Anda di halaman 1dari 31

“KELAHIRAN PREMATUR”

“Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah kepererawatan maternitas II ”

DISUSUN OLEH ;
KELOMPOK 18
ZAFIRAH KHUSAIMA (12020022)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS


KURNIA JAYA PERSADA PALOPO
2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menulis makalah ini yang berjudul
“kehamilan prematur” dengan baik.
Adapun maksud dan tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi
tugas Keperawatan Maternitas 2. Kami berterimakasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam karya
tulis ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai pihak
untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi guna meningkatkan kinerja untuk
kedepannya.

Palopo, April 2022

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Persalinan prematur adalah persalinan yang berlangsung pada umur


kehamilan antara 20 sampai menjelang 37 minggu yang ditandai dengan
munculnya kontraksi uterus dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk
menyebabkan penipisan dan dilatasi serviks (Rukiyah & yulianti ,2010).
Prematuritas merupakan penyebab kematian kedua pada balita dan merupakan
penyebab utama dari kematian neonatus dengan presentase hampir 35%
(WHO,2013). Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada usia 0-6 hari (78,5%)
dan prematuritas merupakan penyebab utama kematian neonatal (Kemenkes RI,
2011). Diseluruh dunia terdapat sekitar 10-20% persalinan prematur. Sepuluh
negara dengan kasus persalinan prematur tertinggi adalah India, China, Nigeria,
Pakistan, Indonesia, Amerika Serikat, Bangladesh, Filipina, Republik Kongo, dan
Brazil (WHO, 2010). Di
Indonesia berdasarkan dari hasil statistika selama kurang lebih 20 tahun, WHO
mengatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke- 5 dengan jumlah bayi
prematur sebanyak 675,700 bayi.
Menurut Mochtar AB. (2009), apabila pada ibu hamil pernah
mengalami 1 kali riwayat persalinan prematur maka, akan mempunyai resiko
untuk mengalami persalinan prematur berikutnya. Ibu bersalin dengan jarak
yang berdekatan akan berisiko untuk terjadi persalinan prematur yang
membahayakan oleh karena kondisi ibu yang belum pulih sepeuhnya. Persalinan
prematur banyak dipengaruhi oleh keadaan obsetrik, sosiodemografi, dan faktor
medis (Prawihardjo, 2010). Persalinan prematur faktor maternal yang
mengancam adalah factor dari usia, riwayat persalinan prematur sebelumnya,
jarak kehamilan yang terlalu dekat, infeksi dan trauma. Anemia merupakan salah
satu factor resiko yang dapat meningkatkan dari persalinan prematur, karena
kadar haemoglobin ibu hamil yang rendah dapat menyebabkan hipoksia kronik
yang akan memicu respon stress dan dapat berpengaruh pada persalinan
prematur (Zhang et al., 2016). Anemia dalam kehamilan dapat disebabkan oleh
beberapa factor seperti infeksi dan kekurangan zat besi. Upaya untuk
penanggulangan terjadinya anemia adalah dengan cara pemberian 90 tablet Fe
kepada ibu hamil selama kehamilannya (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
2017).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Persalinan

a. Definisi

Persalinan (partus atau pelahiran) adalah proses fisiologis di mana produk

konsepsi (yaitu, janin, membran, tali pusar, dan plasenta) dikeluarkan dari rahim.

Timbulnya persalinan didefinisikan sebagai kontraksi uterus yang teratur dan

menyakitkan yang mengakibatkan pelepasan dan pelebaran serviks progresif

(Milton, 2016).

b. Mekanisme persalinan

Persalinan memerlukan dilatasi kanalis servikalis untuk mengakomodasi

lewatnya janin dari vagina menuju lingkungan luar dan kontraksi dari otot uterus

untuk mengeluarkan janin. Selama kehamilan, pintu keluar rahim tetap tertutup

oleh serviks yang menutup rapat. Seiring dengan mendekatnya persalinan, serviks

mulai melunak ( atau “matang”) akibat disosiasi serat jaringan ikatnya yang kuat

(kolagen). Karena perlunakan ini, serviks menjadi lentur dan secara bertahap

membuka pintu keluarnya janin. Perlunakan serviks terutama disebabkan oleh

relaksin, suatu hormon peptida yang dihasilkan korpus luteum kehamilan dan

plasenta. Relaksin juga


1
berperan untuk melemaskan jalan lahir dengan melonggarkan jaringan ikat antara

tulang-tulang panggul. Sementara itu, janin bergerak turun dan dalam keaadan

normal terorientasi sedemikian rupa sehingga kepala janin berkontak dengan

serviks sebagai persiapan keluar menuju jalan lahir (Sherwood, 2012).

c. Tahap-tahap persalinan

Permulaan persalinan ditandai dengan membran yang membungkus kantong

amnion (ketuban) pecah (Sherwood, 2012).

Persalinan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1) Dilatasi serviks

Serviks dipaksa melebar untuk mengakomodasi garis tengah kepala bayi,

biasanya maksimal hingga 10 cm. Tahap ini berlangsung dari beberapa jam

hingga 24 jam pada kehamilan pertama.

2) Pelahiran bayi

Setelah dilatasi serviks lengkap, maka dimulai tahap pengeluaran bayi.

Ketika bayi mulai bergerak melewati serviks dan vagina, reseptor-reseptor

regang di vagina mengaktifkan refleks saraf yang memicu kontraksi dinding

abdomen secara sinkron dengan kontraksi uterus. Kontraksi abdomen ini dapat

meningkatkan gaya dorong bayi menuju jalan lahir. Ibu dapat membantu

mengeluarkan bayinya dengan secara sengaja mengontraksikan otot-otot

abdomennya bersamaan dengan kontraksi uterus (yaitu, “mengejan”). Tahap

ini berlangsung lebih singkat dari tahap pertama yaitu 30 hingga 90 menit.

Bayi masih melekat ke plasenta oleh tali pusat saat lahir. Kemudian, tali pusat

diikat dan dipotong untuk membentuk umbilikus setelah beberapa

hari.

3) Pelahiran plasenta
Setelah bayi lahir, terjadi rangkaian kontaksi uterus kedua yang

memisahkan plasenta dari miometrium dan mengeluarkannya melalui vagina.

Tahap ini berlangsung paling singkat, sekitar 15 hingga 30 menit setelah bayi

lahir.

2. Persalinan Prematur

a. Definisi

Persalinan prematur atau kelahiran preterm menurut World Health

Organization (WHO, 2012) adalah persalinan bayi yang lahir hidup dengan usia

gestasi kurang dari 37 minggu atau kurang dari 259 hari terhitung dari hari

pertama menstruasi berakhir. Nikolas T. Miller, dokter kepala di the Moskow

Foundling Hospital mulanya mendefinisikan bayi prematur sebagai bayi dengan

berat badan lahir <2500 gram (bayi kecil) dan pertama kali digunakannya sebagai

standar. Pada tahun 1935, the American Academy of Pediatrics mengadopsi

standar ini. Kemudian, WHO menetapkan prematuritas sebagai berat badan lahir

2500 gram atau kurang pada tahun 1948

(Widjayanegara, 2009).
Definisi persalinan prematur oleh World Health Organization

(WHO, 2012) dibagi lagi menjadi beberapa definisi, yaitu:

1) Extremely preterm : yaitu persalinan terjadi kurang dari 28 minggu.

2) Very preterm : yaitu persalinan terjadi antara 28 sampai kurang dari 32

minggu.

3) Moderate to late preterm : yaitu persalinan terjadi antara 32 sampai kurang

dari 37 minggu.
Sedangkan menurut The American College of Obstetricians and

Ginecologists (ACOG, 2016), persalinan prematur didefinisikan sebagai kelahiran

pada usia gestasi antara 20 minggu hingga kurang dari 37 minggu.

b. Etiologi

1) Indikasi medis dan obstetrik

Indikasi paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan

persalinan prematur yaitu preeklamsia, distres janin, berat badan kurang

selama kehamilan, dan solusio plasenta. Sedangkan penyebab lain yang

kurang umum yaitu hipertensi kronik, plasenta previa, perdarahan tanpa sebab

yang jelas, diabetes, penyakit ginjal, isoimunisasi Rh, dan malformasi

kongenital (Cunningham et al, 2014). Preeklamsia, kelainan janin, solusio

plasenta, dan hipertensi juga merupakan faktor risiko persalinan prematur

(Asghar et al., 2017).

2) Faktor gaya hidup


Perilaku seperti kebiasaan merokok, pertambahan berat badan ibu yang

tidak adekuat, dan penggunaan narkoba berperan penting dalam kejadian

prematur dan hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah (Cunningham et al.,

2014).

3) Faktor genetik

Kelahiran prematur yang bersifat berulang, berhubungan dengan

keluarga dan ras telah menimbulakn pendapat bahwa genetika berperan dalam

proses kelahiran prematur (Cunningham et al., 2014)

4) Infeksi cairan amnion dan korion

Infeksi koriamnion yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme

merupakan penyebab ketuban pecah dini dan persalinan prematur. Proses persalinan aterm

(cukup bulan) diawali dengan aktivasi dari fosfolipase A2 (PLA-2) yang melepaskan bahan
asam arakidonat dari selaput amnion janin sehingga meningkatkan penyediaan asam

arakidonat benas untuk sintesis prostaglandin. Mikroorganisme akan menghasilkan fosfolipase

A2 sehingga dapat menimbulkan persalinan prematur. Endotoksin bakteri (liposakarida) dalam

cairan amnion merngsang sel desidua untuk memproduksi suatu zat sitokin dan prostaglandin

yang dapat memicu persalinan (Cunningham et al., 2014).

c. Diagnosis persalinan prematur

Menurut The American College of Obstetricians and Ginecologists (ACOG,

2016), persalinan prematur dapat didiagnosis apabila terjadi perubahan pada

serviks. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan panggul untuk

melihat apakah serviks sudah mulai berubah, dapat juga dilakukan dengan

pemeriksaan ultrasound transvaginal tujuannya untuk mengukur panjang serviks.

Pemeriksaan ini perlu dilakukan beberapa kali selama beberapa jam termasuk

kontraksi juga dipantau. Dapat juga dilakukan pengukuran kadar protein fetal

fibronectin pada cairan vagina karena dalam hal ini level protein berhubungan

dengan kelahiran prematur.

d. Patogenesis persalinan prematur

Persalinan prematur dapat terjadi secara spontan atau karena indikasi

tertentu. Persalinan prematur secara spontan dapat terjadi pada selaput ketuban

yang masih intak atau karena ketuban pecah dini (KPD). Persalinan prematur

karena indikasi dapat terjadi karena kondisi pada ibu atau janin. Kondisi pada ibu

yang sering menyebabkan persalinan prematur adalah kejadian preeklamsia dan

plasenta previa. Sedangkan pada janin, persalinan prematur dapat terjadi akibat

pertumbuhan janin terhambat. Kedua kondisi ini juga dapat terjadi secara

bersamaan. Dari semua kasus persalinan prematur,


25% terjadi karena ada indikasi dan 75% terjadi spontan dimana 45% karena selaput ketuban

yang masih intak dan 30% karena kasus ketuban pecah dini (KPD) (Romero, 2007).

Mekanisme persalinan secara umum yaitu adanya kontraksi uterus, dilatasi

serviks, dan pecahnya ketuban. Mekanisme tersebut melibatkan proses anatomik,

biokimia, imunologi, endokrin, dan hal klinis pada ibu dan janin. Hal ini ditandai

dengan terjadinya perubahan sistemik seperti peningkatan kadar Corticotropin

Releasing Hormone (CRH) di plasma. Keseluruhan mekanisme persalinan

disebabkan oleh suatu sinyal. Prostaglandin dapat memicu kontraksi miometrium,

perubahan matriks ekstraselular yang berhubungan dengan dilatasi serviks dan

aktivasi membran desidua (Romero, 2007).

Prostaglandin

RP-A/RP-B
RE-α

Reseptor prostaglandin di fundus

Reseptor
MMPs Oksitosin, COX-2
dan IL-8

Perubahan Ca++
serviks

KPD Kontraksi

Gambar 1. Mekanisme persalinan Sumber : Romero


and Lockwood
Keterangan:
RP-A : Reseptor Prostaglandin-A
RP-B : Reseptor Prostaglandin-B
RE-α : Reseptor Estrogen-α
MMPs : Metaloproteinasi
IL-8 : Interleukin-8

Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa 25%-40% kasus persalinan

prematur karena infeksi. Microbial invasion of the amnoic cavity (MIAC)

ditemukan terdapat pada 12,8% wanita yang mengalami persalinan prematur

dengan selaput ketuban masih intak dan 32% pada wanita yang mengalami

persalinan prematur dengan

KPD (Romero, 2007).

Gambar 2. Jalur infeksi ascending intrauterin. Sumber : Romero


R, Mazor M.

Keterangan :
Tahap I : Perubahan flora normal di vagina/serviks
Tahap II : Mikroorganisme di antara amnion dan korion
Tahap III : Infeksi intraamniotik
Tahap IV : Invasi janin

e. Pengobatan

1) Kortikosteroid

Menurut American College of Obstetricians and

Gynecologists’ Committee on Practice Bulletins cara yang paling

menguntungkan untuk memperbaiki hasil keluaran (outcomes) neonatal

diantara pasien yang melahirkan prematur yaitu dengan pemberian intervensi

kortikosteroid. Kortikosteroid betametason direkomendasikan untuk diberikan

intramuskular dengan dosis 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari atau

deksametason intramuskular dengan dosis 6 mg setiap 12 jam selama 2 hari.

National Institutes of Health merekomendasikan pemberian kortikosteroid

sebelum kehamilan 30-32 minggu, dengan asumsi viabilitas janin dan terbukti

tidak terdapat infeksi intraamnion. Penggunaan kortikosteroid antara

kehamilan 32-34 minggu masih kontroversial. Pemberian kortikosteroid

setelah kehamilan 34 minggu tidak direkomendasikan, kecuali jika terdapat

imaturitas paru janin dengan amniosentesis. Neonatus yang ibunya

mendapatkan kortikosteroid antenatal memiliki tingkat keparahan, frekuensi,

atau sindrom gangguan pernapasan yang jauh lebih rendah dibandingkan

dengan neonatus yang ibunya tidak menerima

kortikosteroid antenatal.

2) Magnesium Sulfat

Secara klinis, pemberian magnesium sulfat dapat


menghambat persalinan. Magnesium sulfat dapat diberikan secara intravena

dengan dosis awal 4g diikuti dengan infus secara kontinyu 2g/jam

(Cunningham et al., 2014).

f. Pencegahan

1) Progesteron

Ada pendapat tentang penurunan kadar progesteron sebagai salah satu

penyebab persalinan prematur. Oleh karena itu, pemberian progesteron

diharapkan dapat mempertahankan ketenangan rahim dan “memblokade”

inisiasi persalinan. Sebuah penelitian, RCT dilakukan pada 310 wanita

dengan riwayat persalinan prematur sebelumnya diacak untuk menerima

17hydroxyprogesterone caproate, sementara 153 wanita yang lain menerima

plasebo. Setelah dilakukan suntikan intramuskular mingguan, dilakukan sejak

16 sampai 36 minggu didapatkan semua angka kelahiran sebelum 47, 35, dan

32 minggu secara signifikan dengan terapi progestin (Cunningham et al,

2014). Terapi progestin harus dibatasi pada wanita dengan riwayat pelahiran

spontan sebelumnya yang kurang dari 37 minggu, serta diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk mengoptimalkan bentuk sediaan, dosis, dan cara pemberian

(American College of

Obstetricians and Gynecologists, 2008)

2) Cervical Cerclage

Terdapat tiga indikasi untuk memasang cerclage dalam mencegah

persalinan prematur. Pertama, cerclage dapat digunakan pada wanita yang

mempunyai riwayat keguguran berulang pada midtrimester dan yang

terdiagnosis memiliki inkompetensi seviks. Kedua, wanita dengan serviks

yang pendek yang diidentifikasi selama pemeriksaan sonografi. Ketiga,


cerclage sebagai “penyelamat”, dilakukan secara darurat jika inkompetensi

serviks ditemukan pada wanita dengan ancaman persalinan prematur.

Hasil penelitian mengenai indikasi kedua bahwa cerclage dapat

mengurangi angka kelahiran prematur pada wanita dengan riwayat yang sama

sebelumnya. Jumlah wanita dengan panjang serviks <15mm yang melahirkan

sebelum 35 minggu secara signifikan jauh berkurang setelah menggunakan

cerclage dbandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan cerclage.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelahiran prematur berulang, dapat

dicegah pada kelompok wanita yang mempunyai riwayat kelahiran prematur

sebelumnya (Cunningham et al., 2014).

3. Faktor Risiko Persalinan Prematur

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor-faktor risiko

persalinan prematur, namun faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan

persalinan prematur. Sebagian persalinan prematur yang terjadi spontan tidak

mempunyai faktor risiko yang jelas. Faktor risiko persalinan prematur sebagai

berikut :

a. Idiopatik

Sekitar 50% penyebab persalinan prematur tidak diketahui, oleh karena itu

digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan prematur spontan.

Termasuk ke dalam golongan ini antara lain persalinan prematur akibat kehamilan

kembar, poli hidramnion atau persalinan prematur yang didasari oleh faktor

psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan prematur spontan didahului

oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan karena faktor

infeksi (korioamnionitis) (Krisnadi, 2009).


b. Iatrogenik

Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran

menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya

(Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat

membahayakan janin, janin akan dipindahkan ke dalam lingkungan luar yang

dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya.

Kondisi tersebut menyebabkan persalinan prematur buatan/Iatrogenik yang

disebut sebagai Elective preterm (Krisnadi, 2009).

c. Faktor Sosio-demografik

Persalinan prematur yang termasuk ke dalam faktor ini adalah :

1) Faktor psiko-sosial, adalah kecemasan, depresi, keberadaan stres, respons

emosional, suport sosial, pekerjaan, perilaku,aktivitas seksual, dan keinginan

untuk hamil,

2) Faktor demografik, adalah usia ibu, status marital, kondisi sosioekonomi,

faktor ras dan etnik (Krisnadi, 2009).

d. Faktor Maternal

1) Inkompetensi Serviks
Inkompetensi serviks didiagnosis secara klinis jika terdapat pembukaan

serviks pada saat kehamilan (belum ada kontraksi rahim). Keadaan ini bisa

menjadi persalinan prematur apabila dipicu oleh perambatan infeksi asendens

yang akan menyebabkan pecahnya ketuban atau mengeluarkan prostaglandin

dan menyebabkan kontraksi rahim. Persalinan prematur dapat juga

berlangsung karena fetus dengan cairan ketubannya terlalu berat untuk


disangga oleh rahim dengan serviks inkompeten; ketuban dapat segera pecah

atau didahului oleh kontraksi rahim (Krisnadi,

2009).

2) Riwayat Reproduksi

a) Pernah mengalami persalinan prematur

Wanita yang memiliki riwayat kelahiran prematur sebelumnya, lebih

berisiko mengalami kelahiran prematur dibandingkan yang tidak memiliki

riwayat kelahiran prematur. Risiko yang dimiliki wanita yang sudah

pernah mengalami kelahiran prematur adalah 3 kali lipat dibandingkan

dengan wanita yang melahirkan aterm (cukup bulan) (Krisnadi, 2009).

Persalinan prematur sebelumnya merupakan faktor risiko persalinan

prematur dengan ARR 5,37 (Chaitanya et al., 2016).

Riwayat persalinan prematur sebelumnya berhubungan dengan

kejadian prematur dengan OR=9,750 artinya riwayat persalinan prematur

sebelumnya mempunyai peluang 9,750 kali menyebabkan kejadian

prematur pada kehamilan

selanjutnya (Yuniwiati, 2014).

Prevalensi kejadian prematur di Brazil adalah 11,5% dan riwayat

persalinan prematur merupakan salah satu faktor risiko dengan nilai

OR=3,74 (Maria et al, 2016).

b) Pernah mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD)

Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Premature Rupture of Membranes

(PROM) adalah ruptur membran secara spontan sebelum waktu kelahiran.

Kasus PROM dapat didiagnosis berdasarkan riwayat pasien dan

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan harus dilakukan dengan meminimalkan


risiko infeksi. Pada pemeriksaan spekulum steril, diagnosis ruptur

membran dikonfirmasi oleh menggenangnya cairan amnion di forniks

posterior atau cairan jernih mengalir ke kanalis serviks uteri dan vagina

atau dilakukan tes pH cairan vagina. PH normal sekresi vagina umumnya

4,5-6,0, sedangkan cairan amnion biasanya memiliki pH 7,1-7,3. Hasil uji

positif-palsu dapat terjadi dengan adanya darah, semen, atau vaginosis

bakterialis, sedangkan hasil uji negatif-palsu dapat terjadi akibat sedikitnya

cairan (American

College of Obstetricians and Gynecologists’ Committee on

Practice Bulletins, 2016).

Faktor risiko tertinggi yang berhubungan dengan persalinan prematur

yaitu Ketuban Pecah Dini. Hasil yang diperoleh berupa faktor risiko

persalinan prematur di

Puskesmas Jagir yaitu sebagian besar pada ibu yang berusia 30-

35 tahun yaitu 36%, Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga

52%, BMI >25 terdapat 52%, terpapar asap rokok sebanyak

16%, Anemia 2%, Ibu Grande multipara 6%, Preeklamsia 38%,

Perdarahan antepartum 12%, dan ketuban pecah dini 56% (Gunawan,

2016).

Ketuban Pecah Dini merupakan faktor risiko persalinan prematur di

RSUD Kota Makassar dengan OR=4,030 artinya Ketuban Pecah Dini

mempunyai peluang 4,030 kali

menyebabkan kejadian persalinan prematur (Intan dkk., 2015)


Prevalensi pesalinan prematur di provinsi Hormozgan sebanyak 5,5

% dengan persentase faktor risiko yaitu PROM sebesar 30,3% (Roozbeh et

al., 2016).

c) Pernah mengalami keguguran (abortus)

Peningkatan kejadian prematuritas sebesar 1,3 kali pada ibu yang

mengalami satu kali abortus dan 1,9 kali pada ibu yang mengalami dua

kali abortus (Krisnadi, 2009)

d) Usia

Wanita usia >35 tahun meningkat resikonya untuk mengalami

persalinan prematur (Krisnadi, 2009). Umur reproduksi yang sehat dan

aman yaitu umur 20 sampai dengan 35 tahun. Hal ini dikarenakan

kehamilan dibawah usia 20 tahun secara psikis dan fisik masih kurang,

sedangkan pada usia diatas 35 tahun berhubungan dengan kemunduran

dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang menimpa

(Widyastuti, 2009).

e) Paritas (jumlah persalinan)

Persalinan prematur lebih sering terjadi pada kehamian pertama.

Kejadian akan berkurang dengan meningkatnya jumlah paritas yang cukup

bulan sampai dengan paritas keempat. Sebagian besar ibu mempunyai

paritas lebih dari 4 persalinan sebanyak 214 orang (55,9%) (Fatmawati,

2010).

Paritas merupakan faktor risiko persalinan prematur di RSUD Kota

Makassar dengan OR=2, 413 artinya paritas mempunyai peluang 2,413

kali menyebabkan kejadian

persalinan prematur (Intan, dkk., 2016).


e. Infeksi

Infeksi saluran kemih dan jalan lahir (traktus urogenital) berkaitan dengan

persalinan prematur. Infeksi intrauteri mempunyai peran untuk memicu persalinan prematur
akibat aktivasi sistem imun bawaan. Dalam hal ini, mikroorganisme meyebabkan pelepasan
sitokin inflamasi, seperti interleukin dan tumor necrosis factor (TNF), yang kemudian
merangsang produksi prostaglandin dan/atau matrix-
degrading enzyme. Selanjutnya, prostaglandin akan merangsang kontraksi rahim

sedangkan degradasi matriks ekstraseluler pada membran janin menyebabkan

Ketuban Pecah Dini (Krisnadi, 2009).

Dua mikroorganisme yang sering menjadi penyebab adalah Ureaplasma

urealyticum dan Mycoplasma hominis. Sebelum

menginfeksi, jalur masuknya bakteri tersebut dapat melalui beberapa jalur yaitu

melalui vagina secara ascendens, melalui plasenta, secara hematogen, ataupun

iatrogenik (akibat prosedur invasif) (Krisnadi, 2009).

Kriteria infeksi dapat dilihat dari peningkatan jumlah sel darah putih

(leukosit) melebihi nilai normal di dalam darah yaitu 11.000/mm 3 (Sherwood,

2012). Leukositosis pada ibu hamil adalah terjadi peningkatan jumlah sel darah

putih melebihi nilai normal di dalam darah pada masa kehamilan. Jumlah leukosit

lebih dari 15.000/mm3 merupakan indikasi bahwa ibu hamil mengalami infeksi

(Ross, 2017). Penyebab leukositosis pada ibu hamil antara lain infeksi virus,

infeksi bakteri, dan infeksi protozoa (Maharani, dkk., 2012).

Prevalensi kejadian prematur di Brazil adalah 11,5% dan infeksi merupakan

salah satu faktor risiko dengan nilai OR=4,89 (Maria et al, 2016).
Prevalensi pesalinan prematur di provinsi Hormozgan sebanyak 5,5 %

dengan persentase faktor risiko yaitu infeksi genital-urinary selama kehamilan

sebesar 35,8% (Roozbeh et al., 2016).

B. Konsep Asuhan Keperawatan

Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep

diterapkan dalam praktik keperawatan terdiri atas lima tahap yang

berurutan dan saling berhubungan, yaitu pengkajian, diagnosis,

perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Tahap- tahap tersebut

berintegrasi terhadap fungsi intelektual problem-solving dalam

mendefinisikan suatu asuhan keperawatan (Nur Salam, 2013).

Asuhan keperawatan pada pengkajian ini memakai model

keperawatan Dorothea E Orem menurunkan tuntutan self care pada

tingkat dimana klien dapat memenuhinya, ini berarti menghilangkan

self care deficit. Pengkajian Dorothea E Orem difokuskan pada :

Universal Self Care Requisite, Developmental Self Care Requisite,

Health

Deviation Self Care, Nursing System dan Nursing Agency, Diagnosa

Keperawatan, Intervensi Keperawatan, Implementasi dan Evaluasi.


Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses

keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan

meliputi data biologis, psikologis, social dan spiritual. Kemampuan

perawat yang diharapkan dalam melakukan pengkajian adalah

mempunyai kesadaran/tilik diri, kemampuan mengobservasi dengan

akurat, kemampuan berkomunikasi terapeutik dan senantiasa mampu


berespon secara efektif. Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah

mengumpulkan data objektif dan subjektif dari klien

Aplikasi pengkajian yaitu :


a. Pengkajian data dasar (nama, umur, sex, status kesehatan, status

perkembangan, orientasi sosio-kultural, riwayat diagnostik dan

pengobatan, faktor sistem keluarga); Pola hidup; Faktor lingkungan

b. Observasi status kesehatan klien Untuk menemukan masalah

keperawatan berdasarkan self-care defisit, maka perawat perlu

melakukan pengkajian kepada klien melalui observasi berdasarkan

klasifikasi tingkat ketergantungan klien yang terdiri dari Minimal

Care, Partial Care, Total Care

c. Pengembangan masalah fisiologis yang terdiri dari pemenuhan

kebutuhan oksigen, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit,,

gangguan mengunyah, gangguan menelan, pemenuhan kebutuhan

eliminasi /pergerakan bowel, urinary, excrements, menstruasi,

pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat. Secara rinci

pengembangan teori dengan masalah fisiologis adalah sebagai

berikut :
1) Pemenuhan kebutuhan Oksigen/Udara
a) Saluaran Pernafasan

(1) Sumbatan pada saluran pernafasan oleh benda asing.

(2) Kelaianan pada saluran pernafasan daaan peningkatan resistensi

jalan pernafasan.

b) Pengembanagan kapasitas vital paru


Restraksi paru
Penurunan pengembangan paru
(3) Perubahan jaringan paru terhadap pemenuhan kapasitas

vital paru
(4) Keterbatasan ekspansi dada

(5) Pengaruh muskuler dan neuro terhadap pengembangan

paru

c) Ventilasi alveolar optimal

(1) Alveoli yang terganggu

(2) Penurunan jumlah alveolus

(3) Kehilangan alveolus dan kapiler pulmonal

d) Mempertahankan keseimbangan gas diantara alveolus dan

paru

(1) Hipoventilasi elveolar

(2) Penebalan alveolar dan membran kapiler

(3) Rendahnya aliran darah paru terhadap ventilasi

(4) Penurunan kapasitas oksigen

e) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap saraf sentral

(1) Aktifitas ritme otomatis di medula oblongata

(2) Reseptor regulasi kimia (kemoreseptor)

f) Terhentinya pernafasan sementara

(1) Kekejangan umum

(2) Tangis anak-anak

g) Tidak ada respirasi


Apneu yang muncul pada bayi normal
Apneu dengan pasien preterm
(3) Apneu pada 24 jam pertama

(4) Apneu pada penyakit kardiorespiratori

(5) Apneu akibat gangguan metabolic

h) Distres respiratori

(1) Ansietas

(2) Histeria dan gangguan emosional

(3) Patologi pada jantung dan paru

(4) Pernafasan periodik pada bayi preterm

(5) Dispneu dan sianosis pada bayi baru lahir

i) Penurunan respiratory rate dan kapasitas vital

(1) Kakeksia

(2) Malnutrisi

j) Peningkatan kerja pernafasan

(1) Injuri

2) Pemenuhan kebutuhan air/cairan dan makanan/nutrisi


a) Keadaan yang berkaitan dengan kebutuhan cairan

(1) Kemampuan / ketidak mampuan

(2) Kegagalan mengkomunikasikan kebutuhannya

(3) Kondisi pemasukan / input asupan nutrisi

b) Jenis makanan dan cairan yang tidak disukai

dan mempengaruhi
Yang berbeda dengan kebiasaan
Yang berbeda dari standar
(3) Yang bnertentangan dengan kondisi individu.
c) Kondisi internal dan eksternal pemasukan makanan
dan cairan

(1) Hal-hal yang perlu diperhatiakan

(a) Kondisi fisik

(b) Stimulasi fisik

(c) Perilaku yang tidak biasa

(d) Kondisi lingkungan yang


mempengaruhi asupan

(2) Manfaat asupan cairan makanan

d) Kondisi natural terkait dengan asupan cairan dan

makanan ke dalam mulut

(1) Status / tingkat perkembangan

(2) Abnormalitas pada mulut dan wajah

(3) Obstruksi-inflamasi dan lesi pada mulut

(4) Pengeluaran sekresi dari mulut dan hidung

(5) Kesulitan untuk membuka dan menutup mulut

(6) Prosedur pembedahan pada mulut, rahang dan

lidah yang mempengaruhi pemasukan cairan

dan nutrisi

(7) Pertukaran jaringan lunak di mulut

(a) Efek dari kekurangan nutrisi dan adanya

pembatasan asupan
(b) Atropi mukosa mulut pada orang tua sehingga kemampuan merasakan

menurun dan adanya sensasi terbakar pada mulut

(8) Posisi tubuh yang terganggu pada saat makan dan

minum tidak mampu membuka mulut

(9) Kondisi gangguan mengunyah

(a) Kondisi gigi dan rahang

(b) Kondisi otot untuk mengunyah

(c) Nyeri saat mengunyah akibat lesi pada jaringan lunak

dan tulang

(d) Berurangnya jumlah saliva

(e) Kebiasaan tidak mengunyah makanan

(10) Kondisi dan keadaan gangguan mengunyah


(a) Kondisi yang berhubungan dengan berkurangnya jumlah

saliva : Berkurangnya atau tertahannya sekresi saliva,

Adanya peradangan, tumor atau gangguan pada kelenjar

yang memproduksi saliva.

(b) Kondisi otot lidah dan pipi / wajah yang terganggu

(c) Kurang dalam mengunyah makanan

3) Pemenuhan kebutuhan eliminasi dan ekskresi


a) Perubahan pergerakan bowel dan feces
(1) Konstipasi-diare

(2) Perubahan kepadatan, warna dan karakteristik faeces


(3) Perubahan intregitas bowel, fungsi, dan perubahan struktur

Perubahan pola urinary, urin dan integritas organ


(1) Perubahan pola urinary

(2) Perubahan kualitas dan kuantitas urine

(3) Perubahan struktur dan fungsi integritas organ

c) Perubahan pola keringat


(1) Keringat berkurang

(2) Keringat meningkat

d) Perasaan dan emosi yang mempengaruhi


(1) Ketidaknyamanan atau nyeri

(2) Kecemasan atau ansietas akibat gangguan

e) Tingkah laku selama perawatan

(1) Pergerakan yang sulit

(2) Tidak nyaman atau nyeri pada saat pergerakan

f) Lingkungan

(1) Jamban

(2) Sanitari lingkungan

(3) Privasi pada saat BAB dan BAK

(4) Berbeda setiap individu

4) Aktivitas dan istirahat

a) Tingkat aktivitas sehari-hari

(1) Pola aktivitas sehari-hari


(2) jenis,frekuensi dan lamanya latihan fisik

Tingkat kelelahan
(1) Aktivitas yang membuat lelah

(2) Riwayat sesak nafas

c) Gangguan pergerakan
(1) Penyabab ngangguan pergerakan

(2) Tanda dan gejala

(3) Efek dan gangguan pergerakan

d) Pemeriksaan fisik
(1) Tingkat kesadaran

(2) Postur atau bentuk tubuh.

(3) Ekstremitas

5) Keselamatan dan keamanan

a) Faktor-faktor yang berhubungan dengan sistem sensori komunikasi

pasien seperti adanya perubahan perilaku pasien karena gangguan

sensori komunikasi

(1) Halusinasi

(2) Gangguan proses pikir

(3) Kelesuan

(4) Ilusi

(5) Kebosanan dan tidak bergairah

(6) Perasaan terasing

(7) Kurangnya konsentrasi

(8) Kurangnya koordinasi dan keseimbangan


Faktor resiko yang berhubungan dengan keadaan pasien
(1) Kesadaran menurun

(2) Kelemahan fisik

(3) Imobillisasi

(4) Penggunaan alat bantu

Diagnosa Keperawatan
Setelah menggunakan pengkajian Teori dorothea orem penegakan diagnosa

mengacu pada diagnosa keperawatan yang aktual, resiko tinggi dan kemungkinan.

Teori Orem masih lebih berfokus pada masalah fisiologis, namun diagnosa dapat

dikembangkan ke masalah lain sesuai kebutuhan dasar.

a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (D.0077).

b. Gangguan rasa nyaman b.d gangguan adaptasi kehamilan (D.0074).

c. Ansietas b.d kondisi kehamilan perinatal (D.0080).

d. Risiko infeksi d.d Ketuban pecah sebelum waktunya (D.0142).

3. Intervensi Keperawatan
Diberikan jika kemampuan merawat diri pada klien berkurang dari yang dibutuhkan

untuk memenuhi self care yang sebenarnya sudah diketahui. Berikut intervensi yang

dapat dilakukan sesuai standar intervensi keperawatan Indonesia (Tim Pokja Siki DPP

PPNI, 2018).

a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … jam diharapkan tingkat nyeri

dapat menurun (L.08066).

Kriteria Hasil :
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun

3) Gelisah menurun 4) Kesulitan tidur menurun

Rencana tindakan (I.03121) :


1) Identifikasi lokasi, karateristik, durasi, frekuensi,kualitas, intensitas nyeri

2) Identifikasi skala nyeri

3) Identifikasi respons nyeri non verbal

4) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri

Terapeutik
1) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Edukasi
1) Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b. Gangguan rasa nyaman b.d gangguan adaptasi kehamilan

Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … jam diharapkan status

kenyamanan pasien meningkat(L.08064).

Kriteria Hasil :
1) Keluhan tidak nyaman menurun

2) Gelisah menurun

Rencana tindakan I.14561 :


Observasi
1) Monitor tanda tanda vital

2) Timbang berat badan

Terapeutik
1) Pertahankan postur tubuh yang benar

2) Lakukan perawatan kebersihan gigi dan mulut secara teratur

3) Jaga kebersihan vulva dan vagina


Edukasi
1) Anjurkan menghindari kelelahan

2) Ajarkan teknik relaksasi

Kolaborasi
1) Kolaborasi pemeriksaan labolatorium
c. Ansietas b.d kondisi kehamilan perinatal

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … jam diharapkan status tingkat

ansietas pasien menurun(L.09093).

Kriteria hasil :
1) Prilaku gelisah menurun

2) Pola tidur membaik

Rencana tindakan I.09314


Observasi
1) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah

2) Monitor tanda tanda ansietas

Terapeutik
1) Pahami situasi yang membuat ansietas

2) Dengarkan dengan penuh perhatian

3) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan

Edukasi
1) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu

2) Latih teknik relaksasi

Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian obat anti ansietas, jika perlu
d. Risiko infeksi d.d ketuban pecah sebelum waktunya

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … jam diharapkan status tingkat

infeksi pasien menurun(L.14137).

Kriteria hasil :
1) Demam menurun

2) Nyeri menurun

3) Kadar sel darah putih membaik

Rencana tindakan I.14539:


Observasi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Terapeutik
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan

pasien

Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi

2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar

Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa ini dilaksanakan seintervensi

keperawatan yang sudah dibuat, setiap implementasi, akan ada respon hasil dari pasien

setiap harinya. keperawatan ini dilakukan dengan tujuan pasien mampu melakukan

perawatan diri secara mandiri (Self care) dengan penyakit yang ia alami sehingga pasien

mencapai derajat kesembuhan yang optimal dan efektif

` 5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan pasien atas tindakan yang telah

dilakukan sehingga dapat disimpulkan apakah tujuan asuhan keperawatan tercapai atau

belum.

Anda mungkin juga menyukai