Anda di halaman 1dari 170

UNIVERSITAS INDONESIA

DEMOKRASI INTERNAL PARTAI:


STUDI KASUS REKRUTMEN PEREMPUAN DI
KEPENGURUSAN DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI
GERINDRA PERIODE 2014-2019

TESIS

NI NENGAH KRISTANTI SUPRABA


1406518124

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN ILMU POLITIK
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
JAKARTA

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


UNIVERSITAS INDONESIA

DEMOKRASI INTERNAL PARTAI:


STUDI KASUS REKRUTMEN PEREMPUAN DI
KEPENGURUSAN DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI
GERINDRA PERIODE 2014-2019

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh


gelar Magister Ilmu Politik (M.IP) dalam Ilmu Politik

NI NENGAH KRISTANTI SUPRABA


1406518124

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN ILMU POLITIK
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
JAKARTA
JUNI 2016

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.
Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia serta berkahnya, penulisan tesis ini dapat selesai pada waktu yang tepat.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih terhadap orang-
orang yang berjasa di dalam penelitian dan penulisan tesis ini baik dalam rangka
mencari informasi, data, narasumber, bimbingan dalam menulis, memberikan
semangat, waktu, dan tenaganya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak
kepada:
1. Dra. Chusnul Mar’iyah, Ph.D selaku pembimbing tesis yang juga telah
membimbing penulis sejak reading course. Terima kasih karena telah
menyempatkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulisan tesis
sampai akhirnya selesai dengan baik.
2. Kedua orang tua – mama dan papa, kakak - kunta, saudara sepupu - diah,
dan keponakan – keyna, yang selalu memberikan semangat, tenaga, dan
waktunya selama penulis melakukan penelitian dan penulisan tesis.
3. Kekasih, Lucas Filberto yang juga sama-sama berjuang melakukan
penelitian dan penulisan tesis, tetapi tetap mendukung, memberi semangat,
dan juga saling membantu dan memberikan saran di dalam penulisan tesis.
4. Narasumber di Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra seperti Ibu Bianti
Djiwandono, Ibu Jasmin Setaiwan, Ibu Anita Ariyani, Ibu Marwah Daud
Ibrahim, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Priscillia Mantiri, Retnosari
Widowati, Ibu Sumarjati Ardjoso, Ibu Endang Thohari, dan Bapak Fadli
Zon yang telah memberikan waktunya untuk diwawancara dan
memberikan informasi yang dibutuhkan di dalam tesis ini.
5. Pengurus dan staf baik di Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra maupun
di DPR RI seperti Rino, Tina, Ibu Tiwi, Sefty, Neneng, Rustam, Billy
yang memberikan waktu dan kesempatan untuk dimintai keterangan dan
telah membantu penulis dalam hal mendapatkan kontak untuk
menghubungi narasumber yang dibutuhkan, serta materi-materi di dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan kader perempuan Partai Gerindra.


iv

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.
Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.
ABSTRAK

Nama : NI NENGAH KRISTANTI SUPRABA


Program studi : Ilmu Politik
Judul : Demokrasi Internal Partai: Studi Kasus Rekrutmen
Perempuan di Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat
Partai Gerindra Periode 2014-2019.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh diimplementasikannya UU No.2 Tahun 2011


tentang Partai Politik ke dalam ART Partai Gerindra tentang keterwakilan
minimal 30% perempuan di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra. Terdapat 144 orang anggota perempuan di dalam kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat dari total keseluruhan 494 orang. Kepengurusan DPP Partai
Gerindra periode 2014-2019 merupakan hasil penyempurnaan pengurus setelah
dilaksanakannya Kongres Luar Biasa Partai Gerindra pada September 2014 dalam
mengisi kekosongan Ketua Umum. Penelitian ini menjelaskan tentang pola-pola
di dalam rekrutmen perempuan di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat setelah
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto terpilih. Teori-teori yang
digunakan untuk membantu dalam analisis dan menjawab pertanyaan penelitian
berasal dari teori Susan Scarrow mengenai demokrasi internal partai; teori
Barbara Geddes mengenai pola rekrutmen di dalam partai politik; dan teori Jenny
Chapman mengenai perempuan dan rekrutmen.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis data dengan
penelitian naratif yang melibatkan penceritaan kembali partisipan (objek)
penelitian untuk mendukung validitas hasil analisis. Pengumpulan data dilakukan
dengan memperoleh Surat Keputusan mengenai pengesahan susunan pengurus
Dewan Pimpinan Pusat tahun 2012, 2014, dan 2015. Penelitian ini juga
melakukan wawancara mendalam terhadap perempuan-perempuan yang menjabat
sebagai pengurus DPP Partai Gerindra, aktivis perempuan Partai Gerindra, dan
pimpinan Partai Gerindra.
Hasil penelitian menunjukkan adanya lima pola rekrutmen perempuan di dalam
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019. Secara
substansial, terjadi kenaikan jumlah perempuan dari kepengurusan periode
sebelumnya. Perempuan memang diinklusikan ke dalam kepengurusan, namun
keterwakilan politik perempuan Partai Gerindra dapat dikatakan sangat kurang
karena perempuan tidak ditempatkan pada posisi yang memungkinkan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan. Meski terdapat perempuan di jajaran
Dewan Pembina sebagai dewan tertinggi, tetapi secara kuantitas masih didominasi
oleh laki-laki.
Implikasi teori menunjukkan bahwa demokrasi internal Partai Gerindra masih
eksklusif di dalam pengambilan keputusan, dan terdapat tambahan satu pola
rekrutmen dari empat yang disebutkan oleh Barbara Geddes di dalam kasus
rekrutmen perempuan di DPP Partai Gerindra.

Kata Kunci:
Perempuan, Rekrutmen, Keterwakilan

vii

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


ABSTRACT

Name : NI NENGAH KRISTANTI SUPRABA


Program Study : Political Science
Title : Intra-Party Democracy: Case Study Recruitment of
Women’s Composition of Gerindra’s Central Board
2014-2019

This research of background by the implementation of UU No.2 2011 about


Political Parties into Gerindra’s ART about 30% women representation in
Composition of Gerindra’s Central Board. There are 144 of women in
Composition of Gerindra’s Central Board from 494 overall completely. The
Composition of Gerindra’s Central Board 2014-2019 is redesigned board
composition after the Gerindra’s Extraordinary Congress on September 2014 for
elect the Gerindra’s Chairman. This research describes about the patterns in the
recruitment of women in Central Board after The Chairman, Prabowo Subianto is
elected. The theories used to assist in the analysis and answer the research
question derived from the Susan Scarrow’s theory about Intra-Party Democracy,
Barbara Geddes’s theory about recruitment patterns in the political parties, and
Jenny Chapman’s theory about women and recruitment.
This Research used the qualitative method and data analysis techniques with
narrative research that involving retelling of participants (objects) of research to
support the validity of the research results. The data collecting is done by
obtaining a decree on ratification of Composition of Gerindra’s Central Board in
2012, 2014, 2015. This research also through interview with women members of
Gerindra’s Central Board, Gerindra’s women activists, and Gerindra’s leader.
Research result showed that there are five patterns of women’s recruitment in the
Composition of Gerindra’s Central Board 2014-2019. Substantially, there are
increases in the number of women from previous period. Women are included to
composition of central board, but women’s political representative is very less
because women are not placed in a position to influenced the decision-making.
Although there are women in the governing board (Dewan Pembina) as the
highest board, but quantitatively is still dominated by men.
Theory implication show that Gerindra’s intra-party democracy was still exclusive
in decision-making, and there is one additional recruitment patterns of the four
mentioned by Barbara Geddes in the case recruitment of women’s composition of
Gerindra’s Central Board 2014-2019.

Key Words:
Women, Recruitment, Representation

vii

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………… i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………. iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………. vi
ABSTRAK…………………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xii

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….. 1
1.2 Permasalahan………………………………………………………. 4
1.3 Pertanyaan Penelitian……………………………………………… 12
1.4 Tujuan Penelitian………………………………………………….. 12
1.5 Manfaat Penelitian………………………………………………… 12
1.6 Kajian Literatur……………………………………………………. 12
1.7 Kerangka Teori……………………………………………………. 15
1.7.1 Kebijakan Afirmatif…………………………………………… 16
1.7.2 Representasi Politik Perempuan………………………………. 17
1.7.3 Perempuan dan Rekrutmen Politik……………………………. 21
1.7.4 Demokrasi Internal Partai dalam Rekrutmen Politik…………. 27
1.8 Alur Berpikir……………………………………………………… 31
1.9 Metode Penelitian………………………………………………… 31
1.10 Sistematika Penulisan……………………………………………. 33

2. PROFIL DAN PANDANGAN PARTAI GERINDRA TERHADAP


PEREMPUAN DI INTERNAL PARTAI
2.1 Profil Partai Gerindra……………………………………………. 35
2.1.1 Sejarah Terbentuknya Partai…………………………………. 35
2.1.2 Ideologi Partai………………………………………………... 39
2.2 AD/ART Partai Gerindra………………………………………... 41
2.2.1 Anggaran Dasar Partai Gerindra……………………………... 41
2.2.2 Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra…………………… 44
2.3 Visi, Misi, Tujuan, dan Fungsi Partai Gerindra………………….. 47
2.3.1 Visi dan Misi Partai Gerindra………………………………… 47
2.3.2 Tujuan dan Fungsi Partai Gerindra…………………………... 47
2.4 Pandangan Partai Gerindra terhadap Perempuan……………….. 48
2.4.1 Pokok Perjuangan Bidang Hak-Hak Perempuan……………. 48
2.4.2 Organisasi Sayap Partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA)…. 50
2.4.3 Program Partai dalam Pemberdayaan Perempuan……………... 52
2.5 Penerapan Kebijakan Afirmatif dalam AD/ART…………………. 58


ix

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


3. REKRUTMEN PEREMPUAN DI KEPENGURUSAN DEWAN
PIMPINAN PUSAT PARTAI GERINDRA PERIODE 2014-2019
3.1 Struktur Kelembagaan dan Demokrasi Internal Partai Gerindra…... 66
3.1.1 Struktur Kelembagaan………………………………………….. 66
3.1.2 Demokrasi Internal Partai Gerindra……………………………. 70
3.2 Proses Rekrutmen Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Periode
2014-2019………………………………………………………… 77
3.3 Pola Rekrutmen Perempuan di Kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat Periode 2014-2019………………………………………….. 81
3.3.1 Pendiri Partai Gerindra………………………………………… 90
3.3.2 Anggota Legislatif (DPR dan DPRD)………………………… 91
3.3.3 Kontribusi di Pilpres 2014 dan Non-Kader…………………… 93
3.3.4 Kader Partai Gerindra – Pengurus Baru………………………. 101
3.3.5 Kader Partai Gerindra – Pengurus Lama……………………… 105
3.4 Perempuan dan Rekrutmen……………………………………….. 107
3.4.1 Perjuangan dan Hambatan Perempuan Partai Gerindra
di dalam Proses Rekrutmen…………………………………… 107
3.4.2 Faktor Pendidikan di dalam Rekrutmen……………………… 111

4. KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN DI PARTAI GERINDRA


DAN PERAN PEREMPUAN INDONESIA RAYA (PIRA)
4.1 Representasi Politik Perempuan di DPP dalam Pengambilan
Keputusan………………………………………………………… 117
4.2 Peran Perempuan Indonesia Raya (PIRA)……………………….. 123
4.2.1 Pelatihan Kader Perempuan Partai Gerindra…………………. 124
4.2.2 Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra
dan Anggota PIRA…………………………………………… 128
4.2.2.1 Putaran Ke I: Pemahaman Konsep Gender, Analisis
Gender dan Advokasi Gender Melalui Dunia Politik…… 129
4.2.2.2 Putaran Ke II Perempuan dan Isu Kemiskinan:
Membangun Ekonomi Kerakyatan yang Berdaulat……… 133
4.2.2.3 Putaran Ke III Perempuan dan Isu Kesehatan Reproduksi:
Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran Hak Reproduksi
Perempuan dengan Perspektif Gender…………………… 136
4.2.2.4 Putaran Ke IV Perempuan dan Isu Pendidikan:
Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran tentang Hak
Pendidikan Bagi Perempuan……………………………… 140
4.2.2.5 Putaran Ke V Perempuan dan Isu Lingkungan:
Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran tentang
Lingkungan bagi Perempuan……………………………… 142
4.2.3 Peran PIRA dalam Rekrutmen Pengurus Dewan Pimpinan
Pusat…………………………………………………………… 146

5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan………………………………………………………… 148
5.2 Implikasi Teori……………………………………………………… 150

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 152

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Daftar Anggota Perempuan yang Menjabat


Sebagai Ketua Bidang……………………………………….. 9
Tabel 1.2 Daftar Informan……………………………………………… 32
Tabel 2.1 Jumlah Anggota Perempuan di DPP Partai
Gerindra Tahun 2012………………………………………… 62
Tabel 2.2 Jumlah Anggota Perempuan di DPP Partai
Gerindra Periode 2014-2019………………………………… 63
Tabel 2.3 Perbandingan Jumlah Anggota Perempuan di DPP
Partai Gerindra Tahun 2012 dan 2014………………………. 65
Tabel 3.1 Pengurus DPP Periode 2014-2019 yang pernah
Menjabat di Periode 2012-2014……………………………… 87
Tabel 3.2 Latar Belakang Pendidikan Anggota Perempuan Pengurus
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode
2014-2019……………………………………………………. 114


xi

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara Penelitian


Lampiran 2. SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.HH
13.AH.11.01 Tahun 2012
Lampiran 3. SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2015


xii

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia jika digambarkan secara
umum menunjukkan representasi yang rendah. Hal tersebut tercermin dalam
kegiatan-kegiatan politik seperti pengambilan keputusan, baik di lembaga
eksekutif, legistlatif, dan yudikatif. Selain itu, partisipasi yang rendah juga
ditunjukkan di dalam partai politik, birokrasi pemerintah dan kegiatan yang
bersifat publik lainnya. Partisipasi perempuan di dalam politik dianggap hanya
memerankan peran sekunder, atau bahkan hanya dianggap sebagai pelengkap saja.
Para pembuat kebijakan yang di dominasi oleh laki-laki kurang memiliki
kepedulian terhadap isu-isu yang berkenaan dengan perempuan, ibu, ataupun
anak. Persoalan mengenai kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan,
kejahatan seksual, gizi pada balita, dan lainnya belum menjadi agenda utama
dalam pembuatan kebijakan.1
Setelah reformasi di tahun 1998, proses demokratisasi untuk mewujudkan
demokrasi yang sesungguhnya, memperluas kesempatan bagi perempuan untuk
berpartisipasi secara nyata di dalam kegiatan politik di Indonesia. Partisipasi,
representasi, serta akuntabilitas menjadi syarat bagi terciptanya demokrasi yang
lebih bermakna. Iklim politik menjadi terbuka dan banyak partai politik baru
bermunculan yang menjadi pertanda adanya keinginan partisipasi masyarakat
yang lebih luas. Pada pemilu tahun 1999, jumlah partai politik yang menjadi
peserta mencapai 48 partai.2 Era reformasi membuka peluang bagi perempuan
untuk berpartisipasi, memperjuangkan kepentingannya dan keterwakilannya
terutama di dalam pembuatan keputusan politik.
Politik formal merupakan aktivitas politik di ranah publik, dan hal tersebut
membuat politik yang identik dengan “malestream” hanya terkesan pada aktivitas
pemerintahan, pemilu, partai politik, pengambilan keputusan, institusi eksekutif,
legislatif, alokasi sumber-sumber daya, UU, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya.


1
Ani Soetjipto dalam Kesetaraan Jender? Ini Juga Isu Politik (2005: 22-23).
2
Data diambil dari www.kpu.go.id, 24 Agustus 2006 dalam Nuraina (2007: 1).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


2

Definisi politik konvensional seperti itu dikritik oleh seorang feminis liberal
bernama Betty Friedan. Politik menurut kalangan feminis memiliki pengertian
“personal” yang menganggap dimana ada relasi kekuasaan baik yang terjadi di
wilayah privat maupun publik, maka hal tersebut merupakan politik.3
Demokrasi yang juga berarti pemerintahan di tangan rakyat, menjadi dasar
bagi konsep partisipasi politik dimana, kedaulatan berada di tangan rakyat dan
pelaksanaannya dengan kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan suatu
masyarakat, serta menentukan siapa yang akan menduduki jabatan sebagai
pemimpin mereka. Partisipasi politik dapat dikatakan sebagai manifestasi dari
penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.4 Pengertian tersebut
mengandung arti bahwa setiap individu di dalam masyarakat dapat terlibat seluas-
luasnya di dalam pengambilan keputusan dan proses politik, termasuk didalamnya
adalah perempuan.
Perempuan merupakan suatu kategori politik yang dapat turut serta
berpartisipasi di dalam politik dengan menunjuk wakilnya untuk menyuarakan
kepentingan perempuan. Dalam artikel Perempuan dan Politik di Indonesia yang
disunting Soetjipto (2005: 28) dikatakan bahwa,

“Keterwakilan perempuan dalam artian ini adalah untuk menyuarakan


kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak
kalangan, bahkan termasuk oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa
kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh
perempuan sendiri karena mereka yang sesungguhnya paling mengerti
kebutuhan-kebutuhan perempuan. Dalam kerangka demokrasi yang
representatif, pandangan dari kelompok yang berbeda harus
dipertimbangkan dalam memformulasikan keputusan dan kebijakan yang
akan dibuat. Dominasi penafsiran, dan marjinalisasi kelompok tertentu tidak
dibenarkan. Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan
laki-laki dan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar
dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan
jender.”

Di dalam negara demokrasi, partai politik menjadi wadah bagi masyarakat


untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Fungsi utama partai politik adalah


3
Betty Friedan dalam The Feminine Mystique (1993) yang dikutip dari Soetjipto (2005: 26-27).
4
Miriam Budiardjo dalam Partisipasi dan Partai Politik (1982: 3).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


3

mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan program-program


(platform) yang telah disusun berdasarkan ideologi yang dianut partai tersebut.
Adapun fungsi-fungsi lain dari partai politik adalah sosialisasi politik, rekrutmen
politik, partisipasi politik, pemadu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian
konflik, dan kontrol politik.5 Partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsi
tersebut tentunya memiliki peran didalam memajukan kepentingan perempuan,
khususnya merumuskan agenda yang berkenaan dengan perubahan dan
peningkatan peran perempuan dalam kegiatan politik.
Pada tahun 2008, tepatnya pada tanggal 6 Februari berdiri suatu partai yang
berwawasan kebangsaan (nasionalis), kerakyatan, religius, dan keadilan sosial
yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sebagai partai nasionalis
pendatang baru, Partai Gerindra memiliki beberapa prinsip dasar yang terdiri atas
prinsip disiplin, integritas, kedaulatan, kemandirian, persamaan hak, kerjasama
dan gotong royong, musyawarah. Pokok-pokok perjuangan Partai Gerindra yang
selalu digaungkan di dalam setiap kampanye, salah satunya menyebutkan
mengenai bidang hak-hak perempuan. Partai Gerindra menyadari masih besarnya
marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan, untuk itulah diperlukan
adanya kebijakan publik yang sensitif gender. 6
Partai politik merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan demokrasi
yang lebih bermakna. Dalam ranah perpolitikan demokrasi sekarang ini, untuk
meningkatkan jumlah representasi perempuan di lembaga politik formal yang
paling efektif adalah melalui partai politik. 7 Dalam menjalankan salah satu fungsi
partai yaitu rekrutmen yang juga merupakan proses seleksi kandidat, penelitian ini
akan mengkaji bagaimana proses rekrutmen khususnya anggota perempuan yang
menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi, penelitian ini bertujuan
untuk menunjukkan apakah Partai Gerindra menjalankan mekanisme demokrasi
internal partai dalam rekrutmen politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar


5
Surbakti dalam Memahami Ilmu Politik (1997: 196-201).
6
Dikutip dari Manifesto, AD/ART, dan Program Aksi Partai Gerindra.
7
Nuri Soeseno dalam Peluang Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Politik
Formal di Indonesia yang diterbitkan kembali pada Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-esai
Pilihan (2005: 62).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


4

demokrasi, sistem seleksi dan rekrutmen yang memadai serta mengembangkan


pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.

1.2 Permasalahan
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik,
tepatnya pada Bab II Pembentukan Partai Politik Pasal 2 ayat (1b) disebutkan
bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% (tiga puluh
persen) keterwakilan perempuan. Pada ayat (5) disebutkan pula kepengurusan
partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pada pasal 29 ayat (1) disebutkan mengenai rekrutmen dilaksanakan melalui
seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD/ART dengan
mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan. Penguatan terhadap keterwakilan perempuan di dalam partai politik
juga disebutkan di dalam Pasal 11 Ayat (2) poin (e) yang menyebutkan partai
politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan
politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
UU No.2 tahun 2011 merupakan revisi UU No.2 tahun 2008 tentang partai
politik, tetapi kenyataannya secara umum tidak ada perubahan mendasar yang
signifikan, kecuali syarat pembentukan partai politik dan sumbangan kepada
partai. Pengurus partai politik memiliki peran yang sangat besar dalam proses
rekrutmen dan menempatkan calon perempuan di dalam daftar calon. Namun
masalah yang umumnya terjadi di sebagian partai politik, perempuan tidak banyak
ditempatkan di jabatan struktural kepengurusan partai sehingga banyak calon-
calon perempuan tersisihkan. Kebijakan afirmasi bagi perempuan di dalam partai
politik, khususnya dalam kepengurusan di tingkat pusat belum menunjukkan
adanya perbaikan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya sanksi bagi partai yang
mengabaikan ketentuan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan baik di
kepengurusan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) maupun pengurus harian.8


8
PUSKAPOL UI dalam Publikasi Hasil Riset Comments Off OnPentingnya Afirmasi Internal
Partai Politik untuk Perempuandiakses pada tanggal 14 Oktober 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


5

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kebijakan afirmasi kepada


perempuan di lingkungan internal partai sudah tercantum di dalam pasal 2 dan
pasal 5 UU No.2 Tahun 2011. Namun kenyataannya, dalam tahap implementasi
kebijakan sangat lemah karena tidak adanya sanksi kepada partai politik yang
tidak mengikuti ketentuan tersebut. Pernyataan mengenai buruknya mekanisme
rekrutmen di dalam partai diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Pusat
Kajian Politik Universitas Indonesia sebagai berikut,

“Partai umumnya belum memiliki prosedur rekrutmen yang mapan sehingga


rekrutmen lebih bersifat instan tanpa kriteria dan prosedur yang jelas. Model
rekrutmen semacam ini mengabaikan kader yang telah lama berkiprah untuk
naik jabatan dalam kepengurusan partai. Partai juga masih mengandalkan
basis dukungan lama dalam rekrutmen. Ini menyebabkan partai relatif pasif
dan kurang inovatif dalam mengeksplorasi pendekatan untuk menjaga dan
memperluas basis pendukung. Dampak situasi ini adalah kesulitan partai
merekrut kalangan muda potensial dan cenderung mengandalkan jaringan
hubungan keluarga di dalam partai.” 9

Di dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Gerindra pada Bab II


Struktur dan Kepengurusan Pasal 7 Ayat (5) tentang Dewan Pimpinan Pusat,
disebutkan bahwa jumlah pengurus Dewan Pimpinan Pusat sekurang-kurangnya
90 (sembilan puluh) orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Adapun Mekanisme atau tata cara
pemilihan Ketua Umum beserta pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
Gerindra diatur di dalam Pasal 53 sebagai berikut:
(1) Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat memiliki kualifikasi sebagai kader
manggala atau kader utama.
(2) Pemilihan calon-calon Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat dilaksanakan
oleh peserta kongres yang memiliki hak suara untuk memilih 17 (tujuh
belas) orang calon-calon Ketua Umum yang selanjutnya diajukan kepada
Ketua Dewan Pembina. Ketua Dewan Pembina memilih dan menetapkan
Ketua Umum.
(3) Ketua Umum atau Ketua terpilih ditetapkan sebagai ketua formatur.


9
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


6

(4) Penyusunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat dilakukan oleh ketua


formatur yang dibantu oleh 16 (enam belas) orang calon ketua umum
sebagai anggota formatur atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.

Dari mekanisme yang disebutkan tersebut, pemilihan pengurus Dewan


Pimpinan Pusat yang terdiri dari Wakil-wakil Ketua Umum, Ketua-ketua Bidang,
Sekretaris Jenderal, Wakil-wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum,
Bendahara-bendahara, dan Kepala Departemen, secara normatif ditentukan oleh
10
Ketua Umum terpilih di dalam kongres yang juga ditetapkan sebagai ketua
formatur dibantu oleh 16 (enam belas) anggota formatur. Dalam kepengurusan di
tingkat pusat, Organisasi Partai Gerindra terdiri dari Dewan Pembina, Dewan
Penasehat, Dewan Pakar, dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Jika dilihat secara
struktural, Dewan Pembina merupakan pimpinan tertinggi partai dan Dewan
Pimpinan Pusat merupakan pelaksana tertinggi partai yang sifatnya kolektif, atau
dengan kata lain Dewan Pimpinan Pusat merupakan dewan yang secara hierarkis
kewenangannya berada di bawah Dewan Pembina.
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan
Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Susunan Pengurus
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), jumlah
pengurus Dewan Pimpinan Pusat adalah 494 orang terdiri dari Ketua (Ketua
Umum, Ketua Harian, Wakil Ketua Harian), Wakil-wakil Ketua Umum, Ketua-
ketua Bidang, Sekretaris Jenderal, Wakil-wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara
Umum, Bendahara-bendahara, dan Kepala Departemen. Dari pengolahan data
yang dilakukan, jumlah anggota perempuan di dalam kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat adalah 144 orang.
Dari data susunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat, persentase jumlah
anggota perempuan yang menjabat sebagai pengurus secara keseluruhan adalah
29,14 %. Angka tersebut mendekati ketentuan yang terdapat pada UU No.2 tahun
2011 tentang Partai Politik dan ART tentang struktur dan kepengurusan di tingkat

10
Kongres adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun
dan diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat atas persetujuan Ketua Dewan Pembina, tertuang
dalam Anggaran Dasar Partai Gerindra Pasal 32 ayat (1) dan (3).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


7

pusat. Yang menjadi fokus penelitian ini adalah proses dan pola rekrutmen bagi
anggota perempuan di dalam jabatan-jabatan kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019. Seperti yang dikatakan sebelumnya
yang tertera di dalam ART Partai Gerindra tentang pemilihan pengurus Dewan
Pimpinan Pusat, bahwa pemilihan dilakukan pada saat Kongres. Namun untuk
pemilihan Ketua Umum dan penyusunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat
periode tahun 2014-2019, dilakukan pada Kongres Luar Biasa pada 20 September
2014 yang dilakukan di Nusantara Club, Jagorawi.11
Dari hasil wawancara dengan salah satu anggota formatur pada penyusunan
pengurus Dewan Pimpinan Pusat, pemilihan yang dilakukan pada saat Kongres
Luar Biasa pada tanggal 20 September 2014, dilakukan sesuai dengan mekanisme
yang tertuang dalam Pasal 53 Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra. Seluruh
anggota Kongres Luar Biasa sepakat meminta kesediaan Prabowo Subianto selaku
Ketua Dewan Pembina untuk merangkap jabatan menjadi Ketua Umum sampai
digelarnya Kongres pertama Partai Gerindra. Prabowo Subianto terpilih secara
aklamasi dalam Kongres Luar Biasa tersebut yang dihadiri 34 Dewan Perwakilan
Daerah dan 503 Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra. Masing-masing DPD
dan DPC mengirimkan 3 fungsionaris, yakni ketua, sekretaris, dan bendahara.12
3 (tiga) Wakil Ketua Umum perempuan ditunjuk langsung oleh Ketua
Umum terpilih, yaitu Prabowo Subianto bersama dengan anggota formatur dan
kemudian memilih pengurus untuk menempati jabatan dibawahnya yaitu para
Ketua Bidang. Fenomena ini menarik untuk dikaji untuk melihat bagaimana pola
rekrutmen di dalam internal kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra
khususnya anggota perempuan, dan hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan
dalam perekrutan dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Kebijakan
afrimatif 30% bagi anggota perempuan untuk menjabat sebagai pengurus Dewan
Pimpinan Pusat, apakah memang dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang
ada dengan memperhatikan proses kaderisasi, kontribusi, dan karir atau hanya
sekedar untuk memenuhi angka keterwakilan perempuan tersebut tanpa melihat


11
Dikutip dari website resmi Fadli Zon fadlizon.com yang diakses pada 31 Oktober 2015.
12
Hasil wawancara tempo.com dengan Sekretaris Jendral Ahmad Muzani pada tanggal 20
September 2014, dikutip dari tempo.co yang diakses pada tanggal 7 Desember 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


8

kapasitas dan kompetensi yang dimiliki atau berdasar hubungan kedekatan dengan
Ketua Umum Partai Gerindra.
Dilihat dari latar belakangnya, Dr. Sumarjati Arjoso merupakan Mantan
Kepala BKKBN, Anggota DPR periode 2009-2014 (Komisi IX), Ketua BAKN,
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Ketua Umum Pengurus Pusat sayap
partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA), dan Wakil Ketua Umum Bidang
Kesejahteraan Rakyat DPP Partai Gerindra periode sebelumnya. Berbeda dengan
dr. Sumarjati Arjoso yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang kesehatan
dan pernah menjadi pegawai negeri sipil, Wakil Ketua Umum Bidang Koperasi,
UMKM, dan Ekonomi Kreatif yaitu Marwah Daud Ibrahim, Ph.D merupakan
lulusan FISIPOL Komunikasi Universitas Hasanuddin (1981), Master
Komunikasi Internasional (1984) dan Doktor Komunikasi Internasional di The
American University, Washington D.C. Ia pernah menjabat sebagai Ketua DPP
Partai Golkar, Sekretaris Umum ICMI dan Dewan Pakar ICMI, KAHMI, Anggota
DPR RI selama 4 periode dan BKSAP.
Marwah Daud Ibrahim, Ph.D masuk ke dalam anggota tim sukses Capres
Prabowo-Hatta pada saat Pilpres 2014 sebagai salah satu juru bicara. Selain itu,
Marwah Daud Ibrahim, Ph.D juga menjabat sebagai anggota Dewan Pakar tim
kampanye Prabowo - Hatta. Menurut pengakuannya, Ketua Umum Partai
Gerindra Prabowo Subianto yang memintanya untuk menempati jabatan sebagai
Wakil Ketua Umum. Wakil Ketua Umum perempuan yang terakhir yaitu di
Bidang Ideologi, Rachmawati Soekarnoputri telah lama berkecimpung di dalam
dunia partai politik. Pada pelantikan Dewan Pengurus Pusat Partai Gerindra dan
Pembukaan Rapimnas Gerindra di Kantor DPP Gerindra, Jakarta, Sekretaris
Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa proses penunjukan
Rachmawati sebagai kader partai telah dimulai sejak Pemilihan Presiden 2014,
setelah Rachmawati keluar dari Partai Nasional Demokrat. Prabowo Subianto
sebagai Ketua Umum terpilih, meminta secara langsung Rachmawati
Soekarnoputri menempati jabatan salah satu Wakil Ketua Umum di Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra.
Jika tiga (3) Wakil Ketua Umum perempuan dipilih atau ditunjuk secara
langsung oleh Ketua Umum terpilih, yaitu Prabowo Subianto dan anggota

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


9

formatur, penelitian ini juga akan melihat fenomena terpilihnya empat belas (14)
anggota Dewan Pimpinan Pusat perempuan yang menempati jabatan sebagai
Ketua Bidang. Dipilihnya 3 (tiga) Wakil Ketua Umum dan 14 (empat belas) Ketua
Bidang di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat sebagai objek penelitian, karena
dianggap bahwa jabatan-jabatan tersebut memiliki fungsi strategis di dalam
pengambilan keputusan Partai Gerindra dan merepresentasikan keterwakilan
politik perempuan di internal Partai Gerindra. 14 (empat belas) perempuan yang
menjabat sebagai Ketua Bidang di Dewan Pimpinan Pusat tersebut, berdasarkan
data yang diteliti melalui penelitian tahap awal, memiliki latar belakang yang
berbeda-beda seperti: kader Partai Gerindra, kerabat elit, tokoh pembentuk partai,
pengurus di kepengurusan DPP periode sebelumnya, anggota PIRA (Perempuan
Indonesia Raya), anggota DPR, mantan kader partai lain, dan sebagainya seperti
yang dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1.1
Daftar Anggota Perempuan yang Menjabat sebagai Ketua Bidang

No. Nama Jabatan Latar Belakang


1. Irmawaty Habie, Ketua Bidang Hukum Tokoh Pendiri Partai
SH dan Perjanjian Gerindra, Notaris, Caleg
Internasional DPD RI tahun 2014 Dapil
Sulawesi Selatan, Ketua
Bidang Hukum dan
Perjanjian Internasional
DPP Gerindra Periode
2012-2014
2. Hj. Himmatul Ketua Bidang Ketua Umum PINDRA
Aliyah, M.Si Pendidikan Nasional (Persatuan Istri Anggota
Dewan Fraksi Partai
Gerindra), Istri Sekretaris
Jendral DPP Gerindra
3. Yetti Wulandari, Ketua Bidang Sosial Kader Partai, Wakil Ketua
SH DPRD Depok, Pengurus

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


10

PIRA
4. Dra. Anita Ariyani Ketua Bidang Tokoh pembentuk dan
Perlindungan dan pendiri Partai Gerindra,
Pemberdayaan Kader Partai, Anggota
Perempuan Pembina PIRA
5. Rahayu Saraswati Ketua Bidang Advokasi Anggota DPR RI Komisi
Djojohadikusumo Perempuan VIII, Kepala Departemen
Peningkatan Perfilman
Nasional DPP Partai
Gerindra Periode 2009-
2014, Keponakan Ketua
Umum DPP Partai
Gerindra- Prabowo
Subianto, Aktivis
Perempuan
6. dr. Karlina, Ketua Bidang Ketua III Pengurus Pusat
MARS Perlindungan Anak PIRA
7. Retno Sari Ketua Bidang Staf pendukung Tim
Widowati Perlindungan dan Prabowo-Hatta dalam
Pemberdayaan Kaum kegiatan Pilpres 2014
Difabel
8. drg. Putih Sari Ketua Bidang Anggota DPR RI Komisi
Pariwisata IX
9. Waskita Rini, SS, Ketua Bidang Ketua Bidang Lingkungan
MBA Konservasi Alam dan Hidup Pengurus Pusat
Lingkungan PIRA
10. Jasmin B. Ketua Bidang Ekonomi Ketua I Pengurus Pusat
Setiawan Kreatif PIRA
11. Priscillia E. Ketua Bidang Wawasan Staf Prabowo Subianto,
Mantiri, ST, MT Nusantara Kader Partai, Caleg Dapil
Sulawesi Utara
12. Hj. Novita Ketua Bidang Anggota DPR RI Komisi V

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


11

Wijayanti, MM Penguatan Jaringan


Kader
13. Hj. Mestariany Ketua Bidang Hak Anggota DPR RI Periode
Habie, SH Asasi Manusia 2009-2014, Ketua Bidang
Pemerintahan Umum DPP
Gerindra Periode 2009-
2014, Sekretaris Umum PP
PIRA
14. Dr. Hj. Elza Ketua Bidang Hukum Mantan Kader Partai
Syarief, MH Konstitusi Hanura, Pengacara

Pembahasan penelitian juga mencakup perjuangan dan hambatan


perempuan Partai Gerindra di dalam proses rekrutmen, faktor pendidikan di dalam
rekrutmen, representasi politik perempuan di DPP dalam pengambilan keputusan,
dan peran Perempuan Indonesia Raya (PIRA). Untuk mencapai jabatan-jabatan
atau posisi strategis di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat, setiap anggota harus
melewati tahap kaderisasi bertingkat. Tetapi diluar kemampuan kader tersebut,
terdapat hak-hak istimewa Ketua Dewan Pembina untuk dapat menyetujui
ataupun tidak dalam penempatan jabatan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat.
Latar belakang dari anggota perempuan yang menempati jabatan-jabatan di
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Gerindra juga masuk kedalam cakupan
pembahasan penelitian.
Satu hal lagi yang penting selain rekrutmen anggota perempuan dalam
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra adalah peran dari sayap
partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA) dalam pelatihan kader perempuan Partai
Gerindra dan rekrutmen pengurus Dewan Pimpinan Pusat. Perempuan Indonesia
Raya (PIRA) tingkat pusat diketuai juga oleh dr. Sumarjati Arjoso yang berarti
menjabat pada tiga jabatan, yaitu Anggota Dewan Pembina dan Wakil Ketua
Umum Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Peran sayap partai PIRA
di dalam internal partai, terutama kepengurusan di tingkat pusat Partai Gerindra
penting karena organisasi sayap partai perempuan ini telah terbentuk sejak awal
berdirinya Partai Gerindra dan menjadi salah satu sarana untuk menyaring

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


12

perempuan masuk ke dalam Dewan Pimpinan Pusat. Selain itu juga,


kepengurusan pusat PIRA ditempatkan di dalam kantor Dewan Pimpinan Pusat.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Dari rumusan masalah penelitian yang dijabarkan, maka penelitian dibatasi
dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana rekrutmen anggota
perempuan pada kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode
2014-2019 dan representasi politik anggota perempuan di Dewan Pimpinan Pusat
dalam demokrasi internal Partai Gerindra?

1.4 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk memperoleh
penjelasan teoritis dan menganalisis rekrutmen politik anggota perempuan di
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019, pola
rekrutmen dan kriteria keterpilihan mereka dalam menempati jabatan politik
tersebut, serta representasi politik perempuan di Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra dalam pengambilan keputusan.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai perempuan dan rekrutmen
politik.
2. Menjelaskan pola rekrutmen dan hal-hal yang mempengaruhi partai politik
dalam merekrut pengurus internal (Dewan Pimpinan Pusat).
3. Menjelaskan demokrasi internal partai politik dalam proses rekrutmen
politik.
4. Menjadi referensi dalam kajian mengenai pola rekrutmen pengurus internal
partai politik.

1.6 Kajian Literatur


Studi mengenai rekrutmen politik banyak dilakukan oleh para ilmuwan
politik, tetapi sebagian besar meneliti tentang rekrutmen politik partai untuk calon
legislatif dan eksekutif. Studi yang dilakukan oleh Maria Escobar-Lemmon dan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


13

13
Michelle M. Taylor-Robinson mengenai pengaruh aturan pemilihan calon
legislatif dan pola rekrutmen untuk presiden mempengaruhi representasi
perempuan di legislatif dan eksekutif pemerintah tingkat nasional (kasus Amerika
Latin). Ia juga menjabarkan korelasi 4 (empat) tipe kandidat legislatif yang
dikemukakan Siavelis dan Morgenstern dengan presentase jumlah perempuan di
parlemen. Selain itu, juga mengeksplorasi apakah terdapat hubungan diantara 4
tipe calon presiden yang terdapat di dalam teori dan kecenderungan presiden
untuk mencalonkan perempuan untuk masuk ke dalam kabinet, dan apakah
perempuan mendapatkan posisi ‘tinggi’ di kabinet. Terdapat 6 hipotesis yang
dijabarkannya sebagai berikut:
1. Akan lebih banyak perempuan terpilih menjadi anggota kongres ketika
partai merekrut dan memilih tipe loyalis partai daripada jika partai
memilih tipe pengusaha.
2. Akan lebih banyak perempuan terpilih menjadi anggota legislatif ketika
jenis suara adalah daftar tertutup dan ketika partai merekrut dan memilih
tipe loyalis partai dibanding jenis suara daftar terbuka.
3. Dengan adanya kebijakan kuota, harapannya lebih banyak perempuan
untuk terpilih menjadi anggota legislatif di semua tipe legislator.
4. Orang-orang dalam partai (insider) yang menjadi presiden cenderung
memiliki persentase perempuan yang lebih rendah di kabinet mereka
daripada jenis presiden yang lainnya.
5. Kandidat independen akan merujuk persentase perempuan yang lebih
tinggi dari untuk kabinet mereka daripada jenis presiden yang lainnya
6. Kandidat independen akan lebih mungkin dibandingkan tipe presiden
lainnya untuk menunjuk seorang wanita untuk mendapat posisi tinggi di
kabinet.
Penelitian sebelumnya yang juga mengambil studi kasus Partai Gerindra
14
dilakukan oleh Mella Muthia mengenai rekrutmen calon anggota legislatif
untuk pemilu 2009 menyebutkan bahwa rekrutmen dilakukan dalam waktu

13
Maria Escobar-Lemmon, How Do Candidate Recruitment and Selection Processes Affect the
Representation of Women? dalam Pathways to Power Political Recruitment and Candidate
Selection in Latin America (2008).
14
Mella Muthia dalam Rekrutmen Calon Anggota Legislatif DPR RI Partai Gerindra Dapil DKI
Jakarta Pada Pemilu 2009 (2011).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


14

singkat yaitu 8 bulan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat beberapa


tahapan dalam proses pencalegan yaitu seleksi administrasi (sistem penerimaan
dan ‘jemput bola’); pengiriman data ke KPU; prosedur tertutup di internal partai
bagi caleg yang lolos verifikasi; penetapan nomor urut dan dapil yang prosesnya
didominasi oleh DPP. Terdapat tiga faktor yang menunjang penilaian caleg yaitu
faktor kapasitas (pendidikan, pekerjaan, pengalaman, popularitas), faktor finansial
(sumber keuangan, sumbangan ke partai, iuran, biaya pendaftaran), dan faktor
kedekatan dengan elit partai.
Penelitian mengenai rekrutmen politik juga dilakukan oleh Titin
Purwaningsih yang mengambil studi kasus Partai Golkar, Partai Amanat Nasional,
15
dan Partai Demokrat Sulawesi Selatan Tahun 2009). Beberapa temuan dalam
penelitian ini yaitu, Pertama, berkembangnya fenomena politik kekerabatan di
Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh faktor akar politik kekerabatan (militer,
birokrasi, pengusaha, aristokrasi, tokoh agama), legasi politik yang dimiliki
(sosialisasi politik dalam keluarga, aktif di organisasi), dukungan budaya
(patronase ‘siri’ dan ‘pesse’, kepercayaan akan pemimpin sebelumnya), dan
kesempatan politik (sistem multi partai, sistem suara terbanyak). Kedua, berdasar
rekrutmen politik dan kualitas kandidat, karakter politik kekerabatan dibagi
menjadi 4 kuadran yaitu: 1) yang dihasilkan dari seleksi prosedural oleh partai, 2)
yang dihasilkan dari mekanisme prosedural namun kandidat terpilih tidak
memenuhi kualifikasi, 3) yang dihasilkan dari mekanisme yang tidak prosedural
dan tidak memenuhi kualifikasi, 4) yang dihasilkan dari mekanisme non-
prosedural tetapi dibutuhkan dalam rekrutmen politik. Ketiga, tidak semua
anggota keluarga yang menempati jabatan merupakan manifestasi dari politik
kekerabatan. Dan yang terakhir, terdapat tiga model politik kekerabatan di
Sulawesi Selatan yaitu: 1) Oligarki-meritokratik yaitu yang dihasilkan lewat
mekanisme prosedural, bersumber pada kader, tetapi kecenderungan pengambilan
keputusan bersifat oligarkis; 2) Transaksional yaitu yang didasarkan pada
transaksi politik atau balas jasa kedua belah pihak; 3) Pragmatis yaitu yang
direkrut secara elitis yang berasal dari kader/non-kader guna mendulang suara.

15
Titin Purwaningsih dalam Politik Kekerabatan Dalam Politik Lokal di Sulawesi Selatan Pada
Era Reformasi (Studi Tentang Rekrutmen Politik Pada Partai Golkar, Partai Amanat Nasional,
dan Partai Demokrat Sulawesi Selatan Tahun 2009) (2015).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


15

Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, penelitian tentang


rekrutmen politik anggota perempuan dalam kepengurusan internal partai di
Indonesia masih merupakan penelitian yang baru. Beberapa hal yang menjadi
kekuatan di dalam penelitian ini yang berbeda dengan penelitian lainnya adalah:
Pertama; penelitian ini menganalisis rekrutmen politik anggota perempuan dari
variabel demokrasi internal partai, yaitu Partai Gerindra. Kedua; penelitian ini
mengkaji bagaimana proses keterpilihan dan kriteria anggota perempuan yang
membuat mereka terpilih dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra. Ketiga; penelitian ini menganalisis keterwakilan politik anggota
perempuan Partai Gerindra dalam pengambilan keputusan di Partai Gerindra.
Ketiga aspek tersebut dapat dianalisis mengenai pola rekrutmen anggota
perempuan di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-
2019.

1.7 Kerangka Teori


Keterlibatan perempuan di dalam politik khususnya partai politik, tidak
terlepas dari kebijakan afirmatif yang ditujukan bagi kaum perempuan. Kebijakan
afirmatif dapat dikatakan sebagai upaya untuk memberi peluang serta kesempatan
yang lebih luas kepada perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik formal.
Dalam penelitian ini, teori kebijakan afirmatif bagi perempuan dalam politik
menjadi salah satu teori yang digunakan untuk dapat membantu mencari jawaban
atas pertanyaan penelitian. Kebijakan afirmatif bagi perempuan untuk dapat
memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam kegiatan politik formal diperkuat
dalam regulasi yang tertuang di dalam Undang-Undang. Adanya aturan dan
ketentuan tersebut tidak secara langsung membuat keterlibatan perempuan di
dalam kegiatan politik formal meningkat, jika penerapannya tidak secara nyata
diimplementasikan dalam peraturan internal partai politik. Analisis yang
digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah analisis rekrutmen
politik, dengan variabel demokrasi internal partai. Dalam menganalisis, akan
digunakan teori rekrutmen politik dari Pippa Norris dan Reuven Hazan, Peter M.
Siavelis dan Scott Morgenstern; perempuan dan rekrutmen politik dari Jenny
Chapman; model rekrutmen dari Barbara Geddes, representasi politik perempuan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


16

dari Anne Phillips serta teori demokrasi internal partai dari Susan Scarrow. Teori
tersebut akan membantu dalam menjelaskan faktor-faktor apa saja yang membuat
anggota perempuan, terpilih menempati jabatan-jabatan didalam kepengurusan
internal partai politik.

1.7.1 Kebijakan Afirmatif


Di negara-negara demokratis, kebijakan afirmatif banyak diterapkan sebagai
suatu tindakan khusus yang sifatnya sementara. Hal tersebut dilakukan dengan
adanya kesadaran bahwa terdapat ketidaksetaraan keterlibatan perempuan dalam
aktivitas politik formal baik secara kualitas dan kuantitas. Selain itu, banyak
faktor penghambat baik yang bersifat budaya maupun kerangka sosial yang
membuat perempuan tertinggal untuk dapat berpartisipasi aktif di dalam politik.
Hal tersebut kemudian berdampak pada tidak tersalurnya potensi dan kontribusi
perempuan di dalam kehidupan politik yang lebih baik bahkan tidak memperoleh
manfaat yang sama dari kebijakan publik sebagai hasil dari proses politik.16
Kebijakan afirmatif berbeda dengan pemberian kursi secara gratis untuk
perempuan dalam posisi politik. Hal yang ingin diperjuangkan kaum perempuan
seperti yang dikutip dari Tim Puskapol UI (2013: 31) adalah “memberi peluang
perempuan yang lebih besar untuk bisa dicalonkan dan dipromosikan dalam
jabatan-jabatan politik dan organisasi politik seperti partai politik, parlemen,
birokrasi, dan lembaga pengambilan keputusan strategis yang lain”.
Angka 30% yang diperuntukkan bagi perempuan dalam keterlibatan di
aktivitas politik formal merupakan salah satu contoh dari kebijakan afirmatif yang
bersifat pro aktif selain pendidikan, pelatihan, serta peningkatan kapasitas diri.
Cara ini dianggap akan mempercepat perempuan untuk mengejar
ketertinggalannya dan mampu berada di dalam kehidupan politik. Meski begitu,
dalam kasus di Indonesia muncul perdebatan mengenai kebijakan afirmatif ketika
hal tersebut dibicarakan dalam pembahasan Undang-undang Pemilu tahun 2002.
Beberapa pihak yang pro terhadap kebijakan afirmatif untuk perempuan melihat
kebijakan ini sebagai upaya untuk membuat demokrasi menjadi lebih baik.


16
Tim Puskapol UI dalam Panduan Calon Legislatif Perempuan Untuk Pemilu 2014 (2013: 26).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


17

Argumen-argumen yang pro terhadap kebijakan afirmatif berpendapat sebagai


berikut:
1. Tindakan afirmatif sebagai terobosan bagi perempuan untuk berpartisipasi
secara aktif.
2. Momentum yang tepat untuk mendorong partai politik agar
memperhatikan kaderisasi anggota perempuan.
3. Sebagai langkah untuk membuka kesempatan bagi perempuan untuk
masuk ke dalam partai politik.
Sedangkan pihak yang kontra terhadap kebijakan afirmatif, justru menganggap hal
tersebut akan menurunkan kualitas demokrasi. Argumen-argumen yang kontra
terhadap kebijakan afirmatif berpendapat:
1. Tindakan afirmatif adalah diskriminatif karena perempuan bukan kaum
minoritas dan tidak perlu diberi keistimewaan.
2. Sebagai tindakan yang tidak demokratis karena perempuan mendapat jatah
di dalam parlemen.
3. Pemberian keistimewaan justru melecehkan kapabilitas perempuan, seolah
perempuan tidak berdaya dan perlu dibantu.
4. Pada kenyataannya tidak terdapat permasalahan dengan perempuan selama
ini ataupun larangan untuk beraktivitas dimanapun yang diinginkannya.17

1.7.2 Representasi Politik Perempuan


Dalam pemahaman konvensional demokrasi liberal, representasi dianggap
lebih atau kurang memadai, tergantung pada seberapa baik hal itu mencerminkan
opini, preferensi, dan kepercayaan pemilih. Permasalahan eksklusi politik
dirasakan dalam dua hal yaitu, sistem pemilu (yang dapat lebih mewakili
pandangan tertentu dan yang mewakili orang lain) dan dalam hal akses
masyarakat untuk berpartisipasi politik. Gagasan politik (political ideas) perlu
diubah menjadi politik kehadiran (political presence) untuk menjadi wadah bagi
pihak atau kelompok yang tereksklusi di dalam politik. Gagasan dan kehadiran
sebenarnya merupakan hal yang berkesinambungan karena gagasan politik
membutuhkan orang untuk mengimplementasikan ide dalam tindakan.


17
Ibid, hal.32.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


18

Representasi politik rakyat yang terwujud oleh anggota parlemen juga


memerlukan gagasan politik agar kehadiran mereka memiliki arti yang terwujud
dalam berbagai kebijakan publik. Eksklusi politik terjadi pada berbagai kelompok
berdasarkan jender, ras, dan etnis. Politik kehadiran memerlukan kesetaraan
representasi antara laki-laki dan perempuan, serta kelompok minoritas lainnya.18
Ketidaksetaraan partisipasi akan mengarah pada ketidaksetaraan dalam
pengaruh politik, penelitian yang ada menunjukkan adanya suatu konsistensi
ketidakadilan partisipasi oleh kelompok sosial tingkat atas atau mayoritas dengan
kelompok minoritas. Partisipasi yang bias ini memberi keuntungan politik bagi
pihak yang kedudukannya lebih tinggi. Hal tersebut seperti yang dikutip dari
Sidney Verba dan Norman Nie,

“That inequality in participation meant inequality in political influence; and


their careful documentation of bias in participation contrasted with a more
casual set of assertions about the effects this bias might have. What they
discovered was a consistent skewing of participation in favour of those from
the higher social classes, with some minor corrective to this when the less
advantaged were organized on a group basis. This participatory bias was
then said to give the political advantage to those who were already better
off, though the bulk of the evidence for this derived from some survey
responses suggesting that the actives and inactives had a different set of
preferences and priorities, combined with Lord Lindsay's observation that
only the wearer of the shoe will know if it pinches.”19

Ketidaksetaraan dalam partisipasi berarti ketidaksetaraan dalam pengaruh


politik; dan dokumentasi bias dalam partisipasi kontras dengan lebih banyak
kumpulan tuntutan mengenai dampak bias yang mungkin ada. Apa yang
mereka temukan merupakan kebalikan yang konsisten dari partisipasi dalam
mendukung orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi, dengan sedikit
perbaikan untuk ini ketika kurang diuntungkan bila diselenggarakan secara
kelompok. Partisipasi yang bias ini kemudian dikatakan memberikan
keuntungan politik bagi mereka yang sudah lebih baik, meskipun sebagian
besar bukti untuk ini berasal dari beberapa tanggapan survei menunjukkan
bahwa yang aktif dan tidak aktif memiliki preferensi dan prioritas berbeda,
dikombinasikan dengan istilah bahwa sulit untuk mengetahui seberapa besar
penderitaan orang lain.


18
Anne Phillips dalam The Politics of Presence (1995: 1-26).
19
Sidney Verba dan Norman Nie dalam Participation in America: Political Democracy and Social
Equality (1972); S. Verba, N. Nie dan J. Kim, Participation and Political Equality: A Seven
Nation Comparison (1978).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


19

Politik kehadiran menjadi penting dalam kaitannya dengan keterwakilan


perempuan. Politik kehadiran diperlukan untuk mencapai transformasi politik dan
perwakilan kepentingan yang adil dimana melibatkan kelompok perempuan yang
tidak pernah diikutsertakan sebelumnya menjadi wakil di dalam proses
pengambilan kebijakan. Kesetaraan gender tergantung pada keberhasilan politik
kehadiran, ini juga merupakan konsekuensi kehadiran politik yang tidak bisa
dihindari dalam menentang diskriminasi standar yang dilakukan dalam konvensi
politik kepartaian saat ini. Menurut Anne Phillips, argumen untuk meningkatkan
proporsi perempuan yang terpilih, terbagi menjadi empat model yaitu:

“There are those that dwell on the role model successful women politicians
offer; those that appeal to principles of justice between the sexes; those that
identify particular interests of women that would be otherwise overlooked;
and those that stress women's different relationship to politics and the way
their presence will enhance the quality of political life.” 20

Mereka yang telah sukses menjadi panutan sebagai politisi perempuan;


mereka yang menyerukan pentingnya kesetaraan diantara laki-laki dan
perempuan; mereka yang mengidentifikasi bahwa kepentingan perempuan
acapkali diabaikan; dan mereka yang menekankan hubungan yang berbeda
jika perempuan di politik dan kehadiran perempuan akan meningkatkan
kualitas kehidupan berpolitik.

Yang menarik bagi Anne Philips adalah model pertama, the role model. Ketika
lebih banyak kandidat perempuan terpilih, dan misalnya mereka mengatakan akan
meningkatkan harga diri perempuan, hal itu akan mendorong orang lain untuk
mengikuti jejak mereka dan mencabut asumsi mengenai apa yang tepat bagi
perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan jender merupakan suatu persoalan keadilan yang dijabarkan oleh
Anne Philips sebagai berikut:

“That it is patently and grotesquely unfair for men to monopolize


representation. If there were no obstacles operating to keep certain groups
of people out of political life, we would expect positions of political
influence to be randomly distributed between the sexes. There might be
some minor and innocent deviations, but any more distorted distribution is


20
Ibid, hal 62.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


20

evidence of intentional or structural discrimination. In such contexts (that


is, most contexts) women are being denied rights and opportunities that are
currently available to men.”21

Bahwa ini sangat jelas tidak adil apabila laki-laki memonopoli representasi.
Jika tidak terdapat penghambat bagi suatu kelompok dalam kehidupan
berpolitik, kami berharap bahwa posisi untuk mempengaruhi dalam
berpolitik dapat secara acak didistribusikan diantara laki-laki dan
perempuan. Mungkin terdapat sedikit penyimpangan, tetapi lebih banyak
perubahan distribusi merupakan bukti adanya diskriminasi struktural atau
yang disengaja. Pada beberapa konteks (kebanyakan), hak dan kesempatan
perempuan tersingkirkan untuk kemudian disediakan bagi laki-laki.

Meski jarang disebutkan dalam literatur, argumen dari kepentingan atau


kebutuhan perempuan menyiratkan bahwa representatif atau perwakilan akan
memiliki otonomi yang sungguh-sungguh, yang mereka miliki saat ini, dengan
implikasi, bahwa ini harus terus berlanjut. Eksklusi perempuan dari politik
merupakan persoalan penting karena politisi tidak mematuhi kebijakan dan tujuan
yang telah disetujui, dan kaum feminis memiliki banyak pengalaman mengenai
hal ini. Anne Phillips mengatakan:

“When there is a significant under-representation of women at the point of


final decision, this can and does have serious consequences, and it is partly
in reflection on this that many have shifted attention from the details of
policy commitments to the composition of the decision-making group. Past
experience tells us that all male or mostly male assemblies have limited
capacity for articulating either the interests or needs of women, and that
trying to tie them down to pre-agreed programmes has had only limited
effect. There is a strong dose of political realism here. Representatives do
have autonomy, which is why it matters who those representatives are.” 22

Ketika terdapat representasi perempuan yang signifikan pada titik keputusan


akhir, ini bisa memiliki konsekuensi yang serius, dan sebagian menjadi
refleksi pada banyak pergantian perhatian dari perincian komiten kebijakan
menjadi komposisi dari kelompok pembuat keputusan. Pengalaman yang
lalu memberitahu kita bahwa semua laki-laki atau kebanyakan dari mereka
memasang kapasitas terbatas untuk mengartikulasikan baik kepentingan
atau kebutuhan perempuan, dan mencoba mengikat mereka pada program
sebelum-disetujui yang memiliki dampak terbatas. Terdapat dosis yang kuat


21
Ibid.
22
Ibid, hal. 77-78.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


21

dalam realisme politik disini. Representatif memiliki otonomi, itu sebabnya


representatif begitu penting.

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 di Indonesia secara signifikan
membawa pengaruh terhadap kehidupan perempuan, hal tersebut juga memberi
dampak terhadap peningkatan kesadaran mengenai perlunya agenda politik yang
peka jender (gender sensitive). Hadirnya perempuan di dalam politik menjadi
prasyarat untuk mewujudkan masyarakat dengan kesetaraan jender. Kebutuhan
meningkatkan representasi politik perempuan didasari adanya kesadaran bahwa
sistem politik tradisional tidak akan dapat mencapai prioritas dan agenda politik
yang peka terhadap kepentingan perempuan. Peningkatan representasi perempuan
juga memiliki arti meningkatkan keaktifan perempuan dalam mempengaruhi
keputusan politik yang menjamin hak perempuan dan masyarakat luas yang
diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. 23

1.7.3 Perempuan dan Rekrutmen Politik


Rekrutmen politik merupakan salah satu fungsi dari partai politik.
Rekrutmen politik di dalam konteks partai politik diartikan sebagai seleksi atau
pemilihan dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk
melaksanakan suatu tugas atau peranan di dalam sistem politik khususnya internal
partai. Rekrutmen politik juga merupakan proses politik dimana partai
menempatkan orang-orangnya dalam jabatan politik. Fungsi rekrutmen sangat
penting bagi kelangsungan suatu partai politik karena merupakan kelanjutan dari
fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan.24 Rekrutmen juga dinilai penting
karena menjadi salah satu cara untuk menyeleksi calon pemimpin yang cakap
untuk dapat bersaing dengan partai politik lainnya.
Aspek terpenting dalam rekrutmen politik adalah proses seleksi kandidat.
Rekrutmen politik didefinisikan sebagai bagaimana kandidat potensial tertarik
untuk bersaing merebut jabatan politik, sedangkan seleksi kandidat menyangkut


23
Ani Soetjipto dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan melalui Reformasi Konstitusi
dan Pemilu (2003: 8-9) pada Laporan hasil konferensi IDEA di Jakarta tahun 2002.
24
Surbakti dalam Memahami Ilmu Politik (1997: 130).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


22

proses dimana calon yang dipilih diantara para calon potensial yang tersedia.25
Meski rekrutmen dan seleksi saling tumpang tindih, tetapi menurut Siavelis,
keduanya dapat digunakan untuk menganalisis sebagai suatu proses tunggal.
Siavelis membangun tipe calon-legislator berdasarkan dua variabel yaitu
hukum/UU dan partai. Variabel hukum terdiri dari besarnya suatu distrik/wilayah
dan tipe daftar (terbuka/tertutup), pemilihan ulang, geografis (contoh:
federalisme), dan kekuatan legislatif. Variabel partai terdiri dari sentralisasi,
inklusifitas, organisasi partai (bagaimana kandidat terpilih, misalnya: rekrutmen
atau patronase), dan koneksi keuangan partai (siapa yang membiayai dana
kampanye).
Seleksi kandidat juga disebut sebagai pertarungan dalam partai politik untuk
menentukan kandidat yang akan ikut bersaing dalam kompetisi dengan kandidat
dari partai lain. Dalam proses seleksi kandidat, partai politik menentukan calon-
calon yang memiliki kompetensi dan elektabilitas serta popularitas untuk
mendapat dukungan masyarakat. Proses ini menjadi proses yang penting karena
menentukan performa partai dalam pemilu yang lebih lanjut akan berpengaruh
pada performa partai dalam pemerintahan atau lembaga legislatif. Di dalam
perspektif fungsi partai, proses ini ditentukan sendiri oleh partai agar kandidat
terpilih memiliki ikatan kuat dengan partai. 26
Norris (1996) membagi variabel hukum (UU) dan partai yang
mempengaruhi bagaimana kandidat menjadi legislator dalam tiga tingkat, yaitu:
variabel sistem (hukum/UU, pemilu, dan partai), struktur perekrutan (organisasi
partai, aturan, ideologi, dan gatekeeper non-partai), dan proses perekrutan
(bagaimana yang memenuhi syarat dapat terpilih, termasuk motivasi calon,
gatekeeper partai, dan pemilihan). Sering kali elit yang sama yang mengolah dan
mengidentifikasi calon nama, memulai proses yang berakhir dengan menyatukan
seleksi dan potensi loyalitas. Proses membangun loyalitas adalah proses panjang,
27
tidak semata-mata terletak pada tahap seleksi. Norris juga membagi analisis
rekrutmen menjadi 4 tingkat, yaitu 1) analisis sistem politik yaitu hukum, pemilu

25
Peter M. Siavelis dan Scott Morgenstern dalam Pathways to Power Political Recruitment and
Candidate Selection in Latin America (2008: 8).
26
Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat dalam Democracies Within Parties: Candidte Selection
Methods and Political Consequences (2010: 4).
27
Peter M. Siavelis dan Scott Morgenstern, Op.Cit, hal. 8.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


23

dan kepartaian; 2) proses rekrutmen yang menganalisis demokrasi internal partai;


3) analisis terhadap kandidat; 4) level analisis pada selektor.28
Ada beberapa faktor yang membuat seseorang dapat terpilih atau direkrut
untuk menempati jabatan-jabatan di dalam internal partai politik :
1. Latar belakang sosial atau social background merupakan faktor yang
berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga calon
elit.
2. Sosialisasi politik atau political socialization merupakan faktor yang
membuat seseorang menjadi terbiasa dengan tugas ataupun isu-isu di
dalam posisinya sebagai politisi. Hal itu akan membuat seseorang dapat
menentukan apakah ia memiliki kemampuan untuk menjabat sehingga ia
dapat mempersiapkannya dengan baik.
3. Initial Political Activity merupakan faktor yang menunjuk aktivitas atau
pengalaman politik calon elit sebelum direkrut.
4. Apprenticeship merupakan faktor yang menunjuk proses ‘magang’ dari
calon elit ke elit lain yang menduduki jabatan yang diinginkan oleh calon
elit.
5. Occupational variables merupakan faktor yang menunjuk pengalaman
calon elit di lembaga formal non-politik. Hal ini dilihat karena calon elit
tidak hanya dinilai dari popularitas, tetapi juga faktor kapasitas intelektual,
percaya diri, vitalitas kerja, peningkatan kemampuan dan pengalaman
kerja.
6. Motivations merupakan faktor terpenting yaitu melihat motivasi yang
dimiliki calon elit untuk menduduki suatu posisi atau jabatan politik
tertentu.29
Unsur-unsur dari proses rekrutmen tidak hanya pada sistem kompetitif
partai tetapi dipengaruhi juga oleh beberapa hal seperti seleksi-diri (self-
selection), seleksi-lembaga (institution-selection), dan seleksi-pemilih (voters-
selection). Semakin terbukanya sistem kompetitif, membuka peluang bagi


28
Pippa Norris dalam Passage to Power: Legislative Recruitment in Advanced Democracies
(1997: 1-14).
29
Czudnowski yang dikutip oleh Khoirudin, dalam Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi
(2004: 101).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


24

penantang baru untuk mengorganisir dan turut serta dalam proses rekrutmen di
dalam institusi partai mereka. Secara teori, hasil redistribusi sumber bisa
dirasakan dengan cepat dan revolusioner dengan pembentukan in-group dan
outgroup baru. Tetapi pada prakteknya, perubahan politik dalam sistem kompetitif
lebih evolusioner dan disposisi elit merupakan suatu pengecualian. Alasannya
adalah saling ketergantungan sumber daya sosial ekonomi dan politik yang
mendasari nilai, peran, praktek politik pada pembukaan persaingan/kompetisi. 30
Para ilmuwan politik mengatakan bahwa terdapat hubungan antara sumber
daya sosio-ekonomi dengan pola jender pada elit. Pendekatan teoritis seperti yang
dikutip dari Jenny Chapman dijabarkan sebagai berikut:

“That the key to the problem of the gender pattern lies in large part in the
socio-economic basis of male recruitment will become obvious, if we start
from the premise that (a) wherever women are seeking access to political
elites they are doing so through the medium of institutions created by men
and (b) whatever the attributes may be which are valued by men, women in
a male-dominated society are less likely to possess them. From this
foundation it is possible to develop precise hypotheses (which can be tested
empirically) about the way in which the effect of socio-economic resources
on the recruitment of men determines the outcome for women, and why this
outcome—the gender pattern—is always the same, irrespective of both the
political system which is involved and the selection criteria which are being
used” 31

Bahwa kunci permasalahan pola jender pada sebagian besar basis sosio-
ekonomi dalam rekrutmen laki-laki akan menjadi jelas, jika kita mulai dari
premis bahwa (a) dimanapun perempuan mencari akses untuk menjadi elit
politik, mereka melewati media institusi yang diciptakan oleh laki-laki dan
(b) apapun atribut-atribut yang dinilai oleh laki-laki, perempuan di dalam
masyarakat yang didominasi oleh laki-laki kurang mempengaruhi. Dari hal
dasar tersebut memungkinkan untuk membangun hipotesis yang tepat (yang
dapat dibuktikan secara empiris) mengenai dampak sumber daya sosio-
ekonomi dalam rekrutmen yang ditetapkan oleh laki-laki bagi hasil untuk
perempuan, dan mengapa hasil pola jender ini selalu sama, tidak
terpengaruh baik dari sistem politik yang ada dan kriteria pemilihan yang
digunakan.

Terdapat 2 (dua) model yang digunakan oleh Chapman dalam kompetisi


diantara perempuan dan laki-laki di dalam proses rekrutmen yaitu Pertama, model

30
Jenny Chapman dalam Politics, Feminism and the Reformation of Gender (1993: 13).
31
Ibid, hal 17.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


25

standar yang kecenderungannya adalah status sosial-ekonomi yang tinggi dimana


dominasinya adalah laki-laki. Rekrutmen perempuan di internal partai politik
berhadapan dengan hambatan-hambatan di dalam prosesnya dan kesulitan dalam
menyusun strategi seperti apa yang harus dilakukan untuk merebut kedudukan di
internal partai. Penilaian di dalam rekrutmen cenderung dipengaruhi oleh
perspektif laki-laki atau malestream. Ia mengatakan,

“Two common properties of all the system created by men: their competitive
inegaliterianism and the interdependence of social, economic and political
resources the whole history of men is one of competition for the objects their
value, which are consequently always in short supply. Relations among
them like those of men with women, are based on the unequal distribution of
these values and are therefore alwaysthose of hierarchy and dominance
hence the very existence of elites and of in and out groups in the first
place”32

Dua hal umum pada sistem yang diciptakan oleh laki-laki: kompetisi
mereka yang tidak egaliter dan ketergantungan pada sumber daya sosial,
ekonomi, dan politik. Sejarah laki-laki secara keseluruhan adalah satu
kompetisi untuk objek yang mereka anggap bernilai, yang selalu berakibat
pada persediaan jangka pendek. Hubungan diantara laki-laki sendiri dan
perempuan, membuat distribusi nilai-nilai yang tidak seimbang dan oleh
karena itu hierarkis dan dominasi kekuasaan dari keberadaan elite menjadi
tumpuan bagi kelompok baik dari dalam maupun luar.

Untuk mengubah status sosio-ekonomi, pendidikan dianggap sebagai


komponen yang paling dapat diakses oleh perempuan, terutama untuk dapat
merebut jabatan politik. Model kedua adalah model modifikasi yang diharapkan
memiliki kesetaraan jender pada hasil akhirnya. Hal tersebut dikarenakan
kepemilikan sumber daya kolektif, Chapman mengatakan

“Since it is the possession of collective resources, not the absence of any


resources at all, on which the identity and achievements of modifying forces
are based, it is inevitable that they will be male-oriented in a male-
dominated society” 33

Sejak kepemilikan sumber daya kolektif, bukan pada ketidakhadiran


sumberdaya keseluruhan, pada identitas dan prestasi yang didasari

32
Ibid, hal. 18-19.
33
Ibid, hal 22.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


26

perubahan kuasa, ini tak dapat dihindarkan bahwa mereka akan berorientasi-
laik-laki dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.

Dari penjelasan tersebut, terdapat dua hal yang menjadi ciri dari sistem yang
didominasi oleh laki-laki yaitu persaingan yang tidak egaliter dan bergantung
pada sumber-sumber sosial, ekonomi, dan politik. Hubungan baik diantara laki-
laki itu sendiri dan perempuan membuat ketidakseimbangan distribusi nilai-nilai
yang didasari hierarkis dan dominasi. Hal tersebut yang kemudian membuat
kelompok baik dari dalam maupun luar hanya bertumpu pada keberadaan elite-
elite. Perempuan sebagai kelompok yang berada diluar sistem (outgroup),
mengalami kesulitan untuk dapat masuk ke dalam partai politik yang memiliki
potensi yang menekankan pada persaingan daripada keseimbangan, dan lebih
mengandalkan sumber ekonomi, sosial, dan politik.
Implikasi dua model hipotesis Chapman terhadap rekrutmen politik
perempuan sangat jelas. Menurutnya,

“If they hold good for both models of recruitment (standard and modifying)
and different political contexts, then the socio-economic outgroup status of
women is in itself a sufficient explanation for the universality of the ‘iron
laws’ which constitute the gender pattern of recruitment, even where
socialist parties are powerful and apparently committed to women’s
advance. As long as women’s access to political elites depends upon the
same process of recruitment as obtains for men, but their attributes are
those of losers, how can they succeed? Realistically, their lack of resources
must be expected to inhibit their advance on both dimensions of the
recruitment process—mobilisation and selection and through the elements
of both self and institutional selection. The dominance of men can be
sustained without recourse to sexdiscrimination, as opposed to socio-
economic discrimination. All other things being equal, until there are more
women in society with the attributes of successful men (i.e. until women
cease to be a socio-economic out-group), this situation cannot be expected
to change.”34

Jika kedua model rekrutmen (standard dan modifikasi) terjaga baik dan
berbeda konteks politik, kemudian status perempuan sebagai kelompok
diluar sistem sosio-ekonomi cukup menjelaskan universalitas ‘hukum besi’
yang mengangkat pola jender dalam rekrutmen, meski dimana partai sosialis
berkuasa dan kenyataannya melakukan kemajuan pada perempuan. Sejauh
akses perempuan untuk menjadi elit politik tergantung pada proses yang

34
Ibid, hal 23-24.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


27

sama dari rekrutmen yang diperoleh untuk laki-laki, tetapi atribut mereka
adalah yang kalah, bagaimana mereka dapat sukses? Realitanya, kekurangan
mereka akan sumber daya menghalangi kemajuan mereka pada dua dimensi
proses rekrutmen-mobilisasi dan seleksi serta elemen-elemen keduanya
beserta seleksi kelembagaan. Dominasi laki-laki dapat diteruskan tanpa
jalan lain untuk diskriminasi jender, ditentangkan menjadi diskriminasi
sosio-ekonomi. Segala hal menjadi sama atau rata, sampai ada perempuan di
dalam masyarakat dengan atribut kesuksesan laki-laki (misalnya sampai
perempuan berhenti menjadi kelompok luar sosio-ekonomi), situasi ini tidak
dapat diharapkan berubah.

Faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh perempuan


mampu menduduki jabatan politik baik di internal partai ataupun nantinya maju
sebagai anggota legislatif. Apabila sebagian besar dari faktor-faktor mampu
terpenuhi, didukung dengan kapabilitas yang mumpuni, selain dibantu dengan
kebijakan afirmatif yang terdapat di dalam UU partai politik, perempuan akan
mampu untuk memperoleh jabatan di dalam internal partai politik.

1.7.4 Demokrasi Internal Partai dalam Rekrutmen Politik


Demokrasi internal partai dimengerti sebagai struktur dan proses
pengambilan keputusan partai politik yang memungkinkan individu warga negara
untuk mempengaruhi berbagai pilihan yang ditawarkan partai kepada
35
pemilihnya. Dimensi utama suatu organisasi partai dalam rekrutmen politik
merupakan demokrasi internal partai yang terdiri dari inklusifitas, sentralisasi dan
mediasi. Inklusifitas terkait dengan bagaimana jangkauan partai dalam membuat
keputusan. Sentralisasi dan desentralisasi terkait dengan struktur organisasi partai
dalam pembuatan keputusan. Mediasi menunjukkan seberapa luas struktur partai
dalam memediasi atau menengahi kontak antara anggota partai secara individu
36
dengan pimpinan nasional partai. Dalam penelitian ini, inklusifitas terkait
dengan mekanisme rekrutmen politik yang dilakukan oleh Partai Gerindra untuk
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-2019, khususnya bagi
anggota perempuan.


35
Blessing dan Gerald Chigona dalam The State of Intra-Party Democracy in Malawi (2010).
36
Susan Scarrow dalam Parties and Their Members: Organizing for Victory in Britain and
Germany (1996: 30-31).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


28

Salah satu dimensi utama di dalam demokrasi internal partai yang


menjelaskan mengenai kemudahan akses keanggotaan adalah dimensi inklusifitas.
Dimensi inklusifitas mengindikasikan tinggi-rendahnya hambatan yang
memisahkan anggota partai dengan para pendukung. Inklusifitas terkait dengan
bagaimana jangkauan partai dalam membuat keputusan, apakah pembuat
keputusan hanya dilakukan oleh satu orang pemimpin, sekelompok orang, atau
dengan melibatkan anggota partai dan para pendukung. Seperti yang dikutip dari
Susan Scarrow,

“…The level of these barriers is partly determined by the extent of duties


and privileges attached to party membership; in addition, however, it also
reflects the ease or difficulty of enrolment. The latter is a function of factors
such as the degree of formality of membership procedures (is there an
application form? is there a probationary period?), and the party's actual
accessibility to would-be members (does it recruit? can would-be members
easily locate and contact the party?). The level of inclusiveness is also
determined by the reasons for which a party chooses to exclude supporters
from membership privileges. These may be of a kind which all individuals
can sooner or later overcome (for example, the parties may exclude those
under a particular age), or they may more permanently bar certain
individuals (for example, some parties may refuse to admit those not of a
certain race or religion). The most inclusive parties are those which blur all
distinctions between members and supporters. Highly inclusive parties lack
set schedules of dues and procedures for national membership, and they
may even grant non-enrolled supporters full rights to participate in
decision-making processes and party-sponsored events.” 37

Tingkatan hambatan-hambatan ini sebagian ditentukan oleh sejauh mana


tugas dan hak yang melekat pada keanggotaan partai; di samping itu
bagaimanapun, juga mencerminkan kemudahan atau kesulitan dalam
penerimaan. Yang terakhir adalah fungsi dari faktor-faktor seperti tingkat
formalitas prosedur keanggotaan (apakah terdapat formulir aplikasi?
Apakah ada masa percobaan?), dan aksesibilitas partai yang sebenarnya bagi
yang ingin menjadi anggota (apakah merekrut? Dapatkah yang ingin
menjadi anggota mudah untuk mencari dan menghubungi partai?). Tingkat
inklusifitas juga ditentukan oleh alasan-alasan partai memilih untuk
mengecualikan pendukung dari hak keanggotaan. Ini mungkin jenis yang
semua individu cepat atau lambat dapat diatasi (contoh, partai mungkin
mengecualikan bagi mereka yang dibawah usia tertentu), atau mereka
mungkin lebih permanen bagi golongan individu tertentu (contoh, beberapa
partai menolak untuk mengakui mereka bukan dari ras atau agama tertentu)


37
Ibid, hal. 30.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


29

Partai yang paling inklusif adalah mereka yang menghilangkan semua


perbedaan antara anggota dan pendukung. Partai yang inklusifnya tinggi
kekurangan mengatur jadwal hak/iuran dan prosedur untuk keanggotaan
nasional, dan mereka bahkan dapat memberikan pendukung yang tidak
terdaftar hak penuh untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan
dan sponsor bagi kegiatan partai.

Meski inklusifitas di dalam proses rekrutmen belum tentu menjamin bahwa


proses tersebut berjalan secara demokratis, dan sebaliknya proses yang dikatakan
eksklusif juga tidak selalu otoriter, namun secara normatif, semakin inklusif
proses rekrutmen yang berjalan maka dikatakan semakin demokratis. Proses
penentuan calon di dalam rekrutmen politik merupakan implementasi dari
demokrasi internal partai. Adanya persaingan dan pertarungan di internal partai
mendorong terciptanya demokratisasi partai agar terjadi keseimbangan kekuasaan
di dalam partai politik diantara faksi-faksi personal, kelompok-kelompok
ideologis, perbedaan generasi, dan kelompok lain yang ada di dalam suatu partai
politik.38
Permasalahan yang seringkali muncul pada proses rekrutmen dan seleksi
kandidat adalah proses rekrutmen dan seleksi dianggap sebagai rahasia partai,
sehingga tidak dapat diketahui oleh publik. Karena rahasia, publik tidak dapat
mengetahui kriteria seleksi yang dilakukan dan siapa saja yang menentukan di
dalam proses seleksi tersebut. Proses rekrutmen dan seleksi biasanya dipengaruhi
oleh asal-usul pembentukan partai. Kebanyakan partai politik di Indonesia, tidak
dibentuk dari bawah melainkan dibentuk oleh elit-elit politik. Hal tersebut
membuat konsekuensi dari pembentukan partai yang cenderung elitis. Meski
secara formal terdapat mekanisme dalam pembuatan keputusan, namun
realisasinya sangat ditentukan oleh elit atau figur dominan di partai. Mekanisme
seperti inilah yang membuat partai politik menjadi lemah, seperti yang dikatakan
Reuven Hazan,

“If the party does not function as filtering mechanism, then the key actors in
the process may become the candidates themselves, who will mobilize
supporters directly, the whole selection process could then be driven by the
candidates and not by the parties. The result could be a weakening of


38
Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat. Op.Cit, hal.10.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


30

partisan discipline and cohesiveness, leading to a decline in the ability of


theparties to function as a stable basis for the political process and to
operate effectively in the parliamentary arena.”39

Jika partai tidak berfungsi sebagai mekanisme penyaring, kemudian aktor-


aktor kunci dalam proses mungkin menjadi kandidat yang akan
memobilisasi dukungan secara langsung, keseluruhan proses seleksi akan
dikendalikan oleh para kandidat dan bukan oleh partai. Hasilnya dapat
memperlemah ikatan dan disiplin partai yang akan menurunkan kemampuan
partai dalam melaksanakan fungsinya sebagai basis yang stabil bagi proses
politik dan dalam melaksanakan fungsinya secara efektif di parlemen.

Barbara Geddes membagi rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai


politik menjadi 4 model 40, yaitu:
1) Partisanship. Yaitu rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai politik
dengan mempertimbangkan loyalitas kepada partai, dan kurang
memperhatikan kompetensi.
2) Meritocratic. Yaitu rekrutmen politik dari kalangan yang mempunyai
kompetensi yang tinggi seperti pengusaha, teknokrat, guru, dan pekerja
ahli.
3) Compartementalization. Yaitu rekrutmen politik yang dilakukan berdasar
pertimbangan pragmatis, bisa berdasar meritokrasi maupun pengangkatan
lain untuk memperoleh dukungan jangka pendek maupun
mengembangkan pengikut yang loyal.
4) Survival. Yaitu rekrutmen politik yang didasarkan pada prinsip balas jasa
dan sumber daya pelamar dan cenderung bersifat patronase.


39
Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat dalam Democracy Within Parties, Candidate Selection
Methods and Their Political Consequences (2010: 9).
40
Barbara Geddes dalam Politicians Dilema: Building State Capacity in Latin America (1996:
142-181).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


31

1.8 Alur Berpikir

Implementasi UU No.2/2011 tentang Partai Politik, Bab II


Pasal 2 ayat (1b) dan ayat (5) kedalam ART Partai Gerindra
pada Bab II Pasal 7 Ayat (5)

Rekrutmen Anggota Perempuan dalam Kepengurusan DPP


Partai Gerindra Periode 2014-2019

Demokrasi Internal Perjuangan Pengurus


Partai Gerindra: Pola Perempuan DPP pada
Rekrutmen Perempuan di periode sebelumnya dan
DPP, Kriteria PIRA untuk merekrut
Keterpilihan Pengurus anggota perempuan

1.9 Metode Penelitian


Metode penelitian yang akan digunakan di dalam penelitian menggunakan
prosedur kualitatif. Penelitian dengan prosedur kualitatif merupakan penelitian
interpretif, dimana peneliti turut terlibat dengan pengalaman yang berkelanjutan
dengan partisipan.41 Berikut adalah langkah-langkah yang akan dilakukan di
dalam penelitian:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data di dalam penelitian berguna untuk membatasi penelitian
agar fokus terhadap upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pengumpulan
informasi dan data dilakukan melalui observasi, wawancara, mencatat informasi,
penggunaan data kepustakaan, serta melalui informasi elektronik. Lokasi
observasi yang dipilih adalah kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra yang
menjadi basis dari berkumpulnya objek penelitian dan kantor atau lokasi lain
tempat informan dapat dijumpai diluar kantor Dewan Pimpinan Pusat. Individu-
individu yang menjadi partisipan dalam penelitian merupakan anggota perempuan


41
Creswell, dalam Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Third Edition
(2010: 264).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


32

yang menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat, khususnya yang menduduki


jabatan sebagai Wakil Ketua Umum dan Kepala Bidang, dan Pengurus Perempuan
Indonesia Raya (PIRA). Pemilihan jabatan tersebut dianggap merepresentasikan
keterwakilan politik perempuan di dalam internal Partai Gerindra.
Salah satu peristiwa penting yang dijadikan acuan dalam pengumpulan data
adalah Kongres Luar Biasa Partai Gerindra yang dilakukan pada 20 September
2014. Data-data berupa informasi seperti dokumen, rekaman, serta dokumentasi
lainnya, digunakan untuk menjelaskan proses rekrutmen dalam pemilihan
pengurus Dewan Pimpinan Pusat, khususnya anggota perempuan. Wawancara
juga dilakukan kepada anggota tim formatur Kongres Luar Biasa untuk memilih
pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Periode 2014-2019.
Pengumpulan data dengan observasi langsung dan wawancara dilakukan untuk
mengamati perilaku dan aktivitas objek penelitian. Perekaman dan pencatatan
juga diperlukan baik secara terstruktur maupun semistruktur (dengan pertanyaan
yang memang ingin diketahui).
Tabel 1.2
Daftar Informan

No. Nama Jabatan


1. Dr. Sumarjati Arjoso Ketua Umum Bidang Pengembangan Sumber
Daya Manusia
2. Marwah Daud Ibrahim, Ketua Umum Bidang Koperasi, UMKM, dan
Ph.D Ekonomi Kreatif
3. Jasmin B. Setiawan Ketua Bidang Ekonomi Kreatif
4. Dr. Ir. Endang S. Ketua Harian Pengurus Pusat Perempuan
Thohari, DESS, M.Sc Indonesia Raya (PP PIRA)
5. Rahayu D. Ketua Bidang Advokasi Perempuan
Djojohadikusumo
6. Dra. Anita Ariyani Ketua Bidang Perlindungan dan
Pemberdayaan Perempuan
7. Bianti Djiwandono, MA Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra dan
PIRA

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


33

8. Noudhy Valdryno, BA Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan


Mahasiswa
9. Martina Staf Sekretariat DPP Partai Gerindra
10. Ir. Pertiwi Awilda, MBA Wakil Sekretaris Umum I Pengurus Pusat
Perempuan Indonesia Raya (PP PIRA)
11. Priscillia E. Mantiri, ST, Ketua Bidang Wawasan Nusantara
MT
12. Fadli Zon, SS, M.Sc Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam
Negeri, Hubungan Antar Partai dan
Pemerintahan
13. Retno Sari Widowati Ketua Bidang Perlindungan dan
Pemberdayaan Kaum Difabel

b. Analisis dan Interpretasi Data


Proses analisis data secara menyeluruh melibatkan upaya-upaya dalam
memaknai data baik berupa teks atau dokumentasi gambar dan rekaman. Analisis
dilakukan sejak diperolehnya data pertama kali baik wawancara dan observasi
langsung. Model analisis lainnya yang digunakan adalah menggunakan artikel
atau jurnal ilmiah serta buku-buku ilmiah lain yang menunjang masalah
penelitian. Dalam strategi analisis data, digunakan penelitian naratif yang
melibatkan penceritaan kembali partisipan (objek) penelitian untuk mendukung
validitas serta keakuratan hasil analisis. Untuk memastikan keakuratan dan
validitas analisis data, dilakukan langkah-langkah pemeriksaan kembali terhadap
kredibilitas hasil penelitian. Langkah-langkah tersebut diantaranya adalah
memeriksa kebenaran bukti-bukti yang berasal dari sumber data, membawa
kembali hasil penelitian atau laporan akhir kepada partisipan penelitian untuk
memeriksa akurasinya, membuat deskripsi yang padat dan rinci, serta
memanfaatkan waktu panjang di lokasi penelitian.

1.10 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan di dalam tulisan ini dijabarkan sebagai berikut: Bab I
“Pendahuluan”, merupakan bagian awal dari penelitian. Bab ini menjelaskan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


34

tentang, Latar Belakang; Permasalahan; Pertanyaan Penelitian; Tujuan Penelitian;


Manfaat Penelitian; Kajian Literatur; Kerangka Teori; Alur Berpikir; Metode
Penelitian; dan Sistematika Penulisan. Bab II “Profil dan Pandangan Partai
Gerindra Terhadap Perempuan di Internal Partai”, bab ini menjelaskan tentang
Profil Partai Gerindra: Sejarah Terbentuknya Partai, Ideologi Partai; AD/ART
Partai Gerindra; Visi, Misi, Tujuan, dan Fungsi Partai Gerindra; Pandangan Partai
Gerindra terhadap Perempuan: Pokok Perjuangan Bidang Hak-Hak Perempuan,
Organisasi Sayap Partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Program Partai
dalam Pemberdayaan Perempuan; dan Penerapan Kebijakan Afirmatif dalam
AD/ART.
Bab III “Rekrutmen Anggota Perempuan dalam Kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra Periode 2014-2019”, bab ini menjelaskan tentang
Struktur Kelembagaan dan Demokrasi Internal Partai Gerindra; Proses Rekrutmen
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Periode 2014-2019; Pola Rekrutmen Perempuan
di Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Periode 2014-2019; Perempuan dan
Rekrutmen: Perjuangan dan Hambatan Perempuan Partai Gerindra di dalam
Proses Rekrutmen, Faktor Pendidikan di dalam Rekrutmen.
Bab IV “Keterwakilan Politik Perempuan di Partai Gerindra dan Peran
Perempuan Indonesia Raya (PIRA)”, bab ini menjelaskan tentang Representasi
Politik Perempuan di DPP dalam Pengambilan Keputusan; Peran Perempuan
Indonesia Raya (PIRA): Pelatihan Kader Perempuan Partai Gerindra, Peningkatan
Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra dan Anggota PIRA, dan Peran PIRA
dalam Rekrutmen Pengurus Dewan Pimpinan Pusat.
Bab V “Penutup”, bab ini menjelaskan tentang Kesimpulan dan Implikasi
Teori yang digunakan untuk memecahkan pertanyaan penelitian.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


35

BAB 2
PROFIL DAN PANDANGAN PARTAI GERINDRA TERHADAP
PEREMPUAN DI INTERNAL PARTAI

Partai politik merupakan jalur paling efektif yang dapat digunakan oleh
perempuan untuk meningkatkan jumlah keterwakilannya secara signifikan. Partai
politik dapat menjadi harapan untuk meningkatkan aspirasi dan kepentingan
1
perempuan. Perempuan harus memasuki lembaga politik formal seperti partai
politik, sehingga aspirasi dan kepentingan perempuan akan terwujud. Bab ini
menjelaskan tentang profil Partai Gerindra yang mencakup sejarah terbentuknya,
ideologi, visi dan misi, tujuan dan fungsi, serta pandangan Partai Gerindra
terhadap perempuan di internal partai yang mencakup pokok perjuangan di bidang
hak perempuan, organisasi sayap partai Perempuan Indonesia Raya, program
partai di bidang pemberdayaan perempuan dan implementasi kebijakan afirmatif.

2.1 Profil Partai Gerindra


2.1.1 Sejarah Terbentuknya Partai
Pada perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta, terjadi perbincangan
diantara intelektual muda Fadli Zon dan pengusaha Hashim Djojohadikusumo.
Pada waktu itu, tepatnya bulan November 2007, keduanya membahas mengenai
isu politik terkini. Menurut keduanya, permasalahan politik saat itu jauh dari nilai-
nilai demokrasi yang sesungguhnya. Mereka menganggap bahwa demokrasi sudah
dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki kapital atau modal besar dan tidak
bertanggung jawab. Hal tersebut mengakibatkan rakyat hanya jadi alat kekuasaan,
bahkan siapapun yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi dan politik akan dengan
mudah jadi korban dari penguasa ekonomi dan politik. Secara kebetulan, salah
satu pihak yang menjadi korban hal tersebut adalah Hashim Djojohadikusumo
sendiri.
Hashim Djojohadikusumo diperkarakan ke pengadilan dengan tuduhan
mencuri benda-benda purbakala dari Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah.
Fadli Zon mengatakan, “padahal Pak Hashim ingin melestarikan benda-benda


1
Nuri Soeseno.Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


36

cagar budaya”. Ia menganggap bahwa apabila keadaan ini dibiarkan, negara hanya
akan diperintah oleh para mafia. Fadli Zon kemudian mengutip kata-kata politisi
Inggris pada abad kedelapan belas, yaitu Edmund Burke “The only thing
necessary for the triumph (of evil) is for good men to do nothing” atau bila
diterjemahkan yaitu “Jika orang baik tidak berbuat apa-apa, maka para penjahat
yang akan bertindak.” Terinspirasi dengan kata-kata tersebut, Hashim
Djojohadikusumo pun setuju apabila ada sebuah partai politik baru yang
memberikan haluan dan harapan baru. Tujuannya, agar negara ini dapat dipimpin
oleh manusia yang memperhatikan kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk
kepentingan golongan atau kelompoknya saja. Sementara kondisi yang sedang
berjalan saat itu, justru memaksakan demokrasi di tengah himpitan kemiskinan,
yang hanya berujung pada kekacauan.
Gagasan pendirian partai politik pun kemudian dibicarakan di lingkaran
Keluarga Djojohadikusumo, terutama orang-orang Hashim Djojohadikusumo dan
Prabowo Subianto. Rupanya, tidak semua pihak keluarga setuju dengan rencana
tersebut. Beberapa pihak ada yang menolak dengan alasan, jika ingin ikut terlibat
di dalam proses politik, lebih baik masuk ke dalam partai politik yang sudah ada.
Pada saat itu, Prabowo Subianto merupakan anggota Dewan Penasehat Partai
Golkar, yang secara normatif dapat mengajukan diri untuk maju menjadi Ketua
Umum Partai Golkar. Namun, pada waktu itu Ketua Umum Partai Golkar yaitu
Jusuf Kalla tengah menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Fadli Zon mengatakan, “Mana mau Jusuf Kalla
memberikan jabatan Ketua Umum Golkar kepada Prabowo Subianto?” Pada tahun
2004, di dalam Konvensi Partai Golkar, Prabowo Subianto hanya berada di
peringkat ke 5 (lima) dengan perolehan 39 suara.
Setelah perdebatan yang cukup panjang dan alot, dicapai suatu kesepakatan
bahwa perlu ada partai politik baru yang benar-benar memiliki manifesto
perjuangan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mematangkan konsep partai baru
tersebut, pada Desember 2007 di sebuah rumah yang digunakan sebagai markas
IPS (Institute for Policy Studies) di Bendungan Hilir, berkumpul sejumlah orang-
orang yaitu Fadli Zon, Ahmad Muzani, M. Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida
Hatta, Tanya Alwi dan Haris Bobihoe. Mereka membicarakan mengenai

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


37

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai yang akan
dibentuk. Fadli Zon mengatakan, “pembahasan dilakukan siang dan malam”.
Pada proses pembuatan AD/ART partai yang menguras waktu dan tenaga,
Fadli Zon sempat dirawat di rumah sakit. Fadli Zon tidak tahu lagi bagaimana
kelanjutan partai baru ini. Ia merasa pesimistis dengan gagasan pembentukan
partai baru itu apakah akan terus berlanjut. Namun diluar dugaan, ketika Hashim
Djojohadikusumo datang menjenguknya di rumah sakit, Hashim tetap antusias
pada gagasan awal untuk mendirikan partai politik baru. Akhirnya, proses
pembentukan partai pun terus dilakukan secara maraton. Hingga pada akhirnya,
nama Gerindra muncul, diciptakan oleh Hashim sendiri. Berdasarkan anggaran
dasar partai, partai ini bernama Partai Gerakan Indonesia Raya atau disingkat
Partai Gerindra. Sedangkan untuk lambang partai berupa kepala burung garuda
digagas oleh Prabowo Subianto.
Pembentukan Partai Gerindra dapat dikatakan mendesak, sebab
dideklarasikan berdekatan dengan waktu pendaftaran dan masa kampanye
pemilihan umum, yaitu pada tanggal 6 Februari 2008. Dalam deklarasi tersebut,
termaktub visi, misi, dan manifesto perjuangan partai, yakni terwujudnya tatanan
masyarakat indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan
makmur serta beradab dan berketuhanan yang berlandaskan Pancasila
sebagaimana tertera di dalam pembukaan UUD NRI tahun 1945. Seperti yang
dikutip dari Mella Muthia mengenai pernyataan dari Fadli Zon, yang mengatakan

“Ide pendirian partai kebetulan datang dari diri saya sendiri, sekitar bulan
November 2007, saya bicara dengan Pak Hashim Djojohadikusumo.
Kemudian juga saya sampaikan ke Pak Prabowo ketika itu masih menjadi
anggota dewan penasehat Golkar, kemudian Pak Prabowo menyetujui
perlunya pendirian partai. Kemudian dirancanglah, saya termasuk di
dalamnya untuk membuat AD/ART, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra,
saya ketuanya. Lalu partai ini dideklarasikan pada tanggal 6 Februari 2008,
ikut verifikasi hukum dan ham yang hanya persiapan 2 minggu ketika itu
dan akhirnya dinyatakan lolos pada akhir Februari 2008. Baru kemudian
memasuki tahapan verifikasi administrasi dan verifikasi actual bulan April
sampai Juni 2008.” 2


2
Wawancara dengan Fadli Zon pada 7 Juli 2011, di Fadli Zon Library Bendungan Hilir, pukul
11.30 dikutip dari Mella Muthiadalam Rekrutmen Calon Anggota Legislatif DPR RI Partai
Gerindra Dapil DKI Jakarta Pada Pemilu 2009 (2011: 30).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


38

Sebelum nama Gerindra muncul, para pendiri partai ini seperti Prabowo
Subianto, Hashim Djojohadikusumo, Fadli Zon dan Muchdi Pr juga memikirkan
nama yang tepat untuk partai ini. Pada waktu itu tepatnya di Bangkok, Thailand,
mereka berkumpul dalam rangka SEA Games Desember 2007, untuk mendukung
tim Indonesia, yaitu cabang olahraga polo dan pencak silat yang berhasil lolos
untuk dipertandingkan di sana. Kehadiran Prabowo Subianto di ajang tersebut
adalah sebagai Ketua IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia). Namun ajang
kumpul-kumpul tersebut kemudian dimanfaatkan untuk membahas nama dan
lambang partai.
Nama partai harus menunjukkan karakter dan ideologi yang nasionalis dan
kerakyatan sebagaimana yang tertera didalam manifesto Gerindra. Dalam
pertemuan itu, tersebutlah nama “Partai Indonesia Raya”. Nama tersebut
sebenarnya pernah digunakan di masa lalu, yakni PIR (Partai Indonesia Raya) dan
Parindra. “Kalau begitu pakai kata ‘gerakan’, jadi Gerakan Indonesia Raya,” ucap
Hashim Djojohadikusumo dengan penuh semangat. Seluruh peserta rapat pun
kemudian menyetujuinya dengan pertimbangan mudah untuk diucapkan dan
mudah untuk diingat oleh rakyat. Gerindra, singkatan nama partai itu juga
dianggap mudah diingat oleh masyarakat.
Setelah membicarakan masalah nama partai, rapat dilanjutkan dengan
membicarakan lambang partai. Muncul ide untuk menggunakan gambar burung
garuda. Namun, lambang burung garuda sudah pernah digunakan oleh partai
politiklain. Simbol lain yang berasal dari Pancasila yang tergantung di dada
garuda, seperti bintang, padi kapas, rantai, kepala banteng dan pohon beringin,
sudah digunakan oleh partai yang telah ada sekarang. Untuk menemukan lambang
yang tepat, Fadli Zon mengadakan survei kecil-kecilan. Dari survei tersebut,
sebagian masyarakat memilih apabilalambang harimau dapat digunakan oleh
Partai Gerindra karena harimau merupakan binatang yang kuat, perkasa, dan
menggetarkan lawan bila mengaum. Namun, Prabowo Subianto memiliki ide lain,
yaitu kepala burung garuda, hanya bagian kepalanya saja. Gagasan itu
disampaikan oleh Prabowo Subianto sendiri, yang juga disetujui oleh para pendiri
partai yang lain. Nama dan lambang partai dianggap menggambarkan semangat
kemandirian, keberanian dan kemakmuran rakyat. Kepala burung garuda yang

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


39

menghadap ke kanan, melambangkan keberanian dalam bersikap dan bertindak.


Sisik di leher berjumlah 17, jengger dan jambul 8 buah, bulu telinga 4 buah, dan
bingkai gambar segi lima yang seluruhnya mengandung arti hari kemerdekaan,
17-8-1945. 3

2.1.2 Ideologi Partai


Partai Gerindra berpijak dan berpegang pada landasan kedaulatan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perjuangannya di ranah politik, Partai
Gerindra memiliki jati diri partai yaitu 4:
1. Kebangsaan (nasionalisme), Partai Gerindra merupakan partai yang
berwawasan kebangsaan yang berpegang teguh pada karakter nasionalisme
yang kuat, tangguh, dan mandiri. Wawasan kebangsaan ini menjadi jiwa
dalam segala aspek kehidupan berbangsa, baik kehidupan politik,
ekonomi, sosial, budaya maupun keagamaan.
2. Kerakyatan, Partai Gerindra merupakan partai yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah atas Republik
Indonesia. Keberpihakan pada kepentingan rakyat merupakan sebuah
keniscayaan.
3. Religius, Partai Gerindra merupakan partai yang memegang teguh nilai-
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kebebasan menjalankan agama
dan kepercayaan masing-masing. Nilai-nilai religius senantiasa menjadi
landasan bagi setiap jajaran pengurus, anggota, dan kader Partai Gerindra
dalam bersikap dan bertindak.
4. Keadilan Sosial, Partai Gerindra merupakan partai yangmencita-citakan
suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial, yakni masyarakat yang
adil secara ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan kesetaraan gender.
Keadilan sosial harus didasari atas persamaan hak, pemerataan, dan
penghargaan terhadap hak asasi manusia.


3
“Sejarah Partai Gerindra” Diakses pada tanggal 2 April 2016. Website resmi Partai Gerindra
<partaigerindra.or.id/sejarah-partai-gerindra>.
4
Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


40

Jati diri Partai Gerindra seperti yang disebutkan diatas, ditegaskan dalam
mukadimah manifesto perjuangan Partai Gerindra sebagai berikut 5:

“Bahwa cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan tatanan


masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil
dan makmur serta beradab dan berketuhanan yang berlandaskan Pancasila,
sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945, merupakan tujuan bersama dari seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita
kemerdekaan tersebut hanya dapat dicapai dengan mempertahankan
persatuan dan kesatuan bangsa, serta membangun segala kehidupan secara
seimbang lahir dan batin dengan landasan Pancasila. Selanjutnya kehidupan
bangsa yang lebih maju, modern, dan mandiri menuntut pembaruan terus-
menerus melalui usaha-usaha yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan zaman dengan tetap memelihara
nilainilai luhur dan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam menghadapi
perkembangan zaman dan globalisasi, identitas dan jatidiri bangsa tetap
menjadi fondasi utama untuk memperjuangkan kepentingan nasional dan
tatanan baru. Terjadinya penyelewengan terhadap cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945 dan UUD 1945 di berbagai bidang perlu dikoreksi. Haluan
baru dan tatanan baru bagi kehidupan bangsa dan Negara Republik
Indonesia harus dilandaskan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945. Hakikat tatanan baru adalah sikap mental yang menuntut
pembaharuan dan pembangunan yang terus-menerus dalam rangka
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945”

Mengenai permasalahan penyelewengan terhadap cita-cita proklamasi 17


Agustus 1945 dan UUD 1945, hal tersebut ditegaskan oleh Fadli Zon yang
merupakan salah satu pendiri Partai Gerindra sebagai berikut:

“Amandemen 45 banyak menyimpang dari roh aslinya. Misal, pasal 33


ditambah lagi ayat 4 ayat 5 yang membuat itu menjadi sumir dan tidak jelas,
sehingga membuat pintu masuk Undang-Undang yang liberal, misalnya
Undang-Undang penanaman modal, Undang-Undang migas, Undang-
Undang sumberdaya alam, itu kan liberal. Misalnya kepemilikan asing di
Indonesia itu kan bisa melebihi 51%. Mereka bisa sewa tanah selama 99
tahun, apa itu bukan liberal namanya. Tidak ada di Negara lain seperti itu.
Carrefour bisa masuk ke tengah kota dengan radius yang pendek dari pasar
tradisional” 6


5
Ibid.
6
Kutipan wawancara dengan Fadli Zon yang diambil dari Mella Muthia, Op.Cit., hal 39-40.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


41

2.2 AD/ART Partai Gerindra


2.2.1 Anggaran Dasar Partai Gerindra
Anggaran Dasar Partai Gerindra pada Bab I tentang nama, waktu,
kedudukan dan wilayah menjelaskan pada Pasal 1, Partai ini bernama Partai
Gerakan Indonesia Raya, disingkat Partai Gerindra; Pasal 3 menjelaskan Dewan
Pembina dan Dewan Pimpinan Pusat Partai, berkedudukan di Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bab II tentang azaz, bentuk, jati diri, dan watak
dijelaskan pada pasal 5 Partai Gerindra berazaskan Pancasila dan UUD 1945;
Pasal 6 Partai Gerindra adalah partai rakyat berbasis kader; Pasal 7 jati diri Partai
Gerindra adalah kebangsaan, kerakyatan, religius, dan keadilan sosial; Pasal 8
Watak Partai Gerindra adalah demokratis, merdeka, pantang menyerah,
berpendirian teguh, percaya pada kekuatan sendiri dan kekuatan rakyat, terbuka,
dan taat hukum serta senantiasa berjuang untuk kepentingan rakyat.
Keanggotaan dan kader diatur dalam Bab V Pasal 14 ayat (1) dimana
anggota Partai Gerindra adalah warga negara Republik Indonesia yang setia
kepada Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dengan sukarela mengajukan permohonan menjadi anggota; Pasal 15 tentang
kader Partai Gerindra adalah anggota partai yang merupakan tenaga inti dan
penggerak partai, pembentukan kader Partai Gerindra dilaksanakan melalui
seleksi kaderisasi secara berjenjang didalam pendidikan dan latihan kader; Strata
kader Partai Gerindra adalah : (1) Kader Penggerak, (2) Kader Pratama, (3) Kader
Muda, (4) Kader Madya, (5) Kader Utama, (6) Kader Manggala.
Organisasi, wewenang, dan kewajiban diatur dalam Bab VII pada Pasal 18
(a) Organisasi Partai Gerindra tingkat pusat terdiri dari Dewan Pembina, Dewan
Penasehat, Dewan Pakar, dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP); Pasal 20 tentang
Dewan Pimpinan Pusat disebutkan bahwa (1) Dewan Pimpinan Pusat adalah
Dewan Pelaksana tertinggi Partai Gerindra yang bersifat kolektif, (2) memiliki
wewenang:
1. Membuat program kerja tahunan dan peraturan Partai Gerindra di tingkat
nasional berdasarkan kebijakan Dewan Pembina atas persetujuan Ketua
Dewan Pembina dan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


42

Tangga, Keputusan Kongres atau Kongres Luar Biasa dan Rapat Pimpinan
Nasional.
2. Menetapkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah berdasarkan keputusan
Musyawarah Daerah yang menetapkan calon-calon Ketua Dewan
Pimpinan Daerah atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
3. Menetapkan Ketua Dewan Pimpinan Cabang berdasarkan keputusan
Musyawarah Cabang yang menetapkan calon-calon Ketua Dewan
Pimpinan Cabang atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
4. Menetapkan pergantian dan penyempurnaan susunan personalia pengurus
partai tingkat Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah dan
Dewan Pimpinan Cabang atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
5. Menetapkan susunan personalia Dewan Penasehat Pusat dan Dewan
Pakaratas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
6. Menetapkan dan mengajukan bakal calon anggota legislatif DPR dan
DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Gerindra atas
persetujuan Ketua Dewan Pembina.
7. Menetapkan dan mengajukan pimpinan fraksi dan alat kelengkapan MPR
atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
8. Menetapkan dan mengajukan Pimpinan Dewan, Pimpinan fraksi DPR
serta alat kelengkapan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
9. Menetapkan dan mengajukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden
dari Partai Gerindra atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
10. Menetapkan dan mengajukan calon Menteri, Duta Besar, jabatan dalam
pemerintahan dan jabatan publik lainnya dari Partai Gerindra atas
persetujuan Ketua Dewan Pembina.
11. Memberi rekomendasi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dari
Partai Gerindra atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
12. Memberi rekomendasi calon Bupati/Walikota dan calon Wakil
Bupati/Wakil Walikota dari Partai Gerindra atas persetujuan Ketua Dewan
Pembina.
13. Menyelesaikan perselisihan kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


43

14. Memberikan penghargaan sesuai ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran


Rumah Tangga atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
15. Memberikan sanksi sesuai ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga, berdasarkan putusan sidang Majelis Etik dan Kehormatan.
16. Menyelenggarakan Kongres dan Kongres Luar Biasa atas persetujuan
Ketua Dewan Pembina.
17. Menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional atas persetujuan Ketua
Dewan Pembina.
18. Menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional atas persetujuan Ketua Dewan
Pembina.
19. Menyelenggarakan Konferensi Nasional atas persetujuan Ketua Dewan
Pembina.
20. Membentuk Badan dan atau Lembaga untuk tugas-tugas tertentu di tingkat
pusatdan daerah atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
21. Menjalin hubungan dan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan,
badan atau lembaga lain dan partai politik atas persetujuan Ketua Dewan
Pembina.
22. Menyelenggarakan Musyawarah Daerah Luar Biasa.
23. Membentuk Organisasi Sayap atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.
24. Melaksanakan pergantian antar waktu (PAW) terhadap anggota DPR dan
DPRD sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
25. Melaksanakan pergantian calon terpilih anggota DPR dan DPRD sesuai
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
26. Memberhentikan Pengurus yang mengundurkan diri atas permintaan
sendiri, yang diberhentikan dan yang meninggal dunia serta yang pindah
partai di tingkat Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah dan
Dewan Pimpinan Cabang.
27. Memberhentikan Anggota Partai yang mengundurkan diri atas permintaan
sendiri, yang diberhentikan dan yang meninggal dunia serta yang pindah
Partai.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


44

28. Menunjuk dan menetapkan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pimpinan
Daerah dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang untuk mengisi kekosongan
jabatan atas persetujuan Ketua Dewan Pembina
29. Menetapkan Ketua Harian dan Wakil Ketua Harian DPP Partai Gerindra
atas permintaan Ketua Dewan Pembina.
Dewan Pimpinan Pusat memiliki kewajiban, Pertama, melaksanakan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres atau Kongres
Luar Biasa, Rapat Pimpinan Nasional, Kebijakan Dewan Pembina atas
persetujuan Ketua Dewan Pembina dan ketentuan partai lainnya; Kedua,
melaksanakan program kerja sesuai dengan hasil rapat kerja nasional; Ketiga,
memberikan pertanggungjawaban pada Kongres; Keempat, membentuk
kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah di provinsi pemekaran dan Dewan
Pimpinan Cabang di Kabupaten/kota pemekaran.7

2.2.2 Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra


Bab I mengenai Keanggotaan dan Kader pada Pasal 1 menyebutkan syarat
menjadi anggota Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) adalah : Pertama,
Warga Negara Indonesia yang setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua, berusia sekurang-
kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau telah menikah; Ketiga, bersedia mematuhi
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan dan Ketentuan serta
Peraturan Partai; Keempat,bersedia menyatakan diri menjadi Anggota.
Pasal 2 tentang kewajiban anggota, setiap anggota Partai Gerindra
berkewajiban: Pertama, mematuhi dan melaksanakan seluruh Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga; Kedua, mematuhi dan melaksanakan keputusan
Kongres dan ketentuan Partai serta Peraturan Partai; Ketiga, mengamankan dan
memperjuangkan kebijakan Partai; Keempat, membela kepentingan partai dari
setiap usaha dan tindakan yang merugikan Partai; Kelima,berpartisipasi aktif
dalam melaksanakan program perjuangan partai; Keenam, membayar iuran
anggota. Pasal 3 tentang hak anggota, setiap anggota Partai Gerindra berhak:
Pertama, memperoleh perlakuan yang sama; Kedua, mengeluarkan pendapat baik


7
Manifesto, AD/ART dan Program Aksi Partai Gerindra, hal. 28-36.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


45

lisan maupun tulisan; Ketiga, memilih dan dipilih; Keempat, memperoleh


perlindungan dan pembelaan; Kelima, diajukan untuk mengikuti Diklat kader;
Keenam, memperoleh penghargaan dan kesempatan mengembangkan diri;
Ketujuh, menghadiri kegiatan partai.
Pasal 4 ayat (1) berakhirnya keanggotaan karena mengundurkan diri atas
permintaan sendiri secara tertulis, diberhentikan, meninggal dunia, pindah ke
partai lain. Ayat (2) Anggota diberhentikan karena tidak lagi memenuhi syarat
sebagai anggota partai, melanggar Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan
atau Keputusan Kongres dan Rapat Pimpinan Nasional, melakukan tindakan atau
perbuatan tercela dan tindakan yang bertentangan dengan keputusan, kebijakan
dan atau Peraturan Partai, Pemberhentian yang dimaksud di atas pada sub ayat
juga berlaku bagi Pengurus Partai; Ayat (3) Pemberhentian sebagai anggota partai
diputuskan melalui sidang Majelis Kehormatan. Ayat (4) dalam hal anggota Partai
Gerindra yang diberhentikan adalah Anggota DPR dan atau DPRD maka
pemberhentian dari keanggotaan Partai Gerindra diikuti dengan pemberhentian
dari keanggotaan DPR dan atau DPRD sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ayat (5) anggota Partai yang diberhentikan dapat
mengajukan pembelaan diri ke Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Ayat (6)
ketentuan lebih lanjut tentang pemberhentian dan pembelaan diri Anggota Partai
diatur dalam Peraturan Partai.
Pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa Kader Partai adalah anggota yang telah
mengikuti pendidikan dan latihan Kader dan disaring atas dasar kriteria: Mental
ideologi; penghayatan terhadap visi, misi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga serta Manifesto Perjuangan Partai; Prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas
dan tidak tercela; Kepemimpinan; Militansi dan mandiri. Pada ayat (2) dijelaskan
bahwa Dewan Pimpinan Pusat dapat menetapkan seseorang menjadi Kader Luar
Biasa Partai berdasarkan prestasi yang luar biasa. Ayat (3) ketentuan lebih lanjut
tentang Kader serta Pendidikan dan latihan Kader diatur dalam Peraturan Partai.
Pasal 7 mengenai Dewan Pimpinan Pusat, ayat (1) menyebutkan Dewan
Pimpinan Pusat terdiri atas Pengurus Dewan Pimpinan Pusat dan Pengurus
Harian. Ayat (2) susunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat terdiri atas: Ketua
Umum, Wakil-wakil Ketua Umum, Ketua-ketua Bidang, Sekretaris Jenderal,

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


46

Wakil-wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Bendahara-bendahara,


Departemen-departemen. Ayat (3) Pengurus Harian terdiri atas: Ketua Umum,
Wakil-wakil Ketua Umum, Ketua-ketua Bidang, Sekretaris Jenderal, Wakil-wakil
Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Bendahara-bendahara. Ayat (4) Ketua
Harian dan Wakil Ketua Harian DPP Partai Gerindra ditunjuk oleh Ketua Dewan
Pembina. Ayat (5) Jumlah Pengurus Dewan Pimpinan Pusat sekurang-kurangnya
90 (sembilan puluh) orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Ayat (6) Kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat berkedudukan di Ibu Kota Negara.
Pasal 13 mengenai pengurus partai, dijelaskan pada ayat (1) Pengurus Partai
adalah anggota Partai Gerindra yang memiliki jabatan struktural sesuai strata
kader partai yang ditetapkan dengan surat keputusan partai. Ayat (2) Kualifikasi
menjadi Pengurus Partai: Mematuhi Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga
dan Manifesto Perjuangan Partai; Dinyatakan lulus Pendidikan dan Latihan Kader
Partai; Memiliki prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela; Memiliki
kapabilitas dan akseptabilitas; Bersedia meluangkan waktu dan sanggup
bekerjasama secara kolektif dalam Partai. Ayat (3) Setiap pengurus partai dilarang
merangkap jabatan dalam kepengurusan Dewan Pimpinan dan atau Pimpinan
Partai, yang bersifat vertikal.
Bab IX mengenai Pemilihan Pimpinan Partai Pasal 53 tentang tata cara
pemilihan Ketua Umum: di dalam Pasal 53 sebagai berikut: Ayat (1) Ketua
Umum Dewan Pimpinan Pusat memiliki kualifikasi sebagai kader manggala atau
kader utama. Ayat (2) Pemilihan calon-calon Ketua Umum Dewan Pimpinan
Pusat dilaksanakan oleh peserta kongres yang memiliki hak suara untuk memilih
17 (tujuh belas) orang calon-calon Ketua Umum yang selanjutnya diajukan
kepada Ketua Dewan Pembina. Ketua Dewan Pembina memilih dan menetapkan
Ketua Umum. Ayat (3) Ketua Umum atau Ketua terpilih ditetapkan sebagai ketua
formatur. Ayat (4) Penyusunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat dilakukan oleh
ketua formatur yang dibantu oleh 16 (enam belas) orang calon ketua umum
sebagai anggota formatur atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.8


8
Ibid, hal. 56-76.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


47

2.3 Visi, Misi, Tujuan, dan Fungsi Partai Gerindra


2.3.1 Visi dan Misi Partai Gerindra
Keberadaan Partai Gerindra didalam ranah politik nasional memiliki visi
menjadi partai politik yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat, keadilan
sosial, dan tatanan politik negara yang melandaskan diri pada nilai-nilai
nasionalisme dan religiusitas dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Partai Gerindra memiliki misi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara antara lain: Pertama, mempertahankan kedaulatan dan
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945; Kedua, mendorong pembangunan nasional yang menitikberatkan
pada pembangunan ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, dan pemeratan hasil-hasil pembangunan bagi seluruh warga bangsa
dengan mengurangi ketergantungan kepada pihak asing; Ketiga, membentuk
tatanan sosial dan politik masyarakat yang kondusif untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat; Keempat, menegakkan supremasi
hukum dengan mengedepankan praduga tak bersalah dan persamaan hak di depan
hukum; Kelima, merebut kekuasaan pemerintahan secara konstitusional melalui
Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden untukmenciptakan lapisan kepemimpinan
nasional yang kuat.9

2.3.2 Tujuan dan Fungsi Partai Gerindra


Di dalam Anggaran Dasar Partai Gerindra Bab IV Pasal 11 tentang tujuan
partai, disebutkan mengenai enam tujuan partai yaitu: Pertama, mempertahankan
dan mengamalkan Pancasila serta menegakkan Undang-Undang Dasar 1945,
sebagaimana ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, secara murni dan
konsekuen; Kedua, berjuang untuk memperoleh kekuasaan politik secara
konstitusional guna mewujudkan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia; Ketiga, menciptakan masyarakat
adil dan makmur, merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan


9
Ibid, hal.5.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


48

Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;


Keempat, mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka mengembangkan
kehidupan demokrasi Pancasila, yang menjunjung tinggi kejujuran dan
menghormati kebenaran, hukum, dan keadilan; Kelima, mewujudkan
kesejahteraan sosial melalui ekonomi kerakyatan dengan bertumpu pada kekuatan
bangsa, yang mengarah pada kedaulatan bangsa yang berdikari; Keenam,
menghimpun dan membangun kekuatan politik rakyat untuk mewujudkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang maju, modern, sejahtera, kuat, dan berdaulat.
Adapun fungsi partai disebutkan pada Pasal 12, yang terdiri dari delapan
fungsi, yaitu: Pertama, sarana pembentukan dan pembangunan karakter bangsa;
Kedua, mendidik dan mencerdaskan rakyat agar bertanggung jawab menggunakan
hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara; Ketiga, menghimpun,
merumuskan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara; Keempat, menghimpun, membangun dan
menggerakkan kekuatan rakyat untuk membangun masyarakat Pancasila; Kelima,
menghimpun persamaan sikap dan kehendak politik rakyat bersama dengan
elemen bangsa lainnya untuk mencapai cita-cita dalam mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945; Keenam, mempertahankan, mengemban, mengamalkan, dan
membela Pancasila; Ketujuh, menyerap, menampung, menyalurkan, dan
memperjuangkan aspirasi rakyat serta meningkatkan kesadaran politik rakyat;
Kedelapan, menyiapkan kader-kader pemimpin politik bangsa dengan
memperhatikan kompetensi, kapasitas, kapabilitas, integritas dan akseptabilitas
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.10

2.4 Pandangan Partai Gerindra terhadap Perempuan


2.4.1 Pokok Perjuangan Bidang Hak-Hak Perempuan
Partai Gerindra dalam manifesto perjuangannya memiliki pokok-pokok
perjuangan partai di berbagai bidang. Salah satu pokok perjuangan Partai Gerindra
adalah di bidang hak-hak perempuan. Partai Gerindra menganggap bahwa kaum
perempuan adalah kelompok mayoritas di Indonesia. Perjuangan yang


10
Anggaran Dasar Partai Gerindra, hal.30.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


49

dimaksudkan di dalam manifesto partai ditujukan bagi kemajuan perempuan dan


diarahkan untuk mendapat pengakuan serta perlakuan yang sama dengan kaum
laki-laki diberbagai bidang kehidupan. Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap
perempuan pada kenyataannya masih terjadi, padahal perempuan bukan
merupakan warga negara kelas dua yang dipinggirkan dan didiskriminasikan.
Partai Gerindra berupaya memperjuangkan pemberdayaan perempuan untuk ikut
serta memajukan bangsa dan terbebas dari diskriminasi, ketidakadilan
sertamarjinalisasi.
Faktor yang dianggap penting untuk meningkatkan kualitas hidup
perempuan menurut Partai Gerindra adalah pembuatan kebijakan publik yang
sensitif jender. Menurut Partai Gerindra, kaum perempuan harus berpartisipasi
aktif dalam dunia politik dan pengambilan kebijakan. Kurangnya peran
perempuan di sektor politik membuat perempuan menjadi objek dan korban dari
implementasi kebijakan yang tidak sensitif gender. Kaum perempuan juga harus
mendapatkan akses yang setara pada sektor ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan
adalah kekerasan berbasis gender atau kekerasan terhadap perempuan di ranah
publik maupun privat. Partai Gerindra berupaya untuk memperjuangkan
perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga,
serta perdagangan perempuan dan anak (human trafficking).
Partai Gerindra juga akan memperjuangkan hak-hak tenaga kerja perempuan
(Tenaga Kerja Wanita) yang bekerja diluar negeri untuk diperlakukan secara
manusiawi dan adil. Partai Gerindra akan berjuang untuk melawan tegas semua
Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap
perempuan. Pada tataran politik, kebijakan anggaran negara baik APBN maupun
APBD belum berpihak pada kepentingan perempuan. Hal ini terlihat nyata dari
kuatnya kecenderungan sektor-sektor pelayanan publik seperti kesehatan,
pendidikan, dan penempatan buruh migran yang tidak berpihak pada perempuan.
Kesehatan masyarakat yang masih buruk terutama kesehatan perempuan (ibu) dan
anak, angka putus sekolah dan buta huruf pada perempuan tetap tinggi, dan angka
kematian anak dan ibu melahirkan tetap tinggi. Partai Gerindra mendukung

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


50

kebijakan anggaran yang berpihak kepada perempuan untuk meningkatkan harkat


dan martabat perempuan Indonesia.11

2.4.2 Organisasi Sayap Partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA)


Untuk melaksanakan fungsi Partai Gerindra yaitu menyerap, menampung,
menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi dan meningkatkan kesadaran politik
rakyat serta menyiapkan kader untuk mengarahkan pemilih perempuan Indonesia
untuk memilih Partai Gerindra, dibentuk organisasi sayap partai perempuan yaitu
Perempuan Indonesia Raya (PIRA).12 Organisasi sayap Partai Gerindra ini
pertama kali didirikan pada tanggal 9 Oktober 2008 di Jl. Brawijaya IX No. 1,
Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Perempuan Indonesia Raya (PIRA) merupakan
sarana yang menunjang pelaksanaan program partai yang memiliki hubungan
hierarkis secara organisasi dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra.
Terbentuknya Perempuan Indonesia Raya (PIRA) semenjak awal
didirikannya Partai Gerindra merupakan salah satu dukungan Partai Gerindra
dalam mendorong lebih banyak lagi perempuan untuk masuk ke dalam politik.
dengan adanya peningkatan jumlah perempuan melalui kepengurusan internal
Partai Gerindra, diharapkan lebih banyak lagi kepentingan perempuan yang
menjadi agenda utama dan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang sensitif
gender. Seperti yang dikutip dari pernyataan Wakil Ketua Umum Bidang Politik
Dalam Negeri, Hubungan Antar Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc,

“Kita, saya kira sangat mendukung perempuan masuk ke dalam politik, dan
kita juga mendorong agar lebih banyak politisi di Partai Gerindra. oleh
karena itu kita memiliki sayap, namanya PIRA (Perempuan Indonesia
Raya). Ini termasuk sayap yang lahir sejak awal berdirinya partai. Ini salah
satu saringan untuk masuk ke dalam DPP juga, jadi dengan banyaknya
perempuan masuk di dalam politik, kita berharap akan semakin banyak
warna gitu ya, dan jadi bukan semata-mata untuk memenuhi kewajiban
Undang-Undang yang lalu, untuk kuota sampai 30%. Memang kendalanya
adalah tidak banyak perempuan yang antusias terhadap politik, mungkin
image politik yang dianggap seolah-olah ini adalah arena laki-laki, tentunya
itu adalah image dari sebagian besar orang dan juga mungkin ada yang
menghindari politik karena itu kotor, dan semacam itu. Tapi kan sebenarnya

11
Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya.
12
Surat Keputusan Pengurus Pusat Perempuan Indonesia Raya (PIRA) Nomor: 026/PIRA-
SK/KETUM/XII/2013.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


51

politik itu netral, oleh karena itu semakin banyak perempuan masuk dalam
politik, saya kira akan semakin bagus, karena pasti akan bisa mendorong
berbagai kebijakan yang sensitive gender. Jadi di Gerindra, kita kalau ada
aktifis perempuan atau dari latar belakang apapun yang mau bergabung, kita
sangat terbuka, tidak membatasi. Bahkan banyak dari pengurus di DPP juga
berlatar belakang perempuan.” 13

Pada Anggaran Dasar Perempuan Indonesia Raya (PIRA) Pasal 4 dijelaskan


tentang fungsi PIRA yaitu sebagai sarana perkumpulan perempuan yang
berdedikasi untuk kebesaran Partai Gerindra; wadah untuk menampung aspirasi
perempuan Indonesia yang ingin turut membesarkan Partai Gerindra; dan sarana
mengimplementasikan program-program Partai Gerindra yaitu membangun
Kejayaan Indonesia Raya. Pada Pasal 5 tercantum tujuan PIRA yang dijabarkan
sebagai berikut:
1. Menghimpun, menyalurkan, menyuarakan dan menyampaikan aspirasi
PIRA kepada Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) dan secara
tidak langsung kepada lembaga lainnya agar dijadikan pertimbangan
didalam pengambilan kebijakan dan keputusan bagi kemaslahatan rakyat
Indonesia pada umumnya dan perempuan khususnya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan dibidang politik dan
keorganisasian, diskusi, seminar, lokakarya, pelatihan kader dan sejenis,
guna meningkatkan kualitas anggota dalam bermasyarakat dan
berorganisasi.
3. Mengadakan dialog, membina hubungan dengan organisasi perempuan
lainnya, serta aktif mengikuti kegiatan-kegiatan perempuan tingkat daerah,
nasional, maupun internasional.
4. Mengimplementasikan program-program Partai Gerindra khususnya
Ekonomi Kerakyatan di bidang usaha ekonomi keluarga.


13
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar
Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc, di Gedung DPR RI. Selasa, 31 Mei 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


52

2.4.3 Program Partai dalam Pemberdayaan Perempuan


Sebagai organisasi sayap partai, Perempuan Indonesia Raya (PIRA)
bersinergi dengan Dewan Pimpinan Pusat dalam hal melaksanakan program-
program partai yang terkait dengan masalah perempuan. Sebagaimana tercantum
di dalam pasal 23 ayat (2) yang menyebutkan bahwa kebijakan organisasi sayap
harus sejalan dengan kebijakan partai disetiap tingkatan. Program sayap partai
Perempuan Indonesia Raya (PIRA) harus sejalan dengan visi dan misi Partai
Gerindra. Selain itu juga, program-program yang khususnya ditujukan bagi
pemberdayaan perempuan, harus sejalan dengan enam Program Aksi
Transformasi Bangsa Partai Gerindra (2014-2019) yang salah satunya
menyebutkan mengenai ekonomi kerakyatan.
Pada poin nomor 2 (dua) dari program aksi transformasi bangsa Partai
Gerindra tentang melaksanakan ekonomi kerakyatan, disebutkan sebagai berikut:
1. Memprioritaskan peningkatan alokasi anggaran untuk program
pembangunan pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan, dan koperasi
dan UMKM, dan industri kecil dan menengah.
2. Mendorong perbankan nasional dan lembaga keuangan lainnya untuk
memprioritaskan penyaluran kredit bagi petani, nelayan, buruh, pegawai,
industri kecil menengah, pedagang tradisional dan pedagang kecil lainnya.
3. Mendirikan Bank Tani dan Nelayan yang secara khusus menyalurkan
kredit untuk pertanian, perikanan dan kelautan serta memperbesar
permodalan lembaga keuangan mikro untuk menyalurkan kredit bagi
rakyat kecil, petani, nelayan, buruh, pedagang tradisional dan pedagang
kecil.
4. Melindungi dan memodernisasi pasar tradisional.
5. Melindungi dan memperjuangkan hak-hak buruh termasuk buruh migran
(TKI/TKW).
6. Membangun infrastruktur untuk rakyat melalui Delapan Program Desa
yaitu:
a) Jalan, Jembatan, dan Irigasi Desa dan Pesisir
b) Listrik dan Air Bersih Desa
c) Koperasi Desa, BUMDES, BUMP dan Lembaga Keuangan Mikro

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


53

d) Lumbung Desa
e) Pasar Desa
f) Klinik dan Rumah Sehat Desa
g) Pendidikan dan Wirausaha Muda Desa
h) Sistem Informasi Desa
7. Mendirikan Lembaga Tabung Haji.
8. Mempercepat implementasi reforma agraria untuk meningkatkan akses
dan penguasaan lahan yang lebih adil dan berkerakyatan, menyediakan
rumah murah sederhana bagi rakyat.
Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan oleh Ketua Harian Perempuan
Indonesia Raya (PIRA), Dr. Ir. Endang S. Thohari, DESS, M.Sc:

“Program sangat tergantung dengan visi misi Gerindra, karena PIRA adalah
sayap dari Gerindra. Salah satu diantaranya adalah pemberdayaan ekonomi
kerakyatan melalui perempuan dengan menggerakkan koperasi. Kenapa
koperasi? Karena sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 1,2,3 bahwa
ekonomi kerakyatan (bahwa koperasi memiliki nilai-nilai, selain menolong
dirinya sendiri juga bertanggung jawab untuk anggotanya) disitu juga ada
kesetaraan, kesetiakawanan, sehingga koperasi ini di Gerindra menjadi
prioritas utama.” 14

Di bidang ekonomi, program Perempuan Indonesia Raya (PIRA) berupaya


untuk mempertahankan potensi lokal. Partai Gerindra berpandangan bahwa gizi
masyarakat sekarang khususnya, dapat dikatakan rendah karena menggantungkan
pada produk import terutama gandum. Menurut Dr. Ir. Endang S. Thohari, DESS,
M.Sc, import gandum kita berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa angka
import gandum Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia padahal Indonesia
dikenal sebagai negara agraris-tropis, sehingga semua daerah di Indonesia
memiliki potensi lokal andalan. Pernyataan tersebut serupa dengan fakta
permintaan import gandum dalam negeri, seperti yang dikutip dari berita di media
online republika sebagai berikut:


14
Hasil wawancara dengan Ketua Harian Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Dr. Ir. Endang S.
Thohari, DESS, M.Sc di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Rabu, 6 April 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


54

“Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia Franciscus


Welirang mengatakan, permintaan impor gandum di dalam negeri
mengalami peningkatan. Pada 2014 Indonesia telah mengimpor lebih dari
tujuh juta ton gandum, sedangkan dari 29 pabrik penggilingan kapasitas
ekspornya mencapai 10,3 juta ton. Franciscus mengatakan, saat ini
Indonesia sudah menjadi peringkat tiga besar dunia untuk impor gandum.
Permintaan impor gandum mengikuti pertumbuhan GDP sekitar enam
sampai tujuh persen. Dengan perhitungan konservatif, peningkatan
akumulatifnya mencapai lima persen per tahun. Untuk menghasilkan satu
ton tepung terigu dibutuhkan impor gandum sebesar tujuh juta ton.
Penyerapan tepung terigu terbesar adalah produsen mi yang mencapai 55
persen, sedangkan produsen roti sebanyak 22 persen dan biskuit 18 persen.
Impor gandum mayoritas berasal dari Australia, Kanada, Amerika, Rusia,
Ukraina, Kazakhstan, India, Pakistan, Brasil, dan Argentina. Franciscus
memperkirakan permintaan tepung terigu sepanjang 2015 ini akan tumbuh
sekitar lima persen. Pada 2014 kebutuhan tepung terigu naik sebesar 5,4
persen atau sekitar 5,4 juta ton. Pada tahun ini, kebutuhan tepung terigu
diperkirakan akan mencapai 5,7 juta ton.” 15

Gandum pada kenyatannya hanya dapat tumbuh di daerah sub-tropis,


sehingga seharusnya gizi masyarakat harus dikembangkan dari potensi lokal yang
ada di Indonesia, bukan berasal dari import, diantaranya yaitu ubi, singkong,
keladi, jagung, kedelai, dan sebagainya. Semestinya, potensi lokal pertanian di
Indonesia dapat dikembangkan karena Indonesia pernah mendapat penghargaan
16
dari FAO atas pencapaian swasembada pangan pada tahun 1985. Indonesia
harusnya kembali kepada UUD 1945 karena di UUD 1945 Pasal 33 pada ayat 1-4
disebutkan:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.


15
Rizky Jaramaya, dalam Indonesia Jadi Salah Satu Pengimpor Gandum Terbesar Dunia,
diambil dari republika.co.id tanggal 5 April 2015.
16
Dikutip dari Tim Dokumentasi Presiden RI dalam Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 –
11 Maret 1988 (2003: 387).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


55

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi


ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga monopoli
pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber
daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya berada di tangan negara. Dalam
Pasal 33 ini menjelaskan bahwa perekonomian indonesia akan ditopang oleh 3
pelaku utama yaitu Koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan
Swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme
pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik
perseorangan. Berdasarkan hal tersebut, Partai Gerindra memiliki pandangan
bahwa ekonomi kerakyatan menjadi ujung tombak bagi perekonomian Indonesia.
Partai Gerindra sebagai pendatang baru di perpolitikan Indonesia, memprakarsai
secara komitmen dan konsisten mewujudkan cita-cita perjuangan dari para pendiri
negara Indonesia yang tercantum dalam pasal tersebut. Prabowo Subianto sebagai
Ketua Umum Partai Gerindra memiliki semangat untuk melaksanakan UUD 45
secara murni, karena menurutnya Indonesia sekarang ini sudah tergerus dengan
liberalisme yang semuanya ditentukan oleh pasar. Berdasarkan hal tersebut,
program-program yang dibuat oleh Perempuan Indonesia Raya (PIRA) mengarah
atau berkiblat kesana, sejalan dengan visi dan misi Partai Gerindra.
Adapun bidang-bidang dalam program pemberdayaan perempuan di Partai
Gerindra yang bersinergi dengan organisasi sayap partai Perempuan Indonesia
Raya (PIRA) adalah sebagai berikut: 17
1. Bidang Kesehatan
Pos Binaan Terpadu (Posbindu) rutin diadakan oleh Perempuan Indonesia
Raya (PIRA) setiap satu bulan sekali. Kegiatan ini merupakan program
Kementerian Kesehatan RI yang diselenggarakan lewat Partai Gerindra untuk

17
Hasil wawancara dengan Ketua Harian Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Dr. Ir. Endang S.
Thohari, DESS, M.Sc. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


56

mencegah penyakit seperti diabetes dan jantung. Pelayanan kesehatan yang


diberikan diantaranya adalah pemeriksaan tekanan darah atau tensi, gula darah,
kolesterol, konsultasi kesehatan dengan dokter, dan pemberian obat, vitamin,
susu, serta makanan ringan seperti kue tergantung dari pemberian donatur.
Posbindu kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan seperti Posyandu dimana
setiap kelurahan mempunyai 1 unit pelayanan dengan mengandalkan sumber daya
manusia masyarakat di lingkungan sekitar.
Posbindu yang diselenggarakan oleh Perempuan Indonesia Raya (PIRA)
pertama kali dilaksanakan pada April 2015 dan sampai saat ini telah melakukan
kegiatan pelayanan kesehatan sebanyak sepuluh kali. Target dari kegiatan ini
adalah masyarakat yang tinggal disekitar kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra karena mengingat kegiatan ini dilakukan di halaman parkir kantor DPP
Partai Gerindra. Selain itu, kegiatan pelayanan kesehatan ini juga ditujukan bagi
pengurus internal Partai Gerindra. Tujuan kegiatan Posbindu yang
diselenggarakan oleh Perempuan Indonesia Raya (PIRA) sebagai sayap partai,
selain untuk memberi pelayanan kesehatan, mendekatan silahturahmni dengan
masyarakat, juga untuk mendapatkan simpati dari masyarakat dan menambah
keanggotaan di dalam Partai Gerindra pada umumnya serta PIRA pada khususnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Anggota Pembina PIRA, Bianti Djiwandono,

“…ada juga seperti Posbindu, tetapi itu bukan khusus domestik tetapi itu
adalah memberi pelayanan kesehatan yang menurut kita sangat penting,
karena kita mesti tahu masalah di masyarakat itu apa” 18

2. Bidang Ekonomi
Menguatkan ekonomi kerakyatan merupakan bagian dari program
perjuangan Partai Gerindra dan karenanya harus menjadi pedoman bagi kegiatan
seluruh kadernya, termasuk anggota PIRA. Penguatan ekonomi kerakyatan
kemudian diimplementasikan dengan mempertahankan potensi lokal. Salah satu
kegiatan yang dilakukan oleh Perempuan Indonesia Raya (PIRA) adalah
memberdayakan para perempuan di Sukabumi, tepatnya di kampung manggis.


18
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA di kediamannya. Senin, 25 April 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


57

Partai Gerindra melalui PIRA memberdayakan perempuan untuk mengolah buah


manggis yang terkenal akan khasiatnya sebagai obat dengan memberdayakan
potensi lokal yang ada. Hal tersebut dikemukakan oleh Dr. Ir. Endang S. Thohari,
DESS, M.Sc,

“…kita selama ini di nina bobokan dengan iklan atau produk dari luar,
padahal bahannya berasal dari kita. Ibu-ibu kita diberi inovasi teknologi
untuk menjembatani supaya mereka mengerti, kita bekerja sama dengan
balai-balai penelitian, saya kebetulan adalah pensiunan kementrian
pertanian, jadi balai-balai yang ada di kementerian pertanian saya ajak
kerjasama untuk mensosialisasikan barang-barang atau hasil dari UKM
yang telah disertifikasi Balai Alih Teknologi Pertanian dan khususnya yang
ditemukan oleh para peneliti perempuan, contohnya karbol sereh. Sereh
terutama di bogor.. banyak korban karna nyamuk dapat menyebabkan
penyakit cikungunya, jadi karbol dari daun sereh manfaatnya besar. Kita
umumnya menggunakan obat nyamuk seperti baygon, dan sebagainya,
padahal ada potensi lokal kearifan lokal dari desa tersebut yang bisa
dikembangkan. Ini adalah potensi luang untuk bagaimana menciptakan
lapangan kerja kaum muda khususnya perempuan karena hal itu dapat
dikerjakan di rumah, tapi tetap harus ada sertifikasi yang dimaksudkan
sebagai standar. Peneliti-peneliti perempuan juga sudah banyak yang
berhasil, tapi seringkali karena mazhab perekonomian yang liberal sehingga
tersisihkan. Kita ingin mengangkat hal itu.” 19

3. Pendidikan Politik dan Seminar


Salah satu tujuan Perempuan Indonesia Raya (PIRA) yang tertuang dalam
Anggaran Dasar PIRA Pasal 5 yaitu Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
dibidang politik dan keorganisasian, diskusi, seminar, lokakarya, pelatihan kader
dan sejenis, guna meningkatkan kualitas anggota dalam bermasyarakat dan
berorganisasi. Dalam rangka mengimplementasikan salah satu tujuan tersebut,
Perempuan Indonesia Raya (PIRA) mengadakan beberapa kegiatan dalam rangka
pemberdayaan kader perempuan Partai Gerindra dan anggota PIRA, diantaranya
adalah pelatihan kepada kader perempuan Partai Gerindra tentang Gender dalam
Politik Representasi Perempuan; pendidikan politik berupa suatu diskusi yang
diberi nama Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra dan
Anggota PIRA dengan tema yang berbeda-beda disetiap pertemuannya; dan


19
Hasil wawancara dengan Ketua Harian Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Dr. Ir. Endang S.
Thohari, DESS, M.Sc. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


58

seminar nasional yang bekerja sama dengan MPR RI, Kementerian dan Lembaga
terkait.
Pendidikan politik berupa pemberian materi oleh pakar dibidang masing-
masing dan diskusi bagi kader perempuan Partai Gerindra dan kader PIRA
dilakukan hingga sekarang ini sudah kelima kalinya yaitu pada 25 Februari 2015,
25 April 2015, 1 Agustus 2015, 24 Oktober 2015, dan 28 November 2015.
Seminar nasional yang bekerja sama dengan MPR RI dan Kementerian atau
Lembaga terkait seperti BKKBN, Kemensos, dan mengundang aktivis perempuan
diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kartini pada tanggal 23 April
2016. Partai Gerindra bekerja sama dengan Pengurus Pusat Perempuan Indonesia
Raya (PP PIRA) melaksanakan seminar tersebut dengan tema “Dengan Semangat
Kartini Kita Tingkatkan Peran Perempuan dalam Melaksanakan 4 Pilar dan Cegah
Perkawinan Anak”. Bagi Partai Gerindra dan PIRA, sosialisasi mengenai isu
tersebut penting dalam kaitannya dengan penguatan empat pilar RI yaitu
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Ketua Harian Perempuan Indonesia Raya, Dr. Ir. Endang S.
Thohari, DESS, M.Sc.

“…karena 4 Pilar jika tidak ada implementasinya akan menjadi sia-sia.


Yang kita inginkan adalah 4 pilar itu disosialisasikan yang ada manfaatnya
dengan peran perempuan baik itu sebagai ibu rumah tangga atau keep
person (penggerak di masyarakatnya). Program-program pemerintah sudah
banyak, tapi sosialisasinyaa sering tidak menyentuh sampai lapisan bawah,
kita juga ingin membantu melaksanakan program itu melalui instansi-
instansi terkait, diantaranya kementerian sosial. Gerindra berupaya
mencerdaskan bangsa terutama generasi penerus melalui perempuan, karena
perempuan merupakan agen perubahan. Lebih mudah melalui perempuan
untuk menggerakan keluarga dan masyarakat karena sebagai pengatur
keluarga (manajer).” 20

2.5 Penerapan Kebijakan Afirmatif dalam AD/ART


Kebijakan afirmatif bagi keterwakilan perempuan sebanyak 30% di
kepengurusan partai politik dan lembaga legislatif untuk meningkatkan angka
keterwakilan perempuan bertujuan agar asas keterwakilan ini bekerja efektif


20
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


59

mengubah agenda utama kebijakan dan menggeser prioritas kebijakan yang


selama ini menjadikan perempuan tersisih dalam pembangunan. Hal tersebut
berarti partisipasi perempuan dapat mewujudkan politics of presence yang lebih
bermakna. Semenjak diberlakukannya UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, kebijakan afirmatif telah mengalami kemajuan dan tidak hanya berada
pada upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif saja.
Namun meski begitu, pada saat ini kebijakan afirmatif belum mencapai tahapan
upaya agar keberadaan perempuan itu bermakna untuk menghidupkan proses
politik yang transformatif. 21
Secara umum, perempuan kurang memiliki akses ke dalam lembaga politik
formal seperti partai politik jika dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karenanya,
perempuan tidak dapat menghindari bias gender dan hambatan lainnya ketika
akan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan politik. Kurangnya suara
perempuan di dalam pembentukan instrumen-instrumen politik yang fundamental
membuat langgengnya ketimpangan gender, bahkan untuk persoalan kesehatan
22
dan keselamatan perempuan di rumahnya sendiri. Solusi untuk mengatasi
permasalahan tersebut, harus ada kebijakan yang lebih mengarahkan perempuan
mendapatkan akses ke wilayah publik, terutama partai politik. Untuk melihat
struktur kesempatan politik dan peluang perempuan di internal partai politik,
terdapat dua hal yang dapat menjadi indikasi seperti yang dikutip dari Nuri
Soeseno sebagai berikut:

“Pertama, landasan legal formal yang merupakan pedoman untuk


melakukan kegiatan sehari-hari partai maupun sepak terjang partai dalam
melaksanakan fungsi-fungsi politiknya. Biasanya pedoman ini terdapat
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai
Politik. Kedua, pandangan-pandangan partai politik yang direfleksikan oleh
pandangan para petinggi partai atau dari kebijakan partai bersangkutan yang
bisa dihasilkan melalui musyawarah nasional partai.” 23

Partai Gerindra terbentuk pada tahun 2008 dimana pada tahun tersebut,
kebijakan afirmatif terhadap keterwakilan 30% perempuan telah diberlakukan di

21
Edriana Noerdin, Myra Diarsi dan Sita Aripurnami dalam Representasi Politik Perempuan
adalah Sebuah Keharusan. Afirmasi-Jurnal Pengembangan Pemikiran Feminis Vol. 01 (2011: 7-
8).
22
Ibid. Hal.8.
23
Nuri Soeseno, Op.Cit. Hal. 65.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


60

dalam Undang-Undang Partai Politik. Keterpinggiran peran perempuan di dalam


partai diatasi melalui kebijakan di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART). Di dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Gerindra
pada Bab II Struktur dan Kepengurusan Pasal 7 Ayat (5) tentang Dewan Pimpinan
Pusat, disebutkan bahwa jumlah pengurus Dewan Pimpinan Pusat sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) orang dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Sejak awal
pembentukan kepengurusan di tahun 2009, Partai Gerindra telah memenuhi
jumlah kuota keterwakilan perempuan di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat
sebanyak 30%. Hal tersebut merupakan suatu prasyarat bagi partai politik agar
dapat terverifikasi menjadi peserta di Pemilu tahun 2009. Seperti yang
diungkapkan oleh salah satu pendiri Partai Gerindra dan Ketua Bidang
Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Dra. Anita Ariyani,

“…itu saya mengikuti proses itu sampai ke seluruh Indonesia bersama


teman-teman yang belum diverifikasi. Kemudian kepengurusan dibentuk,
sebagai syarat untuk mengikuti Pemilu. Untuk partai harus ada Ketua,
Sekretaris, Bendahara, menyertakan 30% perempuan di kepengurusan.” 24

Penerapan kebijakan afirmatif 30% keterwakilan perempuan, tidak hanya


berlaku di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, tetapi juga di
kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah dan Cabang. Pada Pasal 8 Ayat (4)
disebutkan bahwa jumlah pengurus harian Dewan Pimpinan Daerah sekurang-
kurangnya 25 (dua puluh lima) orang dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Sedangkan pada Dewan
Pimpinan Cabang, pada Pasal 9 Ayat (4) disebutkan bahwa jumlah pengurus
harian Dewan Pimpinan Cabang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masing-masing Dewan Pimpinan Cabang dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Seperti yang dikutip
dari pernyataan Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan
Antar Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc,


24
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan DPP Partai
Gerindra, Dra. Anita Ariyani di Gedung DPR RI. Rabu, 13 April 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


61

“Kita ingin ada semacam affirmative action kepada perempuan karena


berpandangan perlu ada suatu pemberdayaan. Politik ini bukan hanya milik
kaum laki-laki, sehingga kita mendorong ke arah akomodasi 30% minimal
terhadap perempuan di semua level di DPP sampai tingkat yang paling
bawah. Dan bahkan di dalam Pilpres, kita juga sampaikan kalau Pak
Prabowo menang kemarin, maka 30% menteri nya adalah perempuan. Jadi
30% ya angkanya kalau tidak salah, jadi itu juga bagian dari satu sikap
politik affirmative action terhadap kaum perempuan.” 25

Pada Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra menurut


Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.HH-
13.AH.11.01 Tahun 2012, jumlah pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra adalah 324 orang. Jumlah perempuan yang menjabat sebagai pengurus
Dewan Pimpinan Pusat berjumlah 105 orang atau secara persentase adalah
32,40% dari total jumlah pengurus. Pada kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat
tahun 2012, terdapat 5 (lima) Wakil Ketua Umum dimana hanya terdapat satu
perempuan yang menempati posisi tersebut yaitu Dr. Sumarjati Ardjoso sebagai
Wakil Ketua Umum Bidang Kesejahteraan Rakyat yang menggantikan Halida
Hatta.


25
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar
Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


62

Tabel 2.1
Jumlah Anggota Perempuan di DPP Partai Gerindra Tahun 2012

No. Jabatan Jumlah Perempuan Jumlah Total


1. Ketua Umum - 1
2. Wakil Ketua Umum 1 5
3. Ketua Bidang 9 72
4. Sekretaris Jenderal - 1
5. Wakil Sekretaris Jenderal 7 29
6. Bendahara Umum - 1
7. Bendahara 4 4
8. Kepala Departemen 84 206
Total 105 324

Data diolah dari : Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar / Anggaran
Rumah Tangga, Dan Susunan Kepengurusan Partai Gerakan Indonesia Raya

Setelah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Prof. Dr. Ir.
Suhardi, M.Sc wafat, diadakan Kongres Luar Biasa pada September 2014, dengan
agenda acara menetapkan Ketua Umum, menyempurnakan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan susunan personalia pengurus Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra Periode 2014-2019. Setelah Kongres Luar Biasa
tersebut dilaksanakan, jumlah personalia pengurus Dewan Pimpinan Pusat
bertambah dari 324 orang menjadi 494 orang. Penambahan jumlah pengurus
Dewan Pimpinan Pusat yang sangat signifikan ini juga termasuk pada
penambahan jumlah pengurus anggota perempuan. Secara persentase keseluruhan,
angka menunjukkan bahwa di tahun 2014 jumlah perempuan mengalami
penurunan dari periode sebelumnya, tetapi secara substansial perempuan-
perempuan yang menjabat sebagai pengurus di setiap tingkat jabatan mengalami
peningkatan jumlah.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


63

Tabel 2.2
Jumlah Anggota Perempuan di DPP Partai Gerindra Periode 2014-2019

No. Jabatan Jumlah Jumlah Keterangan


Perempuan Total
1. Ketua Umum - 1 -
Ketua Harian - 1
Wakil Ketua - 1
Harian
2. Wakil Ketua 3 14 Wakil Ketua Umum Bidang
Umum Pengembangan Sumber Daya
Manusia; Bidang Koperasi,
UMKM, dan Ekonomi Kreatif;
dan Bidang Ideologi
3. Ketua Bidang 14 117 Ketua Bidang Hukum dan
Perjanjian Internasional;
Bidang Pendidikan Nasional;
Bidang Sosial; Bidang
Perlindungan dan
Pemberdayaan Perempuan;
Bidang Advokasi Perempuan;
Bidang Perlindungan Anak;
Bidang Perlindungan dan
Pemberdayaan Kaum Difabel;
Bidang Pariwisata; Bidang
Konservasi Alam dan
Lingkungan; Bidang Ekonomi
Kreatif; Bidang Wawasan
Nusantara; Bidang Penguatan
Jaringan Kader; Bidang Hak
Asasi Manusia; dan Bidang
Hukum Konstitusi.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


64

4. Sekretaris - 1 -
Jenderal
5. Wakil 15 43 -
Sekretaris
Jenderal
6. Bendahara - 1 -
Umum
7. Bendahara 7 21 -
8. Kepala 108 294 -
Departemen
Total 144 494

Data diolah dari : Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, serta Susunan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra

Berikut adalah perbandingan jumlah perempuan yang menjabat sebagai


pengurus di Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra pada tahun 2012 dan 2014
yang diolah dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2012 dan M.HH-13.AH.11.01
Tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga, serta Susunan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


65

Tabel 2.3
Perbandingan Jumlah Anggota Perempuan di DPP Partai Gerindra Tahun
2012 dan 2014

No. Jabatan 2012 2014


1. Ketua Umum - -
2. Wakil Ketua Umum 1 3
3. Ketua Bidang 9 14
4. Sekretaris Jenderal - -
5. Wakil Sekretaris Jenderal 7 15
6. Bendahara Umum - -
7. Bendahara 4 7
8. Kepala Departemen 84 108
Total 105 144
Persentase dari Total 32,40% 29,14%
Keseluruhan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


66

BAB 3
REKRUTMEN PEREMPUAN DI KEPENGURUSAN DEWAN PIMPINAN
PUSAT PARTAI GERINDRA PERIODE 2014-2019

Partai Gerindra merupakan salah satu partai politik yang


mengimplementasikan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke dalam
AD/ART partai mengenai keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat. Dalam hal ini, kebijakan afirmatif telah mengalami
kemajuan dan tidak hanya berada pada upaya peningkatan keterwakilan
perempuan melalui lembaga legislatif saja, tetapi juga melalui internal partai. Bab
ini menjelaskan tentang struktur kelembagaan dan demokrasi internal Partai
Gerindra, serta rekrutmen perempuan di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat periode 2014-2019 yang mencakup, proses rekrutmen, pola rekrutmen
perempuan di kepengurusan DPP periode 2014-2019, perjuangan dan hambatan
perempuan Partai Gerindra di dalam rekrutmen.

3.1 Struktur Kelembagaan dan Demokrasi Internal Partai Gerindra


3.1.1 Struktur Kelembagaan
Menurut ilmuwan sosiologi-politik Italia Angelo Panebianco, semua partai
politik harus melembagakan organisasinya sampai ke tingkat tertentu agar dapat
bertahan atau mempertahankan eksistensinya. Terdapat dua dimensi di dalam
institusionalisasi, yaitu Pertama adalah derajat/tingkat otonomi yang dimiliki
organisasi dalam hubungannya dengan lingkungannya. Dimensi ini menjelaskan
sejauh mana kontrol partai di dalam hubungan dengan para pendukung, organisasi
eksternal, dan sebagainya. Dalam hal ini, partai yang sangat terinstitusionalisasi
adalah partai yang dapat mengontrol dan mengubah lingkungan partainya jika
diperlukan; sementara yang kurang terinstitusionalisasi justru beradaptasi dengan
lingkungannya. Seperti dikutip dari Alan Ware, “In this sense, a highly
institutionalized party is one that exercise extensive control, and can transform its
environment when necessary; a party that is weakly institutionalized is one that
must respond and adapt to its environment.” 1


1
Alan Ware dalam Political Parties and Party Systems (1996: 99).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


67

Kedua adalah dimensi yang disebut sebagai derajat kesisteman (degree of


systemness). Dimensi ini meliputi faksionalisasi dan kemampuan mengontrol
sumber daya dalam pelaksanaan fungsi partai politik. Kesisteman dikatakan
rendah ketika banyak otoritas yang tersisa dari sub-sub kelompok di dalam partai;
sedangkan kesisteman dikatakan tinggi ketika terdapat tingkat ketergantungan
yang tinggi diantara sub-sub kelompok yang memungkinkan kontrol pusat
terhadap sumber daya. Hal tersebut seperti dikutip dari Alan Ware, “Systemness is
low when a great deal of authority is left to sub-groups within the party;
systemness is high when there is a high degree of interdependence among the sub-
groups that is made possible by the centre’s control of resources.” 2
Derajat atau tingkat otonomi merupakan kemandirian yang dimiliki oleh
partai politik pada saat pembuatan keputusan di dalam hubungannya dengan
aktor-aktor di luar partai politik, seperti lembaga eksekutif, pengusaha dan
masyarakat. Sedangkan, derajat kesisteman partai politik merupakan proses
dimana partai politik melakukan fungsi partai sesuai dengan sistem yang dibuat
dan berlaku yaitu aturan seperti AD/ART partai politik dan peraturan partai yang
telah disepakati bersama. Derajat kesisteman dalam kaitannya dengan rekrutmen
politik dapat dilihat dari bagaimana rekrutmen dilakukan sesuai dengan
persyaratan, mekanisme dan proses yang diatur di dalam kebijakan dan peraturan
partai. 3
Berdasarkan Anggaran Dasar Partai Gerindra Bab VII tentang Organisasi,
Wewenang dan Kewajiban Pasal 18 ayat (1) menjelaskan bahwa organisasi Partai
Gerindra terdiri dari:
a. Tingkat Pusat terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Penasehat, Dewan
Pakar dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
b. Tingkat Provinsi disebut Dewan Pimpinan Daerah.
c. Tingkat Kabupaten/Kota disebut Dewan Pimpinan Cabang.
d. Tingkat Kecamatan atau sebutan lainnya disebut Pimpinan Anak Cabang.


2
Ibid.
3
Vicky Randall dan Lars Svasand dalam Party Politics Journal, dikutip dari Ramlan Surbakti
dalam Perkembangan Partai Politik Indonesia dalam Andy Ramses M dan La Bakry (Ed.), Politik
dan Pemerintahan Indonesia (2009: 143).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


68

e. Tingkat Desa/Kelurahan atau sebutan lainnya disebut Pimpinan Ranting


(PR).
f. Tingkat dusun/dukuh/rukun warga/rukun tetangga atau sebutan lainnya
disebut Pimpinan Anak Ranting (PAR).

Jika dijabarkan, organisasi Partai Gerindra dapat dibedakan dua kelompok,


Pertama yaitu badan khusus yang terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Penasehat,
dan Dewan Pakar. Ketiga badan organisasi tersebut berada diluar struktur
organisasi dewan pelaksana harian Partai gerindra, tetapi secara wewenang,
ketiganya menjadi acuan bagi pelaksanaan tugas Dewan Pelaksana. Kedua, yaitu
badan struktural pelaksana yang terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat hingga ke
tingkat Pimpinan Anak Ranting. Pada pasal 19 ayat (1) dijelaskan bahwa Dewan
Pembina adalah dewan pimpinan tertinggi Partai Gerindra yang dipimpin oleh
Ketua Dewan Pembina. Secara hierarkis kepemimpinan, Dewan Pembina
menempati tingkat paling tinggi dalam kepemimpinan Partai Gerindra dan forum
tertinggi dalam pengambilan keputusan Partai Gerindra. Pada Anggaran Rumah
Tangga Partai Gerindra Bab II Pasal 6 ayat (6) dijelaskan bahwa rapat Dewan
Pembina dilakukan untuk membahas hal-hal strategis atas persetujuan Ketua
Dewan Pembina. Susunan personalia Dewan Pembina terdiri dari: Ketua Dewan
Pembina, Wakil-wakil Ketua, sekretaris, wakil sekretaris dan anggota-anggota
dewan Pembina yang dipilih oleh Ketua Dewan Pembina. Berdasarkan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-
04.AH.11.01 Tahun 2014, jumlah Anggota Dewan Pembina adalah 71 orang yaitu
1 Ketua Dewan Pembina dan 70 Anggota Dewan Pembina yang meliputi 10
Wakil Ketua Dewan Pembina, 1 Sekretaris Dewan Pembina dan 1 Wakil
Sekretaris Dewan Pembina.
Ketua Dewan Pembina, Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo Subianto
merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra
yang dinyatakan dengan akta pernyataan Nomor 73 tertanggal 25 September 2014
dihadapan Notaris Ilmiawan Dekrit di Jakarta. Jika dilihat dari wewenang Dewan
Pimpinan Pusat pada Anggaran Dasar Partai Gerindra Pasal 20 ayat (2), semua
kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Pimpinan Pusat sebagai dewan pelaksana

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


69

tertinggi, merujuk pada persetujuan Ketua Dewan Pembina. Oleh karena itu,
sebagai Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat,
Prabowo Subianto memiliki kewenangan yang sangat besar terutama dalam hal
menetapkan dan menunjuk personalia pengurus partai di semua tingkatan.
Dewan Pimpinan Pusat merupakan dewan pelaksana tertinggi Partai
Gerindra yang bersifat kolektif, terdiri atas pengurus Dewan Pimpinan Pusat dan
pengurus harian. Sebagaimana telah dijabarkan pada Bab Pendahuluan, jumlah
pengurus Dewan Pimpinan Pusat adalah 494 orang yaitu 1 Ketua Umum, 1 Ketua
Harian, 1 Wakil Ketua Harian, 14 Wakil Ketua Umum, 117 Ketua Bidang, 1
Sekretaris Jenderal, 43 Wakil Sekretaris Jenderal, 1 Bendahara Umum, 21
Bendahara, dan 294 Kepala Departemen. Beberapa pengurus Dewan Pimpinan
Pusat juga merupakan Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra. Pada Anggaran
Rumah Tangga Partai Gerindra Pasal 13 Ayat (3) menyebutkan bahwa setiap
pengurus partai dilarang merangkap jabatan dalam kepengurusan Dewan
Pimpinan dan atau Pimpinan Partai, yang bersifat vertikal. Hal tersebut berarti
Dewan Pembina dan Dewan Pimpinan Pusat bukan merupakan kepengurusan
yang sifatnya vertikal. Perbedaan keduanya terletak pada pimpinan dan pelaksana,
tetapi sama-sama sebagai dewan tertinggi di Partai Gerindra.
Dewan Pimpinan Daerah merupakan dewan pelaksana partai yang bersifat
kolektif di tingkat Provinsi. Secara hierarkis dewan pelaksana Partai Gerindra,
Dewan Pimpinan Daerah berada dibawah Dewan Pimpinan Pusat. Dewan
pelaksana yang berada di tingkat bawahnya adalah Dewan Pimpinan Cabang
sebagai dewan pelaksana partai yang bersifat kolektif di tingkat Kabupaten atau
Kota. Di bawah Dewan Pimpinan Cabang terdapat Dewan Pimpinan Anak
Cabang sebagai pelaksana partai yang bersifat kolektif di tingkat Kecamatan.
Tingkat terakhir dalam dewan pelaksana Partai Gerindra yaitu Pimpinan Ranting
sebagai pelaksana partai yang bersifat kolektif di tingkat Desa atau Kelurahan.
Dewan Penasehat dan Dewan Pakar masuk ke dalam Bab tersendiri di
dalam Anggaran Dasar Partai Gerindra yaitu pada Bab VIII. Pada pasal 25 ayat
(1) dijelaskan Dewan Penasehat berfungsi memberikan saran dan nasehat kepada
Dewan Pimpinan atau Pimpinan Partai Gerindra sesuai dengan tingkatannya. Ayat
(2) menyebutkan bahwa saran, nasehat dan pertimbangan yang disampaikan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


70

Dewan Penasehat sebagaimana dimaksud ayat (1) diperhatikan sungguh-sungguh


oleh Dewan Pimpinan atau Pimpinan Partai sesuai dengan tingkatannya. Dewan
Penasehat merupakan dewan yang dibentuk di setiap tingkatan dewan pimpinan
Partai Gerindra, oleh sebab itu wajib untuk menghadiri rapat-rapat sesuai
tingkatan pimpinan partai. Anggota Dewan Penasehat tingkat pusat Partai
Gerindra terdiri dari 55 orang yaitu 1 Ketua Dewan Penasehat dan 54 Anggota
Dewan Penasehat.
Pasal 26 tentang Dewan Pakar menjelaskan pada ayat (1) bahwa Dewan
Pakar berfungsi membantu Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan yang berhubungan dengan
program partai sesuai kepakarannya. Susunan personalia Dewan Pakar ditetapkan
oleh Dewan Pimpinan Pusat atas persetujuan Ketua Dewan Pembina. Untuk
mekanisme dan tata kerja, ditetapkan oleh Ketua Dewan Pakar. Anggota Dewan
Pakar Partai Gerindra berjumlah 38 orang yang terdiri dari 1 Ketua Dewan Pakar
dan 37 anggota Dewan Pakar. Sebagian besar anggota Dewan Pakar merupakan
pakar dibidang masing-masing dengan gelar Professor sebanyak 18 orang,
sebagiannya lagi adalah bergelar Doktor sebanyak 6 orang, Master sebanyak 6
orang, dan sisanya merupakan lulusan sarjana di bidang ilmu masing-masing.

3.1.2 Demokrasi Internal Partai Gerindra


Seperti yang telah dikatakan pada bab sebelumnya, inklusifitas di dalam
proses rekrutmen belum tentu menjamin bahwa proses tersebut berjalan secara
demokratis, dan sebaliknya proses yang dikatakan eksklusif juga tidak selalu
otoriter. Namun secara normatif, semakin inklusif proses rekrutmen anggota partai
politik maka dikatakan semakin demokratis. Persaingan di internal partai dalam
merebut jabatan politik akan mendorong terciptanya demokratisasi partai.
Permasalahan di dalam rekrutmen pengurus internal partai biasanya terdapat pada
kerahasiaan di dalam menentukan siapa-siapa saja yang akan ditempatkan pada
posisi-posisi di kepengurusan. Salah satu ilmuwan politik yang menganalisis
rekrutmen politik di Inggris menggunakan istilah “the secret garden” dalam
seleksi kandidat politik di Inggris. Kerahasiaan tersebut membuat anggota partai

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


71

dan publik tidak mengetahui kriteria seleksi yang dilakukan atau siapa yang
menetukan di dalam proses seleksi tersebut.
Dimensi inklusifitas digunakan untuk menganalisis demokrasi internal
Partai Gerindra dalam hal merekrut anggota-anggotanya terutama anggota
perempuan di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-2019.
Sebagai partai politik yang terbentuk pada tahun 2008, Partai Gerindra juga
dihadapkan pada aturan UU Partai Politik yang mensyaratkan adanya
keterwakilan perempuan sebanyak 30% di dalam kepengurusan partai. Dimensi
inklusifitas di dalam pengambilan keputusan yang dibuat oleh Partai Gerindra
akan melihat seberapa jauh jangkauan Partai Gerindra di dalam pembuatan
keputusan seperti pemilihan pengurus, apakah hanya dilakukan oleh sekelompok
elit atau melibatkan anggota di tingkat bawah.
Partai Gerindra yang diketuai oleh Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo
Subianto dan merangkap jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua
Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Periode 2014-2019, menyebut
demokrasi internal mereka sebagai demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin
yang dimaksud di dalam Partai Gerindra adalah proses pengambilan keputusan
yang dilakukan dengan musyawarah dan penyampaian pendapat baik dengan
pimpinan partai hingga ke tingkat organisasi sayap partai, tetapi menyerahkan
pengambilan keputusan kepada Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum
Partai Gerindra yaitu Prabowo Subianto. Hal tersebut seperti yang dikutip dari
pernyataan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa,

“…Jadi, demokrasi terpimpin itu menjaga kualitas demokrasi karena Pak


Prabowo percaya disaat kita menganut sistem demokrasi, itu tetap harus ada
pengambilan keputusan yang berkualitas. Nah itu yang coba dijaga
Gerindra. Kenapa makanya banyak orang yang misspersepsi misalnya,
Partai Gerindra itu partai otoriter, karena kebijakannya semua mengarah
pokoknya Pak Prabowo ngomong A seluruh partai ngomong A. Sebenarnya
tidak benar juga karena jikalau Pak Prabowo punya satu isu yang ia harus
tindak, dia membiasakan diri selalu datang dulu ke partai, minta dulu
pendapat dari kader, baru dia pikirkan lagi dan akhirnya keluar keputusan.
Nah memang ada pro kontra tentang sistem ini, jadinya banyak orang
berpersepsi, oh Pak Prabowo tidak demokratis. Namun, perlu diakui juga
kalau bukan Pak Prabowo yang mengambil keputusan, apakah ada orang
lain yang berani mengambil keputusan atau ada orang lain yang lebih

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


72

berpengalaman dibanding Pak Prabowo dalam pengambilan keputusan di


ranah politik? Jadi itu yang dinamakan Gerindra demokrasi terpimpin.” 4

Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Ketua Dewan Pembina dapat


dikatakan sebagai konsekuensi Partai Gerindra yang masih merupakan partai
politik baru. Meski eksklusif dalam pengambilan keputusan, para pengurus
Dewan Pimpinan Pusat berkeyakinan bahwa pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh pimpinan mereka, Ketua Dewan Pembina adalah yang terbaik
untuk Partai Gerindra. Meski diakui bahwa demokrasi internal di dalam
pengambilan keputusan Partai Gerindra kurang, namun di dalam proses
pengambilan keputusan, Ketua Dewan Pembina tetap membuka ruang pendapat
dan saran dari jajaran pimpinan dibawahnya, bahkan sampai ke tingkat organisasi
sayap partai. Jika Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra,
Prabowo Subianto ingin mengambil suatu keputusan, hal yang biasanya dilakukan
adalah memanggil pimpinan partai seperti para Wakil Ketua Umum atau Ketua
Bidang terkait isu yang akan dibicarakan di dalam suatu forum atau rapat internal.

“...rapat dilakukan dengan petinggi-petinggi partai, bahkan kadang bukan


petinggi partai saja, sampai ke tingkat Ketua Bidang beliau ambil waktu
untuk sharing, juga dengan sayap-sayap. Pak Prabowo juga membuat suatu
sayap partai, Pak Prabowo mempunyai visi agar partai ini bisa mandiri, dan
menular ke sayap-sayapnya. Jadi kalau di sayap seperti TIDAR, PIRA
semuanya suka rapat. Rapat ini simbol, demokrasi kan simbolnya suara, nah
di rapat ini kan orang-orang kan bisa bersuara, tetapi pada akhirnya harus
ada pengambilan keputusan.” 5

Partai Gerindra menganggap bahwa demokrasi yang berkembang di


Indonesia membuat demokrasi itu sendiri menjadi tidak terkontrol karena
menganggap bahwa suara masyarakat adalah faktor terpenting di dalam suatu
proses demokrasi. Belum siapnya kemampuan dan kompetensi masyarakat
Indonesia dalam memahami demokrasi dianggap sebagai alasan mengapa
demokrasi terpimpinlah yang perlu dijalankan. Hal yang ditekankan di dalam
demokrasi internal Partai Gerindra adalah penyampaian pendapat secara

4
Hasil wawancara dengan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa, Noudhy
Valdryno, BA di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Selasa, 8 Maret 2016.
5
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


73

demokratis dan pemimpin mendengar apa yang disuarakan oleh anggotanya atau
pengurus internal yang lain, tetapi menerima bila pemimpin mereka telah
mengambil suatu keputusan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Anggota Dewan
Pembina Partai Gerindra dan PIRA, Bianti Djiwandono, MA,

“…Saat ini kita seluruh Indonesia masih butuh demokrasi terpimpin, karena
tidak semua orang itu paham, dan usul-usul itu bahwa akhirnya mesti ada,
hanya tertentu yang memutuskan, itu memang mesti begitu. Kita belum
waktunya, karena memang kemampuan kita belum memadai. Kita seluruh
Indonesia ada 270 juta orang, 200 juta nya masih kurang. Soalnya yang
masih dipahami oleh bangsa kita, demokrasi itu yang anarkhi, semaunya,
dan tidak mau diatur. Padahal demokrasi itu banyak aturannya, aturan di
Amerika, Jepang, Inggris, penuh dengan rules and regulation nya yang
mesti dilewati. Bahwa kita pilih orang-orang yang direkrut, tetapi mereka
yang akan atur itu harus bagaimana. Jadi kalau kita maunya hanya semau
kita, jadi orang kita belum paham makna sebenarnya dari demokrasi itu.
Maunya demokrasi itu kebebasan saja.” 6

Demokrasi terpimpin yang ada pada demokrasi internal Partai Gerindra


berlaku di hampir semua pengambilan keputusan, termasuk didalamnya adalah
pemilihan personalia pengurus di Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Meski
begitu, pengurus dari jajaran seperti organisasi sayap partai seperti Perempuan
Indonesia Raya (PIRA) dapat mengajukan nama-nama anggota perempuan
sebagai pilihan untuk dipilih oleh Ketua Umum menjadi pengurus di Dewan
Pimpinan Pusat. Demokrasi terpimpin yang yang diterapkan dalam kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra ini dianggap sebagai permulaan karena
usia partai yang terbilang masih baru. Partai Gerindra mengakui bahwa sulitnya
merekrut pengurus yang memiliki loyalitas dan semangat yang sejalan dengan
prinsip dasar Partai Gerindra juga menjadi alasan diterapkannya demokrasi
terpimpin di dalam pemilihan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Seperti yang
dikutip dari pernyataan Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra dan PIRA,
Bianti Djiwandono, MA,

“…hanya kepengurusan kan yang mengatur yang atas (pimpinan), memang


tidak terlalu demokratis gitu ya. Saya mengakui, demokrasi internal nya

6
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


74

kurang, tetapi hal tersebut memang belum waktunya untuk itu. Kalau tidak,
takutnya nanti orang yang asal-asal juga masuk gitu, jadi pada permulaan
ya. Karena partai ini baru lahir tahun 2008, walaupun kita semua boleh
mengusulkan. Kan sebelumnya kita yang mengidentifikasi, orang-orang ini
yang berminat masuk, soalnya ga bisa sembarangan saja kita rekrut.
Rekrutmen itu susah, apalagi untuk pembentukan pengurus, itu susah karena
kita harus benar-benar rekrut orang yang loyal dan paham prinsip-prinsip
partai.” 7

Partai Gerindra sebagai partai politik yang menjalankan fungsi sebagai pilar
demokrasi, menganggap bahwa demokrasi yang berkembang di Barat pada
umumnya tidak sesuai dengan karakter Partai Gerindra. Para pengurus Partai
Gerindra meyakini bahwa demokrasi yang mereka anut di internal partai dalam
pengambilan segala keputusan merupakan yang paling sesuai dengan mereka. Hal
tersebut juga diyakini sebagai pemersatu individu-individu di internal partai dan
menjaga keutuhan Partai Gerindra yang berideologi nasionalis dan terdiri dari
berbagai macam agama, ras, dan budaya. Hal tersebut seperti yang dikutip dari
pernyataan Ketua Bidang Wawasan Nusantara, Priscillia E. Mantiri, ST, MT,

“Demokrasi internal memang kurang, tapi menurut kami demokrasi model


yang berkembang di Indonesia tidak cocok dengan kami, karena jadinya
kebablasan. Jadi kalau kasarnya, demokrasi itu one man one vote, jadi
kasarnya Professor atau lulusan s3 dengan orang yang ada di jalanan, sama
hak suaranya. Jadi kamu bisa diarahkan untuk memilih sesuatu hal, tanpa
kamu menganalisa sendiri pilihan kamu itu benar atau tidak. Sesuai tidak
dengan hati nurani saya, kita menyadari betul hal tersebut. Demokrasi itu
kan ada plus-minus nya, kalau di Gerindra, kami meyakini bahwa sistem
rekrutmen, dan demokrasi yang ada di Gerindra ini adalah paling cocok
untuk kami, makanya tertutup.” 8

Dalam struktur kelembagaan di organisasi Partai Gerindra, forum


pengambilan keputusan tertinggi adalah Dewan Pembina. Dewan Pembina
merupakan dewan pimpinan tertinggi Partai Gerindra yang dipimpin oleh Ketua
Dewan Pembina. Prabowo Subianto sejak awal Partai Gerindra didirikan
memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina dan kemudian merangkap

7
Ibid.
8
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Wawasan Nusantara, Priscillia E. Mantiri, ST, MT di
Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Rabu, 25 Mei 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


75

jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat untuk menggantikan


kekosongan kepemimpinan karena Ketua Umum saat itu yaitu Prof. Dr. Ir.
Suhardi, M.Sc meninggal dunia. Meski merangkap sebagai Ketua Dewan
Pembina sekaligus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat sebagai dewan pelaksana
tertinggi, segala pengambilan keputusan tetap berada di tangan Dewan Pembina
yang diketuai oleh Ketua Dewan Pembina yaitu Prabowo Subianto. Berdasarkan
Anggaran Dasar Partai Gerindra Bab VII Pasal 19 Ayat (2), Ketua Dewan
Pembina memiliki wewenang sebagai berikut:
a. Menetapkan kebijakan Partai Gerindra sesuai dengan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres atau Kongres Luar Biasa
dan Rapat Pimpinan Nasional.
b. Menetapkan Ketua Umum berdasarkan keputusan Kongres atau Kongres
Luar Biasa yang memilih calon-calon Ketua Umum.
c. Menunjuk pengurus harian Dewan Pembina.
d. Menetapkan Ketua Dewan Penasehat Pusat dan Ketua Dewan Pakar.
e. Membentuk tim yang membantu Ketua Dewan Pembina dan Dewan
Pimpinan Pusat.
f. Membentuk badan dan lembaga tertentu di tingkat Pusat dan/atau daerah.
g. Memberikan pengarahan, petunjuk, pertimbangan, saran dan nasehat
kepada anggota dan pengurus partai di tingkat pusat, daerah dan cabang.
h. Memberhentikan pengurus yang tidak mematuhi AD/ART dan peraturan
partai lainnya, mengundurkan diri atas permintaan sendiri, berhalangan
tetap dan pindah partai.
i. Melalui pertimbangan khusus, dapat memberhentikan dan atau mengganti
personalia pengurus partai di semua tingkatan.
j. Meminta kepada Majelis Kehormatan Partai untuk membahas masalah-
masalah yang berkaitan dengan etika dan pelanggaran pengurus partai dan
anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
k. Ketua Dewan Pembina dapat menetapkan Ketua Harian dan Wakil Ketua
Harian DPP Partai Gerindra, sesuai kebutuhan.
l. Menyetujui atau tidak menyetujui:

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


76

1) Pengesahan susunan personalia pengurus Partai tingkat Dewan Pimpinan


Pusat, Dewan Pimpinan Daerah dan Dewan Pimpinan Cabang.
2) Penetapan dan pengajuan bakal calon anggota DPR dan DPRD Provinsi
serta DPRD Kabupaten/Kota.
3) Penetapan dan pengajuan pimpinan fraksi MPR dan alat kelengkapan
MPR.
4) Penetapan dan pengajuan pimpinan Dewan, Pimpinan Fraksi DPR serta
alat kelengkapan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
5) Pergantian Antar Waktu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
6) Penetapan dan pengajuan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden.
7) Penetapan dan pengajuan calon Menteri, Duta Besar, jabatan di dalam
lembaga pemerintahan dan jabatan publik lainnya.
8) Pemberian rekomendasi calon Gubernur dan/atau calon Wakil Gubernur.
9) Pemberian rekomendasi calon Bupati/Walikota dan/atau Wakil
Bupati/Wakil Walikota.
10) Pengesahan susunan personalia Dewan Pembina, Dewan Penasehat di
tingkat pusat dan Dewan Pakar.
11) Pembentukan Organisasi Sayap.
12) Pembentukan Badan dan Lembaga ditingkat Pusat dan Daerah.
13) Penyelenggaraan Kongres dan Kongres Luar Biasa.
14) Penyelenggaraan Rapat Pimpinan Nasional.
15) Penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional.
16) Penyelenggaraan Konferensi Nasional.
17) Penyelenggaraan Apel Kader Nasional.
18) Hubungan dan kerjasama dengan Organisasi Kemasyarakatan, Partai
Politik dan Badan atau lembaga lainnya.
19) Pemberhentian pengurus atau pengunduran diri pengurus atas permintaan
sendiri, berhalangan tetap dan pindah partai di tingkat Dewan Pimpinan
Pusat, Dewan Pimpinan Daerah dan Dewan Pimpinan Cabang.
20) Pemberhentian anggota yang mengundurkan diri atas permintaan sendiri,
diberhentikan, berhalangan tetap dan pindah partai.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


77

21) Penetapan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat,
Ketua Dewan Pimpinan Daerah dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang.
22) Penetapan pergantian dan penyempurnaan susunan personalia pengurus
partai tingkat Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah dan
Dewan Pimpinan Cabang.
23) Pengambilan keputusan untuk hal-hal yang strategis oleh Ketua Umum
atau Wakil Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
24) Pemberian penghargaan kepada atas nama perorangan dan badan atau
lembaga atau instansi dan perusahaan sesuai ketentuan Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga.
m. Dalam hal Ketua Dewan Pembina tidak menyetujui keputusan Dewan
Pimpinan Pusat sebagaimana yang dimaksud pada point 1) sampai dengan
24), maka Dewan Pimpinan Pusat dapat mengajukan usulan perubahan.

3.2 Proses Rekrutmen Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Periode 2014-2019


Pada tanggal 28 Agustus 2014, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra yaitu Prof. Dr. Ir. Suhardi, M.Sc meninggal dunia dan setelah wafatnya
beliau, posisi Ketua Umum Partai Gerindra mengalami kekosongan. Menyikapi
kosongnya kepemimpinan Dewan Pimpinan Pusat saat itu, pada hari sabtu tanggal
20 September 2014, bertempat di Nusantara Polo Club, Jagorawi, Partai Gerindra
menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) dengan agenda acara menetapkan
Ketua Umum. Kongres Luar Biasa dihadiri jajaran Dewan Penasehat, Dewan
Pakar, pengurus Dewan Pimpinan Pusat, 34 Dewan Perwakilan Daerah, 503
Dewan Pimpinan Cabang, caleg terpilih DPR-RI Fraksi Partai Gerindra, serta
Organisasi-organisasi Sayap Partai Gerindra. Sidang Kongres Luar Biasa
dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat, H. Ahmad Muzani,
S.Sos dan sidang berjalan sekitar 2,5 jam dari Pukul 10.00 – 12.30 WIB.
Agenda utama Kongres Luar Biasa Partai Gerindra adalah menetapkan
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, menyempurnakan
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan susunan personalia pengurus
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Periode 2014-2019. Berdasarkan
pandangan umum 34 Dewan Perwakilan Daerah Partai Gerindra dan setelah
mendengarkan aspirasi dari akar rumput, kader dan simpatisan Partai Gerindra di

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


78

berbagai daerah, sebagian besar meminta kesediaan Letjen TNI (Purn) H.


Prabowo Subianto untuk menjadi Ketua Umum Partai Gerindra. Penunjukan H.
Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum dilakukan secara aklamasi dan H.
Prabowo Subianto pun menerima hal tersebut dengan hormat. 9
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa proses rekrutmen pengurus
internal merupakan suatu proses yang rahasia dimana hanya jajaran para pimpinan
yang mengetahui dan menjalani prosesnya. Hal tersebut umum terjadi di banyak
organisasi partai politik termasuk Partai Gerindra. Seperti apa kriteria seorang
anggota partai dapat menempati jabatan di Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat,
mereka tidak mengetahuinya dan menganggap bahwa hal tersebut harus diterima
sebagai hak prerogratif Pimpinan Partai Gerindra. Berdasarkan hasil wawancara
dengan anggota perempuan yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum dan Ketua
Bidang, mereka mengatakan bahwa penggunaan istilah proses rekrutmen kurang
tepat, karena lebih tepat menurut mereka adalah penunjukkan. Istilah penunjukkan
lebih tepat digunakan karena menurut mereka pemilihan pengurus bukan
dilakukan dengan rekrutmen secara terbuka, melainkan dilakukan secara tertutup
oleh jajaran pimpinan partai. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh dengan
Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Dra. Anita Ariyani,

“Jadi perekrutan menjadi kader kan memang otomatis kita ada pengkaderan,
kalau posisi saya menjadi Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, itu
sepenuhnya prerogratif dari pimpinan, jadi saya tidak tahu, artinya ketika
diminta untuk menjadi Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, ya kalau di
Gerindra ya siap kita harus bagaimana pun. Jadi kalau proses pengkaderan,
kami lalui, kami ikuti. Tentunya pimpinan tahu mana yang punya prestasi,
mana yang kualitasnya sudah mumpuni, mana yang mesti harus di
tingkatkan lagi, itu kan yang tahu pimpinan, kemudian jatuh kepada saya.
Saya tidak tahu kriterianya apa (pimpinan dalam hal ini: ketua umum
terpilih kan punya tim formatur, tim penyusun kepengurusan diantaranya
Sekjen, Wakil Ketua Umum)” 10


9
Kongres Luar Biasa Partai Gerindra diambil dari website resmi Fadli Zon fadlizon.com tanggal
18 Mei 2016.
10
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan DPP Partai
Gerindra, Dra. Anita Ariyani. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


79

Di dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Gerindra pada Bab IX


mengenai Pemilihan Pimpinan Partai Pasal 53 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua
Umum dijelaskan sebagai berikut:
(1) Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat memiliki kualifikasi sebagai kader
manggala atau kader utama.
(2) Pemilihan calon-calon Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat dilaksanakan
oleh peserta kongres yang memiliki hak suara untuk memilih 17 (tujuh
belas) orang calon-calon Ketua Umum yang selanjutnya diajukan kepada
Ketua Dewan Pembina. Ketua Dewan Pembina memilih dan menetapkan
Ketua Umum.
(3) Ketua Umum atau Ketua terpilih ditetapkan sebagai ketua formatur.
(4) Penyusunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat dilakukan oleh ketua
formatur yang dibantu oleh 16 (enam belas) orang calon ketua umum
sebagai anggota formatur atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.

Pada penyempurnaan pengurus Dewan Pimpinan Pusat setelah terpilihnya


Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum, banyak usulan-usalan yang datang dari
tingkatan bawah kepada para pimpinan, seperti Wakil Ketua Umum bahkan
organisasi sayap partai. Selain rekomendasi yang diberikan oleh tim formatur,
beberapa pimpinan Partai Gerindra juga mengajak orang-orang tertentu yang
berasal dari partai lain untuk bergabung di dalam Partai Gerindra. seperti yang
dikutip dari pernyataan Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam Negeri,
Hubungan Antar Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc,

“…pada waktu itu setahu saya usulan-usulan datang dari bawah, dari Wakil
Ketua Umum atau dari pimpinan-pimpinan, saya juga mengusulkan dan kita
kan sifatnya volunteer. Pak Prabowo itu berpandangan yang mau bergabung
dengan Gerindra itu artinya siap untuk berjuang bersama Partai Gerindra,
karena itu kita tidak menempatkan diri sebagai politisi tetapi pejuang
politik, bukan juga petugas partai, tetapi pejuang politik. artinya, mereka
yang bergabung itu siap menjadi pejuang politik, termasuk perempuan. Kita
merekrut orang-orang yang memang mau, jadi lebih banyak karena
menawarkan diri, dan mau berjuang. Saya kira itu berarti mereka memiliki
keinginan, ada juga yang memang kita approach, kita dekati, ayo

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


80

bergabung. Tetapi kita lebih banyak membuka diri, ayo siapa pun yang mau
bergabung, berjuang bersama Partai Gerindra kita terbuka.” 11

Dalam penyempurnaan pengurus Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-


2019, terdapat berbagai macam basis keterpilihan yang mewarnai penunjukkan
pengurus pada saat itu. Terpilihnya anggota-anggota Partai Gerindra menjadi
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat ada yang berdasarkan pada rekomendasi dari
pimpinan, kedekatan pribadi, berdasarkan kesamaan aktifitas, dan sebagainya.

“…jadi ada pola-pola yang sifatnya rekomendasi karena kedekatan


personal, ada karena kedekatan aktivitas, ada karena kegiatan politik yang
memang mereka pindah dari partai lain tetapi ada yang
merekomendasikan, saya kira itu sudah ada, termasuk mereka yang sejak
awal ikut mendirikan partai, pengurus awal, dan sebagainya.” 12


Sebagai partai politik yang relatif baru dan masih berusia 6 tahun pada saat
penyempurnaan personalia pengurus Dewan Pimpinan Pusat di Kongres Luar
Biasa tahun 2014, Partai Gerindra membuka diri kepada orang-orang yang berasal
dari berbagai macam latar belakang. Namun hal tersebut dibatasi pada
rekomendasi para pimpinan Partai Gerindra dengan mencantumkan beberapa
kriteria seperti, kompetensi dan dedikasi untuk menjalankan manifesto perjuangan
Partai Gerindra. Rekomendasi pimpinan menjadi penting mengingat usia Partai
Gerindra yang terbilang baru, dan membutuhkan tokoh-tokoh politik yang telah
lama bergelut di perpolitikan Indonesia. Selain itu, mengingat penyempurnaan
personalia Dewan Pimpinan Pusat dilakukan setelah Pilpres 2014, para pimpinan
Partai Gerindra melakukan pendekatan personal dengan tokoh-tokoh politik yang
mendukung kubu Prabowo-Hatta untuk bergabung dengan Partai Gerindra.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar
Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc, Partai Gerindra sepakat untuk
membuka diri kepada orang-orang yang memang berkeinginan bergabung ke
dalam partai. Seperti yang dikutip dari pernyataannya,


11
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar
Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc. Op.Cit.
12
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


81

“Nah di Gerindra itu terus terang kita sebagai partai baru, tidak terlalu
membatasi orang yang mau berjuang dengan kita. Siapapun yang mau
berjuang dengan kita, asal ada rekomendasi dan dia memang mempunyai
keinginan, loyalitas, dedikasi terhadap perjuangan partai sejalan dengan apa
yang ada di dalam manifesto partai, ya kita terima. Jadi, Pak Prabowo
approach nya dan kita sepakat, kita membuka diri. Karena mereka yang
datang melangkahkan kaki ke Gerindra, dan mau bergabung berarti mereka
berkeinginan. Jadi ini kan Gerindra ini partai yang relatif baru, jadi kita
termasuk partai yang banyak orang-orang yang terlibat itu juga politisi
pemula, artinya mungkin yang tadinya pengusaha jadi politisi, tadinya
mungkin aktifis jadi politisi, tadinya buruh jadi politisi, tadinya petani dari
HKTI jadi politisi. Tetapi itu, politisi dalam arti Gerindra itu adalah pejuang
politik.” 13

Setelah penyusunan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra


periode 2014-2019 rampung, dilaksanakan pelantikan pengurus Dewan Pimpinan
Pusat yang baru pada hari Rabu, 8 April 2015. Pelantikan pengurus Dewan
Pimpinan Pusat dilaksanakan di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, di
Jl. Harsono R.M No.54, Ragunan. Selaku Ketua Umum, Prabowo Subianto dalam
pidatonya mengungkapkan bahwa terdapat penambahan jumlah pengurus di
periode 2014-2019 dan juga diisi oleh orang-orang baru yang sebelumnya bukan
merupakan politisi Partai Gerindra. Nama-nama baru di kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019 diantaranya adalah Sandiaga
Uno, Fuad Bawazier, Rachmawati Soekarnoputri, Marwah Daud Ibrahim, Djoko
Santoso, Elza Syarief, dan sebagainya. Pelaksanaan pelantikan pengurus Dewan
Pimpinan Pusat yang baru tersebut juga bersamaan dengan pelaksanaan Rapimnas
Partai Gerindra.

3.3 Pola Rekrutmen Perempuan di Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat


Periode 2014-2019
Rekrutmen sebagai salah satu dari fungsi partai politik dapat didefinisikan
sebagai pengangkatan atau seleksi seseorang untuk menjalankan peranan atau
jabatan di dalam sistem politik baik di ranah internal partai, legislatif, maupun
eksekutif. Fungsi rekrutmen sangat penting bagi keberlangsungan suatu partai
politik dan merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan

13
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


82

kekuasaan. Rekrutmen di internal partai, terutama di kepengurusan tingkat pusat


merupakan hal yang sangat penting karena tanpa adanya elit yang menjabat dan
melaksanakan tugas kepemimpinan, kelangsungan suatu partai politik akan
terancam.
Rekrutmen perempuan di internal partai politik berhadapan dengan
hambatan-hambatan di dalam prosesnya dan kesulitan dalam menyusun strategi
seperti apa yang harus dilakukan untuk merebut kedudukan di internal partai.
Perempuan berhadapan dengan suatu sistem rekrutmen yang didominasi oleh
perspektif laki-laki. Kompetisi yang dihadapi oleh perempuan merupakan suatu
medan yang diciptakan oleh laki-laki dan kesuksesan perempuan di dalam politik
tidak ia dapat begitu saja karena ia harus menggantikan elit yang ada atau pun
masuk karena adanya perubahan nilai-nilai yang lebih menguntungkan
perempuan. Hal tersebut seperti yang dikutip dari Jenny Chapman,

“It follows that when women compete with men for access to political elites,
they do so on the terms already established by men for competition among
themselves and in political systems which already contain out-groups of
men. The success of women in politics, like that of any male out-group,
cannot be achieved within such systems without displacing, or replacing an
existing elite and without some change in values, and it cannot occur
independently of fundamental changes in socio-economic as well as
political relations. Of course, without a clear understanding of the way men
regulate their own access to political elites, the conditions which govern
that of women will remain obscure.” 14

Ketika perempuan bersaing dengan laki-laki untuk masuk ke dalam elit


politik, mereka melakukannya pada istilah yang sudah dibuat oleh laki-laki
untuk kompetisi diantara mereka sendiri dan di dalam sistem politik yang
telah berisi out-groups laki-laki. Kesuksesan perempuan di politik, seperti
out-group laki-laki, tidak dapat dicapai dalam sistem tersebut tanpa
menggusur, atau mengganti elit yang ada dan tanpa beberapa perubahan di
dalam nilai-nilai, dan itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya dari
perubahan mendasar dalam sosio-ekonomi serta hubungan politik.
Tentunya, tanpa pemahaman yan jelas mengenai cara laki-laki mengatur
akses mereka ke dalam elit politik, kondisi yang mengatur perempuan akan
tetap tidak jelas.


14
Jenny Chapman dalam Politics, Feminism and the Reformation of Gender (1993: 11).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


83

Seperti yang telah dijelaskan di dalam kerangka teori, terdapat 4 model


rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai politik yang dikemukakan oleh
Barbara Geddes 15. Keempat model rekrutmen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Partisanship. Yaitu rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai politik
dengan mempertimbangkan loyalitas kepada partai, dan kurang
memperhatikan kompetensi.
2. Meritocratic. Yaitu rekrutmen politik dari kalangan yang mempunyai
kompetensi yang tinggi seperti pengusaha, teknokrat, guru, dan pekerja
ahli.
3. Compartementalization. Yaitu rekrutmen politik yang dilakukan berdasar
pertimbangan pragmatis, bisa berdasar meritokrasi maupun pengangkatan
lain untuk memperoleh dukungan jangka pendek maupun
mengembangkan pengikut yang loyal.
4. Survival. Yaitu rekrutmen politik yang didasarkan pada prinsip balas jasa
dan sumber daya pelamar dan cenderung bersifat patronase.

Model/pola rekrutmen politik yang dijabarkan oleh Barbara Geddes tersebut


serta teori rekrutmen politik dan perempuan yang dikemukakan oleh Jenny
Chapman, dapat dijadikan sebagai alat analisis untuk mengetahui pola rekrutmen
perempuan yang terpilih menjadi pengurus di Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra periode 2014-2019, khususnya adalah mereka yang menjabat sebagai
Wakil Ketua Umum dan Ketua Bidang. Keterpilihan para perempuan ini menjadi
pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra apakah sesuai dengan pola yang
disebutkan oleh Barbara Geddes atau terdapat pola baru di dalam perekrutan
tersebut. Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Jenny Chapman, kompetisi
yang dihadapi perempuan merupakan suatu medan yang diciptakan oleh laki-laki
dan kesuksesan perempuan di dalam politik tidak ia dapat begitu saja karena ia
harus menggantikan elit yang ada atau pun masuk karena adanya perubahan nilai-
nilai seperti aturan atau perundang-undangan yang lebih menguntungkan
perempuan.


15
Barbara Geddes dalam Politicians Dilema: Building State Capacity in Latin America (1996:
142-181).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


84

Sebagai partai pendatang baru, Partai Gerindra justru menghadapi


hambatan-hambatan dalam hal merekrut anggota perempuan untuk dapat masuk
ke dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Hal tersebut berbeda dengan
permasalahan rekrutmen perempuan di tahun-tahun sebelumnya yang masih
memperjuangkan keterwakilan perempuan sebanyak 30% di lembaga politik
formal. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai
Politik, pada Bab II Pembentukan Partai Politik Pasal 2 ayat (1b) disebutkan
bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% (tiga puluh
persen) keterwakilan perempuan. Pada ayat (5) disebutkan pula kepengurusan
partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan16.
Anggota-anggota perempuan yang ikut mendirikan Partai Gerindra justru
mengalami kesulitan untuk mengajak orang lain bergabung, khususnya
perempuan untuk masuk ke dalam Partai Gerindra. Hal tersebut sebagaimana yang
dikatakan oleh salah satu anggota perempuan pendiri Partai Gerindra, Dra. Anita
Ariyani,

“…saya dianggap mampu, jadi saya bersama teman-teman waktu itu


membentuk partai ini dengan segala keterbatasan karena waktu itu sudah
banyak partai, terus masyarakat sebenarnya sudah jenuh dengan partai yang
sebanyak itu (34 partai peserta Pemilu kala itu), disitulah Gerindra hadir di
tengah-tengah kejenuhan itu. Sulit kami mengajak orang untuk masuk
menjadi pengurus partai, belum ada kader kala itu, baru istilahnya saya
menawarkan ke orang untuk tolong bantu saya untuk mendirikan partai.” 17

Di awal berdirinya, Partai Gerindra belum melakukan kaderisasi terhadap


para anggota-anggotanya. Hal tersebut juga dialami oleh para pengurus Dewan
Pimpinan Pusat periode 2009-2014 yang baru memberi dan menjalani kaderisasi
setelah terbentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Kaderisasi dilakukan
setelah terbentuk kepengurusan yang diikuti oleh para pengurus Dewan Pimpinan
Pusat bersama para calon anggota legislatif yang ikut dalam Pemilu tahun 2009.

16
Revisi UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 2 ayat (2) dan (5).
17
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Dra. Anita
Ariyani, Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


85

Setelah terbentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode 2014, dilakukan


kegiatan sekolah kader pada tahun 2015 yang diperuntukkan bagi para kader
muda. Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan
Mahasiswa,

“…kaderisasi itu baru mulai lagi tahun 2015 tetapi itu untuk kader muda.
Ada 3 angkatan untuk kader penggerak desa dan gerindra masa depan, itu
tahun 2015. Sekolah kader yang biasa kita lakukan mungkin baru dimulai
tahun ini (2016). Mekanisme sekolah kader itu kan hanya 1 di hambalang,
ketika ada angkatan yang sekolah, tidak bisa ada angkatan lain. Memang
kapasitasnya hanya 500an orang tiap angkatan. Kemarin, satu angkatan itu
ada 200 an orang.” 18

Jika rekrutmen untuk calon anggota legislatif dilakukan dengan sistem


terbuka, bahkan pada pemilihan calon legislatif pada tahun 2009 rekrutmen
19
dilakukan tanpa melalui seleksi yang ketat , berbeda halnya dengan rekrutmen
untuk pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019 yang
dilakukan secara tertutup. Proses dan penetapan pengurus hanya diketahui oleh
Ketua Umum dan jajaran pimpinan Partai Gerindra. Wakil Ketua Umum yang
menjabat pada periode 2014-2019 terdiri dari 14 orang, yaitu 11 laki-laki dan 3
perempuan. Dari keempat belas Wakil Ketua Umum tersebut, sebagian besar
merupakan orang-orang yang pernah menjabat sebagai pengurus Dewan Pimpinan
Pusat di periode 2012, baik meneruskan jabatan atau pindah ke divisi atau bidang
lain.
Tiga perempuan yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum yaitu dr.
Sumarjati Arjoso sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Sumber
Daya Manusia; Marwah Daud Ibrahim, Ph.D sebagai Wakil Ketua Umum Bidang
Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Kreatif; dan Rachmawati Soekarnoputri sebagai
Wakil Ketua Umum Bidang Ideologi. Diantara ketiga perempuan yang menjabat
sebagai Wakil Ketua Umum tersebut, hanya dr. Sumardjati Arjoso yang pernah
menjabat di Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode tahun 2012-2014,
sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Kesejahteraan Rakyat. Marwah Daud

18
Hasil wawancara dengan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa, Noudhy
Valdryno, BA. Op.Cit.
19
Mella Muthia. Op.Cit, hal.55.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


86

Ibrahim, Ph.D dan Rachmawati Soekarnoputri sebelum terbentuknya


kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-2019 belum menjadi kader
Partai Gerindra. Keduanya baru memberikan kontribusi kepada Partai Gerindra
pada Pileg dan Pilpres 2014, terutama sekali didalam Pilpres 2014 mendukung
calon Presiden Prabowo-Hatta.
Dari 14 (empat belas) perempuan yang menjabat sebagai Ketua Bidang, 9
(sembilan) orang merupakan pengurus Dewan Pimpinan Pusat di periode
sebelumnya yaitu 2012-2014. Sebagian besar dari mereka melanjutkan jabatan di
bidang yang sama dari kepengurusan sebelumnya, tetapi ada juga yang naik
jabatan dari Kepala Departemen menjadi Ketua Bidang, ada pula yang tetap
menjadi Ketua Bidang tetapi berganti di bidang yang lain. Sementara itu, karena
terjadi penyempurnaan kepengurusan di setelah dilaksanakannya Kongres Luar
Biasa, terdapat nama-nama baru yang sebelumnya belum ada di jajaran
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Terdapat 5 (lima) nama perempuan yang
baru menempati jabatan sebagai Ketua Bidang di kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat periode 2014-2019.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


87

Tabel 3.1
Pengurus DPP Periode 2014-2019 yang pernah menjabat di Periode 2012-
2014

No. Nama Jabatan di DPP Periode Jabatan di DPP


2014-2019 Periode 2012-2014
1. dr. Sumarjati Wakil Ketua Umum Bidang Wakil Ketua Umum
Ardjoso Pengembangan Sumber Bidang Kesejahteraan
Daya Manusia Rakyat
2. Marwah Daud Wakil Ketua Umum Bidang -
Ibrahim, Ph.D Koperasi, UMKM, dan
Ekonomi Kreatif
3. Rachmawati Wakil Ketua Umum Bidang -
Soekarnoputri Ideologi
4. Irmawaty Habie, Ketua Bidang Hukum dan Ketua Bidang Hukum
SH Perjanjian Internasional dan Perjanjian
Internasional
5. Hj. Himmatul Ketua Bidang Pendidikan -
Aliyah, M.Si Nasional
6. Yetti Wulandari, Ketua Bidang Sosial Ketua Bidang Sosial
SH
7. Dra. Anita Ariyani Ketua Bidang Perlindungan Ketua Bidang Peranan
dan Pemberdayaan dan Pemberdayaan
Perempuan Perempuan
8. Rahayu Saraswati Ketua Bidang Advokasi Kepala Departemen
Djojohadikusumo Perempuan Peningkatan Perfilman
Nasional
9. dr. Karlina, MARS Ketua Bidang Perlindungan Ketua Bidang Anak
Anak
10. Retno Sari Ketua Bidang Perlindungan -
Widowati dan Pemberdayaan Kaum
Difabel

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


88

11. drg. Putih Sari Ketua Bidang Pariwisata Ketua Bidang


Pariwisata
12. Waskita Rini, SS, Ketua Bidang Konservasi Kepala Departemen
MBA Alam dan Lingkungan Pengendalian
Kerusakan
Lingkungan
13. Jasmin B. Setiawan Ketua Bidang Ekonomi Ketua Bidang
Kreatif Ekonomi Kreatif
14. Priscillia E. Ketua Bidang Wawasan -
Mantiri, ST, MT Nusantara
15. Hj. Novita Ketua Bidang Penguatan -
Wijayanti, MM Jaringan Kader
16. Hj. Mestariany Ketua Bidang Hak Asasi Ketua Bidang
Habie, SH Manusia Pemerintahan Umum
17. Dr. Hj. Elza Ketua Bidang Hukum -
Syarief, MH Konstitusi

Data diolah dari : Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2014 dan M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2012

Pemilihan atau penunjukkan Wakil Ketua Umum menurut Kepala


Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa, diukur berdasarkan kompetensi
dan kontribusi yang besar ke Partai Gerindra. Seperti yang dikutip dari
pernyataannya,

“…Waketum tentu diukur berdasarkan kompetensi dan kontribusi ke partai,


jadi kalau dilihat dari nama 14 Waketum, biasanya sudah semuanya
berkontribusi besar buat partai, besar dalam artian dalam materi, waktu,
perjuangan, semuanya sudah dikasih oleh mereka. Pak Fadli sudah lama
ikut dengan Pak Prabowo juga merupakan salah satu pembentuk partai, Bu
Marwah waktu Pilpres dan Pileg bantu kita habis-habisan sebagai
konseptor, dia punya data-data dan segala macam, dan dia kontribusi ke
partai lewat itu, terutama Pilpres 2014. Bu Sumardjati kontribusinya dari
Gerindra masih nol. Waketum selain juga sudah lama berkontribusi juga

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


89

memiliki kedekatan batin dengan gerindra. Jadi tidak diukur dari kuantitatif,
lebih ke kualitatif.” 20

Penunjukkan Wakil Ketua Umum juga didasarkan atas lamanya seorang


pengurus atau anggota berkontribusi di Partai Gerindra. Meski Partai Gerindra
dapat dikatakan sebagai partai baru, tetapi orang-orang yang menjabat sebagai elit
dan pimpinan partai seperti Wakil Ketua Umum, sebagian besar merupakan
orang-orang yang telah ada semenjak Partai Gerindra terbentuk. Selain karena
kontribusi besar sejak Partai Gerindra berdiri, rekomendasi pimpinan karena
kedekatan personal juga menjadi dasar penunjukkan Wakil Ketua Umum. Hal
tersebut terlihat dari penunjukkan Wakil Ketua Umum baru yang bukan
merupakan kader Partai Gerindra. Hal tersebut juga terjadi pada penunjukkan
Ketua Bidang, dimana penunjukkannya atas dasar kedekatan personal dengan
Wakil Ketua Umum diatasnya. Dasar penunjukkan lainnya adalah jenjang karir
atau yang telah bekerja lama untuk Partai Gerindra dan prestasi di dalam kegiatan
kaderisasi partai.

“…Waketum itu biasanya yang senior-senior yang berkontribusi besar di


partai, sementara Kabid biasanya yang muda-muda yang mau meluangkan
waktunya untuk partai. Karena kepengurusan DPP Partai Gerindra, berarti
kita punya kekuasaan, berarti diperbolehkan untuk berbicara ke media,
sebagai Pengurus Pusat Gerindra. Ini yang selalu kita waspadai ketika
memilih Kabid, jangan sampai kita menunjuk Kabid, tau nya hanya
menggunakan nama Gerindra dia malah ‘jualan’. Makanya konsentrasinya
lebih ke kontribusi, loyalitas. Kadang-kadang ada kader utama tetapi
semangatnya kurang dibanding kader muda, ya kita pilih kader muda gitu.
Kalau Kabid, ada tiga sebenarnya yaitu berdasarkan kontribusi, karir, dan
penunjukan langsung oleh waketum bidang yang bersangkutan. Jadi seperti
misalnya Pak Fadli Zon punya junior kader gerindra juga, dijadikan Kabid,
ada juga yang karir, yang telah bekerja lama, menjadi Kabid” 21

Penunjukkan kader-kader muda ditujukan untuk jabatan dibawah Wakil


Ketua Umum seperti Ketua Bidang dan Kepala Departemen. Hal tersebut
didasarkan atas kontribusi kepada partai dan prestasi pada proses kaderisasi yang


20
Hasil wawancara dengan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa, Noudhy
Valdryno, BA. Op.Cit.
21
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


90

dinilai oleh pimpinan Partai Gerindra. Jika dilihat di dalam data kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat, tidak terdapat kader muda yang ditempatkan pada posisi
Wakil Ketua Umum atau pimpinan lain seperti Sekretaris Jenderal dan Bendahara
Umum. Pimpinan-pimpinan di dalam kepengurusan seperti Wakil Ketua Umum
dipegang oleh orang-orang yang telah lama berkecimpung dan berpengalaman di
dalam kegiatan politik. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus perempuan
yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum dan Ketua Bidang, dapat dijabarkan 5
(lima) pola rekrutmen untuk pengurus perempuan di dalam kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019. Kelima pola rekrutmen
perempuan di dalam kepengurusan tersebut terdiri dari Pendiri Partai Gerindra;
Anggota Legislatif (DPR dan DPRD); Kontribusi di Pilpres 2014 dan Bukan
Kader; Kader Partai Gerindra – Pengurus Baru; serta Kader Partai Gerindra –
Pengurus Lama.

3.3.1 Pendiri Partai Gerindra


Dari 17 (tujuh belas) perempuan yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum
dan Ketua Bidang Dewan Pimpinan Pusat, terdapat 2 (dua) orang Ketua Bidang
yang termasuk ke dalam jajaran orang-orang yang ikut serta dalam mendirikan
Partai Gerindra. Para perempuan ini ikut serta dalam menuangkan pemikiran-
pemikiran mereka untuk mendirikan Partai Gerindra, ikut serta dalam rapat-rapat
sebelum akhirnya Partai Gerindra terbentuk pada tahun 2008, mengajak orang-
orang untuk masuk ke dalam Partai Gerindra, serta melakukan upaya-upaya dalam
rangka memenuhi persyaratan verifikasi partai untuk menjadi peserta di Pemilu
tahun 2009. Kedua Ketua Bidang tersebut adalah Dra. Anita Ariyani sebagai
Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Irmawaty Habie,
SH sebagai Ketua Bidang Hukum dan Perjanjian Internasional. Keduanya
merupakan orang-orang yang ikut serta dalam upaya-upaya sampai terbentuk dan
berdirinya Partai Gerindra pada tahun 2008.
Keikutsertaan kedua perempuan tersebut di dalam upaya mendirikan partai
baru, pada awalnya merupakan ajakan dari beberapa kalangan aktifis organisasi
yang menjadi teman sepergaulan di lingkungan mereka untuk mendirikan suatu
partai baru. Hal tersebut seperti yang dikutip dari pernyataan Dra. Anita Ariyani,

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


91

“Kalau saya dari awal. saya ini ikut mendirikan Partai Gerindra. Prosesnya,
saya diminta waktu itu karena latar belakang kami (para pendiri partai)
sama-sama menjadi aktif di organisasi waktu itu. Terus diminta untuk
membantu, mendirikan partai baru. Karena saya bertugas untuk itu,
berupaya meyakinkan orang-orang kalau ada partai baru, partai ini bersih,
jika ada darah-darah bersih dan semangat baru bersama-sama, partai ini Pak
Prabowo yang berinisiatif walaupun kala itu Prabowo masih menjadi kader
Partai Golkar. Nah disitu, orang percaya tidak percaya, bagaimana kita
memiliki kemampuan untuk meyakinkan bahwa kita ada, dan tidak main-
main, itu saya mengikuti proses itu sampai ke seluruh Indonesia bersama
teman-teman yang belum diverifikasi. Kemudian kepengurusan dibentuk,
sebagai syarat untuk mengikuti pemilu. Untuk partai harus ada Ketua,
Sekretaris, Bendahara, menyertakan 30% perempuan di kepengurusan,
itulah awal saya aktif di Gerindra” 22

Atas kontribusi keduanya dalam upaya-upaya pendirian Partai Gerindra,


mereka ditunjuk oleh Ketua Dewan Pembina sebagai pengurus di Dewan
Pimpinan Pusat. Dari kepengurusan sebelumnya di tahun 2012, keduanya juga
tetap menjadi Ketua Bidang di Bidang yang sama, yaitu tetap menjadi Ketua
Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Ketua Bidang Hukum
dan Perjanjian Internasional. Meski mereka sendiri tidak mengetahui kriteria apa
yang membuat mereka terpilih menjadi Ketua Bidang, tetapi keduanya memang
berkompetensi di kedua bidang tersebut. Dra. Anita Ariyani merupakan salah satu
pegiat organisasi yang fokus pada permasalahan dan isu-isu perempuan,
sedangkan Irmawaty Habie, SH merupakan orang yang berlatarbelakang
pendidikan hukum dan berprofesi sebagai Notaris dan PPAT.

3.3.2 Anggota Legislatif (DPR dan DPRD)


Terdapat 5 (lima) orang perempuan dari 14 (empat belas) Ketua Bidang di
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019 yang terpilih sebagai
anggota legislatif pada Pemilu Legislatif tahun 2009 dan 2014 baik di tingkat
DPRD maupun DPR RI. Perempuan yang menjabat sebagai anggota legislatif
fraksi Partai Gerindra adalah sebagai berikut:


22
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Dra. Anita
Ariyani, Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


92

1. Yetti Wulandari, SH : Anggota DPRD Kota Depok.


2. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo : Anggota DPR RI Komisi VIII.
3. drg. Putih Sari : Anggota DPR RI Komisi IX.
4. Hj. Novita Wijayanti, MM : Anggota DPR RI Komisi V.
5. Hj. Mestariany Habie, SH : Anggota DPR RI Periode 2009-2014.
Sebagai anggota legislatif yang berasal dari Partai Gerindra, para anggota
legislatif terpilih ini memiliki tugas untuk menyuarakan dan membawa
kepentingan Partai Gerindra di tingkat regional maupun nasional. Anggota
legislatif terpilih mendapatkan hak istimewa yaitu jabatan politik di kepengurusan
baik Dewan Pimpinan Pusat maupun Dewan Pimpinan Daerah. Hal tersebut selain
dikatakan sebagai hak istimewa, tetapi dapat juga dikatakan sebagai konsekuensi
langsung atas terpilihnya mereka di lembaga legislatif. Penempatan anggota
dewan terpilih pada kepengurusan internal Partai Gerindra baik di tingkat pusat
maupun daerah diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar untuk
membesarkan partai. Seperti yang dikutip dari Kepala Departemen Pembinaan
Pelajar dan Mahasiswa,

“…Anggota Dewan kita itu diberi posisi baik di DPD maupun di DPP,
supaya bisa berkontribusi juga. Jangan jadi anggota dewan terus lupa
dengan kulitnya, jadi anggota dewannya dari kita, tetapi kontribusi ini
bukan hanya uang ya, karena ada juga anggota dewan yang kirim uang ke
DPP tetapi tidak pernah muncul ya sama aja. Karena kita butuh dia sebagai
suara partai, kalau uang mah kita bisa cari dari mana saja, tetapi yang kita
inginkan mereka berkontribusi secara riil juga dari waktu, konsep.” 23

Tidak semua anggota legislatif dari fraksi Partai Gerindra masuk ke dalam
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019.
Terdapat aturan internal partai dimana jika anggota legislatif terpilih tersebut telah
memiliki jabatan sebagai pengurus di Dewan Pimpinan Daerah, maka tidak bisa
menjadi pengurus di Dewan Pimpinan Pusat. Hal tersebut juga tercantum pada
Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra Pasal 13 Ayat (3) yang menyebutkan
bahwa setiap pengurus partai dilarang merangkap jabatan dalam kepengurusan
Dewan Pimpinan dan atau Pimpinan Partai, yang bersifat vertikal. Hal tersebut

23
Hasil wawancara dengan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa, Noudhy
Valdryno, BA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


93

serupa dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ketua Bidang Advokasi


Perempuan yang juga Anggota DPR RI Komisi VIII, Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo,

“…Nah itu mereka juga diangkat disitu, jadi sebenarnya dari kader-kader
yang sudah ada, ditempatkan di DPP yaitu mereka yang memiliki
kemampuan. Anggota DPR sudah otomatis menjadi anggota DPP, yang
bukan pimpinan DPD. Artinya mereka yang menjadi pimpinan DPD tidak
bisa.” 24

Dari keempat anggota legislatif yang menjabat sebagai Ketua Bidang di


kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019, hanya
satu yang bukan menjadi pengurus di Dewan Pimpinan Pusat periode 2012-2014,
yaitu Hj. Novita Wijayanti, MM. Tiga Ketua Bidang yang lain yaitu Yetti
Wulandari, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, dan drg. Putih Sari merupakan
pengurus Dewan Pimpinan Pusat pada periode 2012-2014. Yetti Wulandari dan
drg. Putih Sari melanjutkan jabatan Ketua Bidang yang sama dari kepengurusan
sebelumnya.
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo naik dari jabatan sebelumnya sebagai
Kepala Departemen Peningkatan Perfilman Nasional menjadi Ketua Bidang
Advokasi Perempuan. Hal tersebut sesuai dengan isu-isu yang menjadi fokus
perhatiannya yaitu permasalahan perempuan dan sesuai dengan komisi dimana ia
ditempatkan di DPR RI yaitu Komisi VIII dengan ruang lingkup agama dan
sosial. Mantan anggota DPR RI, Hj. Mestariany Habie, SH juga melanjutkan
jabatan sebagai Ketua Bidang dari kepengurusan sebelumnya, tetapi pada
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-2019 ia pindah ke bidang lain
dari Ketua Bidang Pemerintahan Umum menjadi Ketua Bidang Hak Asasi
Manusia.

1.3.3 Kontribusi di Pilpres 2014 dan Bukan-Kader


Terdapat 4 (empat) pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra yang
terdiri dari 2 (dua) Wakil Ketua Umum dan 2 (dua) Ketua Bidang periode 2014-

24
Hasil Wawancara dengan Ketua Bidang Advokasi Perempuan, Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo di Gedung DPR RI. Rabu, 13 April 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


94

2019 merupakan anggota baru di dalam Partai Gerindra, yaitu Marwah Daud
Ibrahim, Ph.D dan Rachmawati Soekarnoputri, Elza Syarief, dan Retno Sari
Widowati. Bergabungnya 4 (empat) nama perempuan ini di dalam kepengurusan
Partai Gerindra sejak penyempurnaan personalia pengurus Dewan Pimpinan Pusat
setalah dilakukannya Kongres Luar Biasa. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D
merupakan politikus yang berasal dari Partai Golkar. Ia pernah menjabat sebagai
pengurus di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar dan pernah menjadi Ketua
Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar pada era kepemimpinan Akbar Tandjung. 25
Karir politiknya selain menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar,
juga pernah menjadi Anggota DPR RI selama 4 (empat) periode. Seperti yang
dikutip dari pernyataannya, “Saya dulu di Golkar, saya 4 periode di DPR dan juga
pernah menjadi pengurus di DPP nya, pernah jadi salah satu ketua disana juga.” 26
Pada tahun 2004, Ia dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto
yang pada saat itu masih merupakan kader Partai Golkar, mengikuti Konvensi
Partai Golkar untuk menentukan bakal calon Presiden dari Partai Golongan Karya.
Dalam tahapan penyaringan Konvensi Daerah Kabupaten/Kota seluruh Indonesia,
terdapat aturan dimana 5 (lima) nama bakal calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama sampai kelima ditetapkan sebagai bakal calon yang berhak
diusulkan oleh DPD Partai Golongan Karya kepada DPP Partai Golongan Karya.
Dari hasil rekapitulasi Konvensi Daerah di tiga puluh Provinsi, Marwah Daud
Ibrahim hanya masuk posisi lima besar dengan mendapatkan posisi ketiga di satu
Provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara dengan 15 suara. Sementara itu, Prabowo
Subianto yang maju ke tahapan selanjutnya di Konvensi Nasional pada tanggal 20
April 2004, hanya berada di peringkat ke lima dengan perolehan 39 suara. 27
Kedekatan Marwah Daud Ibrahim dan Prabowo Subianto telah terjalin sejak
lama, ketika keduanya sama-sama menjadi kader Partai Golongan Karya. Setelah
tahun 2004, karir politiknya di Partai Golkar berhenti dan tidak begitu aktif di


25
“Tokoh Perempuan Golkar Marwah Daud dan Kivlan Zen Dukung Prabowo Hatta” dikutip dari
tribunnews.com 27 Mei 2014 yang diakses pada 21 April 2016.
26
Hasil Wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Kreatif,
Marwah Daud Ibrahim, Ph.D di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Rabu, 20 April
2016.
27
A. Syamsul Zakaria dalam Konvensi Nasional Pemilihan Presiden: Studi Perbandingan
Konvensi Nasional Partai Golongan Karya di Indonesia dengan Konvensi Nasional Partai
Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat (2004: 151-161).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


95

ranah partai politik. Pada tahun 2014, ketika Prabowo Subianto mencalonkan diri
menjadi calon Presiden bersama Hatta Rajasa, Marwah Daud Ibrahim, Ph.D
menyatakan dukungannya untuk pasangan calon Presiden ini. Seperti yang dikutip
dari pernyataanya berikut ini,

“…Pak Prabowo kan juga sebelum di Gerindra juga di Golkar, ikut


Konvensi Partai Golkar juga tahun 2004, sama-sama ikut bersama dengan
Prabowo dalam konvensi. Kemudian untuk beberapa waktu saya memang
sudah berhenti aktif di golkar. Lalu waktu itu diajak waktu Pilpres
(Prabowo-Hatta) 2014, ikut menjadi salah satu juru bicara pasangan Pak
Prabowo-Hatta.” 28

Kontribusi Marwah Daud Ibrahim, Ph.D di dalam Pilpres tahun 2014


mendukung pasangan calon Presiden-Prabowo Hatta dianggap oleh pengurus
Dewan Pimpinan Pusat, sangatlah besar. Ia menginvestasikan konsep, waktu,
tenaga untuk melakukan riset untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan pada
saat itu. Pada saat deklarasi dukungan pada tanggal 26 Mei 2014 di Rumah
Polonia, ia juga membawa relawan yang dikenal dengan sebutan Relawan
Nusantara Jaya yang tersebar dari berbagai Provinsi di Indonesia. Atas dasar
kedekatan dengan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra dan
kontribusinya pada saat Pilpres 2014, ia ditunjuk oleh Ketua Umum terpilih yaitu
Prabowo Subianto untuk mengisi jabatan Wakil Ketua Umum Bidang Koperasi,
UMKM, dan Ekonomi Kreatif di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra periode 2014-2019.

“…setelah itu ada perubahan pimpinan di Gerindra waktu Ketua Umumnya


Pak Suhardi wafat. Lalu Pak Prabowo terpilih menjadi Ketua Umum
sekaligus Ketua Dewan Pembina, lalu ada beberapa perubahan
kepengurusan, ada penambahan dan saya diundang beliau untuk masuk.
Jadi, masuk di kepengurusan periode yang sekarang.” 29

Ditunjuknya Marwah Daud Ibrahim, Ph.D sebagai Wakil Ketua Umum


Bidang Koperasi, UMKM dan Ekonomi Kreatif menurut pengurus Dewan

28
Hasil Wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Kreatif,
Marwah Daud Ibrahim, Ph.D. Op.Cit.
29
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


96

Pimpinan Pusat Partai Gerindra berdasarkan atas merit-based. Pada saat deklarasi
dukungan kepada calon Presiden Prabowo-Hatta, di dalam pidatonya ia
mengungkapkan bahwa, “Kami minta seluruh perempuan Indonesia mendirikan
posko-posko di rumahnya masing-masing. Kumpulkan 20 tenaga dan Insya Allah
30
kelak, posko-posko ini akan kita jadikan pusat-pusat koperasi se-Indonesia.”
Pernyataannya tersebut dianggap sejalan dengan pokok perjuangan yang termuat
di dalam program aksi transformasi Partai Gerindra yaitu membangun ekonomi
kerakyatan.
Ketika ditunjuk oleh Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat terpilih, Marwah Daud Ibrahim, Ph.D belum menjadi kader dan
belum melakukan kegiatan kaderisasi Partai Gerindra. Hal tersebut menurut
pengurus Dewan Pimpinan Pusat dikarenakan sekolah kader baru dilaksanakan
pada tahun 2015 dan kegiatan kaderisasi tersebut hanya diperuntukkan bagi kader
muda. Menurut pengakuannya, sampai saat ini ia belum pernah melakukan
kaderisasi secara formal, dan yang menarik justru Ia memberikan materi pada saat
kegiatan kaderisasi untuk para kader muda Partai Gerindra. Seperti yang dikutip
dari pernyataannya, “…yang sifatnya formal tidak, semenjak saya diajak masuk.
Saya justru mengisi materi kaderisasi, bukan menjadi pesertanya.” 31
Meski belum pernah mengikuti sekolah kader yang diadakan oleh Partai
Gerindra, hal tersebut menurut Bianti Djiwandono, MA sebagai salah satu
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, tidak perlu. Menurutnya, semangat
yang dimiliki oleh Marwah Daud Ibrahim, Ph.D telah sejalan dengan Partai
Gerindra dan Partai Gerindra sangat terbuka terhadap orang-orang seperti dirinya,
yang memiliki pengalaman dalam berorganisasi di partai politik. Seperti yang
dikutip dari pernyataannya,

“…mungkin, jiwanya sudah, kan direkrut oleh Pak Prabowo sendiri, jiwa
nya sudah Gerindra karena waktu dia berkampanye untuk KMP. Mungkin
dianggapnya tidak melalui kaderisasi, tetapi karena ini adalah seorang
profesional yang jiwanya sudah cocok dengan Gerindra dan Bu Marwah
sendiri juga merasa cocok, oleh karena itu dia masuk ke Gerindra. Ya

30
“Tokoh Perempuan Golkar Marwah Daud dan Kivlan Zen Dukung Prabowo Hatta” dikutip dari
tribunnews.com. Op.Cit.
31
Hasil Wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Kreatif,
Marwah Daud Ibrahim, Ph.D. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


97

memang, Bu Marwah adalah politikus dari jaman kapan, dari jaman Golkar
(berkuasa), latar belakangnya adalah politik. Beliau justru memberikan
materi di kaderisasi, bukan menjadi pesertanya, untuk kaderisasi program
masa depan (yang akan digunakan). Tetapi untuk kita, jiwa gender nya
sudah ada, jiwa profesionalnya sudah ada, jadi tidak perlu lagi kaderisasi itu
memang adalah sebenarnya kita terbuka untuk orang-orang seperti Bu
Marwah untuk masuk ke Gerindra.” 32

Kedekatan Marwah Daud Ibrahim, Ph.D dengan Prabowo Subianto selaku


Ketua Dewan Pembina yang telah berlangsung sejak lama, pengalaman politik
baik di kepengurusan partai politik maupun lembaga legislatif, dan kesediaannya
dalam mendukung penuh Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 membuat dirinya
ditunjuk oleh Prabowo Subianto menjadi salah satu Wakil Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Sebagai partai baru, Partai Gerindra terbuka
terhadap orang-orang yang telah berpengalaman di dalam dunia politik untuk
masuk kedalam kepengurusan tingkat pusat seperti Marwah Daud Ibrahim, Ph.D.
Selain Marwah Daud Ibrahim, Ph.D, Wakil Ketua Umum perempuan lain
yang baru bergabung di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra periode 2014-2019 adalah Rachmawati Soekarnoputri. Bergabungnya
Rachmawati Soekarnoputri dengan Partai Gerindra semenjak kontribusinya di
dalam mendukung pasangan calon Presiden Prabowo-Hatta pada Pilpres tahun
2014. Prabowo Subianto selaku Ketua Umum dan Calon Presiden dari Partai
Gerindra melakukan pertemuan pada 16 Mei 2014 secara terbuka dengan dirinya
di kediaman Fatmawati di Jl. Jatipadang 54A, Pasar Minggu dalam rangka
menghadapi Pilpres pada bulan Juli 2014. Kala itu, menurut pengakuan Prabowo
Subianto, pertemuan tersebut bukan sebagai upaya pencarian dukungan menuju
Pilpres 2014, tetapi sebagai ajang silahturahmi. Seperti yang dikutip dari
pernyataannya, “Ya itu tentunya akan, apa ya maksudnya, itu dinamika. Saya
datang intinya silaturahmi, berbagi pandangan.” 33
Meski mengelak bahwa pertemuan tersebut bukan sebagai pencarian
dukungan, tetapi setelah pertemuan yang berlangsung selama 2 jam tersebut,

32
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA. Op.Cit.
33
Pernyataan Prabowo Subianto dalam hasil wawancara dengan detiknews.com pada tanggal 16
Mei 2014 yang dikutip dari Sejarah ‘Koalisi’ Prabowo Subianto-Rachmawati Soekarnoputri.
Diakses pada tanggal 20 Mei 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


98

Prabowo Subianto menerima sebuah pigura yang bergambar Presiden Soekarno


dan buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Presiden Soekarno. Seperti yang
dikutip dari berita detiknews.com,

“Usai bertemu sekitar 2 jam, Prabowo menerima sebuah pigura


bergambarkan Presiden RI Soekarno dan buku ‘Di Bawah Bendera
Revolusi’ karya Presiden RI pertama itu. Rachma juga menandatangani
buku itu. Jelas sekali ini isyarat dukungan Rachmawati ke Prabowo-
Hatta.”34

Pada saat itu, Rachmawati Soekarnoputri masih menjadi kader Partai


Nasional Demokrat. Sikapnya yang memilih untuk memberi dukungan terhadap
calon Presiden Prabowo-Hatta, bertentangan dengan sikap partainya yang
mendukung calon Presiden Jokowi-JK. Setelah menyatakan dukungannya
terhadap calon Presiden Prabowo-Hatta, ia dikeluarkan dari keanggotaan Partai
Nasional Demokrat yang diketuai oleh Surya Paloh. Meski keluar dari Partai
Nasional Demokrat, karir politik Rachmawati Soekarnoputri tidak berhenti
sampau disitu karena kemudian Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Partai
Gerindra mengajaknya untuk masuk kedalam kepengurusan Partai Gerindra.
Seperti yang dikutip dari pernyataan Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Pusat
Partai Gerindra, Ahmad Muzani, “Pak Prabowo minta ke Ibu Rachma dan Ibu
35
Rachma menyatakan kesediaannya.”
Ahmad Muzani juga menjelaskan bahwa Partai Gerindra sudah lama
mengajak Rachmawati Soekarnoputri untuk bergabung dengan Partai Gerindra.
Hal tersebut kemudian direalisasikan kembali oleh Prabowo Subianto selaku
Ketua Umum Partai Gerindra yang meminta kesediaan dirinya setelah
Rachmawati Soekarnoputri dinyatakan keluar dari partai Nasional Demokrat.
Seperti yang dikutip dari pernyataan Ahmad Muzani, “Beliau nyatakan kesediaan
sebagai pengurus partai dan akhirnya Pak Prabowo tempatkan di jajaran
Waketum.” 36


34
Ibid.
35
Pernyataan Sekretaris Jendral Partai Gerindra, Ahmad Muzani di acara pelantikan pengurus
harian DPP Gerindra di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Rabu 8 April 2015 yang
dikutip dari Sejarah ‘Koalisi’ Prabowo Subianto-Rachmawati Soekarnoputri. Op.Cit.
36
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


99

Terpilihnya kedua perempuan tersebut di dalam kepengurusan Dewan


Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019 didasarkan atas penunjukkan
dan permintaan langsung Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Keterpilihan kedua perempuan ini sebagai Wakil Ketua Umum dilihat dari
kontribusi keduanya yang besar di dalam Pilpres tahun 2014. Melihat pengalaman
kedua perempuan tersebut di dalam dunia politik dan untuk memperoleh
dukungan jangka pendek bagi Partai Gerindra, keduanya dapat masuk ke dalam
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019 tanpa
melalui kaderisasi, bahkan belum menjadi anggota sebelumnya. Dalam rekrutmen
37
politik, pola atau model seperti ini disebut sebagai survival , yaitu rekrutmen
politik yang didasarkan pada prinsip balas jasa. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Bianti Djiwandono,

“…Dia juga waketum di DPP, tetapi saya belum pernah lihat terus terang.
Itu sih Pak Prabowo yang menentukan, tetapi mungkin karena loyalitas
beliau waktu kampanye Pilpres. Waktu Pilpres kan, Ibu Rachma memang
kampanye untuk KMP dan Gerindra, tetapi ya begitu saja…” 38

Pengurus Dewan Pimpinan Pusat yang juga bukan kader Partai Gerindra
sebelum terbentuknya kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-2019
adalah Dr. Hj. Elza Syarief, MH. Sebelum bergabung dengan Partai Gerindra dan
menjadi pengurus di Dewan Pimpinan Pusat, Ia merupakan kader Partai Hanura.
Latar belakang profesinya sebagai seorang pengacara yang cukup terkenal di
Indonesia dianggap mampu untuk mengemban jabatan sebagai Ketua Bidang
Hukum Konstitusi. Terpilihnya Dr. Hj. Elza Syarief, MH untuk masuk di jajaran
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-2019 sama sekali tidak
diketahuinya, dan hal tersebut justru diketahui hanya beberapa hari sebelum
pelantikan pengurus Dewan Pimpinan Pusat. Seperti yang dikutip dari halaman
berita merdeka.com,


37
Barbara Geddes. Op.Cit.
38
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


100

“Mantan kader Partai Hanura yang juga merupakan pengacara


kondang, Elza Syarief bergabung dengan Partai Gerindra. Sebagai kader
baru, Elza bahkan dipercaya partai berlambang kepala Garuda itu untuk
menjabat di salah satu struktur pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra. Namun ketika ditanya, Elza mengaku baru diberitahu mengenai
hal tersebut, dan juga belum mengetahui jabatan apa yang akan diembannya.
‘Saya belum tahu ya. Saya baru dikasih tahu Senin malam. Tadi pas
dibacakan juga tidak begitu kedengaran’, ujar Elza di Kantor DPP Partai
Gerindra.” 39

Bergabungnya Dr. Hj. Elza Syarief, MH ke dalam Partai Gerindra dan


menjadi pengurus di Dewan Pimpinan Pusat berbeda dengan kedua perempuan
lainnya yaitu Marwah Daud Ibrahim, Ph.D, dan Rachmawati Soekarnoputri yang
memberikan dukungan penuh dan kontribusi pada Pilpres 2014. Dr. Hj. Elza
Syarief, MH masuk ke dalam jajaran advokat Tim Pembela Merah Putih atau
kubu Prabowo-Hatta di dalam penyelesaian sengketa hasil Pilpres 2014 pada
persidangan di Mahkamah Konstitusi. Ketika ditanyakan mengenai alasan
mengapa dirinya keluar dari Partai Hanura dan masuk menjadi kader Partai
Gerindra, ia mengatakan bahwa Partai Gerindra merupakan sarana baru untuk
mengembangkan pemikiran-pemikirannya, terlebih setelah dirinya keluar dari
Partai Hanura. Seperti yang dikutip dari pernyataannya,

“Saya senang, jadi kita senang punya kawan baru lagi. Tapi banyak juga
kawan-kawan saya di sini. Gabung di Gerindra baru juga. Senin baru tahu
kalau saya jadi pengurus, tadinya kan baru lisan-lisan saja. Cari suasana
baru yang bisa sesuai dengan pemikiran saya. Di Hanura kan sudah resmi
keluar sudah dari bulan Februari. Kan banyak teman saya di sini. Saya
mengiyakan setelah saya diajak. Sudah lama berhubungan baik dengan
Gerindra. Ini saja banyak teman-teman saya yang baru dilantik, yang waktu
itu membantu di MK. Semua sekarang ikut di Gerindra. Ada Pak Djoko
Santoso, Pak Mukhlas. Barengan semua gabungnya.” 40

Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Kaum Difabel, Retno Sari


Widowati juga bukan merupakan kader Partai Gerindra sebelum penyempurnaan
personalia pengurus Dewan Pimpinan Pusat setalah dilakukannya Kongres Luar

39
Mohammad Yudha Prasetya, dalam Gabung Gerindra, Elza Syarief kaget langsung jadi ketua,
diambil dari merdeka.com tanggal 8 April 2015.
40
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


101

Biasa pada tahun 2014. Dirinya baru aktif di dalam kegiatan Partai Gerindra pada
Pilpres 2014 mendukung Prabowo-Hatta di rumah polonia.41 Keterlibatannya di
dalam kegiatan Pilpres 2014 mendukung calon Presiden Prabowo-Hatta
membuatnya masuk kedalam jajaran kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat setelah
terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum.
Pola rekrutmen Retno Sari Widowati dan Dr. Hj. Elza Syarief, MH di dalam
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat, sama halnya dengan 2 (dua) Wakil Ketua
Umum yaitu pola atau model survival yaitu rekrutmen politik yang didasarkan
pada prinsip balas jasa berkat kontribusi di Pilpres 2014. Dasar penunjukkan Dr.
Hj. Elza Syarief, MH di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat karena
kontribusinya membela kubu Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi dalam
penyelesaian sengketa hasil Pilpres 2014 dan karena dikeluarkannya dirinya dari
Partai Hanura. Untuk membalas jasanya, jajaran pimpinan Partai Gerindra
mengajak dirinya untuk bergabung dan menjadi pengurus di Dewan Pimpinan
Pusat Partai Gerindra. Kompetensi Dr. Hj. Elza Syarief, MH di bidang hukum
tentu tidak perlu diragukan lagi mengingat dirinya berprofesi sebagai pengacara
ternama di Indonesia.

1.3.4 Kader Partai Gerindra – Pengurus Baru


Terdapat 2 (dua) perempuan yang menjabat sebagai Ketua Bidang yang
telah menjadi loyalis dan kader Partai Gerindra, sejak awal didirikannya Partai
Gerindra, namun baru menjabat di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat pada
tahun 2014. Kedua perempuan tersebut adalah Hj. Himmatul Aliyah, M.Si sebagai
Ketua Bidang Pendidikan Nasional dan Priscillia E. Mantiri, ST, MT sebagai
Ketua Bidang Wawasan Nusantara. Keterlibatan awal keduanya di dalam kegiatan
Partai Gerindra adalah karena seringnya mendampingi kegiatan suami mereka
yang menjabat di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Cukup
seringnya keterlibatan kedua perempuan tersebut di kegiatan-kegiatan Partai
Gerindra merupakan implementasi dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh Ketua
Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum, Prabowo Subianto untuk turut


41
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Kaum Difabel, Retno
Sari Widowati melalui telepon. Kamis, 2 Juni 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


102

menyertakan keluarga di dalam kegiatan politik. Seperti yang dikemukakan oleh


Priscillia E. Mantiri, ST, MT, “Jadi kan Pak Prabowo sangat mementingkan
family value, jadi ketika suami disibukkan dengan kegiatan, baik politik dan
sebagainya, biasanya beliau akan lebih senang kalau istri dilibatkan, jadi tidak
ditinggalkan.” 42
Hj. Himmatul Aliyah, M.Si merupakan istri dari Sekretaris Jenderal dan
Ketua Fraksi DPR Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Selain karena seringnya
mendampingi kegiatan politik Ahmad Muzani baik di Dapil, Partai Gerindra,
DPR, dan sebagainya, dirinya juga menjadi penggagas dan menjadi ketua dari
Persatuan Istri Anggota Dewan Fraksi Partai Gerindra (PINDRA) yang menjadi
wadah dari para istri anggota legislatif fraksi Partai Gerindra. Sama halnya dengan
organisasi sayap partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA), kegiatan yang
dilakukan oleh PINDRA lebih banyak kepada kegiatan untuk pemberdayaan
perempuan yang bergerak dalam ekonomi kerakyatan. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh PINDRA memiliki tujuan menjaga citra baik para suami yang
menjadi anggota legislatif dari fraksi Partai Gerindra dan terlebih menarik lebih
banyak simpati masyarakat untuk mendukung Partai Gerindra. 43
Sebelum masuk ke dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra periode 2014-2019, Hj. Himmatul Aliyah, M.Si sempat mencalonkan
diri sebagai caleg DPD RI di Pileg 2014 dari Dapil Banten. Dunia politik
merupakan dunia yang tidak asing baginya, karena selain menjadi istri dari politisi
Partai Gerindra, ia juga lahir dari orang tua yang bergerak di dunia politik.
Ayahnya yang bernama alm. H. Nunu Nukman adalah seorang humas dan
dai/ulama yang ikut serta dalam kegiatan politik praktis dengan menjadi juru
kampanye politik di kegiatan kampanye menjelang Pemilu. Ayahnya mendidik
dengan membawanya turut berkeliling Banten untuk mendengarkannya
berceramah dan berkampanye. 44


42
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Wawasan Nusantara, Priscillia E. Mantiri, ST, MT.
Op.Cit.
43
Lini Masa Facebook Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada tanggal 28 Mei 2015.
Diambil dari https://id-id.facebook.com/gerindra/posts.
44
Hj. Himmatul Aliyah, S.Sos, M.Si Calon Anggota DPD RI Provinsi Banten, diambil dari
www.ramaloka.com.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


103

Priscillia E. Mantiri, ST, MT merupakan istri dari anggota Dewan Pembina


Partai Gerindra dan juga Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Simon
Aloysius Mantiri, ST. Selain karena seringnya mendampingi kegiatan politik
suami di dalam Partai Gerindra, Priscillia E. Mantiri, ST, MT juga telah lama
bekerja di lingkungan Partai Gerindra meski bukan secara struktural
kepengurusan. Ia telah bekerja sebagai pegawai Ketua Umum sekaligus Ketua
Dewan Pembina, Prabowo Subianto, bahkan sebelum Prabowo Subianto
mendirikan Partai Gerindra. Sebelum masuk di jajaran kepengurusan Partai
Gerindra di tahun 2014, ia sudah menjadi kader dan juga aktif dalam kegiatan
sekolah kader yang diadakan Partai Gerindra di Hambalang. Keiikutsertaannya di
dalam keanggotaan Partai Gerindra, diakuinya atas keiinginan dirinya sendiri dan
dengan sukarela mengikuti atasannya masuk ke dalam Partai Gerindra. Seperti
yang dikutip dari pernyataannya,

“Kalau misalnya, ini kita ngomongin periode Gerindra dari dibawah tahun
2014. Waktu kepengurusan sebelumnya mungkin tidak official menjabat di
struktur. Tapi kalau secara kader iya, sudah dari sejak awal Gerindra berdiri.
Bahkan sebelum itu juga, karena kan kita dulu staf nya Pak Prabowo dari
Bapak masih belum di Gerindra pun, udah ikut. Apalagi ketika Bapak
mendirikan Gerindra, otomatis kita punya visi dan misi yang sama dengan
beliau. Jadi kita ngerti, visi dan misi beliau terhadap Bangsa Indonesia
otomatis kita punya visi yang sama. Jadi ngga cuma semata-mata karena
staf, kerja dengan Pak Prabowo kemudian kita otomatis, ngga juga. Tetapi
memang karena beliau menularkan rasa cinta tanah air nya dengan
keteladanan, jadi kita dengan sukarela, kita terasa ikut terpanggil juga untuk
terlibat di partainya beliau. Sebelum di kepengurusan sekarang, aktifnya di
kaderisasi. Kan banyak diklat di Hambalang, kebetulan kalau ada kader
perempuan, mau ga mau butuh instruktur atau apa, ya disitu. Saya menjadi
pegiat di sekolah kader Gerindra.” 45

Karena keaktifannya di dalam kegiatan-kegiatan internal dan telah menjadi


kader Partai Gerindra, sama seperti halnya Hj. Himmatul Aliyah, M.Si, ia juga
sempat mencalonkan diri sebagai caleg pada Pileg 2014. Ia mencalonkan diri
untuk menjadi anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra dari Dapil Sulawesi Utara,
tempat dirinya berasal. Berbeda dengan caleg-caleg Partai Gerindra yang lainnya,


45
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Wawasan Nusantara, Priscillia E. Mantiri, ST, MT.
Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


104

keikutsertaannya dalam Pileg tahun 2014 tidak melalui pendaftaran terbuka,


karena pada saat itu dirinya menggantikan caleg perempuan yang mengundurkan
diri. Karena adanya persyaratan keterwakilan perempuan sebanyak 30% dan
tenggat waktu yang semakin dekat dengan batas penetapan calon, maka Ketua
Dewan Pembina, Prabowo Subianto meminta kesedian dirinya untuk menjadi
caleg mewakili Sulawesi Utara. Hal tersebut seperti yang dikutip dari
pernyataannya,

“…Nah kalau sebelum itu saya ditunjuk oleh beliau sebagai Caleg, Caleg
mewakili Sul-Ut. Jadi memang saya satu-satunya Caleg yang tidak
mendaftar. Kan kita ada proses penjaringan Caleg, disitu kita daftar. Partai
Gerindra buka iklan di koran, lalu siapa yang mau daftar kita terbuka.
Ketika mendaftar, otomatis dibuatkan KTA Gerindra, dan sebagainya
mengikuti prosesnya. Seleksi administrasi, wawancara dan segala macam.
Sedangkan saya baru menjadi Caleg itu 22 mei, jadi tanggal 20 april itu
batas waktu penentuan berkas di KPU untuk caleg. 30 hari kemudian, 20an
mei nya baru ada perbaikan, nah saya baru jadi Caleg disitu. Karena Caleg
yang di Dapil saya itu mengundurkan diri, dan kebetulan Caleg tersebut
perempuan. Nah otomatis kan, karena kuota, dicari siapa diantara staf-
stafnya yang dari Sul-Ut, hanya satu yaitu saya.” 46

Sama halnya dengan Wakil Ketua Umum dan Ketua Bidang lainnya,
penunjukkan Hj. Himmatul Aliyah, M.Si sebagai Ketua Bidang Pendidikan
Nasional dan Priscillia E. Mantiri, ST, MT sebagai Ketua Bidang Wawasan
Nusantara ditunjuk secara langsung oleh Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua
Umum, Prabowo Subainto. Kontribusi keduanya di dalam kegiatan-kegiatan
internal partai, dianggap oleh pengurus Dewan Pimpinan Pusat dinilai cukup
besar. Selain karena kontribusi keduanya dalam kegiatan-kegiatan Partai Gerindra
yang diikuti oleh suami mereka, penunjukkan mereka sebagai Ketua Bidang di
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra sebagai penghargaan atas kehadiran
keduanya dalam setiap kegiatan partai. Rekrutmen politik seperti itu dilakukan
berdasar pertimbangan pragmatis, tetapi juga mempertimbangkan kompetensi
yang dimiliki dan bertujuan untuk mengembangkan pengikut yang loyal. Hal
tersebut juga didukung dari pernyataan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar
dan Mahasiswa,


46
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


105

“…Suaminya, Sekjen. Tetapi sejauh ini dia kontribusi nya sangat besar
terhadap Gerindra, terutama di Dapilnya Pak Muzani. Karena kan suaminya
Sekjen, pasti sibuk. Makanya, di Dapil, Bu Aliyah banyak sekali
kontribusinya di Dapil, apalagi di PINDRA memang dia penggeraknya.
Jadi, kalau ditanya apakah berdasar pragmatisme atau meritokrasi,
sebenarnya dua-duanya. Meritokrasinya jelas, tetapi pragmatismenya ada.”47

1.3.5 Kader Partai Gerindra – Pengurus Lama


Terdapat 4 (empat) nama perempuan yang tercatat sebagai kader dan juga
telah menjadi pengurus di Dewan Pimpinan Pusat dari sebelum penyempurnaan
kepengurusan di tahun 2014 pada Kongres Luar Biasa. Keempat perempuan
tersebut adalah dr. Sumarjati Ardjoso sebagai Wakil Ketua Umum Bidang
Pengembangan Sumber Daya Manusia, dr. Karlina, MARS sebagai Ketua Bidang
Perlindungan Anak, Waskita Rini, SS, MBA sebagai Ketua Bidang Konservasi
Alam dan Lingkungan, dan Jasmin B. Setiawan sebagai Ketua Bidang Ekonomi
Kreatif. Dari keempat nama perempuan tersebut, hanya Waskita Rini, SS, MBA,
yang naik jabatan dari kepengurusan sebelumnya sebagai Kepala Departemen
Pengendalian Kerusakan Lingkungan menjadi Ketua Bidang Konservasi Alam
dan Lingkungan. Ketiga perempuan lainnya melanjutkan jabatan sebagai Wakil
Ketua Umum dan Ketua Bidang dari kepengurusan di periode sebelumnya.
Meski umur Partai Gerindra baru 8 tahun berdiri, keberadaan keempat
perempuan tersebut di dalam kegiatan internal partai, telah ada sejak Partai
Gerindra didirikan. Keempatnya juga telah menjadi kader Partai Gerindra sejak 8
tahun yang lalu. Sebelum masuk di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat,
keempatnya tercatat sebagai Pengurus Pusat Perempuan Indonesia Raya (PIRA),
bahkan hingga kepengurusan di periode yang sekarang atau sejak bulan
September 2013. Jabatan yang diemban keempatnya di kepengurusan Perempuan
Indonesia Raya (PIRA) sama halnya dengan jabatan mereka di kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra telah berlangsung sebanyak dua kali masa
jabatan.
Jasmin B. Setiawan sebagai Ketua Bidang Ekonomi Kreatif di Dewan
Pimpinan Pusat tercatat menjabat sebagai Ketua I Pengurus Pusat PIRA yang


47
Hasil wawancara dengan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa, Noudhy
Valdryno, BA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


106

membawahi Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan, Anggota Dewan


Pembina, dan Anggota Majelis Kehormatan Partai. Menurutnya, latar belakang
pendidikannya di bidang seni rupa membuat dirinya ditunjuk untuk masuk ke
dalam bidang ekonomi kreatif. Seperti yang dikutip dari pernyataannya,

“Ibu sudah menjadi kader di Partai Gerindra sejak Partai ini berdiri 8 tahun
yang lalu. Dalam daftar data partai, Ibu masuk dalam Bidang Industri
Kreatif karena background ibu lulusan Senirupa ITB. Jabatan lain di Partai
adalah sebagai Ketua 1 Sayap Perempuan Gerindra yakni Sayap Perempuan
Indonesia Raya, Ketua 1 membawahi Bidang OKK, Bidang Humas, Bidang
Hukum dan Pemberdayaan Perempuan. Jabatan ini sudah keduakalinya,
dalam aturan AD/ART kami Perempuan Indonesia Raya, masa jabatan
adalah 2 kali periode kepengurusan. Disamping itu Ibu juga diberi amanah
untuk duduk dalam Majelis Kehormatan Partai dan Dewan Pembina Partai.
Di kedua bidang Majelis sebagai anggota saja.” 48

dr. Sumarjati Ardjoso sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan


Sumber Daya Manusia tercatat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat PIRA dan
Anggota Dewan Pembina. Ia masuk ke dalam kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat menjadi Wakil Ketua Umum Bidang Kesejahteraan Rakyat pada tahun 2012
menggantikan Halida Hatta. Ia telah menjadi kader Partai Gerindra sejak
kaderisasi yang dilakukan pertama kali, sebelum dirinya menjadi Anggota DPR
RI Komisi IX Periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Gerindra Dapil Jawa Tengah.
Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Perempuan Indonesia Raya (PIRA) dirinya
seringkali memberikan materi-materi mengenai permasalahan gender di kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh PIRA. Sebagai seorang dokter, dirinya juga aktif
dalam kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Partai Gerindra melalui
PIRA setiap bulan sekali.
dr. Karlina, MARS sebagai Ketua Bidang Perlindungan Anak tercatat
sebagai Ketua III Pengurus Pusat Perempuan Indonesia Raya (PIRA) yang
membawahi Bidang Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan Waskita Rini, SS, MBA
sebagai Ketua Bidang Konservasi Alam dan Lingkungan, tercatat sebagai Ketua
Bidang Lingkungan Hidup Pengurus Pusat Perempuan Indonesia Raya (PIRA).
Menurut pengakuan dr. Sumarjati Ardjoso, sama halnya dengan Wakil Ketua

48
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Ekonomi Kreatif, Jasmin B. Setiawan lewat pesan
elektronik atau e-mail pada tanggal 4 April 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


107

Umum dan Ketua Bidang yang lainnya, penunjukkan dirinya sebagai Ketua
Umum atas permintaan langsung Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum,
Prabowo Subianto.
Jika melihat dari model rekrutmen politik yang dikemukakan oleh Barbara
Geddes, keempatnya termasuk ke dalam model rekrutmen partisanship. Model
partisanship merupakan rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai politik
49
dengan mempertimbangkan loyalitas kepada partai. Keempat perempuan yang
merupakan kader sejak awal didirikannya Partai Gerindra merupakan orang-orang
yang ahli di kebidangan ilmunya masing-masing. Penempatan keempatnya pada
jabatan di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat sesuai dengan bidang ilmu dan
isu-isu yang menjadi perhatian mereka.Selain itu, keaktifan para perempuan ini di
dalam kegiatan dan kepengurusan sayap partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA)
menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan posisi di kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat.

1.4 Perempuan dan Rekrutmen


3.4.1 Perjuangan dan Hambatan Perempuan Partai Gerindra di dalam
Proses Rekrutmen
Sebagai partai politik yang menerapkan kebijakan afirmatif keterwakilan
perempuan sebanyak 30% di kepengurusan internal partai, Partai Gerindra
memiliki hambatan-hambatan dan membutuhkan perjuangan dalam menjaring
anggota-anggota perempuan mereka untuk diseleksi masuk ke dalam
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Partai Gerindra sebagai partai pemenang
Pemilu Legislatif urutan ketiga di di tahun 2014, memiliki banyak sekali kader-
kader perempuan baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Meski secara kuantitas
memiliki jumlah yang banyak, tetapi mereka mengakui sulitnya menjaring kader-
kader perempuan yang memiliki kompetensi dan loyalitas untuk menjadi
pengurus di Dewan Pimpinan Pusat. Hal serupa juga dikemukakan oleh Ketua
Bidang Advokasi Perempuan, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menurutnya,


49
Barbara Geddes. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


108

“Perjuangan justru adalah mencari perempuan-perempuan yang sesuai


dengan kebutuhan dan punya kemampuan di bidang itu. Kader banyak,
tetapi perempuan yang kita tahu untuk bidang ini atau bidang ini untuk
mencari yang seperti itu agak sedikit sulit. Mungkin kesulitannya hanya itu,
secara memperjuangkan 30% keterwakilan perempuan sebenarnya Pimpinan
juga memperjuangkan hal itu untuk ada, apakah hasilnya 30% atau tidak,
yang terpenting adalah representatif. Maksud saya, jumlah anggota
perempuan di DPP yang mencapai 30% kalau itu memang diperjuangkan
oleh para perempuan yang ada di struktural yang sudah ada dari dulu.” 50

Para perempuan yang ikut mendirikan Partai Gerindra, sangat berperan


besar di dalam upaya-upaya memenuhi keterwakilan perempuan sebanyak 30% di
kepengurusan Partai Gerindra. Salah satu akses bagi perempuan untuk masuk
kedalam kepengurusan internal partai, adalah melalui kaderisasi. Penjaringan
melalui kaderisasi yang dilakukan rutin setiap tahunnya melalui sekolah kader,
sayangnya belum mensyaratkan keterwakilan 30% perempuan. Untuk mengatasi
persoalan tersebut, sebagai Ketua Bidang Pembinaan dan Pemberdayaan
Perempuan, Dra. Anita Ariyani juga bekerja sama dengan sayap partai Perempuan
Indonesia Raya (PIRA) dalam menyiapkan anggota-anggotanya mengikuti
sekolah kader. Sebagai organisasi sayap partai yang memiliki cabang dan pasukan
di Kabupaten/Kota, PIRA mengirimkan kader-kadernya untuk mengikuti sekolah
kader. Seperti yang dikutip dari pernyataannya berikut ini,

“Kalau saya sebagai Ketua Bidang, saya bertanggung jawab. Saya


semaksimal mungkin agar 30% ini berkualitas, artinya kader yang benar-
benar berkualitas, aktif, saya berusaha dan bertanggung jawab untuk itu.
Cuma, semestinya hal itu dibarengi dengan bidang-bidang lain. Setiap
kaderisasi, di daerah atau di pusat tentunya mempertimbangkan 30%
keterwakilan perempuan itu harus ada, itu yang belum, jadi saya
mendesakkan untuk ke arah sana itu juga berat. Kami bersinergi dengan
sayap partai PIRA. Di PIRA itu, saya sebagai pembina, jadi otomatis ketika
ada kegiatan apapun, saya akan melibatkan teman-teman di PIRA. Karena
kalau di DPP kan, tidak punya pasukan, tidak punya anggota. Yang punya
pasukan adalah sayap-sayap terutama di Kabupaten/Kota, karena kadernya
ada disana, bukan di Pusat. Pusat itu hanya masalah kebijakan, sehingga
ketika kami harus mengirim kader untuk latihan kader, kami yang
mengirim. Seluruh Indonesia kan harus mengirim, kebijakan itu yang
membuat adalah DPP, yang mengirim berasal dari daerah-daerah. Cuma

50
Hasil Wawancara dengan Ketua Bidang Advokasi Perempuan, Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


109

permasalahannya adalah kebijakan harus menyertakan perempuan itu yang


belum ada. Itu yang harus yang saya perjuangkan.”

Kesulitan dalam mengirimkan perempuan-perempuan untuk mengikuti


sekolah kader karena perempuan-perempuan terutama yang berada di daerah,
terhambat oleh hal-hal seperti biaya, tidak bisa meninggalkan keluarga, atau tidak
bisa meninggalkan pekerjaannya. Berbeda halnya dengan laki-laki yang tidak
memiliki beban ganda, perempuan-perempuan yang akan mengikuti sekolah kader
di Partai Gerindra harus berpikir dua kali karena sekolah kader yang dipusatkan di
Hambalang, dilakukan hingga satu minggu lamanya. Perempuan-perempuan yang
memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing, biasanya telah menjadi
pegawai di suatu lembaga atau perusahaan dan tidak dapat meluangkan waktunya
karena masalah ijin atau cuti untuk mengikuti sekolah kader di Hambalang.
Kesulitan lainnya adalah jika mengirimkan perempuan yang tidak bekerja di
wilayah publik, seperti ibu rumah tangga, mereka tidak dapat meninggalkan
kewajibannya mengurus keluarga, ditambah waktu sekolah kader yang memakan
waktu hingga satu minggu lamanya. Perjuangan masih dilakukan oleh para
pengurus perempuan di Dewan Pimpinan Pusat, agar kaderisasi atau sekolah
kader dapat dilakukan secara regional sehingga permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh perempuan-perempuan dapat teratasi. Menurut Dra. Anita Ariyani,

“Hal tersebut berat karena ketika kita membawa perempuan dari daerah
sampai ke pusat untuk ikut kaderisasi selama 1 minggu, berat. Kadang
mereka disana kerja, jika memilih yang pengangguran, tidak berkualitas
juga. Mau ibu-ibu rumah tangga, anak dan suami nya ditinggal. Ini
kesulitan kita sebagai perempuan untuk memenuhi hal itu. Makanya,
kaderisasi Gerindra kami berharap ada di daerah. Setiap daerah dapat
melakukan kaderisasi (desentralisasi). 5 tahun lalu dipusatkan di
Hambalang, nah untuk yang sekarang di provinsi masing-masing atau di
kabupaten masing-masing, tetapi saya belum cek, perempuannya
bagaimana, karena yang saya lihat di berbagai daerah itu kebanyakan laki-
laki semua. Sebagian besar laki-laki, sulitnya untuk sampai ke pusat, tidak
mungkin dalam jangka waktu yang pendek untuk kaderisasi. Di Gerindra,
untuk kaderisasi membutuhkan waktu seminggu karena banyak materi yang
diberikan. Untuk perempuan yang bekerja, itu sulit.” 51


51
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


110

Terdapat 3 (tiga) tipe kader perempuan yang akan mengikuti sekolah kader
di Hambalang, yaitu pelajar atau mahasiswa; mereka yang sudah menyelesaikan
studi tetapi belum bekerja; dan ibu rumah tangga. Dari ketiga tipe perempuan
tersebut, yang paling memungkinkan untuk meluangkan waktunya mengikuti
sekolah kader adalah tipe kedua. Selain belum terikat dengan pekerjaan atau
keluarga, waktu yang mereka miliki dapat disesuaikan dengan pelaksanaan
sekolah kader.

“…dari ketiga ini, mana yang akan kita ambil pesertanya. Kalau yang tipe
kedua, oke, pasti senang dan ada waktu, tetapi mau atau tidak karena
kabanyakan belum melek politik. Karena kebanyakan lebih memilih untuk
bekerja dulu. Tipe pertama hanya dapat melakukan kaderisasi ketika libur,
sedangkan ibu rumah tangga sulit meninggalkan keluarga.” 52


Perjuangan memenuhi angka keterwakilan perempuan tidak sebatas sampai
memenuhi angka keterwakilan perempuan sebanyak 30%, tetapi juga membentuk
kader partai yang benar-benar memiliki visi, misi, semangat, dan perjuangan
Partai Gerindra. Kaderisasi bagi anggota perempuan dinilai sangat penting untuk
pembentukan karakter kader tersebut kedepannya, terutama ketika mereka masuk
ke tingkat yang lebih lanjut seperti Anggota Legislatif. Jika tidak mengikuti
proses kaderisasi, maka nilai-nilai serta prinsip-prinsip Partai Gerindra tidak akan
masuk ke dalam perjuangan dan semangat mereka di dalam membawa
kepentingan Partai Gerindra di ranah politik.

“…Saya sedang berjuang memenuhi angka 30% keterwakilan perempuan


‘kader Gerindra’ yang tahu betul Gerindra itu seperti apa. Karena yang
selama ini yang mereka masuk untuk menjadi Caleg, hanya pada saat itu.
Tetapi tujuan Gerindra ke depannya (meski telah kita berikan), tetapi
nafasnya tidak bisa mengalir dalam keseharian kita, jika tiba-tiba. Beda jika
kader, yang sudah berkecimpung menjadi aktifis, mengerti kalau Gerindra
seperti apa, semua itu melalui proses. Berbeda dengan kader perempuan
yang pada saat pencalegan mengandalkan kepopuleran atau jabatan suami
atau kerabatnya. Nafas gerindra, belum masuk ke mereka, seperti visi misi.
Kalau bukan kader, biasanya jika diberikan pemahaman mengenai visi misi
gerindra, mereka akan keberatan melakukannya. Ada nilai-nilai yang harus
ditanamkan ke anggotanya.” 53

52
Ibid.
53
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


111

3.4.2 Faktor Pendidikan di dalam Rekrutmen


Pendidikan sangat erat kaitannya jika dihubungkan dengan akses menuju ke
ranah publik, terlebih lagi jika ingin mengambil bagian di dalam politik. Model
rekrutmen politik di dalam kompetisi antara perempuan dan laki-laki di dalam
proses rekrutmen, kecenderungannya adalah status sosial-ekonomi yang tinggi
dimana dominasinya adalah laki-laki. Untuk mengubah status sosio-ekonomi,
pendidikan dianggap sebagai komponen yang paling dapat diakses oleh
perempuan, terutama untuk dapat mengambil bagian di ranah politik. Salah satu
faktor pendukung kompetensi seorang perempuan di wilayah publik adalah strata
pendidikan yang telah ditempuhnya. Seperti yang dikemukakan oleh Jenny
Chapman,

“For women, education is the most accessible component of socio economic


status, but is also more independent of the others than is the case for men.
The correlation of education with the other components of personal socio-
economic status (occupation, income and property) depends on its practical
exploitation. Although the combination of a high level of education and a
low-status job is one which few men encounter except in times of high
graduate unemployment, it is a commonplace for women, whose working
lives are fundamentally affected by motherhood. The very expectation of
motherhood discourages many women from ever practicing an occupation
commensurate with their qualifications. Some give up paid employment
altogether after their children are born, becoming housewives, while those
who return to work outside the home are frequently obliged to accept jobs of
lower status and rewards than their level of education would lead one to
expect in the case of men.” 54

Bagi perempuan, pendidikan adalah komponen yang paling dapat diakses


dari status sosial ekonomi, tetapi juga lebih independen dari yang lain
daripada yang terjadi pada kasus laki-laki. Korelasi pendidikan dengan
komponen lain dari status pribadi sosial-ekonomi (pekerjaan, pendapatan
dan properti) tergantung pada eksploitasi praktis. Meskipun kombinasi dari
tingkat pendidikan yang tinggi dan pekerjaan berstatus rendah adalah salah
satu yang sedikit orang mengalami kecuali pada saat pengangguran lulusan
tinggi, itu adalah biasa bagi perempuan, yang bekerja kehidupan secara
fundamental dipengaruhi oleh ibu. Sangat harapan ibu enggan banyak
perempuan dari yang pernah berlatih pendudukan sepadan dengan
kualifikasi mereka. Beberapa menyerah pekerjaan yang dibayar sama sekali
setelah anak-anak mereka lahir, menjadi ibu rumah tangga, sementara
mereka yang kembali bekerja di luar rumah sering wajib menerima


54
Jenny Chapman. Op.Cit. hal.21.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


112

pekerjaan dari status yang lebih rendah dan manfaat dari tingkat pendidikan
mereka akan membawa salah satu yang diharapkan dalam kasus pria.

Pendidikan dapat menjadi harapan bagi perempuan untuk dapat mengakses


dunia politik. Namun pada kenyataannya, hanya sebagian kecil dari perempuan
berpendidikan yang berkesempatan untuk bisa menduduki suatu jabatan. Akses
mendapatkan pendidikan yang lebih baik bagi perempuan, akan medorongnya
untuk mencapai tujuan mendapatkan suatu status politik, seperti yang dikutip dari
Jenny Chapman,

“As far as politics is concerned, education may create the same initial
expectations among females as it does among males, but where the
occupations of men enhance their salience and promote their fulfillment
(albeit to varying degrees), women’s do not. A smaller proportion of
educated women than men will seek office, even though their numbers grow
in comparison with the uneducated generations that came before. What is
more, if virtually all the people who stand are educated, and occupation,
income or property is then the variable on which male winners and losers
divide, this will also be a point of difference between men and women. Thus
their access to education simultaneously gives women some encouragement
to aim for political status and fails to provide them with the other resources
needed for success.” 55

Sejauh politik yang bersangkutan, pendidikan dapat menciptakan harapan


awal yang sama antara perempuan seperti halnya antara laki-laki, tetapi di
mana pekerjaan laki-laki meningkatkan arti-penting mereka dan
mempromosikan pemenuhan mereka (walaupun tingkatannya berbeda),
perempuan tidak. Sebagian kecil dari wanita berpendidikan daripada pria
akan mencari pekerjaan, meskipun jumlah mereka tumbuh dibandingkan
dengan generasi berpendidikan yang datang sebelumnya. Terlebih lagi, jika
hampir semua orang berpendidikan, dan pekerjaan, pendapatan atau properti
maka variabel laki-laki sebagai pemenang dan yang kalah membagi, ini juga
akan menjadi titik perbedaan antara pria dan wanita. Sehingga akses mereka
terhadap pendidikan secara bersamaan memberikan wanita beberapa
dorongan untuk tujuan untuk status politik dan gagal menyediakan mereka
dengan sumber daya lainnya yang dibutuhkan untuk sukses.

Untuk dapat diakui keberadaannya, perempuan perlu membuktikan


prestasinya ataupun kontribusinya yang besar di dalam partai. Seperti yang telah


55
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


113

dijelaskan sebelumnya, terdapat banyak kader-kader perempuan yang dimiliki


oleh Partai Gerindra, tetapi kemudian permasalahan yang muncul adalah mencari
kader-kader yang memiliki kompetensi, loyalitas, dan paham mengenai nilai-nilai,
prinsip dasar, serta visi dan misi Partai Gerindra. Hal tersebut merupakan
kesulitan yang besar di dalam merekrut perempuan untuk menjadi pengurus di
internal partai, khususnya Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Pada
penyempurnaan kepengurusan di periode 2014-2019, secara substansial terdapat
penambahan jumlah pengurus perempuan yang memiliki kompetensi di bidangnya
masing-masing.
Meskipun terdapat beragam pola rekrutmen di dalam penunjukkan
perempuan di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat, latar belakang
pendidikan yang dimiliki oleh para Wakil Ketua Umum dan Ketua Bidang di
periode 2014-2019 menunjukkan bahwa mereka patut diperhitungkan dan
penempatan jabatan mereka sebagian besar sesuai dengan keahlian yang mereka
miliki atau sesuai dengan isu-isu yang menjadi fokus perhatian mereka selama ini.
Penempatan anggota perempuan di dalam jabatan kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat Partai Gerindra di masing-masing bidang, menurut pengurus Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra harus sesuai dengan keahlian dan kompetensi
yang dimiliki. Seperti yang dikutip dari pernyataan Kepala Departemen
Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa,

“…berdasarkan merit base, jadi dimana keahlian anda disitu anda akan
ditempatkan. Contohnya Marwah Daud, jadi beliau itu adalah pegiat
ekonomi kerakyatan dan sekarang diberi tanggung jawab cukup besar dalam
mengembangkan ekonomi kerakyatan di Gerindra, melalui sosialisasi
pentingnya koperasi, dan sebagainya. Beliau membawahi bidang yang
sangat besar dan kadang-kadang bidang seperti itu, apalagi bidang ekonomi
adalah laki-laki, tetapi di Gerindra karena melihat Bu Marwah memiliki
merit base yang kuat, dia pimpin departemen itu.” 56

Faktor pendidikan agaknya merupakan suatu faktor penting bagi perempuan


untuk dapat berkiprah di dalam perpolitikan. Namun, meskipun begitu latar
belakang ataupun tingkat pendidikan tidak dapat menggantikan pendidikan politik

56
Hasil wawancara dengan Kepala Departemen Pembinaan Pelajar dan Mahasiswa, Noudhy
Valdryno, BA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


114

praktis di dalam organisasi kepartaian seperti keterlibatan langsung dalam


kegiatan, kaderisasi, dan organisasi partai. Jika dilihat dari data latar belakang dan
tingkat pendidikan perempuan-perempuan yang menjadi pengurus Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019, sebagian besar berlatar
belakang pendidikan perguruan tinggi dengan berbagai strata baik sarjana,
magister, dan doktor di bidang keilmuannya masing-masing.

Tabel 3.2
Latar Belakang Pendidikan Anggota Perempuan Pengurus Dewan Pimpinan
Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019

No. Nama Jabatan Latar Belakang


Pendidikan
1. dr. Sumarjati Wakil Ketua Umum Dokter dari Fakultas
Arjoso, SKM Bidang Pengembangan Kedokteran Universitas
Sumber Daya Manusia Gadjah Mada, Sarjana
Kesehatan Masyarakat dari
Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas
Indonesia
2. Marwah Daud Wakil Ketua Umum Master Komunikasi
Ibrahim, Ph.D Bidang Koperasi, Internasional dan Doktor
UMKM, dan Ekonomi Komunikasi Internasional
Kreatif di The American
University, Washington
D.C.
3. Rachmawati Wakil Ketua Umum Ketua Pendiri Yayasan
Soekarnoputri Bidang Ideologi Pendidikan Soekarno
4. Irmawaty Habie, Ketua Bidang Hukum Sarjana Hukum di Fakultas
SH dan Perjanjian Hukum Universitas
Internasional Hasanuddin, Pendidikan
Spesialis Kenotariatan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


115

Universitas Indonesia
5. Hj. Himmatul Ketua Bidang Sarjana Sosial di FISIP
Aliyah, M.Si Pendidikan Nasional Universitas Islam Syech
Yusuf, Magister
Manajemen Komunikasi
Universitas Indonesia
6. Yetti Wulandari, Ketua Bidang Sosial Sarjana Hukum
SH
7. Dra. Dra. Anita Ketua Bidang Sarjana IAIN Walisongo
Ariyani Perlindungan dan Semarang,
Pemberdayaan
Perempuan
8. Rahayu Saraswati Ketua Bidang Advokasi Bachelor in Classics and
Djojohadikusumo Perempuan Drama University of
Virginia, Diploma in Screen
Acting Postgraduate Level
di International School of
Screen Acting London
9. dr. Karlina, Ketua Bidang Magister Adiminstrasi
MARS Perlindungan Anak Rumah Sakit Universitas
Indonesia
10. Retno Sari Ketua Bidang Sarjana dari Fakultas
Widowati Perlindungan dan Hukum Universitas
Pemberdayaan Kaum Jayabaya
Difabel
11. drg. Putih Sari Ketua Bidang Sarjana dan Magister
Pariwisata Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia
12. Waskita Rini, SS, Ketua Bidang Sarjana Fakultas Sastra
MBA Konservasi Alam dan Inggris UNAS
Lingkungan
13. Jasmin B. Ketua Bidang Ekonomi Sarjana Fakultas Seni Rupa

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


116

Setiawan Kreatif dan Desain ITB


14. Priscillia E. Ketua Bidang Wawasan Magister Fakultas Teknik
Mantiri, ST, MT Nusantara Kelautan ITB
15. Hj. Novita Ketua Bidang Sarjana Universitas
Wijayanti, MM Penguatan Jaringan Jenderal Sudirman,
Kader Magister Manajemen STIE
Mitra Yogyakarta
16. Hj. Mestariany Ketua Bidang Hak Magister Fakultas
Habie, SH Asasi Manusia Pascasarjana Spesialis I
Notariat Universitas
Padjajaran
17. Dr. Hj. Elza Ketua Bidang Hukum Doktor Fakultas Hukum
Syarief, MH Konstitusi Universitas Padjajaran

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


117

BAB 4
KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN DI PARTAI GERINDRA
DAN PERAN PEREMPUAN INDONESIA RAYA (PIRA)

Selama ini, meski perempuan selalu ikut aktif dalam memperjuangkan


kepentingan politik secara umum, tetapi belum merepresentasikan kepentingan
politiknya sendiri. Kajian politik dan gender menunjukkan bahwa aspirasi dan
kepentingan khas perempuan sulit direpresentasikan oleh mereka yang tidak
mengalami pengalaman khas perempuan. Perempuan harus meningkatkan jumlah
keterwakilannya dan lebih terlibat lagi di dalam proses pembuatan keputusan
politik agar dapat terwujud aturan-aturan ataupun perundang-undangan dan
kebijakan yang mewakili aspirasi, kepentingan dan perspektif mereka. Bab ini
menjelaskan tentang representasi politik perempuan di DPP Partai Gerindra dalam
pengambilan keputusan dan peran Perempuan Indonesia Raya (PIRA) yang
mencakup pelatihan kader perempuan, kegiatan peningkatan kapasitas kader
perempuan, dan peran di dalam rekrutmen pengurus Dewan Pimpinan Pusat.

4.1 Representasi Politik Perempuan di DPP dalam Pengambilan Keputusan


Berdasarkan pengolahan data jumlah pengurus Dewan Pimpinan Pusat
Partai Gerindra sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor: M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2012 dan Nomor: M.HH-04.AH.11.01 Tahun
2014, Partai Gerindra secara normatif memenuhi kualifikasi persyaratan 30%
keterwakilan perempuan di kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Secara
kuantitas, jumlah perempuan di kepengurusan tingkat pusat Partai Gerindra
memang mencukupi, tetapi hal tersebut menurut Anggota Dewan Pembina, Bianti
Djiwandono, MA masih belum cukup, menurutnya,

“Mungkin secara kuantitas atau kuantitatif sudah mencukupi, kalau secara


kualitatif yang akhirnya berperan dan menggerakkan itu mungkin masih
kurang. Karena kegiatan-kegiatan seperti seminar yang dibuat oleh PIRA,
itu sudah kelihatan kelompok tertentu saja yang aktif, tetapi dari situ saya
merasa kita akhirnya bisa melihat siapa yang potensi dan siapa yang ngga.
Jadi, banyak yang senangnya hura-hura saja, tidak masuk DPP marah, jadi
kan menurut saya masih banyak yang hanya mau masuk hanya untuk

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


118

kelihatan bahwa ‘saya berperan, saya masuk, atau saya adalah pengurus’
tetapi, terus kemudian tidak terlalu mau aktif.” 1

Jika secara kuantitas jumlah perempuan yang masuk kedalam kepengurusan


telah memenuhi bahkan melebihi amanat yang disampaikan oleh Undang-Undang,
Partai Gerindra masih melihat peningkatan kualitas kader dan pengurus
perempuan sebagai proses yang masih berjalan seiringnya waktu. Sebagai partai
baru yang membutuhkan lebih banyak lagi dukungan suara dan anggota-anggota
yang dapat disiapkan untuk menjadi kader partai, Partai Gerindra berupaya untuk
membentuk karakter kader-kader perempuan mereka yang sesuai dengan visi,
misi, dan perjuangan Partai Gerindra. Kaderisasi dibutuhkan dalam menjaring
pengurus-pengurus terutama perempuan untuk terlibat aktif dan memiliki kualitas
yang mumpuni. Seperti yang dikutip dari pernyataan Wakil Ketua Umum Bidang
Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS,
M.Sc,

“Saya kira ini perlu proses, artinya sebagai partai yang relatif baru, kalau
kita menggembleng kader tentu memerlukan waktu, proses. Dan proses itu
sedang menuju ke arah yang lebih baik. Semakin banyak kader-kader
perempuan yang aktif, yang berkualitas, dan kita juga tidak menutup diri
karena ini wadah perjuangan, artinya orang darimana pun yang datang, yang
setuju, sependapat dengan Gerindra, ya bisa ikut. Mereka bisa ikut dari
awal, bisa ikut di tengah, bisa ikut di dalam perjalanan, jadi kita melihat
kualitas itu relatif, pasti setiap orang itu punya kekuatan tertentu dimana dia
berkiprah, tergantung latar belakangnya. Jadi kita juga sangat membuka diri,
ada yang latar belakangnya artis, ada yang latar belakangnya pengusaha, ada
yang latar belakangnya aktifis, ada yang latar belakangnya birokrat, dan
sebagainya.” 2

Kebijakan afirmatif yang diterapkan di dalam AD/ART Partai Gerindra


memang dapat dijadikan sebagai indikasi adanya struktur kesempatan politik dan
peluang perempuan, tetapi jika dalam prakteknya perempuan kurang banyak


1
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA. Op.Cit.
2
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Antar
Partai dan Pemerintahan, Fadli Zon, SS, M.Sc. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


119

dilibatkan terutama dalam pengambilan keputusan atau kebijakan strategis maka


hal itu tidak akan membawa kepentingan perempuan menjadi isu utama dalam
kebijakan partai. Menurut beberapa pimpinan partai perempuan seperti Wakil
Ketua Umum dan Anggota Dewan Pembina, mereka selalu dilibatkan di dalam
rapat-rapat pengambilan keputusan untuk hal-hal yang sifatnya strategis. Hal itu
dikemukakan oleh Dr. Marwah Daud Ibrahim selaku Wakil Ketua Umum Bidang
Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Kreatif,

“…dari rapat-rapat internal yang saya ikuti, cukup lumayan ya. Tinggi
representasinya, katakanlah 5 dari 20an orang, lumayanlah di rapat-rapat
pimpinan yang diisi Dewan Pembina, Waketum, ya tetap saja harus
ditingkatkan, perjuangannya belum selesai.” 3

Hal serupa juga dikemukakan oleh salah satu Anggota Dewan Pembina
Partai Gerindra, Bianti Djiwandono, MA,

“Saya sebagai anggota Dewan Pembina tidak selalu juga diikutsertakan,


tetapi kalau dianggap penting, kita dipanggil. Kadang-kadang ada hal-hal
yang sangat bersifat politik, dijegal sini situ, saya sih maklum saja. Saya
pikir, Ketua Dewan Pembina dengan orang-orangnya ada Waketum-
Waketum, terserah mereka lah pasti mereka lebih tahu apa yang bisa di
share ke semua, apa yang tidak. Tetapi paling sedikit, dua atau tiga kali
dalam setahun kita dipanggil dan diberi pengarahan. Dalam rapat, tidak
terlalu memikirkan apakah representasi perempuannya cukup atau tidak.
Kalau kebetulan yang menjabat sebagai Waketum adalah perempuan. Saya
kira mereka tidak terlalu sadar, apakah harus banyak perempuan yang hadir
atau tidak. Kalau kita memang masuk dalam posisi-posisi itu ya pasti. Di
kita kan juga ada ketua harian yang membantu Ketua Umum. Ketua Harian,
tiap bulan sekali mengadakan rapat, tetapi tidak semua Dewan Pembina,
tetapi umumnya semua Wakil Ketua Umum diundang, meskipun banyak
yang tidak hadir, tetapi perempuannya lumayan banyak dari total
keseluruhan (misalnya: 33) mungkin ada 5, tetapi itu adalah kita yang rajin
hadir seperti Bu Sum, Bu Marwah, Saya, Bu Maryani, Bu Rani, Bu Endang
Thohari. Seringnya itu yang selalu diundang dan hadir.” 4


3
Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Umum Bidang Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Kreatif
DPP Partai Gerindra, Dr. Marwah Daud Ibrahim.Op.Cit.
4
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


120

Berbeda dengan Bianti Djiwandono, Ketua Bidang Wawasan Nusantara dan


juga anggota Dewan Pembina, Priscillia E. Mantiri, ST, MT mengakui jika dalam
pengambilan keputusan strategis di internal partai, dirinya tidak dilibatkan
sekalipun ia juga masuk ke dalam jajaran anggota Dewan Pembina. Ia merasa
bahwa dirinya masih belum berpengalaman karena masih muda dan perlu banyak
belajar, dan mempercayakan segala hasil dalam pengambilan keputusan kepada
pimpinannya. Seperti yang dikutip dari pernyataannya,

“…karena kalau bagi kami, semua pengambilan keputusan strategis itu ada
di Ketua Dewan Pembina. Jadi, Prabowo adalah Ketua Dewan Pembina
jauh sebelum beliau menjadi Ketua Umum. Posisi Ketua Umum ini kan
hanya karena Ketua Umum kami meninggal, jadi Bapak (Prabowo)
mengambil alih. Di struktur organisasi Gerindra, forum tertinggi adalah di
Dewan Pembina, dimana ketuanya adalah Prabowo Subianto. Memang,
segala keputusan strategis ada di Dewan Pembina. Kebetulan di
kepengurusan kali ini saya juga menjadi anggota Dewan Pembina. Cuma,
kalau saya sih merasa saya masih junior jadi saya percaya dengan
pemimpin kita, apapun yang Bapak putuskan saya rasa itu yang terbaik
untuk partai kami. Jadi bisa dibilang, setuju aja dengan keputusan Ketua
Dewan Pembina.” 5

Dalam rapat-rapat pimpinan yang membicarakan masalah pengambilan


keputusan strategis Partai Gerindra dan diisi oleh para pimpinan partai seperti
Wakil Ketua Umum dan Anggota Dewan Pembina, pengurus-pengurus
perempuan lainnya seperti Ketua Bidang dan Kepala Departemen khususnya yang
perempuan, jarang terlibat kecuali dalam hal-hal yang menyangkut bidang
masing-masing. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ketua Bidang
Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Anita Ariyani,

“…kalau di internal partai, di beberapa event, bidang pemberdayaan


perempuan diikutkan, tapi saya masih merasa belum maksimal karena
penyertaan bidang pemberdayaan perempuan di partai kami itu masih
setengah hati artinya masih sangat formalitas. Tetapi jika dalam menentukan
hal-hal yang sifatnya penting, strategis tidak pernah diikutkan dan tidak

5
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Wawasan Nusantara, Priscillia E. Mantiri, ST, MT.
Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


121

dimintai pendapat, nah saya memahami karena saya sebagai Ketua Bidang
Pemberdayaan Perempuan, punya atasan lagi sebelum Ketua Umum, yaitu
Waketum, nah kebetulan Waketum nya ini Bu Sumardjati Ardjoso.
Sehingga saya memahami, ketika saya tidak dilibatkan sebagai Ketua
Bidang Pemberdayaan Perempuan, dibenak saya adalah Wakil Ketua Umum
pasti yang akan diajak karena Waketum pasti akan menyuarakan aspirasi
perempuan. Beliau sebagai perempuan dan pimpinan saya. Itu kalau di
Gerindra (Pusat), tetapi kalau di daerah kami selalu dilibatkan, jadi Rakorda
di seluruh Indonesia yang ketika saya memiliki kesempatan dan ada waktu,
saya ikut hadir di dalamnya tetapi jika ada hal-hal yang strategis misalnya
untuk menentukan masalah politik yang inner circle di lingkaran partai,
saya tidak dilibatkan.” 6

Berbeda dengan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra yang


merupakan anggota legislatif, keterlibatan dan representasi politik mereka di
dalam pengambilan keputusan di internal partai dapat dikatakan sangat kurang.
Hal tersebut dikarenakan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan lebih
banyak proporsinya di lembaga legislatif seperti DPR atau DPRD untuk
menyuarakan kepentingan Partai Gerindra. Keterlibatan para pengurus Dewan
Pimpinan Pusat yang juga merupakan anggota legislatif sangat jarang di dalam
rapat-rapat internal pengurus Dewan Pimpinan Pusat jika dibandingkan dengan
pengurus yang bukan anggota legislatif. Seperti yang dikutip dari pernyataan
Bianti Djiwandono, MA, “Paling-paling kalau dipanggil rapat pimpinan, rapat
pengarahan dari Ketua Umum, disitu ada kesempatan untuk berdiskusi, jadi
biasanya kalau ada rapat-rapat seperti itu semua anggota DPR diundang.” 7
Representasi politik anggota perempuan yang menjadi pengurus Dewan
Pimpinan Pusat sekaligus anggota legislatif lebih kepada pengarahan mengenai
pengambilan sikap Partai Gerindra terhadap isu-isu yang diperjuangkan di ranah
legislasi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo yang merupakan Ketua Bidang Advokasi Perempuan sekaligus
Anggota Komisi VIII DPR RI,


6
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan DPP Partai
Gerindra, Anita Ariyani di Gedung DPR RI. Op.Cit.
7
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


122

“…Justru kalau saya rasa sih, posisi saya sebagai anggota DPR dibanding
anggota DPP. Karena istilahnya kalau anggota DPP kan banyak, tetapi kalau
anggota DPR kan kita yang punya kekuasaan di legislasi bukan untuk partai
politiknya, tetapi istilahnya partai politik digunakan untuk visi dan misi
untuk kesejahteraan rakyat. Itu kenapa kami sebenarnya lebih ke arah
diskusi dan ke arah memperjuangkan apa yang menjadi pemikiran kami ke
pimpinan untuk menyetujui dan kita perjuangkan di DPR. Jadi
implementasinya secara nyata adalah di ranah perwakilan rakyat.” 8

Keterlibatan perempuan-perempuan yang menjabat sebagai pengurus


Dewan Pimpinan Pusat di dalam pengambilan keputusan, terutama hal-hal yang
strategis, secara representatif sangat kurang mengingat jumlah pimpinan seperti
Wakil Ketua Umum hanya 3 (tiga) orang dan perempuan yang menjabat sebagai
anggota Dewan Pembina juga tidak banyak dari total keseluruhan. Jumlah
perempuan yang masuk kedalam jajaran Dewan Pembina berjumlah 14 orang dari
total keseluruhan 71 anggota Dewan Pembina. Selain jumlahnya yang sedikit, hal
tersebut juga tidak didukung dari keaktifan anggota perempuan dalam menghadiri
rapat internal, karena seperti yang diakui oleh Bianti Djiwandono, MA, para
perempuan yang sering hadir untuk menghadiri rapat hanya sekitar 5-6 orang,
seperti dirinya; dr. Sumarjati Ardjoso; Marwah Daud Ibrahim, Ph.D; Maryani
Djojohadikusumo, Rani Dewita Sutrisno, dan Dr. Ir. Endang S. Thohari, DESS,
M.Sc. Keenam perempuan yang selalu hadir di dalam rapat-rapat internal seperti
yang di katakan oleh Bianti Djiwandono,MA merupakan perempuan-perempuan
yang masuk ke dalam jajaran anggota Dewan Pembina dan aktif di dalam
menghadiri rapat internal di tingkat Dewan Pembina.
Jika dalam pengambilan keputusan, angka representatif perempuan di
internal Partai Gerindra dapat dikatakan kurang, tetapi menurut salah satu Ketua
Bidang, Priscillia E. Mantiri, ST, MT, keterlibatan pengurus Dewan Pimpinan
Pusat sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing. Jika memang posisi
perempuan tersebut menjabat sebagai pimpinan baik Anggota Dewan Pembina
ataupun Wakil Ketua Umum, ia akan merepresentasikan keterwakilan perempuan
di dalam rapat-rapat pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang berada
di tangan Ketua Dewan Pembina, tidak semata-mata juga mengabaikan pendapat-


8
Hasil Wawancara dengan Ketua Bidang Advokasi Perempuan, Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


123

pendapat anggota Dewan Pembina perempuan yang lainnya. Dalam hal ini
menurutnya, keterwakilan suara adalah keterlibatannya dalam proses pengambilan
keputusan di internal Partai Gerindra. Seperti yang dikutip dari pernyataannya,

“…Kalau misalnya dari judulnya sih, ada suara gitu lah ya. Kalau saya, all
of respect kepada Ketua Dewan Pembina, jadi biasanya kalau saya sih lebih
ke nurut. Banyaknya jumlah perempuan dalam rapat itu tergantung sih,
karena ga semua meeting menghasilkan keputusan strategis, oke untuk
internal partai, tapi untuk keluarnya (outcomes) kan tidak selamanya dari
meeting itu. Kalau saya, kan semua orang kan punya porsi role nya masing-
masing. Kalau saya kebagian tugas kadang-kadang kaya hari ini, kita
kedatangan tamu dari Kedutaan Besar Korea Selatan, biasanya Pak Prabowo
akan mengundang untuk mendampingi. Jadi memang untuk meeting-
meeting internal partai saya mungkin role nya bukan disitu. Kalau misalnya,
ada tamu dari mana-mana, saya dipanggil untuk mendampingi.”9

4.2 Peran Perempuan Indonesia Raya (PIRA)


Sampai saat ini, sebagian besar partai politik belum melihat adanya
kelebihan yang dimiliki oleh perempuan untuk mengembangkan dan
membesarkan partai. Kebanyakan partai politik yang ada cenderung melihat
keterlibatan perempuan hanya sebagai ‘lumbung untuk mengumpulkan suara’
dalam Pemilu. Dari fakta yang ada menunjukkan bahwa perempuan-perempuan di
lingkungan internal partai kurang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan
strategis dan hanya terkonsentrasi pada kegiatan domestik. Hal tersebut seperti
yang dikutip dari Tim Puskapol UI:

“Medan pertarungan di internal partai memang masih penuh pembedaan


terhadap perempuan, baik yang sifatnya sistematis maupun yang terjadi
karena ketidakpahaman. Medan pertarungan internal partai masih dikuasai
dan didominasi laki-laki dengan gaya kepemimpinan laki-laki yang
mempengaruhi budaya yang tumbuh di kebanyakan partai politik di
Indonesia. Sementara itu, perempuan di partai politik masih terkonsentrasi
dalam sayap perempuan dan belum mempunyai daya tawar untuk
mempengaruhi kebijakan di tingkat tertinggi. Sayap perempuan di partai
masih terjebak pada peran-peran domestik yang selama ini menjadi
stereotype dari wilayah kerja perempuan.” 10


9
Hasil wawancara dengan Ketua Bidang Wawasan Nusantara, Priscillia E. Mantiri, ST, MT.
Op.Cit.
10
Tim Puskapol UI dalam Panduan Calon Legislatif Perempuan untuk Pemilu 2014 (2013:40).

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


124

Untuk mendorong lebih banyak lagi kader-kader perempuan yang memiliki


kompetensi dan pengetahuan di bidang politik, serta dapat membawa kepentingan
perempuan menjadi agenda utama dalam proses pengambilan keputusan, sebagai
sayap partai perempuan, Perempuan Indonesia Raya (PIRA) melakukan beberapa
kegiatan baik pelatihan, diskusi, dan seminar untuk meningkatkan kapasitas kader
perempuan Partai Gerindra.

4.2.1 Pelatihan Kader Perempuan Partai Gerindra


Pada Anggaran Dasar Perempuan Indonesia Raya (PIRA) Pasal 4 dijelaskan
tentang fungsi PIRA yaitu sebagai sarana perkumpulan perempuan yang
berdedikasi untuk kebesaran Partai Gerindra; wadah untuk menampung aspirasi
perempuan Indonesia yang ingin turut membesarkan Partai Gerindra; dan sarana
mengimplementasikan program-program Partai Gerindra yaitu membangun
Kejayaan Indonesia Raya. Pada Pasal 5 tercantum tujuan PIRA yang dijabarkan
sebagai berikut:
1. Menghimpun, menyalurkan, menyuarakan dan menyampaikan aspirasi
PIRA kepada Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) dan secara
tidak langsung kepada lembaga lainnya agar dijadikan pertimbangan
didalam pengambilan kebijakan dan keputusan bagi kemaslahatan rakyat
Indonesia pada umumnya dan perempuan khususnya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan dibidang politik dan
keorganisasian, diskusi, seminar, lokakarya, pelatihan kader dan sejenis,
guna meningkatkan kualitas anggota dalam bermasyarakat dan
berorganisasi.
3. Mengadakan dialog, membina hubungan dengan organisasi perempuan
lainnya, serta aktif mengikuti kegiatan-kegiatan perempuan tingkat daerah,
nasional, maupun internasional.
4. Mengimplementasikan program-program Partai Gerindra khususnya
Ekonomi Kerakyatan di bidang usaha ekonomi keluarga. 11


11
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PIRA.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


125

Dalam menjalankan tujuan PIRA pada poin kedua, Pengurus Pusat PIRA
memberikan pelatihan kepada kader perempuan Partai Gerindra tentang Gender
dalam Politik Representasi Perempuan yang disampaikan oleh Ketua Umum
Pengurus Pusat PIRA sekaligus Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan
Sumber Daya Manusia, Dr. Sumarjati Arjoso. Dalam materi yang disampaikan
pada pelatihan kader perempuan tersebut dijelaskan bahwa Partai Gerindra adalah
partai yang mencita-citakan suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial,
yakni masyarakat yang berkeadilan secara ekonomi, politik, hukum, pendidikan,
dan kesetaraan gender. Keadilan sosial harus didasari atas persamaan hak,
pemerataan, dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Partai Gerindra
memandang bahwa perempuan merupakan bagian penting dan tidak dapat
dipisahkan dalam kegiatan penguatan demokrasi, peningkatan partisipasi publik,
dan pemberdayaan masyarakat.
Para kader perempuan diberikan pemahaman mengenai konsep dan masalah
gender. Definisi gender yang digunakan adalah pembedaan laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksikan oleh manusia melalui agama, budaya, adat,
kebijakan negara dan ekonomi atau pasar. Karenanya, peran gender bisa berbeda
berdasarkan waktu, tempat, dan keadaan. Istilah gender di dalam ilmu-ilmu sosial
sebagai suatu kategori sosial diciptakan untuk dibedakan dari perbedaan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat permanen atau kodrat. Perbedaan
secara gender diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan peran dan posisi
yang dinamis. Gender kemudian menjadi suatu masalah karena seringkali
perbedaan yang dikonstruksikan oleh manusia tersebut dinilai sebagai perbedaan
yang sifatnya permanen.
Perbedaan gender yang kemudian menjadi suatu permasalahan karena
menciptakan lima bentuk ketidakadilan gender dan diskriminasi berbasis gender
yaitu: penghargaan sosial yang berbeda, munculnya pelanggengan (stereotype)
gender, beban ganda, proses pemiskinan akibat status gender, kekerasan berbasis
gender, dan adanya anggapan bahwa perempuan adalah sub-ordinat dari laki-laki.
Konstruksi sosial yang dibuat terhadap peran gender memposisikan perempuan
bukan hanya sebagai pihak yang menjalankan tugas domestik atau pemelihara,

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


126

tetapi juga menjadi sub-ordinat. Karena hal tersebut, muncul berbagai bentuk
ketidakadilan gender.
Permasalahan gender juga terjadi di ranah politik, termasuk di dalam partai
politik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya-upaya untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Melalui perjuangan politik, dalam hal
ini partai politik, terdapat kesempatan dan ruang untuk memperjuangkan
kesetaraan gender dengan di dukung oleh kebijakan-kebijakan baik internasional
dan nasional yang telah disepakati oleh partisipasi penuh warga berdasarkan
gender, sosial aliran, dan warna kulit serta kebebasan sipil dan hak politik yang
dilindungi oleh hukum.
Partai Gerindra melalui PIRA menekankan kepada para kader perempuan
bahwa isu spesifik perempuan yang perlu mendapatkan perhatian, diantaranya
adalah:
1. Hak reproduksi, Keluarga Berencana, aborsi, dan sebagainya yang
seringkali kurang mendapatkan perhatian dan tidak menjadi agenda utama
dalam pembahasan di lembaga perwakilan atau legislatif karena tak
adanya kepentingan.
2. Relasi perempuan dan laki-laki di dalam: perkawinan, perceraian,
mobilitas perempuan, KDRT, kekerasan terhadap perempuan di dalam
keluarga dan masyarakat, serta KB.
3. Kebijakan negara yang dianggap sebagai netral gender tetapi memiliki
dampak yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan : pendidikan,
kesehatan (spesifik kepada perempuan), pekerjaan, buruh migran, konflik,
perang dan perdamaian, serta ekonomi.

Kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke dalam dunia politik di


Indonesia dapat dilakukan karena terbukanya beberapa peluang melalui:
1. Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi.
2. Ketentuan Hukum Nasional yang menjamin hak politik perempuan
menuju tercapainya representasi politik perempuan yang mensyaratkan
penyertaan 30% keterwakilan perempuan. Hal tersebut seperti tercantum
dalam UU No.15/tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu Pasal 6

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


127

Ayat 5, Pasal 12 Ayat 1, Pasal 41 Ayat 3, Pasal 72 Ayat 8; UU No.2/tahun


2011 tentang Partai Politik Pasal 2 Ayat 1b, Pasal 2 Ayat 5, Pasal 29 Ayat
1 (a dan b); UU No.8/tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif Pasal 8 Ayat
2E, Pasal 15D, Pasal 55, Pasal 58 Ayat 1,2,3, Pasal 59 Ayat 2, dan
seterusnya.
3. Partisipasi perempuan di dalam lembaga-lembaga politik seperti partai
politik, KPU, eksekutif, serta semua proses rekrutmen di di dalam ranah
politik.
4. Isu yang dapat diangkat untuk menjadi agenda utama seperti: kekerasan
terhadap perempuan dan anak yang ditangani oleh lembaga Komnas
Perempuan, Komnas Anak, LBH, APIK, dan lain-lain.

Langkah-langkah strategis Partai Gerindra dalam mengupayakan


peningkatan kemampuan kader perempuan untuk mencapai kesetaraan gender,
diantaranya adalah:
1. Peningkatan kemampuan bagi kader perempuan di internal partai
mengenai persoalan kesetaraan gender dan peraturan pendukungnya
seperti: ICPD (International Conference on Population and Development),
CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination
Against Women).
2. Adanya kebijakan formal dan dukungan politik dari pimpinan tertinggi
partai yang mampu mengembangkan komitmen ke segenap jajarannya di
semua tingkatan.
3. Penyediaan dukungan dana yang memadai.
4. Mengupayakan agar semua pengurus dan kader memiliki kemampuan dan
pengetahuan tentang keadilan dan kesetaraan gender.
5. Memantau pelaksanaan kebijakan dan program, serta memastikan bahwa
kebijakan dan program tersebut mencapai tujuan.
6. Mengenali dan melakukan penilaian terhadap kemajuan yang telah
dicapai.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


128

Perempuan di dalam partai politik menghadapi berbagai rintangan terutama


jika mengangkat isu gender, karena hal tersebut belum menjadi arus dan agenda
utama di internal partai. Bagi perempuan, melakukan pembaharuan di internal
partai agar lebih responsif terhadap isu gender merupakan arena perjuangan
strategis karena wilayah ini masih belum banyak digeluti dan jauh dari kompetisi
dengan politisi laki-laki.

4.2.2 Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra dan


Anggota PIRA
Kegiatan PIRA dalam upaya meningkatkan kapasitas kader perempuan di
internal Partai Gerindra dan anggota PIRA telah dilakukan sebanyak lima kali
dengan tema yang berbeda-beda di setiap kegiatannya. Kegiatan tersebut telah
dilaksanakan pada 25 Februari 2015, 25 April 2015, 1 Agustus 2015, 24 Oktober
2015, dan 28 November 2015. Kegiatan peningkatan kapasitas kader perempuan
ini berupa pemberian materi berupa semacam worskshop atau diskusi dan seminar
yang membahas bukan permasalahan domestik, melainkan persoalan publik yang
berkaitan dengan isu perempuan seperti pemahaman konsep gender dan advokasi
gender melalui politik, kesehatan reproduksi, ekonomi, pendidikan, dan
lingkungan. Narasumber di dalam kegiatan ini merupakan orang-orang yang ahli
dibidangnya seperti aktivis perempuan, pakar ekonomi, ilmuwan politik,
pemerhati lingkungan, serta Dirjen di Kementerian terkait.
Kegiatan ini memiliki tujuan untuk mensosialisasikan visi, misi dan
program partai serta terbangunnya kesadaran untuk menjalankan mandat partai;
terselenggaranya kegiatan diskusi atau pelatihan secara serial yang diikuti oleh
kader-kader perempuan Gerindra dan PIRA; serta terbukanya wawasan peserta
kegiatan tentang misi Partai Gerindra sesuai tema di setiap kegiatan. Melalui
serangkaian kegiatan pelatihan yang berfokus pada isu gender dengan tema-tema
utama dalam pembangunan, diharapkan para kader perempuan Partai Gerindra
dan anggota PIRA dapat ikut serta memperjuangkan hak-hak kaum perempuan
melalui perjuangan politik Partai Gerindra.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


129

4.2.2.1 Putaran Ke I: Pemahaman Konsep Gender, Analisis Gender dan


Advokasi Gender Melalui Dunia Politik
Pada diskusi atau workshop yang pertama kali diadakan oleh Perempuan
Indonesia Raya (PIRA) dalam rangka meningkatkan kapasitas kader perempuan
Partai Gerindra dan anggota PIRA, diperkenalkan konsep gender sebagai suatu
paradigma atau perspektif di dalam melihat partisipasi dan penggunaan perspektif
perempuan. Hal ini menjadi dasar bagi para peserta dalam melihat isu-isu yang
berhubungan dengan perempuan untuk pertemuan atau diskusi berikutnya.
Workshop pertama ini diisi oleh narasumber sebagai berikut:
1. Lies Marcoes, M.A : membahas “Konsep Dasar Gender”
2. Chusnul Mar’iyah, Ph.D : membahas “Mengapa Perempuan Perlu
Berpolitik?”
3. Nursyahbani Katjasungkana, SH : membahas “Agenda dan Strategi
Perjuangan di Parlemen-Belajar dari Pengalaman”
Dalam diskusi ini, diawali dengan pemberian materi mengenai definisi dan
konsep gender yang diartikan sebagai pembedaan laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksikan oleh manusia melalui agama, budaya, adat, kebijakan negara, dan
ekonomi atau pasar. Karenanya, peran gender bisa berbeda berdasarkan waktu,
tempat, dan keadaan. Istilah gender di dalam ilmu-ilmu sosial sebagai suatu
kategori sosial diciptakan untuk dibedakan dari perbedaan jenis kelamin laki-laki
dan perempuan yang bersifat permanen atau kodrat. Perbedaan secara gender
diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan peran dan posisi yang dinamis.
Gender kemudian menjadi suatu masalah karena seringkali perbedaan yang
dikonstruksikan oleh manusia tersebut dinilai sebagai perbedaan yang sifatnya
permanen.
Perbedaan gender yang kemudian menjadi suatu permasalahan karena
menciptakan lima bentuk ketidakadilan gender dan diskriminasi berbasis gender
yaitu : penghargaan sosial yang berbeda, munculnya pelanggengan (stereotype)
gender, beban ganda, proses pemiskinan akibat status gender, kekerasan berbasis
gender, dan adanya anggapan bahwa perempuan adalah sub-ordinat dari laki-laki.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu upaya yang disebut dengan
kesetaraan gender. Upaya tersebut antara lain dapat diperjuangkan melalui partai

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


130

dan parlemen dengan mengisi kebijakan afirmatif 30% keterwakilan perempuan di


parlemen dan lembaga-lembaga politik lainnya.
Penjelasan mengenai alasan mengapa perempuan perlu berpolitik, dijelaskan
lebih rinci oleh Chusnul Mar’iyah, Ph.D. Adanya pembagian kerja dan domain
yang membedakan laki-laki dan perempuan yaitu wilayah publik dan privat,
seringkali wilayah privat dianggap tidak dapat diintervensi dan tidak memiliki
permasalahan. Di sisi lain, konstruksi sosial terhadap peran gender memposisikan
perempuan sebagai makhluk domestik dan juga sub-ordinat. Hal-hal tersebut
kemudian memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan gender. Melalui
pengalaman-pengalaman perempuan di seluruh dunia yang melakukan perjuangan
keadilan gender, salah satu bentuk perjuangan yang dapat dilakukan adalah
melalui proses politik.
Perjuangan politik dilakukan untuk mengimplementasikan apa yang disebut
sebagai politics of ideas menjadi politics of presence. Melalui perjuangan politik,
terdapat peluang dan ruang untuk memperjuangkan tanpa melalui kekerasan dan
didukung oleh kebijakan baik nasional maupun internasional yang disepakati
tentang partisipasi penuh oleh warga berdasarkan gender, aliran sosial, warna
kulit, kebebasan sipil, dan hak politik yang memiliki paying hukum.
Diperlukannya perhatian terhadap isu-isu spesifik perempuan seperti hak
reproduksi, KB, aborsi, perkawinan, perceraian, mobilitas perempuan, KDRT,
kekerasan seksual, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, buruh migran, konflik, serta
ekonomi dikarenakan permasalahan-permasalahan tersebut seringkali diabaikan
oleh perwakilan lain karena tidak memiliki kepentingan. Hal tersebut diperparah
lagi dengan kebijakan negara yang dianggap netral gender, padahal memiliki
dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Terdapat banyak peluang bagi perempuan untuk masuk ke dalam wilayah
publik atau politik, seperti melalui Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan
dan Demokrasi; kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan 30% di lembaga
politik; partisipasi perempuan melalui rekrutmen partai politik, KPU, parlemen;
serta isu kekerasan perempuan di Komnas Perempuan, Komnas Anak, MRP di
Papua dan Aceh. Adapun arena dan strategi yang dapat diperjuangkan perempuan
diantaranya sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


131

1. Pada tataran Peraturan Perundang-Undangan: RUU Kesetaraan Gender,


RUU Sistem Peradilan Keluarga dan SOP UU KDRT, RUU Anti
Kekerasan, Amandemen UU Perkawinan.
2. Pada tataran kebijakan pemerintahan: Pengarus utamaan gernder (gender
mainstreaming) dan gender vocal points. Meningkatkan jumlah Sumber
Daya Perempuan dengan jabatan pemerintahan yang tinggi seperti eselon
satu.
3. Pada tataran anggaran: Gender Budgeting atau ARG (Anggaran Responsif
Gender).
4. Pada Tataran pemerintahan baik di lembaga eksekutif (Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota), Legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota).
5. Siapkan strategi dan taktik untuk merebut kekuasaan di setiap tingkatan
pemerintahan 2015-2019.
6. Optimalisasi kekuatan suara perempuan.
7. Menyiapkan kebijakan untuk mendapatkan solusi atas permaslaahan yang
dihadapi bangsa.
8. Memastikan dilaksanakannya kerangka kerja pengarus utamaan gender
(PUG). 12
Berdasarkan pengalamannya sebagai aktivis LBH Apik yang
memperjuangkan hak-hak perempuan dari luar lembaga pemerintah; menjadi
anggota dewan di DPR dan MPR RI dari fraksi PKB, Nursyahbani
Katjasungkana, SH menjelaskan bagaimana anggota parlemen dapat
memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tiga fungsi yaitu perumus
kebijakan, penganggaran, dan pengawasan. Terdapat enam prinsip yang harus
dipegang oleh perempuan yaitu partisipasi, dimana semua orang memiliki hak
bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun
lembaga perwakilan; supremasi hukum, dimana kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu terutama mengenai hak asasi manusia;
transparansi, yang dibangun atas dasar terbukanya informasi secara bebas dimana

12
Materi Presentasi Chusnul Mar’iyah, Ph.D, Mengapa Perempuan perlu Berpolitik dalam
kegiatan Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran Ke I,
25 Februari 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


132

seluruh proses pemerintah dan lembaga yang ada serta informasi perlu dapar
diakses oleh Warga Negara; cepat tanggap; asas kesetaraan; dan membangun
kesetaraan, efektif dan efisien.
Pengarus utamaan gender (PUG) penting untuk diperjuangkan karena
kondisi de facto, perempuan yang tidak setara di berbagai bidang kehidupan
terutama rendahnya angka keterwakilan perempuan di tingkat pengambilan
keputusan. Kondisi de jure, meski sudah terjadi banyak perbaikan di dalam materi
hukum tetapi masih banyak aturan, sikap aparat dan masyarakat yang
diskriminatif terhadap perempuan. Mandat nasional dan internasional perlu
dilaksanakan secara nyata untuk menghapuskan diskriminasi perempuan, seperti
UU Nomor 7 tahun 1984 dan kovensi PBB serta kesepakatan Nairobi, Wina,
Kairo, Kopenhagen, Beijing mengenai mempromosikan sensitifitas terhadap
kepentingan dan kebutuhan yang berbeda antar jenis kelamin dan gender.
Langkah strategis yang dilakukan diantaranya adalah pemampuan atau
capacity building untuk perencana dan pelaksana; penyediaan dana yang
memadai; penyusunan perangkat analisis, monitoring dan evaluasi; tersedianya
data; pembentukan lembaga internal seperti forum komunikasi, kelompok kerja,
vocal point di semua tingkatan; adanya kebijakan formal dan dukungan politik
dari pimpinan tertinggi yang mampu mengemban komitmen ke segenap jajaran;
melakukan assessment atau penaksiran bagaimana UU, kebijakan, program dan
prakteknya dapat berpengaruh pada posisi dan peran perempuan dan laki-laki;
memantau pelaksanaan kebijakan dan program serta memastikan program
mencapai tujuan; memastikan bahwa semua staf memiliki kemampuan dan
kompetensi untuk menghapus diskriminasi; serta mengenali dan melakukan
penilaian terhadap kemajuan yang telah dicapai dalam menghapus diskriminasi.
Rekomendasi strategi perjuangan yang diberikan kepada kader perempuan
Partai Gerindra untuk merebut kekuasaan yaitu melalui penguatan kapasitas
internal, proses ideologisasi Partai Gerindra, aktif mempelajari sistem dan isu
pemilihan, pelajari kualitas KPU, melakukan pembinaan terhadap konstituen,
menentukan kebijakan yang akan ditawarkan (mempelajari isu-isu dan mapping
perempuan di daerah yang spesifik); siapkan SDM berkualitas berkelanjutan jika
3 kali kalah, maka perlu menyiapkan kader lain; raih konstituen sejak jauh hari

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


133

dan membangun kesadaran politik dengan misi untuk mengajak; membuat


kebijakan berupa solusi berbagai persoalan bangsa.
Berdasar pengalaman di DPR, beliau memberi saran-saran ketika
perempuan berperan di DPR seperti kemampuan menganalisis; tidak terlalu netral
gender misalnya dalam melindungi keluarga, perempuan harus “berkorban”;
mendorong isu-isu yang belum di respon seperti UU Pekerja Rumah Tangga,
Perubahan UU Perkawinan, Sistem Peradilan Keluarga, UU KKG, dan UU Anti
Perkosaan. Di dalam proses pembentukan UU, anggota yang tidak independen
harus mendukung kebijakan partai yang mungkin belum berperspektif gender,
oleh sebab itu perlu divisi khusus yang bekerja sama dengan misalnya LSM atau
narasumber lainnya dan menggunakan staf ahli sebaik-baiknya untuk kepentingan
publik.
Anggota parlemen perlu menguasai materi-materi seperti CEDAW, PUG,
dan bermitra kerja dengan kepolisian seperti kebijakan perlunya polisi wanita
untuk menangani masalah perempuan. Di dalam pengawasan, dilakukan pada saat
pembahasan di komisi, UU serta alokasi dana dan pelaksanaan oleh kementerian
teknis, dana pemerintah untuk pemberdayaan, memberi usulan untuk membahas
dengan organisasi perempuan, mengisi UU secara lengkap untuk mengatasi
permasalahan misalnya UU Kewarganegaraan untuk anak-anak yang diakui
ayahnya tanpa melihat status perkawinan. 13

4.2.2.2 Putaran Ke II Perempuan dan Isu Kemiskinan: Membangun


Ekonomi Kerakyatan yang Berdaulat
Diskusi dengan tema membangun ekonomi kerakyatan yang berdaulat diisi
oleh narasumber sebagai berikut:
1. Lies Marcoes, M.A : membahas “Gender dan Kemiskinan”
2. Prof. Dr. J. Soedradjad Djiwandono: membahas “Memahami Kebijakan
Ekonomi Partai Gerindra dari sudut pandang Ekonomi Makro untuk
Penguatan Ekonomi Kerakyatan”


13
Materi Presentasi Nursyahbani Katjasungkana, SH, Agenda dan Strategi Perjuangan
Perempuan di Parlemen dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra
– Anggota PIRA Putaran Ke I, 25 Februari 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


134

3. Dr. Sumardjati Arjoso: membahas “Posture APBN dan Anggaran


Responsif Gender (ARG)”
Dalam diskusi ini, pembahasan diskusi diawali dengan penyampaian fakta
bahwa angka kemiskinan di Indonesia sebagian besar merupakan perempuan yaitu
perempuan kepala keluarga. Penyebab utama kemiskinan pada perempuan adalah
praktek diskriminasi berbasis prasangka terhadap perempuan yang dianggap tidak
berkepentingan dengan persoalan politik ekonomi. Pertanyaan yang muncul dari
perspektif partai adalah bagaimana sikap Partai Gerindra dengan hal ini dan upaya
untuk mengatasinya? Masalah utama yang dihadapi oleh perempuan adalah
kekerasan berbasis gender dan praktik diskriminasi terhadap perempuan dan anak.
Untuk menganalisis permasalahan tersebut, perspektif yang digunakan adalah
gender analisis yang melihat adanya kaitan antara kemiskinan dan diskriminasi
terhadap perempuan sepanjang hidup mereka.
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang sebagian besar dialami
oleh perempuan, Partai Gerindra melalui Prof. Dr. J. Soedradjad Djiwandono
memberi pemahaman kebijakan partai dari sudut pandang ekonomi makro untuk
menguatkan ekonomi kerakyatan yang merupakan bagian dari program
perjuangan partai dan karenanya harus menjadi pedoman bagi kegiatan seluruh
kadernya, termasuk PIRA. Meski pemahaman mengenai aspek gender di dalam
permasalahan ekonomi tidak terlalu memadai, tetapi menurutnya aspek yang jelas
keterkaitannya adalah tantangan perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan atau
gender responsive dalam pembangunan ekonomi nasional. Pada presentasinya,
ditampilkan data-data mengenai cadangan dan produksi energi Indonesia,
konsumsi dan produksi minyak dalam negeri, defisit transaksi berjalan yang
semakin mengkhawatirkan, defisit APBN 2015, Tax Ratio dari tahun ke tahun
yang terbilang rendah, perbandingan tax ratio dengan negara lain dimana
Indonesia sangat rendah yaitu hanya 10,8%, pertumbuhan PDB, tantangan
perekonomian Indonesia jangka pendek, produktivitas tenaga kerja, angka gini
ratio yang semakin meningkat setiap tahunnya, dan sebagainya.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, permasalahan kesenjangan
pendapatan dan kemiskinan sebagian besar dari mereka yang masuk ke dalam
garis kemiskinan adalah perempuan, terutama keluarga dengan perempuan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


135

sebagai kepala keluarganya. Dengan menyelesaikan masalah kemiskinan, hal


tersebut secara langsung juga menyelesaikan masalah kemiskinan perempuan.
Tetapi pada kenyataannya dari gambaran APBN baik penyusunan program dan
implementasinya, kurang merefleksikan kebijakan publik dan anggaran yang
berkesetaraan atau gender responsive. Bidang yang terkait erat dengan peran
perempuan adalah bidang pendidikan, kesehatan, dan usaha tradisional pada
umumnya. Penanganan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk mengatasi
masalah human capital gap terkait erat dengan peningkatan peran perempuan. Hal
ini berkaitan langsung karena perempuan merupakan sasaran program
pembangunan.14
Materi mengenai APBN dan Anggaran Responsif Gender disampaikan oleh
Dr. Sumarjati Arjoso, SKM. Dalam presentasinya, ia menjelaskan mengenai
bagaimana alur, siklus, dan tingkat pembicaraan RUU APBN. Dalam reformasi
anggaran, disampaikan perbedaan antara yang sebelumnya dan sekarang. Untuk
sekarang ini, didasari atas rencana kerja atau working plan, performance based
budgeting, KPJM, Unified Budgeting. Dengan begitu, perencanaan anggaran
dimulai dengan informasi tentang ketersediaan sumber daya dan arah
pembangunan nasional. Poin yang perlu dikritisi dalam hal ini adalah menyusun
hubungan yang optimal antara Tugas, Pokok, dan Fungsi dengan input, proses,
dan output atau outcomes. Dalam pengukuran kinerja, fokus pengukuran bergeser
dari besar jumlah alokasi sumber daya menjadi hasil yang dicapai dari
penggunaan sumber daya. Isu penting di dalam permasalahan Gender di bidang
ekonomi adalah angkatan kerja perempuan yang lebih rendah, upah yang diterima
pekerja perempuan lebih rendah, tingkat pengangguran terbuka perempuan lebih
besar dari laki-laki, curahan waktu perempuan untuk kegiatan produksi dan
reproduksi lebih besar dari laki-laki, jabatan pada tataran manajemen perusahaan
di dominasi laki-laki, posisi perempuan di pabrik umumnya mendominasi
pekerjaan buruh, dan sebagainya.


14
Materi Presentasi Prof. J. Soedradjad Djiwandono, Memahami Kebijakan Ekonomi Partai
Gerindra dari sudut pandang Ekonomi Makro untuk Penguatan Ekonomi Kerakyatan dalam
kegiatan Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran Ke II,
25 April 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


136

Penyebab kemiskinan yang terjadi pada perempuan disebabkan budaya


patriarki/pewarisan, beban ganda di wilayah publik dan domestik, rendahnya
kompetensi, serta KDRT. Definisi mengenai Perencanaan Responsif Gender
merupakan perencanaan untuk mencapai kesetaraan gender dengan
pengintegrasian pengalaman aspirasi, kebutuhan potensi dan penyelesaian
permasalahan perempuan dan laki-laki. Anggaran Responsif Gender dimaksudkan
untuk menjamin agar anggaran yang dikeluarkan pemerintah beserta program
dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan warga negara baik laki-laki dan
perempuan. Anggaran disusun dan disahkan melalui proses analisis dalam
perspektif gender dan Gender Budget Statement. Hal ini ditujukan bagi
akuntabilitas yang berdampak gender, meningkatkan isu dan program responsif
gender, dan mengubah alokasi anggaran untuk kesetaraan gender.
Partai Gerindra melalui kegiatan ini menjelaskan bahwa kondisi perempuan
sekarang ini menunjukkan rendahnya tingkat pengetahuan, keterampilan, sikap
kreatif dan aspirasi. Karena hal-hal tersebut, perempuan perlu diberdayakan
dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan dengan dukungan ARG. Cara-
cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemiskinan perempuan diantaranya
adalah dengan meningkatkan penghasilan perempuan dengan melakukan
pemberdayaan dalam bidang ekonomi seperti bantuan modal usaha, bantuan
simpan pinjam, koperasi serta melaksanakan ekonomi kerakyatan yang menjadi
salah satu program aksi Partai Gerindra. 15

1.2.2.3 Putaran Ke III Perempuan dan Isu Kesehatan Reproduksi:


Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran Hak Reproduksi Perempuan
dengan Perspektif Gender
Bentuk implementasi dari salah satu poin dalam enam program aksi Partai
Gerindra mengenai Meningkatkan kualitas pembangunan manusia Indonesia
melalui program pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya serta olahraga,
dilakukan dengan diskusi mengenai pentingnya pengetahuan dan kesadaran


15
Materi presentasi Dr. Sumarjati Arjoso, SKM, APBN 2015 dan Anggaran Responsif Gender
dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran
Ke II, 25 April 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


137

tentang hak reproduksi perempuan dengan perspektif gender. Sosialisasi gender


dan hak-hak kaum perempuan ini diharapakan dapat diperjuangkan oleh Partai
Gerindra bersama dengan PIRA melalui jalur politik. Pada diskusi ini, narasumber
yang mengisi acara sebagai berikut:
1. Dr. Sumardjati Arjoso: membahas “Situasi kesehatan reproduksi
perempuan di Indonesia”
2. Lies Marcoes, MA: membahas “Analisis gender dalam kaitannya dengan
kesehatan reproduksi”
3. Ninuk Widiantoro, MA dari Yayasan Kesehatan Perempuan: membahas
“Introduction to sexuality, reproductive health and rights (SRHR)”
4. Sita Ari Purnami, MA dan Edriana Noerdin, MA dari Women’s Research
Institute: membahas “Pembiayaan kesehatan dan kesehatan reproduksi”
Ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi kesehatan ibu dan bayi baru
lahir, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi termasuk PMS-
HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi, kesehatan
reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan infertile, berbagai penyakit yang
berhubungan dengan alat reproduksi seperti kanker serviks, mutilasi genital,
fistula, dan lain-lain. Angka kematian ibu melahirkan yang cukup tinggi di
Indonesia disebabkan oleh faktor tidak langsung dan langsung. Faktor tidak
langsung meliputi terlalu muda melahirkan (<20 tahun), terlalu tua melahirkan
(>35 tahun), terlalu dekat jarak melahirkan (<2 tahun), terlalu banyak jumlah anak
(>2 anak), terlambat mencapai fasilitas kesehatan, terlambat mendapat
pertolongan nakes, dan terlambat mengenali tanda bahaya persalinan. Faktor
langsungnya diantaranya pendarahan, eklamsia, infeksi, partus lama, abortus, dan
lain-lain.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka perbaikan kesehatan
reproduksi dalam rangka penurunan angka kematian ibu diantaranya
meningkatkan KB dengan metode MKJP, penempatan bidan di desa, pelatihan
bidan dalam APN dan rujukan, mengatasi hambatan pembiayaan, penyediaan unit
transfuse darah, dan peningkatan kegiatan promotif-preventif melalui BOK
Puskesmas. Untuk mencegah kanker alat reproduksi dan penanggulangan
infertilitas, upaya yang dilakukan dengan promosi dan konseling tentang deteksi

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


138

dini pencegahan kanker leher rahim, integrasi pelayanan kontrasepsi, promosi dan
konseling deteksi dini pencegahan kanker payudara, dan konseling kembalinya
kesuburan pasca penggunaan kontrasepsi. 16
Isu-isu di dalam Sexuality, Reproductive Health and Rights (SRHR)
meliputi tingginya angka kematian ibu; minimnya pengetahuan kesehatan
reproduksi; kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi; meningkatnya infeksi
HIV; kekerasan terhadap perempuan; perkawinan anak, dini, dan paksa; kekerasan
seksual; pemaksaan KB; diskriminasi pelayanan kesehatan reproduksi; minimnya
kepedulian pemerintah dan perlindungan hukum. Perempuan di Indonesia
kebanyakan tidak tahu mengenai hak-hak reproduksi seperti hak memutuskan
untuk memiliki keturunan atau tidak, hak menentukan jumlah anak, menentukan
jarak kelahiran, menentukan metode kontrasepsi, mengakses aborsi aman, dan
memperoleh pengobatan. Yang membuat kesehatan reproduksi perempuan
semakin terpuruk bukan karena teknologi atau metode kedokteran, tetapi persepsi,
mitos serta nilai-nilai yang membelenggu perempuan tidak dapat mengakses
17
kemajuan pengetahuan dan ilmu yang berkaitan dengan SRHR. PIRA dan
Partai Gerindra melalui diskusi ini diharapkan dapat memahami mengenai isu
SRHR dan mendukung terimplementasinya UU No. 38/2009 tentang Kesehatan
mengenai Bab Kesehatan Reproduksi atas inisiatif DPR dan LSM dan PP
No.61/2014 tentang kesehatan reproduksi dan aborsi aman, serta melakukan
pemberdayaaan terhadap pendukung agar terjadi perubahan nyata di kalangan
perempuan baik internal Partai Gerindra dan masyarakat.
Pemerintah Pusat dan Daerah sebenarnya memiliki dasar hukum dalam
mengalokasikan anggaran atau dana untuk mengembangkan program menurunkan
angka kematian ibu. Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa
jauh pemerintah pusat dan daerah menjalankan mandat UU Kesehatan untuk
mendanai dan melaksanakan pelayanan kesehatan publik, sejauh mana komitmen
dan kemauan politik pemerintah untuk menyelamatkan perempuan terutama


16
Materi presentasi Dr. Sumarjati Arjoso, SKM, Ringkasan “Situasi kesehatan reproduksi
(Kespro) perempuan di Indonesia” dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan
Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran Ke III, 1 Agustus 2015.
17
Materi presentasi Ninuk Widyantoro, Introduction to Sexual, Reproductive Health and Rights
dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran
Ke III, 1 Agustus 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


139

mereka yang miskin? Alokasi anggaran kesehatan tahun 2011 hanya 1,94% dan
alokasi anggaran pelayanan kesehatan reproduksi tahun 2011 adalah Rp. 31, 59
milyar dimana 76% nya digunakan untuk alokasi perjalanan dinas. Anggaran
kesehatan reproduksi kesehatan perempuan belum menjadi isu utama dalam
kebijakan pemerintah daerah. Menurut hasil penelitian pimpinan pusat aisyiyah,
alokasi pembiayaan kesehatan ibu dan anak di 11 kabupaten/kota belum mencapai
1% dari total anggaran daerah.
Alokasi belanja kesehatan masih jauh dari yang diamanatkan oleh UU
sebesar 5% dari APBN, bahkan cenderung menurun dari tahun 2011 ke tahun
2015 menjadi hanya 1,5%. Tiga hal penting yang berhubungan dengan anggaran
yang harus diperhatikan kedepannya untuk membantu usaha advokasi anggaran,
yaitu:
1. Melakukan Analisis Standar Belanja (ASB) yang belum pernah dilakukan
untuk mengidentifikasi unit-unit dan kegiatan yang diperlukan untuk
mengurangi AKI dan memperbaiki kesehatan reproduksi perempuan. ASB
menjadi indikasi jumlah dana yang diperlukan untuk mengurangi satu
kasus kematian ibu. Data ini dapat digunakan untuk memproyeksikan
anggaran yang diperlukan.
2. Memfasilitasi ruang untuk kelompok perempuan agar dapat menyuarakan
kebutuhan mereka yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi di
dalam Musyawarh Perencanaan Peembangunan (Musrenbang).
3. Upaya institusionalisasi perspektif gender dalam proses dan mekanisme
penganggaran, memastikan penganggaran di setiap kementerian dan
lembaga pemerintah menerapkan Anggaran Responsif Gender.
Perencanaan anggaran harus diawali dengan analisa gender, membuat
Gender Budget Statement dan melengkapinya dengan TOR yang
berspektif gender pada setiap kegiatan yang dianggarkan. 18


18
Materi presentasi Sita Ari Purnami, MA dan Edriana Noerdin, MA dari Women’s Research
Institute, Pengantar Diskusi Pembiayaan Kesehatan dan Kesehatan Reproduksi dalam kegiatan
Peningkatan Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran Ke III, 1
Agustus 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


140

1.2.2.4 Putaran Ke IV Perempuan dan Isu Pendidikan: Meningkatkan


Pengetahuan dan Kesadaran tentang Hak Pendidikan Bagi Perempuan
Salah satu target dalam Millenium Development Goals (MDGs) di
Indonesia pada tahun 2015 adalah tercapainya kesetaraan gender di tingkat
pendidikan dasar dan lanjutan pada semua jenjang pendidikan, dengan beberapa
indikator sebagai berikut:
1. Tertutupnya gap kesenjangan rasio anak perempuan terhadap anak laki-
laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi yang diukur melalui
angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki.
2. Hilangnya kesenjangan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki di
usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-
laki (indeks paritas melek huruf gender).
3. Menguatnya kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor
pertanian.
4. Menguatnya proporsi kursi di DPR yang diduduki perempuan.
Diskusi mengenai perempuan dan pendidikan ini diisi oleh dua narasumber
yaitu Dr. Marwah Daud Ibrahim yang merupakan Wakil Ketua Umum Partai
Gerindra membahas mengenai Pendidikan, kesetaraan dan keadilan bagi
perempuan melalui partisipasi perempuan di parlemen dan partai; dan Nani
Zulminanni, MA yang merupakan aktivis perempuan dari Pemberdayaan
Perempuan dan Kepala Keluarga (PEKKA) membahas mengenai strategi
memberdayakan perempuan tak terdidik untuk penguatan hak-hak dasar sebagai
perempuan. Diskusi ini membahas mengenai kenyataan yang ada pada perempuan
di bidang pendidikan, situasi pendidikan perempuan diprioritaskan dalam
perjuangan di parlemen, serta strategi meningkatkan pendidikan dan kesadaran
hak-hak perempuan dapat dilakukan kepada kaum perempuan yang ‘tak terdidik’.
Pendidikan perempuan merupakan cara paling efektif untuk melakukan
perubahan atau transformasi bangsa. Pendidikan juga membantu perempuan untuk
secara sadar mengambil keputusan terkait masa depan, keluarga, dan masyarakat
di lingkungannya. Secara kuantitas, angka partisipasi anak perempuan di tingakt
pendidikan semakin membaik setiap tahunnya, namun ternyata terdapat
permasalahan gender di bidang pendidikan. Permasalahan gender ini tidak terlalu

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


141

nampak dan lebih sulit diatasi sehingga menjadi penghalang bagi Indonesia untuk
menerapkan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan. Persoalan gender di
bidang pendidikan diantaranya meliputi: buku pelajaran bias gender-ilustrasi;
stereotip gender: ilmu sosial untuk perempuan, teknologi untuk laki-laki; program
terbatas; pemahaman dan keahlian yang terbatas; pernikahan dini; serta data dan
pemetaan tidak memadai.
Untuk mengatasi persoalan pendidikan pada perempuan, Partai Gerindra
harus menyusun strategi untuk meningkatkan pendidikan perempuan :
1. Partai Gerindra meningkatkan peran perempuan parlemen di bidang
pendidikan (Pembuatan legislasi: aktif menyusun UU atau Perda terkait
pendidikan; Penganggaran: alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk
lembaga pendidikan, media, kegiatan masyarakat; kontrol: melakukan
kontrol pada kebijakan pemerintah di sidang dan media)
2. Partai Gerindra membuat diklat khusus bagi perempuan berjuang di
parlemen dan partai dengan metode appreciative inquiry (fokus pada
keberhasilan dan kekuatan; kolaborasi, belajar bersama, bekerja sama;
berbagi kisah sukses; inklusif: beragam latar belakang; merancang masa
depan bersama).
Partai Gerindra bersama PIRA dalam upaya meningkatkan peran perempuan
parlemen di bidang pendidikan, diperlukan satu dapil DPR RI - satu angkatan
diklat perempuan dengan peserta sebanyak 40-100 orang terbagi atas zona-zona
wilayah seperti Sumatera, Jawa, dan KTI. Diklat kader perempuan untuk sukses di
parlemen dan partai dilaksanakan bersinergi dengan berbagai bidang terkait
seperti koperasi, pertanian, industri, energi, kesehatan, dan lain-lain. Diklat ini
dilakukan agar peserta memeperoleh tiga hal, yaitu menyadari potensi dan
peluang perempuan berkiprah di parlemen dan partai; menginginkan,
memimpikan dan menetapkan target untuk sukses di parlemen dan partai;
memperjuangkan kesuksesan dengan antusiasme, komitmen, keuletan, dan doa.
Target dengan adanya pendidikan dasar adalah setiap anak perempuan Indonesia
dapat menikmati pendidikan, memiliki daftar impian, serta memiliki peta hidup.
Strategi peningkatan peran perempuan di parlemen dan partai yang
disampaikan kepada para kader perempuan Partai Gerindra:

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


142

1. Difine : Tetapkan target, Gerindra menang nomor I Pemilu 2019, dan


memiliki jumlah anggota perempuan terbanyak dan teraktif perjuangkan
kesetaraan, keadilan gender di DPR RI, DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
2. Discover : Temukan data dan peta realitas saat ini. Gerindra pemenang
urutan ke-3 dengan anggota parlemen 200 orang dari lebih 2000 anggota
parlemen se Indonesia.
3. Dream : Visualisasi penambahan kuantitas, kualitas peran anggota
parlemen perempuan Gerindra.
4. Design : Langkah, strategi yang diperlukan oleh kader dan partai.
Rekrutmen, kaderisasi, pelatihan, capacity building di masing-masing
Dapil.
5. Deliver/Destiny : Action Plan, role model, support system, monitoring,
networking. 19

1.2.2.5 Putaran Ke V Perempuan dan Isu Lingkungan: Meningkatkan


Pengetahuan dan Kesadaran tentang Lingkungan bagi Perempuan
Bentuk implementasi dari dua poin dalam enam program aksi Partai
Gerindra dalam memperhatikan isu lingkungan yaitu poin 3: membangun
kedaulatan pangan dan energi serta pengamanan sumberdaya air; dan poin 5:
membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup,
dilakukan dengan diskusi mengenai pengetahuan dan kesadaran lingkungan bagi
perempuan. Hasil sebuah studi menunjukkan bahwa pembesaran kapital terjadi
diatas perusakan alam dan perempuan. Industri-industri besar yang bersumber dari
alam bisa membesar ketika mereka menggusur sumber air untuk mencuci,
memasak, minum yang menjadi domain ruang domestik perempuan. Hal ini
membuat beban kerja perempuan semakin sulit akibat kerusakan lingkungan.
Lewat diskusi ini, kader perempuan memahami sikap yang Partai Gerindra dapat
sumbangkan lewat pemikiran dan aksi dalam menjaga dan melestarikan
lingkungan dengan tetap mengutamakan pembangunan demi kesejahteraan rakyat.

19
Materi presentasi Dr. Marwah Daud Ibrahim, Pendidikan, kesetaraan dan keadilan bagi
perempuan melalui partisipasi perempuan di parlemen dan partai dalam kegiatan Peningkatan
Kapasitas Kader Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran Ke IV, 24 Oktober 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


143

Narasumber di dalam diskusi ini sebagai berikut:


1. Masnellyarti Hilman, M.Sc - pemerhati lingkungan: membahas “Upaya-
upaya pembangunan yang adil dan ramah terhadap perempuan, peluang,
dan tantangannya”
2. Sita Aripurnami, M.Sc dari Women Research Institute: membahas
“Pengalaman perempuan berhadapan dengan kerusakan lingkungan, studi
kasus Riau”
3. Dr. Lily Sulistyowati dari Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementerian Kesehatan RI: membahas “Penanganan dampak
kabut asap terhadap kesehatan”
Faktor pemicu perubahan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup
diantaranya adalah distribusi penduduk yang mendominasi perkotaan,
pertumbuhan ekonomi, perubahan pola konsumsi masyarakat, perubahan iklim,
serta illegal mining, illegal fishing, dan illegal logging. Kerusakan lingkungan
yang terjadi karena faktor-faktor tersebut mengancam ketahanan pangan,
kesehatan manusia, kenaikan permukaan air laut, kekeringan, kebakaran hutan,
banjir ROB di daerah pantai, dan sebagainya. Jika hal tersebut terus terjadi,
dampak yang dapat ditimbulkan adalah krisis pangan, energi, serta lingkungan
yang membawa pada keadaan gejolak sosial, ekonomi, dan politik.
Kader perempuan dan anggota PIRA sebagai individu dan perempuan wajib
berperilaku hidup ramah lingkungan dan menjadi role model keluarga dalam
melakukannya antara lain dengan melakukan hal sebagai berikut:
1. Perencanaan dalam kelahiran anak
2. Membangun atau membeli rumah sesuai arsitektur dan peruntukkannya
untuk pemukiman
3. Budaya makan ramah lingkungan
4. Budaya penggunaan air ramah lingkungan
5. Budaya hemat energi dan menggunakan energi bersih dan terbarukan
6. Budaya menghindari resiko terhdapa penggunaan B3 dan limbah B3
7. Budaya menanam bunga, tanaman obat, sayuran, dan bahan pangan
8. Budaya 4R dalam pengelolaan sampah.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


144

Untuk peserta diskusi yang menjabat sebagai anggota legislatif dan


eksekutif, program partai yang perlu dijalankan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan inventarisasi SDA dan KLHS serta memetakan ekosistem
strategis seperti gambut, karst, mangrove, DAS, dan kawasan lindung
lainnya
2. Mempunyai tata ruang sesuai daya dukung dan daya tamping lingkungan
hidup
3. Pelaksanaan proyek pemerintah terkait infrastruktur diwajibkan AMDAL
terlebih dahulu dan taat ketentuan rencana kelola lingkungan hidup
4. Tidak mengulang kesalahan pembukaan lahan 1 juta ha di Kalimantan
Tengah dan lahan untuk pangan di Merauke yang menimbulkan kebakaran
serta kebanjiran
5. Meningkatkan ketersediaan pangan dengan verifikasi pangan sesuai
ekosistem setempat serta meningkatkan ketersediaan air, pupuk organik
dan bibit yang tahan terhadap perubahan iklim
6. Penggunaan energi terbarukan seperti biogas, biodiesel, dan sebagaina
7. Perilaku hemat energi dan pengawasan penggunaan energi ilegal serta
pembangunan pembangkit listrik ramah lingkungan
8. Rehabilitasi lahan kritis dengan tumpang sari dan penyertaan peran
masyarakat
9. Pengembangan kawasan industri, maritim, dan pariwisata yang
disesuaikan dengan tata ruang dan AMDAL
10. Pengembangan taman, hutan lindung, taman nasional, serta suaka alam,
juga mendorong dibangunnya industri keanekaragaman hayati untuk obat,
makanan, dan pariwisata
11. Mencegah, mengawasi, serta melakukan penegakan hukum secara
konsisten terhadap illegal logging, fishing, mining, dan perilaku
pencemaran kerusakan lingkungan hidup. 20
Perempuan dalam partisipasi pengelolaan hutan jika dilihat dari perspektif
gender dapat dikatakan sangat kurang, diantaranya pada tiga bidang berikut:

20
Materi presentasi Masnellyarti Hilman, Upaya-upaya pembangunan lingkungan yang adil dan
ramah terhadap perempuan, peluang, dan tantangannya dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas
Kader Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran Ke V, 28 November 2015.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


145

Pertama, dalam bidang tata ruang dan AMDAL. Kepemilikan tanah dan control
terhadapnya masih dipegang oleh laki-laki sehingga partisipasi perempuan tidak
diperhitungkan dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata
ruang. Studi kasus di Teluk Binjai, Pelalawan, dimana masyarakat hanya
mengalokasikan pelibatan perempuan sebanyak 10% dari jumlah warga yang
hadir dalam pertemuan warga. Kedua, dalam bidang ketahanan pangan. Di desa
teluk binjai, perempuan memanfaatkan lahan yang tersisa untuk bercocok tanam
dan mengelola produk hutan non-kayu yang hasilnya digunakan untuk kebutuhan
pangan keluarga. Ketiga, dalam bidang penyelesaian konflik. Perempuan masih
jarang dilibatkan, dengan pertimbangan adanya kekhawatiran bahwa upaya
penyelesaian konflik akan berujung pada bentrok dengan aparat. Keterlibatan
perempuan biasanya dalam usaha informal yang berasal dari inisiatif masyarakat,
bukan usaha formal yang berasal dari instruksi pemerintah. Perempuan lebih
sering terlibat dalam upaya resolusi konflik yang terkait dengan isu ketahanan
pangan dan kesehatan lingkungan.
Rendahnya partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan disebabkan oleh
berbagai faktor seperti perspektif masyarakat yang menganggap peran perempuan
hanya di ranah domestik; kurangnya kesadaran perempuan untuk terlibat karena
waktunya telah habis untuk urusan rumah tangga; kepemilikan dan control
sumberdaya didominasi laki-laki dan partisipasi perempuan kurang
diperhitungkan; dan berbagai kebijakan yang mengatur konsesi hutan belum
mendorong partisipasi perempuan. Partisipasi perempuan sangat penting dalam
konsesi hutan karena perempuan pada kenyataannya terlibat aktif dalam
pengelolaan hutan dan kebun seperti memupuk, membersihkan rumput liar,
menyadap getah karet, memungut buah, hingga menjual getah karet; perempuan
mengalami dampak langsung akibat konsesi hutan karena perempuan ditempatkan
untuk bertanggung jawab pada penyediaan kebutuhan pangan keluarga;
perempuan juga terlibat menjadi inisiator dalam penyelesaian masalah konsesi
hutan.
Jika peningkatan kapasitas perempuan dalam kemampuan advokasi dapat
dilaksanakan, maka diharapkan perempuan akan mampu menegosiasikan
kebutuhan dan kepentingannya terkait peengelolaan hutan sehingga kesejahteraan

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


146

hidup mereka membaik. Dalam jangka panjang, upaya peningkatan kapasitas


perempuan memberi potensi dampak ekonomi berupa penghematan biaya bagi
kehidupan masyarakat, termasuk perempuan di desa. Sebagai ilustrasi, apabila
upaya tersebut ditargetkan melibatkan setidaknya 15 orang perempuan dari 8 desa
pada 4 Kabupaten, maka setidaknya aka nada 240 orang penerima manfaat dari
peningkatan kapasitas yang dilakukan. Upaya ini diharapkan mendorong
dikeluarkannya regulasi pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat
terutama perempuan yang mengarah pada penghematan biaya. Kondisi tata kelola
hutan saat ini tidak memberi akses pada masyarakat baik laki-laki dan perempuan,
juga pada akhirnya menyebabkan kekeringan yang mengakibatkan tidak
memadainya kebutuhan air bersih bagi masyarakat.21

1.2.3 Peran PIRA dalam Rekrutmen Pengurus Dewan Pimpinan Pusat


Sebagai organisasi sayap perempuan Partai Gerindra, PIRA memiliki fungsi
untuk menampung anggota-anggota perempuan yang memiliki kompetensi dan
kontribusi untuk membesarkan Partai Gerindra. Sebagai sayap partai yang
memiliki pasukan dalam jumlah yang besar, PIRA turut berperan serta dalam
upaya merekrut anggota-anggotanya untuk masuk ke dalam jajaran pengurus
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019. Hal tersebut seperti
yang dikatakan oleh Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA),
Bianti Djiwandono, MA,

“…Saya kira yang menjadi pengurus itu memang banyak, yang ingin jadi
pengurus itu memang banyak sekali. Terutama, saya tidak tahu nih kita
persentasenya. Pengurus DPP yang menentukan adalah Ketua Dewan
Pembina bersama dengan tim nya. Kalau PIRA memang banyak
mengusulkan, kita lihat siapa-siapa saja, kita mengusulkan ini ini ini yang
pantas menjadi pengurus.” 22


Kriteria-kriteria yang menjadi dasar pertimbangan bagi pimpinan-pimpinan
PIRA dalam mengajukan nama-nama anggota PIRA untuk diusulkan kepada

21
Materi presentasi Sita Aripurnami, M.Sc, Pengalaman perempuan berhadapan dengan
kerusakan lingkungan, studi kasus Pelalawan, Riau dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Kader
Perempuan Partai Gerindra – Anggota PIRA Putaran Ke V, 28 November 2015.
22
Hasil wawancara dengan Anggota Dewan Pembina Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Bianti
Djiwandono, MA. Op.Cit.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


147

Ketua Dewan Pembina sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra
didasarkan pada tiga hal, yaitu loyalitas, kompetensi, dan kontribusi ke partai.

“…loyal, kompetensi, bagaimana orang itu akan menyumbang ke partai dan


akan bisa membesarkan bersama. Itu sudah pasti, bukan asal teman, asal apa
lah. Dan punya jiwa yang kita merasa, inilah Gerindra. Dari agama apapun,
suku, etnis, apapun, kita terbuka karena kita Bhineka Tunggal Ika. Karena
kita (Gerindra) bukan dasarnya asas agama apapun, beda kan dengan partai
seperti PKB, PPP, PKS. Yang jelas sih kompetensi dan loyal, punya prinsip-
prinsip dasar yang anut oleh Partai Gerindra. Kebanyakan yang kita usul,
masuk ke DPP. Saya belum merinci lagi, masuk tetapi posisinya dimana-
dimana itu mungkin belum tentu posisi yang kita inginkan, tetapi masuk.
Saya bisa cek, yang saya usul itu kalau ke DPP.” 23

Sebagian besar anggota perempuan yang menjadi pengurus Dewan


Pimpinan Pusat telah aktif di dalam organisasi sayap partai Perempuan Indonesia
Raya sebelum mereka masuk ke dalam kepengurusan di Dewan Pimpinan Pusat.
Nama-nama perempuan di Dewan Pimpinan Pusat yang berasal dari organisasi
sayap Perempuan Indonesia Raya dan tercatat sebagai Pengurus Pusat Perempuan
Indonesia Raya berdasarkan Surat Keputusan Nomor 07-0788 A/PIRA-
SK/Sekjen/Kpts/PP-PIRA/IX/2013, sebagai berikut:
1. Anita Ariyani : Anggota Pembina
2. dr. Sumarjati Ardjoso : Ketua Umum
3. Drg. Putih Sari : Bendahara Umum
4. Jasmin B. Setiawan : Ketua I membawahi Bidang Organisasi Kaderisasi
dan Keanggotaan
5. Yetti Wulandari : Wakil Ketua II membawahi Bidang Penggalangan
Dana
6. Priscillia E. Mantiri : Ketua Bidang Penggalangan Dana
7. dr. Karlina, MARS : Ketua III membawahi Bidang Kesejahteraan
Rakyat
8. Waskita Rini, MBA : Ketua Bidang Lingkungan Hidup


23
Ibid.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


148

BAB 5
PENUTUP

Berdasarkan permasalahan, pertanyaan penelitian, analisis dan pembahasan


yang dijabarkan, maka bab penutup berisi kesimpulan peneliti yang mencakup
rangkuman penjelasan mengenai rekrutmen perempuan dan representasi politik di
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019.
Sedangkan implikasi teori, mencakup penggunaan teori-teori yang digunakan
untuk menganalisa pertanyaan penelitian.

5.1 Kesimpulan
Terdapat 5 (lima) pola rekrutmen pengurus perempuan di dalam
kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019 yang
terdiri dari: Pertama, Pendiri Partai Gerindra yaitu pengurus perempuan yang
termasuk ke dalam jajaran orang-orang yang ikut serta dalam mendirikan Partai
Gerindra, mengajak orang-orang untuk masuk ke dalam Partai Gerindra, dan
melakukan upaya-upaya dalam rangka memenuhi persyaratan verifikasi partai
untuk menjadi peserta di Pemilu tahun 2009. Kedua, Anggota Legislatif (DPR dan
DPRD) yaitu anggota legislatif terpilih yang mendapatkan hak istimewa menjadi
pengurus Dewan Pimpinan Pusat dan sebagai konsekuensi langsung atas
terpilihnya mereka di lembaga legislatif, serta bertujuan agar memberi kontribusi
yang untuk membesarkan Partai Gerindra; Ketiga, Kontribusi di Pilpres 2014 dan
Bukan Kader yaitu perempuan-perempuan yang bukan kader Partai Gerindra
tetapi memiliki kontribusi di dalam Pilpres tahun 2014 mendukung Prabowo-
Hatta dan diminta secara langsung oleh pimpinan partai untuk bergabung;
Keempat, Kader Partai Gerindra – Pengurus Baru yaitu perempuan-perempuan
yang merupakan kader partai tetapi baru menjabat sebagai pengurus Dewan
Pimpinan Pusat di tahun 2014; dan Kelima, Kader Partai Gerindra – Pengurus
Lama yaitu perempuan-perempuan yang meneruskan jabatan di kepengurusan
sebelumnya di Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra.
Dewan Pembina sebagai dewan pimpinan tertinggi dan forum pengambilan
keputusan tertinggi Partai Gerindra yang diketuai Prabowo Subianto, menunjuk

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


149

langsung pengurus perempuan di Dewan Pimpinan Pusat periode 2014-2019


dengan pertimbangan rekomendasi dari Wakil Ketua Umum atau pimpinan-
pimpinan, organisasi sayap partai Perempuan Indonesia Raya (PIRA), serta
mendekati dan mengajak secara langsung untuk bergabung dengan Partai
Gerindra. Rekomendasi pimpinan menjadi penting mengingat usia partai yang
terbilang baru sehingga membutuhkan tokoh-tokoh yang berpengalaman dalam
politik diluar kader perempuan yang telah ada. Kriteria-kriteria dalam
penunjukkan pengurus diantaranya kontribusi besar terhadap partai, memiliki
kompetensi, dan prinsip-prinsip dasar yang anut oleh Partai Gerindra, serta
dedikasi terhadap perjuangan partai sejalan dengan apa yang ada didalam
manifesto Partai Gerindra.
Keterwakilan politik perempuan pengurus DPP Partai Gerindra dapat
dikatakan belum maksimal secara kualitas. Hal tersebut dikarenakan, forum
tertinggi di dalam pengambilan keputusan Partai Gerindra, berada di tangan
Dewan Pembina. Jumlah perempuan yang masuk ke dalam jajaran Dewan
Pembina hanya 14 (empat belas) orang dari total 71 anggota Dewan Pembina.
Selain jumlahnya yang sedikit, keterwakilan politik perempuan masih kurang
maksimal karena dari sekian jumlah perempuan yang masuk sebagai anggota
Dewan Pembina, hanya 5-6 perempuan yang aktif di dalam proses pengambilan
keputusan. Meski terdapat perempuan di Dewan Pembina, tetapi secara
keseluruhan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan diinklusikan kedalam
kepengurusan partai, tetapi tidak pada posisi-posisi yang memungkinkan mereka
meningkatkan kemampuan politik untuk mempengaruhi penyusunan agenda
politik partai. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah perempuan yang menempati
jabatan sebagai Wakil Ketua Umum dan Ketua Bidang jika dibandingkan dengan
jumlah laki-laki.
Sebagai sayap partai perempuan, Perempuan Indonesia Raya (PIRA)
memiliki peran penting sebagai sarana penyaring perempuan-perempuan untuk
masuk ke dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat. Selain mengusulkan
nama-nama perempuan kepada pimpinan-pimpinan Partai Gerindra untuk
dimasukkan ke dalam jajaran pengurus, Perempuan Indonesia Raya (PIRA) juga
menyiapkan anggota-anggota dan kader perempuannya agar memiliki kapasitas,

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


150

kompetensi dan pemahaman mengenai permasalahan gender, perempuan dan


politik, dan sebagainya lewat kegiatan-kegiatan seperti pelatihan kader perempuan
dan pendidikan politik dalam bentuk diskusi dan seminar yang diberikan oleh
pakar dibidangnya masing-masing.

1.2 Implikasi Teori


Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa demokrasi
internal di dalam rekrutmen dan pola rekrutmen perempuan dalam kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra periode 2014-2019 berkaitan dengan teori
yang dikemukakan oleh Susan Scarrow mengenai dimensi inklusifitas dan
sentralisasi dalam demokrasi internal partai; teori yang dikemukakan Barbara
Geddes mengenai pola rekrutmen di dalam partai politik; dan teori yang
dikemukakan Jenny Chapman mengenai pola gender di dalam rekrutmen.
Dalam demokrasi internal Partai Gerindra, pengambilan keputusan
dilakukan oleh satu orang pemimpin yaitu Ketua Dewan Pembina. Dalam hal
pengambilan keputusan, jangkauan partai dapat dikatakan eksklusif karena hanya
satu orang pemimpin yang melakukan pengambilan keputusan. Meskipun begitu,
di dalam demokrasi internal Partai Gerindra, proses pembuatan keputusan dalam
penyempurnaan pengurus Dewan Pimpinan Pusat, jangkauan Partai Gerindra
dalam pembuatan keputusan dilakukan oleh anggota Dewan Pembina dan
menerima usulan-usulan dari tingkat bawah seperti sayap partai perempuan PIRA.
Inklusifitas di dalam proses rekrutmen anggota perempuan dalam kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat sampai pada tahapan usulan nama-nama perempuan yang
diajukan oleh beberapa Wakil Ketua Umum dan sayap partai Perempuan
Indonesia Raya (PIRA).
Model rekrutmen yang disebutkan oleh Barbara Geddes di dalam studi
kasus rekrutmen perempuan pada kepengurusan DPP Partai Gerindra, yang
mendominasi adalah survival atau rekrutmen dengan prinsip balas jasa, terutama
bagi pengurus perempuan yang baru menempati jabatan di kepengurusan periode
2014-2019. Meski terdapat pertimbangan lain seperti pragmatisme dan
pengangkatan lain untuk memperoleh dukungan dan mengembangkan pengikut

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


151

loyal, namun prinsip balas jasa dalam rekrutmen perempuan di DPP Partai
Gerindra adalah pola yang utama.
Terakhir, teori mengenai pola gender dalam rekrutmen menurut Jenny
Chapman bahwa perempuan di dalam mencapai kesuksesan di politik di dapat
dengan menggantikan elit yang ada atau masuk karena adanya perubahan nilai
yang menguntungkan perempuan. Adanya penerapan kebijakan keterwakilan
sebanyak 30% di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra
membuat angka keterwakilan perempuan di internal partai meningkat secara
substansial. Meski begitu, para perempuan di internal Partai Gerindra harus lebih
lagi dalam hal kontribusi dan kompetensi untuk mencapai jabatan-jabatan yang
memungkinkan mereka mempengaruhi pengambilan keputusan di Partai Gerindra.
Meski secara kuantitas, persentasenya adalah 29,14% di tingkat Dewan Pimpinan
Pusat, tetapi secara substansial masih sedikit perempuan yang menempati posisi di
jajaran pimpinan Partai Gerindra.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


152

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ahmad, Amalia. (2008). Pola Rekrutmen Calon Anggota Legislatif Perempuan
PDI Perjuangan Tahun 1999 dan Tahun 2004. Tesis. UI: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perempuan Indonesia Raya


(PIRA). (2013).

Budiardjo, Miriam. (1982). Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta : Yayasan Obor

Chapman, Jenny. (1993). Politics, Feminism and the Reformation of Gender.


London: Routledge.

Chinsinga, Blessing dan Gerald Chigona. (2010). The State of Intra-Party


Democracy in Malawi: Comparative Study of Selected Party Constitutions.
Malawi : Centre For Multy Party Democracy Malawi.

Creswell, John W. 2009. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed


Methods Approaches. Third Edition. Thousand Oaks California: SAGE
publications.

Dwipayana G. dan Nazarudin Sjamsuddin (Ed.). Tim Dokumentasi Presiden RI.


(2003). Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988. Jakarta:
PT. Citra Kharisma Bunda.

Geddes, Barbara. (1996). Politicians Dilema: Building State Capacity in Latin


America. U.S: University of California Press.

Hazan, Reuven Y. dan Gideon Rahat. (2010). Democracy Within Parties,


Candidate Selection Methods and Their Political Consequences. New York:
Oxford University Press.

International IDEA. (1995). Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di


Indonesia. Laporan hasil konferensi yang diadakan di Jakarta, pada bulan
September 2002.

Khoirudin. (2004). Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Manifesto, AD/ART, dan Program Aksi Partai Gerindra. (2014).

Michels, Robert. (1984). Partai Politik, Kecenderungan Oligarkis dalam


Birokrasi. Jakarta: Rajawali.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


153

Muthia, Mella. (2011). Rekrutmen Calon Anggota Legislatif DPR RI Partai


Gerindra Dapil DKI Jakarta Pada Pemilu 2009. Tesis. UI: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.

Norris, Pippa. (1997). Passage to Power: Legislative Recruitment in Advanced


Democracies. Cambridge University Press.

Nuraina. (2007). Demokrasi Internal Partai Politik Islam: Studi Rekrutmen


Perempuan Pada Jabatan-jabatan Politik PKS Pemilu 2004. Tesis. UI:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Phillips, Anne. (1995). The Politics of Presence. Oxford: Clarendon Press.

Purwaningsih, Titin. (2015). Politik Kekerabatan Dalam Politik Lokal di Sulawesi


Selatan Pada Era Reformasi (Studi Tentang Rekrutmen Politik Pada Partai
Golkar, Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat Sulawesi Selatan
Tahun 2009). Disertasi. UI: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Ramses, Andy dan La Bakry (Ed.). (2009). Politik dan Pemerintahan Indonesia.
Jakarta: MIPI.

Scarrow, Susan (1996). Parties and Their Members: Organizing for Victory in
Britain and Germany. Oxford: Clarendon Press.

Siavelis, Peter M. dan Scott Morgenstern. (2008). Pathways to Power Political


Recruitment and Candidate Selection in Latin America. Pennsylvania: The
Pennsylvania State University Press.

Soetjipto, Ani. (2005). Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas.

Surbakti, Ramlan. (1997). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gransindo.

Tim PUSKAPOL UI. (2013). Panduan Calon Legislatif Perempuan Untuk Pemilu
2014. Universitas Indonesia: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Tomsa, Dirk. (2008). Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in


the post-Suharto era. London and New York: Routledge Taylor & Francis
Group

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.

Verba, S. dan Nie, N. (1972). Participation in America: Political Democracy and


Social Equality. New York.

Ware, Alan. (1996). Political Parties and Party Systems. United States: Oxford
University Press.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


154

Zakaria, A. Syamsul. (2004). Konvensi Nasional Pemilihan Presiden: Studi


Perbandingan Konvensi Nasional Partai Golongan Karya di Indonesia
dengan Konvensi Nasional Partai Republik dan Partai Demokrat di
Amerika Serikat. Tesis. Universitas Indonesia: Fakultas Hukum.

Jurnal:
Saraswati, Muninggar Sri (Ed.). (2011). Representasi Politik Perempuan.
Afirmasi Jurnal Pengembangan Pemikiran Feminis Vol. 01, Oktober 2011.
Jakarta: Women Research Institute.

Dokumen:
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia M.HH-
13.AH.11.01 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Perubahan Anggaran
Dasar/ Anggaran Rumah Tangga, Dan Susunan Kepengurusan Partai
Gerakan Indonesia Raya.

Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Susunan Pengurus Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya).

Situs Internet:
Hj. Himmatul Aliyah, S.Sos, M.Si Calon Anggota DPD RI Provinsi Banten.
www.ramaloka.com diakses pada tanggal 28 Mei 2016.

Mohammad Yudha Prasetya. (8 April 2015). Gabung Gerindra, Elza Syarief


kaget langsung jadi ketua. <merdeka.com> diakses pada tanggal 28 Mei
2016.

Rizky Jaramaya. (5 April 2015). Indonesia Jadi Salah Satu Pengimpor Gandum
Terbesar Dunia. <republika.co.id> diakses pada tanggal 20 April 2016.

Sejarah ‘Koalisi’ Prabowo Subianto-Rachmawati Soekarnoputri. (20 Mei 2016).


<detiknews.com> Diakses pada tanggal 20 Mei 2016.

Sejarah Partai Gerindra. <partaigerindra.or.id/sejarah-partai-gerindra> diakses


pada tanggal 2 April 2016.

Tim PUSKAPOL UI. Publikasi Hasil Riset Comments Off On Pentingnya


Afirmasi Internal Partai Politik untuk Perempuan diakses pada tanggal 14
Oktober 2016.

Tokoh Perempuan Golkar Marwah Daud dan Kivlan Zen Dukung Prabowo
Hatta. <tribunnews.com> diakses pada 21 April 2016.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


155

Wawancara:
Wawancara dengan dr. Sumarjati Ardjoso, Wakil Ketua Umum Bidang
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Sabtu, 5 Desember 2015, di Kantor
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra.

Wawancara dengan Noudhy Valdryno, BA, Kepala Departemen Pembinaan


Pelajar dan Mahasiswa. Selasa, 8 Maret 2016, di Kantor Dewan Pimpinan
Pusat Partai Gerindra.

Wawancara dengan Jasmin B. Setiawan, Ketua Bidang Ekonomi Kreatif. 4 April


2016, lewat pesan elektronik atau e-mail.

Wawancara dengan Dr. Ir. Endang S. Thohari, DESS, M.Sc, Ketua Harian
Perempuan Indonesia Raya (PIRA). Rabu, 6 April 2016, di Kantor Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerindra.

Wawancara dengan Dra. Anita Ariyani, Ketua Bidang Perlindungan dan


Pemberdayaan Perempuan DPP Partai Gerindra. Rabu, 13 April 2016, di
Gedung DPR RI.

Wawancara dengan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Ketua Bidang Advokasi


Perempuan. Rabu, 13 April 2016, di Gedung DPR RI.

Wawancara dengan Marwah Daud Ibrahim, Ph.D, Wakil Ketua Umum Bidang
Koperasi, UMKM, dan Ekonomi Kreatif. Rabu, 20 April 2016, di Kantor
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra.

Wawancara dengan Bianti Djiwandono, MA, Anggota Dewan Pembina


Perempuan Indonesia Raya (PIRA). Senin, 25 April 2016, di kediamannya,
Radio Dalam, Jakarta Selatan.

Wawancara dengan Priscillia E. Mantiri, ST, MT, Ketua Bidang Wawasan


Nusantara. Rabu, 25 Mei 2016, di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra.

Wawancara dengan Fadli Zon, SS, M.Sc, Wakil Ketua Umum Bidang Politik
Dalam Negeri, Hubungan Antar Partai dan Pemerintahan. Selasa, 31 Mei
2016, di Gedung DPR RI.

Wawanacara dengan Retno Sari Widowati, Ketua Bidang Perlindungan dan


Pemberdayaan Kaum Difabel. Kamis, 2 Juni 2016, lewat telepon.

Universitas Indonesia

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


Pedoman Wawancara Penelitian

Untuk Pengurus DPP:


1. Bagaimana awalnya bisa bergabung dengan Partai Gerindra dan direkrut
menjadi pengurus DPP?
2. Apakah mengikuti kaderisasi baik sebelum ataupun sesudah menjabat sebagai
pengurus DPP?
3. Adakah upaya-upaya dari anggota DPP perempuan yang mengupayakan
keterwakilan perempuan di DPP sebanyak 30%?
4. Bagaimana peran di dalam representasi politik perempuan di DPP? Apakah
perempuan selalu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan strategis di Partai
Gerindra?
5. Menurut anda, apa kontribusi anda untuk Gerindra yang membuat anda terpilih
sebagai pengurus DPP?

Untuk Aktivis Perempuan Partai Gerindra:


1. Bagaimana pandangan anda mengenai perempuan di kepengurusan DPP Partai
Gerindra?
2. Sebagai aktivis perempuan dan juga anggota Dewan Pembina Partai Gerindra,
upaya-upaya seperti apa yang dilakukan untuk meningkatkan representasi
perempuan di DPP?
3. Apakah penyertaan 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan DPP
Partai Gerindra sudah maksimal secara kualitas dalam representasi politik
perempuan di DPP Partai Gerindra?
4. Di dalam rapat-rapat internal, apakah perempuan selalu dilibatkan dan apakah
jumlah perempuan di setiap rapat sudah cukup merepresentasikan kepentingan
perempuan?
5. Program-program apa saja yang dilakukan PIRA dalam rangka pemberdayaan
perempuan serta upaya meningkatkan kualitas kader perempuan?
6. Bagaimana posisi PIRA sebagai organisasi sayap partai perempuan dalam
pengambilan keputusan?

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.


Untuk Pimpinan Partai Gerindra:
1. Bagaimana proses rekrutmen pengurus DPP periode 2014-2019 setelah
terpilihnya Ketua Umum? Berapa jumlah formatur dan siapa saja?
2. Selain karena kuota 30% perempuan, criteria apa yang membuat perempuan-
perempuan di kepengurusan DPP yang sekarang terpilih?
3. Sebagai pendiri dan pimpinan Gerindra, apa yang membuat Partai Gerindra
mencantumkan 30% keterwakilan perempuan di setiap tingkatan dalam AD/ART?
4. Menurut anda, apa secara kualitas dan kuantitas, representasi kepentingan
perempuan sudah terwakili dengan baik? Bagaimana keterlibatan mereka di dalam
pengambilan keputusan?

Demokrasi internal..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FISIP UI, 2016.

Anda mungkin juga menyukai