Anda di halaman 1dari 15

FILSAFAT PRAGMATISME

A. Pengertian Pragtisme
Pragmatisme mempunyai akar kata dari bahasa Yunani yaitu pragmatikos, yang
dalam bahasa Latin menjadi pragmaticus. Arti harfiah dari pragmatikos adalah cakap dan
berpengalaman dalam urusan hukum, perkara Negara, dan dagang. Kata tersebut dalam
bahasa Inggris menjadi kata pragmatic, yang berarti berkaitan dengan hal-hal praktis atau
sejalan dengan aliran filsafat pragmatisme. Karena itu, pragmatisme dapat berarti sekadar
pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau
ideal, hasilnya dapat dimanfaatkan, langsung berhubungan dengan tindakan, bukan
spekulasi atau abstraksi.
Dalam kamus Filsafat, pragmatisme merupakan inti filsafat pragmatik dan
menentukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Kegunaan praktis
bukan pengakuan kebenaran objektif dengan kriterium praktik, tetapi apa yang memenuhi
kepentingan-kepentingan subjektif individu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme ialah kepercayaan bahwa
kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dsb),
bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia.
Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan dicari bukan
sekadar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia.
Pengetahuan bukan sekadar objek pengertian, permenungan, atau kontemplasi, tetapi
untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan, peningkatan, serta kemajuan masyarakat dan dunia.
Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan atau ajaran serta
kenyataan dalam hidup di lapangan daripada prinsip muluk-muluk yang melayang di
udara. Oleh karena itu, prinsip untuk menilai pemikiran, gagasan, teori, kebijakan,
pernyataan tidak cukup hanya berdasarkan logisnya dan bagusnya rumusan-rumusan,
tetapi berdasarkan dapat tidaknya dibuktikan, dilaksanakan dan mendatangkan hasil.
Dengan demikian, menurut kaum pragmatis, otak berfungsi sebagai pembimbing perilaku
manusia. Pemikiran, gagasan, teori merupakan alat dan perencanaan untuk bertindak.
Kebenaran segala sesuatu diuji lewat dapat-tidaknya dilaksanakan dan direalisasikan
untuk membawa dampak positif, kemajuan dan manfaat.
Berdasarkan pendirian diatas, dalam etika, kaum pragmatis berpendapat bahwa
yang baik adalah yang dapat dilaksanakan dan dipraktekan, mendatangkan yang positif
dan kemajuan hidup. Karena itu, baik-buruknya perilaku dan cara hidup dinilai atas dasar
praktisnya, akibat tampaknya, dampak positifnya, manfaatnya bagi orang yang
bersangkutan dan dunia sekitarnya. Usaha etis adalah mencari gagasan dan teori yang
dapat dilaksanakan serta membawa akibat nyata dan positif dalam kehidupan. Di luar itu,
usaha etis merupakan usaha yang sia-sia.
Pendirian pragmatis mungkin lahir sebagai tanggapan kecewa terhadap kenyataan
hidup yang ada. Rasa kecewa muncul karena mendapati berbagai tindak tidak konsisten
dan konsekuen dalam hidup.Dan mungkin juga muncul dari hati tulus dan kehendak baik
untuk mau terlibat dan mau memberi sumbangan nyata bagi kemajuan dan kesejahteraan
dunia. Untuk itu kaum pragmatis tidak puas dengan pembicaraan dan rapat-rapat yang
hanya berjalan lancar, isi pembicaraan bermutu, dan berakhir dengan kesimpulan,
pernyataan dan sumbang saran bagus. Mereka mau lebih: Apa yang dibuat sesudah
pembicaraan dan rapat? Wacana dan kata harus operatif. Kaum pragmatis tidak berhenti
pada perumusan pemikiran, gagasan, teori, pernyataan tetapi mengaitkan semua itu
dengan tindakan nyata. Mereka tidak merasa cukup dengan berbagai nasihat motal etis,
tetapi berbuat dan bertindak nyata, jika perlu lewat gerakan, untuk mengubah dan
memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia.Kaum pragmatis dicap dangkal, tak mau
berpikir mendalam, anti kegiatan spekulatif dan intelektual oleh kaum teoritikus dan
kaum intelektual. Namun pada tingkatnya, pragmatisme baik secara umum maupun
secara khusus di bidang etis menyumbang sesuatu. Pragmatisme menekankan
kesederhanaan, kemudahan, kepraktisan, dampak positif langsung dan manfaat. Hal-hal
yang ditekankan dalam faham pragmatisme itu merupakan unsur-unsur yang perlu
diperhatikan dalam mengurus hal-hal sederhana dan dalam situasi hidup dimana dicari
langkah-langkah kerja yang tidak rumit dan kecepatan pengurusan serta selesainya
perkara lebih diinginkan.
Di bidang etis sumbangan pragmatis terletak pada tekanannya pada praktek ajaran
dan prinsip etis, serta perubahan perilaku yang dihasilkan. Sumbangan pemikiran
pragmatis di bidang etis ini sangat mencuat pentingnya dalam masyarakat yang
cenderung memisahkan antara kata dan perbuatan, yang mudah berlaku munafik, dan
yang hidup etisnya beku tak membawa peningkatan secara kualitatif.
Akan tetapi, sebagai aliran filsafat, pragmatisme mengandung kelemahan-
kelemahan. Pragmatisme mempersempit kebenaran menjadi terbatas pada kebenaran
yang dapat dipraktekan, dilaksanakan, dan membawa dampak nyata. Dengan
mempersempit kebenaran itu, pragmatisme menolak kebenaran yang tidak dapat
langsung dipraktekan, padahal banyak kebenaran yang tidak dapat langsung dipraktekan.
Sehingga, pragmatisme dapat dikatakan sebagai teori kebenaran yang
mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam
lingkup ruang dan waktu tertentu. Pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide-ide
melalui konsekuensi-konsekuensi daripada praktik atau pelaksanaanya. Artinya, ide-ide
itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan
walaupun barangkat dari gagasan yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang
disetujui aliran pragmatisme yaitu:
1. menolak segala intelektualisme,
2. absolutisme,
3. meremehkan logika formal.

B. Pragtisme menurut John Dewey


John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, teoretikus, reformator
pendidikan dan kritikus sosial yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859,
tepatnya pada tanggal 20 Oktober. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca
namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia
masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia
kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884
ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas
terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas
munculnya pragmatisme. Disinilah beliau bersentuhan dengan filsafat pragmatism.
Walaupun demikian, pengaruh terbesar datang dari guru dan sahabatnya George
Sylvester Morris, seorang idealis yang sangat bersemangat mengajarkan filsafat Hegel
sehingga Dewey pun menjadi pengikut filsafat idealisme tersebut. Setelah menyelesaikan
doktornya, pada tahun 1884 hingga 1886, beliau mengajar filsafat dan psikologi di
Universitas Michigan atas undangan Morris. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey
mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat.
Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun
yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas
ini dijalankan sampai tahun 1894, dimana ia pindah ke Universitas Chicago yang
membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah
di kemudian hari. Salah satu keberatan Dewey terhadap program dan metode pendidikan
saat itu adalah bahwa mereka gagal memperhitungkan penemuan psikologi tentang
aktivitas belajar. Di Universitas Chicago beliau menjabat sebagai kepala departemen
filsafat, psikologi dan pedagogi. Ia berpaling dari filsafat Hegel ke teori yang meyakini
bahwa pengalaman sehari-hari dan pengalaman ilmiah menyiapkan landasan penting bagi
realitas maupun pemikiran. William James kemudian memproklamirkan Chicago
University yang berada di bawah pengaruh Dewey, sebagai mazhab filsafat yang baru.
Masa di Chicago mungkin adalah masa keemasannya. Di sinilah Dewey menjadi
terkenal dalam bidang pendidikan. Sedemikian kuat ketertarikannya pada bidang ini
sampai-sampai ia menegaskan bahwa semua filsafat adalah filsafat pendidikan. Ia
kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey
School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di
sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-
sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang
mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan
pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang
telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia
juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Karena
bertentangan dengan rektor mengenai manajemen pembiayaan departemen pendidikan,
Dewey meninggalkan Chicago dan hijrah ke Universitas Columbia di New York.
Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di
universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada
tahun 1929. Setelah pindah ke New York, Dewey kerapkali menulis di berbagai media
massa antara lain the New Republic. Beliau juga terlibat dalam berbagai organisasi
seperti the American Civil Liberties Union di mana dia adalah pendiri dan ketuanya; dan
Asosiasi Professor Universitas Amerika sebagai pendiri dan presiden pertamanya.
Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-
negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia
memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar
pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky
untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal
yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.
Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat
dan melanjutkan karya-karya dokrinnya. Dengan pelbagai usaha dan kerja yang
dilakukannya selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah itu, ia
kemudian dikenal sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika.
Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan,
religiusitas dan kesenian di Amerika.
Pragmatisme sangat berpengaruh di Amerika. Salah satu tokohnya yang terkenal
ialah John Dewey (1859-1952). Tentang Dewey, Charles Patterson berpendapat bahwa ia
adalah seorang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan filsafat Amerika dan menjadi
seorang pejuang dalam “pendidikan progresif” secara luas. John Dewey adalah seorang
filsuf asal Amerika, yang lahir di Burlington, Vermont, pada tahun 1859.John Dewey
bukan hanya aktif sebagai seorang penulis atau filsuf, tetapi aktif juga sebagai seorang
pendidik dan kritikus. Ia pada mulanya banyak mempelajari filsafat Hegel. Namun
kemudian ia bersifat kritis terhadap filsafat Hegel karena melihat bahwa aliran idealisme
ini terlalu menutup lingkungan hidup manusia pada dimensi kognitif intelektual semata-
mata. John Dewey sangat prihatin dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan
pemerintahan. Iabegitu tertarik untuk melakukan pemecahan terhadap masalah-masalah
pertumbuhan sosial melalui eksperimentasi ilmiah.
Pragmatisme (John Dewey) menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang
bebas, merdeka, kreatif serta dinamis. Manusia memiliki kemampuan untuk bekerja
sama, dengannya ia membangun masyarakatnya. Pragmatisme mempunyai keyakinan
bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar. Karena itu, ia dapat
menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam
diri dan lingkungannya sendiri.
Menurut Hardono Hadi (1994: 37), Dewey sangat menekankan hubungan erat
antara seorang pribadi dan peranannya di dalam masyarakat. John Dewey dalam hal ini
memandang bahwa seorang individu hanya bisa disebut sebagai pribadi kalau ia
mengemban dan menampilkan nilai-nilai sosial masyarakatnya. Setiap gagasan mengenai
individu haruslah memasukkan nilai-nilai masyarakat, bukan sebaliknya memandang
masyarakat sebagai penghalang bagi kebebasan dan perkembangan individu. Dewey di
sini melihat bahwa kepribadian manusia tidak melekat pada kodrat manusianya.
Menurutnya, kepribadian itu diperoleh berkat peranan yang dimainkan seseorang di
dalam masyarakat. Pragmatisme tidak menggunakan istilah alam semesta, melainkan
dunia. Menurut Pragmatisme, dunia adalah proses atau tata, di mana manusia hidup
didalamnya. Istilah dunia di sini dapat dianggap sebagai hal yang sinonim dengan
kosmos dan realitas.
Kemajuan (progresi) menjadi inti perhatian Pragmatisme yang sangat besar.
Pragmatisme, karena itu memandang beberapa bidang ilmu pengetahuan sebagai bagian-
bagian utama dari kebudayaan. Menurutnya, bidang-bidang ilmu pengetahuan inilah yang
mampu menumbuhkan kemajuan kebudayaan. Kelompok ilmu ini meliputi “Ilmu Hayat”,
“Antropologi”, “Psikologi”, serta “Ilmu Alam”. Ilmu-ilmu ini dipandang telah
mengembangkan hal yang hakiki bagi kemajuan kebudayaan pada umumnya dan bagi
Pragmatisme pada khususnya (Imam Barnadib, 1994: 28). Jelaslah bahwa selain
kemajuan lingkungan, pengalaman mendapat perhatian yang cukup penting pula dalam
Pragmatime.
John Dewey mengartikan pengalaman sebagai dinamika hidup; menurutnya hidup
adalah perjuangan, tindakan, dan perbuatan. Akibatnya, Pragmatisme dalam hal ini juga
memandang bahwa hakikat pengalaman adalah perjuangan pula. Ide-ide, teori-teori, atau
cita-cita, tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada. Adanya teori atau cita-
cita ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain.
Manusia harus dapat mengfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai
banyak persoalan yang silih berganti. Pragmatisme dengan ini memandang hidup dan
kehidupan sebagai suatu perjuangan yang berlangsung terus menerus. Setiap konsep atau
teori harus dapat ditentukan oleh konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Pragmatisme
(John Dewey) memandang bahwa manusia berada dalam keadaan perjuangan yang
berlangsung terus menerus terhadap alam sekitar. Keadaan ini mendorong manusia untuk
mengembangkan pelbagai perabotan kehidupan yang dimilikinya seperti kecerdasan,
dinamika, kreativitas, intelektual, jiwa, serta ketrampilan. Semua inilah yang memberinya
bantuan dalam rangka perjuangan hidup tersebut.
John Dewey adalah seorang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk
memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia
serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Dan tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam
kehidupan nyata. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran
metafisika yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan
menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat
akan dapat menyusun suatu sistem norma dan nilai. Menurut Dewey, pemikiran
berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-
pengalaman. Gerak tersebut dibangkitkan segera ketika dihadapkan dengan suatu
keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya. Dan, gerak tersebut
berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia atau dalam diri kita sendiri.
Walaupun Dewey seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya
dengan istilah instrumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah satu kunci dalam
filsafat intrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada pengalaman penyelidikan serta
mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat
menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Pragmatisme menunjukkan bahwa pikiran atau pengetahuan yang merupakan
kemampuan khas manusia, dapat berkembang sebagai alat untuk mengadakan
eksperimen terhadap alam sekitar. Eksperimen tersebut dimaksudkan untuk menguasai
dan membentuk alam sekitar agar terpenuhi kebutuhan hidup manusia. Eksperimen juga
dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam lingkup pengalaman manusia.
Pengetahuan manusia pun tumbuh di dalam pengalaman itu pula, maka apa yang disebut
sebagai “penyelidikan” (inquiry) adalah sangat penting. Berpikir secara lurus merupakan
rangkaian upaya untuk menghubungkan ide-ide sedemikian rupa sehingga ide-ide itu
memimpin untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Ide-ide, dengan ini, akan
bermanfaat dalam penyelesaian masalah yang dihadapi manusia. Kecerdasan manusia
merupakan sesuatu yang bersifat kreatif dan berupa pengalaman yang terus diwujudkan
dalam tindakan praktis. Semua kecerdasan ini merupakan unsur-unsur pokok dalam
segala pengetahuan manusia. John Dewey menjelaskan bahwa dengan eksperimen,
manusia kemudian diarahkan pada pengambilan keputusan sehingga secara demikian
manusia menentukan hari depannya. Kecerdasan manusia menciptakan hari depannya
dengan jalan melakukan tindakan-tindakan.
Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan yang didalamnya
mengandung pemisahan antara subjek dan objek atau pemisahan antara pelaku dan
sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu, subjek dan objek bukanlah dipisahkan,
melainkan dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya
sebagai suatu hal yang penting atau yang berarti. Apabila terdapat pemisahan antara
subjek dan objek, maka hal itu bukanlah pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas
pengalaman. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.
Instrumentalisme merupakan suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis
dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan
dalam bentuknya yang bermacam-macam itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang
berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Dalam pandangan ini, maka yang benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui
oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah
penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan kemudian tidak boleh
diganggu gugat, sebab dalam praktiknya kebenaran itu memiliki nilai fungsional tetap.
Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya.
Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari
yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa
ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata “futurisme”, mendorong kita
untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, “milionarisme”, berarti
bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh
William James.

C. Karya karya John Dewey


Tahun 1904, Dewey berkarya sebagai seorang guru besar filsafat sampai pensiun
pada tahun 1930 di Universitas Colombia. Pada periode ini, Dewey memiliki reputasi
internasional, banyak memberikan kuliah ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, dan
Meksiko. Tak jarang Dewey mengunjungi sekolah-sekolah di Turki dan Uni Soviet.
Dewey merupakan seorang penulis produktif. Ia menulis lebih dari 1000 buku dan artikel
yang mempengaruhi jalannya pendidikan Amerika dan filsafat sosial.
Pada tahun 1910 dalam “How We Think”, Dewey mendalilkan tesis bahwa
berpikiradalahtahapan dari episode pemecahan masalah yang terjadi sebagai upaya
manusia untuk bertahan dan tumbuh dalam konteks lingkungan. Dalam “Democracy and
Education”(1916)Dewey menuangkan pernyataannya paling lengkap mengenai filsafat
pendidikan. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan yang paling efektif berlangsung
dalam keterbukaan atau lingkungan yang demokratis, di mana orang bebas dalam
melakukan penyelidikan.
Dewey dalam Experience and Education(1938) mengkritik pendidik progresif
yang gagal menguraikan sebuah pilosofi pendidikan positif berdasarkan pengalaman. Dia
menantang sekolah tradisional dan mendesak mereka untuk mengembangkan postur
pendidikan positif dan afirmatif.
Di antara buku-buku lain Dewey yang utama adalah Interest and Effort in
Education (1913), Human Nature and Conduct(1922), dan Freedom and Culture. (1939).
Melalui tulisan, ceramah, dan kehadiran di Amerika dan berbagai tempat di dunia,
Dewev berkontribusi terhadap jenis politik dan sosial liberalisme yang mendesak
pembaruan sosial berdasarkan kehati-hatian, perencanaan pragmatis. Karyanya
merangsang munculnya sebuah filsafat eksperimentalis yang sangat mempengaruhi teori
dan praktek pendidikan Amerika.
Sudah sedikit disinggung di atas bahwa karya-karya Dewey banyak
mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku
atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang
diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory
of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A
Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My
Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a
Scientific Treatment of Morality (1903). Ia juga banyak menghasilkan uku-buku ketika
berada di Universitas Colombia seperti Ethics (1908), How We Think (1910), The
Influence of Darwin and Other Essays in Contemporary Thought (1910), School of
Tomorrow (1915), Democraty and Education (1916), Essays in Experimental Logic
(1916), Recunstruction in Philosophy (1920), Human Nature and Conduct (1922),
Experience and Nature (1925), The Quest for Certainty (1929), Art as Experience (1934),
A Common Faith (1934), Experience and Education (1938), Logic: The Theory of
Inquiry (1938), Theory of Valuation (1939), Education Today (1940), Problem of Men
(1946), dan Knowing and The Known (1949).
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada
bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang
pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal
ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni.
Dari beberapa tulisan filsafat dan pendidikan, Dewey menentang terhadap konsep
dualistik dari alam semesta. Menurutnya, manusia memiliki kemampuan untuk berdalil
teoritis bahwa alam tidak berubah, lengkap, dan pasti sempurna. Banyak filosofi
traditonal idealis, realis, dan thomis yang berdasarkan pada proposisi substantifmetafisik
yang membumirealitas di dunia ide-ide yang tidak berubah untuk idealis atau struktur
untuk realis. Berdasarkan konsepsi ini, manusia Barat telah merancang sebuah konsepsi
bipolar tentang realitas. Filsuf tradisional mengadakan konsepsi dualistik tentang realitas
di mana ada yang ideasional, atau teoretis dan yang dunia material. Sementara ide,
semangat,dan pikiran lebih tinggi dalam rantai menjadi kerja dan tindakan yang terletak
lebih rendah dalam hierarchy. Dari dualisme penting ini: hidup dan pendidikan terlihat
pada dua tingkat yang terpisah. Prioritas diberikan, bagaimanapun, dengan immaterial
dan tidak berubah. Dengan demikian, dualisme klasik seperti spirit-materi, pikiran-tubuh
dan jiwa-tubuh datang menembus pemikiran Barat. Dualisme metafisik memiliki dampak
pada kehidupan dan pendidikan yang mana mereka menciptakan perbedaan antara teori
dan praktek, liberal dan pendidikan kejuruan, seni halus dan terapan, serta pikir dan aksi.
Pencabangan/pemisahan antara teori dan praktek tidak hanya materi filsafat spekulasi,
tapi juga menerobos ke dalam pendidikan.
Dualisme filsafat menyebabkan prinsip hirarki dalam kurikulum di mana subyek
yang teoretis kuat diberi prioritas lebih di atas yang praktis. Selanjutnya,kurikulum
tradisional mewajibkan pelajar terlebih dahulu harus menguasai simbolik dan
keterampilan sastra seperti membaca, menulisdan aritmatika. Pembelajaran tentang alat
ketrampilan menyiapkan siswa untuk belajar sistematis mengenai materi sejarah,
geografi, matematika, dan sains di level kedua dan lebih tinggi. Di dalam subyek
kurikulum tradisional, disiplin diselenggarakan secara deduktif sebagai tubuh dari
prinsip, teori, konteks faktual, dan contoh. Pendidikan formal sering menjadi hal yang
bersifat teoritis dan membosankan karena kurang memiliki hubungan antara pribadi siswa
dan pengalaman sosial.
Subyek kurikulum ditujukan untuk mempersiapkan siswa menghadapi situasi
masa depan yang dihadapi setelah menyelesaikan sekolah formal. Menurut Dewey,
subyek kurikulum juga didasarkan pada dualisme antara teori dan praktek. Hal ini
menciptakan tambahan pencabangan yang memisahkan siswa dari kurikulum dan sekolah
dari masyarakat.
Konsep sosial Dewey tentang pendidikan berdasar pada eksperimentalisme yang
tampak dalam berpikir dan berbuat seperti sebuah aliran yang mempersatukan
pengalaman secara terus-menerus. Berpikir dan berbuat merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan. Berpikir belum lengkap hingga teruji dalam pengalaman.
Menurut Dewey, manusia hidup di dunia yang tidak pasti. Manusia sering kali
bermusuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam pemikiran ini
manusia harus menciptakan konsep kepastian yang memberikan perasaan kekal dan
aman. Pragmatisme (John Dewey) menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang
bebas, merdeka, kreatif serta dinamis. Manusia memiliki kemampuan untuk bekerja sama
untuk membangun masyarakat. Pragmatisme mempunyai keyakinan bahwa manusia
mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar. Karena itu, ia dapat menghadapi serta
mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam diri dan
lingkungannya sendiri.

D. Pragtisme Pendidikan menurut John Dewey

Dewey dalam bukunya The School and Society (1976: 39-40) menyatakan bahwa:
“[kita harus] membuat setiap sekolah kita sebagai embrio kehidupan masyarakat,
aktif dengan tipe-tipe pekerjaan yang merefleksikan kehidupan dalam masyarakat
pada umumnya dan menyebarkan semangat seni, sejarah dan pengembangan ilmu
ke semua orang. Ketika sekolah memperkenalkan dan melatih tiap anak dalam
masyarakat menjadi 2 bagian dari masyarakat dengan belajar dari masyarakat
kecil di sekolah, memenuhkan dia dengan spirit melayani dan menyediakan
baginya instrumen-instrumen yang efektif agar dapat digunakan secara pribadi,
kita dapat berharap dengan baik tentang suatu masyarakat besar yang layak,
penuh cinta dan harmoni.”

Pragmatisme Pendidikan yang dipelopori oleh filsuf Amerika John Dewey


didasarkan pada perubahan, proses, relatifitas, dan rekonstruksi pengalaman.
Pragmatisme pendidikan Dewey cukup dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin
bahwa semua makhluk hidup baik secara biologis maupun sosiologis memiliki naluri
untuk bertahan hidup dan untuk berkembang. Setiap organisme hidup di dalam habitat
atau lingkungannya. Dalam proses kehidupan, organisme manusia mengalami situasi-
situasi yang problematik sebagai ancaman bagi kelanjutan eksistensinya. Manusia yang
sukses dalam hal ini adalah yang mampu memecahkan masalahmasalah itu dan
menambahkan rincian-rincian dari proses-proses pemecahan masalah yang berbeda-beda
ke dalam gudang pengalaman-pengalamannya untuk digunakan menghadapi masalah-
masalah yang mungkin saja mirip di masa akan datang.
Dalam filsafat pendidikan John Dewey, pengalaman adalah kata kunci.
Pengalaman dapat didefinisikan sebagai interaksi antara makhluk manusia dengan
lingkungannya. Dalam pandangan Darwin, untuk hidup tergantung dari kemampuan
memecahkan masalah-masalah, maka Dewey memandang bahwa pendidikan menjadi
tempat pelatihan bagi ketrampilan-ketrampilan dan metode-metode pemecahan masalah
(problem solving skills and methods).
Filsafat pragmatis Dewey dapat juga disebut sebagai filsafat eksperimentalisme.
Hal itu disebabkan karena menurutnya “tujuan dan rencana, dalam hal ini konsep-konsep
manusia hanya dapat divalidasi dengan menjadikannya dasar tindakan dan dari
konsekuensi-konsekuensi yang lahir dari tindakan-tindakan itulah tujuan, rencana atau
konsep-konsep manusia dapat dinilai.” Penilaian berdasarkan konsekuensi tindakan juga
diterapkan di dunia pendidikan. Bagi Dewey, suatu kurikulum atau strategi metodologi
hanya dapat dikatakan valid dan berhasil bila telah diujicobakan dan dari uji coba itu
hasil-hasilnya dapat dinilai. Ia dengan jelas menolak dasardasar pendidikan yang a priori
seperti yang dikembangkan oleh kaum idealis, realis dan perennialis.
Dewey menekankan metodologi yang berhubungan dengan proses pemecahan
masalah. Belajar berarti seseorang terlibat di dalam pemecahan masalah. Dalam
epistemologi eksperimental menurut Dewey, siswa/pelajar, baik sebagai individu maupun
anggota kelompok menggunakan metode-metode ilmu untuk memecahkan baik masalah
pribadi maupun masalah sosial.

Menurut Dewey, anak-anak belajar lebih banyak dan lebih cepat ketika guru
mendorong rasa keingintahuan alami mereka, bukan menjadikan mereka sebagai subjek
yang kaku dan berdisiplin dengan cara-cara memberikan hukuman secara tradisional
seperti dalam pendidikan abad ke-19 pada umumnya. Oleh karena itu, ia menggunakan
permainan dan bentuk-bentuknya yang beragam sebagai alat belajar. Dari situlah, ia
membentuk metodologi pendidikan modern abad ke-20. Dalam pengamatannya, ia
menemukan bahwa cara anak-anak belajar banyak hal adalah sama dengan orang dewasa,
yang berbeda hanyalah informasi yang mereka butuhkan untuk memecahkan masalah-
masalah yang mereka mengerti dalam sudut pandang mereka sendiri. Oleh karena itu,
pendidikan menurutnya bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi akan bermakna
dalam rangka pemecahan masalah-masalah.
Ia tidak sekedar memikirkan konsep pendidikan secara pragmatis, tetapi
mengujicobakannya. Pada tahun 1894, Dewey pindah dari Universitas Michigan ke
Universitas Chicago yang baru berumur 3 tahun sebagai kepala Departemen Filsafat di
sana. Dia membuka Laboratorium Sekolah Universitas Chicago. Lewat laboratorium
itulah ia menguji pemikirannya tentang pendidikan yang revolusioner itu. Sekolah itu
kemudian dikenal dengan nama Sekolah Dewey, yang menjadi model dari sekolah-
sekolah yang superior secara akademis di USA dan seluruh dunia sampai saat ini.
Sekolah Dewey dibuka dengan 16 siswa dan 2 pengajar, namun dalam 7 tahun,
berkembang menjadi 140 siswa, 23 pengajar dan 10 asisten pengajar. Sekolah itu dibuka
dalam 10 kelas, mulai dari pra-sekolah sampai kelas 10. Sekolah menetapkan
proyekproyek yang menarik sesuai dengan usia para siswa.
Siswa yang paling muda ‘bermain’ rumah-rumahan, belajar berbagai tugas seperti
memasak, menjahit, menggergaji dan memaku kayu dan membuat perabotan. Tetapi
sementara bermain, mereka juga belajar matematika dengan mengukur, menambah dan
mengurangi. Mereka juga belajar membaca dengan melihat resep masakan, juga belajar
pola dan rencana dalam proses menjahit.
Anak umur 6 tahun (kelas 1) menggunakan ketrampilan dan peralatan dalam
taman kanakkanak untuk ‘membangun’ suatu peternakan, menggunakan blok-blok untuk
tiap bangunan dan menanam tanaman-tanaman tiruan di atas meja pasir yang besar.
Dengan membagi meja itu ke dalam area-area berbeda untuk tanaman-tanaman berbeda,
mereka belajar tentang pecahan matematika. Anak-anak yang berumur enam tahun
belajar dengan menggunakan tongkat-tongkat untuk membagi area bermain mereka ke
dalam beberapa bagian. Sambil bermain, mereka belajar mengkonversi ukuran, dari inci
ke kaki, yard, are dan unit-unit ukuran lainnya. Mereka mempelajari tentang volume
ketika menggunakan gantang dalam permainan. Mereka belajar penjumlahan dan
pengurangan serta satuan-satuan uang dengan bermain sebagai petani yang melakukan
panen atas hasil panen dan menjualnya ke pasar. Mereka juga belajar menulis dan
membaca dengan cepat karena harus membuat label-label tanaman yang harus mereka
tanam dan kemudian jual di pasar. Mereka belajar melukis rencana bangunan untuk
membangun rumah pertanian, gudang, kandang, dan melakukan pelabelan terhadap tiap
bagian dari rencana itu dengan kata-kata yang jelas dan tepat. Mereka harus mengukur
dengan pasti dan benar untuk menentukan blok nomor berapa yang akan digunakan
membangun apa. Setiap kesalahan yang mereka buat, baik dalam pelabelan maupun
pengukuran, akan membuat rumah pertanian dan yang lainnya tidak akan selesai atau
roboh karena salah perhitungan. Dari situlah mereka belajar, dengan cara menghitung
lagi dengan benar dan membangun lagi. Dengan cara belajar terus menerus dari
kesalahan-kesalahan itu, mereka dapat memecahkan masalah-masalah itu dengan benar.
Siswa kelas 2 mempelajari kehidupan pra-sejarah dengan membangun gua buatan
(menggunakan balok dan lembaran-lembaran kertas besar) dan berpura-pura hidup di
dalamnya. Dalam setiap langkah untuk itu, siswa mengkombinasikan apa yang mereka
baca di buku dengan melakukannya. Siswa kelas tiga belajar tentang peradaban awal,
sementara siswa 9 tahun belajar tentang sejarah lokal dan geografi. Siswa 10 tahun
belajar tentang sejarah kolonial dengan cara membangun pondok-pondok kayu
pertahanan. Selain itu, ‘Darmawisata’ juga digunakan Dewey sebagai salah satu metode
belajarnya guna menangkap imajinasi anak didiknya.
Anak kelas enam dan semua siswa yang lebih besar belajar dengan bekerja pada
proyekproyek yang melibatkan hal-hal yang lebih kompleks, seperti politik,
pemerintahan dan ekonomi. Tidak lupa proyek-proyek penelitian ilmiah: biologi, kimia,
dan fisika dalam laboratorium di 4 kelas. Demokrasi diajarkan dengan cara
mempraktekkannya. Setiap kesempatan, kesalahan dalam pemahaman tentang demokrasi
selalu dibetulkan dengan cara pengulangan. Masalahnya adalah untuk mengajar di
Sekolah Dewey lebih sulit daripada di sekolah-sekolah konvensional atau sekolah-
sekolah biasa. Guru yang mengajar di sana harus dilatih dalam metode Dewey dan juga
mendapatkan pelatihan yang cukup tentang psikologi anak. Selain itu, guru juga harus
menjadikan pengetahuan tiap hari sebagai kemampuan diri. Pengetahuan tiap hari yang
harus dikuasai oleh guru itu adalah penguasaan ketrampilan yang harus difasilitasi
pembelajarannya kepada murid, mulai dari menjahit, pertukangan, fisika, musik, seni,
olahraga dan lain sebagainya.
Guru dalam perspektif pendidikan aliran pragmatisme bukanlah guru yang
terpaku pada diktat tetapi guru yang dituntut untuk kreatif. Guru harus belajar
mempertahankan agar anak didik senang belajar dengan melihat dunia dari sudut
pandang anak-anak serta sudut pandang orang dewasa.

E. Implikasi terhadap Pendidikan


1. Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan
seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan untuk
mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang
terarah kepada kehidupan yang baik.
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
● Kesehatan yang baik
● Keterampilan-keterampilan dan kejujuran dalam bekerja
● Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
● Persiapan untuk menjadi orang tua
● Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-
masalah sosial
Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman
tentang pentingnya demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya
bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru
dalam kehidupan peribadi dan kehidupan sosial.

2. Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi
memperbaiki diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada
kehidupan yang aik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum
pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang
sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan
berubah.

3. Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan
masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan
(inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini
membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang
pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap
siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan
pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat
tercapai.
4. Peranan Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya
kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan
kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa
dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi
lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
Untuk membantu siswa guru harus berperan:
● Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi.
Film- film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh
aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa.
● Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.
● Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam
kelas guna memecahkan suatu masalah.
● Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan
masalah.
● Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana
mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap
siswa.

Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa


“Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa
untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing
pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
siswa”.
Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan
pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak
segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan
sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam
berbagai bidang kehidupan.

F. Kelebihan Pragtisme
1. Pragmatisme membawa kemajuan-kemajuan yang pesat baik dalam ilmu
pengetahuan maupun teknologi.
2. Pragmatisme mendorong berpikir liberal, bebas, dan selalu menyangsikan segala
yang ada. Pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat
seseorang untuk melakukan penelitianpenelitian demi kemajuan di bidang sosial
dan ekonomi.
3. Pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu
kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang
praktis sehingga pragmatis tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos.

G. Kekurangan Pragtisme
1. Pragmatis sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai
kebutuhan kehidupan, sehingga sikap ini menjurus kepada sikap ateisme.
2. Pragmatis menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis.
3. Untuk mencapai tujuan materialistisnya, manusia mengejar dengan berbagai
caratanpa mempedulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat
sosialnya. Dengan demikian, masyarakat pragmatisme menderita penyakit
humanisme.

H. Kesimpulan
Aliran Pragmatisme Pendidikan menghadirkan nuansa lain dari dunia pendidikan
yang selama ini biasa diketahui. Pragmatisme pendidikan memposisikan anak didik
sebagai pihak yang sangat penting dan mesti dipahami dengan baik dan benar. Dengan
pemahaman yang baik dan benar terhadap kebutuhan anak didik, diharapkan agar anak
didik dapat menikmati sistem pendidikan yang diterapkan kepada mereka.

Dalam proses pelaksanaan pendidikan saat ini, pendidikan yang dimulai dari play
group sampai dengan di tingkat pendidikan tinggi juga telah menganut pragmatisme
pendidikan.Walaupun demikian, tidak ada satu aliran pendidikan pun yang diterapkan
secara sendiri-sendiri dalam sistem pendidikan. Selalu saja ada gabungan dari aliran-
aliran pendidikan yang ada sehingga menghasilkan suatu sistem pendidikan yang baik
dan dapat memenuhi standar.

Daftar Pustaka
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Mangunhardjana, A., Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius,


2006.

Muhammad, Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah, Jogjakarta: IRCiSoD,
2012.

Penyusun, Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Praja, Juhaya S., Aliran- Aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Watloly, Aholiab, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi


secara kultural, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Maksum, Ali. 2009. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme.
Yogyakarta: Az-zurmedia.

Dewey, John. 1976. The School and Society. Southern Ilinois University Press

Anda mungkin juga menyukai