Anda di halaman 1dari 5

Mengenai 

bunga, dalam hal besarnya bunga tidak diatur dalam suatu perjanjian, maka
undang-undang yang dimuat Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948 telah menetapkan
bunga dari suatu kelalaian/kealpaan (bunga moratoir) yang dapat dituntut oleh kreditur dari
debitur adalah sebesar 6 (enam) % per tahun. Jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 1250
KUH Perdata, bunga yang dituntut oleh kreditur tersebut tidak boleh melebihi batas
maksimal bunga sebesar 6 (enam) % per tahun, sebagaimana yang ditetapkan dalam
Undang-Undang tersebut.
 
Mengenai denda yang Anda tanyakan (dalam praktik disebut penalti), maka sesuai dengan
apa yang saya uraikan di bagian awal, akibat hukum dari wanprestasi menurut Pasal 1239
KUH Perdata adalah biaya (kosten), rugi (schaden) dan bunga (interesten).
Permasalahannya adalah apakah denda yang belum diatur sebelumnya dapat dikualifikasikan
sebagai biaya atau rugi.
 
Dalam hal ini Subekti berpendapat bahwa Biaya adalah segala pengeluaran atau ongkos
yang secara nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Sedangkan Rugi adalah kerugian
karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si
debitur. Dari definisi biaya dan rugi menurut Subekti tersebut, jelas bahwa denda yang
belum diperjanjikan sebelumnya tidak dapat dikualifisir sebagai biaya dan rugi. Namun
demikian, sudah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa pihak yang dikalahkan akan dihukum
untuk membayar biaya perkara.
 
Sebagai tambahan informasi, dalam praktik, memang tidak mudah untuk membedakan
kualifikasi serta akibat dari Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum yang diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Secara sederhana, dari segi kualifikasi saya berpendapat
bahwa cakupan wanprestasi yang biasanya timbul dari suatu perjanjian adalah lebih sempit
dari Perbuatan Melawan Hukum. Sedangkan dari segi akibatnya, suatu Perbuatan Melawan
Hukum dapat menerbitkan ganti kerugian secara luas, bukan hanya secara materill namun
juga immateriil.

Hukum Indonesia memungkinkan permintaan penggantian kerugian menurut undang-undang yang dapat
berupa ‘kosten, schaden, en interessen’, sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Pasal ini menyebutkan:
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si
berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya". 
Menurut Subekti (1996: 148), yang dimaksud kerugian yang dapat dimintakan tidak hanya biaya-biaya yang
sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si
berpiutang (schaden), tetapi juga kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan diperoleh
seandainya di berutang/debitor tidak lalai menjalankan kewajibannya (winsderving).
Pada prinsipnya, ganti rugi yang diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata secara logis besarnya adalah sebesar kerugian
yang diderita atau kerugian yang nyata (feitelijke schade). Namun Pasal 1249 KUH Perdata memberikan
pengecualian, berupa kesepakatan kedua belah pihak yang telah membuat perjanjian. Jika sudah diperjanjikan
sebelumnya, maka Pasal 1249 KUH Perdata menegaskan tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih tinggi atau
yang lebih rendah dari apa yang diperjanjikan. Klausula perjanjian semacam itu disebut janji ganti rugi/denda
atau ‘schadevergoeding/boete beding’. (J. Satrio, 1999: 145). 
Jika sudah diperjanjikan sebelumnya, maka Pasal 1249 KUH Perdata menegaskan tidak boleh diberikan suatu
jumlah yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari apa yang diperjanjikan
Terkait dengan bunga, ada beberapa pertanyaan mendasar: apakah ada batasan jumlah bunga yang boleh diajukan?
Dalam hal-hal apa tuntutan bunga dapat diajukan kepada tergugat? Apa konsekuensinya jika para pihak sebelumnya
tidak memperjanjikan bunga dalam perjanjian mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut telah
berkembang dalam praktik pengadilan. 
Jenis Bunga Sebagai Ganti Rugi
Dari istilah teknis hukum, J. Satrio (1999: 207) membagi bunga dalam konteks ganti rugi Pasal 1243 KUH Perdata ke
dalam tiga jenis yakni bunga moratoir, bunga konventional, dan bunga kompensatoir.
Bunga moratoir merupakan bunga yang terutang karena debitur terlambat memenuhi kewajibannya membayar
sejumlah uang. Jadi, bunga jenis ini adalah ganti rugi dalam wujud sejumlah uang sebagai konsekuensi dari tidak
dipenuhinya atau terlambat memenuhi perjanjian yang berisi kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur.
Berkaitan dengan bunga moratoir, Pasal 1250 KUH Perdata menyebutkan penggantian biaya, rugi, dan bunga itu
hanya harus dibayar terhitung mulai sejak ia meminta di muka pengadilan kecuali dalam hal-hal lain yang ditetapkan
undang-undang berlaku demi hukum. 
Isi perjanjian kedua belah pihak harus berupa kewajiban membayar sejumlah uang, termasuk di dalamnya utang
berupa cek (putusan Mahkamah Agung No. 367 K/Sip/1972). Putusan-putusan pengadilan Indonesia mengalami
perkembangan tentang besarnya bunga moratoir ini. Pada dekade 1950-an pengadilan cenderung memegang bunga
angka 6 persen; tetapi pada 1970-an pengadilan menjatuhkan bunga moratoir sebesar 3 persen per bulan (Putusan
MA No. 665 K/Sip/1973). Malahan ada yang menjatuhkan angka 2 persen sebulan dihitung sejak dimasukkannya
gugatan ke pengadilan (Putusan MA No. 367 K/Sip/1972 dan putusan No. 452 K/Sip/1975).
Bunga konventional adalah bunga yang disepakati para pihak. Lantaran sudah diperjanjian para pihak sejak awal,
maka bunga ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Bunga konventional bukanlah ganti rugi, tetapi
karena disepakati para pihak, maka sesuai Pasal 1338 KUH Perdata, sifatnya menjadi mengikat para pihak yang
berjanji. Bunga konventional termasuk isi perikatan sehingga tunduk pada asas kebebasan berkontrak. Menurut J.
Satrio (1999: 216) pada prinsipnya jika para pihak telah menetapkan suatu prosentase bunga tertentu (bunga
konventional), maka yang berlaku adalah bunga yang telah disepakati. Pandangan semacam ini terlihat antara lain
dalam putusan MA No. 401 K/Sip/1972 tanggal 7 Oktober 1972, dan putusan MA No. 475 K/Sip/1974 tertanggal 25
Mei 1977.
Bunga kompensatoir adalah semua bunga di luar bunga yang diperjanjikan. Jadi, bunga moratoir sebenarnya
merupakan bagian dari bunga kompensatoir. Intinya, bunga kompensatoir adalah bunga selain bunga konventional
dan bunga moratoir. Ini bisa terjadi jika debitur tidak memenuhi kewajibannya terhadap kreditur sehingga kreditur
terpaksa mengambil tindakan yang merugikan dirinya guna menghindari kerugian yang lebih besar lagi seperti
menjual seluruh hartanya. Uang yang ia peroleh dari hartanya kalau ia tabung atau investasikan dalam usaha, tetapi
kehilangan kesempatan itu.
Jadi, bunga ini tidak bersumber dari keterlambatan debitur membayar sejumlah uang, bukan bunga moratoir yang
termasuk dalam keuntungan yang diharapkan. Contoh yang umum disebut adalah kelalaian wali memenuhi
kewajibannya berdasarkan Pasal 391 KUH Perdata (Jika wali dalam waktu satu tahun telah melalaikan
memperbungakan beberapa jumlah uang dengan cara yang diatur dalam pasal ini, maka mereka harus membayar
bunga tersebut menurut undang-undang).
Beberapa contoh putusan pengadilan mengenai bunga, yang relevan dalam perkembangan hukum, dapat dilihat pada
tabel berikut (Putusan-putusan Mahkamah Agung terkait Bunga).
Bunga atas Bunga
Bolehkah dituntut bunga atas besaran bunga yang sudah diperjanjikan? Pasal 1251 KUH Perdata memberikan
jawaban atas pertanyaan ini. Pasal ini menyatakan bunga dari uang pokok yang dapat ditagih dapat pula
menghasilkan bunga, baik karena berdasarkan permintaan di depan pengadilan maupun karena persetujuan khusus,
sepanjang permintaan itu mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu tahun.
Itu yang disebut dengan bunga berbunga, yakni bunga yang sudah jatuh waktu tetapi belum dibayar oleh debitur
sehingga menghasilkan bunga lagi. Namun tidak berlaku otomatis. Syaratnya, bunga itu harus dituntut di muka
pengadilan atau sejak semula sudah diperjanjikan. Pembatasan lainnya: hanya untuk bunga yang harus dibayar dalam
satu tahun. Menurut J. Satrio (1999: 229), ketentuan Pasal 1251 KUH Perdata dimaksudkan  untuk melindungi
debitur dari beban bunga yang terlalu berat. Pembentuk undang-undang khawatir bahwa debitur yang pada umumnya
meminjam uang dalam keadaan terdesak akan menderita kerugian yang sangat berlebihan.
Bunga yang sudah jatuh waktu tetapi belum dibayar oleh debitur sehingga menghasilkan bunga lagi, tapi tidak
berlaku otomatis
Dalam suatu perkara yang disidangkan Pengadilan Negeri Biak, Penggugat telah mengajukan tuntutan agar Tergugat
membayar antara lain ‘menanggung bunga atas uang Rp1.389.920.804,53 dengan bunga berbunga 1,9 persen per
bulan sejak Mei sampai Septrember 1997 sebesar Rp3.334.102.332,09’. Petitum bunga berbunga ini tak sampai
dipertimbangkan karena gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan putusan ini dikuatkan hingga ke
Mahkamah Agung (vide Putusan No. 430 K/Pdt/2000). 
Dalam suatu perkara yang sidangkan di PN Medan, Tergugat telah melawan tuntutan bunga berbunga dengan
argumentasi berikut: “Mohon kiranya Pengadilan Negeri Medan menyatakan gugatan Penggugat sebagai gugatan niet
ontvankelijverklaraad berdasarkan alasan onscuur libel dan tuntutan bunga berbunga adalah bertentangan dengan
Geldschieter Ordonantie dan UU Perbankan” (vide Putusan PN Medan No. 353/Pdt.G/1998/PN.Mdn tanggal 20 Mei
1999).
Penolakan pengadilan atas bunga berbunga atau bunga atas bunga dapat dilihat dari pertimbangan hakim dalam
putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 5/Pdt.G.S/2018/PN. Bjm tertanggal 9 Agustus 2018, yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Hakim mempertimbangkan bahwa Pasal 1251 KUH Perdata hanya membatasi ketentuan
bunga berbunga sepanjang mengenai bunga uang pokok yang dapat ditagih dan terhadap angsuran pokok yang dapat
ditagih tidak dapat mengasilkan bunga karena uang pokok sejak awal menghasilkan bunga sehingga tidak dapat
diterapkan bunga untuk kedua kalinya. Sedangkan mengenai bunga uang pokok yang dapat ditagih harus dibuat
perjanjian khusus, dalam arti harus secara tegas dan jelas berapa ketentuan bunganya.
Hakim menyatakan “Bahwa setelah mempelajari dengan saksama Pasal 3 ayat (4) Surat Perjanjian Kredit yang
mengatur denda atau bunga berbunga tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai besarnya bunga, di samping
itu kalau dilihat penerapan bunga pinjaman yang dilakukan Penggugat menurut hemat pengadilan sudah cukup
tinggi terhadap Tergugat yang ekonominya sangat lemah, sehingga sangatlah adil apabila tuntutan denda
penggugat terhadap tergugat haruslah ditolak”.
 

Anda mungkin juga menyukai