad s.a.w.
Selain dari itu Al-Quran juga adalah perlembagaan kepada umat Islam yang
menerangkan segala- galanya baik secara umum atau khusus.
Turunnya Al-Quran telah dilakukan secara beransur-ansur dalam jangka masa
yang agak panjang iaitu selama 23 tahun. la bermula dengan ayat 1-5 Surah Al-
Alaq dan berakhir dengan ayat 3 Surah Al-Maidah.
C. Karakteristik Al-Quran
Al-Quran mempunyai beberapa ciri khusus (karakteristik) yang
membedakannya dengan kitab-kitab yang lain:
a. Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. Ini membedakannya dari kitab-
kitab. Samawi yang lain. Tidak pemah terdengar wujudnya kitab yang lain
diturunkan dalam bahasa Arab. Perkara ini dijelaskan oleh Allah swt
dengan firmanNya: "Sesungguhnya Kami turunkan dia, (sebgai) bacaan
yang berbahasa Arab, supaya kamu berfikir" {Yusuf:2}
b. Al-Qur‟an turun sebagai wahyu dari Allah swt kepada Rasulullah s.a.w
dengan lafaz dan maknanya sekaligus.
c. Al-Qur‟an menjadi mukjizat bagi Rasulullah s.a.w. Allah telah menantang
orang-orang Arab agar membuat satu kitab yang sama seperti Al Qur‟an.
Tetapi mereka tidak mampu melakukannya. Ini menjadi bukti yang jelas
bahwa al-Qur‟an bukanlah ciptaan Nabi Muhammad s.a.w, tetapi
sebenarnya datang dari Allah swt yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
53

d. Al-Qur‟an disampaikan kepada manusia melalui riwayat yang mutawatir


dan dengan jalan penulisan dari sisi Rasulullah saw. hingga hari ini.
Ketetapannya adalah diyakini, tidak dicampuri oleh perubahan atau
penukaran, firman Allah: " Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-
Qur‟an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" QS. al-Hijr,
ayat: 9
e. Membaca Al-Qur‟an di dalam shalat dan di luar shalat adalah ibadah dan
mendapatkan pahala. Allah swt mewajibkan kita membaca surah A-Fatihah
dalam sembahyang. Nabi s.a.w memberitahu kepada kita bahwa seorang
muslim akan diberi balasan pahala bacaannya bagi setiap huruf dengan
sepuluh kebaikan.
D. Kandungan Al-Qur’an
Kandungan Al-Qur‟an, antara lain adalah:
a. Pokok-pokok keimanan (tauhid) kepada Allah, keimanan kepada malaikat,
rasul-rasul, kitab-kitab, hari akhir, qodli-qodor, dan sebagainya.
b. Prinsip-prinsip syari‟ah sebagai dasar pijakan manusia dalam hidup agar
tidak salah jalan dan tetap dalam koridor yang benar bagaiman amenjalin
hubungan kepada Allah (hablun minallah, ibadah) dan (hablun minannas,
mu‟amalah).
c. Janji atau kabar gembira kepada yang berbuat baik (basyir -kabar gembira-)
dan ancaman siksa bagi yang berbuat dosa (nadzir -ancaman-).
d. Kisah-kisa sejarah, seperti kisah para nabi, para kaum masyarakat
terdahulu, baik yang berbuat benar maupun yang durhaka kepada Tuhan.
e. Dasar-dasar dan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan: astronomi, fisika, kimia,
ilmu hukum, ilmu bumi, ekonomi, pertanian, kesehatan, teknologi, sastra,
budaya, sosiologi, psikologi, dan sebagainya.
E. Keutamaan Al-Qur’an
Keutamaan Al-Qur‟an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah saw., antara lain:
a. Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-
Qur‟an dan mengajarkannya.
b. Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur‟an (HR.
Turmuzi).
54

c. Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur‟an adalah beserta malaikat-


malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur‟an dan
kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat
dua pahala (HR. Muslim).
d. Sesungguhnya Al-Qur‟an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah
hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
e. Bacalah Al-Qur‟an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur‟an
sebagai penolong bagi pembacanya (HR. Turmuzi).
F. Fungsi Al-Qur’an
a. Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah
SWT
b. Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan
c. Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat
terdahulu.
d. Sebagai Obat “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan (Alquran itu) tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. QS. al-Isra'
(17:82).
e. Petunjuk pada jalan yang lurus “Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi
petunjuk pada jalan yang amat lurus. QS. al-Isrâ (17: 9)
G. Kedudukan Al Qur’an
a. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar), QS. an-Naba‟ (7 : 1-2)
b. Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah), QS. al-Maidah (5 : 49-
50)
c. Kitabul Jihad, QS. al-Ankabut (29 : 69)
d. Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3 : 79)
e. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup),
f. Kitabul Ilmi, QS. al-Alaq (96 : 1-5)
H. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup
Konsepsi inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat manusia dari
kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi
memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah membuktikan hal ini
55

terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14) :
“Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari da‟wah –yaitu generasi sahabat –
yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah umat Islam, bahkan dalam
sejarah umat manusia secara keseluruhan. Generasi seperti ini tidak muncul
kedua kalinya ke atas dunia ini sebagaimana mereka… Meskipun tidak
disangkal adanya beberapa individu yang dapat menyamai mereka, namun tidak
sama sekali sejumlah besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu
tertentu, sebagaiamana yang terjadi pada periode awal dari kehidupan da‟wah
ini…”
Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti kemulyaan mereka,
manakala beliau mengatakan dalam sebuah haditsnya:

‫َال‬
َ ‫َا ق‬
‫ُم‬ٍْ
‫َى‬‫ُ ع‬
ًَ‫َ الّل‬
‫ِي‬‫َض‬
‫ٍ ز‬
‫ْه‬
‫َي‬‫ُص‬
‫َ ح‬
‫ْه‬
‫َ ب‬
‫َان‬
‫ْس‬‫ِم‬
‫عه ع‬
‫ُم‬
ْ‫ُك‬
‫ْس‬‫َي‬
‫َ خ‬
‫َم‬‫َّل‬
‫ِ َس‬
ًْ‫َي‬
‫َّل‬
‫ُ ع‬
ًَ‫َى الّل‬
‫َّل‬
‫ُ ص‬
‫ِي‬
‫َب‬‫َ الى‬
‫َال‬
‫ق‬
‫ُم‬
ْ ٍَ
‫ُُو‬
‫َّل‬
‫َ ي‬
‫ِيه‬
‫َر‬
‫َ ال‬
‫ُم‬‫ْ ث‬
‫ُم‬ٍَ
‫ُُو‬
‫َّل‬
‫َ ي‬
‫ِيه‬
‫َر‬
‫َ ال‬
‫ُم‬
‫ِي ث‬
‫ْو‬‫َس‬
‫ق‬
“Dari Imran bin Hushain ra, Rasulullah SAW bersabda: „Sebaik-baik kalian
adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat) , kemudian generasi yang
berikutnya (tabi‟in), kemudian generasi yang berikutnya lagi (atba‟ut tabiin).
(HR. Bukhari)”
Imam Nawawi secara jelas mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
„generasi pada masaku‟ adalah sahabat Rasulullah SAW. Dalam hadits lain,
Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat:

‫َال‬
َ ‫ُ ق‬
ًْ
‫َى‬‫ُ ع‬
ًَ
‫َ الّل‬
‫ِي‬
‫َض‬
‫ِ ز‬
‫ِّي‬
‫ْز‬
‫ُد‬
‫ْخ‬‫ٍ ال‬
‫ِيد‬
‫َع‬
‫ِي س‬
‫َب‬
‫ْ أ‬
‫َه‬
‫ع‬
‫َ ال‬
َ ‫َم‬‫َّل‬
‫ِ َس‬
ًْ‫َي‬
‫َّل‬
‫ُ ع‬
ًَ‫َى الّل‬
‫َّل‬
‫ُ ص‬
‫ِي‬
‫َب‬‫َ الى‬
‫َال‬
‫ق‬
‫ْل‬
َ‫ِث‬
‫َ م‬
‫َق‬‫ْف‬
‫َو‬‫ْ أ‬
‫ُم‬‫َك‬
‫َد‬‫َح‬
‫َ أ‬
‫َن‬
‫ْ أ‬
َُ
‫َّل‬
‫ِي ف‬
‫َاب‬
‫ْح‬
‫َص‬‫ُُا أ‬
‫ُب‬‫َس‬
‫ت‬
ًَ
ُ‫ِيف‬
‫َص‬‫َ و‬
‫ْ َال‬
‫ِم‬
ٌِ‫َد‬
‫َح‬
‫َ أ‬
‫ُد‬‫َ م‬
‫َغ‬‫َّل‬
‫َا ب‬
‫ًا م‬
‫َب‬
ٌَ‫ٍ ذ‬
‫ُد‬‫ُح‬
‫أ‬
(‫(زَاي البخازّي‬
Dari Abu Sa‟id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, „Janganlah kalian
mencela sahabat-sahabatku.Karena sekiranya salah seorang diantara kalian
56

menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya ia tidak akan dapat


menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnya pun tidak. (HR.
Bukhari).
Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14 – 23) , terdapat tiga hal yang melatar
belakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khairul qurun, yang tiada
duanya di dunia ini. Secara ringkasnya adalah sebagai berikut:
Pertama, karena mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber
petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang
jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk
tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya. Namun
mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang diinginkan
oleh Allah dalam kehidupan mereka.
Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa
lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak
perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat
pemikiran maupun budaya.
Dengan ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah
yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena „ketotalitasan‟ mereka
ketika berinteraksi dengan Al-Qur‟an, yang dilandasi sebuah keyakinan yang
sangat mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang teramat dalam, bahwa
hanya Al-Qur‟an lah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan
manusia pada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
.
Daftar Pustaka
1. Al-Afrīqī, Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Mandzūr, Lisān al-„Arab, jilid
3, Beirut: Dār al-Shadr, 1994
2. Muhammad Fuād „Abd al-Bāqī, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur‟ān al-
Karīm, Kairo: Dār al-Hadīts, 1996
3. Al-Dimasyqī, „Imād al-Dīn Abī al-Fidā‟ Ismā‟il ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Azhīm, al-Thab‟ah al-Ūlā, Tahqīq Mushthafā al-Sayyid Muhammad, Muhammad
Fadl al-„Ajmārī, Muhammad al-Sayyid Rasyād, „Alī Ahmad „Abd al-Bāqī, Hasan
„Abbās Quthb, Muassasah Qurthubah, 2000
57

4. „Umar, Muhammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn ibn al-„Allāmah Dhiya‟ al-Dīn, Tafsīr al-
Fakhr al-Rāzī al-Musytahid bi al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, Beirut: Dār
al-Fikr, al-Thab‟ah al-Ūlā, 1981, jilid 13
5. Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsīr al-Marāghī, Syarikah Maktabah wa
Math‟amah Mushthafa al-Bābī al-Halabī wa Aulādih bi Mishra, al-Thab‟ah al-Ūlā,
1946, hal. 215
6. Al-Qurthubi, Abu „Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr, al-Jāmi‟ al-
Ahkām al-Qur‟ān, Tahqīq „Abd Allah ibn „Abdan al-Muhsin al-Turkī, Muassasah
al-Risālah, al-Thab‟ah al-Ūlā, 2006
7. Al-Qurthūbī, Abu „Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr, Al-Jāmi‟ li
Ahkām al-Qur‟ān, Tahqīq „Abd Allah ibn „Abdan al-Muhsin al-Turkī, Jilid 14, al-
Thab‟ah al-Ūlā, Muassasah al-Risālah, 2006
8. Al-Syāfi‟ī, Muhammad ibn Idris, Al-Risālah, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir,
Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.th
9. Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, I‟lām al-Muwāqi‟īn „an Rabb al-Ālamīn, terjemah
Kamaluddin Sa‟diyatul Haramain, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000
BAB IV
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA

A. Pendahuluan
Seluruh umat Islam, tanpa kecuali telah sepakat bahwa hadits merupakan salah
satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al
Qur‘an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti
Al Qur‘an. Hal ini karena hadits mubayyin (Penjelasan) terhadap Al Qur‘an. Tanpa
memahami dan menguasai hadits siapa pun tidak bisa memahami Al Qur‘an.
Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits tanpa memahami Al Qur‘an
karena Al Qur‘an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar
syariat, dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran
dan penjelasan Al Qur‘an. Dengan demikian antara hadits dan Al Qur‘an memiliki
kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri.
Bagi umat Islam khususnya, kehadiran Nabi Muhammad saw. tidak sekedar
sebagai ‗penyampai‘ ajaran Allah, yang nasihat dan saran-sarannya dibiarkan begitu
saja tanpa ketaatan yang total dari mereka, sebagaimana yang telah ditegaskan Allah
swt. bahwa beliau adalah panutan yang baik (uswah hasanah). Bahkan seseorang tidak
akan disebut beriman secara sempurna ketika dia tidak mengaplikasikan ajaran-ajaran
Allah dan Rasul-Nya yang terangkum dalam al-Qur‘an dan hadis dalam kehidupan
keseharian. Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin dapat memisahkan apa yang
berasal dari Rasulullah saw. (yang disebut hadis) dengan apa yang datang dari Allah
swt. (yang disebut al-Qur‘an). Meminjam istilah Mustafa Yaqub (2000: 36),
memisahkan hadis dari al-Qur‘an, sama artinya dengan memisahkan al-Qur‘an dari
kehidupan manusia. Keteladanan Nabi Muhammad saw ini tercermin tidak hanya dalam
sabda dan perbuatan, tetapi juga sifat dan karakternya yang diilustrasikan ‗A‘isyah ra.
sebagai ‗al-Quran berjalan.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam Islam tidak dapat diragukan
karena terdapat penegasan yang banyak, baik didalam Al Qur‘an maupun dalam hadits

58
59

nabi Muhammad SAW, Jumhur Ulama menyatakan bahwa Al-Hadits menempati urutan
kedua dalam Islam setelah Al-Qur‘an. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang
memerintahkan kita untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
B. Al-Hadis atau Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua
 Pengertian Hadis atau Sunnah
Secara etimologis, sunnah memiliki beberapa arti; ‗jalan yang ditempuh‘ (al-
thariqah al-maslukah); ‗kesinambungan‘ (al-dawam); ‗jalan yang baik‘ (al-thariqah al-
mahmudah); dan ‗jalan yang terus diulang-ulang, yang baik atau yang buruk‘(al-
thariqah al-mu‟tadah hasanah kanat am sayyi‟ah). Ada yang mengungkapkan bahwa
sunnah adalah ‗adat kebiasaan‘ (al-„adah), yakni jalan yang terus diulang-ulang oleh
beragam manusia, baik yang dianggap sebagai ibadah ataupun yang bukan
ibadah‘(Dzikri Nirwana, 2012: 47).
Sebagai mana dalam kamus al-muhit dan lisanul „arab Secara etimologi, sunnah
berarti tata cara. Yaitu jalan yang dilalui oleh orang-orang terdahulu kemudian diikuti
oleh orang-orang belakangan (M. Mustafa Azami, 2009: 13). Sunnah juga berarti
undang-undang atas peraturan yang berlaku (17:77), cara yang diadakan, jalan yang
dijalani, serta diartikan keterangan (Moenawar chalil, 1993: 193-194). Sedangkan
menurut Al-Bani (2002: 19) sunnah secara bahasa dapat diartikan, jalan yang ditempuh
seseorang dan yang terbiasa dilakukannya dalam kehidupan.
Sedangkan hadis berasal dari bahasa Arab, al-hadits, bentuk jadian dari kata
hadatsa, jamaknya adalah al-ahadits, al-hudtsan, dan al-hidtsan. Secara etimologis,
kata ini memiliki beberapa arti, seperti; al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang
lama), dan al-khabar (kabar atau berita yang diterima, sedikit maupun banyak). Di sisi
lain, dijelaskan pula bahwa secara literal, hadis diartikan sebagai komunikasi, cerita,
perbincangan (religius atau sekuler, historis atau kekinian) (Dzikri Nirwana, 2012: 44).
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa
definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits,
adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya" . Ulama hadits
menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi
60

SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits
dengan : "Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifatnya". Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai
berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits
dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun
perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari
perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi
sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang
menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits,
tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut : "Segala
perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat
persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan
kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau
tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits
mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya
menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum syara'.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat
perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang
membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda
dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut
:"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul,
61

seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya". Sunnah menurut istilah
muhadditsin (ahli-ahli hadits) juga mengartikan sunnah adalah segala yang dinukilkan
dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran,
sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW, di angkat
menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian
ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di
atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah
(contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena
itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima
tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya
berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak
melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu
dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan
dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang
ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna
inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat
selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"
(H.R.Malik).
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-
masalah hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala
sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik
berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum
syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur'an
dan Hadits.
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits
memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan
bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
62

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu".
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi
Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam
maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW.,
sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman
Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
".....Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa
yang dilarang oleh Rasul jauhilah".
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama,
tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah
suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila
ditinggalkan. Menurut Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan
bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara
kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi
yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang
mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.

C. Sejarah Kondifikasi Hadis


a. Hadis pada masa Rasulullah
Hadits diterima para sahabat baik secara langsung maupun tidak langsung dari
segala cara nabi saw, sebab majlis nabi semuanya majlis ilmiah; prilaku, penuturan,
isyarat, dan diamnya menjadi pedoman bagi hidup dan kehidupan umat Islam. Penerima
hadits secara langsung misalnya sewaktu Nabi saw memberi secamah, pengajian,
khutbah, atau penjelasan terhadap pernyataan para sahabat. Adapun yang langsung
seperti mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan baik dari utusan Nabi
ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi saw.
Pada masa Nabi saw, kepandaian tulis baca dikalangan para sahabat sudah
bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Kepandaian tulis baca tersebut, misalnya yang
di bawa ke Makkah dan daerah Hirrah, dibawa antara lain oleh Harb Ibn Umayyah,
63

seorang yang banyak melawat yang kemudian orang-orang Quraisy belajar padanya.
Oleh karena itu kecakapan tulis baca dikalangan para sahabat masih kurang, bahkan
Nabi menekankan menghafal hadits, memahami, memelihara, memantapkan amalan
dalam sehari-hari, serta mentablighkan kepada orang lain (Endang Soetari, 2008: 34).
Dengan demikian, periwayatan hadits pada masa Nabi saw, pada umumnya
mushafahah musyahadah, menerima secara lisan, menginventarisir dan memelihara
dalam amalan dan hafalan, serta menyampaikan secara lisan pula. Para sahabat tidak
sederajat dalam menerima dan mengetahui hadits dari Nabi saw, karena adanya faktor
tempat tinggal, pekerjaan, usia dan hal-hal lainnya. Ada sahabat yang banyak
mengetahui hadits karena lama berjumpa dan berdialog dengan Nabi dan ada yang
sedikit saja menerima hadits.
Para sahabat yang banyak menerima haditsi Nabi antara lain :
1. Yang mula-mula masuk Islam, seperti : Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan
Abdullah Ibn Mas‘ud
2. Yang jelas menyertai Nabi saw dan berusaha keras menghafalnya, seperti Abu
Hurairah; yang mencatatnya seperti Abdullah Ibn ‗Amr Ibn ‗Ash
3. yang lama hidupnya sesudah nabi saw, dapat menerima hadits dari sesama sahabat,
seperti : Anas Ibn Malik, Abdullah bin Abbas.
4. Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu : Ummah al Mu‘minin seperti ‗Aisyah,
Ummu Salamah (Endang Soetari, 2008: 35).
Ketika Rasulullah Saw wafat, Al-Quran telah dihafalkan dengan sempurna oleh
para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya
saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushhaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran.
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak
diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-
Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah
Saw. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah
Sa w.
64

Para sahabat menerima hadits dari Rasulullah Saw. Adakalanya langsung dari
beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada
sauatu soal yang diajukan oleh seseorang kepada lalu Nabi menjawabnya, atau pun
karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakalanya tidak langsung yaitu
mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka
menyuruh seseorang bertanya kapada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua:
1. Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi Saw, yang
mereka hafal benar.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya, bukan dengan
lafadznya karena tidak hafal lafadz yang asli dari Nabi (Endang Soetari, 2008: 42).
Kondisifikasi hadits itu justru dilatarbelakangi oleh adanya usaha-usaha untuk
membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan umat Islam, baik yang
dibuat oleh umat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-
orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini
masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literature dikalangan
muslim (Miftah Farid, 1996: 23).
Alasan di atas di perkuat dengan pendapat Ibnu Syihab az-Zuhri yang pada saat
itu munculnya praktek pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi oleh persaingan politik
dan perselisihan. Ibnu Syihab bekata ―sekirannya tidak ada hadits-hadits yang datang
kepada kami dari arah Timur, yang kami ingkari dan tidak kami kenal, niscaya saya
tidak menulis hadits dan tidak mengizinkan penulisan hadits (M. Ajaj Al-Khatib, 1999:
369).

a). Hadits-Hadits yang Melarang Penulisan Hadits

1) Abu Sa‘id al-Hudzri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:


65

Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran.
Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran,
hendaklah ia menghapusnya." (HR.Muslim)

Ini adalah hadits Rasulullah yang paling shahih tentang larangan menulis hadits.
2) Abu Sa‘id al-Khudzri berkata, ―Kami memohon kepada Nabi Saw. Agar beliau
mengizinkan kami menulis, namun beliau tidak mengizinkan.‖ Dalam suatu
riwayat dikatakan, ―Kami meminta izin kepada Nabi Saw. Untuk menulis hadits,
namun beliau tidak mengizinkan (M. Ajaj Al-Khatib, 1999: 345).
3) Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, ―Rasulullah Saw, mendatangi kami dan
kami sedang menulis hadist. Kemudian beliau bertanya, „Apa yang sedang kalian
tulis ini?‟ Kami menjawab,‘Kami menulis hadist yang kami dengar dari engkau, ya
Rasulullah.‘Beliau bersabda.“Tulisan selain Kitab Allah?Apakah kalian
mengetahui? Bangsa-bangsa sebelum kalian tidak sesat kecuali karena mereka
menulis tulisan lain bersama Kitab Allah.”
Alasan lain kenapa hadits tidak dituliskan antara lain:

a. Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang


diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.

2) Rasulullah berada di tengah-tengah umat Islam sehingga dirasa tidak sangat


perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
3) Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas
4) Umat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Quran
5) Kesibukan-kesibukan umat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan
da‘wah yang sangat penting (Miftah Faridl, 1996: 22).
b). Hadits-Hadits yang Membolehkan Penulisan Hadits
1) Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a. berkata,‖saya menulis segala yang saya dengar
dari Rasulullah Saw. Saya hendak menghafalnya, namun orang-orang Quraisy
melarangku. Mereka berkata, ‗Engkau menulis sagala sesuatu yang engkau
66

dengar dari Rasulullah Saw. Sedangkan beliau manusia yang kadang kala
berbicara dalam keadaan marah dan senang. ‗Saya pun berhenti menulis.
Kemudian saya ingat kepada beliau, ketika beliau menunjukan jari ke mulutnya
dan bersabda,

Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di
tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran. " (HR. Ad-
Damiri)

2) Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi Saw. Yang
menjadi sumber riwayat hadits lebih banyak dibandingkan dengan aku, kecuali
riwayat dari Abdullah bin Amr karena ia menulis, sedangkan aku tidak
menulis.” (Fathul Bari: 217)
3) Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seorang sahabat Anshar menyaksikan
hadits Rasulullah Saw. Namun ia tidak hafal. Ia bertanya kepada Abu Hurairah
dan Abu Hurairah memberitahukan kepadanya. Kemudian ia mengadu kepada
nabi tentang lemahnya daya hafalnya. Nabi bersabda kepadanya, “Bantulah
hafalanmu dengan tangan kananmu (menulis) (M. Ajaj Al-Khatib, 1999: 346).
4) Diriwayatkan dari Rafi‘ bin Khadij bahwa ia berkata, ―Ya, Rasulullah! Kami
mendengar banyak hal (hadits) darimu. Apakah kami boleh menulisnya?‖ Beliau
bersabda, “Ukhruj walaa haraj” ‗Tulislah dan tidaklah mengapa.‘
5) Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia berkata, ―Rasulullah Saw. Bersabda,
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.”1

1
Rasyid Ridha menilai hadits di atas dhaif karena pada sanadnya terdapat Abdul Hamid bin Sulaiman.
Dan Dzahabi juga “memperbincangkan” perawi ini. Ia menilai dhaif hadits yang diriwayatkan melalui
Abdullah bin al -Muammil. Tentang perawi ini, Imam Ahmad berkata, “hadits -hadits bin al-Muammil
adalah hadits-hadit munkar.” Lihat Majma’ az-Zawaid, hlm. 152, jiz I.
67

6) Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bahwa beliau menulis tentang sedekah,


diyat, faraidh, dan sunah-sunah untuk Amr bin Hazm dan lainnya (M. Ajaj Al-
Khatib, 1999: 347).
7) Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika Allah memberikan kemenangan
kepada Rasulullah atas kota Mekah, Rasulullah berdiri dan berpidato. Kemudian
seseorang dari Yaman, Abu Syah, berdiri dan berkata, ―Wahai Rasulullah!
Tuliskanlah pidato itu untukku.‖ Beliau bersabda kepada sahabat lain,
―Tuliskanlah untuknya.‖ (Fatul Bari: 217)
Abu Abdurrahman (Abdullah bin Ahmad) berkata, ―Tidak ada satu pun
hadits tentang penulisan hadits yang lebih sahih dibandingkan hadits di atas
kerena Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya. Beliau
bersabda, “Tuliskan untuk Abu Syah.”(M. Ajaj Al-Khatib, 1999: 347)

8) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Bahwa ia berkata, ―Ketika Nabi Saw, sakit keras,
beliau bersabda, ―Bawakanlah aku buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk
kalian sehingga kalian tidak akan sesat sesudahnya.‖
Umar berkata, ―Nabi Saw, dalam keadaan sakita parah (ketika
mengucapkan sabda di atas), sedangkan kita memiliki Kitab Allah, dan ini
cukup bagi kita.‖ Para sahabat berselisih pendapat tentang hal ini, Umar berkata,
―Luruskanlah aku! Tidak sepantasnya engkau berdebat di depanku.‖ (Fatul Bari:
218)

Permintaan Rasulullah itu jelas, yaitu beliau hendak menuliskan sesuatu selain
Al-Quran. Apa yang akan ditulisnya adalah bagian dari As-Sunnah. Jika beliau tidak
jadi menuliskannya karena sedang menderita sakit maka hal itu tidak menghapus apa
yang beliau inginkan. Dan, itu terjadi pada hari-hari terakhir dari kehidupan beliau. Dari
sini dapat dipahami bahwa Rasulullah memperbolehkan penulisan hadits pada setiap
saat untuk permasalahan apapun dan yang bersifat khusus dan umum. Ini dapat dilihat
dari hadits tentang Abu Syah yang bersifat khusus, ataupun pada kasus Abdullah bin
Amr dan seorang sahabat Anshar yang mengizinkan mereka untuk menulis hadits
dengan berbagai alasan seperti lemah daya hafalnya.
68

b. Hadis pada masa Sahabat


Khalifah Abu Bakar dan kemudian penggantinya, Umar bin Khattab,
menyerukan kepada umat Islam untuk berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan
hadits serta meminta kepada sahabat untuk memeriksa dengan teliti riwayat hadits yang
mereka terima. Dengan penjelasan serupa dapat dipahami adanya sumber yang
menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadits sebelum yang
meriwayatkannya disumpah (Ensklopedi Islam 2, 1994: 44). Bahkan dalam rangka
untuk mensukseskan penyiaran Al-Quran, Umar bin Khattab mengadakan larangan
memeperbanyak riwayat (hadits).
Kebijakan kedua Khalifah tersebut dapat dimaklumi, mengingat bahwasannya
pada waktu itu belum seluruhnya mengenal Al-Quran sebagai dasar syari‘at yang
pertama. Terutama bagi masyarakat yang baru saja menerima da‘wah Islam, Al-Quran
masih asing bagi mereka. Kebijakaan itu bukan berarti menghambat hadits untuk
berkembang, melainkan hanya belum menaruh perhatian secara sempurna (Fathur
Rahman, 1991:33). Pada priode ini, para sahabat r.a. memilki komitmen terhadap Kitab
Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan di dalam hati
mereka. Mereka menghimpunnya pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, menulisnya pada
masa utsman, dan mengirimnya keberbagai penjuru wilayah Islam untuk menjamin
terpeliharanya sumber ajaran yang pertama, Al-Quran, dari tercampur apa pun.
Kemudian, mereka memelihara As-Sunnah dengan mempelajari, mengkaji, dan kadang-
kadang menulisnya ketika tidak ada lagi larangan menulisnya.
c. Hadis pada Masa Tabiin
Penaklukan yang dilakukan oleh tentara Islam atas wilayah Syam (Suriah) 17 H,
Iraq (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).
mengharuskan para sahabat berpindah-pindah ke tempat baru tersebut untuk keperluan
mengajarkan agama Islam bagi penduduk setempat. Pada perkembangan selanjutnya,
seorang sahabat yang mendengar suatu riwayat (hadits) yang belum pernah didengarnya
merasa perlu berkunjung ke kota tempat tinggal sahabat yang disebutkan meriwayatkan
hadits tersebut. Berita kedatangan sahabat di suatu daerah mengundang perhatian tabi‘in
untuk mendatanginya dan berkumpul di sekitar sahabat tersebut untuk mendengarkan
69

pengajaran darinya, termasuk pengajaran tentang hadits. Dalam riwayat Bukhari,


Ahmad, dan at-Thabari, dan Baihaki disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam
dengan maksud menanyakan sebuah hadits pada seorang sahabat yang tinggal di sana.
Hal yang sama telah dilakukan oleh Abu Ayyub al-Anshari yang melawat ke Mesir
untuk menemui Uqbah bin Amr untuk menanyakan sebuah hadits (Ensklopedi Islam 2,
1994: 45).
Dengan demikian priode ini ditandai oleh aktifnya generasi tabi‘in mencari dan
menyerap hadits-hadits dari generasi sahabat yang masih hidup. Pada priode ini
terkenallah sahabat-sahabat yang dijuluki sebagai ―bendahara‖ hadits, yaitu mereka
yang meriwayatkan hadits lebih dari seribu hadits. Diantara mereka yaitu:
1. Abu Hurairah, meriwayatkan 5.374 hadits;
2. Abdullah bin Umar bin Khattab meriwayatkan 2.630 hadits;
3. Anas bin Malik meriwayatkan 2.266 hadits;
4. A‘isyah meriwayatkan 1.210 hadits;
5. Abdullah bin Abbas meriwayatkan 1.660 hadits;
6. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits;
7. Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits. (M. Hasbi ash-Shidieqy, 1954:73)
Selain itu, ada sahabat yang juga terkenal meriwayat hadits seperti Ibnu Mas‘ud,
dan Abdullah bin Amr bin Ash yang meriwayatkan hadits dari buku catatannya yang
dinamai ―Ash-Shadiqah‖. Akan tetapi ada sahabat yang menyedikitkan riwayat karena
takut terjerumus dalam kedustaan atau takut karena lanjut usia sehingga banyak
terlupakan. Zubair dan Zaid bin Arqam adalah contoh dari sekian sahabat yang
mengambil sikap seperti ini (Ensklopedi Islam 2, 1994: 45).
Adapun di antara tabi‘in dan tempat pusat-pusat hadits yang tercatat sebagai
tokoh hadits pada priode ini adalah:
1. Madinah
Di atara tokoh-tokoh hadits di kota Madinah dalam kalangan sahabat, ialah; Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib (sebelum pindah ke Kufah), Abu
Hurairah, ‗Aisyah, Ibnu Umar, Abu Sa‘id al-Khudri dan Zaid bin Tsabit. Di antara
sarjana-sarjana tabi‘in yang belajar pada para sahabat adalah: Sa‘id, ‗Urwah, az-Zuhri,
70

‗Ubaidilah bin Abdillah bin Utbah ibn Mas‘ud, Salim bin Abdullah ibn Umar, al-Qasim
ibn Muhammad ibn Abi Bakri, Nafi‘, Abu Bakar bin Abdirrahman ibn al-Harits ibn
Hisyam dan Abul Zinad.
2. Mekah
Di antara tokoh hadits Mekah adalah: Mu‘adz, dan kemudian Ibnu Abbas. Dan
para tabiin yang belajar padanya ialah: Mujahid, Ikrimah, ‗Atha bin Abi Rabah, Abul
Zabair Muhammad ibn Muslim.
3. Kufah
Para sahabat yang mengembangkan hadits di Kufah, adalah: Ali bin Abi Thalib,
Abdullah ibn Mas‘ud, Sa‘ad ibn Abi Waqash, Sa‘id ibn Zaid, Khabab ibn Al-Arat,
Salman Al-Farisy, Hudzaifah ibn Yaman, Ammar ibn Yasir, Abu Musa—al-Baraq—al-
Mughirah, Nu‘man, Abul Thufail, Abu Juhaifah dan lain-lain. Pemimpin besar hadits di
Kufah adalah Ibnu mas‘ud, kemudian belajarlah Masyruq, Ubaidah, al-Aswad, Syuriah,
Ibrahim, Sa‘id ibn Jubair, Amir ibn Syurahil, Asy-Sya‘bi.
4. Bashrah
Pemimpin hadits di Bashrah dari golongan sahabat adalah: Anas bin Malik,
‗Utbah, Imran ibn Husain, Abu Barzah, Ma‘qil ibn Yasar, Abu Bakrah, Abdurahman
ibn Samurah, Abdullah ibn Syikhir, Jariah ibn Qudamah. Sarjana tabiin yang belajar
kepada mereka antara lain: Abul ‗Aliyah, Rafi‘ ibn Mihram, Al-Riyahi, Al-Hasan Al-
Bishri, Muhammad Ibn Sirin, Abu Sya‘tsa, Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf ibn
Syikhir, dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
5. Syam
Tokoh hadits dari sahabat di Syam ini, ialah: Mu‘az ibn Jabal, Ubadah ibn
Shamit dan Abu Darda. Pada mereka itulah banyak tabi‘in belajar seperti; Abu Idris Al-
Khaulani, Qabisah ibn Dzuaib, Makhul, Raja‘ ibn Haiwah.
6. Mesir
Di antara sahabat yang mengembangkan hadits di Mesir, ialah: Abdullah ibn
Amir, Uqbah ibn Amir, Kharijah ibn Hudzifah, Abdullah ibn Sa‘ad, Mahmiyah ibn Juz,
Abdullah ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Sa‘ad Al-Khair, Muadz ibn Anas Al-Juhairi.
Kira-kira ada 140 sahabat yang mengembangkan hadits di mesir. Di antara tabi‘in yang
71

belajar kepada mereka, ialah Abul Khair Murtsad Al-Yazini dan Yazid ibn Abi Habib
(M. Hasbi ash-Shidieqy, 1954:73-76).
Di samping perkembangan hadits yang mulai muncul terdapat juga pemalsuan
hadits pengaruh dari politik dan intrik-intrik lain dari masa sebelumnya. Pada priode ini
riwayat-riwayat hadits yang palsu semakin bertambah dan beragam coraknya. Menurut
versi pengarang kitab Nahj al-Balagah (Metode Balagah), Ibnu Abi Al-Hadid (seorang
ulama Syi‘ah), pemalsuan hadits mula-mula dilakukan oleh golongan Syiah sendiri
dalam bentuk pemujaan terhadap keutamaan pribadi-pribadi. Tragisnya, perbuatan
mereka ini ditandingi oleh golongan Suni. Karena di masa ini Irak merupakan pusat
orang-orang Syiah, maka kuat dugaan bahwa daerah tersebut menjadi asal mula
munculnya hadits-hadit palsu (Ensklopedi Islam 2, 1994: 45).
d. Masa penyusunan Hadis
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh
penduduk di luar jazirah Arabia, dan para sahabat mulai tersebar di beberapa walayah
bahkan tidak sedikit jumlahnya yang meninggal dunia, maka terasalah perlunya hadits
diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits.
Urgensia ini menggerakan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz—seorang Khalifah Bani
Umayah yang menjabat antara tahun 99-101 H—untuk menulis dan membukukan
(mendewankan) hadits.
Motif utama Umar bin Abdul Aziz berinisiatif untuk membukukan hadits
adalah:
1) Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan hasits seperti waktu yang
sudah-sudah. Karena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadits dari
perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum dibukukannya dalam dewan hadits.
2) Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadits dari hadits-
hadits maudhu yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan idiologi
golongannya dan mempertahankan mazhabnya, yang mulai tersiar sejak awal
berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a.
3) Alasan tidak dibukukannya hadits secara resmi di zaman Rasulullah dan
Khulafaurrasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-
72

Quran, telah hilang, disebabkan Al-Quran telah terkumpulkan dalam satu mushaf
dan telah merata di seluruh pelosok, ia telah dihafal di otak dan diserapkan di dalam
hati sanubari beribu-ribu orang.
4) Kalau di zaman Khulafaurrasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi
peperangan antar orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara
sesama muslim, yang kian hari kian menjadi, yang sekaligus berakibat
berkurangnya ulama ahli hadits, maka pada saat itu konprontasi tersebut benar-benar
terjadi (Fatchur Rahman, 1991: 34-35).
Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada
gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya
membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.Umar bin Abdul Azis
menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:

Artinya:
"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena
aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan
diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan
diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat
mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. "
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur
lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat
kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri.
Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Dan Az-
73

Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis
yang ahli dalam bidang fiqih dan Hadits.
D. Pentadwinan Hadits
Aktivitas pentadwinan hadits secara resmi dan intensif berlangsung selama abad
ke II dan III hijriyah, yakni aktivitas sampai terkumpulnya seluruh hadits dalam diwan-
diwan hadits. Pembahasan mengenai aktivitas “Inda al-Tadwin”, ditinjau dari corak
penyusunannya dan system yang digunakan, maka sepanjang yang telah ditempuh para
ulama muhanditsin aktivitas tadwin terbagi pada tiga fase perkembangan, yakni
(Endang Soetari, 2008:59-65):
1. Fase tadwin masa pertama
Pada masa ini Mudawin mengadakan tadwin dengan memasukan ke dalam
diwannya semua hadits, baik sabda Nabi saw, maupun fatwa sahabat dan tabi‘in. jadi
meliputi hadits marfu‘, mauquf, dan maqtu. Corak ini berlangsung selama abad II
Hijriyah. Kitab-kitab yang disusun pada masa ini tidak sampai pada kita sekarang
kecuali kitab al-Muatha‘ susunan Malik bin Anas. Yang berisi 1726 hadits yang terdiri
dari 600 musnad, 228 mursal, 613 mauquf dan 285 maqtu.
2. Fase tadwin dengan kualifikasi
Pada awal abad III H. para ulama melaksanakan tadwin hasits dengan
memisahkan antara sabda Nabi saw dengan fatwa sahabat dan tabi‘in. tapi masih
mencampur antara hadits shahih, hasan, dan dha‘if. Sehingga lantaran ini orang-orang
yang kurang ahli masih belum dapat secara mudah mengambil pengertian hukum atau
mengetahui nilai hadits tersebut.
Sistem penyusunsn yang dipakai adalah tasnid, yakni menyusun hadits dalam
kitab berdasarkan nama sahabat perawi. Sedangkan di dalam menertibkan nama sahabat
ada yang menggunakan menurut kabilah, ada yang menurut masa memeluk Islam, dan
ada pula yang tidak memperhatikan ketertiban ini. Kelemahan sistem tasnid dan musnad
adalah sulit dalam mencari atau mengetahui hukum-hukum syara‘ sebab hadits yang
dikumpul dalam satu tempat, tidak semaudhu‘, satu tema. Diantara kitab-kitab musnad
yang paling menonjol adalah musnad Amad berisi 40.000 hadits dengan berulang-ulang
atau 30.000 hadits dengan tidak berulang- ulang.
74

3. Fase tadwin dengan seleksi


Pentadwinan hadits ini berlangsung mengikuti corak kualifikasi antara hadits
marfu‘ dengan hadits maukuf dan maqtu. Dalam sejarah perkembangan hadits terkenal
dengan sebutan kualifikasi dan seleksi “.Ashr al-Tajrid wa al-Tashih at-Tanqih” (masa
penyaringan, pemilihan dan pelengkapan). Seleksi hadits ini dilakukan terhadap nilai
hadits, yakni penilaian hadits yang shahih saja untuk dibukukan.
Hal yang mendorong usaha tadwin denga seleksi ini adalah karena meluasnya
pemalsuan hadits akhir abad II H. dan awal abad III H. maka untuk menanggulangi hal
itu bangkitlah para ulama untuk mengidentifikasikan dalam hal:
1) Penelitian dan pembahasan tentang perawi hasits dari berbagai segi, keadilan,
kedhabitan, yang diambil dari biografi para perawi.
2) Penyahihan hadits atas kaidah-kaidah ilmu hadis yang membedakan antara hadits
yang sahih dan yang da‘if.
Pelopor tadwin dengan seleksi adalah Ishaq ibn Rawaih yang diikuti dan
disempurnakan oleh Bukhari dan Muslim. Kemudian ulama berukutnya mengikuti jejak
beliau, walaupun dengan seleksi yang tidak seketat Bukahri dan Muslim.

E. Perkembangan kitab-kitab hadis


a. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.
Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara
lain :
1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang
berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-shalah,hadits-hadits yang
berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara
ini terbagi dua macam :
a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh
oleh Imam Bukhari dan Muslim.
b. Dengan tidak mengkhususkan hadits -hadits yang shahih ( asal tidak munkar ),
seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa‘I, dan sebagainya.
75

2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini


terbagi dua macam :
a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka
dahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam.
Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun
kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah
dan seterusnya.
d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir,
nawahi, ikhbar, ibadat, dan af‟alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu
Hibban dalam shahehnya.
3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang
ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-
Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
b. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke I H.
1. Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin ‗Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 – 124 H ).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.
Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan
keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggung-jawabkan.
c. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-2 H.
1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu‘man ( wafat 150 H ).
2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 – 179 H ).
3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi‘I ( 150 – 204 H ).
4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi‘I ( 150 – 204 H ).
5. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 – 203 H ).
6. Al-Jami‘ oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan‘ani ( wafat 311 H ).
7. Mushannaf oleh Imam Syu‘bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
76

8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa‘ud ( 94 – 175 H ).


9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‗Uyaina ( 107 – 190 H ).
10. as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin ‗Amr al-Auza‘i ( wafat 157 H ).
11. as-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita
kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.
d. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194 – 256 H).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204 – 261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209 – 279 H ).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‘at (202 – 275 H).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya‘ab an-Nasai (215 – 303 H).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri
(181 – 255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273
H).
8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164 – 241 H).
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa‘id bin Manshur (wafat 227 H).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa‘id bin Manshur (wafat 227 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16. Al-Musnad oleh Imam ‗Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H) .
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya‘la (wafat 307 H).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi
(282 H).
77

20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‗Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat
287 H).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi‘amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat
243 H).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari (wafat 282 H).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu‘aib an-Nasai (wafat 303 H).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228).
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad
ini.
e. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H.
1. Al-Mu‘jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad
ath-Thabrani ( wafat 360 H ).
2. As-Sunan oleh Imam Darulkutni ( wafat 385 H ).
3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban ( wafat 354 H ).
4. Ash-Shahih oleh Imam Abu ‗Awanah Ya‘qub bin Ishaq ( wafat 316 H ).
5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq ( wafat 311 H ).
6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa‘id bin‘Usman al-Baghdadi (wafat 353 H).
7. Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh ( wafat 340 H ).
8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi ( wafat 321 H ).
9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ).
10. Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ).
11. Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ).
12. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ).
13. Al-Mustadrak ‗ala -Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin
Abdullah al-Hakim an -Naisaburi ( 321 – 405 H ).
f. Tingkatan Kitab Hadits.
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-
kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
78

1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para
penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja.
2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat
munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits -hadits yang dha‘if ( yang
tidak sampai kepada munkar ). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha‘ifannya.
3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali.
Para penghimpunnya memasukkan hadits -hadits tersebut tanpa penyaringan
yang seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-baur diantara
haditshadits yang shahih, yang dha‘if dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab
lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang ada,
maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah
al-Qur‘an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang
meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat
dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim
lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari
ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti
tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang
penerima dan penyampai hadits, dimana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil (
bersambung ) saja.
g. Kitab-kitab Shahih Selain Bukhari Muslim.
Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits shahih
sebagaimana yang ditempuh oleh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut
penyelidikan ahli-ahli hadits, ternyata kitab-kitab mereka tidak sampai kepada tingkat
kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim.
Para ulama yang menyusun Kitab Shahih tersebut ialah :
1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih.
2. Abu ‗Awanah dalam kitab ash-Shahih.
3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarba.
4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak.
5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa.
79

6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitabnya al-Mukhtarah.


Menurut sebagian besar para ulama hadits, diantara kitab-kitab hadits ada 7 (
tujuh ) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu :
1. Ash-Shahih Bukhari.
2. Ash-Shahih Muslim.
3. Ash-Sunan Abu-Dawud.
4. As-Sunan Nas ai.
5. As-Sunan Tirmidzi.
6. As-Sunan Ibnu Majah.
7. Al-Musnad Imam Ahmad.

F. Kedudukan Sunnah dalam Islam

Seluruh umat Islam, tanpa kecuali telah sepakat bahwa hadits merupakan salah
satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah
Al Qur‘an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat islam sama wajibnya dengan
mengikuti Al Qur‘an. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan
kita untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut dapat kita lihat dari
beberapa firman Allah sebagai berikut :

a. Surat Annisa ayat 59

‫يآايــٓب انـريٍ ايُٕآ اطيعٕااهلل ٔاطيعٕاانـسسٕل ٔأني األيس يُــكى فئٌ تُــبشعـتى‬
‫ ذنك‬,‫فٗ شئ فـسدِٔ انٗ اهلل ٔانسســٕل اٌ كـــُتى تؤيـٌُٕ بــبهلل ٔانيٕو األخــس‬
.‫خــيس ٔاحــسٍ تؤٔيـــال‬

Artinya :

hai orang-orang yang beriman, ta‟atilah Allah dan ta‟atilah Rasul-Nya dan Ulil
Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnah-Nya). Jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
80

b. Surah Annisa ayat 69

ٍ‫ٔيٍ يطــع اهلل ٔانسســٕل فؤٔنئــك يع انرٖ اَــعى اهلل عهيــٓى يٍ انُبـــيي‬
‫ٔانصديـــميٍ انشــٓدآ ء ٔانصهحـــيٍ ٔحســٍ أنئــــك زفيــــــمب‬

Artinya :

Dan barang siapa yang menta‟ati Allah dan Rasul (Nya) mereka itu akan bersama
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para Shiddiqin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.

)4(َٗ‫)إٌِْ َُْٕ إِنَب َٔحْيٌ يُٕح‬3(ََْٖٕٓ‫َٔيَب يَُطِكُ عٍَِ ان‬

“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan


hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Makna ayat di atas bahwanya apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur‘an
dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya
maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:

َ‫إٌِْ أَتَبِعُ إِّالَ يَب يُٕحَٗ إِنَي‬.‫… لُم‬

“(Katakanlah Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan


kepadaku.” (QS. Al-An‘am 50)

Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan suatu tindakan
kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang
disampaikannya.

Al-Qur‘an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur‘an, Rasulullah saw juga
menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan As-
Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah
yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-
Jumu‘ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.
81

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As-
Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath‟i) kebenarannya;
sebagaimana Al-Qur‘an itu sendiri.
G. Fungsi As-Sunnah
Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur‘an dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Menguraikan Kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.
Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya
(dalalah/penunjukannya) yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya.
Misalnya perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur‘an hanya
menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian
Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka‟at,
aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan
ibadah-ibadah yang lain.

Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa
Abbasiyah menjelaskan:

“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada


penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan
kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-
kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali
kepada Sunnah.”

2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.


Umum („aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas
dengan satu ucapan saja. Misalnya „al-muslimun‟ (orang-orang Islam), „ar-rijaalu‟
(orang-orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur‘an itu terdapat banyak lafadz
yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkan keumumannya Al-Qur‘an
tersebut. Misalnya firman Allah SWT:

ٍِْ‫يُٕصِيكُىُ انهُّّ فِي أَّْٔالَدِكُىْ نِهرَكَسِ يِثْمُ حَّظِ األَُثَيَي‬


82

“Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki


adalah dua bagian dari anak perempuan.” (QS. An-Nisaa: 11)
Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan
warisan dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang
Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw:
“Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah
sedekah.” (HR. Bukhari)
“Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya
serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari
ayahnya.
3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak
Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu
jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur‘an
banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan).
Misalnya:

‫َٔانسَبزِقُ َٔانسَبزِلَةُ فَبلْطَعُٕاْ أَيْدِيًََُٓب‬


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong
tangan (keduanya).” (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil).
Kemudian Sunnah memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak
seperempat dinar emas ke atas. Sabda Rasulullah saw:

“Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar dan janganlah dipotong


yang kurang dari itu.” (HR Ahmad)

Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagimana
ayat 38 Surat Al- Maidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat
lainnya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.

4. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum.


Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang
telah tercantum dalam Al-Qur‘an disamping melengkapi sebagian cabang-cabang
83

hukum yang asalnya dari Al-Qur‘an. Al-Qur‘an menegaskan tentang pengharaman


memperisteri dua orang sekaligus.

َ‫َٔأٌَ تَجًَْعُٕاْ بَيٍَْ األُخْتَيٍِْ إَّالَ يَب لَدْ سَهَف‬

“(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan


bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisaa‘: 23)

Di dalam Al-Qur‘an tidak disebutkan tentang haramnya seseorang


mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari
saudara laki-laki istri (kemenakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui
sabda Nabi:

“Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan „ammah (saudara bapaknya), atau
dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya
(kemenakan) dan tidak boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-
lakinya, sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.”
(HR. An Nasa‘i dan Ibnu Majah)

5. Sunnah Menetapkan Hukum-hukum Baru, yang tidak terdapat dalam Al-


Qur’an.
Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru yang tidak
ditemukan dalam Al-Qur‘an dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah
ada dalam Al-Qur‘an, akan tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya
terdapat dalam Sunnah. Misalnya, diharamkannya ‗keledai jinak‘ untuk dimakan,
setiap binatang yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula tentang
keharaman memungut pajak (bea cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian
yang selama tiga tahun berturut-turut tidak dikelola, maka diambil oleh negara, tidak
bolehnya individu memiliki kepentingan umum seperti air, rumput, api, minyak
bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut, tempat penggembalaan ternak dan
lain-lain.

Demikian antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan


Rasulullah saw. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT:
84

‫إًََِب كَبٌَ لَْٕلَ انًُْؤْيُِِيٍَ إِذَا دُعُٕا إِنَٗ انهَِّ َٔزَسُٕنِِّ نِيَحْكُىَ بَيَُُْٓىْ أٌَ يَمُٕنُٕا سًَِعَُْب َٔأَطَعَُْب‬
ٌَُٕ‫َٔأُْٔنَئِكَ ُْىُ انًُْفْهِح‬

“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-
Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya
mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang
yang berbahagia.” (QS. An-Nur: 51)

Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat
qath‟i, karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah
aqidah/i‟tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/syari‘ah masih dapat digunakan
nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal
ini karena dalam masalah Syari‘ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti
terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber
untuk masalah i‟tiqadiyah).

H. Ilmu-ilmu Hadis
Ilmu Hadist adalah: Ilmu yang berkaitan dengan hadist. Ilmu hadist terbagi dua;
a. Ilmu Hadist Riwayah
Ilmu Hadist Riwayah adalah ilmu yang mempelajari perkataan, perbuatan taqrir
(sikap diam) dan sifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu hadist riwayah adalah ilmu
yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan, perbuatan,
ataupun takrir.
b. Ilmu Hadist Dirayah.
Ilmu Hadist Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk
mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadist
dan sifat-sifat perawinya. Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu
hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadist
c. Cabang-cabang Ilmu Hadis
1) Ilmu Rijalul hadits adalah ilmu yang mempelajari sejarah dan keadaan perawi
hadits.
85

2) Ilmu al jarhu wat ta’dil adalah ilmu yang mempelajari tentang cacat dan keadilan
para perawi.
3) Ilmu fannil mubhamat adalah ilmu yang mempelajari tentang orang yang tidak
disebut namanya baik dalam sanad maupun matan.
4) Ilmu tashif wat Tahrif adalah ilmu yang mempelajari perubahan yang terjadi
pada kata yang ada dalam hadits yang sudah dirubah titik maupun bentuknya (
hurufnya ).
5) Ilmu ‘ilalil hadits adalah ilmu yang mempelajari cacat yang tersembunyi dalam
hadits.
6) Ilmu goriibul Hadits adalah ilmu yang mempelajari kata-kata asing yang
terdapat dalam sebuah hadits.
7) Ilmu naskhi wal mansukh adalah ilmu yang mempelajari hadits yang
menghapus dan hadits yang dihapus
8) Ilmu Asbabul wuruudul hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang sebab-
sebab atau latar belakang yang menyebabkan munculnya sebuah hadits
9) Ilmu Talfiqil hadits adalah ilmu yang mempelajari cara mengkompromikan dua
hadits yang bertentangan.
10) Ilmu mustalahul hadits adalah ilmu yang mempelajari istilah-istilah yang
digunakan dalam ilmu hadits.
I. Kualitas Hadits
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi (orang yang menyampaikan atau
yang menjadi sumber utama ) sunnah terbagi kepada dua macam.
1. Hadits Mutawatir
Adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera yg diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi yg menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat dusta.
2. Hadits Ahad
Adalah hadits yg diriwayatkan oleh sejumlah rawi tapi jumlah tersebut tidak sampai
derajat mutawatir.
86

Hadits ahad dibedakan menjadi hadits Masyhur, hadits azis dan hadits gharib.
1. Hadits Masyhur
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih namun tidak mencapai derajat
mutawatir.
2. Hadits Azis
Hadits yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang rawi walaupun dua orang rawi
tersebut terdapat pada satu thabaqah (lapis) saja kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya
3. Hadits Gharib
Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi walaupun seorang rawi tersebut
hanya dalam satu thabaqah (lapis) kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
Ditinjau dari segi kualitas orang-orang yg meriwayatkan hadits, maka hadits dapat
dibedakan menjadi hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna (kuat) ingatannya,
sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat, dan tidak janggal (syadz).
Syarat-syarat hadits shahih adalah:
 Orang yang meriwayatkan (rawi) adil
 Rawi sempurna (kuat) ingatan nya
 Sanad (rangkaian rawi) bersambung, tidak putus.
 Hadits itu tidak berillat
 itu tidak janggal (syadz).
2. Hadits Hasan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil namun kurang kuat
ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal
3. Hadits Dhaif
adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih
atau hadits hasan.
87

J. Daftar Pustaka

Achmad Satori Ismail,


Islam Moderat,(Jakarta: Pustaka Ikadi, 2007)
Ali Mustafa Yaqub,
Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Dzikri Nirwana,
Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologis Hadits),
Endang Soetari
Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayyah, (Bandung : CV. Mimbar Pustaka,
2008).
Fatchur Rahman,
Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1991),
Miftah Faridl,
Pokok-Pokok Ajaran Islam, (Bandung, Pustaka, 1996),
M. Ajaj Al-Khatib,
Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, (Jakarta: GIP, 1999)
M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakatra: Bulan Bintang, 1954),
M.Mustafa Azami,
Hadis Nabi dan Sejarah Kondifikasinya,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Moenawar Cholil,
Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah,(Jakarta: Bulan Bintang, 1956)
Sunnah, Khabar, dan Atsar),
Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012
BAB V
IJTIHAD: Sumber Hukum Ketiga dalam Islam

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Mahasiswa mampu memelihara kebiasaan mematuhi hukum-hukum Allah Swt (Tuhan Yang
Maha Esa) dan mampu mengambil istinbâth (kesimpulan/keputusan) hukum Islam.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


(1) Mahasiswa memiliki kesadaran yang tinggi tentang perlunya kerja keras akademis dalam
merespons semua persoalan Agama Islam yang belum terakomodir atau belum dijelaskan
secara eksplisit di dalam Alqur‟an dan Sunnah Rasul (2) Memiliki sikap lapang dada dan
sikap toleransi ketika berhadapan dengan persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat) di
lapangan (3) Memiliki pemahaman yang cukup tentang metodologi penetapan hukum yang
menyangkut persoalan-persoalan kontemporer.

A. Hakikat, Kedudukan dan Fungsi Ijtihad


Penggunaan suatu teknologi (apakah maslahat atau mudlarat) untuk seorang muslim,
tentu harus berpijak pada hukum yang terdapat dalam nash (Alqur‟an dan Al-Hadits)
Namun, tidak semua hasil teknologi dan fenomena sosial terdapat hukum secara eksplisit
dalam kedua sumber tersebut. Karena itu, diperlukan jalan untuk mendapatkan kepastian
hukumnya. Jalan tersebut dalam Islam disebut Ijtihad. Kebolehan berijtihad ditemukan pada
berbagai dalil, di antaranya pada QS. An-Nisa/4: 105, yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”
Berdasarkan hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan dari Amr ibn al-„Ash:

‫ أوً مسع زسُل اهلل صهى اهلل‬:‫عه عمسَ به انعاص‬


‫ إذا حكم احلاكم فاجتٍد فأصاب‬:‫عهًٍ َسهم قال‬
‫ إذا حكم احلاكم فاجتٍد مث أخطأ‬: َ ‫فهً أجسان‬
‫فهً أجس‬
“... Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar maka ia mendapatkan dua pahala,
dan jika ia salah ia mendapatkan satu pahala.”
Kebolehan dan sekaligus keharusan berijtihad juga digambarkan dalam dialog Mu‟adz ibn
Jabal dengan nabi Muhammad Saw. berikut:

88
89

:‫عه أواس مه أٌم محص مه أصحاب معاذ به جبم‬


‫أن زسُل اهلل صهى اهلل عهًٍ َسهم ملا أزاد أن‬
‫ كٍف تقضً إذا عسض‬:‫ٌبعث معاذا إىل انٍمه قال‬
‫ فإن مل‬:‫ قال‬.‫ أقضً بكتاب اهلل‬:‫نك قضاء؟ قال‬
‫ فبسىة زسُل اهلل صهى اهلل‬:‫جتد يف كتاب اهلل؟ قال‬
‫ فإن مل جتد يف سىة زسُل اهلل‬:‫ قال‬.‫عهًٍ َسهم‬
‫ أجتٍد‬:‫صهى اهلل عهًٍ َسهم َال يف كتاب اهلل؟ قال‬
ًٍ‫ فضسب زسُل اهلل صهى اهلل عه‬.ُ‫بسأًٌ َال آن‬
‫ احلمد هلل انري َفق زسُل اهلل‬:‫ فقال‬.‫َسهم صدزي‬
‫ملا ٌسضى زسُل اهلل‬
“..... Bahwa Rasulullah Saw. ketika akan mengirim Mu’adz ke Yaman bertanya: Ya Mu’adz
bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu? Mu’adz
menjawab: saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam kitabullah. Rasulullah
Saw. bertanya lagi: kalau engkau tak menemukan hal itu dalam kitabullah, bagaimana?
Mu’adz menjawab: saya akan memutuskannya menurut sunnah Rasul-Nya. Lalu Rasulullah
Saw. bertanya lagi: kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam keduanya, yakni kitabullah dan
sunnah rasul, bagaimana? Lalu Mu’adz menjawab: jika tidak terdapat dalam keduanya saya
akan berijtihad tanpa ragu sedikitpun. Mendengar jawaban itu, Rasulullah Saw. lalu
meletakkan kedua tangannya ke dada Mu’adz`dan berkata: segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufiq utusan Rasulullah, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya. (HR. Tirmidzi
dan Abu Daud).”
Kata ijtihad berasal dari akar kata yang sama dengan Jihad yakni jahada
(bersungguh-sungguh atau mengerahkan segenap kemampuan). Selanjutnya dalam
perkembangan makna, jihad bermakna pengerahan kemampuan yang lebih bersifat fisik
sedangkan ijtihad mengerahkan kemampuan yang bersifat pemikiran ilmiah. Sehingga
pengertian ijtihad adalah “mengerahkan segenap kemampuan intelektual untuk menetapkan
hukum sesuatu yang belum dijelaskan secara detail-ekplisit di dalam Alqur’an dan hadis,
melalui serangkaian kegiatan menganalisis semua dalil yang memiliki hubungan tak
langsung (implisit) dengan persoalan yang dibahas sehingga sampai kepada penetapan
90

hukum yang dicari”. Prosesnya adalah semua dalil yang implisit dikumpulkan,
diklasifikasikan, ditafsirkan, dianalisis dengan menggunakan teknik pendekatan tertentu, dan
disimpulkan.
Jadi ijtihad harus melalui analisis terhadap seluruh ayat Alqur‟an dan Hadits, yang
mempunyai hubungan tak langsung (implisit) dengan persoalan yang dibahas, bukan
berijtihad dengan menggunakan rasio semata-mata tanpa menelaah teks Alqur‟an dan Hadits.

B. Urgensi Ijtihad
Nabi Muhammad Saw. wafat pada tahun 10 hijriyah, dalam usia 63 tahun, setelah
beliau memperjuangkan tegaknya tauhid dan syari‟ah Islam selama 23 tahun, yakni 13 tahun
di Mekah, dan 10 tahun di Medinah. Pada tahun 10 hijriyah itu, tepatnya 80 hari sebelum
nabi Saw. wafat, turunlah ayat Alqur‟an yang kemudian dicantumkan dalam surat al-Maidah
ayat 3 yang artinya:

....‫ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُنۡ دِينَكُنۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُنۡ نِعۡمَتِي َورَضِيتُ لَكُنُ ٱلۡإِسۡلَٰنَ دِينا‬...
...Pada hari ini telah Kusempurnak an untuk k amu agamamu, dan telah Ku-cuk upk an
k epadamu nik mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu....

Islam adalah kenikmatan terbesar dari Allah Swt., prinsip-prinsip hukum dan nilai-
nilai Islam telah sempurna, bahkan dalam beberapa perkara detailnya, dan Islam adalah
agama yang sempurna (syumul).
Jika menggunakan bahasa hukum yang sekarang berkembang dapat dikatakan :” Hal-
hal yang belum diatur secara jelas dalam peraturan ini, akan diatur kemudian dalam
peraturan lainnya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Alqur‟an dan Hadis”. Aturan
yang dimaksud adalah Ijtihad.
Setelah nabi Muhammad Saw. wafat, persoalan syar‟i terus bermunculan, baik dalam
kaitannya dengan ibadah mahdloh maupun ibadah ghair mahdloh, di dalam semua lapangan
kehidupan, baik ekonomi, politik, kesehatan, rumah tangga, dll. Di dalam persoalan-
persoalan tertentu Alqur‟an dan Al-hadis belum menjelaskan secara detail-eksplisit hukum
tersebut, padahal tetap memerlukan solusi agar tidak keluar dari syari‟at Islam. Jalan
keluarnya adalah ijtihad. Jadi ijtihad sangat perlu sebagai sumber penetapan hukum yang
masih belum jelas. Ijtihad diperlukan karena Nabi Saw. telah wafat, Alqur‟an dan Sunnah
Rasul telah berhenti, sedangkan persoalan agama terus bermunculan yang memerlukan
penanganan secara hukum.
91

Dapat diuraikan di bawah ini bahwa ijtihad memiliki urgensi dan peran penting dalam
pengembangan hukum Islam, di antaranya:
1. Agar hukum Islam dapat ditetapkan secara fleksibel, sehingga tidak kaku.
2. Dapat memudahkan penerapan ajaran Islam menurut situasi dan kondisi yang ada.
3. Dapat mengembangkan intelektualitas umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Dapat meningkatkan dinamika masyarakat Islam yang heterogen, namun senantiasa hidup
toleran dengan ukhuwah islamiyah yang berlandaskan Alqur‟an dan Hadis sebagai
pedoman hidup dan kehidupan.

C. Objek Ijtihad
Objek material ijtihad adalah hukum Islam, sedangkan objek formalnya adalah
hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit di dalam Alqur‟an dan Hadis, misalnya
hukum transplantasi organ tubuh, bayi tabung, clonning manusia, pasar bebas dan lain-lain.
Oleh karena itu hukum-hukum yang sudah jelas seperti hukum zina, judi, shalat lima waktu,
bukan objek kajian ijtihad. Salah satu kaidah ijtihad adalah tidak ada tempat bagi ijtihad
dalam persoalan yang sudah jelas nashnya.
Keharaman arak, babi, zina, riba, judi, dan menikah dengan nonmuslim, semuanya
telah ditegaskan di dalam Alqur‟an. Tafsirannya pun jelas, para ulama terdahulu pun tidak
berbeda pendapat atas keharamannya. Adapun soal-soal rinciannya, misalnya bagaimana
bunga bank, apakah termasuk riba atau bukan, itulah yang menjadi objek kajian ijtihad.

D. Ruang lingkup Ijtihad


Ruang lingkup kajian ijtihad adalah semua persoalan diniyah, baik menyangkut
aqidah, syari‟ah maupun akhlak, yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Alqur‟an dan
Sunnah Rasulullah Saw.
Ijtihad memiliki ketentuan dan ruang lingkup sebagai berikut:
a. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdlah. Urusan ibadah mahdlah
telah diatur oleh Alqu‟ran dan Hadis secara jelas dan terperinci bahkan dicontohkan dan
dipraktikkan oleh nabi Muhammad Saw. sebagai contoh dalam hidup dan kehidupannya.
b. Ketetapan ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolut tetapi sifatnya relatif, karena
itu hasil ijtihad bisa saja berubah dari waktu ke waktu. Apalagi ada hasil ijtihad yang lebih
baik dan lebih bisa dipertanggungjawabkan pada situasi dan kondisi tertentu.
92

c. Hasil ijtihad pribadi seorang ulama bisa dibantah oleh hasil ijtihad ulama lain. Hasil
ijtihadnya juga hanya mengikat sikap hukum ulama itu, tetapi tidak mengikat sikap hukum
ulama lainnya.
d. Hasil ketetapan ijtihad bersifat kondisional dan situasional, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Kadangkala hanya berlaku untuk satu masa
atau tempat saja tapi tidak berlaku untuk masa atau tempat yang lain.
e. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Alqur‟an dan Hadis. Jika ada hasil
ijtihad yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis, maka yang dikalahkan adalah hasil
ijtihad dengan kata lain hasil ijtihadnya gugur dan tidak dapat dipakai dalam hidup dan
kehidupan manusia.
f. Berijtihad dalam prosesnya harus mempertimbangkan berbagai aspek, di antaranya aspek
lingkungan, aspek manfaat dan atau mudlarat (akibat), aspek motivasi, tujuan, maksud,
dan aspek nilai-nilai yang menjadi ciri khas ajaran islam yang bersifat rahmatan lil’alamin
(rahmat bagi seluruh alam), bukan hanya untuk umat Muhammad Saw. dan umat lainnya
tetapi juga alam semesta.
g. Ijtihad mencakup bidang mu’amalah (perdata), jinayah (pidana), siyasah (politik), ahwal
al-syakhsiyyah (ihwal kekeluargaan), da‟wah, sains, teknologi, seni, dan lain sebagainya.
h. Hasil ijtihad ulama secara kolektif, komprehensif, yang mengakomodir semua unsur,
selayaknya mengikat semua umat Islam yang diwakili oleh ulama di wilayah itu, bahkan
umat dalam wilayah yang lebih luas.

E. Syarat-syarat Mujtahid
Al-Ghazali menjelaskan syarat mujtahid hanya pada dua syarat saja. Pertama,
menguasai pengetahuan-pengetahuan ilmu syara‟ (agama), yang memungkinkan seorang
mujtahid bertindak proporsional dalam meneliti suatu persoalan, yaitu ia bisa mendahulukan
apa yang mesti didahulukan, dan mengakhirkan apa yang mesti diakhirkan. Kedua, seorang
mujtahid mestilah seorang yang adil dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan yang tercela.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa syarat yang kedua (adil) adalah merupakan syarat
diterimanya fatwa, bukan syarat sahnya ijtihad. Oleh karena itu, jika seseorang mendalam
ilmunya, tetapi ia tidak menggambarkan keadilan dirinya, maka ia berijtihad untuk dirinya
saja, tidak untuk yang lainnya dalam wujud fatwa. Begitupun dengan al-Syathibi yang
mensyaratkan dua persyaratan dalam berijtihad, tetapi beda isi dengan al-Ghazali. Pertama,
memahami secara sempurna maqashid al-syari’ah. Kedua, mempunyai kapasitas dalam
mengambil kesimpulan hukum sebagai gambaran dari pemahamannya.
93

Tetapi uraian secara terperinci dalam menentukan syarat-syarat ijtihad, para „ulama
membaginya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu al-syuruth al-‘ammah (syarat-syarat umum), al-
syuruth al-khashshah atau al-syuruth al-tahliliyyah (syarat-syarat khusus atau terperinci), dan
al-syuruth al-takmiliyyah (syarat-syarat penyempurna). Penjelasan dari ketiganya adalah
sebagai berikut.
1. Al-Syuruth al-‘Ammah (syarat-syarat umum)
Yang termasuk persyaratan yang pertama, yaitu:
a. Mujtahid mesti seorang muslim bertauhid, yakni mengetahui dan meyakini
keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya. Kemudian jua membenarkan
Rasul Saw. dan apa yang dibawa berupa syari‟at, sehingga seorang mujtahid
menjadikan hal itu menjadi rujukan utamanya.
b. Mujtahid adalah seorang yang baligh, karena jika masih kecil tidak memenuhi syarat
ilmu dalam mengetahui fiqih dari berbagai aspeknya.
c. Mujtahid adalah orang yang berakal, karena tanpa akal tidak akan mendapat ilmu,
pemahaman, dan lainnya.
d. Mujtahid mesti seorang yang faqih al-nafs, yaitu orang yang mempunyai kemampuan
dalam menyimpulkan hukum-hukum fiqih dari dalil-dalilnya.
2. Al-Syuruth al-Khashshah atau al-Syuruth al-Tahliliyyah (syarat-syarat khusus
atau terperinci)
Syarat ini adalah syarat yang dilihat dari keahlian, sebagaimana yang dijelaskan Yusuf al-
Qardhawi, bahwa syarat- tersebut adalah sebagai berikut.
a. mengetahui dan menguasai arti ayat-ayat Alqur‟an, khususnya tentang ayat-ayat
hukum, baik menurut bahasa maupun syari‟ah.
b. mengetahui dan menguasai hadis-hadts nabi Saw., khususnya hadis-hadis yang
berkaitan dengan hukum, baik menurut bahasa maupun syari‟ah.
c. mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya.
d. mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma‟ „ulama, sehingga
ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma‟.
e. mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
f. mengetahui maqashid al-syari’ah secara umum.
g. mengetahui kondisi masyarakat dan kehidupan atau lingkungan.
h. mempunyai jiwa adil dan taqwa.
3. Al-Syuruth al-Takmiliyyah (syarat-syarat penyempurna)
94

Di antara syarat penyempurna ini adalah sebagai berikut:


a. mengetahui peniadaan yang mendasar, yaitu seorang mujtahid mengetahui bahwa
yang mendasar itu adalah meniadakan bahwa ia tidak berhukum kecuali apa yang
telah digariskan oleh syara‟, tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh
syara‟, tidak ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil. Imam al-Ghazali
mengibaratkannya kepada dalil akal, karena akal yang benar tidak akan menolak dalil,
tapi justru menguatkannya.
b. Memahami maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syari‟at). Dimana al-Syathibi dan al-
Qaradhawi memasukannya sebagai salah satu syarat utama. Al-Syathibi dalam al-
muwafaqat menyebutkan bahwa maslahah atau maqashid al-syari'ah terbagi kepada
al-mashalih al-dharuriyyah, al-hajiyyah, dan al-tahsiniyyah. Al-mashalih al-
dharuriyyah, menurutnya sesuatu yang harus ada dalam usaha menegakkan dan
menjaga urusan agama serta dunia, yang melingkupi penjagaan agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Al-mashalih al-hajiyyah ialah segala yang diperlukan manusia
agar penghidupan ini menjadi mudah dan lapang, hilanglah kesempitan dan
kesukaran, tetapi tidak mengarah kepada kerusakan dan kebinasaan. Sedangkan al-
mashalih al-tahsiniyyah adalah segala yang berhubungan dengan keindahan dalam
kehidupan, baik bagi individu maupun masyarakat. Jika hal ini tidak ada hanya
dipandang kurang baik saja.
c. Mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah. Dalam hal ini Imam Ibn al-Subki
memasukannya sebagai salah satu syarat dalam memahami maksud syari‟ (Allah
Swt). Dan yang dimaksud dengan kaidah kulliyyah adalah kaidah-kaidah al-kulliyyah
al-fiqhiyyah, seperti “al-dhararu yuzalu” (bahaya itu akan hilang) atau al-yaqin la
yazulu bi al-syak (keyakinan tidak akan hilang dengan keraguan).
d. mengetahui tempat-tempat perselisihan. Mengutip perkataan Qatadah, ia berkata:
“barang siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf (perbedaan), maka hidungnya tidak
mencium pemahaman.” Hisyam ibn „Ubaid Allah al-Razi berkata: “barang siapa yang
tidak mengetahui perbedaan para fuqaha, maka ia bukan faqih.”
e. mengetahui ‘urf (adat kebiasaan) yang berjalan di suatu negeri. Dengan pengetahuan
ini, dapat mengambil kebijakan hukum secara proporsional. Dalam hal ini al-Qurafi
mengatakan bahwa pengetahuan terhadap ‘urf adalah urusan yang wajib yang tidak
ada perselisihan „ulama tentang hal itu. Sesungguhnya jika ada dua adat dalam dua
negeri, maka kedua adat itu tidak sama. Begitu pula hukum kedua negeri itu pun tidak
sama.
95

f. mengetahui mantiq (logika), sebagaimana yang dikemukakan al-Ghazali bahwa


seorang mujtahid mesti mengetahui pembagian dalil-dalil (akal, syari‟at,
wadh’iyyah/ibarat-ibarat bahasa), kesulitan-kesulitannya, dan syarat-syaratnya.
g. keadilan dan keshalihan mujtahid.
h. mempunyai sejarah dan pengalaman yang baik (tidak cacat).
i. mempunyai sifat wara’ (taqwa) dan ‘iffah (karisma) dari setiap hal yang akan
merusak kemuliaannya.
j. mempunyai ketenangan dalam berpikir, kebijaksaan dalam menjelaskan dan hati-hati
dalam berfatwa.
k. perasaan rendah diri di hadapan Allah dengan selalu berdo‟a kepada-Nya untuk
meminta petunjuk kebenaran.
l. ketsiqahan dirinya dalam keahliannya dan pengakuan masyarakat terhadapnya. Malik
ibn Anas pernah berkata: “Tidak pantas seorang „alim berfatwa sehingga dirinya dan
masyarakat melihatnya sebagai orang yang ahli dan pantas untuk berfatwa, dan begitu
pula ia diakui oleh „ulama dalam kepantasannya tersebut.“ Dalam perkataannya yang
lain, “aku tidak akan berfatwa sehingga ada 70 orang yang bersaksi bahwa aku ahli
dalam hal itu.”

Kesesuaian amal seorang mujtahid dengan ucapannya dan ilmunya. Allah berfirman dalam
QS. Al-Ahzab: 23 “Dan diantara orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah.

F. Metodologi Ijtihad
Ijtihad bisa dilakukan melalui beberapa teknik pendekatan qiyas, ijmak, istihsan,
maupun mashalaihul mursalah. Metode pendekatan ini dirumuskan oleh para imam
Mujtahidin yang sampai saat ini diakui akurasinya. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Qiyas (reasoning by analogy) adalah menentukan hukum sesuatu yang belum jelas
dengan cara membandingkan hukum sesuatu yang telah ada dengan hukum yang akan
dicari dengan melihat ciri-ciri persamaamnya (‘illat). Contoh: menurut Alqur‟an surat al-
Jumu‟ah ayat 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar azan jumat. Bagaimana
hukumnya perbuatan-perbuatan lain (selain jual beli) yang dilakukan pada saat azan
jumat? Dalam Alqur‟an maupun Hadis tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad
dengan jalan analogi. Yaitu kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat jumat
dilarang, maka demikian halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat
jumat juga dilarang. Contoh lain : di dalam Al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 23; seseorang
96

dilarang mengatakan “ah” (wala taqul lahuma uff = janganlah kami mengatakan “ah”)
kepada kedua orangtuamu. Perbuatan yang diharamkan dilakukan seorang anak kepada
orangtua secara ekplisit disebutkan mengatakan “ah”. Mengapa? karena kata-kata itu
menyakitkan hati, itulah illatnya. Bagaimana hukumnya apabila seorang anak mengatakan
“ gila luh” kepada orangtuanya. Apakah ia berdosa?, justeru itu lebih menyakitkan lagi
daripada kata-kata “ah”, maka mengatakan “gila luh” kepada orangtua, hukumnya lebih
haram lagi.
b. Ijmak (konsensus): yaitu menetapkan hukum yang belum jelas melalui musyawarah guna
mencapai kesepakatan pemikiran para ulama. Keputusannya segenap ulama ini dinamakan
ijmak. Jadi Ijmak merupakan ijtihad kolektif. Ada dua macam ijmak, yakni keputusannya
dihasilkan melalui adu pendapat dan penjelasan-penjelasan (bayan) para ulama dalam
suatu forum musyawarah terbuka. Inilah yang disebut dengan ijmak bayany, ijmak qauly
atau ijmak hakiki . Bisa jadi kesepakatan ini hanya bersikap no coment terhadap lontaran
ide, gagasan, hukum yang diketengahkan oleh seorang ulama. Dalam hal ini para ulama
tidak menerima dan tidak menolak dengan jelas melainkan hanya diam (sukut). Ini
disebut ijmak sukuti (bersikap diam dianggap setuju).
c. Istihsan (preference) ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas dengan cara
memilih satu di antara alternatif yang ada dengan pertimbangan mana yang paling ringan
keburukannya. Oleh para ulama istihsan disebut juga sebagai qiyas khafi (analogi samar-
samar), yaitu pengalihan hukum yang diperoleh dengan qiyas kepada hukum lain atas
dasar pertimbangan kemaslahatan. Contoh: pada kebolehan praktik jual beli secara as-
salam (bayar duluan).
d. Mashalihul mursalah (utlity): ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas, dengan
dasar penetapannya adalah dampak baik dan buruk bagi orang banyak, akibat
perbuatannya itu. Misalnya : Larangan mendirikan bangunan / rumah di kawasan hutan
serapan air. Pihak Pemerintah Daerah berhak melarang pembuatan rumah tersebut, dengan
pertimbangan bahwa, kalau wilayah itu dijadikan lahan pembangunan, maka akan
mengakibatkan kekeringan ke wilayah kota yang datar.

G. Kategori Mujtahid dan Muqallid


Abu Zuhrah dalam karyanya Ushul al-Fiqh menjelaskan tingkatan-tingkatan mujtahid:
a. Mujtahid dalam hukum syara’: mujtahid pada tingkat pertama ini menggali, menemukan,
dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum dari Al-Qur‟an
dan menyimpulkan hukum dari hadits nabi. Ia menggunakan qiyas dalam menetapkan
97

hukum atas sesuatu yang dilihatnya ada kesamaan ‘illat antara hukum yang sudah ada
nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihsan karena dilihatnya
qiyas tidak menyelesaikan masalah, dan menyelesaikan hukum atas dasar maslahah
mursalah, istishab dan dalil lain bila tidak menemukan nash yang memberi petunjuk.
b. Mujtahid Muntasib: adalah mujtahid yang dihubungkan kepada mujtahid yang lain. Ia
berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh
mujtahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkait kepada mujtahid sebelumnya dalam
menetapkan hukum furu’, meskipun hasil penemuan yang ditetapkannya ada yang
kebetulan sama dengan apa yang telah ditetapkan oleh mujtahid sebelumnya yang
dirujuknya. Keterikatan mujtahid ini, karena sebelumnya ia berguru kepadanya dan
mengambil cara-cara yang dipergunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Yang termasuk
mujtahid muntasib diantaranya, Abu Yusuf Muhammad, Muhammad ibn Hasan al-
Syaibani, yang berguru kepada Abu Hanifah, al-Muzani yang berguru kepada al-Syafi‟i,
Abd al-Rahman ibn Qasim yang berguru kepada imam Malik.
c. Mujtahid Madzhab: mujtahid ini adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhab tempat
ia bernaung, baik dalam lmu ushul maupun furu‟. Ia mengikuti temuan yang dicapai imam
madzhab dan tidak menyalahi ketetapan yang telah digariskan imamnya.
d. Mujtahid Murajjih: adalah mujtahid yang berusaha menggali dan mngenal hukum furu‟,
namun ia tidak sampai mengistinbatkan sendiri hukum dari syar‟i maupun dari nash
imamnya. Pengerahan kemampuannya hanya menemukan pendapat-pendapat yang pernah
diriwayatkan dalam madzhab dan mentarjihnya diantara pendapat-pendapat tersebut bagi
pengamalannya.
Sedangkan golongan Muqallid yaitu kalangan umat yang tidak mempunyai
kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengertian terminologi, juga tidak mempunyai
kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, bahkan ia juga tidak memahami dalil-dalil.
Dalam menyikapi apakah harus bersikap taqlid ketika belum mampu berijtihad,
disikapi berbeda di kalangan ulama. Di kalangan Nahdatul Ulama, membuat suatu ketentuan
keharusan taqlid bagi orang yang tidak memiliki kualifikasi mujtahid – meskipun ia
menguasai ilmu-ilmu yang dapat diakui untuk berijtihad – wajib mengikuti pendapat para
mujtahid dan mengikuti fatwa mereka yang ia kehendaki. Hal ini berdasarkan QS. An-
Nahl:43, “... maka bertanyalah kepada orang yang berpengetahuan jika kamu tidak
mengetahui”.
Dengan demikian, orang yang tidak mengerti beberapa hal yang penting, diwajibkan
untuk bertanya. Ini merupakan taqlid terhadap orang yang berpengetahuan (‘alim). Ayat di
98

atas bersifat umum dan mencakup semua orang yang menjadi sasaran ayat tersebut, dan ayat
tersebut tentunya harus umum dan mencakup pertanyaan mengenai segala sesuatu yang tidak
diketahui. Telah disepakati di kalangan NU bahwa orang-orang yang bertentangan dan
berbeda pendapat, sebaiknya bertanya (meminta fatwa) kepada para mujtahid. Orang
awampun sebaiknya harus mengikuti mujtahid (taqlid) dalam menjalankan hukum-hukum
syara‟.
Pada umumnya para ulama sepakat bahwa orang awam tidak diharuskan bersikap
konsisten pada satu mazhab dalam setiap kejadian (walau ada juga fatwa tentang haramnya
yanqul yakni mengambil satu bagian dari pendapat dari mazhab A dan mengambil sebagian
pendapat dari mazhab B). Andaikata ia menganut mazhab tertentu, Syafi‟i umpamya, maka ia
tidak diwajibkan menganutnya terus menerus, melainkan diporbolehkan berpindah ke
mazhab lainnya. Misalnya dalam shalat berjamaah, seseorang yang mengikut mazhab Syafi‟i
(muqallid) ketika shalat Dzuhur, boleh mengikuti imam yang bermazhab lain ketika shalat
Ashar. Namun orang awam yang tidak memiliki semacam pemikiran istidlal, dan tidak
membaca satu kitab pun mengenai masalah furu‟ mazhab, apabila ia mengatakan “saya
bermazhab syafi‟i”, hal ini tidak dapat diterima begitu saja.
Berbeda dengan Muhammadiyah, sejaka awal didirikannya mazhab ini justeru
mengajak umat untuk kembali dan merujuk secara langsung kepada Alqur‟an dan Sunnah,
dan melarang taqlid. Kemudian Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih, dan
merumuskan manhaj tarjih yang dijadikan rujukan untuk melakukan ijtihad. Hai ini secara
impilsit menegaskan tentang perlunya berijtihad bagi setiap warga Muhammadiyah, baik
yang memiliki kemampuan berijtihad maupum masyarakat awam.

H. Faktor Penyebab Perbedaan Pendapat


Sumber utama hukum Islam adalah Alqur‟an dan Sunnah Rasul. Dari kedua sumber
inilah para ulama dengan segala kepakarannya di bidang diniyah mengutip ayat dan hadis
yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan permasalahan yang ingin diputuskan.
Mereka mengumpulkan ayat dan hadis, terus diklasifikasi, selanjutnya ditafsirkan, lantas
terakhir disimpulkan.
Dalam proses analisis ayat Alqur‟an dan hadis guna menetapkan suatu hukum,
mereka menggunakan seperangkat ilmu alat, yakni:
1. Ulum al-Qur’an dengan berbagai macam cabang keilmuannya seperti ilmu tafsir, ilmu
nasakh – mansukh, ilmu asbabul Wurud, ilmu gharibil Qur’an dan lain-lain.
99

2. Ulum al-hadits dengan segala cabangnya yakni ilmu mushtalah hadits, ilmu asbabul
wurud hadits, ilmu jarh wa al-ta’dil, ilmu gharibil hadits, ilmu naqd al-hadits, ilmu
nasakh wal mansukh, dan lain-lain.
3. Ulum al-fiqh dengan segala cabang keilmuannya seperti ilmu ushul fiqih, qawaid al-fiqh,
ilmu tarikh tasyri‟ dan sebagainya.
4. Bahasa Arab yang terdiri dari ilmu Nahu, ilmu Sharaf, Balaghah, Bayan, Mani, Badi’
dan lain-lain. Jadi tidak sembarangan orang melakukan ijtihad. Seorang ulama yang mau
berijtihad perlu memiliki seperangkat ilmu yang diperlukan untuk ijtihad, kecuali Ijtihad
yang mau dipakai sendiri dan dalam keadaan terdesak.
Hal lainnya yang diperlukan seorang mujtahid (pakar ijtihad) selain ilmu adalah niat
yang ikhlas karena Allah untuk mencari kebenaran tanpa harus terikat dengan pendapat nenek
moyang, kesabaran yang amat kuat, ketelitian yang tinggi, sikap kerendahan hati, sikap
istiqamah (konsisten), dan goal oriented.
Dengan syarat keilmuan dan psikologis yang begitu berat, ternyata hasil ijtihad ulama
berbeda-beda. Ada beberapa faktor penyebabnya antara lain.
1. Kemampuan berpikir setiap ulama berbeda sehingga berbeda dalam menyimpulkan.
2. Jumlah reference yang digunakan berbeda, sangat mungkin ulama ini menguasai 20
hadis dalam satu persoalan sementara ulama yang lain mengetahui 30 hadits.
3. Berbeda latar belakang kehidupan dan budaya.
4. Berbedanya paradigma berpikir, yang satu musyaddid amat ketat dalam menyeleksi hadis
sementara yang lain agak longgar. Ulama ini menolak hadis dhaif walaupun lemahnya
hanya sedikit, sementara ulama yang lain masih toleran terhadap hadis dhaif.
Di samping itu, karena mereka tidak hidup dalam periode yang sama dan tidak
bertempat tinggal di wilayah atau negara yang sama, akibatnya mereka tidak bisa saling
mengkomunikasikan masalah yang sedang diijtihadinya.
Sebenarnya perbedaan pendapat itu biasa dan dimaklumi oleh semua ulama, baik
Imam Hanafi, Maliki, Syafii maupun Hambali. Bahkan mereka juga berlapang dada untuk
membuang pendapatnya yang salah lantas mengambil pendapat siapapun yang dianggap
benar. Imam Syarfi‟i dengan tegas mengatakan : “Apabila pendapatku salah maka buanglah
ke luar pagar. Apabila kamu menemukan hadis yang shahih maka ambillah karena itulah
pendapatku”. Jadi semua ulama besar telah bersikap profesional akademis dalam menyikapi
hasil ijtihad.
Pada perkembangan berikutnya, setelah para imam Mujtahid itu wafat, muncullah
para muridnya yang mempromosikan ajaran gurunya dengan sedikit berlebihan, yakni fanatik
100

guru. Pendapat gurunya dianggap the best of all. Bahkan lama kelamaan muncul ta’asub guru
(kultus individu), sehingga persaingan ini lebih meruncing. Untuk membela fatwa gurunya
kadang sebahagian murid membuat fatwa berlebihan misalnya, siapa pun yang pindah
madzhab dari Syafi‟i ke Hanafi maka bunuhlah. Pihak murid Hanafi pun membalas dengan
fatwa yang kurang lebih sama. Muncul pula fatwa tentang haramnya yanqul yakni
mengambil satu bagian dari pendapat ulama A dan mengambil sebagian pendapat ulama B.
Menurut penulis, sebaiknya marilah kita mempelajari semua pendapat dan metode semua
ulama yang tersebar di banyak kitab, lalu kita klasifikasi, kita gunakan metodologi yang telah
dikembangkan para ulama tersebut ditambah dengan metodologi baru, kemudian kita terus
kaji sampai menemukan hukum yang dicari, misalnya hukum bayi tabung, inseminasi, bayi
cloning, bayi titipan, rental rahim, euthanasi, dan lain-lain.

I. Sikap Terhadap Khilafiyah dan Bid’ah


Dalam tatanan fiqhiyah kita juga mengenal istilah khilafiyah dan bid’ah. Khilafiyah
adalah suatu masalah yang memiliki dasar hukum, baik Alqur‟an maupun hadis tetapi ada
masalah, antara lain: (1). Terjadi ketidaksepakatan dalam memahami ayat Alqur‟an (2). Tidak
sepakat terhadap kedhaifan hadits (3). Sepakat atas kesahihan hadis tetapi berbeda dalam
menarik kesimpulan. Contoh : isyarah ketika tasyahud, telunjukknya digoyang-goyang atau
diam saja? Dalam hal ini para ulama memiliki kewajiban untuk membahas persoalan
khilafiyah secara intensif, baik dalam musyawarah, seminar, diskusi bahkan dalam debat
terbuka. Akan tetapi apabila tidak ada titik temu setelah melalui sejumlah diskusi, maka
masing- masing pihak boleh berpegang dan mengamalkan pendirian masing- masing.
Adapun bid’ah ialah amal ibadah yang (1). Memiliki dasar hadis yang disepakati
kedhaifannya tetapi tetap digunakan untuk penambahan amal (2). Tidak memiliki landasan
Alqur‟an maupun hadis. (3). Benar-benar amalan baru yang semata-mata hasil pemikiran
manusia. Dalam hal ini, sebaiknya para ulama memberi tahu kepada jamaahnya dan
masyarakat bahwa perbuatan itu benar-benar tanpa dalil yang sah. Jadi, kategorinya sebagai
amal bid‟ah yang harus dijauhi.

J. Kritik terhadap Ijtihad Kelompok Islam Liberal


Saat ini para tokoh Islam liberal berijtihad dengan mengabaikan ayat-ayat Alqur‟an
yang secara tekstual tidak mendukung ide-idenya, bahkan kelompok Islam liberal benar-
benar mengabaikan 100% hadis Ahad. Karena mereka mendewakan akal, maka akal manusia
dianggap lebih baik daripada hadis Ahad. Mereka hanya mau menerima hadis Ahad apabila
101

tidak bertentangan dengan kesimpulan rasionya. Kelompok ini dikategorikan sebagai


kelompok Inkar al-Sunnah.
Cara seperti ini oleh mereka dianggap Islam modern, reformis, Islam rasional, Islam
Masa depan, atau Islam futuristik. Bagaimana mungkin sunnah nabi dinilai lebih rendah
daripada nalar manusia. Padahal apa yang benar-benar dikatakan dan dilakukan nabi adalah
bimbingan wahyu.
Seluruh hadis tanpa kecuali, telah melalui serangkaian uji sanad (uji sumber berita),
uji rawi (uji personality) dan uji matan (uji material) sehingga validasi dan akurasinya benar-
benar dapat dipertanggung jawabkan. Pada hakikatnya uji hadis adalah uji sejarah, padahal
tidak ada satu sisi sejarah di mana pun di belahan dunia ini, tentang sejarah apapun, yang
diterima keabsahannya setelah melalui serangkaian uji seperti uji hadits. Tidak pernah ada
ahli yang spesial menguji kecerdasan dan kejujuran penulis sejarah. Tidak ada yang menguji
kebenaran sejarah secara komprehensif, paling-paling hanya uji material. Sejarah dunia,
misalnya, tidak pernah melalui serangkain uji sumber berita, uji kecerdasaran dan kejujuran
penulisnya. Justeru, sejarahlah yang paling banyak kemungkinan salah dari pada hadis.
Warna sejarah sangat tergantung kepada siapa penulisnya, apa niatnya, siapa yang berkuasa
waktu itu, menulis untuk kepentingan siapa, siapa yang mengontrolnya, dan lain-lain.
Setiap muslim seharusnya, jauh lebih percaya kepada ulama ahli hadis yang sudah
teruji kesalehannya, teruji kecerdasannya, teruji kejujurannya, teruji kehati-hatiannya, bahkan
teruji keikhlasannya dalam membela agama Allah, dari pada orang-orang yang sekadar
mengaku reformis tetapi tidak teruji sebagaimana terujinya ahli hadis.

K. Tugas
Instruksikan kepada mahasiswa untuk mendiskusikan dan menelaah tentang beberapa contoh
masalah-masalah berikut:
1. Kasus face off lisa, 23 tahun, 2002 dan operasi plastik karena alasan transgender
dihubungkan dengan kandungan Alqur‟an surah at-tin ayat 4.
2. Kasus permohonan melakukan eutanasia tahun 2004 oleh seorang suami karena tidak
tega melihat isterinya yang tergolek koma selama 2 tahun.
3. Transplantasi organ tubuh, dan lain-lain.

L. Daftar Pustaka

Al-Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan „Ali ibn Abi ibn Muhammad, al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam,‟Allaqa „alaih al-„Allamah al-Syeik „Abd al-Razzaq „Afifi, jilid 4, Riyadh: Dar al-
Shami‟i, 2003.
102

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail, Shahih Bukhari, Dar Al-fikr, Beirut, 1984.

Al-Ghazali, Al-Imam Abū Hamid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfa min ‘ilm al-
Ushul, jilid 2, Dar al-Fikr, t.th.

Al- Qardhawi, Yusuf, al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah ma’a Nazharat Tahliliyyah fi al-
Ijtihad al-Mu’ashir, Kuwait: Dar al-Qalam, al-Thab‟ah al-Ula, 1996.

Al- Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
jilid 4, Dar al-Fikr, t.th.

Al-„Umri, Nadiyah Syarif, Al-Ijtihad Fi al-Islam Ushuluh Ahkamuh Afaquh, Muassasah al-
Risalah, al-Thab‟ah al-Tsalitsah, 1986.

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Ausop, Asep Zaenal, Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil, Cendikia
Berakhlak Qurani, Salamadani, Bandung, 2014.

Hasyim Asy‟ari, Risalah Ahlussunnah wal al-Jama’ah, dalam M.Arief Hakim: Editor,
Yogyakarta: LPKSM, 1999.

Miftah Faridl, Pokok-Pokok Ajaran Islam, Pustaka, Bandung, 2004.

Muhammad Abu Zuhrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, t.th.

Syahidin, dkk., Pendidikan Agama Islam Kontemporer, Yayasan Masyarakat Indonesia


Baru, Jakarta, 2014.
103

Anda mungkin juga menyukai