Isbd - Syifa Madaniyah - E1m020064 - Kimia 2C
Isbd - Syifa Madaniyah - E1m020064 - Kimia 2C
Tentang
UNIVERSITAS MATARAM
2021
Wujud Kebudayaan
Budaya adalah cara kehidupan yang mencakup pengetahuan, sikap, pola perilaku,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki dan
diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu sebagai bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran hidup guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang bersifat tertib dan damai.
Istilah budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal), yang artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa inggris budaya disebut dengan culture yang berasal dari bahasa latin,
yaitu colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
budaya adalah pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
yang sukar diubah (Gunawan, 2000).
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan dan karya seni. Budaya merupakan kumpulan pola-pola kehidupan yang dipelajari
oleh sekelompok manusia tertentu dari generasi-generasi sebelumnya dan akan diteruskan
kepada generasi yang akan datang.
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak yaitu tidak dapat
diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam pemikiran warga masyarakat. Jika
masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan, dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut.
Identifikasi Wujud Ideal Budaya Bima Dompu
1 Maja labo Dahu Satu hal yang menjadi identitas yang melekat pada manusia Bima yaitu
falsafah hidupnya serta orientasi universalisasi falsafahnya yang akan mudah diterima
bagi seluruh umat manusia. Falsafah itu adalah “Maja Labo Dahu” berarti malu dan
takut, yang berorientasi pada perdamaian dan kemanusiaan. Manusia Bima
menebarkan nilai kebaikan dan kemanusiaan melalui falsafah hidupnya. Ini merupakan
cara manusia Bima merealitaskan konsep ideologi atau falsafah yang telah ditanamkan
sejak manusia Bima hadir di muka bumi ini.
Secara historis Falsafah Maja Labo Dahu merupakan hasil pergulatan panjang
dari realitas kehidupan sosial, politik dan agama masyarakat Bima pada masa silam.
Seperti ketimpangan yang terjadi dimasyarakat karena banyaknya perbedaan
pandangan maupun kepentingan. Sehingga hadirlah sebuh falsafah Maja Labo Dahu
sebagai falsafah hidup perdamaian.
Kata “Maja” yang artinya malu (harga diri) ditanam dalam diri ketika manusia
bima melakukan sesuatu yang dianggap merugikan manusia lainnya dalam kehidupan,
artinya mencegah sikap buruk melalui “Maja” atau malu terhadap manusia lainnya,
malu berbuat buruk. Rasa malu telah ditanamkan secara turun temurun oleh Nenek
Moyang suku Bima sejak manusia Bima hadir di muka bumi ini. Sebab rasa malu
tidak hadir begitu saja dalam pribadi manusia tanpa di bangun dengan kesadaran,
dipraktikkan dan dirawat menuju manusia yang manusia.
Setelah “Maja” atau malu kemudian ada “Dahu” atau takut, rasa “Dahu” atau
takut tidak digunakan dalam peperangan atau keberanian dalam mempertahankan diri
ketika menghadapi musuh yang dapat mengancam nyawa. Dahu atau takut ditanam
dalam diri manusia sebagai pengendali diri dalam tindakan yang amoral seperti
melanggar hukum Tuhan atau norma yang telah mengatur kehidupan bermasyarakat.
Takut ketika berbuat buruk dan berani berbuat baik.
Secara universal budaya Maja Labo Dahu ini selaras dengan kehidupan umat
manusia yaitu berupaya untuk menciptakan perdamaian di dunia dengan malu dan
takut melanggar aturan, hukum, kejahatan kemanusiaan dan hal buruk yang dapat
merusak tatanan sosial masyarakat. Tidak memaksakan kehendak sendiri kepada
manusia lainnya serta menjunjung tinggi budaya menghargai dan memanusiakan.
2 Nggahi Rawi Pahu Arti kata Nggahi Rawi Pahu ini yang sebenarnya adalah pertama (nggahi).
Nggahi yang artinya bilang/mengatakansesuatu apa yang dipkirkan dan apa yang
dilihat yang keluar dari mulut seseorang. Kedua, rawi kata yang artinya
“perbuatan/sikap” yang hasil dari apa yang mereka katakan terus yang dapat
diaplikasikan langsung melalui sikap dan perbuatan seseorang. Dan yang ketiga,pahu
kata pahu yang maknanya “bentuk/wujud” atau bukti nyata dari apa yang
dikatakan/bicarakandan langsung dilakukan dengan sikap/perbuatan, sehingga tidak
sia-sia apa yang mereka katakana dihadapan orang lain.
Jadi Masyarakat Bima Dompu harus berpegang teguh sama pandangan
daerahnya tersebut diamanapun mereka berada baik berada didalam daerahnya sendiri
maupun diluar daerahnya mereka harus menajalankannya. Dalam berbicarapun harus
sesuai dengan kenyataanya agar orang lain tidak menggap remeh terhadap apa yang
kita bicarakan.
Istilah Nggahi Rawi Pahu sudah menjadi Filosofi Hidup bagi masyarakat suku
Mbojo (Bima-Dompu). Istilah ini muncul tidak begitu saja, melainkan disebabkan
karena masyarakat suku Mbojo adalah masyarakat yang pekerja keras. Istilah ini jika
didefnisikan secara harfiah “Nggahi” berarti Ucapan, “Rawi” berarti Perbuatan, dan
“Pahu” berarti Bentuk. Namun, jika dimaknai secara filosofi merupakan perwujutan
sikap konsisten dari apa yang diucapkan untuk dilakukan sekuat tenaga sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan bermakna. Ngahi Rawi Pahu berkaitan
dengan ucapan atau janji seseorang kepada orang lain yang harus ditepati. Jadi, tidak
heran istilah ini dijadikan Filosofi hidup bagi masyarakat Mbojo.
Filosofi hidup ini sangat perlu kita lestarikan dan tetap dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk perwujudan dan pengimplementasiannya
adalah melalui Pendidikan Berbasis Nggahi Rawi Pahu. Pendidikan Nggahi Rawi
Pahu yang dimasud oleh penulis adalah suatu pendidikan yang menyatukan Lima
Komponen yaitu Pemerintah, Masyarakat, Sekolah, Keluarga, dan Pendidik untuk
menjalankan pendidikan dalam satu Sistem Nggahi Rawi Pahu. Makna pendidikan
Nggahi Rawi Pahu adalah “Nggahi” yang berarti pendidikan harus diperintah dan
dikoordinir oleh Pemerintah. “Rawi” berarti pendidikan harus dikerjakan oleh
Masyarakat, Sekolah, Keluarga, dan Pendidik. Dan “Pahu” berarti pendidikan harus
menghasilkan masyarakat Bima yang RAMAH (Religius, Aman, Makmur, Amanah
dan Handal).
3 Ngaha Aina Ngoho Konsep “Ngaha Aina Ngoho” berdasarkan emik masyarakat Bima adalah
sebuah filosofi hidup tentang ekologi untuk memaknai keberkahan dari yang Maha
Hidup bagi masyarakat Bima. Konsep “Ngaha Aina Ngoho” terbentuk dari tiga kata,
“Ngaha”, “Aina” dan “Ngoho” yang memiliki anjuran sekaligus juga larangan. Kata
“Ngaha” secara harfiah bermakna makan, “Aina” bermakna “jangan”, dan “Ngoho “
berarti “berladang”. Sebagai sebuah konsep kearaifan lokal tentang ekologi “Ngaha
Aina Ngoho” bila diturunkan dari ketiga makna harfiah kata tersebut dapat dimaknai
sebagai anjuran untuk memanfaatkan sumber daya alam yang dikelola dengan baik
dan hasilnya dapat digunakan untuk keberlanjutan kehidupan manusia disatu sisi, dan
disisi lain berisi larangan untuk jangan semana-mena mengekploitasi alam dan
lingkungan dalam arti jangan rakus, jangan boros memanfatkan hasil alam beserta
lingungan yang diaktualisasikan pada kegiatan “Ngoho”. “Ngoho” adalah aktivitas
pemanfaatan sumber daya alam hutan yang dilakukan untuk membuka lahan pertanian
dengan membakar hutan. Konsep “ Ngoho” ini menjadi kunci pemanfaatan sumber
daya alam yang dilakukan masyarakat Bima, khususnya para peladang berpindah
dalam memanfaatan sumber daya alam hutan.
Aktivitas “ Ngoho” dalam arti pemanfaatan sumber daya alam yang diberikan
oleh yang Maha Hidup pada dasarnya bukan aktivitas kosong tanpa konteks,
melainkan suatu konsep pemanfaatan sumber daya alam yang ekologis dan karena
bersifat ekologis seharusnya aktiviatas tersebut berada dalam bingkai ekosistem yang
tidak boleh dilarang untuk dilakukan, karena sejatinya, aktivitas “Ngoho” adalah
upaya pemanfaatan sumber daya alam yang diatur dalam Peraturan Mentri Lingkungan
Hidup Nomor 10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan, dan Kerusakan
Lingkungan Hidup, terutama untuk hutan adat. Idealnya pemanfaatan hutan sebagai
lahan baru pertanian berdasarkan PP tersebut harusnya dilakukan dalam “pantauan“
dengan berdasarkan nilai kearifan lokal mengacu pada beberapa persyaratan. Falsafah
“ngaha ainangoho” yang berarti larangan untuk melakukan perladangan liar.
Ungkapan ini bermakna nasehat untuk hidup hemat dalam arti luas. Berhemat dalam
segi ekonomi, berhemat dalam menggunakan sumberdaya alam untuk kehidupan di
masa mendatang bagi yang hidup saat ini dan anak cucu.
4 Su’u Sawa’u Sia Sawale Su’u Sawa’u sia sawale mengandung makna bahwa kita harus menjunjung
tinggi amanah dan melaksanakannya sekuat tenaga dan pikiran. Secara denotatif Su”u
berarti menjunjung. Sa wa’u berarti sekemampuan. Sia berarti menahan atau bertahan.
Sawale berarti sekuat atau dengan kuat. Secara konotatif Su’u Sawa’u Sia Sawale
bermakna bahwa amanah yang diemban atau dijalankan sesuai kapasitas diri, sesuai
bidang ilmu dan keahlian masing masing. Istilah kerennya adalah The Right Man On
The Right Place, artinya orang yang benar atau tepat di tempat yang benar atau tepat
pula. Su’u Sawa’u Sia Sawale juga mengandung makna bahwa kita harus betul betul
menahan beban dan melaksanakannya sekuat tenaga dan pikiran.
Su’u Sawa’u Sia Sawale adalah tekad yang dilakukan oleh seseorang yang telah
menerima amanah dan kepercayaan untuk melaksanakan sesuatu. Pada masa lalu,
ucapan ini dilontarkan oleh orang yang menerima perintah atau kepercayaan untuk
dilaksanakan dan dijunjung tinggi secara ihlas, penuh kesadaran dengan segala daya
dan upaya tanpa pamrih. Pesan Su’u Sawa’u Sia Sawale juga memiliki segmen yang
luas dalam peri kehidupan masyarakat Bima. Ketika orang tua menasehati anak
anaknya, ungkapan Maja Labo Dahu dan Su’u Sawa’u Sia Sawale selalu diucapkan. ”
Lembo ade Anae, Su’u Sawa’u Sia Sawale pu Parenta Guru mu.”artinya Lapang dada
lah anakku, junjung tinggi dan dan laksanakan dengan sungguh sungguh apa saja
perintah gurumu.”
Su’u Sawa’u sia sawale adalah trust atau kepercayaan yang dipersembahkan
kepada seseorang yang diyakini dapat menjalankan amanah. Dalam kontreks
kepemimpinan di segala strata kehidupan,Su u Sawa’u Sia Sawale adalah kepercayaan
rakyat kepada pemimpin. Pemimpin harus dapar menjaga kepercayaan itu Jika
pemimpin tidak lagi dapat menjalankan Su’u Sawa’u Sia Sawale, maka kepercayaan
itu akan dicabut oleh pemberi kepecayaan. Su’u Sawa’u Sia Sawale juga memberi
peringatan agar kita tidak serakah dalam kekuasaan. Kita harus melihat kemampuan
diri, bercermin diri itu penting untuk introspeksi apakah pekerjaan, jabatan dan
amanah itu mampu kita laksanakan atau tidak.
5 Nggusu Waru Nggusu Waru adalah konsep ide dan gagasan cemerlang dari leluhur Dana
Mbojo bahwa pemimpin dan kepemimpinan itu harus memenuhi delapan butir
sebagaimana yang tertuang dalam Nggusu Waru. Seorang pemimpin yang memenuhi
delapan kriteria Nggusu Waru adalah luar biasa, namun di tengah godaan zaman
hedonis saat ini cukuplah pemimpin yang memenuhi empat unsur yaitu taqwa, Beilmu
pengetahuan, merakyat dan konsisten.
Pada zaman dahulu, Nggusu Waru dipergunakan sebagai prasyarat kelayakan
seseorang untuk menduduki jabatan raja (hawo), perdana menteri (ruma bicara),
menteri (rato), dan struktur-struktur di bawahnya. Nggusu Waru memiliki dua versi,
yakni versi Dou Mbojo (Bima) dan versi Dou Dompu. Secara umum keduanya mirip,
namun secara redaksional relatif berbeda. Ada satu point di antara kedua versi itu yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Soal penyebutan, Dou Mbojo menyebut Nggusu
Waru dengan pelafalan yang sedikit ditambahi imbuhan, yakni “Manggusu Waru.”
Nggusu Waru dalam bahasa bima artinya sudut delapan ( nggasu=sudut,
waru=delapan). Adapun ke delapan point kriteria Nggusu Waru sebagai berikut:
1) Matoa di Ruma labo Rasul (Taat kepada Allah dan Rasulullah) atau mawara
maja labo dahuna di Ruma Allah ta’ala (Memiliki rasa malu dan takut pada
Allah ta’ala)
2) Maloa ra bade (Cerdas dan bijaksana)
3) Mambani ro disa (Gagah berani)
4) Mabisa ro guna (Berwibawa dan kharismatik)
5) Mandinga nggahi rawi pahu (Satu kata dengan perbuatan)
6) Mataho hidi (Keturunan Orang Baik)
7) Ma di woha dou (Merakyat)
8) Dou mawara (Mapan secara ekonomi)
Nggusu Waru memiliki filosofi yang bernilai tinggi dan tidak hanya tinggi akan
tetapi maknanya seluas samudra dan membantu dalam membangun kehidupan yang
beramanah. Oleh karenanya makna nggusu waru ini jika kemudian di implementasikan
dalam kehidupan dou mbojo maka bahagia dunia dan akhirat tentu akan tercapai
.
B. Aktivitas / Tindakan
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan
manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya
konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
yang berseri karena bahagia. Dalam prosesi mandi air SESI SALAMA LOKO
C. Artefak / Karya
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal
mengatur, dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
UMA LENGGE
4. Sarone (Serunai) Sarone adalah sebuah alat musik tiup dari Kabupaten
Bima Dompu. Alat musik ini termasuk golongan aerofon
yang berlidah. Sarone adalah alat tiup yang digunakan untuk
mengiringi beberapa kesenian tradisional seperti Tari lenggo,
Mpa’a Manca, Mpa’a Gantao dan lain-lain. Menurut jumlah
lidahnya termasuk tipe klarinet karena lidahnya hanya satu,
yang menurut bahasa setempat, lidah ini disebut Lera.
Bentuk tabungnya adalah konis ( makin lama makin besar)
Sarone, dibuat dari dua bahan pokok yaitu buluh ( jenis
bambu kecil) dan daun lontar. Lolo dan anak lolo terdiri atas
bulu.. Pada lolo terdapat 6 (enam) bongkang ( lubang) di
atas, dan satu lubang di bawah. Cara melubangi dilakukan
dengan menggunakan kawat besar yang dibakar. Jarak antara
lubang yang satu dengan yang lainnya diukur dengan
mengambil ukuran keliling lolo. Sedang lubang yang ada di
bawah, jaraknya ½ (setengah)dari jarak antara dua lubang
diatas.
Sarone ada yang berlubang lima di atas dan ada yang
berlubang 6 (enam) di atas. Sedang lubang dibawah tetap
satu. Untuk yang mempunyai lima lubang, nada – nadanya
adalah, do, re, mi, fa dan sol. Bila sarone ditup, nada do
diperoleh dengan menutup semua lubang, baik lubang diatas
maupun lubang di bawah. Nada re diperoleh dengan
S
membuka lubang paling bawah. Nada mi diperoleh dengan
ARONE
membuka dua lubang nada fa dengan membuka tiga lubang.
Sedang nada sol diperoleh dengan menutup lubang kedua
dari atas, sementara lubang – lubang yang lain dibuka. Pada
serune yang memiliki enam lubang, bertambah satu nada
yaitu nada si.
5 Saduku Orang-orang Bima menyebutnya Sanduru. Saduku
adalah tempat/wadah untuk menyimpan nasi. Ketika orang-
orang Bima Dompu atau suku Mbojo ke kebun atau ke
ladang mereka selalu membawa makanan dengan Saduku.
Ukuran Saduku juga bermacam-macam, ada yang kecil dan
ada juga yang besar. Saduku kecil dengan ukuran tinggi 25
cm dan lebar 20 cm digunakan untuk menyimpan nasi untuk
ukuran satu sampai dua orang. Sedangkan yang besar
dugunakan untuk kebutuhan lebih dari lima orang.
Pengalaman warga Sambori, menyimpan nasi dengan
Saduku bisa bertahan sampai 3 hari dan tidak basi. SADUKU