Anda di halaman 1dari 81

SKRIPSI

LITERATUR REVIEW
HUBUNGAN ANTARA BENTUK DUKUNGAN KELUARGA DENGAN
KEKAMBUHAN PASIEN GANGGUAN JIWA

OLEH

JIAN NETTE YACOB


NPM :12114201150073

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

AMBON

2020
ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Jian Nette Jacob


NPM : 12114201150073
Judul Skripsi : Hubungan Antara Bentuk Dukungan
Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien
Gangguan Jiwa.
Jurusan : Keperawatan
Program Studi : Keperawatan
Fakultas : Kesehatan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1.Karya Tulis ini adalah orisinal sendiri melalui proses penelitian, dan didalam karya tulis
ini tidak terdapat karya atau pendapat orang lain, kecuali secara tertulis menyebutkan
penulis dari sumber aslinya atau dari sumber orang lain, sebagaimana tercantum dalam
daftar pustaka.
2.Saya menyerahkan hak milik atas karya tulis ini kepada Universitas Kristen Indonesia

Maluku dan oleh karenanya berhak melakukan pengelolaan atas karya tulis ini sesuai

dengan norma hukum dan etika yang berlaku.

3.Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari terbukti tidak

sesuai dengan pernyataan ini, saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan

norma yang berlaku di Universitas Kristen Indonesia Maluku dan perundang-undangan

yang berlaku.

Ambon, November 2020


Yang memberi pernyataan

JIAN NETTE JACOB


NPM: 12114201150073

i
ABSTRAK

Jian Nette Jacob (12114201150073). Hubungan Antara Bentuk Dukungan


Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa. (Z. Rehena, G. J.
Wakanno)

Penyakit gangguan jiwa belum dapat disembuhkan secara optimal, namun para
pasien gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan diperlakukan secara
manusiawi. Upaya penting dalam penyembuhan dan pencegahan kekambuhan
kembali adalah dengan adanya dukungan keluarga yang baik. Dukungan
keluarga sebagai bagian integral dari dukungan sosial. Dampak positif dari
dukungan keluarga adalah meningkatkan penyesuaian diri seseorang terhadap
kejadian-kejadian dalam kehidupan. Tujuan penelitian ini adalah hubungan
antara bentuk dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa.
Desain penelitian ini menggunakan jenis systematic review. Systematic review ini
bertujuan mengetahui hubungan antara bentuk dukungan keluarga dengan
kekambuhan pasien gangguan jiwa. Metode yang digunakan menggunakan review
artikel dan jurnal keperawatan. Hasil berbagai artikel dan jurnal yang dilakukan
menunjukkan bahwa adanya hubungan antara bentuk dukungan keluarga dengan
kekambuhan pasien gangguan jiwa. Dukungan keluarga sangat penting dan utama
dalam proses kesembuhan pasien gangguan jiwa, keluarga harus memiliki
pengetahuan yang tinggi tentang bagaimana memberikan dukungan keluarga yang
baik dan benar pada penderita gangguan jiwa. Dukungan keluarga diperlukan agar
kesembuhan bagi penderita gangguan jiwa dapat tercapai. Keluarga diharapkan
mampu berperan aktif dalam proses kesembuhan pasien gangguan jiwa dirumah,
selain keluarga dapat memberikan dukungan, keluarga juga dapat mengingatkan
pasien tentang kepatuhan minum obat. Dari hasil literature review yang dibuat,
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara bentuk dukungan keluarga dengan
kekambuhan pasien gangguan jiwa. Sehingga disarankan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan tenaga kesehatan dalam memberikan edukasi kepada
keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa..

Kata Kunci: Dukungan Keluarga, Kekambuhan, Gangguan Jiwa

ii
ABSTRACT

Jian Nette Jacob (12114201150073). Relationship Between Forms of Family


Support and Recurrence of Mental Disorder Patients. (Z. Rehena, GJ
Wakanno)

Mental disorders are disorders of mental functions which include emotions,


thoughts, behavior, feelings, motivation, will, desires, self-perception, and
perceptions so that they interfere with the life process in society. An important
effort in healing and preventing recurrence is the existence of good family
support. Family support as an integral part of social support. The positive impact
of family support is to increase one's adjustment to life events. The purpose of this
study is the relationship between forms of family support and recurrence of
mental disorders patients. This research design uses systematic review. This
systematic review aims to determine the relationship between forms of family
support and recurrences in mental disorders. The method used is using review
articles and nursing journals. The results of various articles and journals
conducted show that there is a relationship between forms of family support and
recurrences of mental disorders patients. Family support is very important and
main in the process of healing mental patients, the family must have high
knowledge of how to provide good and correct family support for people with
mental disorders. Family support is needed so that healing for people with mental
disorders can be achieved. The family is expected to be able to play an active role
in the healing process for mental patients at home, in addition to providing
support, the family can also remind patients about medication compliance. From
the results of the literature review made, It was concluded that there was a
relationship between the form of family support and the recurrence of mental
illness patients. So it is suggested that it can be used as a consideration for health
workers in providing education to families to care for family members who have
mental disorders.

Keywords: Family Support, Recurrence, Mental Disorder

KATA PENGANTAR

iii
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan rahmat-Nya

sehingga penyusunan proposal dengan judul “Hubungan Antara Bentuk Dukungan

Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa ”ini dapat terselesaikan.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Z. Rehena., M.Kes

selaku pembimbing I yang dengan kesabaran dan perhatiannya dalam memberikan

bimbingan, semangat dan saran sehingga proposal ini bisa terselesaikan dengan

baik. Terimakasih juga kepada G. J. Wakanno, S.Kp., M.Kep selaku pembimbing

II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi

dan saran demi kesempurnaan proposal ini.

Dengan terselesainya proposal ini, perkenankan penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis dalam menimbah ilmu di Program Studi

keperawatan Universitas Kristen Indonesia Maluku

2. Pembantu Rektor I, II, III, dan IV Universitas Kristen Indonesia Maluku

3. Dekan dan para pembantu Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Kristen

Indonesia Maluku yang telah memberi dukungan dalam memberikan

persetujuan berupa surat-surat yang dibutuhkan penulis dalam

penyusunan proposal ini.

4. Ketua Program Studi Ns. S. R. Maelissa, S.Kep., M.Kep yang telah

menyetujui proposal penelitian ini.

iv
5. Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku yang telah memberikan ijin

dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan proses penelitian hingga

terselesaikannya proposal penelitian ini.

6. Responden penelitian yang telah bekerjasama dengan baik selama proses

penelitian

Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang

dengan berbagai macam cara dan perannya telah membantu penulis dalam proses

penyusunan hingga terselesaikannya proposal ini. Penulis juga mengharapkan

saran dan kritikan yang dapat membantu perbaikan dan pengembangan proposal

ini. Semoga proposal ini bisa memberi manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan.

Ambon, September 2020

JIAN NETTE YACOB

v
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN.....................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………...…….…ii
ABSTRAK…………………………………………………………………….….iii
ABSTRACT…………………….……………………………………………...…iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar belakang...............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................5

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................5

D. Manfaat Penelitian........................................................................................6

1. Manfaat Teoritis........................................................................................6

2. Manfaat Praktis..........................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7


A. Tinjauan Umum Tentang Gangguan Jiwa....................................................7

B. Tinjauan Umum Tentang Bentuk Dukungan Keluarga..............................23

C. Tinjauan Umum Tentang Kekambuhan......................................................30

D. Kerangka Konsep........................................................................................36

D. Hipotesis Penelitian.....................................................................................37

vi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..........................................................38
A. Jenis Penelitian............................................................................................38

B. Tahapan Systematic Review........................................................................38

C. Populasi sampel dan teknik sampling.........................................................41

D. Variabel Penelitian......................................................................................43

E. Analisa Data................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka konsep..................................................................................7


Gambar 3.1 Bagan PRISMA..................................................................................41

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar SK Pembimbing

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah gangguan secara psikolgi atau perilaku yang

terjadi pada seseorang, umumnya terkait dengan gangguan afektif, perilaku,

kognitif dan perseptual. Gangguan jiwa merupakan adanya gangguan pada

fungsi mental yang meliputi emosi, pikiran, perilaku, perasaan, motivasi,

kemauan, keinginan, daya tilik diri, dan persepsi sehingga mengganggu proses

hidup dalam masyarakat (Keliat, 2015).

Pasien gangguan jiwa secara global dari tahun ke tahun cenderung

terus mengalami peningkatan. Hal ini sangat memprihatinkan, dimana sekitar

450 juta orang yang mengalami gangguan mental diperkirakan sekitar 1

jutaorang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini

cukup kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri para pasien gangguan

jiwa yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya (WHO, 2016).

Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang

sangat serius, sekitar 450 juta orang menderita gangguan jiwa. Sepertiganya

berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia, dan 8 dari 10 orang

yang menderita gangguan jiwa tidak mendapatkan penanganan medis

(WHO, 2017).

Prevalensi keluarga gangguan jiwa di Indonesia mengalami

peningkatan pada tahun 2018 sebesar 7% dari 2% pada tahun 2013.

Sedangkan di Maluku pada tahun 2013 sebesar 2% dan pada tahun 2018

1
sebesar 4%. Pada cakupan pengobatan pasien gangguan jiwa yang berobat

sebanyak 84.9% dan cakupan pengobatan yang tidak berobat sebanyak

15.1%. Pasien yang berobat, 48.9% diantaranya minum obat secara rutin dan

51.1% minum obat tidak rutin.Alasan tidak rutin minum obat dalm 1 bulan

terakhir adalah merasa sudah sehat (36.1%), Tidak rutin berobat sebanyak

(33.7%), tidak mampu membeli obat secara rutin (23.6%), tidak tahan ESO

(7.0%). sering lupa (6.1%), merasa dosis tidak sesuai (6.1%), obat tidak

tersedia (2.4%) dan lainnya (32%) (Riskesdas, 2018).

Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa disebabkan karena adanya

tekanan psikologis baik tekanan dari dalam maupun luar individu.

Berdasarkan penyebabnya secara umum dipengaruhi oleh gangguan bio,

psiko, sosial, spiritual dan ekonomi. Berbagai sumber penyebab gangguan

jiwa tersebut biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi berbagai

unsur itu saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu

timbulah gangguan badan ataupun jiwa (Yosep & Sutini, 2016).

Permasalahan gangguan kesehatan jiwa memang masih menjadi salah

satu masalah kesehatan masyarakat. Hal tersebut perlu adanya penanganan

secara komperhensif terhadap pasien gangguan jiwa, dimana gangguan

kejiwaan dapat menyerang semua manusia. Sifat serangan penyakitnya

biasanya akut, kronis ataupun menahun. Gangguan jiwa merupakan

penyimpangan dari keadaan ideal dari suatu kesehatan mental yang

merupakan indikasi adanya gangguan jiwa. Dimana penyimpangan ini

mencakup atas penyimpangan pada fikiran,p erasaan dan perilaku. Pasien

2
gangguan jiwa tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat

lagi menguasai dirinya untuk mencegah mengganggu orang lain atau

menyakiti dirinya sendiri (Kaplan & Sadock, 2015).

Penyakit gangguan jiwa belum dapat disembuhkan secara optimal,

namun para pasien gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan

diperlakukan secara manusiawi. Sebab, salah satu faktor kesembuhan pasien

dipengaruhi oleh perilaku dan peran sertadukungan keluarga, sebagai salah

satu aspekuntuk meminimalisir kekambuhan pada pasien gangguan jiwa.

Dengan begitu tingkat kekambuhan pada pasien gangguan jiwadipengaruhi

oleh kurangnya pengetahuan,keterjangkauan fasilitas pelayanan

kesehatan,sikap pemberi pelayanan kesehatan serta aspekyang paling penting

yaitu kurangnya peranserta keluarga didalam merawat pasien gangguan jiwa

(Dinosetro, 2016).

Upaya penting dalam penyembuhan dan pencegahan kekambuhan

kembali adalah dengan adanya dukungan keluarga yang baik. Dukungan

keluarga sebagai bagian integral dari dukungan sosial. Dampak positif dari

dukungan keluarga adalah meningkatkan penyesuaian diri seseorang

terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan. Dukungan keluarga meliputi

informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yangnyata atau tingkah laku

yang diberikan olehanggota keluarga yang lain dapat memberikan

keuntungan emosional atau berpengaruh padatingkah laku pasien gangguan

jiwa (Rahmayani, 2018).

3
Untuk mencegah terus masalah kesehatan yang berkaitan dengan

tingkah laku pasien gangguan kesehatan jiwa pada anggota keluarga perlu

dilakukan pemberdayaan dan peningkatan keluarga karena keluarga

merupakan unit yang paling dekat dengan klien, efektifitas suatu pengobatan

dan keberhasilan perawatan di rumah sakit selain dipengaruhi oleh kualitas

pelayanan kesehatan, sikap serta ketrampilan petugasnya juga dipengaruhi

olehlingkungan, sikap dan pola hidup pasien dan keluargan. Selain itu juga

dipengaruhi oleh kerjasama yang positif antara petugas kesehatan dan

keluargan. Apabila pasien dan keluargan mempunyai pengetahuan tentang

cara-cara penyembuhan dan pencegahan penyakit serta mampu berpartisipasi

secara positif sejak awal dirawat dirumah sakithingga perawatan di rumah

maka hal ini dapat membantu penyembuhan dan mencegah kekambuhan

pasien yang bersangkutan (Kaplan & Sadock, 2015).

Pentingnya dukungan keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa

dapat dipandang dari berbagai segi seperti keluarga merupakan tempat

individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga

merupakan institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan

mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Jika keluarga

dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada satu

anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh sistem. Berbagai pelayanan

kesehatan jiwa bukan klien seumur hidup tetapi hanya fasilitas pembantu

klien dan keluarga mengembangkan kemampuan dalam mencegah terjadinya

masalah, menanggulangi berbagai masalah dan mempertahankan keadaan

4
adaptif. Salah satu penyebab kambuhnya gangguan jiwa adalah keluarga

yang tidak tahu cara menangani perilaku klien dirumah (Teguh, 2019).

Hal ini sejalan dengan penelitian Abdul Gani (2019) tentang

dukungan keluarga terhadap kekambuhan pasien gangguan jiwa di RSJ Prof.

Dr. Soeroyo Magelang dengan hasil menunjukkan bahwa dari 78 responden

yang diteliti, tingkat dukungan keluarga klien gangguan jiwa sebagian besar

sedang yaitu 40 responden (51,3%) dan tingkat kekambuhan klien gangguan

jiwa sebagian besar sedang yaitu 50 responden (64,1%). Dari hasil bivariat

terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan

kekambuhan kliengangguan jiwa, dengan pvalue = 0,027, (pvalue < 0,05).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik ingin

melakukan penelitan tentang hubungan antara bentuk dukungan keluarga

dengan kekambuhan Pasien gangguan jiwa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “bagaimanakah hubungan antara bentuk dukungan

keluarga dengan kekambuhan Pasien gangguan jiwa?”

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui hubungan antara bentuk dukungan keluarga dengan

kekambuhan Pasien gangguan jiwa.

D. Manfaat Penelitian

5
Adapun manfaat penelitian, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

masyarakat yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan

jiwa dan petugas kesehatan dalam mengembangkan asuhan keperawatan

dalam bidang keperawatan kesehatan jiwa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Keluarga

Dapat memberikan informasi dan masukan bagi keluarga mengenai

pentingnya dukungan keluarga bagi pasien gangguan jiwa.

b. Bagi Petugas Kesehatan di Rumah Sakit

Dapat menjadi bahan informasi dan evaluasi untuk meningkatkan

asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa dalam dalam hal

dukungan keluarga.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk

melakukan penelitian sejenis dan lebih lanjut dalam bidang yang sama

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Gangguan Jiwa

1. Defenisi Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus

dihdapi oleh seseorang karena hbungan dengan orang lain, kesulitan

karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya

sendiri, (Intansari, 2016). Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara

berpikir (cognitive), kemauan (volition). emosi (affective), tindakan

(psychomotor). Gangguan jiwa merupakan gangguan otak yang ditandai

oleh terganggu emosi, proses berpikir, berperilaku dan persepsi

(penangkapan panca indra). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan

Pasienan bagi keluarga. Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang tanpa

mengenal umur, rs, maupun status social dan ekonomi (Yosep, 2016).

Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang

menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan

Pasienan pada individu atau hambatan dalam melaksanakan peran social.

Konsep gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku atau psikologi

seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas

berkaitan dengan suatu gejala Pasienan (distress) di dalam satu atau lebih

fungsi yang penting dari manusia (Depkes RI, 2015).

7
Kehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon

tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu. gangguan mental adalah

gejalah atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis

dan terjadi pada seseorang dari berhubungan dengan keadaan distress

(gejala yang menyakitkan) atau ketidak mampuan (gangguan pada satu

area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan resiko

terhadap kematian, nyeri ketidak mampuan atau kehilangan kebebasan

yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi

tertentu (Intansari, 2016).

2. Etiologi Gangguan Jiwa

Menurut Kaliat (2015) ada beberapa faktor penyebab gangguan

jiwa antara lain:

a. Faktor Genetik: Terdapat bukti yang kuat adanya kompunen genetic,

dengan meningkatnya jumlah pasien skizofrenia pada keluarga paisen

skizofrenia. Resiko berkembang menjadi pasien skizofrenia

diperkirakan sebesar 61-86% pada seseorang yang memiliki kembar

monozigot yang menderita skizofrenia dan 2-15% pada kembar

heterozigot, bagi anak dengan salah satu anggota keluarga yang

menderita skizofrenia 7-16%, bila kedua orang tua menderita

skizofrenia diperkirakan 40-68%, bagi saudara tiri 0,9-1,8% dan bagi

saudara kandung 7-15%.

b. Ketidak seimbangan neurotransmitter (dopamine dan glutamate).

8
c. Faktor lingkungan seperti kurang gizi selama kehamilan dimana

selama kehamilan, kebutuhan energy, protein, lemak dan karbohidrat

harus seimbang dengan zat gizi yang harus dipenuhi selama kehamilan

adalah asam folat, asam lmak tak jenuh, vitamin B12, vitamn D,

vaitamin A, kalsium (Ca), zat besi (Fe), vitamin B6, serat, vitamin C,

seng (Zn), dan yodium. Faktor lingkungan lain juga seperti masalah

dalam proses kelahiran, stress pada kondisi lingkungan, dan stigma.

Sedangkan menurut Videbeck (2015) etiologi gangguan jiwa

adalah:

a. Faktor Genetik : kebanyakan peneliti genetic berfokus pada keluarga

terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, dan anak cucu untuk

melohat apakah skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetic.

Pada penelitian anak kembar menunjukan bahwa kemba identic

beresiko mengalami gangguan sebesar 50%, sedangkan kembar

fraternal beresiko hanya 15%, dan angka ini dapat meningkat samapi

35% jika kedua orang tua menderita skizofrenia. Anak-anak yang

memiliki orang tua biologis dengan riwayat skizofrenia tetapi diadopsi

saat lahir oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia masih memiliki

resiko genetik dari orang tua bilogis.

b. Faktor neuroanatomi dan neurokimia : dengan perkembangan teknik

pencitraan non-invasif seperti CT scan. MRI, PET dan waktu 25 tahun

berakhir, para ilmuan mampu meneliti struktur otak (Neuroanatomi)

dan aktivitas otak (neurokimia) pasien skizofrenia. Peneliti

9
menunjukan bahwa pasien skizofrenia memiliki jaringan otak yang

relative lebih sedikit, hal ini dapat memperlihatkan suatu kegagalan

perkembangan atau kehilangan jaringan. Sedangkan penelitian secara

konsisten memperhatikan adanya perubahan sistem neurotransimitter

otak pada pasien skizofrenia.

c. Faktor imunologi : ada teori yang mengatakan bahwa perubahan

patologi otak pada pasien skizofrenia dapat disebabkan oleh pajanan

virus, atau respon imun tubuh terhadap virus dapat mengubah fisiologi

otak.

3. Jenis-Jenis Gangguan Jiwa

Menurut Videbeck (2015) skizofrenia dibagai dalam 5 tipe atau

kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya

didominasi dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Skizofrenia Hebefrenik

Seorang yang menderita Skizofrenia tipe Hebefrenik yang

disebut juga disorganized type atau “kacau balau” yang ditandai

dengan gejala-gejala antara lain:

1) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti

apa maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan

tidak ada hubunganya satu dengan yang lain.

2) Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak selera.

3) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, senyum yang menunjukan

rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.

10
4) Waham tidak jelas dan tidak sistematik (terpecah-pecah) tidak

terorganisir sebagai suatu kesatuan.

5) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisi

sebagai suatu kesatuan.

6) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukan gerakan-

gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang berulang-ulang

dan kecendrungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan

sosial.

b. Skizofrenia Katatonik

Seseorang yang menderita Skizofrenia tipe Katatonik

menunjukan gejala-gejala yaitu:

1) Stupor Katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas

terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari gerakan atau

aktivitas spontan sehingga tampak seperti “patung” atau diam

membisu.

2) Nativisme Katatonik, yaitu suatu perlawanan yang nampaknya

tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya untuk

menggerakan dirinya.

3) Kekakuan Katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap kaku

terhadap semua upaya untuk menggerakkan dirinya.

4) Kegaduhan Katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motoric yang

tampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan

luar.

11
5) Sikap Tubuh Katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar atau aneh.

c. Skizofrenia Paranoid

Seseorang yang menderita Skizofrenia tipe Paranoid

menunjukan gejala-gejala yaitu:

1) Waham kejar atau waham kebesaran, misalnya kelahiran luar

biasa, misi atau utusan sebagai penyelamat bangsa, dunia atau

agama, misi kenabian atau mesias, atau perubahan tubuh. Waham

cemburu sering ditemukan.

2) Halusinasi yang mengandung isi kejaran atau kebesaran.

3) Gangguan alam perasaan dan perilaku misalnya kecemasan yang

tidak menentu, kemarahan, suak bertengkar dan berdebat, dan

tindakan kekerasan.

d. Skizofrenia Residual

Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala Skizofrenia

yang tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan

mendatar serta tidak serasi (inapropiate), penarikan diri dari pergaulan

sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional

atau pelonggaran asosiasi pikiran. Meskipun gejala-gejalsa skizofrenia

tidak aktif atau tidak menampakan gejala-gejala pasif skizofrenia

hendaknya pihak keluarga tetap mewaspadainya dan membawanya

berobat agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi

kehidupannya sehari hari dengan baik dan produktif.

e. Skizofrenia tak tergolongkan

12
Tipe ini memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia

tetap ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah diuraikan

di muka, hanya gambaran klinisnya terdapat waham, halusinasi,

inkoherensi atau tingkah laku kacau.

4. Manifestasi Klinis Gangguan Jiwa

Gejala-gejala gangguan jiwa menurut Boeree (2017) dibagai

menjadi 2 kelompok, yaitu gejala positif (positive symptoms) dan negates

(negative symptoms).

a. Gejala Positif

1) Delusi/waham. yaitu keyakinan yang keliru dikarenakan adanya

distorasi atau melebih-lebihkan pikiran atau kesehatan penafsiran

terhadap persepsi atau pengalaman. Delusi kemudian diikuti atau

dilihat sebagai seseuatu yang umum, seperti keyakinan-keyakinan

akan komentar pada acara radio atau televise serta keyakinan di

sebuah acara akan memberikan pesan-pesan khusus secara

langsung kepadanya.

2) Halusinasi, yaitu melebih-lebihkan persepsi pada indra seperti

mendengar melihat, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada.

3) Merasa ada seseorang yang ingin melawannya, mencoba

mencelakai atau mengikutinya, percaya pada makhluk asing yang

mengikuti dan yakin dirinya akan diculik atau dibawah ke planet

lain.

4) Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu.

13
5) Kekacauan alam piker yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya,

misalnya berbicara kacau sehingga tidak dapat diikuti alur

pikirannya

b. Gejala Negatif

1) Alam perasaan (afek) tumpul dan mendatar, gambaran alam

perasaan ini dapat terlihat dari wajah yang tidak menunjukkan

ekspresi.

2) Menarik diri atau mengasingkan diri dari pergaulan sosial, tidak

mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamum.

3) Kontak emosional tidak ada, sukar diajak bicara, pendiam.

4) Kehilangan dorongan atau kehendak dan tidak ada inisiatif, tidak

ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, tidak ingin

apa-apa, dan serba malas (kehilangan nafsu).

5. Penanganan Gangguan Jiwa

a. Penatalksanaan Pengobatan

1) Terapi Psikofarmakologi

Psikofarmakologi atau obat psikotropik adalah obat yang

berkerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan

mempunyai efek utama terhadap aktifitas mental dan perilaku,

digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh

terhadap taraf kualitas hidup pasien (Hawari, 2015).

14
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan,

diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas,

anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif, Pembagian

lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic,

anti-idepressants dan psikomimetika (Hawari, 2015).

2) Terapi Somatic

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan

akibat gangguan jiwa sehingga diharapkan tidak dapat menganggu

system tubuh lain. salah satu bentuk terapi ini adalah Electro

Convulsive Therapy (ECT). Terapi elekto konvulsif (ECT)

merupakan suatu jenis pengobatan somatic dimana arus listrik

digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada

pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang

darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja

ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT

menghasilkan perubahan-perubahan biokimia di dalam otak

(peningkatan kadar norepinefrin dan serotonin) mirip dengan obat

anti depresan. (Nuraeni, 2017).

3) Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan

pasien gangguan jiwa yang bervariasi dan bertujuan mengubah

perilaku pasien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya

menjadi perilaku yang adaptif.

15
Ada beberapa jenis terapi modalitas, (Nuraeni, 2017) antara

lain:

a) Terapi Individual

Terapi individual adalah penanganan pasien gangguan

jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang

terapis dengan seorang pasien. Suatu hubungan yang

terstruktur, terjalin antara perawat dan pasien untuk mengubah

perilaku pasien. Hubungan yang dijalani adalah hubungan yang

disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan

sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi

perubahan tingkah laku pasien sesuai dengan tujuan yang

ditetapkan di awal hubungan. Hubungan terstruktur dalam

teraoi individual bertujuan agar pasien mampu menyelesaikan

konflik yang dialaminya. Selain itu pasien juga diharpkan

mampu meredakan Pasienan (distress) emosional, serta

mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan

dasarnya.

b) Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah bentuk terapi dimana terapi

ini menata lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada

pasien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.

Perawat mengguanakan semua lingkungan rumah sakit dalam

arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan pasien

16
untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada

nilai terapeutik dalam aktifitas dan interaksi.

c) Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan

dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku pasien.

Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan

stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi

pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor

tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat pasien mengalami

pola keyakinan dan berpikir yang tidak akurat. untuk itu salah

satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola

piker dan keyakinan tersebut. Fokus asuhan adalah membantu

pasien untuk revaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-

harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun

perubahan kognitif.

d) Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada

seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment

unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu

melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis

ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi, tidak bisa

melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.

Terapi keluarga merupakan semua masalah keluarga yang

17
dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing

anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut.

Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota

keluarga melihat apa masalah yang terjadi di keluarga, apa

kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk

kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan

keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi

keluarga seperti yang seharusnya.

e) Terapi Kelompok

Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada pasien

yang dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan

perilaku melalui media kelompok. Terapi kelompok, perawat

berinteraksi dengan sekelompok pasien secara teratur.

Tujuannya adalah menigkatkan kesadaran diri

pasien,meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah

perilaku maladaptive. terapi perilaku adalah kenyataan bahwa

perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat

dapat dipelajari dan distribusi dari perilaku yang tidak sehat.

Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah Role

model, Kondisioning operan, Desensitiasi sistematis,

Pengendalian diri da terapi aversi atau rileks kondisi.

f) Terapi Bermain

18
Terapi bermain diterapkan karena adanya anggapan

dasar bahwa anak-anak akan dapat berkomnikasi dengan baik

melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan

bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status

emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan

intervensi untuk mengatasi masalh anak tersebut.

b. Penatalaksanaan Pencegahan

Dukungan keluarga memiliki peran penting untuk mencegah

terjadinya kekambuhan. Pasien yang memiliki dukungan keluarga

yang tidak baik lebih mudah mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan masalah dan menyebabkan kekambuhan. Tetapi pasien

yang memiliki dukungan keluarga yang lebih baik akan memiliki

kemungkinan lebih sulit menglami kekambuhan. dukungan keluarga

seperti memberi semangat, rasa aman dan mengatasi rasa putus asa

dapat memberi perubahan perilaku pada pasien dan dapat menjadi

upaya meningkatkan status kesehatan pasien (Nuraeni, 2017).

6. Rehabilitasi Gangguan Jiwa

a. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah sebagai tindakan fisik, penyesuaian

psikososial dan latihan vokasional sebagai usaha untuk memperoleh

fungsi dan penyesuaian diri yang optimal serta mempersiapkan pasien

secara fisik, mental, sosial dan vokasional untuk suatu kehidupan

penuh sesuai dengan kemampuannya (Hawari, 2015).

19
b. Tujuan Rehabilitasi

Maksud dan tujuan rehabilitasi pasien gangguan mental dalam

psikiatri yaitu mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya

penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan

penyesuaian diri dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan

penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga

bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna

(Hawari, 2015).

c. Tahapan Rehabilitasi

Upaya rehabilitasi menurut Nuraeni (2017) terdiri dari 3 tahap

yaitu:

1) Tahap Persiapan

a) Orientasi

Selama fase orientasi pasien akan memerlukan dan

mencarai bimbingan seseorang yang professional. Perawat

menolong pasien untuk mengenali dan memahami masalahnya

dan menentukan apa yang diperlukannya.

b) Identifikasi

Perawat mengidentifikasi dan mengkaji perasaan pasien

serta membantu pasien sering penyakit yang ia rasakan sebagai

serta membantu pasien sering penyakit yang ia rasakan sebagai

sebuah pengalaman dan memberi orientasi positif akan

20
perasaan dan kepribadiannya serta memberi kebutuhan yang

diperlukan.

2) Tahap Pelaksanaan

Perawat melakukan eksplotasi dimana selama fase ini

pasien menerima secara penuh nilai-nilai yang ditawarkan

kepadanya melalui sebuah hubungan (Relationship). Tujuan baru

yang akan dicapai melalui melalui usaha personal dapat

diproyeksikan, dipindah dari perawat ke pasien ketika pasien

menunda rasa puasnya unutk mencapai bentuk baru dari apa yang

dirumuskan.

3) Tahap Pengawasan

Tahapan pengawasan perawatan melakukan resolusi.

Tujuan baru dimunculkan dan secara bertahap tujuan lama

dihilangkan. ini adalah proses dimana pasien membebaskan dirinya

dari ketergantungan terhadap orang lain.

d. Jenis Kegiatan Rehabilitas

Stuar (2017), menekankan bahwa ada 4 ketrampilan penting

psikososial pada pasien gangguan jiwa yaitu:

1) Orientation

Orientation adalah pencapaian tingkat orientasi dan

kesadaran terhadap realita yang lebih baik. Orientasi berhubungan

dengan pengetahuan dan pemahaman pasien terhadap waktu,

21
tempat atau tujuan, sedangkan kesadaran dapat dikuatkan melalui

interaksi dan aktifitas pada semua pasien.

2) Assertion

Assertion yaitu kemampuan mengekspresikan perasaan

sendiri dengan tepat. hal ini dapat dilakukan dengan cara

mendorong pasien dalam mengekspresikan diri secara efektif

dengan tingkah laku yang dapat diterima masyarakat melalui

kelompok pelatihan asertif, kelompok pasien dengan kemampuan

fungsional yang rendah atau kelompok pasien dengan kemampuan

fungsional yang rendah atau kelompok interaksi pasien.

3) Accuotion

Accuption adalah kemampuan pasien untuk dapat percaya

diri dan berprestasi melalui memmbuat kerajinan tangan. Hal ini

dapat dilakukan dengan cara memberikan aktifitas pasien dalam

bentuk kegiatan sederhana seperti teka-teki (sebagai aktifitas yang

bertujuan) mengembangkan ketrampilan fisik seperti menyulam,

membuat bunga, melukis dan meningkatkan manfaat interaksi

sosial.

4) Recreation

Recreation adalah kemampuan menggunakan dan membuat

aktifitas yang menyenangkan dan relaksasi. Hal ini memberi

kesempatan pada pasien untuk mengikuti bermacam reaksi dan

membantu pasien menerapkan ketrampilan yang telah ia pelajari

22
seperti: orientasi asertif, interaksi sosial, ketangkasan fisik. Contoh

aktifitas relaksasi seperti permainan kartu, menebak kata dan jalan-

jalan, memelihara binatang, memelihara tanaman, sosio-drama,

bermain musik dan lain-lain.

B. Tinjauan UmumTentang Bentuk Dukungan Keluarga

1. Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang

masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-

tahap siklus kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial.

internal, seperti dukungan dari suami, istri, atau dukungan dari saudara

kandung, dan dapat juga berupa dukungan keluarga eksternal bagi

keluarga inti. Dukungan keluarga mampu membuat keluarga berfungsi

dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini

meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 2015).

Menurut Friedman (2015), dukungan keluarga adalah suatu bentuk

hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan

terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang

memperhatikan. Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada

dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai

sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2015).

23
2. Sumber Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2015) terdapat tiga sumber dukungan sosial

umum, sumber ini terdiri atas jaringan informal yang spontan: dukungan

terorganisasi yang tidak diarahkan oleh petugas kesehatan professional,

dan upaya terorganisasi oleh professional kesehatan. Dukungan sosial

keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang di pandang

oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan

untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota

keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial

keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan

dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial

keluarga eksternal.

3. Tujuan Dukungan Keluarga

Sangatlah luas diterima bahwa orang yang berada dalam

lingkungan sosial yang suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih

baik dibandingkan rekannya yang tanpa keuntungan ini. Lebih khususnya,

karena dukungan sosial dapat dianggap mengurangi atau menyangga efek

serta meningkatkan kesehatan mental individu atau keluarga secara

langsung, dukungan sosial adalah strategi penting yang harus ada dalam

masa stress bagi keluarga (Friedman, 2015). Dukungan sosial juga dapat

berfungsi sebagai strategi pencegahan guna mengurangi stress akibat

negatifnya. Sistem dukungan keluarga ini berupa membantu berorientasi

24
tugas sering kali diberikan oleh keluarga besar, teman, dan tetangga.

Bantuan dari keluarga besar juga dilakukan dalam bentuk bantuan

langsung, termasuk bantuan financial yang terus-menerus dan intermiten,

berbelanja, merawat anak, perawatan fisik lansia, melakukan tugas rumah

tangga, dan bantuan praktis selama masa krisis (Friedman, 2015).

4. Bentuk Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2015) menerangkan bahwa keluarga memiliki

empat bentuk dukungan, di antaranya :

a. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat

dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-

aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan

dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan

dan didengarkan. Dukungan emosional keluarga merupakan bentuk

atau jenis dukungan yang diberikan keluarga berupa memberikan

perhatian, kasih sayang, dan empati. Dukungan emosional merupakan

fungsi afektif keluarga yang harus diterapkan kepada seluruh anggota

keluarga. Fungsi afektif merupakan fungsi internal keluarga dalam

memenuhi kebutuhan psikososial anggota keluarga dengan saling

mengasuh, cinta kasih, kehangatan, dan saling mendukung menghargai

antar anggota keluarga.

25
Dukungan emosional dari keluarga sangat dibutuhkan, dimana

hal ini dapat mempengaruhi status psikososial dan mental yang akan

ditunjukkan melalui perubahan perilaku yang diharapkan dalam upaya

meningkatkan status kesehatannya serta kualitas hidupnya. Hal

tersebut tentunya disebabkan karena terjadinya peningkatan perasaan

tidak berguna, tidak dihargai, merasa dikucilkan, dan kecewa.

Dukungan keluarga dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental

seseorang melalui pengaruhnya terhadap pembentukan emosional

dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

b. Dukungan Informasi

Keluarga berfungsi sebagai sebuah pengumpul dan penyebar

informasi. Menjelaskan tentang pemberian saran dan sugesti, informasi

yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Aspek-

aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan

pemberian informasi. Bentuk fungsi perawatan kesehatan yang dapat

diterapkan seperti menjelaskan tentang akses perawatan kesehatan

yang tidak tersedia agar dapat termotivasi menjaga dan mengontrol

kesehatannya.

c. Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan

kongkrit diantaranya, dalam hal kebutuhan makan dan minum, dan

sebagainya. Dukungan instrumental keluarga merupakan suatu

dukungan atau bantuan penuh dari keluarga dalam bentuk memberikan

26
tenaga, dana, maupun, meluangkan waktu untuk membantu atau

melayani dan mendengarkan dalam menyampaikan perasaannya. Serta

dukungan instrumental keluarga merupakan fungsi ekonomi dan fungsi

perawatan kesehatan yang diterapkan keluarga.

d. Dukungan Penilaian

Keluarga bertindak sebagai pemberi umpan balik, membimbing

dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator

identitas anggota keluarga diantaranya memberikan support,

penghargaan, dan perhatian. Dukungan penilaian merupakan suatu

dukungan dari keluarga dalam bentuk memberikan umpan balik dan

penghargaan kepada lansia dengan menunjukkan respon positif yaitu

dorongan atau persetujuan terhadap gagasan, ide, atau perasaan

seseorang. Melalui dukungan penghargaan ini, maka akan mendapat

pengakuan atas kemampuannya baik sekecil dan sesederhana apapun.

5. Manfaat Dukungan Keluarga

Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi

sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda

dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam

semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat

keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai

akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga.

Friedman (2015), menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga

(dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan)

27
dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi

akibat-akibat dari kesehatan) ditemukan. Sesungguhnya efek-efek

penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan

kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan (Friedman, 2015).

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2015) faktor-faktor yang mempengaruhi

dukungan keluarga adalah:

a. Faktor Internal

1) Tahap Perkembangan

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam

hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian

setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon

terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

2) Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk

oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar

belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu. Kemampuan

kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk

kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan

dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan

untuk menjaga kesehatan dirinya.

3) Faktor Emosi

28
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap

adanya dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang

mengalami respon stress dalam setiap perubahan hidupnya

cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin

dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut

dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum

terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang

kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu

melakukan koping secara emosional terhadap ancaman penyakit.

4) Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang

menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang

dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan

kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

b. Faktor Eksternal

1) Praktek di Keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya

mempengaruhi Pasien dalam melaksanakan kesehatannya.

Misalnya, klien juga kemungkinan besar akan melakukan tindakan

pencegahan jika keluarga melakukan hal yang sama.

2) Faktor Sosio-Ekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko

terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang

29
mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel

psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan

lingkungan kerja.Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan

persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi

keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi

tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap

terhadap gejala penyakit yang dirasakan. Sehingga ia akan segera

mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada

kesehatannya.

3) Latar Belakang Budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan

kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara

pelaksanaan kesehatan pribadi.

C. Tinjauan UmumTentang Kekambuhan

1. Defenisi Kekambuhan

Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala

yangsama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat

kembali. Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stress dapatmemicu

pada orang-orang yang mudah terkena depresi, dimana dapatditemukan

bahwa orang-orang yang mengalami kekambuhan lebih

besarkemungkinannya daripada orang-orang yang tidak mengalami

kejadian- kejadian buruk dalam kehidupan mereka. Pada gangguan jiwa

30
kronisdiperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan

70% pada tahun kedua. Kekambuhan biasanya terjadi karena hal- hal

buruk yang menimpa pasien gangguan jiwa, seperti diasingkan

olehkeluarganya sendiri (Taufik, 2016).

2. Faktor-Faktor Kekambuhan

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan

pasien gangguan jiwa (Taufik, 2016), meliputi:

a. Pasien

Secara umum bahwa pasien yang minum obat secara tidak

teraturmempunyai kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian

menunjukkan25% sampai 50% pasien skizofrenia yang pulang dari

rumah sakit jiwatidak meminum obat secara teratur. Pasien kronis,

khususnya skizofreniasukar mengikuti aturan minum obat karena

adanya gangguan realitas danketidakmampuan mengambil keputusan.

Di rumah sakit perawatbertanggung jawab dalam pemberian atau

pemantauan pemberian obatsedangkan di rumah tugas perawat

digantikan oleh keluarga.

b. Dokter

Minum obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan,

namunpemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek

sampingyang mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak

terkontrol.Pemberian obat oleh dokter diharapkan sesuai dengan dosis

terapeutiksehingga dapat mencegah kekambuhan.

31
c. Penanggung Jawab Pasien (Case Manager)

Setelah pasien pulang ke rumah, maka penanggung jawab

kasusmempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu

dengan pasien,sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini pasien dan

segera mengambiltindakan.

d. Keluarga

Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan

menyebabkankekambuhan yang tinggi pada pasien. Hal lain adalah

pasien mudahdipengaruhi oleh stress yang menyenangkan maupun

yang menyedihkan.Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting

dalam prosesperawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan

perawatan di rumahagar adaptasi pasien berjalan dengan baik. Kualitas

dan efektifitasperilaku keluarga akan membantu proses pemulihan

kesehatan pasien sehingga status kesehatan pasien meningkat.

e. Dukungan Lingkungan Sekitar

Dukungan lingkungan sekitar tempat tinggal pasien yang

tidakmendukung dapat juga meningkatkan frekuensi kekambuhan,

misalnyamasyarakat menganggap pasien sebagai individu yang tidak

berguna,mengucilkan pasien, mengejek pasien dan seterusnya

Menurut Videbeck (2015), faktor resiko untuk kambuh adalah:

a. Faktor Risiko Kesehatan

32
Gangguan sebab dan akibat berpikir, Gangguan proses

informasi, Giziburuk, Kurang tidur, Kurang olahraga, Keletihan, dan

Efek sampingpengobatan yang tidak dapat ditoleransi.

b. Faktor Risiko Lingkungan

Kesulitan keuangan, Kesulitan tempat tinggal, Perubahan

yangmenimbulkan stress dalam peristiwa kehidupan, Keterampilan

kerjayang buruk, ketidakmampuan mempertahankan, Pekerjaan,

Tidakmemiliki transportasi, Keterampilan sosial yang buruk, isolasi

sosial, kesepian, dan Kesulitan interpersonal

c. Faktor Risiko Perilaku dan Emosional

Tidak ada kontrol, perilaku agresif, atau perilaku kekerasan,

Perubahan mood, Pengobatan dan penatalaksanaan gejala yang

buruk,Konsep diri rendah, Penampilan dan tindakan berbeda, Perasaan

putusasa, dan Kehilangan motivasi.

3. Gejala-Gejala Kekambuhan

Gejala kambuh yang diidentifikasi oleh pasien dan

keluarganya,yaitu nervous, tidak nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit

tidur, depresi, tidak ada minat dan menarik diri. Pada gangguan jiwa

psokotik akan timbul gejala positif yang lebih aktif seperti; waham,

halusinasi, gangguan pikiran, ekoprasia, asosiasi longer, Flight of ideas

(Keliat, 2015).

Keliat (2015), mengkaji gejala kambuh yang diidentifikasikan oleh

pasien dan keluarganya yaitu:

33
a. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous)

b. Tidak nafsu makan

c. Sukar konsentrasi

d. Sulit Tidur

e. Perilaku Kekerasan

f. Tidak ada minat

g. Menarik diri

4. Tahap-Tahap Kekambuhan

Menurut Taufik (2016), kekambuhan dibagi menjadi5 tahap,yaitu:

a. Overextension

Tahap ini menunjukkan ketegangan yang berlebihan. Pasien

mengeluhperasaanya terbebani. Gejala dari cemas intensif dan energi

yang besardigunakan untuk mengatasi hal ini.

b. Restricted Consciousnes

Tahap ini menunjukkan pada kesadaran yang terbatas. Gejala

yangsebelumnya cemas, digantikan oleh depresi.

c. Disinhibition

Penampilan pertama pada tahap ini adalah adanya hipomania

danbiasanya meliputi munculnya halusinasi (halusinasi tahap I dan 11)

dandelusi, dimana pasien tidak lagi mengontrol defense

mekanismesebelumnya telah gagl disini. Hipomania awal ditandai

dengan moodyang tinggi. Kegembiraan optimisme dan percaya diri.

Gejala lain darihipomania ini adalah rasa percaya diri yang berlebihan,

34
wahamkebesaran, mudah marah, senang bersukaria dan

menghamburkanuang,euforia.

d. Psikotic Disorganization

Pada saat ini gejala psikotik sangat jelas dilihat. Tahap ini

diuraikan sebagai berikut:

1) Pasien tidak lagi mengenal lingkungan / orang yang familiar

danmungkin menuduh anggota keluarga menjadi penipu. Agitasi

yangekstrim mungkin terjadi, fase ini dikenal sebagai

penghancuran daridunia luar.

2) Pasien kehilangan identitas personal dan mungkin melihat

dirinyasendiri sebagai orang ke-3. Fase ini menunjukkan

kehancuran padadiri.

3) Total fragmentation adalah kehilangan kemampuan

untukmembedakan realitas dari psikosis dan kemungkinan dikenal

sebagailoudly psychotic.

e. Psychotic Resolution

Tahap ini biasanya terjadi di rumah sakit. pasien diobati dan

masihmengalami psikosis tetapi gejalanya berhenti atau diam.

5. Strategi Untuk Mencegah Kekambuhan

Strategi yang dapat membantu keluarga untuk mencegah

terjadinyakekambuhan yaitu (Keliat, 2015) :

a. Mengenali tanda kambuh

b. Menjalani pengobatan yang sesuai

35
c. Menghindari situasi yang mungkin memicu timbulnya gejala

sepertifilm-film atau program di televisi.

d. Mempelajari tentang keadaan sakit yang diderita anggota keluarganya.

e. Melaksanakan pelatihan teknik manajemen stress. Contoh

meditasi,berpikir positif, dan napas dalam.

f. Melaksanakan aktifitas secara terstruktur

Seorang yang menderita gangguan jiwa harus diberi semangat

dannasehat untuk mengatur keadaaan dirinya dan untuk

menghindarikekambuhan. Tim kesehatan menyatakan bahwa pasien

menyimpan catatanharian mengenai perasaan dan perilakunya sehingga

mereka secarasignifikan dapat mengalami perubahan dan peringatan tanda

akankekambuhannya. Banyak pasien yang mempelajari dan mengenali

pribadimereka dengan adanya catatan tersebut.

Memelihara pola hidup juga penting untuk setiap orang

khususnyapasien gangguan jiwa. Mengambil dosis obat yang benar pada

waktu yangsama setiap hari sangat diperlukan. Membantu mengingatkan

pasien dalammeminum obat dengan menggunakan pil untuk setiap dosis

harian. Haltersebut akan menolong mereka bila mereka harus mengambil

dosis pengobatan.

D. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar di

bawah ini:

36
Variabel Independen Variabel Dependen

Dukungan Keluarga Kekambuhan Pasien


Gangguan Jiwa

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

:Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Adanya Hubungan

37
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan

menggunakan metode Systematic Review yakni sebuah sintesis dari studi

literature yangbersifat sitematik, jelas, menyeluruh, dengan

mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi melalui pengumpulan data –

data yang sudahada dengan metode pencarian yang eksplisit dan

melibatkan proses telaah kritis dalam pemilihan studi. Tujuan dari metode

ini adalah untuk membatu peneliti lebih memahami latar belakang dari

penelitian yang menjadi subyek topik yang dicari serta memahami

bagaimana hasil dari penelitian tersebut sehingga dapat menjadi acuan

bagi penelitian baru.

B. Tahapan Systematic Review

Dalam penelitian yang menggunakan metode systematic review

ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sehingga hasil dari studi

literatur tersebut dapat diakui kredibikitasnya. Adapun tahapan –

tahapan tesebut sebagai berikut;

1. Identifikasi Pertanyaan Penelitian

38
Identifikasi pertanyaan penelitian merupakan pertayaan yang akan kita

gunakan sebagai dasar melakukan review, sebagai acuan untuk kita

merumuskan pertanyaan penelitian kita dapat menggunakan “PICO”

a) (P) Populasi adalah kelompok yang dijadikan sebagai unit analisis,

populasi dalam penelitian ini adalah Pasien Gangguan Jiwa

b) (I) Intervensi adalah treatmen yang akan kita berikan kepada

unitanalisis untuk melihat pengaruhnya , tidak ada Intervensi yang

dilakukan dalam penelitian ini.

c) (C) Comparator adalah pembanding sebagai kontrol,

adakelompok yang diberi treatment dan ada yang tidak diberikan

treatment, lalu dibandingkan, Comparator dalam penelitian ini

tidak ada.

d) (O) Outcome adalah hasil yang dieroleh dari

penelitian(eksperimen), outcome dalam penelitian ini adalah

hubungan antara bentuk dukungan keluarga dengan periode

kekambuhan Pasien gangguan jiwa.

2. Menyusun Protokol

Menyusun protokol review kitamenggunakan metode PRISMA

(Preferred Reporting Items ForSystematic Reviews and Meta

Analyses)

a. Pencarian Data

Pencarian data mengacu pada sumber data base Google Scholar

yangsifatnya resmi.

39
b. Skrining Data

Skrining adalah penyaringan atau pemilihan data (artikel

penelitian)yang bertujuan untuk memilih masalah penelitian.

c. Penialaian Kualitas (Kelayakan) Data

Penilaian kualitas atau kelayakan didasarkan pada data (artikel

penelitian) denga teks lengkap (full text) dengan memenuhi criteria

yang ditentukan (kriteria inklusi dan eksklusi).

d. Hasil Pencarian Data

Semua data (artikel penelitian) berupa artikel penelitian

kuantitatifyang memenuhi semua syarat dan kriteria

untukdilakukan analisis lebih lajut.

3. Menyusun Strategi Pencarian

Strategi pencarian dilakukan mengacu pada protokol yang telah

dibuatdan menentukan lokasi atau sumber database untuk pencarian

dataserta dapat melibatkan orang lain untuk membantu review.

4. Ekstrasi Data

Ekstraksi data dapat dilakukan setelah proses protokol telah dilakukan

dengan menggunakan metode PRISMA, ekstrasi data dapat dilakukan

secara manual dengan membuat formulir yang berisi tentang; tipe

artikel, nama jurnal atau konferensi, tahun, judul, kata kunci, metode

penelitian dan lain-lain yang dilihat pada bagan PRISMA:

40
Hasil Jurnal Nasional secara keseluruhan (Bahasa Indonesia)
(n=315 )

Screening, jurnal Screening rentang


(n=87 ) waktu 5 tahun

Jurnal yang dapat diakses keseluruhan Jurnal full teks


teks Google Scholar 21
(n=21)

Jurnal yang berkaitan dengan


hubungan antara bentuk
dukungan keluarga dengan
kekambuhan Pasien
Jurnal akhir yang sesuai kriteria gangguan jiwa
inklusi
(n=10)

Gambar 3.1 Bagan PRISMA

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Adapun yang menjadi populasi dalampenelitian ini adalah

jurnal nasional dan internasional yang berkaitandengan hubungan

antara bentuk dukungan keluarga dengan kekambuhan Pasien

gangguan jiwa.

41
2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 10 artikel penelitian

nasional yang berkaitan dengan hubungan antara bentuk dukungan

keluarga dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa.

3. Teknik Sampling

Pengambilan sampelpada penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling, yaitusuatu teknik penetapan sampel dengan cara

memilih sample di antarapopulasi sesuai dengan yang dikehendaki

peneliti (tujuan dan masalahdalam penelitian), sehingga sampel dapat

mewakili karakteristikpopulasi yang telah diketahui sebelumnya.

Berdasarkan karakteristikpopulasi yang telah diketahui, maka dibuat

kriteria inklusi dan eksklusi.Kriteria Inklusi adalah semua aspek yang

harus ada dalam sebuahpenelitian yang direview dan kirteria eksklusi

adalah faktor –faktor yang dapat menyebabkan sebuah penelitian

menjadi tidak layakuntuk di review; sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

1) Artikel penelitian nasional berbahasa Indonesiayang

berkaitandengan hubungan antara bentuk dukungan keluarga

dengan kekambuhan Pasien gangguan jiwa.

2) Artikel penelitian diterbitkan dalam rentang waktu 5 tahun

(2015-2020)

b. Kriteria Eksklusi

42
1) Artikel penelitian internasional yang berkaitandengan

hubungan antara bentuk dukungan keluarga dengan

kekambuhan Pasien gangguan jiwa.

2) Artikel penelitian diterbitkan telah lebih dari 10 tahun

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari

orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang di

tetapkan oleh peneliti untuk di pelajari kemudian di tarik kesimpulannya.

Variabel dalam penelitian ini meliputi :

1. Variabel Independen

Variabel independen atau bebas adalah variabel yang mempengaruhi

atau yang menjadi sebab perubahan timbulnya variabel dependen

(Sugiyono, 2013). Variabel independen dalam penelitian ini adalah

bentuk dukungan keluarga

2. Variabel Dependen

Variabel dependen atau terikat adalah variabel yang di pengaruhi atau

yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2013).

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kekambuhan Pasien

gangguann jiwa.

E. Analisa Data

43
Setelah melewati tahap protokol sampai pada ekstraksi data, maka

analisis data dilakukan dengan menggabungkan semua data yang telah

memenuhi kriteria inklusi mengguakan teknik secara deskriptif untuk

memberikan gambaran hubungan antara bentuk dukungan keluarga

dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa.

44
45
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Tabel 4.1
Hasil Systematic Review Hubungan Antara Bentuk Dukungan Keluarga
Dengan Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa
No Judul/Peneliti Tahun Lokasi Tujuan Desain Jumlah Metode Teknik Intervensi Hasil
Penelitian Responden Pengukuran Analisa
1 Dukungan 2019 Rumah Sakit menganalisi studi 78 responden Kuesioner dan uji non terdapat
Keluarga Jiwa Prof. dukungan keluarga korelasional Observasi parametric hubungan
Terhadap Dr. Soeroyo terhadap dengan yang
Kekambuhan Di Magelang kekambuhan paisen pendekatan cross signifikan
Pasien Gangguan gangguan jiwa di sectional antara
Jiwa Di Rumah rumah sakit jiwa dukungan
Sakit Jiwa Prof. Prof. Soeroyo keluarga dan
Dr. Soeroyo Di kekambuhan
Magelang. kliengangguan
(A.Gani) jiwa. Dengan
nilai
Correlation
Coefficien-.17
7 (pv=0,027)
2 Hubungan 2020 Rumah Sakit mengetahui apakah Crossectional 181 Kuesioner Chi-square Terdapat
Dukungan Jiwa ada hubungan responden hubungan
Keluarga Tampan yang bermakna yang
Terhadap Pekanbaru bermakna
antara dukungan
Kekambuhan antara

45
Pasien keluarga terhadap dukungan
Skizofrenia Di proses keluarga
Rumah Sakit kekambuhan pasien dengan
Jiwa Tampan kekambuhan
skizofrenia di
Pekanbaru. pasien
(Lora Marlita) Poliklinik Rumah skizofrenia,
Sakit Jiwa (RSJ) dengan p-
Tampan Provinsi value 0,000
Riau yang berarti p-
value < α 0,05
3 Hubungan 2020 ruang IPCU untuk menentukan deskriptif 40 responden Kuesioner Spearman ada hubungan
Dukungan Rumah Sakit hubungan antara korelasional Rank antara
Keluarga Jiwa dukungan keluarga dengan dukungan
terhadapTingkat Provinsi Bali dan tingkat pendekatan cross keluarga dan
Kekambuhan kekambuhan klien sectional tingkat
Klien dengan risiko kekambuhan
denganResiko perilaku kekerasan klien dengan
Perilaku risiko perilaku
Kekerasan. kekerasan di
(Gede Harsa ruang rawat
Wardana) inap IPCU
bangsal
Rumah Sakit
Jiwa Provinsi
Bali dengan
nilai p 0,000
< dari tingkat
signifikansi
yang
ditentukan
0,05
4 Hubungan 2019 Poliklinik Untuk mengetahui pendekatan cross 100 Kuesioner chi-square terdapat
Dukungan Jiwa Rumah hubungan dukungan sectional dan responden hubungan
Keluarga Dengan Sakit Jiwa keluarga dengan menggunakan signifikan

46
Kekambuhan Prof. Dr. kekambuhan jenis penelitian antara
Penderita Muhammd penderita analitik dukungan
Skizofrenia di Ildrem skizofrenia di keluarga
Poliklinik Jiwa Medan Poliklinik Jiwa dengan
Rumah Sakit Rumah Sakit Jiwa kekambuhan
Jiwa Prof. Dr. Prof. Dr. penderita
Muhammd Muhammad Ildrem skizofrenia
Ildrem Medan. Medan yang meliputi
(Eirene hubungan
Anggreini dukungan
Sinurat) emosional (p-
value 0,013),
hubungan
dukungan
informasional
(p-value
0,025),
hubungan
dukungan
instrumental
(p-value
0,003), dan
hubungan
dukungan
penilaian (p-
value 0,005)
5 Hubungan 2020 Rumah untuk mengetahui analitik 38 responden Kuesioner chi-square terdapat
Konsep Sakit Jiwa apakah ada kuantitatif yang dan fisher’s hubungan
Dukungan Provinsi hubungan menggunakan tes dukungan
Keluarga Dengan Lampung dukungan keluarga desain penelitian emosional
Tingkat dengan Cross Secctional. dengan
Kekambuhan kekambuhan kekambuhan
Pada Paisen pasien skizofrenia pada pasien
Skizofrenia. di Rumah Sakit skizofrenia (p-

47
(Cindy Tiara) Jiwa Provinsi value :
Lampung 0,001),
terdapat
hubungan
dukungan
informasional
dengan
kekambuhan
pada pasien
skizofrenia (p-
value : 0,020)
terdapat
hubungan
dukungan
nyata dengan
kekambuhan
pada pasien
skizofrenia
skizofrenia (p-
value: 0,000)
terdapat
hubungan
dukungan
pengharapan
dengan
kekambuhan
pada pasien
skizofrenia (p-
value : 0,004).
6 Hubungan 2018 Kecamatan mengidentifikasi kuantitatif 30 responden Angket Chi-Square ada hubungan
Dukungan Kaliwungu dan mengukur korelasi yang
Keluarga Dengan Kabupaten hubungan dukungan signifikan
Tingkat Semarang keluarga dan antara
Kekambuhan kekambuhan pada dukungan

48
Penderita pasien penderita keluarga
Skizofrenia di skizofrenia di dengan
Kecamatan Kecamatan kekambuhan
Kaliwungu Kaliwungu, penderita
Kabupaten Kabupaten dengan nilai
Semarang. Semarang signifikansi
(Wisnu Adi sebesar 0,003
Prsityantama) (p<0,05).
7 Hubungan 2018 RSJ Naimata untuk mengetahui observasional 43 responden Kuesioner uji statistik Ada hubungan
Dukungan Kupang hubungan antara analitik dengan spearman antara
Keluarga Dengan dukungan keluarga pendekatan dukungan
Tingkat dengan tingkat Cross Sectional. keluarga
Kekambuhan kekambuhan dengan tingkat
Penderita penderita gangguan kekambuhan
Gangguan skizofrenia yang penderita
Skizofrenia Di berkunjung di RSJ gangguan
RSJ Naimata Naimata Kupang skizofrenia di
Kupang. RSJ Naimata
(Theresia Dian) Kupang
dengan nilai
p=0,004
(p<0,05).
8 Hubungan Faktor 2016 Poliklinik untuk mengetahui deskriptif 173 Kuesioner chi-square ada hubungan
Keluarga Dengan Rumah Sakit hubungan faktor korelatif dengan responden yang
Kekambuhan Jiwa Prof. keluarga dengan pendekatan cross bermakna
Pada Klien Dr. kekambuhan klien sectional antara
Skizofrenia Di HB.Sa’anin Skizofrenia di dukungan
Poliklinik Rumah Padang Poliklinik RS Jiwa keluarga
Sakit Jiwa Prof. Prof. Dr. HB. dengan
Dr. HB.Sa’anin Sa’anin Padang kekambuhan
Padang. klien
(Yudistira skizofrenia
Afconneri) (p<0,05).
9 Hubungan 2020 Poli Rawat untuk melihat metode 75 responden Kuesioner uji statistik Ada hubungan

49
Dukungan Jalan RSJD hubungan dukungan kuantitatif chi-square antara
Keluarga dengan Dr. Arif keluarga dengan non-eksperimen dukungan
Tingkat Zainudin tingkat kekamuhan dengan keluarga
Kekambuhan Surakarta pada pasien rancangan dengan tingkat
pada Pasien skizofrenia di RSJD deskriptif kekambuhan
Skizofrenia di Dr. Arif Zainudin korelasional dan pada pasien
Poli Rawat Jalan Surakarta pendekatan Skizofrenia
RSJD Dr. Arif Cross Sectional dengan nilai p
Zainudin = 0.000 (p <
Surakarta. 0.05).
(Yeni Nur
Rahmayanti)
10 Hubungan Peran 2019 Puskesmas untuk menganalisis deskriptif 15 responden Kuesioner uji Ada hubungan
Keluarga Dengan Pesanggraha peran keluarga analitik melalui stastistik peran
Tingkat n Kecamatan dengan derajat pendekatan rank keluarga
Kekambuhan Kutorejo kekambuhan kohord spearman dengan tingkat
Pasien Gangguan Mojokerto penderita gangguan retrospektif kekambuhan
Jiwa Di jiwa di Puskesmas pasien
Puskesmas Pesanggrahan gangguan
Pesanggrahan Kutorejo Mojokerto jiwadi
Kecamatan Puskesmas
Kutorejo Pesanggrahan
Mojokerto. Kutorejo
(Hamidah Fajrin Mojokerto
Rusydy) dengan p-
value 0.014
(<0,05).

50
Hasil penelitian Gani (2019), menunjuukan bahwa dari hasil univariat

karakteristik klien gangguan jiwa yaitu umur sebagain besar 15-24 tahun 32

responden (41,0%), jenis kelamin sebagain besar laki-laki 46 responden (59,9%),

pendidikan sebagain besar SD 34 responden (43,6%), frekuensi opname sebagain

besar 2 kali 38 responden (48,7%), tingkat dukungan keluarga klien gangguan

jiwa sebagain besar sedang 40 responden (51,3%), tingkat kekambuhan klien

gangguan jiwa sebagain besar sedang 50 responden (64,1%). Dari hasil bivariat

terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan kekambuhan

klien gangguan jiwa. Dengan nilai Correlation Coefficien -.177 (pv= 0,027).

Kekambuhan klien gangguan jiwa sangat tergantung dengan dukungan keluarga.

Penelitian Lora Marlita (2020), menunjukkan bahwa pada dukungan

keluarga yang tidak baik, didapatkan pasien mengalami kekambuhan sebanyak

26%, selanjutnya pada dukungan keluarga yang baik, pasien tidak mengalami

kekambuhan sebanyak 57%. Data di atas menunjukkan bahwa dukungan keluarga

yang sangat baik atau tidak baik secara garis besar akan menjadi penyebab pasien

skizofrenia mengalami kekambuhan. Dari hasil analisis Chi-square didapatkan

hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan

kekambuhan pasien skizofrenia, dengan p-value 0,000 yang berarti p- value < α

0,05.

Hasil penelitian Gede Harsa Wardana (2020), menunjukkan bahwa dari 17

keluarga yang memberikan dukungan sosial kategori tinggi sebagian besar pasien

skizofrenia yaitu 16 orang (94,1%) mengalami kekambuhan kategori ringan. Dari

13 keluarga yang memberikan dukungan sosial kategori sedang sebagian besar


pasien skizofrenia yaitu 7 orang (53,8%) mengalami kekambuhan kategori

sedang. Dari 10 keluarga yang memberikan dukungan sosial kategori sedang

sebagian besar pasien skizofrenia yaitu 8 orang (80%) mengalami kekambuhan

kategori berat. Berdasarkan hasil uji Spearman Rank didapatkan angka p value

sebesar 0,000<dari tingkat signifikansi ditentukan yaitu 0,05, hasil ini

menunjukkan ada dukungan keluarga dengan tingkat kekambuhan pasien

skizofrenia

Penelitian Eirene Anggreini Sinurat (2019), menunjukkan bahwa

mayoritas responden yang memiliki dukungan emosional baik sebanyak 66 orang

(66,0%), mayoritas dukungan informasional baik sebanyak 67 orang (67,0%),

mayoritas dukungan instrumental baik sebanyak 75 orang (75,0%), dan mayoritas

dukungan penilaian baik sebanyak 72 orang (72,0%). Mayoritas penderita

skizofrenia tidak mengalami kekambuhan yaitu sebanyak 61 orang (61,0%). Hasil

penelitian diketahui terdapat hubungan signifikan antara dukungan keluarga

dengan kekambuhan penderita skizofrenia yang meliputi hubungan dukungan

emosional dengan kekambuhan penderita skizofrenia (p-value 0,013<0,05),

hubungan dukungan informasional dengan kekambuhan penderita skizofrenia (p-

value 0,025<0,05), hubungan dukungan instrumental dengan kekambuhan

penderita skizofrenia (p-value 0,003<0,05), dan hubungan dukungan penilaian

dengan kekambuhan penderita skizofrenia (p-value 0,005<0,05).

Hasil penelitian Cindy Tiara (2020), menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi dukungan emosional pada pasien skizofrenia mayoritas mendapatkan

dukungan emosi kurang baik sebanyak 52,6%, dukungan informasional pada

52
pasien skizofrenia mayoritas mendapatkan dukungan informasi baik sebanyak

63,2%, dukungan nyata pada pasien skizofrenia mayoritas mendapatkan dukungan

nyata baik sebanyak 68,4%, dukungan pengharapan pada pasien skizofrenia

mayoritas mendapatkan dukungan pengharapan baik sebanyak 73,7%, terdapat

hubungan dukungan emosional dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia (p-

value=0,001), terdapat hubungan dukungan informasional dengan kekambuhan

pada pasien skizofrenia (p-value=0,020), terdapat hubungan dukungan nyata

dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia (p-value=0,000), terdapat hubungan

dukungan pengharapan dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia (p-

value=0,004).

Penelitian Wisnu Adi Prsityantama (2018), menunjukkan bahwa partisipan

yang memiliki dukungan keluarga baik sebanyak 25 orang, sedangkan dukungan

keluarga tidak baik sebanyak 5 orang. Penderita yang menderita kekambuhan

ringan sebanyak 6 orang untuk kekambuhan sedang 20 orang, dan kekambuhan

berat 4 orang. Berdasarkan hasil uji analisa bivariat antar variable dukungan

keluarga dengan kekambuhan penderita didapatkan nilai signifikansi sebesar

0,003 atau lebih kecil dari α = 0,05, memberikan arti bahwa ada hubungan yang

signifikan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan penderita.

Hasil penelitian Theresia Dian (2018), menunjukkan bahwa dari 17 orang

yang mengalami tingkat kekambuhan tinggi, 6 orang dengan dukungan keluarga

tinggi, 6 orang dengan dukungan keluarga cukup dan 5 orang dengan dukungan

keluarga rendah. 12 orang yang mengalami tingkat kekambuhan sedang, 10 orang

dengan dukungan keluarga tinggi, 1 orang dengan dukungan keluarga cukup dan 1

53
orang dengan dukungan keluarga rendah. 14 orang yang mengalami tingkat

kekambuhan rendah, 13 orang dengan dukungan keluarga tinggi, 1 orang dengan

dukungan keluarga cukup. Penelitian ini membuktikan bahwa adanya hubungan

dukungan keluarga dengan tingkat kekambuhan penderita gangguan skizofrenia

dengan nilai p-value=0,004.

Penelitian Yudistira Afconneri (2016), menunjukkan bahwa lebih dari

separuh responden memiliki dukungan keluarga rendah adalah 93 responden.

Hasil penelitian juga didapatkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki

dukungan keluarga rendah yang mempunyai kekambuhan tinggi (60.2%). Hasil

uji Chi Square diperoleh nilai p=0.044 (p≤0.05) maka dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kekambuhan.

Hasil Penelitian Yeni Nur Rahmayanti (2020), menunjukkan bahwa 49

orang klien (87,5%) yang memiliki dukungan keluarga yang baik dan teratur

dalam minum obat tidak mengalami kekambuhan sedangkan 7 orang klien

(12,5%) dengan dukungan keluarga yang baik tetapi tidak teratur dalam minum

obat mengalami kekambuhan. Pada dukungan keluarga yang cukup didapatkan

hasil bahwa sebanyak 12 orang klien (85,7%) mengalami kekambuhan dan 2

orang klien yang lain (14,3%) tidak mengalami kekambuhan. Sedangkan pada

dukungan keluarga kurang dan tidak teratur dalam minum obat sebanyak 4 orang

klien (80%) mengalami kekambuhan dan 1 orang klien (20%) yang teratur dalam

minum obat walaupun dengan dukungan keluarga yang kurang tidak mengalami

kekambuhan. Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh p = 0,000

berarti p < 0,05 maka Hо ditolak dan Hа diterima, hal ini menunjukkan adanya

54
hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kekambuhan pasien

skizofrenia.

Penelitian Hamidah Fajrin Rusydy (2019), menunjukkan bahwa keluarga

yang berperan sebanyak 2 responden (13.3%) mengalami hampir tidak pernah

dan12 responden (80.0%) mengalami jarang. Sedangkan keluarga yang tidak

berperan sebanyak 1 responden (6.7%) mengalami sering. Berdasarkan hasil uji

stastistik spearman rank pada taraf signifikan α = 0.05 dengan jumlah responden

15 orang didapatkan P value sebesar 0.014 dan < α (0.05) maka H1 diterima yang

artinya ada hubungan peran keluarga dengan tingkat kekambuhan pasien

gangguan jiwa.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil review dari jurnal atau artikel yang di dapatkan oleh

peneliti, terdapat 10 artikel yang yang menganalisis tentang hubungan

dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa.

Menurut hasil penelitian dari 10 artikel di atas, menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan

kekambuhan pasien gangguan jiwa. Dari hasil artikel di atas, dikatakan bahwa

keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di

rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi

klien berjalan dengan baik. Efektifitas perilaku keluarga akan membantu

proses pemulihan kesehatan pasien. Hal ini sejalan dengan teori Keliat dan

Irma (2015) mengungkapkan bahwa keluarga merupakan sistem pendukung

55
utama dalam memberi perawatan langsung pada setiap keadaan pasien baik itu

sehat maupun sakit. Keluarga dituntut untuk dapat memberikan dukungan

pada penderita gangguan jiwa, dukungan yang di berikan tidak hanya berupa

dukungan materiil saja namun juga dibutuhkan dukungan moril. Dukungan

moril seperti mengingatkan pasien minum obat, mengantar pasien ke tempat

kontrol, dan memberikan rasa kasih sayang akan membuat penderita

skizofrenia merasa nyaman dan kembali di hargai di lingkungan keluarganya,

sehingga hal ini akan memperbaiki tingkat kesembuhannya (Mukherjee,

2016).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan menderita

gangguan jiwa yang pertama adalah Pasien, Secara umum bahwa pasien yang

minum obat secara tidak teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh

Pasien kronis khususnya skizofrenia Kedua adalah dokter, Pemberian obat

oleh dokter diharapkan sesuai dengan dosis terapeutik sehingga dapat

mencegah kekambuhan. Ketiga adalah penanggung jawab pasien, Setelah

pasien pulang ke rumah, maka penanggung jawab kasus mempunyai

kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan pasien, sehingga dapat

mengidentifikasi gejala dini pasien dan segera mengambil tindakan. Ke empat

adalah keluarga, emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan

kekambuhan yang tinggi pada pasien. Keluarga mempunyai tanggung jawab

yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang

dan perawatan di rumah agar adaptasi klien berjalan dengan baik. Efektifitas

56
perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien (Ali,

2016).

Kekambuhan pasien gangguan jiwa menimbulkan dampak yang buruk

bagi keluarga, pasien dan warga sekitar. Dampak kekambuhan bagi keluarga

yakni menambah beban dari segi perawatan dan beban mental bagi keluarga

karena anggapan negatif masyarakat kepada pasien. Sedangkan bagi pasien

adalah sulit diterima oleh lingkungan atau masyarakat sekitar (Nurdiana,

2016).

Dukungan keluarga sangat penting terhadap pasien gangguan jiwa

karena pasien gangguan jiwa sangat memerlukan perhatian dari keluarganya.

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan

langsung pada setiap keadaan sehat maupun sakit pasien. Apabila keluarga

memahami kebutuhan anggota keluarganya yang sakit maka keluarga akan

memberikan dukungan untuk melakukan pengobatan. Sebaliknya, apabila

keluarga tidak memahami kebutuhan anggota keluarganya yang sakit, maka

akan memperburuk perjalanan gangguan jiwa karena pasien tidak

mendapatkan perhatian dan dukungan yang semestinya diberikan oleh

keluarganya (Rahmayanti, 2020).

Videbeck (2015) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai sumber

dukungan sosial dapat menjadi faktor kunci dalam penyembuhan penderita

gangguan jiwa. Walaupun anggota keluarga tidak selalu merupakan sumber

positif dalam kesehatan jiwa, keluarga paling sering menjadi bagian penting

dalam penyembuhan. Keluarga berperan dalam menentukan asuhan yang

57
diperlukan penderita di rumah. Kuat lemahnya dukungan sosial keluarga

terhadap penderita berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan skizofrenia.

Semakin kuat dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan

semakin cepat tingkat kesembuhan skizofrenia. Sebaliknya semakin lemah

dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin lama

tingkat kesembuhan skizofrenia. Demikian juga halnya dengan kekambuhan

skizofrenia, terkait dengan kuat lemahnya dukungan sosial keluarga.

Menurut teori Wiramihardja (2017), lebih dari 50% orang yang

mengalami kekambuhan gangguan jiwa adalah orang yang dalam

kehidupannya telah mengalami kejadian-kejadian buruk sebelum mengalami

kekambuhan. Keberhasilan perawat dirumah sakit dapat sia-sia jika tidak

diteruskan dirumah yang kemudian mengakibatkan penderita skizofrenia

harus dirawat kembali (kambuh). Salah satu faktor penyebab kekambuhan

yaitu ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan

kekambuhan yang tinggi pada penderita skizofrenia. Hal ini adalah penderita

skizofrenia mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan maupun

menyedihkan.

Penderita gangguan jiwa seberat apapun bisa pulih asalkan

mendapatkan pengobatan dan dukungan psikososial yang dibutuhkannya.

Penderita bisa pulih dan kembali hidup dimasyarakat secara produktif, baik

secara ekonomis maupun secara sosial. Sebagian besar dari penderita bisa

terbebas dari keharusan minum obat. Hanya saja, seperti juga kesehatan

badan, kesehatan jiwa tetap harus dipelihara dan ditingkatkan. Tanpa

58
pemeliharaan, baik kesehatan maupun jiwa seseorang bisa kembali jatuh sakit

(Setiahadi, 2016).

Menurut peneliti, Dukungan keluarga sangat penting dan utama dalam

proses kesembuhan pasien gangguan jiwa, keluarga harus memiliki

pengetahuan yang tinggi tentang bagaimana memberikan dukungan keluarga

yang baik dan benar pada penderita gangguan jiwa. Dukungan keluarga

diperlukan agar kesembuhan bagi penderita gangguan jiwa dapat tercapai.

Keluarga diharapkan mampu berperan aktif dalam proses kesembuhan pasien

gangguan jiwa dirumah, selain keluarga dapat memberikan dukungan,

keluarga juga dapat mengingatkan pasien tentang kepatuhan minum obat.

Selain itu, dukungan dari lingkungan juga diperlukan sehingga penderita

skizofrenia merasa dirinya diterima dan diakui keberadaannya. Penerimaan

yang baik dari lingkungan, dapat membantu pasien gangguan jiwa menuju

kesembuhannya. Keluarga merupakan support system yang berarti keluarga

dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan mental pasien, peristiwa dalam

hidupnya dan sistem dukungan yang diterima, sistem dukungan adalah penting

bagi kesehatan pada sistem gangguan jiwa, terutama secara fisik dan emosi.

Bagi pasien dengan gangguan jiwa keluarga merupakan sumber dari segala

sumber yang pasien anggap sebagai sumber kepuasan. Para pasien merasa

bahwa keluarga merupakan penyemangat hidup yang memberikan dorongan

serta dukungan yang dibutuhkan baik berupa formal, maupun informal, akan

tetapi kelurga juga dapat menjadi hambatan dari pasien, dimana keluarga

sendiri kurang merespon dan memberikan dukungannya kepada pasien yang

59
seolah pasien anggap bukan bagian keluarga bahkan menganggap sama sekali

tidak ada.

60
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan jurnal-jurnal penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara

bentuk dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa dan dirawat di Rumah Sakit

Jiwa dan sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah,

memiliki potensi kekambuhan jika tidak dirawat dengan baik dan rutin.

2. Keluarga merupakan faktor utama dalam mendukung meminimalkan

kekambuhan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

3. Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan

kekambuhan pasien gangguan jiwa, baik dukungan emosional,

instrumental, informasi maupun penghargaan. Dukungan yang diberikan

keluargan dapat memotivasi pasien untuk sembuh dan lebih percaya diri

sehingga tidak dikucilkan di dalam masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, adapun saran yang peneliti sampaikan sebagai

berikut:

61
1. Dapat meningkatkan pengetahuan melalui informasi yang didapat sehingga

menjadi masukan bagi keluarga mengenai pentingnya dukungan keluarga

bagi pasien gangguan jiwa.

2. Dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi tenaga

kesehatan dalam memberikan edukasi kepada keluarga untuk merawat

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

62
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Gani. 2019. Dukungan Keluarga Terhadap Kekambuhan Pasien


Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.Soeroyo Di Magelang.

Amelia. 2013. Analisis Kekambuhan Skizufrenia Berdasarkan Perawatan


Berbasis Keluarga. Yogyakarta: Dinamika Kesehatan.

Anna. 2014. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Penerbit Buku Kedokteran.


Jakarta: EGC.

Boeree, C. George. 2017. General Psychology: Psikologi Kepribadian, Persepsi,


Kognisi, Emosi, dan Perilaku. Jogyakarta.

Cindy, T. 2020. Hubungan Konsep Dukungan Keluarga Dengan Tingkat


Kekambuhan Pada Paisen Skizofrenia.

Departemen Kesehatan. 2015. Kesehatan Mental Klien Jiwa & Peran Serta
Keluarga dalam Keperawatan Jiwa.Jakarta : Depkes RI.

Dinosetro. 2016. Peran Serta Keluarga Dalam Menangani Penurunan


Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa.

Eirene, A. S. 2019. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kekambuhan


Penderita Skizofrenia Di Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Jiwa PROF. DR.
Muhammad Ildrem Medan.

Erdiana, Yuyun. 2015. Dukungan Keluarga Dalam kunjungan Lansia Di


posyandu lansia Di Desa Karanglo lor Kecamatan Sukerejo Kabupaten
Ponorogo. KTI. Program studi D III Keperawatan Falkultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Friedman, M. 2015. Buku Ajar Keperawatan keluarga : Riset, Teori, dan Praktek.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC.

Gani, A. 2019. Dukungan Keluarga Terhadap Kekambuhan Pasien Gangguan


Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa PROF. Dr. Soeroyo Di Magelang.

Gede, H. W. 2020. Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Tingkat


Kekambuhan Klien dengan Resiko Perilaku Kekerasan.

Hamidah, F. R. 2019. Hubungan Peran Keluarga Dengan Tingkat Kekambuhan


Pasien Gangguan Jiwa Di Puskesmas Pesanggrahan Kecamatan Kutorejo
Mojokerto.

63
Hawari, D. 2015. Pendekatan Holistic pada Gangguan Jiwa.Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Intansari. 2016.Pedoman Gangguan Jiwa, Mocomedia. Yogyakarta.

Irma. 2015. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Durasi Kekambuhan Pasien


Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo
Semarang.

Kaplan & Sadock. 2015. Synopsis Of Psychiatry: Behavioral Sciences Clinical


Psychiatri-Elevent Edition.

Keliat. 2015.Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok Edisi 2.Jakarta: EGC.

Lora, M. 2020. Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kekambuhan Pasien


Skizofrenia Dirumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.

Nuraeni. 2017.Tentang Kesembuhan Penyakit.

Rasmun.2014. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiater Terintegrasi Dengan


Keluarga. Jakarta: CV Agung Prasetya.

Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar.

Saifuddin AR. 2013. Pengidap Gangguan Jiwa Kurang Diperhatikan, Pada


Pasien Gangguan Jiwa.

Stuart. 2017. Buku saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Penerbit Buku Kedokteran.

Taufik. 2014. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kekambuhan pada


Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY.

Theresia, D. 2018. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kekambuhan


Penderita Gangguan Skizofrenia di RSJ Naimata Kupang.

Videbeck, Sheila, L. 2015. Psychiatric mental health nursing (5th Ed). Lippincott:
Williams & Wilkins.

Wisnu, A. P. 2018. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kekambuhan


Penderita Skizofrenia di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang.
Indonesian Journal of Nursing Research (IJNR).

Yeni, N. R. 2020. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kekambuhan


pada Pasien Skizofrenia di Poli Rawat Jalan RSJD Dr. Arif Zainudin
Surakarta.

64
Yosep Iyus, Stuini Titin. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Advance Mental
Health Nursing). Bandung: Refika Aditama.

Yudistira, A. 2016. Hubungan Faktor Keluarga Dengan Kekambuhan Pada Klien


Skizofrenia Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa PROF. DR. HB. Sa’Anin
Padang.

Yuspinah.2016. Tingkat Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat Pasien


Halusinasi Di Poliklinik Psikiatri Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor.

WHO. 2017. World Health Organization.

65
Lampiran :

66
67
68
69

Anda mungkin juga menyukai