Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH PERSEPSI, KOGNISI, DAN EMOSI


DALAM NEGOSIASI BISNIS
(Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Negosiasi
Bisnis)

Dosen Pengampu:
Ahmad Johan, SE., MM

Disusun oleh :
Siti Nurhalimah 20.012.029
Sabila Azzahra. R 20.012.054

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI BANDUNG


2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas nikmat dan karunianya sehingga
makalah Persepsi, Kognisi, dan Emosi dalam Negosiasi Bisnis ini dapat diselesaikan tanpa
adanya halangan. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Manajemen Produksi yang diampu oleh Bapak Ahmad Johan, SE.,MM. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini,
sehingga dapat terselesaikan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik
dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian untuk dijadikan sebagai bahan
evaluasi.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca dan digunakan
sebagai media pembelajaran untuk kedepannya.

Bandung, 6 Mei 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 4
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 6
2.1 Persepsi........................................................................................................................ 6
2.1.1 Pengertian Persepsi .............................................................................................. 6
2.1.2 Distorsi Persepsi................................................................................................... 6
2.1.3 Pembingkaian ....................................................................................................... 8
2.1.4 Kinerja Bingkai dalam Negosiasi ........................................................................ 9
2.1.5 Perubahan Bingkai Isu Seiring Perkembangan Negosiasi ................................... 9
2.2 Kognisi ...................................................................................................................... 10
2.2.1 Pengertian Kognisi ............................................................................................. 10
2.2.2 Bias Kognitif dalam Negosiasi .......................................................................... 11
2.2.3 Mengatur Kesalahpahaman dan Bias Kognitif .................................................. 13
2.3 Emosi......................................................................................................................... 16
2.3.1 Pengertian Emosi ............................................................................................... 16
2.3.2 Negosiasi Menciptakan Emosi Positif dan Negatif ........................................... 16
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 22
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 22
3.2 Saran .......................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 25

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negosiasi merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengkomunikasikan
keinginan kita terhadap pihak lain. Negosiasi digunakan untuk menjembatani dua
kepentingan yang berbeda, misalnya antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, agar
terjadi suatu kesepakatan di antara kedua belah pihak, diperlukan negosiasi.
Persepsi, kognisi, dan emosi merupakan pembangun dasar dari semua
pengalaman sosial, termasuk negosiasi, dalam hal bahwa tindakan sosial kita dipandu
oleh cara kita memandang, menganalisis, dan merasa tentang pihak lain, situasi, dan
minat serta posisi kita sendiri. Pengetahuan mengenai cara manusia melihat dunia di
sekitarnya, mengolah informasi, dan mengalami emosi, penting untuk memahami
mengapa orang bersikap seperti itu dalam negosiasi.
Pembahasan dalam hal ini bagaimana presepsi mempengaruhi proses negosiasi,
bentuk-bentuk distorsi presepsi dapat menyebabkan masalah dalam pemahaman dan
pembuatan makna untuk negosiator. Kemudian bagaimana negosiator menggunakan
taktik dan strategi untuk membuat keputusan melalu proses kognisi. Dalam diskusi
yang akan dibahas juga bagaimana mispersepsi dan bias kognitif dalam
memaksimalkan keuntungan dengan menimalkan efek kerugian.
Setelah melihat pengalaman sosial tidak hanya berfokus pada kesempatan untuk
presepsi dan kognisi. Negosiator juga tidak dapat menghindari emosi ketika
berinteraksi dengan orang lain. Sehingga emosi atau istilah mood juga turut ikut
mempengaruhi negosiator dalam bernegosiasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari persepsi, kognisi, dan emosi?
2. Jelaskan apa saja yang termasuk kedalam distorsi persepsi!
3. Apa pengertian pembingkaian? Apa saja jenis-jenisnya?
4. Bagaimana kinerja bingkai dalam negosiasi?
5. Bagaimana perubahan bingkai isu seiring perkembangan negosiasi?
6. Apa saja bias kognitif dalam negosiasi?
7. Bagaimana mengatur kesalahpahaman dan bias kognitif?
8. Bagaimana negosiasi menciptakan emosi positif dan negatif?

4
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari persepsi, kognisi, dan emosi.
2. Mengetahui apa saja yang termasuk kedalam distorsi persepsi.
3. Mengetahui pengertian pembingkaian serta jenis-jenisnya.
4. Mengetahui kinerja bingkai dalam negosiasi.
5. Dapat menjelaskan perubahan bingkai isu seiring perkembangan negosiasi.
6. Dapat menyebutkan apa saja bias kognitif dalam negosiasi.
7. Mengetahui cara mengatur kesalahpahaman dan bias kognitif.
8. Dapat menjelaskan tentang emosi positif dan negatif yang diciptakan oleh
negosiasi.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Persepsi
2.1.1 Pengertian Persepsi
Menurut Matsumoto (2008), dalam psikologi tradisional, sensasi dan
persepsi adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulasi dari
lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut.
Persepsi didefinisikan sebagai "proses penyaringan, pemilihan, dan
penafsiran stimulan, sehingga mereka memiliki mak untuk perorangan" (Steers,
1984, hlm. 98). Persepsi adalah proses pembuatan rasa", orang-orang
menafsirkan lingkungan mereka, sehingga mereka dapat merespons dengan
tepat. Biasanya, lingkungan bersifat kompleks-lingkungan tersebut mewakili
sejumlah besar varietas stimulan, masing-masing dengan sifat yang berbeda,
seperti besaran, warna, bentuk, tekstur, dan hal baru yang bersifat relatif.

2.1.2 Distorsi Persepsi


Kesalahan perseptual yang sering terjadi antara lain stereotip, efek halo,
persepsi selektif, dan proyeksi. Stereotip dan efek halo merupakan contoh dari
distorsi persepsi dengan membuat generalisasi; sedikit informasi digunakan
untuk menarik kesimpulan besar mengenai individu. Persepsi selsktif dan
proyeksi adalah bentuk distorsi yang melibatkan antisipasi atribut tertentu dan
kualitas orang lain. Perseptor menyaring dan mengubah informasi agar menjadi
pandangan yang dapat diprediksi dan konsisten terhadap orang lain.
1. Stereotip
Stereotip adalah saat seseorang menetapkan sifat orang lain
berdasarkan keanggotannya dalam suatu kategori sosial atau demografi
tertentu. Stereotip dapat terbentuk dari jenis kelamin, umur, ras, agama,
atau orientasi seksual. Contohnya, orang tua pada umumnya bersifat
konservatif, karena orang ini tua, maka ia konservatif. Persepsi ini tidak
terbentuk berdasarkan fakta yang akurat mengenai orang tersebut.
Saat telah terbentuk, stereotip dapat bersifat resisten terhadap
perubahan. Stereotip dignuakan dalam situasi-situasi tertentu seperti
misalnya tekanan waktu, stress koginitif dan mood yang tidak tentu.

6
Konflik yang berhubungan dengan nilai-nilai, idealogi, dan kompetisi
sumber daya di antara kelompok meningkatkan kemungkinan stereotip
akan digunakan.
2. Efek Halo
Efek halo adalah pada saat seorang perseptor menilai seseorang
berdasarkan satu atribut yang diketahui tentang mereka. Seperti misalnya
orang yang sering tersenyum dinilai lebih jujur dibandingkan yang
merengut, walaupun sebenarnya tidak ada hubungannya. Efek halo dapat
bersifat positif atau negatif. Atribut yang bagus disamaratakan sehingga
menimbulkan kesan yang positif mengenai seseorang, dan atribut yang
buruk memiliki efek sebaliknya. Penelitian menunjukkan bahwa efek halo
dapat terjadi dalam persepsi (i) ketika hanya terdapat sedikit pengalaman
dengan seseorang (maka pengetahuan disamaratakan berdasarkan yang
diperoleh dalam konteks lainnya) (ii) ketika seseorang dikenal baik, dan
(iii) ketika sebuah kualitas memiliki implikasi moral yang kuat.
Efek halo dan stereotip merupakan bahaya umum yang ada dalam
negosiasi karena negosiator cenderung berada di bawah tekanan dan harus
membentuk impresi yang cepat akan seseorang berdasarkan informasi
awal yang terbatas.
3. Persepsi Selektif
Persepsi selektif adalah saat perseptor menyaring informasi
tertentu yang mendukung atau memperkuat keyakinan sebelumnya dan
membuang informasi yang tidak membenarkan keyakinan tersebut.
4. Proyeksi
Proyeksi adalah saat seseorang menetapkan karakter atau perasaan
pada orang lain berdasarkan perasaan yang mereka proses sendiri. Jadi,
ini seperti menaruh diri pada posisi orang lain. Contohnya, apabila
seorang negosiator merasa bahwa ia akan frustasi jika ada dalam posisi
pihak lain, maka ia akan bersepsi bahwa pihak tersebut merasa frustasi.
Orang-orang merespons situasi serupa dengan cara yang berbeda, namun
memproyeksikan perasaan dan keyakinan seseorang kepada pihak lain
mungkin tidak selamanya tepat. Kecenderungan untuk berproyeksi
membuat seorang negosiator meremehkan seberapa banyak pihak lain
mengetahui preferensi atau keinginannya.
7
2.1.3 Pembingkaian
“Framing” atau pembingkaian adalah mekanisme subjektif di mana
orang mengevaluasi dan memahami situasi, membuat mereka meraih atau
menghindari tindakan lebih lanjut (Bateson, 1972; Goffman, 1974).
Pembingkaian membantu menjelaskan “bagaiman para penawar
memahami serangkaian kejadian yang sedang terjadi dalam informasi
pengalaman masa lalu:”; pembiingkaian dan pembingkaian kembali, bersama
dengan evaluasi terhadap informasi dan posisi, “terkait dengan pengolahan
informasi, pola pesan, isyarat linguistik dan arti-artiyang terbentuk secara sosial
(Putnam dan Hollmer, 1992). Pembingkaian bersifat penting dalam negosiasi
karena konfllik sering kali tidak jelas dan terbuka terhadap interpretasi yang
berbeda sebagai akibat dari perbedaan latar belakang per dan perjalanan pribadi
seseorang dan pengalamannya. (Roth dan Sheppard, 1995).
Jenis-jenis pembingkaian:
1. Substantif – konflik yang muncul berkaitan dengan apa. Pihak-pihak yang
menggunakan bingkai substantive memiliki disposisi tertentu mengenai
isu kunci atau kepedulian terhadap konfik.
2. Hasil – predisposisi pihak untuk mencapai hasil spesifik atau hasil dari
negosiasi.
3. Aspirasi – predisposisi terhadap pemuasan minat yang luas atau
kebutuhan dalam negosiasi.
4. Proses – bagaimana pihak-pihak bertindak untuk menyelesaikan masalah.
5. Identitas – bagaimana pihak-pihak mengartikan “siapa mereka”
berdasarkan kelompok-kelompok yang berbeda (jenis kelamin, agama,
etc).
6. Karakterisasi - bagaimana pihak – pihak mengartikan pihak lain. Bingkai
karakterisasi dapat dibentuk degan jelas oleh pengalaman dari pihak lain.
7. Kalah-menang – bagaimana pihak-pihak mengartikan resiko atau
penghargaan yang terkait dengan hasil tertentu.

8
2.1.4 Kinerja Bingkai dalam Negosiasi
Pandangan yang ditarik dari analisis linguistik transkrip negosiasi (Gray,
1991, 1997; Lewicki, Gray, dan Elliot, 2003) dan studi efek pembingkaian
lainnya:
1. Negosiator dapat menggunakan lebih dari satu bingkai.
2. Ketidakcocokan dalam bingkai antara beberapa pihak merupakan sumber
konflik.
3. Pihak-pihak bernegosiasi secara berbeda tergantung pada bingkainya.
4. Bingkai spesifik kemungkinan digunakan dengan jenis isu tertentu.
5. Jenis bingkai tertentu mungkin mengarah pada tipe kesepakatan tertentu.
6. Pihak-pihak kemungkinan menerima sebuah bingkai tertentu karena
berbagai faktor.

2.1.5 Perubahan Bingkai Isu Seiring Perkembangan Negosiasi


Faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana percakapan dan bingkai
terbentuk:
1. Negosiator cenderung berargumen untuk isu yang ada, atau kekhawatiran
yang meningkat saat pihak-pihak bernegosiasi. Misalnya, isu gaji atau
kondisi bekerja selalu dibahas dalam negosiasi buruh; perserikatan selalu
mengangkat topik tersebut, dan manajemen selalu mengharapkan topik
tersebut diangkat dan siap ditanggapi.
2. Dalam mencari cara untuk mendapatkan kemungkinan terbaik untuk
pandangannya, satu pihak mungkin mengumpulkan fakta, angka,
testimoni, atau bukti lain untuk meyakinkan pihak lain akan pandangan
atau argumennya.
3. Bingkai-bingkai mungkin mendefinisikan pertukaran utama dan transisi
dalam negosiasi keseluruhan yang kompleks. Ikle (1964), bahwa dalam
membahas diskusi diplomatis, hasil penawaran yang berhasil dari dua
tahap proses disebut "formula/ detail" Dalam proses ini, pihak-pihak
memulai dengan mengembangkan bingkai kerja yang luas atas prinsip dan
sasaran yang dapat mereka setujui. William Zartman dan rekan-rekannya
(Zartman, 1977; Zatman dan Berman, 1982) mengembangkan model
formula-detail untuk mengajukan tiga tahap. (a) diagnosis, di mana pihak-
pihak mengenali kebutuhan akan perubahan atau peningkatan, meninjau
9
sejarah yang relevan, dan menyiapkan posisi; (b) formula, di mana pihak-
pihak berusaha untuk mengembangkan pandangan bersama terhadap
konflik, termasuk istilah umum, referensi, dan kriteria keadilan; dan (c)
detail, di mana pihak pihak mengerjakan detail operasional yang konsisten
dengan formula dasar.
4. Akhirnya, beberapa hal dalam agenda beroperasi untuk membentuk
perkembangan isu. Walaupun pihak-pihak biasanya memiliki satu atau
dua sasaran penting, prioritas, atau isu inti, sering kali terdapat sejumlah
hal sekunder. Ketika diangkat dalam pembicaraan, hal-hal sekunder ini
sering mengubah pembicaraan menjadi isu utama (Putnam dan Geist,
1985).

2.2 Kognisi
2.2.1 Pengertian Kognisi
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang
mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto,
2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah
pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan
perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga
biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut.
Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran
rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi
(pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem
solving).
Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan
dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan
adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui
aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar,
membayangkan dan berbahasa. Kepercayaan/pengetahuan seseorang tentang
sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya
mempengaruhi perilaku/tindakan mereka terhadap sesuatu.
Istilah kognisi berasal dari bahasa latin cognoscere yang artinya
mengetahui. Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap
pengetahuan atau kemampuan untuk memperoleh pengetahuan.
10
2.2.2 Bias Kognitif dalam Negosiasi
Negosiator memiliki kecenderungan membuat kesalahan sistematis
ketika mengolah informasi, kesalahan-kesalahan tersebut diberi label sebagai
bias kognitif yang cenderung mengahalangi kinerja negosiator, berikut adalah
bias kognitif dan cara mengatasinya:
1. Eskalasi komitmen yang irasional, tindakan yang diambil negosiator yang
sudah tidak mempedulikan apa yang perlu dievaluasi, karena tindakan
yang sama terus dilakukan tanpa melihat bagaimana hasil yang telah
dicapai, sehingga hasilnya tidak optimal bahkan sia-sia. Hal ini dapat
diatasi dengan adanya penasihat yang dapat memberikan pencerahan
bahwa tindakan tersebut sudah tidak lagi optimal dan hanya membuang
sumber daya.
2. Keyakinan pada harga mati (rigid) yang bersifat mitos, menganggap
bahwa hasil yang dicapai dalam nnegosiasi tidak sesuai yang diharapkan
atau kebuntuan, sehingga tidak melakukan tindakan lain dengan asumsi
bahwa tindakannya akan sia-sia. Dapat diatasi dengan memberikan
dukungan terhadap negosiator dengan mencari tindakan alternatif yang
diyakini akan berhasil.
3. Pengarahan dan penyesuaian, merupakan penilaian atas input yang
diterima negosiator tersebut bertolak belakang dengan kepentingan
awalnya, sehingga cenderung untuk mengambil tindakan penyesuaian
yang berlawanan/ skeptis, atau mempertimbangkan kembali tindakan apa
yang perlu diambil, persiapan dengan bantuan advokat berlawanan atau
pemeriksaan realitas diharapkandapat mencegah bias tersebut.
4. Pembingkaian isu dan resiko, dalam menggunakan perspektif saat proses
negosiasi, maka akan ada kemungkinan yang menyebabkan negosiator
harus menghindari tindakan tertentu sehinggga terkesan “cari aman”/
tidak mengambil resiko, dihindari dengan kepekaan terhadap bias,
pemahaman informasi dan analisa menyeluruh sehingga diterima bahwa
resiko itu pasti dan pencapaian lebih tinggi dapat dicapai.
5. Ketersediaan informasi, bahwa informasi yang disampaikan dalam proses
negosiasi harus dapat dengan mudah didapatkan/ diterima oleh negosiator
lawan sehingga juga memudahkan dalam evaluasi selanjutnya. Maka

11
dengan cara penyampaian yang menarik dan atraktif dinilai akan
mempermudah penerimaan serta membuatnya mudah diingat.
6. Kutukan pemenang, ketidakpuasan yang muncul atas kemudahan
terhadap keberhasilan selama proses negosiasi, sehingga menganggap
apakah memang dalam negosiasi terlalu banyak power/ resourceyang
dikeluarkan terhadap negosiator lawan, atau seharusnya ada kesepakatan
yang senderung lebih baik dan menguntungkan. Untuk mengatasinya,
persiapan menyeluruh dan investigasi terhadap isu hingga opsi alternatif/
keuntungan yang lain dalam negosiasi yang dinilai cenderung lebih baik.
7. Kepercayaan diri berlebih, memiliki segi positif yaitu menguatkan
persepsi negosiator status/posisi yang dimiliki, tetapi dampak negatifnya
adalah menganggap terlalu mudah proses negosiasi tersebut dilakukan dan
dengan hasil yang optimal, sehhingga negosiator memiliki kecenderungan
untuk lengah dan hasil yang didapatkan justru sebaliknya. Maka
sebaiknya, proporsionalitas atas percaya diri, kemampuan, persiapan, dan
analisa terhadap power/ resource perlu dijaga.
8. Hukum angka kecil, dalam melakukan tindakan dan mengambil
keputusan hanya berasal dari pertimbangan yang terlalu sedikit, atau
kurangnya aspek/ faktor lain yang perlu diperhatikan serta sampel/ hasil
data yang sedikit. Sehingga mengakibatkan ketidakakuratan tindakan/
keputusan tersebut. Maka hendaknya mengambil banyak faktor yang
perlu diperhatikan serta analisa yang mendalam supaya hasilnya akurat
dalam berbagai kondisi.
9. Bias pelayanan diri, pemberian atribut terhadap tindakan negosiator
tertentu yang berlatarbelakang atas faktor internal yang dialami oleh
negosiator tersebut, sehingga kurang memperhatikan faktor eksternal
yang dapat mempengaruhi tindakan/ sikap yang muncul. Hendaknya
sebagaimana sebelumnya, memperhatikan apa yang ada dari segala aspek
sehingga dapat dianalisa secara dalam dan didapatkan apa yang benar dan
merupakan penyebabnya.
10. Pengaruh dukungan, dengan adanya dukungan akan meningkatkan
keyakinan/ optimis terhadap hasil negosiasi, sehingga akan berakibat
seperti poin kepercayaan diri berlebih diatas, dan mengganggu pencapaian
kesepakatan yang paling baik. Maka dukungan tersebut harusnya disikapi
12
sebagai motivasi eksternal seorang negosiator dalam mewujudkan
kepentingan, bukan hanya resource yang tersedia. Mengabaikan kognisi
pihak lain, yaitu dengan sikap negosiator yang kurang/ tidak
memperhatikan pemikiran dan persepsi pihak lai, sehingga persepsi
dirinya terhadap pihak lain akan tidak harmonis sehingga terjadi
kesalahan penafsiran apa sikap/ tindakan yang hendak diambil oleh
negosiator lawannya. Maka seorang negosiator hendaknya berusaha untuk
memahami secara akurat latar belakang baik itu minat, target mauun
perspektif negosiator lawannya.
11. Mengabaikan kognisi pihak lain, dimana negosiator seringkali tidak
bertanya tentang pemikiran pihak lain yang membuat mereka bekerja
dengan informasi yang tidak lengkap, sehingga mengakibatkan hasil yang
keliru. Dorongan untuk mengabaikan kognisi pihak lain dapat dihindari
jika negosiator secara eksplisit fokus pada upaya yang diperlukan untuk
membentuk pemahaman akurat dari minat, target, dan perspektif pihak
lain.
12. Proses devaluasi reaktif, penggunaan dasar emosionalitas dan
ketidakpercayaan terhadap pihak lain serta cenderung subjektif. Sehingga
akan menilai rendah dan mendevaluasi konsesi pihak lawan. Maka,
seorang negosiator hendaknya menjunjung tinggi objektivitas proses
negosiasi dan menghindari penggunaan dasar emosi maupun prasangka
yang buruk.

2.2.3 Mengatur Kesalahpahaman dan Bias Kognitif


Kesalahpahaman dan bias kognitif biasanya muncul di luar kesadaran
saat negosiator mengumpulkan dan mengolah informasi. Semakin kompleks
situasi, semakin banyak kesempatan yang terdapat untuk bias informasi dan
distorsi untuk menghalangi penilaian dan pembuatan keputusan (Hammond,
Keeney, dan Raiffa, 1998).
Tentunya Level pertama dalam mengatur distorsi tersebut adalah
menyadari bahwa mereka dapat terjadi. Namun, kesadaran sendiri mungkin
tidak akan cukup; bukti penelitian menunjukkan bahwa hanya memberi tahu
orang tentang kesalahpahaman dan bias kognitif sedikit membantu mengatasi
efeknya (Babcock dan Loewenstein, 1997; Thompson dan Hastie, 1990a).
13
Misalnya, Foreman dan Murnighan (1996) mencoba mengajar murid murid
untuk menghindari kutukan pemenang dalam serangkaian simulasi lelang.
Mereka memberi tahu murid-murid tentang hasil dari 128 lelang selama periode
empat minggu, tetapi mendapati bahwa latihan tersebut hanya sedikit
berdampak untuk mengurangi kutukan pemenang.
Whyte dan Sebenius (1997) menggunakan pendekatan berbeda untuk
mencoba mengurangi efek bias pengarahan dan penyesuaian. Para negosiator
berpartisipasi dalam sebuah diskusi kelompok untuk melihat apakah proses
kelompok mengurangi penggunaan pengarahan yang tidak tepat untuk
menetapkan penawaran awal, level aspirasi, dan dasar untuk negosiasi real
estate yang selanjutnya. Hasilnya menunjukkan bahwa baik individu atau
kelompok menggunakan jangkar yang tidak sesuai untuk menetapkan
penawaran awal mereka, level aspirasi, dan dasar dan bahwa kelompok rentan
terhadap efek penjangkaran dan penyesuaian seperti halnya individu. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya mendiskusikan bagaimana menetapkan tawaran
pembuka, level aspirasi, dan dasar dengan anggota tim tidak akan mengurangi
efek penjangkaran dan penyesuaian.
Whyte dan Sebenius (1997) menggunakan pendekatan berbeda untuk
mencoba mengurangi efek bias pengararahan dan penyesuaian. Para negosiator
berpartisipasi dalam sebuah diskusi kelompok untuk melihat apakah proses
kelompok mengurangi penggunaan pengarahan yang tidak tepat untuk
menetapkan penawaran awal, level aspirasi, dan dasar untuk negosiasi real estat
yang selanjutnya. Hasilnya menunjukkan bahwa baik individu atau kelompok
menggunakan jangkar yang tidak sesuai untuk menetapkan penawaran awal
mereka, level aspirasi, dan dasar dan bahwa kelompok rentan terhadap efek
penjangkaran.
Beberapa bias yang kita bahas menyinggung masalah pembingkaian
negosiasi, seperti efek dari (pencapaian) positif dan (kerugian) negatif mengenai
bagaimana para negosiator mengatasi risiko. Ketika bingkai-bingkai ini tidak
sesuai dengan negosiator, kesepakatan dapat sulit dicapai. MerekaNegosiator
juga dapat membingkai kembali dengan mencoba melihat atau memahami
situasi dengan cara yang berbeda atau dari perspektif yang berbeda. Misalnya,
mereka dapat membingkai ulang secara konstruktif sebuah masalah dengan
mengartikannya dalam konteks yang lebih luas, lebih sempit, lebih besar atau
14
lebih kecil, lebih banyak risiko atau lebih sedikit, atau sasaran terhadap batasan
yang lebih panjang atau pendek.
Terdapat sebuah pengecualian, yaitu sebuah studi oleh Arunachalam dan
Dilla (1995), dengan subjek-subjek yang berpartisipasi dalam sebuah simulasi
negosiasi untuk menetapkan harga transfer antara dua divisi dalam yang sama,
baik dalam kondisi komunikasi yang terstruktur atau tidak. Dalam kondisi
komunikasi yang tidak terstruktur, peserta diberi informasi mengenai peran
mereka dan diminta untuk mempersiapkan negosiasi. Sebelum melakukan
penawaran dalam kondisi komunikasi terstruktur, bagaimana pun, peserta juga
diminta untuk melengkapi kuesioner yang meminta mereka untuk
mengidentifikasi pikiran mereka mengenai prioritas pasangan mereka dalam
negosiasi. Mereka kemudian menerima pelatihan tentang cara mengidentifikasi
dan membahas isu serta prioritas dalam negosiasi secara efektif. Akhirnya,
peserta dalam kedua kondisi bernegosiasi dengan cara bertemu langsung
maupun melalui terminal komputer. Arunachalam dan Dilla mendapati bahwa
(1) negosiator dalam kondisi komunikasi terstruktur bernegosiasi untuk hasil
laba yang lebih tinggi dan membuat lebih sedikit kesalahan tentang harga mati
daripada negosiator dalam kondisi komunikasi yang tidak terstruktur, dan (2)
negosiator dalam kondisi bertemu muka bernegosiasi untuk laba yang lebih
tinggi dan membuat lebih sedikit kesalahan harga mati daripada negosiator
dalam kondisi terminal komputer. Penemuan ini menunjukkan bahwa kedua
definisi masalah dan evaluasi masalah merupakan komponen yang penting
dalam mengurangi bias harga mati Diskusi mendalam tentang isu dan preferensi
oleh kedua negosiator mungkin mengurangi efek dari bias perseptual.
Terdapat sebuah pengecualian, yaitu sebuah studi oleh Arunachalam dan
Dilla (1995), dengan subjek-subjek yang berpartisipasi dalam sebuah simulasi
negosiasi untuk menetapkan harga transfer antara dua divisi dalam yang sama,
baik dalam kondisi komunikasi yang terstruktur atau tidak. Dalam kondisi
komunikasi yang tidak terstruktur, peserta diberi informasi mengenai peran
mereka dan diminta untuk mempersiapkan negosiasi. Sebelum melakukan
penawaran dalam kondisi komunikasi terstruktur, bagaimana pun, peserta juga
diminta untuk melengkapi kuesioner yang meminta mereka untuk
mengidentifikasi pikiran mereka mengenai prioritas pasangan mereka dalam
negosiasi. Mereka kemudian menerima pelatihan tentang cara mengidentifikasi
15
dan membahas isu serta prioritas dalam negosiasi secara efektif. Akhirnya,
peserta dalam kedua kondisi bernegosiasi dengan cara bertemu langsung
maupun melalui terminal komputer. Arunachalam dan Dilla mendapati bahwa
(1) negosiator dalam kondisi komunikasi terstruktur bernegosiasi untuk hasil
laba yang lebih tinggi dan membuat lebih sedikit kesalahan tentang harga mati
daripada negosiator dalam kondisi komunikasi yang tidak terstruktur, dan (2)
negosiator dalam kondisi bertemu muka bernegosiasi untuk laba yang lebih
tinggi dan membuat lebih sedikit kesalahan harga mati daripada negosiator
dalam kondisi terminal komputer.

2.3 Emosi
2.3.1 Pengertian Emosi
Emosi adalah aspek psikologis negosiator yang harus dijaga tetap dalam
sisi yang positif, sehingga menciptakan konsekuensi terjadinya negosiasi yang
lebih integratif dan kesepahaman atas sikap positif satu sama lain.
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti
bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak
merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411)
emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.

2.3.2 Negosiasi Menciptakan Emosi Positif dan Negatif


Emosi positif dapat dihasilkan dari ketertarikan terhadap pihak lain,
merasa nyaman atas perkembangan proses negosiasi dan progres yang dibuat
beberapa pihak (Carver dan Scheir, 1990), atau menyukai hasil dari negosiasi.
Maka, penilaian kognitif dari "hasil yang baik" membuat pihak-pihak merasa
senang dan puas (Lazarus, 1991).
Emosi negatif dapat dihasilkan dari penolakan oleh pihak lain, merasa
tidak nyaman terhadap perkembangan proses negosiasi dan progres yang ada,
atau tidak menyukai hasilnya. Beberapa emosi negatif cenderung didasari
kekecewaan sementara yang lain didasari kecemasan. Emosi yang terkait
dengan kekecewaan diakibatkan dari perasaan kecewa, frustrasi, atau tidak

16
puas, sementara emosi yang terkait dengan kecemasan diakibatkan dari
perasaan cemas, takut, atau terancam (Higgins, 1987).
2.3.2.1 Negosiasi Menciptakan Emosi Positif
1. Emosi Positif Umumnya Memiliki Konsekuensi Positif untuk
Negosiasi
a. Perasaan positif kemungkinan besar mengarahkan pihak-pihak
kepada proses yang lebih integratif. Para peneliti telah
menunjukkan bahwa negosiator yang merasakan emosi positif
terhadap satu sama lain kemungkinan besar akan mencoba, dan
merasa berhasil dalam membentuk kesepakatan integratif
(Carnevale dan Isen, 1986; Hollingshead dan Carnevale, 1990).
b. Perasaan positif menciptakan sikap positif terhadap pihak lain.
Ketika negosiator menyukai pihak lain, mereka cenderung
menjadi lebih fleksibel dalam negosiasi (Druckman dan
Broome, 1991). Terlebih lagi, memiliki sikap positif terhadap
pihak lain meningkatkan pembuatan konsesi (Pruitt dan
Carnevale, 1993) dan mengurangi perilaku kasar (Baron, 1990).
c. Perasaan positif mempromosikan ketahanan. Jika negosiator
merasa tertarik secara positif, mereka kemungkinan akan
merasa percaya diri, dan sebagai hasilnya, akan bertahan dalam
mencoba mendapatkan kepedulian mereka dan isu-isu yang
dialamatkan dalam negosiasi dan untuk mencapai hasil yang
lebih baik (Kramer, Pommerenke, dan Newton. 1993).
2. Aspek Proses Negosiasi Dapat Mengarahkan pada Emosi Positif
Berikut ini dua penemuan berdasarkan bagaimana proses negosiasi
membentuk hasil yang berkaitan dengan emosi:
a. Perasaan positif dihasilkan dari prosedur yang adil selama
negosiasi. Hegtvedt dan Killian (1999) mengeksplorasi
bagaimana respons emosional berkaitan dengan pengalaman
keadilan selama proses negosiasi Penemuan mereka
mengindikasikan bahwa negosiator yang melihat proses sebagai
pengalaman yang adil lebih banyak perasaan positif dan kurang
tergerak untuk menunjukkan emosi negatif yang terjadi.

17
b. Perasaan positif merupakan hasil dari perbandingan sosial yang
diinginkan. Novemsky dan Schweitzer (2004) mendapati bahwa
kepuasan individu setelah negosiasi lebih tinggi ketika hasil
negosiator individu lebih diinginkan daripada yang lain dalam
situasi yang sama.

2.3.2.2 Negosiasi Menciptakan Emosi Negatif


1. Emosi Negatif Umumnya Memiliki Konsekuensi Negatif
a. Emosi negatif mungkin membuat pihak pihak mengartikan
situasi sebagai sesuatu yang kompetitif atau distributif. Veitch
dan Grithth (1976) menunjukkan bahwa suasana hati negatif
meningkatkan bahwa pelaku akan menguatkan sikap
permusuhan terhadap yang lain. Dalam sebuah situasi negosiasi,
perilaku negatif ini kemungkinan akan membentuk sikap
distributif pada isu-isu tersebut.
b. Emosi negatif mungkin merusak kemampuan negosiator untuk
menganalisis situasi secara akurat, yang secara merugikan
memengaruhi penghasilan individual. Gonzales, Lerner, Moore,
dan Babcock (2004) mendapati bahwa negosiator yang marah
menjadi kurang akurat dalam menilai kepentingan pihak lain dan
dalam mengingat kepentingan mereka sendiri dibandingkan
dengan negosiator dengan emosi yang netral.
c. Emosi negatif mungkin membuat pihak-pihak meningkatkan
konflik. Ketika suasana hati negatif-secara lebih spesifik, ketika
kedua pihak merasa kecewa, frustrasi, dan menyalahkan yang
lain-konflik kemungkinan menjadi pribadi, jumlah isu dalam
konflik mungkin meningkat, dan pihak lain mungkin ikut tertarik
ke dalam pertikaian tersebut (Kumar, 1997).
d. Emosi negatif mungkin membuat pihak-pihak membalas dan
mungkin menggagalkan hasil yang integratif. Ketika pihak-pihak
marah satu sama lain, dan ketika interaksi mereka sebelumnya
telah membuat satu pihak ingin menghukum pihak yang lain,
pihak lain mungkin memilih untuk membalas (Allred, 1998; Bies
dan Tripp, 1998).
18
2. Aspek Proses Negosiasi Dapat Mengarah pada Emosi Negatif
Berikut ini merupakan dua penemuan dari penelitian tentang
konsekuensi emosi negatif dalam negosiasi bersifat baru dan
terbatas:
a. Emosi negatif dapat diakibatkan dari pola pikir kompetitif.
Negosiator dengan persepsi harga mati dalam sebuah situasi
cenderung kurang puas dengan hasil yang dinegosiasikan
daripada mereka yang berorientasi integratif. Hal ini mungkin
berakar dari persepsi bahwa ketika sebuah negosiasi dilihat
sebagai hasil nol, pencapaian pihak lain berarti merupakan
kerugian yang setara untuk diri sendiri (Thompson dan
GeHarpport, 1994). Dalam hal yang sama, pihak yang
individualis (egois) melaporkan kepuasan yang lebih rendah
dengan penghasilan mereka dibandingkan dengan mereka
dengan orientasi nilai prososial (altruistis), (Gillespie, Brett, dan
Weingart, 2000).
b. Emosi negatif dapat diakibatkan dari kebuntuan. Ketika sebuah
negosiasi berakhir buntu, negosiator kemungkinan akan
mengalami emosi negatif seperti kemarahan dan frustrasi
dibandingkan dengan negosiator yang berhasil mencapai
kesepakatan (O'Connor dan Arnold, 2001).
c. Emosi negatif semata-mata dapat diakibatkan dari prospek dalam
memulai negosiasi. Wheeler (2004) menunjuk bahwa, bahkan
negosiator berpengalaman mungkin merasa cemas. la mendapati
beberapa sumber kecemasan pada awal negosiasi: keraguan atas
kemampuan seseorang, kekhawatiran atas sikap lain, dan
"ketidakpastian yang tidak dapat dihindari mengenai pola
negosiasi yang akan terjadi".
2.3.2.3 Efek Emosi Positif dan Negatif dalam Negosiasi
1. Perasaan positif dapat membawa konsekuensi negatif. Pertama,
negosiator dalam suasana hati yang positif memiliki kemungkinan
kecil akan memperhatikan argumen pihak lain dengan saksama.
Akibatnya, mereka mungkin lebih rentan terhadap taktik lawan
kompetitif yang menipu (Bless, Bohner, Schwartz, dan Strack,
19
1988). Terlebih lagi, karena negosiator dengan perasaan positif
kurang fokus pada argumen pihak lain, mereka mungkin mencapai
hasil yang kurang optimal (Kumar, 1997) Akhirnya, jika perasaan
positif menciptakan ekspektasi positif yang kuat, pihak-pihak yang
tidak mampu menemukan kesepakatan integratif kemungkinan akan
mengalami kekalahan dengan lebih kuat dan mungkin
memperlakukan pihak lain lebih kasar (Parrott, 1994).
2. Perasaan negatif dapat menciptakan hasil yang positif Sama seperti
emosi positif dapat menimbulkan hasil negatif, jelas bahwa emosi
negatif dapat menciptakan konsekuensi positif untuk negosiasi.
Pertama, emosi negatif memiliki nilai informasi. Hal ini
memperingatkan pihak-pihak bahwa situasinya problematis dan
membutuhkan perhatian, yang mungkin akan memotivasi mereka
untuk meninggalkan situasi atau memecahkan masalah tersebut (van
de Vliert, 1985). Terdapat juga bukti terkini bahwa ketika seorang
negosiator: menggunakan kata-kata yang memicu emosi negatif,
pihak lain menjadi lebih optimis bahwa negosiasi akan terpecahkan
(Schroth, Bain-Chekal, dan Caldwell, 2005). Schroth dan koleganya
mencatat bahwa optimisme ini dibenarkan jika tujuan dari pihak
tersebut dalam memancing emosi adalah untuk mendapatkan
keseriusan dari tujuan dan keinginan untuk fokus pada diskusi, tetapi
tidak jika intinya semata-mata untuk menggunakan (atau
menyesuaikan) kekuatan. Singkatnya, kemarahan dan emosi negatif
lainnya dapat berlaku sebagai sinyal berbahaya yang memotivasi
kedua pihak untuk mengkonfrontasi permasalahan secara langsung
dan mencari resolusi (Daly, 1991).

20
2.3.2.4 Emosi Dapat Digunakan secara Strategis sebagai Langkah-langkah
Bukti belakangan menunjuk pada pengaruh emosi pihak lain
dalam pilihan strategi negosiator. Sebuah studi oleh Van Kleef, de Dreu,
dan Manstead (2004) mendapati bahwa para negosiator menelusuri
emosi pihak lain dan menyesuaikan strategi mereka. Secara spesifik,
ketika subjek bernegosiasi dengan pihak yang marah, mereka cenderung
membuat permintaan yang lebih rendah dan konsesi yang lebih kecil
ketika kemarahan pihak lain tampak mengancam hasil negosiasi. Juga,
seperti yang telah kita catat sebelumnya, terdapat bukti bahwa
negosiator membuat penawaran yang lebih rendah dari lawan yang
kecewa atau khawatir, tetapi lebih banyak permintaan dari lawan yang
mengalami rasa bersalah atau penyesalan (Van Kleef, de Dreu, dan
Manstead, 2006).
Di luar ekspresi strategis dari emosi seseorang (asli atau dibuat),
negosiator mungkin juga terikat dalam regulasi atau manajemen emosi
pihak lain. Seperti dicatat oleh Thompson, Nadler, dan Kim (1999),
negosiator yang efektif sanggup menyesuaikan pesan mereka untuk
mengadaptasi terhadap apa yang mereka lihat sebagai keadaan emosi
pihak lain-sebuah proses yang mereka beri label "penyesuaian emosi."

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut Matsumoto (2008), dalam psikologi tradisional, sensasi dan persepsi
adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulasi dari lingkungan dan
bagaimana kita memproses stimulus tersebut.
Kesalahan perseptual yang sering terjadi antara lain stereotip, efek halo,
persepsi selektif, dan proyeksi. Stereotip dan efek halo merupakan contoh dari distorsi
persepsi dengan membuat generalisasi; sedikit informasi digunakan untuk menarik
kesimpulan besar mengenai individu. Persepsi selsktif dan proyeksi adalah bentuk
distorsi yang melibatkan antisipasi atribut tertentu dan kualitas orang lain. Perseptor
menyaring dan mengubah informasi agar menjadi pandangan yang dapat diprediksi dan
konsisten terhadap orang lain.
“Framing” atau pembingkaian adalah mekanisme subjektif di mana orang
mengevaluasi dan memahami situasi, membuat mereka meraih atau menghindari
tindakan lebih lanjut (Bateson, 1972; Goffman, 1974). Jenis-jenis pembingkaian itu
sendiri diantaranya subtantif, hasil, aspirasi, proses, identitas, karakterisasi, kalah-
menang.
Studi efek pembingkaian lainnyadiantaranya (1) Negosiator dapat
menggunakan lebih dari satu bingkai. (2) Ketidakcocokan dalam bingkai antara
beberapa pihak merupakan sumber konflik. (3) Pihak-pihak bernegosiasi secara
berbeda tergantung pada bingkainya. (4) Bingkai spesifik kemungkinan digunakan
dengan jenis isu tertentu. (5) Jenis bingkai tertentu mungkin mengarah pada tipe
kesepakatan tertentu. (6) Pihak-pihak kemungkinan menerima sebuah bingkai tertentu
karena berbagai faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana percakapan dan bingkai
terbentuk yaitu (1) Negosiator cenderung berargumen untuk isu yang ada, atau
kekhawatiran yang meningkat saat pihak-pihak bernegosiasi. (2) Dalam mencari cara
untuk mendapatkan kemungkinan terbaik untuk pandangannya, satu pihak mungkin
mengumpulkan fakta, angka, testimoni, atau bukti lain untuk meyakinkan pihak lain
akan pandangan atau argumennya. (3) Bingkai-bingkai mungkin mendefinisikan

22
pertukaran utama dan transisi dalam negosiasi keseluruhan yang kompleks. (4)
Akhirnya, beberapa hal dalam agenda beroperasi untuk membentuk perkembangan isu.
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang
mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008).
Bias kognitif dalam negosiasi diantaranya (1) Eskalasi komitmen yang irasional. (2)
Keyakinan pada harga mati (rigid) yang bersifat mitos. (3) Pengarahan dan
penyesuaian. (4) Pembingkaian isu dan resiko. (5) Ketersediaan informasi. (6) Kutukan
pemenang. (7) Kepercayaan diri berlebih. (8) Hukum angka kecil. (9) Bias pelayanan
diri. (10) Pengaruh dukungan. (11) Mengabaikan kognisi pihak lain. (12) Proses
devaluasi reaktif.
Kesalahpahaman dan bias kognitif biasanya muncul di luar kesadaran saat
negosiator mengumpulkan dan mengolah informasi. Semakin kompleks situasi,
semakin banyak kesempatan yang terdapat untuk bias informasi dan distorsi untuk
menghalangi penilaian dan pembuatan keputusan (Hammond, Keeney, dan Raiffa,
1998).
Emosi adalah aspek psikologis negosiator yang harus dijaga tetap dalam sisi
yang positif, sehingga menciptakan konsekuensi terjadinya negosiasi yang lebih
integratif dan kesepahaman atas sikap positif satu sama lain.
Emosi positif dapat dihasilkan dari ketertarikan terhadap pihak lain, merasa
nyaman atas perkembangan proses negosiasi dan progres yang dibuat beberapa pihak
(Carver dan Scheir, 1990), atau menyukai hasil dari negosiasi. Maka, penilaian kognitif
dari "hasil yang baik" membuat pihak-pihak merasa senang dan puas (Lazarus, 1991).
Emosi negatif dapat dihasilkan dari penolakan oleh pihak lain, merasa tidak
nyaman terhadap perkembangan proses negosiasi dan progres yang ada, atau tidak
menyukai hasilnya. Beberapa emosi negatif cenderung didasari kekecewaan sementara
yang lain didasari kecemasan. Emosi yang terkait dengan kekecewaan diakibatkan dari
perasaan kecewa, frustrasi, atau tidak puas, sementara emosi yang terkait dengan
kecemasan diakibatkan dari perasaan cemas, takut, atau terancam (Higgins, 1987).

23
3.2 Saran
Persepsi, kognisi dan emosi sangat penting bagi para negosiator karena dengan
mempelajari hal-hal tersebut para negosiator dapat memahami lawan atau pihak
negosiator lainnya, sehingga proses negosiasi dapat dilakukan sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh negosiator itu sendiri. Maka bagi para negosiator dunia terutama di
Indonesia haruslah memperhatikan pentingnya pemahaman mengenai persepsi,
kognisi, dan emosi ini agar dapat mencapai tujuannya sebagai seorang negosiator.

24
DAFTAR PUSTAKA

Lewicki, Roy J. Barry, Bruce. Saunders, David M. 2012. Negoisasi Edisi 6 – Buku 1. Jakarta
Selatan: Penerbit Salemba.
Anonymous. (2018). Persepsi-Kognitif-dan-Emosi. Diakses pada tanggal 06 Mei 2022, dari
https://nanopdf.com/download/persepsi-kognitif-dan-emosi_pdf
Kool, Fery. (2016). Efek Kognisi & Emosi Dalam Negoisasi. Diakses pada tanggal 06 Mei
2022, dari http://fekool.blogspot.com/2016/10/efek-kognisi-emosi-dalam-
negosiasi.html?m=1
Azifaha. (2018). Persepsi, Kognisi, dan Emosi Dalam Negosiasi. Diakses pada tanggal 06
Mei 2022, dari http://azifaha.blogspot.com/2018/02/persepsi-kognisi-dan-emosi-
dalam.html?m=1
Studylib. (2022). Persepsi-Kognitif-dan-Emosi. Diakses pada tanggal 06 Mei 2022, dari
https://studylibid.com/doc/6597/persepsi-kognitif-dan-emosi
Faturahman, Reza. (2016). Emosi. Diakses pada tanggal 06 Mei 2022, dari
https://sites.google.com/a/mhs.uinjkt.ac.id/rezafathurahman/emosi

25

Anda mungkin juga menyukai