Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Manajmen
Mutu Pendidikan Yang Diampu Oleh:
Disusun oleh:
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah
dengan berjudul “Manajemen Berbasis Sekolam (MBS)” dapat selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas terstruktur dari Bapak Dani
Hoeruddin M.Pd pada bidang mata kuliah Manajemen Mutu Pendidikan. Selain itu,
penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang konsep dalam
Manajemen Berbasis sekolam (MBS) Pendidikan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dani Hoeruddin M.Pd, berkat tugas
yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu
dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih banyak kesalahan.
Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidak sempurnaan yang pembaca
temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca
apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii
A. KESIMPULAN ............................................................................................................ 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya UU No.22/1999 tentang otonomi daerah berimplikasi kepada otonomi
pendidikan dan otonomi sekolah, maka jadilah Indonesia menganut konsep manajemen
pendidikan berbasis sekolah (school based management) atau biasa disingkat MBS.
Sebelum adanya otonomi daerah ini pengelolaan pendidikan yang dianut Indonesia
sangat bersifat sentralistik, dimana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan
dan daerah bersifat pasif; hanya sebagai penerima dan pelaksana pemerintah pusat.
MBS memberiksn keluasan bagi sekolah untuk menentukan arah dan kebijakan
yang relevan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. MBS juga memberikan
peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
pendidikan di sekolah.
Penting bagi guru, calon guru, maupun pemerhati pendidikan untuk benar-benar
memahami konsep MBS ini agar nantinya bisa menjalankan manajeman pendidikan di
sekolah sesuai dengan apa yang tertuang dalam konsep MBS. Untuk itu dalam makalah
ini akan dikupas mengenai pengertian MBS, alasan mengapa perlu adannya MBS,ciri-
ciri MBS, tujuan MBS, manfaat MBS, faktor-faktor yang perlu diperhatikan
dalam MBS, dan model-model MBS.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar
permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam makalah ini penulis
merumuskan beberapa pokok, seperti:
1. Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
2. Mengapa perlu adanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
3. Apa saja ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
4. Apa saja tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
5. Apa manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
6. Faktor-faktor apa yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)?
7. Berikan contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
1
C. Tujuan Masalah
Berdasar perumusan masalah diatas, pengetahuan tentang Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) penting untuk diketahui bagi pendidikan. Secara umum tulisan ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2. Mengetahui perlunya ada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
3. Mengetahui ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
4. Mengetahui tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
5. Mengetahui manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
6. Mengetahui faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS).
7. Mengetahui contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
BAB II
3
pada itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan
oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali,
mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat
maupun pemerintah.
MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan
kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para
peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk
meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok
yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang
dipandang memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan
berikut :
1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta
didik, orangtua, dan guru;
2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal;
3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah;
4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,
manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus
meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan
belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain,
kemudian memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur
masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan
yang telah dan sedang berlangsung selama ini.[2]
4
kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan
oleh pusat.
F. Korten (1981) menilai, system sentralistik kurang bisa memberikan
pelayanan yang efektif, kelemahan-kelemahan pola sentralistik tersebut selama ini
tidak pernah digubris. Ketika lahir Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi
Daerah yang mengharuskan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, mau tidak mau pola
sentralistik harus diubah. Diperlukan formula baru dalam pengelolaan pendidikan di
sekolah sesuai dengan tuntutan masyarakat dan berkembangnya peraturan baru. Tujuan
utama penerapan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu
dan relevansi pendidikan di sekolah.
Inovasi yang diharapkan timbul di sekolah serta bertambahnya prestasi
masyarakat untuk mendukung dan mengawasi sekolah, akan memberikan nilai positif
terhadap peningkatan mutu dan relevansi pendidikan (S. Bellen dkk, 2000).
Beberapa kegiatan pada tahap awal yang ditempuh dalam pelaksanaan MBS
antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sekolah, termasuk
pengelolaan sember daya dan penyusunan program untuk mencapai tujuan sekolah.
2. Memberikan wewenang kepada sekolah untuk mengelola sumber daya dan mengatur
rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas peraturan.
3. Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di
sekolah.
4. Mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah
dengan memberikan “block grant” yang dimanfaatkan bersama dengan anggaran dan
sumber-sumber lain.
5. Mendorong adanya transparasi dalam pengelolaan sekolah, mulai dari perencanaan
sampai dengan evaluasi. Dalam hal keuangan dengan membuat RAPBS yang
melibatkan kepala sekolah, guru serta pengurus BP3 dan juga tokoh masyarakat.
6. Mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkan
kretifitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar
yang aktif, efektif dan menyenangkan serta terciptanya kondisi sekolah yang “sayang
anak” (child friendly).
7. Bekerjasama dengan pemerntah untuk mendukung upaya pelaksanaan kegiatan rintisan
MBS di sekolah yang ditunjuk (S. Ballen, dkk, 2000).
5
Peluang keberhasilan dalam menerapkan MBS di sekolah pada saat ini cukup
besar karena adanya factor pendukung berikut:
1. Tuntutan kehidupan demokratisasi yang cukup besar dari masyarakat dalam era
reformasi seperti sekarang ini.
2. Penerapan Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang
menekankan pada otonomi pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota.
3. Adanya komite sekolah yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan program JPS
pendidikan di banyak sekolah.
4. Adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan di sekolah dengan meningkatkan tugas, fungsi dan peran BP3.[3]
6
Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri manajemen
berbasis sekolah antara lain:
1. Ada upaya meningkatkan peran serta BP3 dan masyarakat untuk mendukung kinerja
sekolah.
2. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses
belajar mengajar (kurikulum), bahkan kepentingan administratif.
3. Menerapkan prinsip efektifitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah
(anggaran, personil, dan fasilitas).
4. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan kondisi
lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
5. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggungjawab kepada masyarakat, selain
kepada pemerintah atau yayasan.
6. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
7. Meningkatkan kemandirian sekolah di segala bidang.
8. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi (kepala sekolah, guru, BP3, dan tokoh masyarakat,
dan lain-lain)
9. Adanya keterbukaan dalam pengelolaan pendidikan sekolah, baik yang menyangkut
program, anggaran, ketenagaan, prestasi sampai dengan pelaporan.
10. Pertanggungjawaban sekolah dilakukan baik terhadap pemerintah, yayasan, maupun
masyarakat (S. Ballen dkk, 2000)[4]
Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat
mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar-mengajar, pengelolaan
sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan administrasi. Lebih lanjut,
BPPN dan Bank Dunia (1999), mengutip dari Focus on School: The Future
Organisation of Education Services for Student, Departement of Education, Australia
(1990), mengemukakan ciri-ciri MBS dalam bagan berikut :[5]
7
Organisasi Sekolah Proses Belajar Sumber Daya Sumber Daya
Mengajar Manusia dan
Administrasi
Menyediakan Meningkatkan Memberdayakan Mengidentifikasi
manajemen kualitas belajar staf dan sumber daya
organisasi siswa menempatkan yang diperlukan
kepemimpinan personel yang dan
transformasional dapat melayani mengalokasikan
dalam mencapai keperluan sumber daya
tujuan sekolah semua siswa tersebut sesuai
dengan
kebutuhan
Menyusun rencana Mengembangkan Memilih staf Mengelola dana
sekolah dan kurikulum yang yang memiliki sekolah
merumuskan cocok dan tanggap wawasan
kebijakan untuk terhadap manajemen
sekolahnya sendiri kebutuhan siswa berbasis sekolah
dan masyarakat
sekolah
Mengelola kegiatan Menyelenggarakan Menyediakan Menyediakan
operasional sekolah pengajaran yang kegiatan untuk dukungan
efektif pengembangan administratif
profesi pada
semua staf
Menjamin adanya Menyediakan Menjamin Mengelola dan
komunikasi yang program kesejahteraan memelihara
efektif antara sekolah pengembangan staf dan siswa gedung dan
dan masyarakat yang diperlukan sarana lainnya
terkait (school siswa
community)
Menjamin akan Program Kesejahteraan Memelihara
terpeliharanya pengembangan staf dan siswa gedung dan
sekolah yang yang diperlukan sarana lainnya
bertanggungjawab siswa
(akuntabel) kepada
masyarakat dan
pemerintah
8
masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat
diperoleh antara lain melelui partisipasi orangtua terhadap sekolah, fleksibilitas
pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah,
berlakunya sistem insentif serta disinsetif. Peningkatan pemerataan antara lain
diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah
lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada
sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.[6]
10
a. Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar
sekolah;
b. Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan
pembelajaran;
c. Memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menganalisis situasi sekarang
berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan
berdasarkan situasi sekarang;
d. Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
yang berkaitan dengan efektifitas pendidikan di sekolah;
e. Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tentangan sebagai peluang, serta
mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
5. Pengembangan Profesi
Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu
dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia
jasa pelatiahan bagi tenaga kependidikan untuk MBS.[8]
11
Dengan tidak ada sasaran dalam peningkatan mutu model MBS ini serta
kepongahan para pejabat pendidikan di pusat maupun di daerah maka penerapan MBS
di Indonesia masih menghadapi ganjalan besar. Padahal, salah satu dasar pokok
terlaksananya reformasi adalah adanya perubahan struktural secara mendasar dan
besar-besaran. Bila tidak maka upaya reformasi pendidikan melalui MBS itu hanya
merupakan proyek pemborosan.
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi
dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada
dalam cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk
mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakanpun
berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di
Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikelurkannya UU No.25 tahun 2000
tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.[9]
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based
management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat
mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional.
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi
dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada
dalam cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk
mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakanpun
berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di
Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikelurkannya UU No.25 tahun 2000
tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus
meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan
belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain,
kemudian memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur
masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan
yang telah dan sedang berlangsung selama ini.
13
DAFTAR ISI
14
15