Anda di halaman 1dari 24

lILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

Tentang

WUJUD KEBUDAYAAN (MBOJO BIMA-DOMPU)

OLEH : SYIFA MADANIYAH (E1M020064)

DOSEN PENGAMPU : Dra. MADE NOVI SURYANTI, M.Si

FALKUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDKAN KIMIA

UNIVERSITAS MATARAM
2021

Wujud Kebudayaan

Budaya adalah cara kehidupan yang mencakup pengetahuan, sikap, pola perilaku,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki dan
diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu sebagai bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran hidup guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang bersifat tertib dan damai.

Istilah budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal), yang artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa inggris budaya disebut dengan culture yang berasal dari bahasa latin,
yaitu colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
budaya adalah pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
yang sukar diubah (Gunawan, 2000).

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan dan karya seni. Budaya merupakan kumpulan pola-pola kehidupan yang dipelajari
oleh sekelompok manusia tertentu dari generasi-generasi sebelumnya dan akan diteruskan
kepada generasi yang akan datang.

A. Gagasan (Wujud Ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak yaitu tidak dapat
diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam pemikiran warga masyarakat. Jika
masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan, dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut.
Identifikasi Wujud Ideal Budaya Bima Dompu

NO NAMA IDE PENJELASAN

1 Maja labo Dahu Satu hal yang menjadi identitas yang melekat pada manusia Bima yaitu
falsafah hidupnya serta orientasi universalisasi falsafahnya yang akan mudah diterima
bagi seluruh umat manusia. Falsafah itu adalah “Maja Labo Dahu” berarti malu dan
takut, yang berorientasi pada perdamaian dan kemanusiaan. Manusia Bima
menebarkan nilai kebaikan dan kemanusiaan melalui falsafah hidupnya. Ini merupakan
cara manusia Bima merealitaskan konsep ideologi atau falsafah yang telah ditanamkan
sejak manusia Bima hadir di muka bumi ini.
Secara historis Falsafah Maja Labo Dahu merupakan hasil pergulatan panjang
dari realitas kehidupan sosial, politik dan agama masyarakat Bima pada masa silam.
Seperti ketimpangan yang terjadi dimasyarakat karena banyaknya perbedaan
pandangan maupun kepentingan. Sehingga hadirlah sebuh falsafah Maja Labo Dahu
sebagai falsafah hidup perdamaian.
Kata “Maja” yang artinya malu (harga diri) ditanam dalam diri ketika manusia
bima melakukan sesuatu yang dianggap merugikan manusia lainnya dalam kehidupan,
artinya mencegah sikap buruk melalui “Maja” atau malu terhadap manusia lainnya,
malu berbuat buruk. Rasa malu telah ditanamkan secara turun temurun oleh Nenek
Moyang suku Bima sejak manusia Bima hadir di muka bumi ini. Sebab rasa malu
tidak hadir begitu saja dalam pribadi manusia tanpa di bangun dengan kesadaran,
dipraktikkan dan dirawat menuju manusia yang manusia.
Setelah “Maja” atau malu kemudian ada “Dahu” atau takut, rasa “Dahu” atau
takut tidak digunakan dalam peperangan atau keberanian dalam mempertahankan diri
ketika menghadapi musuh yang dapat mengancam nyawa. Dahu atau takut ditanam
dalam diri manusia sebagai pengendali diri dalam tindakan yang amoral seperti
melanggar hukum Tuhan atau norma yang telah mengatur kehidupan bermasyarakat.
Takut ketika berbuat buruk dan berani berbuat baik.
Secara universal budaya Maja Labo Dahu ini selaras dengan kehidupan umat
manusia yaitu berupaya untuk menciptakan perdamaian di dunia dengan malu dan
takut melanggar aturan, hukum, kejahatan kemanusiaan dan hal buruk yang dapat
merusak tatanan sosial masyarakat. Tidak memaksakan kehendak sendiri kepada
manusia lainnya serta menjunjung tinggi budaya menghargai dan memanusiakan.
2 Nggahi Rawi Pahu Arti kata Nggahi Rawi Pahu ini yang sebenarnya adalah pertama (nggahi).
Nggahi yang artinya bilang/mengatakansesuatu apa yang dipkirkan dan apa yang
dilihat yang keluar dari mulut seseorang. Kedua, rawi kata yang artinya
“perbuatan/sikap” yang hasil dari apa yang mereka katakan terus yang dapat
diaplikasikan langsung melalui sikap dan perbuatan seseorang. Dan yang ketiga,pahu
kata pahu yang maknanya “bentuk/wujud” atau bukti nyata dari apa yang
dikatakan/bicarakandan langsung dilakukan dengan sikap/perbuatan, sehingga tidak
sia-sia apa yang mereka katakana dihadapan orang lain.
Jadi Masyarakat Bima Dompu harus berpegang teguh sama pandangan
daerahnya tersebut diamanapun mereka berada baik berada didalam daerahnya sendiri
maupun diluar daerahnya mereka harus menajalankannya. Dalam berbicarapun harus
sesuai dengan kenyataanya agar orang lain tidak menggap remeh terhadap apa yang
kita bicarakan.
Istilah Nggahi Rawi Pahu sudah menjadi Filosofi Hidup bagi masyarakat suku
Mbojo (Bima-Dompu). Istilah ini muncul tidak begitu saja, melainkan disebabkan
karena masyarakat suku Mbojo adalah masyarakat yang pekerja keras. Istilah ini jika
didefnisikan secara harfiah “Nggahi” berarti Ucapan, “Rawi” berarti Perbuatan, dan
“Pahu” berarti Bentuk. Namun, jika dimaknai secara filosofi merupakan perwujutan
sikap konsisten dari apa yang diucapkan untuk dilakukan sekuat tenaga sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan bermakna. Ngahi Rawi Pahu berkaitan
dengan ucapan atau janji seseorang kepada orang lain yang harus ditepati. Jadi, tidak
heran istilah ini dijadikan Filosofi hidup bagi masyarakat Mbojo.
Filosofi hidup ini sangat perlu kita lestarikan dan tetap dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk perwujudan dan pengimplementasiannya
adalah melalui Pendidikan Berbasis Nggahi Rawi Pahu. Pendidikan Nggahi Rawi
Pahu yang dimasud oleh penulis adalah suatu pendidikan yang menyatukan Lima
Komponen yaitu Pemerintah, Masyarakat, Sekolah, Keluarga, dan Pendidik untuk
menjalankan pendidikan dalam satu Sistem Nggahi Rawi Pahu. Makna pendidikan
Nggahi Rawi Pahu adalah “Nggahi” yang berarti pendidikan harus diperintah dan
dikoordinir oleh Pemerintah. “Rawi” berarti pendidikan harus dikerjakan oleh
Masyarakat, Sekolah, Keluarga, dan Pendidik. Dan “Pahu” berarti pendidikan harus
menghasilkan masyarakat Bima yang RAMAH (Religius, Aman, Makmur, Amanah
dan Handal).
3 Ngaha Aina Ngoho Konsep “Ngaha Aina Ngoho” berdasarkan emik masyarakat Bima adalah
sebuah filosofi hidup tentang ekologi untuk memaknai keberkahan dari yang Maha
Hidup bagi masyarakat Bima. Konsep “Ngaha Aina Ngoho” terbentuk dari tiga kata,
“Ngaha”, “Aina” dan “Ngoho” yang memiliki anjuran sekaligus juga larangan. Kata
“Ngaha” secara harfiah bermakna makan, “Aina” bermakna “jangan”, dan “Ngoho “
berarti “berladang”. Sebagai sebuah konsep kearaifan lokal tentang ekologi “Ngaha
Aina Ngoho” bila diturunkan dari ketiga makna harfiah kata tersebut dapat dimaknai
sebagai anjuran untuk memanfaatkan sumber daya alam yang dikelola dengan baik
dan hasilnya dapat digunakan untuk keberlanjutan kehidupan manusia disatu sisi, dan
disisi lain berisi larangan untuk jangan semana-mena mengekploitasi alam dan
lingkungan dalam arti jangan rakus, jangan boros memanfatkan hasil alam beserta
lingungan yang diaktualisasikan pada kegiatan “Ngoho”. “Ngoho” adalah aktivitas
pemanfaatan sumber daya alam hutan yang dilakukan untuk membuka lahan pertanian
dengan membakar hutan. Konsep “ Ngoho” ini menjadi kunci pemanfaatan sumber
daya alam yang dilakukan masyarakat Bima, khususnya para peladang berpindah
dalam memanfaatan sumber daya alam hutan.
Aktivitas “ Ngoho” dalam arti pemanfaatan sumber daya alam yang diberikan
oleh yang Maha Hidup pada dasarnya bukan aktivitas kosong tanpa konteks,
melainkan suatu konsep pemanfaatan sumber daya alam yang ekologis dan karena
bersifat ekologis seharusnya aktiviatas tersebut berada dalam bingkai ekosistem yang
tidak boleh dilarang untuk dilakukan, karena sejatinya, aktivitas “Ngoho” adalah
upaya pemanfaatan sumber daya alam yang diatur dalam Peraturan Mentri Lingkungan
Hidup Nomor 10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan, dan Kerusakan
Lingkungan Hidup, terutama untuk hutan adat. Idealnya pemanfaatan hutan sebagai
lahan baru pertanian berdasarkan PP tersebut harusnya dilakukan dalam “pantauan“
dengan berdasarkan nilai kearifan lokal mengacu pada beberapa persyaratan. Falsafah
“ngaha ainangoho” yang berarti larangan untuk melakukan perladangan liar.
Ungkapan ini bermakna nasehat untuk hidup hemat dalam arti luas. Berhemat dalam
segi ekonomi, berhemat dalam menggunakan sumberdaya alam untuk kehidupan di
masa mendatang bagi yang hidup saat ini dan anak cucu.
4 Su’u Sawa’u Sia Sawale Su’u Sawa’u sia sawale mengandung makna bahwa kita harus menjunjung
tinggi amanah dan melaksanakannya sekuat tenaga dan pikiran. Secara denotatif Su”u
berarti menjunjung. Sa wa’u berarti sekemampuan. Sia berarti menahan atau bertahan.
Sawale berarti sekuat atau dengan kuat. Secara konotatif Su’u Sawa’u Sia Sawale
bermakna bahwa amanah yang diemban atau dijalankan sesuai kapasitas diri, sesuai
bidang ilmu dan keahlian masing masing. Istilah kerennya adalah The Right Man On
The Right Place, artinya orang yang benar atau tepat di tempat yang benar atau tepat
pula. Su’u Sawa’u Sia Sawale juga mengandung makna bahwa kita harus betul betul
menahan beban dan melaksanakannya sekuat tenaga dan pikiran.
Su’u Sawa’u Sia Sawale adalah tekad yang dilakukan oleh seseorang yang telah
menerima amanah dan kepercayaan untuk melaksanakan sesuatu. Pada masa lalu,
ucapan ini dilontarkan oleh orang yang menerima perintah atau kepercayaan untuk
dilaksanakan dan dijunjung tinggi secara ihlas, penuh kesadaran dengan segala daya
dan upaya tanpa pamrih. Pesan Su’u Sawa’u Sia Sawale juga memiliki segmen yang
luas dalam peri kehidupan masyarakat Bima. Ketika orang tua menasehati anak
anaknya, ungkapan Maja Labo Dahu dan Su’u Sawa’u Sia Sawale selalu diucapkan. ”
Lembo ade Anae, Su’u Sawa’u Sia Sawale pu Parenta Guru mu.”artinya Lapang dada
lah anakku, junjung tinggi dan dan laksanakan dengan sungguh sungguh apa saja
perintah gurumu.”
Su’u Sawa’u sia sawale adalah trust atau kepercayaan yang dipersembahkan
kepada seseorang yang diyakini dapat menjalankan amanah. Dalam kontreks
kepemimpinan di segala strata kehidupan,Su u Sawa’u Sia Sawale adalah kepercayaan
rakyat kepada pemimpin. Pemimpin harus dapar menjaga kepercayaan itu Jika
pemimpin tidak lagi dapat menjalankan Su’u Sawa’u Sia Sawale, maka kepercayaan
itu akan dicabut oleh pemberi kepecayaan. Su’u Sawa’u Sia Sawale juga memberi
peringatan agar kita tidak serakah dalam kekuasaan. Kita harus melihat kemampuan
diri, bercermin diri itu penting untuk introspeksi apakah pekerjaan, jabatan dan
amanah itu mampu kita laksanakan atau tidak.
5 Nggusu Waru Nggusu Waru adalah konsep ide dan gagasan cemerlang dari leluhur Dana
Mbojo bahwa pemimpin dan kepemimpinan itu harus memenuhi delapan butir
sebagaimana yang tertuang dalam Nggusu Waru. Seorang pemimpin yang memenuhi
delapan kriteria Nggusu Waru adalah luar biasa, namun di tengah godaan zaman
hedonis saat ini cukuplah pemimpin yang memenuhi empat unsur yaitu taqwa, Beilmu
pengetahuan, merakyat dan konsisten.
Pada zaman dahulu, Nggusu Waru dipergunakan sebagai prasyarat kelayakan
seseorang untuk menduduki jabatan raja (hawo), perdana menteri (ruma bicara),
menteri (rato), dan struktur-struktur di bawahnya. Nggusu Waru memiliki dua versi,
yakni versi Dou Mbojo (Bima) dan versi Dou Dompu. Secara umum keduanya mirip,
namun secara redaksional relatif berbeda. Ada satu point di antara kedua versi itu yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Soal penyebutan, Dou Mbojo menyebut Nggusu
Waru dengan pelafalan yang sedikit ditambahi imbuhan, yakni “Manggusu Waru.”
Nggusu Waru dalam bahasa bima artinya sudut delapan ( nggasu=sudut,
waru=delapan). Adapun ke delapan point kriteria Nggusu Waru sebagai berikut:
1) Matoa di Ruma labo Rasul (Taat kepada Allah dan Rasulullah) atau mawara
maja labo dahuna di Ruma Allah ta’ala (Memiliki rasa malu dan takut pada
Allah ta’ala)
2) Maloa ra bade (Cerdas dan bijaksana)
3) Mambani ro disa (Gagah berani)
4) Mabisa ro guna (Berwibawa dan kharismatik)
5) Mandinga nggahi rawi pahu (Satu kata dengan perbuatan)
6) Mataho hidi (Keturunan Orang Baik)
7) Ma di woha dou (Merakyat)
8) Dou mawara (Mapan secara ekonomi)

Nggusu Waru memiliki filosofi yang bernilai tinggi dan tidak hanya tinggi akan
tetapi maknanya seluas samudra dan membantu dalam membangun kehidupan yang
beramanah. Oleh karenanya makna nggusu waru ini jika kemudian di implementasikan
dalam kehidupan dou mbojo maka bahagia dunia dan akhirat tentu akan tercapai
.

B. Aktivitas / Tindakan

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan
manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya
konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Identifikasi Aktivitas Budaya Bima Dompu


NO NAMA PENJELASANNYA GAMBAR
AKTIVITAS
1 Compo Sampari Compo Sampari atau penyematan keris
merupakan salah satu tradisi Budaya masyarakat suku
Mbojo di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan
Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang masih
dilakukan apabila seorang anak laki-laki yang akan
disunat/ dikhitan. Compo berarti menaru /memasang
di pinggang dan Sampari adalah nama dari keris yang
digunakan dalam prosesi Compo Sampari ini. Jadi,
Compo Sampari adalah menyarungkan keris kepada
anak-anak yang akan disunat. Pakaian adat yang
digunakan dalam prosesi ini adalah pakaian
tradisional Nusa Tenggara Barat yang biasa disebut
PR
Sembolo.
OSESI COMPO SAMPARI
Esensi dari tradisi ini adalah agar anak
diberikan hak untuk memakai keris dalam rangka
menanamkan harga diri, keperkasaan, keuleta dan
keberanian sebagai seorang pria kstaria yang harus
berani menantang segala cobaan. Keris merupakan
lambang harga diri bagi masyarakat Bima dan Dompu
yang digunakan dalam aktivitas keseharian secara
positif untuk menunjang segala pekerjaan. Prosesi
Compo Sampari dilakukan oleh tokoh adat, pejabat
pemerintahan, dan atau orang tua agar dapat PR
OSESI COMPO SAMPARI
diteladani kelak menjadi seorang kstaria yang harus
berani menantang segala cobaan dan menjunjung
tinggi nilai-nilai integritas dalam kehidupan
bermasyarakat.
Melakukan ritual Compo Sampari diawali
dengan dzikir dan doa kemudian keris diarahkan
mengelilingi tubuh anak yang dikhitan sebanyak tiga
kali, atau tujuh kali, sambil bershalawat kepada Nabi
Muhammad Saw, lalu keris disematkan pada
pinggang bagian kiri anak. Proses penyematan keris
dilakukan dengan cara berdiri dan saling berhadapan
antara anak yang dikhitan dengan orang yang akan
menyematkan keris.Usai menyematkan keris ditutup
dengan shalawat Nabi dan "Maka", yakni gerakan
hentakan kaki ke bumi sambil mengacungkan keris.
2. Mbolo Weki Secara arti kata (dalam bahasa Bima). Mbolo
berarti lingkar dan atau melingkar. Sedangkan Weki
dapat berarti masa, kumpulan, kerumunan dan atau
sekelompok. Mbolo Weki adalah acara musyawarah
mufakat yang biasanya diselenggarakan untuk
mempersiapkan suatu acara juga pesta (penting) dari
sebuah keluarga pada Suku Mbojo-Dompu.
Diantaranya pernikahan, khitanan, atau tahlil/doa
pasca meninggalnya anggota keluarga. Mbolo Weki
biasanya dihadiri oleh setidaknya perwakilan dari
seluruh keluarga besar, kerabat, juga tetangga dan
masyarakat setempat. Hal-hal yang dimusyawarahkan
dalam Mbolo Weki biasanya seperti penentuan hari
baik, pembagian tugas (kepanitiaan acara), mendata
segala kebutuhan dan keperluan acara, menyepakati
apa-apa yang akan dilaksanakan dalam K
EGIATAN MBOLO WELI
berlangsungnya acara tersebut.
Salah satu hal unik dalam Mbolo Weki yaitu
keluarga yang menyelenggarakan acara tidak akan
menanggung sendiri beban materil dalam
menyelenggarakan acara tersebut. Orang-orang yang
hadir akan turut memberi sumbangsih sesuai kapasitas
dan kemampuan. Pemberiannya bisa bermacam-
macam, bisa berupa uang tunai, hewan ternak,
padi/beras, hasil kebun, dan lain sebagainnya.
Mbolo Weki sudah dilaksanakan secara turun-
temurun sejak jaman buyut-buyut terdahulu. Orang-
orang yang datang (Weki), biasanya langsung
memposisikan diri untuk duduk mebentuk lingkaran
(Mbolo). Kaum laki-laki/bapak-bapak berada di
ruang tamu, atau ruang utama yang lebih luas. Kaum
laki-laki biasanya akan bermusyawarah perihal segala
keperluan yang dibutuhkan. Mbolo Weki
dilaksanakan di halaman rumah, tanah lapang dan
sebagainya untuk menyesuaikan jumlah orang yang
hadir di acara tersebut. Setelah tercapai kesepakatan,
semua yang hadir akan mendengarkan kesepakatan itu
dibacakan. Lalu menutup acara Mbolo Weki dengan
doa dan salawat sambil bersalam-salaman.
Mbolo Weki prosesi memiliki makna bahwa
Mbolo Weki merupakan suatu acara yang
dilakukan secara terhormat dalam tradisi yang
bertujuan untuk mempererat hubungan dalam
kesatuan sosial masyarakat, seperti adanya bantuan
dari kelompok orang, yang dimaksudkan dengan
adanya pemberian sumbangan secara bergilir dengan
tujuan salah satunya untuk meringankan beban biaya
acara keluarga yang berhajat, dan tradisi ini sangat
bermanfaat untuk berbagai kalangan sosial dalam
masyarakat suku Bima.

3 Salama Loko / Dalam tradisi Masyarakat Bima-Dompu juga


Kiri Loko dikenal adanya Upacara Nujuh Bulan atau dikenal
dengan Kiri Loko atau Salama Loko. Upacara ini
digelar saat kandungan seorang ibu yang baru pertama
kali mengalami hamil memasuki usia tujuh
bulan.Upacara ini penuh dengan simbol dan makna.
Karena upacara ini dihajatkan untuk menjaga agar
sang ibu bersama calon bayi berada dalam keadaan
sehat wall afiat baik jasmani maupun rohani. Dengan
harapan apabila sang bayi sudah lahir dengan selamat
akan menjadi anak yang beriman, bertaqwa, cerdas
dan berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Upacara dilaksanakan pada waktu “Maci Oi
Ndeu” (manis air mandi) dalam pengertian pada
waktu yang cocok untuk memandikan bayi, yaitu
sekitar jam 09.00 yang dihadiri oleh para ibu-ibu dan
“Sando Nggana” (dukun beranak). Tapi seiring
kemajuan ilmu kesehatan, peranan Sando Nggana
sudah mulai berkurang. Pada masa sekarang, upacara
ini didampingi oleh bidan dan juga Sando Nggana.
Jadi perpaduan antara ilmu tradisional dan moderen
tetap dilakukan oleh masyarakat Bima-Dompu.
Diawali dengan do’a bersama oleh para ibu
memohon kepada Allah SWT agar sang ibu bersama
bayi dalam kandungan selalu dalam keadaan sehat
wal afiat. Karena itu upacara ini dinamakan upacara
Salama Loko atau selamatan Perut. Aksesoris berupa
kain berlapis juga dipergunakan oleh Suku Mbojo
yang ada di Dompu, yang disebut dengan Tembe SALAMA LOKO
Kanefe (kain atau sarung tradisional). Calon ibu harus
menyiapkan beberapa helai sarung yang simbolnya
nanti akan dipakai untuk menggendong dan mengasuh
bayinya. Simbol ini merupakan bentuk tanggung
jawab, yang melahirka anak ke dunia ini untuk
mengasuh, merawat, melindungi dan membimbing
dengan benar agar ia menjadi anak yang berguna bagi
semua. Selain itu, terdapat juga terdapat setandan
pisang dan beras kuning dan putih yang dipakai untuk
menancapkan lilin-lilin kecil yang dinyalakan
semenjak prosesi dimulai. Beras dan pisang sebagai
lambang doa kemakmuran dan rejeki beragam bagi
calon ibu dan bayinya kelak. Cahaya lilin sebagai
penerang dalam menjalani kehidupan sehari-hari
kelak. Tidak lupa sebutir kelapa yang airnya akan
dipakai untuk memandikan sang calon ibu. Sebutir
telur sebagai perlambang asal muasal dari sesuatu
yang tengah ditunggu. Minyak yang diolesi di atas
perut calon ibu juga sebagai harapan, agar saat
melahirkan nanti calon ibu bisa dengan mudah
menjalani prosesnya serta mampu melahirkan dengan
normal.
Sebagai awal prosesi, sang calon ibu tidur di
atas tujuh lapis kain dengan daun pisang termuda
serta kain putih yang baru pertama kali dipakai - kain
putih ini harus benar-benar baru bukan kain sisa
pakai. Di atas kain putih tersebut, uang receh dalam
jumlah yang banyak diletakkan. Sebutir telur dan
minyak disiapkan di sisi perut calon ibu. Diawali oleh
seorang perempuan sebagai pelaksana utama, lalu
diikuti oleh satu per satu wanita yang dituakan atau
dihormati di kampung tersebut, mengelus perut calon P
ibu, dilanjutkan dengan mengelus telur secara merata ROSESI SALAMA LOKO
di perut calon ibu yang diiringi doa masing-masing
pengelus. Sembari melafalkan doa dan harapan-
harapan akan kebaikan bagi si ibu dan bayinya kelak,
para pengelus perut memberi nasehat dan menguatkan
hati calon ibu untuk sabar, tenang ketika menjalani
masa-masa akhir kehamilan termasuk saat melahirkan
kelak. Banyaknya orang yang akan mengelus perut
calon ibu ini biasanya ganjil, tujuh atau sembilan
orang.
Setelah proses elus perut selesai, calon ibu
dibungkus kain yang penuh dengan uang receh
tersebut. Dengan tergopoh-gopoh, pelaksana Kiri
Loko, meminta calon ibu untuk bangkit dan segera
berjalan cepat menuju ibu-ibu undangan. Uang receh
tersebut disebar keberbagai tempat para undangan
yang sedari tadi bersiap untuk saling berebut setiap
receh yang dilemparkan oleh calon ibu. Suasana pun
seketika pecah, riuh oleh sorak dan lengkingan
gembira para ibu yang saling rebut uang receh. Inilah
salah satu acara yang ditunggu dalam setiap tradisi
Kiri Loko. Berebut uang receh dari calon ibu dan aksi
saling dorong dan hiruk pikuk keramaian akan
terdengar saat ini. Prosesi ini merupakan simbol
bersedekah dan berbagai kelebihan rezeki. Bukan
nilai atau jumlahnya yang direbut tamu, melainkan
karena uang receh tersebut dianggap dan dipercaya
memiliki berkah tersendiri bagi yang mendapatkan.
Usai melemparkan receh kepada para undangan,
calon ibu kemudian dimandikan dengan air kembang
yaitu Wunta Mundu (kembang melati), Wunta
Kananga (kembang kenanga) dan wunta jampaka
(kembang cempaka) dan air kelapa sebagai
perlambang mensucikan calon ibu agar diberi
kemudahan melahirkan kelak. Calon ibu juga diminta
berkaca sembari menyisir rambutnya sebagai simbol
bahwa wanita ini telah siap menjadi ibu dan
menerima sang bayi lahir ke dunia, dengan wajah PRO

yang berseri karena bahagia. Dalam prosesi mandi air SESI SALAMA LOKO

kelapa yang sudah dibelah dua oleh pelaksana Kiri


Loko, Kemudian dibuang ke belakang oleh calon ibu.
Konon, kalau tempurung kelapa menghadap ke atas,
diramalkan kelak bayinyaakan berjenis kelamin
perempuan. Dan jika tempurung kelapa tersebut jatuh
tertelungkup, kelak bayinya berjenis kelamin laki-
laki. Prosesi terakhir sebagai penutup seluruh
rangkaian acara adalah saat seutas benag putih
melingkar, disusupkan keseluruh tubuh calon ibu dari
atas kepala hingga ujung kaki. Ini sebagai simbol
sekaligus mengingatkan bahwa manusia itu sewaktu-
waktu dapat saja kembali pada Sang Pecipta.
Setelah acara inti Kiri Loko berakhir,
dilanjutkan dengan acara santai yang diisi dengan
makan rujak bersama. Sebelumnya, jika pada kegiatan
selamatan lainnya, masyarakat akan bergotong royong
memasak untuk kebutuhan konsumsi acar, maka di
acara Kiri Loko, para ibu sibuk mengolah rujak
sebagai panganan bagi para tamu. Rujak terbuat dari
berbagai macam buah-buahan. Makan rujak bersama
menjadi salah satu acara wajib dalam tradisi Kiri
Loko. Ada kebersamaan yang terbangun sebagai
komunikasi tidak langsung antar sesama warga yang
hadir sebagai tamu.
4 Cafi Sari Kebagiaan menerima anggota keluarga baru
selalu dirayakan dengan berbagai kegiatan sebagai
ungkapan rasa syukur akan kelahiran bayi dalam
keluarga tersebut. Rangkaian kegiatan dalam
menerima "tamu" baru itu, dalam tradisi masyarakat
Mbojo, masih banyak dilakukan adalah Cafi Sari
yakni kegiatan sederhana membersihkan bayi secara
simbolik dari lumuran darah sesaat setelah bayi lahir.
Hal ini biasanya dilakukan oleh dukun beranak atau di
Dompu dikenal dengan nama Sando Nggando.
Sesungguhnya, Cafi Sari ini memiliki arti
menyapu bale-bale. Menyapu juga dapat diartikan
dengan membersihkan dalam bahasa Bima, Cafi Sari
dalam hal ini mengadung arti membersihkan bale-bale
dari kotoran serta darah ibu ketika melahirkan
bayinya, agar rumah menjadi bersih dan menyediakan
udara serta kondisi rumah yang baik bagi si bayi yang
baru lahir. Masyarakat Mbojo tradisional, biasanya
rata-rata memiliki bale bambu yang fungsinya sebagai
tempat bersantai atau dulu, dipakai juga sebagai
tempat melahirkan bagi para ibu. Bale bambu ini
disebut dengan Sarangge. Di Sarangge inilah, bayi
dilahirkan dibantu oleh Sando.
Upacara cafi sari dilakukan setelah bayi
berumur tujuh hari atau setelah tali pusarnya jatuh
atau dikenal dengan nama Mabu Woke. Maksud dari
upacara ini, ialah menyampaikan puji syukur kepada
Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya karena sang
ibu bersama bayi sudah lahir dengan selamat.
Menurut kepercayaan tradisional pada usia tujuh hari,
bayi akan memasuki kehidupan dunia, dan
meninggalkan kehidupan dalam kandungan. Selain
itu, ritual ini dilakukan sebagai usaha awal dilakukan
oleh orang tua agar sang bayi selalu menjaga
kebersihan lahir bathin termasuk kebersihan
lingkungan serta pola hidup bersih dan sehat mulai
dari makanan, minuman, lingkungan, kebersihan
badan dan juga niat yang tulus dalam menjalani
kehidupan dunia menuju akhirat.
Cafi Sari biasanya dilakukan oleh Sando
Nggana atau dukun beranak pada pagi hari sekitar
pukul Sembilan pagi. Buah Kelapa, Nasi Kuning,
Karodo, pisang disiapkan di atas lantai lalu sando
nggana memukul lantai. Pada zaman rumah panggung
dulu, biasanya si bayi diletakan di lantai bambu dan
bambu dipukul oleh Sando Nggana. Sebagai tanda
terima kasih kepada sando nggana, sang ibu memberi
“soji”atau sesajen yang terdiri dan kue tradisional
mbojo. Seperti pangaha kahuntu, karuncu, pangaha
bunga, pangaha sinci, ka dodo, arunggina dan
kalempe. Penyerahan soji merupakan lambang
harapan orang tua, agar bayinya kelak akan hidup
bahagia sejahtera.
5 Ngaha Kawiri Ngaha Kawiri secara arti kata dalam bahasa
bima ngaha = makan, kawiri = bubur, jadi ngaha
kawiri dalam bahasa bima artinya makan bubur.
Kegiatan merupakan Tradisi Dompu Tempo Dulu
sebagai bentuk rasa syukur atas kebahagiaan,
keselamatan dan berharap dapat dijauhkan dari segala
macam musibah dan bencana. Masyarakat Dompu
mempercayai tradisi sebagai salah satu cara untuk
Tolak Bala atau mengusir roh dan arwah jahat yang
mengganggu ketentraman masyarakat setempat.
Biasanya kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat pada
setiap Jum’at Pagi atau menjelang terbitnya fajar dari
ufuk timur.
Kegiatan ini selain untuk mengusir roh dan
arwah jahat yang menggentangi masyarakat, juga
memiliki Nilai Sosial yang sangat tinggi, dimana KEGIATAN NGAHA KAWIRI
dapat mempererat tali silahturahmi antar warga.
Menurut cerita warga setempat, Tradisi ini pertama
kali diperkenalkan oleh Syekh Abdul Gani, yang
terkenal dengan sebutan Al Dompuwi atau Al Bimawi
Pemuka Agama Islam di Dompu yang termasyhur
pada Abad ke~19. Pada saat itu, roh dan arwah jahat
masih kental menghantui masyarakat Dompo (sebutan
Dompu masa lalu). Dalam prosesinya, masyarakat
dari berbagai kalangan dilibatkan, terutama
anak~anak yang masih berusia dini. Pasalnya, Anak
Usai Dini rentan diganggu oleh mahluk halus. Setiap
warga berpartisipasi untuk membuat bubur secara
massal. Kemudian menyajikan bubur yang telah jadi
pada wadah besar seperti Niru/Ndoku
Sebelum makan, biasanya didahului dengan
membaca Do’a Tolak Bala dan memohon
keselamatan, ketentraman dari Allah SWT.Untuk
memakan bubur ini, tidak bisa dilakukan di atas
Rumah (Rumah Panggung) atau di dalam Rumah
(Rumah Batu) melainkan harus diluar atau halaman
rumah. Setelah kegiatan ngaha kawiri bersama-sama
biasanya, orang yang mempunyai hajat memberikan
uang jajan kepada anak-anak sebagai bentuk terima
kasih karna telah mendoakan keselamatan orang yang
berhajat.

C. Artefak / Karya

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal
mengatur, dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Identifikasi Artefak/Karya Budaya Bima Dompu

N NAMA PENJELASAN GAMBAR


O ARTEFAK
1 Tembe Nggoli Tembe Nggoli (sarung nggoli) adalah kain tenun khas
Bima dan Dompu, Nusa Tenggara Barat(NTB). Kain yang
terbuat dari benang kapas atau katun tersebut memiliki
beragam warna yang cerah dan bermotif khas sarung tenun
tangan. Bagi Masyarakat suku MBojo, tenun Tembe Nggoli
ini merupakan warisan budaya yang hingga kini terus dijaga.
Bahkan sebagian besar warga perempuan suku mbojo masih
menekuni tradisi menenun sarung Tembe Nggoli, yang
diwarisi secara turun temurun. Teknik menenunnya juga
cukup unik, yakni menggunakan alat tenun tradisional
TEMBE NGGOLI
Gedogan yang penggunaannya dengan cara dipangku oleh si
penenun dengan posisi duduk selonjor.

Tembe Nggoli merupakan kain tenun sarung khas


Bima yang unik dan berkualitas. Keistimewaan lain yang
dimiliki oleh Tembe Nggoli yakni berbahan halus, tidak
mudah sobek, dan dapat menghangatkan tubuh. Tembe
Nggoli memiliki keunikan, bila dipakai saat cuaca dingin
akan hangat, begitupun saat dipakai saat cuaca panas akan
terasa dingin. Berdasarkan fungsi, Tenun Tembe Nggoli ini
dibagi menjadi beberapa jenis. Tembe Songke atau Sarung
sebagai tenun unggulan, Sambolo (Destar) atau ikat kepala
yang bisa dipakai kaum laki-laki yang memasuki usia
remaja. Weri atau ikat pinggang yang terbuat dari Malanta
Solo, Baju Mbojo dan Syal atau selendang yang biasa
dipakai kaum pria Bima sebagai hiasan saat menghadiri
pesta atau sebagai selempang bagi para wanitanya. Kain
tenun ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
produk unggulan NTB yang kini tengah dipersiapkan
memasuki tahapan industrialisasi. Yakni peningkatan nilai
tambah ekonomi terhadap produk-produk tersebut. Misalnya MENENUN TEMBE NGGOLI
dengan meningkatkan kapasitas produksi, memperkuat
kualitas kemasan/corak dan mutu serta memperluas jaringan
marketing atau memasarkannya dalam bentuk barang jadi.
Termasuk dalam mendukung kegiatan industrialisasi sektor
pariwisata.
2 Uma Lengge Uma Lengge merupakan rumah warisan leluhur suku
Mbojo. Sejak zaman dahulu sampai sekarang Di Bima,
terdapat bangunan tradisional yang kelestariannya masih
dijaga hingga sekarang. Uma Lengge merupakan bangunan
tradisional suku Mbojo yang berada di Kecamatan Wawo
Kabupaten Bima. bangunan tersebut berbentuk kerucut. Pada
zaman dahulu, Uma Lengge digunakan sebagai tempat
tinggal oleh masyarakat Wawo dan sebagian digunakan juga
sebagai lumbung.
Dari namanya, sudah tergambar bagaimana uniknya
bangunan tradisional tersebut. Uma Lengge, Uma berarti
berarti rumah dan Lengge berarti mengerucut atau pucuk
yang menyilang. Dari model bangunannya, secara umum
struktur Uma Lengge berbentuk kerucut setinggi 5-7 cm,
dengan menggunakan 4 batang kayu sebagai tiang
penyangga. Sementara pada bagian atapnya, terbuat dari
tumbuh-tumbuhan alang-alang yang sekaligus menutupi tiga
per empat bagian rumah sebagai dinding dan memiliki pintu
masuk dibagian bawah atap. Bangunan yang mirip rumah ini
sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Walau
terlihat sederhana, bangunan ini pasti membutuhkan artistik
yang unik dan harus ada keahlian khusus untuk
membuatnya, semua bahan bangunannya berupa kayu dan
bambu serta rumbia atau ilalang sebagai bahan atap dan
dindingnya.
Dibagian dalam terdapat langit-langit atau taja uma yang
terbuat dari kayu lontar, serta lantai sebagai alasnya yang
terbuat dari kayu pohon pinang atau pohon kelapa. Pada
bagian tiang rumah juga digunakan kayu sebagai
UMA LENGGE
penyanggah, yang fungsinya sebagai penguat setiap tiang-
tiang uma lengge. Uma lengge terdiri dari 3 lantai. Lantai
pertama dipergunakan untuk menerima tamu dan kegiatan
upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur
sekaligus dapur. Sementara pada lantai ketiga digunakan
untuk menyimpan bahan makanan, seperti padi dan lain-lain.
Bangunan Uma Lengge tidak sembarang dan ternyata
memiliki makna tersendiri yang berdasarkan kepercayaan
suku. Uma Lengge umumnya menggunakan empat tiang
yang menumpu pada fondasi berupa sebuah batu sebagai
tumpuan tiang. Konstruksi bangunan ini agar tahan gempa
dan angin kencang atau dalam arti lainnya tidak mudah
runtuh. Seluruh bagian merupakan satu kesatuan yang
diletakkan di atas batu begitu saja.
Tiang atau dalam bahasa Bima nya Ri'i Uma berbentuk
huruf A. Setiap Ri'i diberi Wole semacam pasak untuk
mengunci tiangnya. Ukuran fondasi biasanya bervariasi,
tergantung besar tiang penyangga bangunan, pada
pemasangan fondasi, lansung diletakkan di permukaan
tanah. Untuk tiang penyangga biasanya digunakan kayu Jati,
dengan sistem penyambungan menggunakan sambungan
kayu dengan dimensi 5x6 meter. Ini sesuai dengan adat
setempat, untuk jumlah tiang harus dengan jumlah empat
karena tiang yang berjumlah lebih itu untuk rumah para
bangsawan, melayu dan bugis.
Yang menarik dari Uma Lengge yaitu tikus tidak dapat
naik ke atas rumah karena terhalang oleh Ngapi, dan batu
fondasi pun konon katanya dimantrai oleh para sando
(Dukun) supaya tikus tidak bisa naik ke atas rumah. Lantai
Uma Lengge menggunakan bahan dari bambu yang disebut
Ngori Sari dan bertingkat tiga. Seperti pada tiang, lantai
pertama juga tidak menggunakan paku untuk penyambungan
hanya diikat dari tali yang terbuat dari kulit pohon pisang
dan kulit pohon lainnya dan lantai pertama di gunakan untuk
aktifitas menerima tamu ataupun menenun. Pada lantai
kedua juga terbuat dari bambu yang digunakan untuk ruang
tidur disebut Ade Uma agar dapat naik ke lantai kedua
menggunakan tangga disebut Karumpa Ntada yang dibuat
antara tiang-tiang penyangga. Lantai tiganya disebut Pamoka
untuk menyimpan bahan makanan.Tepat di kolong lantai dua
terdapat kandang ayam yang disebut Tada Janga yang
sengaja dibuat oleh pemilik rumah. Tujuannya adalah ketika UMA LENGGE
ayam berkokok agar terdengar jelas dan langsung
membangunkan tuan rumah. Kadang juga di dalam rumah
ditaruh Jaba Kawubu yaitu sejenis burung puyuh yang
diyakini bisa menolak ilmu santet.
Pada bagian atap rumah terbuat dari jerami dan daun
kelapa yang disebut dengan Butu Doro. Uma lengge ini
merupakan awal bangunan arsitektur zaman Ncuhi suku
Mbojo sekiataran abad 12 masehi. Masa kepopulerannya
berakhir pada tahun 1990 Masehi, dan sekarang salah satu
wilayah yang masih menjaga kelestarian Uma Lengge
tepatnya di Desa Maria, Kecamatan Wawo. Jika pemilik
rumah akan berpergian jauh maka tangga di rumahnya akan
disimpan di samping rumahnya untuk menandakan dia tidak
berada di rumah atau sedang bepergian. Tangga itu disebut
Karumpa Ntada.
Dalam kepercayaan agama lama Suku Mbojo, bahwa
arwah leluhur mereka bersemayam di atas atap rumah
mereka yang disebut Wanga. Di situ mereka meyakini
bahwa arwah leluhurnya menjaga keselamatan yang punya
rumah dan juga dimantrai. Uma Lengge umumnya
menggunakan empat tiang yang menumpu pada fondasi
berupa sebuah batu sebagai tumpuan tiang. Konstruksi
bangunan ini agar tahan gempa dan angin kencang atau
dalam arti lainnya tidak mudah runtuh. Seluruh bagian
merupakan satu kesatuan yang diletakkan di atas batu begitu
saja

UMA LENGGE

3 GendaMbojo Gendang yang dikenal di Bima dengan sebutan Genda


(Gendang) atau Genda Mbojo. Genda atau gendang sebagai salah satu
alat musik tradisional Bima Dompu merupakan jenis alat
musik Perkusi. Genda juga dapat dikategorikan sebagai
sebuah sajian musik dalam bentuk ansambel. Hampir seluruh
tarian dan atraksi kesenian tradisional Bima Dompu selalu
menggunakan Genda sebagai musik pengiring. Menurut
seniman Bima Linda Yuliarti, Genda adalah alat musik
Membranophone yang berbentuk silinder dan menggunakan
membran pada dua sisinya yang berfungsi sebagai pengatur G
tempo dan dinamik dalam mengiringi tarian atau atraksi seni ENDA MBOJO
budaya Bima Dompu seperti Gantao, Mpa’a Sila, Buja
Kadanda dan lain-lain.
Bahan pembuatan Genda adalah dari Kayu (Yang
ideal adalah Kayu Nangka), kulit kambing dan rotan. Jumlah
genda dalam setiap pertunjukkan biasanya satu pasang( Dua
Gendang), masing-masing disebut Ina Genda dan Ana
Genda (Ibu dan Anak Gendang). Kedua gendang tersebut
(Ana dan Ina Genda) memiliki ukuran yang berbeda, begitu
pula dengan irama dan nadanya.
Menurut seniman tradisional Bima Dompu M. Hilir
Ismail, Genda yang berkualitas harus dibuat dari Kayu
Nangka. Karena kayu nangka dikenal sangat nyaring
bunyinya. Sedangkan untuk membrannya adalah dari kulit
Kambing (Huri Mbe’e) yang teruji kuat dan tahan lama.
Ukuran Genda sebagai pengiring Tari Kalsik lebih besar
dibandingkan dengan ukuran Genda pengiring Tari Rakyat.
Ukuran silinder Genda Na’e (Gendang Besar) adalah sebagai
berikut : Tinggi lebih kurang 66 cm, garis tengah bagian
atas lebih kurang 30 cm, garis tengah bagian bawah lebih
kurang 21 cm. Ukuran silinder Genda To’i (Gendang Kecil)
adalah tinggi lebih kurang 40 cm, garis tengah bagian atas
lebih kurang 20 cm, garis tengah bagian bawah lebih kurang GENDA MBOJO
16 cm. Bagian fisik Genda terdiri dari Ponto Genda
( Penampang Gendang) ditutup dengan kulit kambing. Ai
Genda (Tali Gendang) dibuat dari rotan. Sarumbu Genda
(Badang Gendang) dibuat dari kayu nangka (Boleh Juga dari
jenis kayu lainnya). Ana Genda (Pemukul Gendang) dibuat
dari potongan kayu dengan ukuran lebih kurang 15 cm

4. Sarone (Serunai) Sarone adalah sebuah alat musik tiup dari Kabupaten
Bima Dompu. Alat musik ini termasuk golongan aerofon
yang berlidah. Sarone adalah alat tiup yang digunakan untuk
mengiringi beberapa kesenian tradisional seperti Tari lenggo,
Mpa’a Manca, Mpa’a Gantao dan lain-lain. Menurut jumlah
lidahnya termasuk tipe klarinet karena lidahnya hanya satu,
yang menurut bahasa setempat, lidah ini disebut Lera.
Bentuk tabungnya adalah konis ( makin lama makin besar)
Sarone, dibuat dari dua bahan pokok yaitu buluh ( jenis
bambu kecil) dan daun lontar. Lolo dan anak lolo terdiri atas
bulu.. Pada lolo terdapat 6 (enam) bongkang ( lubang) di
atas, dan satu lubang di bawah. Cara melubangi dilakukan
dengan menggunakan kawat besar yang dibakar. Jarak antara
lubang yang satu dengan yang lainnya diukur dengan
mengambil ukuran keliling lolo. Sedang lubang yang ada di
bawah, jaraknya ½ (setengah)dari jarak antara dua lubang
diatas.
Sarone ada yang berlubang lima di atas dan ada yang
berlubang 6 (enam) di atas. Sedang lubang dibawah tetap
satu. Untuk yang mempunyai lima lubang, nada – nadanya
adalah, do, re, mi, fa dan sol. Bila sarone ditup, nada do
diperoleh dengan menutup semua lubang, baik lubang diatas
maupun lubang di bawah. Nada re diperoleh dengan
S
membuka lubang paling bawah. Nada mi diperoleh dengan
ARONE
membuka dua lubang nada fa dengan membuka tiga lubang.
Sedang nada sol diperoleh dengan menutup lubang kedua
dari atas, sementara lubang – lubang yang lain dibuka. Pada
serune yang memiliki enam lubang, bertambah satu nada
yaitu nada si.
5 Saduku Orang-orang Bima menyebutnya Sanduru. Saduku
adalah tempat/wadah untuk menyimpan nasi. Ketika orang-
orang Bima Dompu atau suku Mbojo ke kebun atau ke
ladang mereka selalu membawa makanan dengan Saduku.
Ukuran Saduku juga bermacam-macam, ada yang kecil dan
ada juga yang besar. Saduku kecil dengan ukuran tinggi 25
cm dan lebar 20 cm digunakan untuk menyimpan nasi untuk
ukuran satu sampai dua orang. Sedangkan yang besar
dugunakan untuk kebutuhan lebih dari lima orang.
Pengalaman warga Sambori, menyimpan nasi dengan
Saduku bisa bertahan sampai 3 hari dan tidak basi. SADUKU

Bahan dasar pembuatan Saduku adalah daun lontar


yang dibelah kecil-kecil. Proses pembuatannya melalui
perendaman sekitar 2 jam kemudian dijemur. Lalu pada sore
hari hingga malam hari kaum perempuan menganyam
saduku secara bersama-sama. Dalam satu hari, warga
Sambori mampu menghasilkan 3 sampai 5 Saduku, jika tidak
ada kesibukan lain seperti menanam atau bekerja di sawah.
Menurut masyarakat, Saduku yang kuat dan tahan
lama sadalah Saduku yang dianyam dari serat Laju. Laju
adalah pohon jenis palma, tetapi pohonnya tidak tinggi
seperti Fu’u Ta’a (Pohon Lontar) dan Ni’u (Nyiur). Pohon
ini banyak terdapat di lahan-lahan kering dan dataran tinggi
sekitar Sambori. Daunnya berserat dan kuat tidak mudah
putus atau terpotong. Dari Ro’o Laju dibuat dua jenis wadah
SADUK
untuk menyimpan kacang hijau, kadele atau jagung dan
U
beras. Bentuknya bulat panjang seperti kantung, dengan
ukuran 25 kilogram. Berdasarkan ukurannya, jenis wadah
Dari Ro’o Laju terdiri dari dua jenis, yaitu yang besar
bernama Balase dan yang kecil disebut Saduku/ Sanduru.

Anda mungkin juga menyukai