Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SOSIAL BUDAYA GIZI

FOOD VALUE
Dosen Pengampu : Hijra, S.KM., M.Gz

Disusun Oleh:
Kelompok 1
1. Nur Fadillah P21121001
2. Ningsih Wulandari P21121003
3. Ivasilfia Islamiyah P21121005
4. Muh. Sadar P21121009
5. Nayla Sasikirana P21121015
6. Adnin Aulia Idhan P21121021
7. Disty Rahmawaty Tahir P21121043
8. Hasriani P21121045
9. Rahmaniah P21121053
10.Tri Dayanti P21121093
11.Is’falana Ummu Shafirah P21121101

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Palu, 14 Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
SAMPUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Foodvalue....................................................................................3
2.2 Macam-Macam Suku Kaili.....................................................................3
2.3 Adat yang ada di suku kaili.....................................................................5
2.4 Pengertian & Makna Ketan Putih........................................................10
2.5 Manfaat dan Kandugan Gizi Ketan Putih............................................11
2.6 Penggunaan Ketan Putih dalam Keagamaan.......................................13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................14
3.2 Saran.........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 15

DOKUMENTASI.................................................................................................. 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang mendiami sebagian besar dari Provinsi
Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota
Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi,
dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi
Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten
Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,
Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka
mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai hukum kebiasaan, norma,
dan hukum adat yang mengatur tingkah laku manusia antara satu sama lain yang lazim
dilakukan di suatu kelompok masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun dari
pengkalan-pengkalan sejarah yang masih berjalan dipertahankan hingga saat ini oleh
masyarakat adat yang memiliki dudungan tertinggi dalam komuntas adat tersebut. Adat
yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat sedangkan yang tidak memiliki sanksi
disebut dengan adat kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Adat istiadat
merupakan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan
terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Pelanggaran terhadap
adat istiadat ini akan menerima sanksi yang keras dari anggota masyarakat adat lainnya.

Ketan adalah sejenis biji-bijian serealia yang memiliki tekstur dan kandungan yang mirip
dengan beras. Ketan sendiri cukup populer dengan nama beras ketan. Ketan didapatkan
dari padi ketan yang tumbuh di daerah tropis seperti Asia Tenggara. Ketan memiliki
bentuk seperti beras yaitu bulat lonjong dan berukuran sedikit lebih besar dibanding beras
lokal. Warna ketan adalah putih susu dan keruh tidak seperti beras yang terlihat
transparan. Ketan juga relatif lebih mudah hancur dan lunak dibanding beras. Itulah
mengapa ketan cocok digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kue. Ketan mudah
ditemui di pasar tradisional. Umumnya pedagang ketan menjualnya kiloan. Ketan
memiliki manfaat yang tak kalah hebat dengan beras. Ketan dapat dijadikan makanan
berkarbohidrat alternatif pengganti beras.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi Foodvalue
2. Macam-Macam Suku Kaili
3. Adat yang ada di suku kaili
4. Pengertian & Makna Ketan Putih
5. Manfaat dan Kandugan Gizi Ketan Putih
6. Penggunaan Ketan Putih dalam Keagamaan
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi Foodvalue
2. Untuk mengetahui Macam-Macam Suku Kaili
3. Untuk mengetahui Adat yang ada di suku kaili
4. Untuk mengetahui Pengertian & Makna Ketan Putih
5. Untuk mengetahui Manfaat dan Kandugan Gizi Ketan Putih
6. Untuk mengetahui Penggunaan Ketan Putih dalam Keagamaan

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Foodvalue

Makanan adalah suatu unsur budaya yang mencirikan budaya komunitas tertentu. Hal ini
dapat kita ketika seseorang berbicara mengenai kaledo, mayoritas orang akan berpikiran
mengenai kota Palu sebagai wilayah dimana kaledo menjadi makanan khas di wilayah
tersebut. Didalam sebuah makanan, masyarakat tidak hanya memakan makanan secara
material, tetapi juga mengkonsumsi keagungan serta kreavitas budaya yang terdapat
dalam suatu makanan.

Makanan dapat dijadikan ikon keunggulan serta ciri khas suatu daerah. Semakin
beraneka ragam makanan ini diketahui oleh publik semakin banyak apresiasi tertuju
kepada makanan suatu daerah. Hal ini juga menyebabkan meluasnya jangkauan
distribusi makanan itu yang dapat menunjukkan kualitas makanan tersebut telah
diketahui oleh masyarakat luas.

Fungsi makanan berdasarkan sosiobudaya menurut (Adriani dan Bambang, 2013) yaitu:

 Food Value
Fungsi makanan yang dihubungkan dengan kegunaan makanan dan sumber energi.
Contoh: dalam mengonsumsi hidangan makanan di dalam keluarga biasanya sang
ayah sebagai kepala keluarga akan diprioritaskan mengonsumsi lebih banyak dan pada
bagian-bagian makanan yang mengandung nilai cita rasa tinggi.

2.2 Macam-Macam Suku Kaili

Negara Indonesia adalah satu Negara di dunia yang berasal dari berbagai macam suku
bangsa. Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena
itu disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Dari Sabang sampai Merauke,
Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan agama yang berbeda. Indonesia
memiliki sekitar 300 kelompok etnis/suku bangsa. Tiap etnis memiliki warisan budaya
yang berkembang selama berabad-abad, yang dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab,
China, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu.

Salah satu dari 300 kelompok etnis tersebut ada sebuah suku yang bernama suku Kaili
yang berada di Sulawesi Tengah. Suku Kaili merupakan penduduk mayoritas di Sulawesi
Tengah, disamping suku-suku bangsa besar lainnya seperti Dampelas, Kulawi, dan
Pamona. Suku Kaili dan Dampelas menganut agama Islam, sedangkan suku Kulawi dan
Pamona menganut agama Kristen. Selain itu secara keseluruhan masih ada suku-suku
bangsa lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya yaitu Balaesang, Tomini, Lere, Mori,
Bungku, Buol, Toli-Toli, dan lain-lain.

Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar
mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten

3
Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu. Diseluruh daerah dilembah antara Gunung
Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga
menghuni wilayah pantai Timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi Moutong,
Kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami
kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo
Una-Una, sedangkan di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli, dan
Pesisir Pantai Poso.Untuk menyatakan “orang Kaili” disebut dalam bahasa Kaili dengan
menggunakan prefix “To” yaitu To Kaili. Adapun macam-macam dialeg yang ada
terdapat pada suku kaili :

 Kaili Ledo
Di Sulawesi Tengah pada umumnya, dan masyarakat Kaili khususnya memiliki
kearifan lokal (local wisdom) dalam melestarikan ungkapan-ungkapan, pantangan
atau pemali, dan upacara adat lainnya, sebagian penganutnya masih dijumpai pada
setiap kelompok masyarakat tradisional. Ungkapan-ungkapan berlatar dari bahasa
yang mengandung makna dan interpretatif simbolik yang memungkinkan mereka
untuk beraction, berdasarkan interpretasi mereka terhadap ungkapan-ungkapan
tersebut. Suku Kaili merupakan etnis yang terbesar populasinya dibandingka suku-
suku lainnya, tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah, mengenal lebih dari
dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari- hari.
Namun, suku Kaili memiliki “lingua pranca” yang dikenal sebagai bahasa “Ledo”.
Kata ledo berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini digunakan berkomunikasi dengan bahasa-
bahasa Kaili lainnya, dan masih ditemukan bahasa asli yang belum dipengaruhi
bahasa para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara bahasa
Ledo yang dipakai oleh masyarakat Kaili di kota Palu, dan Biromaru (bahasa Kaili
Ado, Kaili Tara, Kaili Ija, Kaili Edo ).

 Kaili Ija
Kaili Ija merupakan orang-orang dari suku Kaili yang menggunakan bahasa
Kaili dialek Ija dalam kesehariannya. Sub-etnis Kaili Ija ini pada mulanya
bermukim di sebelah utara danau Lindu, tepatnya di sebuah lereng gunung yang
disebut Leu, Siloma, Volau, Uwemalei, dan Sigi Pulu.Tetapi, sub-etnis ini di
kemudian hari mulai tersebar ke berbagai daerah di Sulawesi Tengah. Saat ini,
penduduk kaili yang termasuk dalam sub-etnisini mendiami daerah Bora,
Watunonju, dan Oloboju. Selain itu, sub-etnis ini juga mendiami daerah
dataran Palolodan juga bermukim di daerah Sibowiyang berada di daerah
Kabupaten Sigi. Masyarakat suku Kaili Ija memanfaatkan berbagai jenis
tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan pangan atau
ramuan obat tradisional.

 Kaili Rai
Bahasa Kaili dialek Rai adalah bahasa daerah yang masih ada dan tetap dipelihara
masyarakat penuturnya sebagai lambang suku bangsa. Nomina bahasa Kaili dialek
Rai dapat dikaji secara morfologi dan sintaksis. Secara morfologi, nomina atau kata

4
benda sangat beragam bentuknya dan yang menarik dari nomina dalam kajian
morfologi yaitu bentuk kata dan perubahannya terhadap arti (makna) kata. Hal
tersebut diperkuat oleh pendapat Tarigan (2009:144) yang meyatakan bahwa kata
benda tidak hanya dapat diturunkan dari kata dasar kata benda saja, tetapi juga dari
kata dasar jenis lain, seperti kata dasar kata kerja, kata dasar kata keadaan, dan kata
dasar kata bilangan. Selain itu, dalam bahasa Kaili dialek Rai juga ada yang unik yaitu
proses terbentuknya nomina turunan (berafiks), berasal dari kata dasar verba yang
kemudian dibubuhi oleh afiks maka berubah menjadi nomina. Misalnya kata dasar
boba (pukul) yang berkategori sebagai kelas kata kerja/verba, ketika dibubuhi afiks
pom- maka kata tersebut berubah menjadi kata benda/nomina yaitu pomboba
(pemukul/alat yang digunakan untuk memukul). Kemudian, kata dasar yang berasal
dari nomina dibubuhi afiks akan berubah menjadi verba, misalnya kata dasar bau
(ikan) ketika dibubuhi afiks ne- maka kata tersebut menjadi kata kerja/verba yaitu
nebau (mengail/mencari ikan). Salah satu daerah yang menggunakan bahasa kaili
dialek Rai adalah desa Paranggi,

2.3 Adat yang ada di suku kaili

 Balia Tampilangi
Balia Tampilangi adalah sebuah ritual adat yang menjadi tradisi masyarakat Kaili
yang dilakukan turun temurun dalam bentuk sebuah Upacara. Balia dipercaya telah
ada sejak zaman nenek moyang yang menjadi tradisi turun temurun berkembang
menjadi budaya dan adat istiadat bagi masyarakat suku Kaili. Penamaan Balia sendiri
tidak lepas dari literatur bahasa Kaili, kata Balia Tampilangi terdiri empat suku kata,
dua kata pertama yaitu “Bali”artinya tentang/lawan dan “ia” yang artinya dia, jadi
Balia maksudnya adalah melawan setan yang membawa penyakit dalam tubuh
manusia. Pengertian lain juga menyebutkan bahwa “bali” diartikan sebagai kata ubah
atau lawan, dan “ia” yang diartikan sebagai dia. Sedangkan kata “Tampilangi” juga
terdiri dari dua suku kata yaitu “Tampi” yang artinya Tombak, dan “Langi” yang
artinya langit atau kekuasaan.

Balia Tampilangi diartikan sebagai pasukan Tombak sakti dari langit, yang siap
melawan atau melindungi. Sederhananya, Balia diartikan merubah seseorang yang
sakit menjadi sembuh, melawan roh jahat yang hinggap membawa penyakit ke tubuh
pasien. Secara religius, Balia Tampilangi merupakan ritual kepercayaan lama suku
Kaili yang bernilai sakral. Kepercayaan ini bisa dibilang dulunya merupakan
pemujaan terhadap dewa (seuatu yang memiliki kekuatan gaib) yang dalam bahasa
Kaili disebut karampua/pue dan juga roh.

Pola peribadatan atau ritual ini


pada dasarnya merupakan symbol dari dimensi keyakinan diri terhadap sesuatu yang
dianggap agung.Misalnya; upacara, sesajen, ibadah keagamaan dan sebagainya, ini
biasanya tidak semua aspeknya dapat dipahami secara rasional dan logis. Ia dilakukan
secara turun-temurun bahkan mengakar menjadi adat istiadat setempat oleh

5
masyarakat primitif dari dulu hingga sekarang, dan dipahami secara pragmatis.
Upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya itu dinamakan rites dalam bahasa
Inggris berarti tindakan atau upacara keagamaan seperti; upacara penguburan mayat,
upacara pembaptisan, sakramen, jamuan suci dan lain sebagainya. Ritual adalah kata
sifat (adjective) dari rites dan ada juga yang merupakan kata benda.

Masyarakat Kaili mengenal atau percaya dengan keberadaan karampualangi


(penguasa langit) roh atau dewa yang mengatur iklim, cuaca, bulan, dan matahari,
serta benda-benda langit lainnya. Selain itu masyarakat juga percaya akan adanya
karampua ntana (penguasa tanah/bumi) yaitu roh atau dewa yang mengatur kehidupan
di bumi, gempa, banjir, angin ribut, dan lain-lain. Masyarakat juga percaya pada
kekuatan arwah yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kekuatan
menyembuhkan inilah yang kemudian dikenal dengan ritual Balia.

Upacara (Magis) ini dilakukan untuk mengobati atau menolak penyakit oleh seorang
atau beberapa dukun atau biasa disebut sando sebagai mediator
antara penyebab atau sumber penyakit dengan si sakit tersebut. Tujuan pokoknya
adalah penyembahan (persembahan), permohonan dan perlindungan kepada kekuatan
gaib sebagai sumber pemberi rezeki, keselamatan, sekaligus malapetaka bagi
manusia. Hingga kemudian dikenal empat macam balia, yaitu balia to manuru, balia
jinja dan balia tampilangi. Olehnya dapat dikatakan bahwa balia merupakan salah satu
ritus purba yang belum mendapat sentuhan pemikiran monoteisme pada masanya.
Hingga kini, upacara ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat Kaili dan masih
diyakini keampuhannya dalam menyembuhkan penyakit yang diderita oleh seorang
pasien pesakit.

 Ritual adat Nakeso


Suku Kaili atau to Kaili merupakan suku terbesar dari 12 suku yang berada di
Provinsi Sulawesi Tengah. Suku Kaili memiliki kearifan lokal berupa ritual adat
menggosok gigi bagian atas dan bawah hingga rata yang disebut Nakeso. Ritual
tersebut bertujuan agar anak-anak dapat bahagia, serta kelak dapat memasuki pintu
perkawinan dengan baik, panjang umur, murah rezeki, menjaga dirinya, serta adat
istiadat leluhurnya. Nokeso merupakan upacara adat yang wajib di- lakukan orang tua
kepada anak-anaknya baik per- empuan maupun laki-laki menjelang usia 12 hingga
16 tahun. Tradisi yang dikenal secara luas pada suku Kaili menurut Sulastri M. Ali
(2000) merupakan ritual adat masa kanak-kanak menjelang dewasa (remaja).
Hubungan antara tradisi, ritual dan perilaku sosial pada upacara adat Nakeso
merupakan bentuk penter- jemahan dalam bentuk etika, kesopanan dan perilaku moral
terhadap orang lain. Ini merupakan kerangka dimana presentasi kepada leluhur
merupakan bentuk tatanan sosial dalam suatu masyarakat. Penelitian tentang ritual
adat dan perilaku sosial telah banyak di- lakukan, seperti halnya penelitian yang
dilakukan (Antropologi, 2021) dalam penelitiannya menjelaskan ritual merupakan
bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau
agama yang ditandai dengan sifat khusus, sehingga menimbul kan rasa hormat

6
terhadap leluhur. Sehingga upacara adat memerlukan waktu dan tempat khusus.
Secara implisif dapat dipahami bahwa ritual trans- formatif dalam ritual adat Nakeso
suku Kaili memberi- kan kepercayaan terhadap perubahan sosial dari anak- anak
menuju dewasa, ataupun bujangan menuju jenjang perkawinan. Ritual merupakan
bagian men- dasar dari pengalaman manusia, oleh karena itu me- narik untuk
mempelajari perilaku manusia lintas ber- bagai disiplin ilmu untuk mengkaji lebih
jauh tentang ritual dalam perilaku sosial masyarakat. Ritual telah menjadi populer
dalam ilmu sosial, khususnya di kalangan antropolog budaya dan sosiolog.

Setiap masyarakat memiliki sistem pengetahuan yang diterima secara turun temurun,
gagasan penge- tahuan yang bersifat lokal, yang menurut sebagian kalangan
merupakan pengetahuan tradisional yang hampir ada disetiap masyarakat, dari dulu
hingga saat ini. Pengetahuan tradisional itu kita kenal dengan mitos, takhayul, pamali
yang diciptakan dan dikem- bangkan sendiri oleh masyarakat dalam suatu daerah
ataupun komunitas/etnik. Dalam kenyataan obyektif, menurut Berger manusia secara
struktural dipengaruhi oleh lingkungan dimana manusia tinggal. Dengan kata lain,
arah perkembangan manusia ditentukan secara sosial, dari saat lahir hingga tumbuh
dewasa dan tua. Ada hubungan timbal-balik antara diri manusia dengan konteks sosial
yang membentuk identitasnya hingga terjadi habitualisasi dalam diri manusia
(Kamelia & Nusa, 2018).

Berbeda jauh dengan masyarakat Kaili yang bermukim dibeberapa daerah, suku Kaili
di desa Labuan Panimba, Kabupaten Donggala tetap memper- tahankan tradisi
upacara adat Nakeso sebagai bentuk pelastarian kearifan lokal. Upacara upacara adat
Nakeso merupakan ritual wajib dilakukan bagi anak- anak yang memasuki usia
remaja. Lestarinya tradisi upacara adat Nakeso suku Kaili di masyarakat desa Labuan
Panimba Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tidak terlepas dari peran aktif tokoh
adat yang tetap menjaga dan memperkenalkan upacara adat Nakeso baik kepada anak-
anak maupun masyarakat suku lainnya yang merupakan kearifan lokal yang tetap
harus dipertahankan. Kearifan lokal merupakan gagasan setempat yang bijak, penuh
kearifan, memiliki nilai-nilai yang baik, diikuti oleh suatu masyarakat dan diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai
ide-ide lokal yang bijak, penuh dengan kearifan dan nilai baik yang tertanam dalam
masyarakat yang diikuti oleh masyarakat.

 Peminangan dalam adat Kaili


Perkawinan merupakan institusi yang terhormat dan sakral. Perkawinan bukan hanya
sekedar penyaluran hasrat biologis semata, tetapi juga memuat berbagai dimensi
interaksi, baik secara psikis, sosial, budaya maupun agama. Karenanya, selain
mengejawantahkan prosesi perkawinan sesuai nilai normatif dalam agama yang
diyakini, juga tidak jarang prosesi perkawinan dilakukan dengan berbagai tata cara
tradisional yang telah berurat dan berakar dalam masyarakat.

7
Jauh sebelum Islam datang, telah hidup suatu sistem budaya masyarakat yang unik
dan beragam di Nusantara. Seperti juga di daerah lainnya, di wilayah Propinsi
Sulawesi Tengah sejak berabad-abad telah hidup suatu sistem budaya dari beragam
etnis dan sub etnis, seperti etnis Banggai di Kabupaten Banggai Kepulauan, Saluan
dan Balantak di Kabupaten Banggai, Bungku dan Mori di Kabupaten Morowali,
Pamona di Kabupaten Poso, Buol di Kabupaten Buol, Kulawi di Kabupaten Donggala
dan etnis Kaili.

Di antara suku-suku asli tersebut, etnis Kaili yang memiliki populasi terbesar dan
tersebar di lima wilayah Daerah Tingkat II, yaitu Kota Palu, Kabupaten Donggala,
Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), sebagian di Kabupaten Poso dan belakangan
Kabupaten Sigi Biromaru.1 To Kaili (Suku Kaili) terbagi lagi dalam banyak sub etnis,
antara lain Kaili Ledo, Kaili Tara, Kaili Da'a, Kaili Unde, Kaili Ija, Kaili Edo dan
Kaili Rai.

Salah satu aspek tradisi yang masih dipertahankan oleh To Kaili adalah adat
peminangan. Peminangan yang disebut Neduta atau Nebolai dalam bahasa Kaili,4
merupakan rangkaian prosesi adat yang harus dilewati oleh setiap anggota masyarakat
yang ingin melangsungkan perkawinan. Tradisi Neduta atau Nebolai ini memiliki
keunikan tersendiri, baik dari aspek pencarian informasi atas calon yang dituju,
format pelaksanaan, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan, hingga aspek sanksi dan
penghargaan (punishment and rewarding).

Tata Cara Peminangan Adat Kaili:


Di kalangan To Kaili dikenal tradisi pra-nikah yang mendahului peminangan secara
formal, yang urut-urutannya sebagai berikut:
Notate Data, bermakna "membuka jalan", biasa juga disebut nomanumanu, suatu
istilah yang biasa diartikan dewasa ini sebagai "penjajagan". Kegiatan ini dilakukan
oleh keluarga atau kerabat dari pihak calon mempelai laki-laki, kepada anak gadis
yang menjadi incarannya. No manu-manu biasanya dilakukan untuk mendapatkan
informasi tentang anak gadis yang ingin dipinang, khususnya menyangkut apakah dia
belum ataukah sudah dijodohkan dengan pria yang lain. Dikatakan kegiatan ini
dilakukan oleh pihak kerabat calon mempelai laki-laki, karena memang secara tradisi
begitulah etikanya.

Penolakan pinangan, sesungguhnya amat langka terjadi di kalangan To Kaili, karena


selain adanya prosesi Notote Dala, juga karena kedua calon biasanya sudah saling
kenal, adakalanya dengan sangat akrab. Apalagi secara adat, To Kaili cenderung
mempertahankan kawin dalam lingkungan keluarga besar, baik cross maupun parallel
cousin-huwelijk.Jika dalam no manu-manu didapati signal yang positif, maka pihak
keluarga calon mempelai laki-laki akan melakukan pertemuan untuk membicarakan
dan menentukan mo ovo eyo belo, yaitu mencari "hari baik", sebagai hari kunjungan
resmi ke pihak keluarga gadis yang ingin dipinang nanti. Setelah disepalcati hari
penentuannya, prosesi tahap berikutnya yaitu mangore jarita partama, yaitu

8
kedatangan pertama utusan dari pihak kerabat calon mempelai laki-laki untuk
membicarakan lebih jauh rencana perjodohan kedua anak mereka.

Sementara itu, oleh keluarganya, calon mempelai pria dinasihati untuk tidak lagi
"bermain-main" dengan gadis lain, karena ia telah akan dijodohkan dengan seorang
gadis yang telah diincar keluarga.Pada proses kedatangan utusan ini dalam lingkungan
adat Kaili biasanya dilakukan selama tiga malam berturut-turut. Pada malam pertama
kedatangan, yang dibicarakan oleh utusan adalah maksud suci untuk menyambung
dan mempererat hubungan keluarga dan kekerabatan kedua belah pihak melalui ikatan
perjodohan.

Untuk masuk ke dalam rumah pihak keluarga perempuan tidak boleh didahului oleh
sembarang orang, melainkan oleh wall atau yang dituakan dalam rombongan kecil
utusan pihak keluarga laki-laki. Hal ini merupakan tradisi penghargaan yang harus
diaktualkan. Sebab, jika yang masuk pertama ke dalam rumah adalah bukan orang
yang utama, hal ini oleh pihak keluarga perempuan dianggap sebagai bentuk
pelecehan martabat.

Pada waktu kedatangan ini pihak laki-laki mempersiapkan beberapa macam jenis
bahan yaitu :

Pertama membawa 2 bungkus rokok dan satu kotak mads (korek api). Kedua,
membawa bahan Sambulu pombeka nganga, sebagai ritual "pembuka mulut",
berisikan perlengkapan adat untuk melakukan peminangan. Di antara bahan-bahan
sambulu yaitu

1. Kalosu (buah pinang)


2. Baulu (sirih) dan juga kapur sirihnya.
3. Tagambe (gambir) yang ini digunakan oleh para nenek moyang kita untuk
membersihkan mulut atau dalam bahasa adatnya Nompanga.
4. Tambako (tembakau)
5. Toila artinya kapur sirih, namun adat kaili ledo menganggap tidak perlu lagi
membawa toila atau kapur sirih karena mereka menganggap itu akan bisa
membahayakan organ mata.

Selain sambulu pombeka nganga, juga ada sambulu yang berfungsi sebagai pengikat
(paosoa pud) yang merupakan pokok adat perkawinan. Sambulu yang kedua ini
disebut dengan balengga nuada (adat utama) yang selain berfungsi sebagai bentuk
penghargaan kepada pihak perempuan juga sebagai tanda seseorang perempuan
telah dipinang oleh seorang laki-laki.

Pada kedatangan berikutnya, biasanya di waktu malam yang telah ditetapkan


waktunya, diadakan upacara kesepakatan yang biasa disebut Bongi Posi Tarima
artinya malam kesepakatan atau saling menerima antara pihak lakilaki dan pihak
perempuan.Setelah semua hal di atas selesai dibicarakan, maka selanjutnya proses
pengantaran belanja yang biasanya di sebut dengan Manggeni Balanja. Proses

9
manggeni balanja ini dilakukan pada sepuluh hari menjelang acara pernikahan atau
biasanya juga sekitar dua minggu sebelum acara pernikahan. Dalam mengantar
belanja ini ada beberapa hal yang harus disiapkan yang nantinya akan dibawa
kerumah calon istri.

Perlu diketahui bahwa pada tahap yang pertama tadi itu yang dibawa masih disebut
sambulu atau sambulu garo, sedangkan yang diantar pada waktu pengantaran belanja
itu disebut dengan sambulu gana. Jadi, Bahan-bahan yang akan dibawa ini biasanya
disebut dengan sambulu gana, karena sudah memuat semua jenis bahan berdasarkan
adat Kaili. Bahan-bahan tersebut sebagai berikut:

6. Semua jenis bahan yang telah dibawa sebelumnya yaitu kalosu atau pinang,
baulu atau sirih, tagambe atau buah gambir, tambako atau tembakau dan toila
(kapur sirih). Perlu diketahui dalam adat kaili ledo mereka tidak menggunakan
toila, sedangkan adat kaili ija masih menggunakanya.
7. Membawa segala jenis pakaian wanita mulai dari jilbab atau kerudung sampai
pada sandal atau sepatu. Jadi yang akan dibawa ini pakaian meliputi seluruh
anggota tubuh wanita.
8. Membawa seekor kambing sebagai balengga njambulu atau disebut dengan
kepala kambing. Namun dalam membawa balengga njambulu ini terkadang
dibawa pada waktu akad nikah atau sebelum akad nikah bersamaan dengan
pengantin laki-laki yang datang ke rumah pihak perempuan.
9. Membawa mahar yang telah disepakati. Namun dalam hal ini pada waktu
membawa mahar biasanya juga diberikan sebuah cincin emas takaran dua atau
tiga gram yang diletakkan pada sarung wanita bersamaan dengan semua jenis
bahan yang dibawa.

Jika semua persyaratan telah terpenuhi dan disetujui oleh pihak keluarga perempuan,
maka prosesi peminangan telah komplit jika peminangan telah disepakati, lantas
salah satu pihak mengundurkan diri atau membatalkan peminangan itu, maka sanksi
hukum adat berlaku. Asdat, berdasarkan hasil wawancaranya dengan tokoh adat
Kaili di desa Kamarora menyatakan bahwa jika pembicaraan telah diterima, lalu
salah satunya membatalkannya, maka yang membatalkan itu akan dikenai sanksi
adat. Adapun sanksi tersebut akan dirundingkan dan ditentukan oleh para tetua adat.
Pada umumnya sanksi adat yang dikenakan kepada pihak yang membatalkan
peminangan berwujud benda, tumbuhan dan juga hewan. Bisa berupa uang, pohon
kelapa atau binatang ternak seperti sapi dan kambing.

2.4 Pengertian & Makna Ketan Putih

Beras ketan (Oryza sativa L var. Glutinosa) banyak terdapat di Indonesia dengan jumlah
produksi sekitar 42.000 ton pertahun. Ketan (atau beras ketan) memiliki ciri yaitu tidak
transparan, berbau khas, seluruh atau hampir seluruh patinya merupakan amilopektin.
Ketan hampir sepenuhnya didominasi oleh amilopektin sehingga sangat lekat.Beras
ketan merupakan salah satu bahan pangan yang biasa di konsumsi sebagai makanan
pokok atau olahan menjadi tepung untuk aneka kue dan makanan kecil, selain itu beras
10
ketan sangat bermanfaat bagi kesehatan yang berguna mengatur metebolisme normal
lemak, untuk pertumbuhan dan pembentukan tulang serta gigi. Untuk kesehatan beras
ketan juga dapat mengobati penyakit kencing manis atau diabetes melitus (Sartika dan
Rozakurniati, 2010).

Beras ketan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 80 %, lemak sekitar
4%, protein 6% dan air 10%. Selain kandungan karbohidrat yang terdapat di dalamnya,
terdapat juga kandungan kalori, kalsium dan fosfat yang lebih tinggi dibandingkan dari
padi biasa. Ketan juga mengandung berbagai jenis mineral serta vitamin B1 dan B2. Sifat
kelunakan pada beras ketan di pengaruhi oleh suhu gelatinisasinya dan konsentrasi gel
beras. Beras ketan memiliki kandungan amilosa rendah sehingga bila diolah hasil nya
sangat lengket dan basah.

Kegiatan baca do'a atau balabe banyak menggunakan pulut putih yang bermakna
kesucian. Sedangkan pulut putih yang digunakan dalam pernikahan bermakna harapan
memiliki hubungan erat dan sulit dipisahkan karena sifat beras ketan yang lengke

2.5 Manfaat dan Kandugan Gizi Ketan Putih

Sumber : Sediaoetama Djaeni Achmad (1989)

Adapun manfaat dari ketan putih yaitu :

1. Mencegah penyakit kronis

11
Nutrisi pada beras ketan putih, seperti selenium, memiliki sifat antioksidan yang dapat
mencegah datangnya berbagai macam penyakit kronis. Pasalnya, antioksidan dapat
menurunkan kadar stres oksidatif yang sangat berdampak buruk bagi kesehatan.
2. Mencegah diabetes
Penelitian yang dirilis “Nutrition & Diabetes Journal” menyebut, makan beras ketan
putih 2x sehari dalam 8 minggu membantu mengendalikan kadar gula darah pasien
diabetes tipe 2.
3. Mencegah peradangan
Zat mineral dalam beras ketan putih memiliki banyak dampak baik untuk tubuh.
Misalnya zinc dan berbagai vitamin B, yang bisa memperkuat sistem imun tubuh,
sehingga dapat mengurangi peradangan dan meredakan ketegangan.
4. Meningkatkan kepadatan tulang
Zat mineral yang dikandung oleh beras ketan putih dapat membantu menjaga
kepadatan tulang, sehingga penyakit osteoporosis bisa dicegah. Terutama kandungan
kalsium, dalam 100 gram beras ketan putih, terdapat sekitar 2 miligram kalsium yang
siap menjaga kesehatan tulang.
5. Meningkatkan kesehatan jantung.
Beras ketan putih mengandung lemak dan kolesterol yang sangat sedikit. Itulah
sebabnya banyak penderita penyakit jantung yang akhirnya mengonsumsi beras ketan
putih untuk menjaga kesehatan jantung. Beras ketan putih juga aman dikonsumsi
pengidap tekanan darah tinggi dan obesitas.

6. Meningkatkan metabolisme.
Vitamin B yang terkandung dalam beras ketan putih sangat “terikat” dengan
metabolisme tubuh. Dengan demikian, proses penciptaan enzim, kestabilan hormon,
dan proses metabolik lainnya pun terjaga.

Tepung beras ketan diperoleh dari hasil penggilingan beras ketan yang kemudian
diayak dengan kehalusan 200 mesh. Beras ketan merupakan salah satu varietas oryza
sativa.L golongan glutinous rice. Beras ketan ini memiliki kandungan pati yang
tinggi, dengan kadar amilosa 1-2% dengan kadar amilopektin 98-99%, semakin tinggi
kandungan amilopektinnya semakin lekat sifat berat tersebut (Winarno,2002).

Tepung beras ketan mengandung zat gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat 80%,
lemak 4%, dan air 10%. Pati beras ketan putih mengandung amilosa sebesar 1% dan
amilopektin sebesar 99% (Belitz et al., 2008). Kadar amilopektin yang tinggi
menyebabkan tepung beras ketan putih sangat mudah mengalami gelatinisasi bila
ditambahkan dengan air dan memperoleh perlakuan pemanasan. Hal ini terjadi karena
adanya pengikatan hydrogen dan molekul- molekul tepung beras ketan putih (gel)
bersifat kental (Suprapto, 2006).

12
2.6 Penggunaan Ketan Putih dalam Keagamaan

Pulut digunakan pada upacara adat Kaili karena Beras ini merupakan bentuk simbol yang
mewakili perlambangan di dunia telah hadir. Pulut digunakan pada upacara adat Kaili
karena Beras ini merupakan bentuk simbol yang mewakili perlambangan di dunia telah
hadir.Beras-beras ini juga memiliki makna sebagai permohonan petunjuk kepada
Tomanuru dan atau juga penguasa bumi dan langit.

1. Upacara adat
Dalam upacara adat Balia, digunakan beberapa warna yang memiliki makna
masing-masing. Yaitu sebagai berikut:
 Putih, sebagai perlambangan langit.
 Kuning, yang mewakili atau melambangkan tempat Uventira (wentira).
Yaitu sebuah tempat di salah satu wilayah bagian dekat kota Palu yang
dianggap keramat yang diyakini sebagai salah satu negeri gaib para
leluhur.
 Hitam, sebagai perlambangan unsur tanah.
 Merah sebagai perlambangan Laut
 Hijau, sebagai perlambangan Bulan dan Bintang.
2. Baca do'a (Balabe)
Kegiatan baca do'a atau balabe banyak menggunakan pulut putih yang bermakna
kesucian. Sedangkan pulut putih yang digunakan dalam pernikahan bermakna
harapan memiliki hubungan erat dan sulit dipisahkan karena sifat beras ketan
yang lengke

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Food Value merukan fungsi makanan yang dihubungkan dengan kegunaan makanan
dan sumber energi. Hasil pengamatan yang dilakukan di desa Tinggede di dapatkan
hasil bahwa beras ketan putih digunakan pada upacara adat maupun tradisi
keagamaan karena beras ketan putih bermakna bentuk simbol yang mewakili
perlambangan di dunia telah hadir. Beras-beras ini juga memiliki makna sebagai
permohonan petunjuk kepada Tomanuru dan atau juga penguasa bumi dan langit..

3.2 Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis juga membuka kesempatan bagi kritik dan saran yang
membangun dan mengembangkan makalah ini. Karena pada hakikatnya ilmu
pengetahuan akan terus menerus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. J., Sejarah Tanah Kaili, Palu: Stensilan, 1975.

Adriani, M dan Bambang, W. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

Afia, Neng Darol, ed., Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di
Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agma Departemen Agama RI, 1999.

AhimsaPutra, Heddy Shri, “Fenomenologi Agama Pendekatan Fenomenologi untuk


Memahami Agama”, dalam Jurnal Walisongo, Semarang: LP2M,
UIN Walisongo, November 2012, volume 20, nomor 2.

Ali, Mohammad, Datuk Karama dan Islamisasi Masyarakat Kaili di Lembah Palu,
Cirebon: Perwira, 2004.

Ali, Sulastri M. (2000). Upacara Adat Nokeso Dalam Kehidupan Masyarakat Kaili.
Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pembinaan Permuseuman: PALU.

Amran Mahmud (2022) Kearifan Lokal dan Perilaku Sosial dalam Ritual Adat Nakeso Suku
Kaili. Indonesian Annuaslt Conference Series, Vol. 1

Ansyari, Sapari Imam, Metodologi Penelitan Sosial Suatu Petunjuk Ringkas. Surabaya:
Usaha Nasional, 1981

Antropologi, P. (2021). Datin Rafiliah Ritual Wong- wongan. 5(2), 12–26.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi ke V


Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Asdat, "Perkawinan Adat Kaili di Desa Kamarora B
Menurut Tinjauan Hukum Islam", Skripsi, Palu, STAIN Datokarama Palu, 2008

Budi Kristanto, Suku Bangsa Kaili dari Sejarah Hingga Budayanya (Manado, BKNST:
2002), 20.

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2002), 142.

Makkulau, Andi, "Pemuda dan Pacaran Ditinjau dari Sudut Sosiologi", Makalah, IKIP Ujung
Pandang, Tgl. 12 April 1988

Megawati, M., Anam, S., & Pitopang, R. (2016). Studi etnobotani tumbuhan obat pada
masyarakat Suku Kaili Ija di Desa Bora Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi
Sulawesi Tengah. Biocelebes, 10(1).

Moh, Fauzan Chair, 2021 “BALIA TAMPILANGI” UPACARA RITUAL ADAT TRADISI
SUKU KAILI DI PALU. Skripsi , UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH, JAKARTA

15
Pattananandecha, T., Apichai, S., Sirilun, S., Julsrigival, J., Sawangrat, K., Ogata, F.,
Kawasaki, N., Sirithunyalug, B., & Saenjum, C. (2021). Anthocyanin Profile,
Antioxidant, Anti-Inflammatory, and Antimicrobial against Foodborne Pathogens
Activities of Purple Rice Cultivars in Northern Thailand. Molecules

Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia), 128. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 56.

Sartika & Rozakurniati. 2010. Kajian Karakteristik Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa)
Pada Beberapa Jenis Pengemas Selama Penyimpanan. Univ. Sebelas Maret. Surakarta
(2 Oktober 2013)

Sediaoetama Djaeni Achmad. (1989).Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 1.
Jakarta :Daian Rakyat

Sukmawati Saleh, (2013). KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI DI SULAWESI


TENGAH, JURNAL ACADEMICA Fisip Untad VOL.05

Susanti, A., Syamsuddin, S., & Ulinsa, U. (2020). Nomina bahasa kaili dialek rai.
BAHASANTODEA, 5(2), 24-35.

16
DOKUMENTASI

17

Anda mungkin juga menyukai