Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN ROLEPLAY INTERVENSI AFEKTIF

DASAR DAN TEKNIK INTERVENSI INDIVIDUAL

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Dasar dan Teknik Intervensi Individual
yang diampu oleh Dr. Lilim Halimah, BHSC., MHSPY.

Disusun oleh

Kelompok 8

Shafira Ghassani H 10050019024

Jihaan Adilah M 10050019219

Ima Nurul Azmi 10050019239

Kelas F

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2022
A. Intervensi Role Reversal
I. Identitas Konselee
Nama: Ima
Jenis Kelamin: Perempuan
Tgl lahir : 15 Februari 1997

II. Keluhan/Permasalahan
Subjek adalah seorang perempuan berusia 25 tahun sebelumnya ia bekerja selama
1 tahun sebagai karyawan di salah satu perusahaan. Munculnya pandemi beberapa
karyawan di PHK karena kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan untuk
menggaji karyawan akibat penurunan ekonomi karena pandemi. Subjek adalah
salah satu karyawan yang kena PHK di perusahaannya.

Selama sekitar 1 tahun subjek menganggur dan belum dapat pekerjaan. Sementara
itu orangtua subjek terus menekan subjek untuk mencari pekerjaan lagi karena
kondisi ekonomi keluarga sedang tidak stabil akibat pandemi. Setiap berkumpul
dengan keluarga orang tuanya suka membandingkan-bandingkan subjek dengan
saudara-saudaranya tentang pencapaian. Sehingga subjek dan orangtua nya sering
beradu pendapat dan bertengkar kondisi tersebut mengakibatkan subjek
mengalami stress dan lebih mudah emosi

III. Hasil Identifikasi Masalah


Pada sesi ini konselor memulai dengan mempertanyakan apa masalah dan
hambatan klien. Setelah itu klien mulai banyak bercerita tentang permasalahan
yang tengah dihadapinya saat ini. Permasalahan klien terinti ada pada proses
emosi nya yang tidak stabil akibat ia terkena PHK di tempat kerja nya sehingga
menjadi pengangguran selama setahun dan itu membuat keluarga nya
menekankan klien untuk mencari pekerjaan baru dan seringkali klien bertengkar
dengan keluarganya di situasi tertentu. Klien juga berkata bahwa ia sering
dibanding-bandingkan dengan saudara-saudaranya ditengah kumpul keluarga
karena saudaranya bekerja di perusahaan besar. Klien juga mengaku bahwa ia
akhir-akhir ini sering terpacu emosinya dan gampang tersinggung dengan hal-hal
kecil. Setelah klien menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi saat ini,
konselor menggiring ke sesi tahap selanjutnya yaitu, terapi dengan teknik
intervensi afektif Role Reversal. Klien diminta untuk memainkan peran sebagai
ibu nya sendiri di situasi sebagaimana saat sedang bertengkar dan adu pendapat
dengan ibu nya. Setelah konselor menjelaskan apa itu teknik Role Reversal
kepada klein, klien langsung mengerti dan mempraktekannya. Disini konselor
juga berperan aktif sebagaimana berperan menjadi klien. Di tahap awal klien
mulai ‘berpura-pura’ menjadi ibu nya sendiri ketika sedang marah-marah
terhadap klien. Klien berperan sebagai ibu nya sendiri berpendapat bahwa ibu nya
marah-marah kepadanya dan kerap membanding-bandingkan dirinya dengan
saudaranya yang yang baru saja lulus sudah dapat kerja di perusahaan besar. Lalu
tanggapan klien berusaha membela dirinya sendiri dan beranggapan bahwa rezeki
setiap orang berbeda-beda. Lalu klien yang berperan sebagai ibunya menanggapi
bahwa ia khawatir kepada klien jika terus lama menjadi pengangguran seperti ini.
Klien menanggapi bahwa ia akan terus berusaha mencari pekerjaan dan meminta
doa dari orang tua nya. Lalu klien yang berperan sebagai ibu nya menanggapi
bahwa orangtuanya akan selalu mendoakan kebaikannya tetapi mereka hanya
sangat khawatir terhadap masa depan klien.
Setelah melakukan terapi dengan teknik tersebut, konselor mempertanyakan hal
apa yang sudah klien dapat setelah melakukan teknik tersebut. Klien berpendapat
bahwa mungkin orangtua hanya khawatir saja kepada klien karena klien sudah
lama menganggur dan menurutnya cara penyampaian perasaan orangtua klien
yang kurang baik, klien juga beranggapan bahwa ia harus berusaha lebih keras
lagi untuk mencari pekerjaan. Dan hal yang akan dilakukan klien selepas dari
konseling ini, bahwa ia ingin meminta maaf kepada orang tua nya karena ia
menyesal sudah memarahi sampai bertengkar dan kesal kepada orangtuanya dan
akan menyampaikan secara baik-baik alasan nya kenapa sampai saat ini belum
bisa mendapat pekerjaan. Klien juga akan saya berusaha lebih keras lagi untuk
mencari pekerjaan dengan cepat. Karena ia tidak mau terus menerus menganggur
sampai membebani orangtuanya. Hasilnya bahwa klien merasa lega sudah
menyampaikan apa yang membebani pikiran nya selama ini sudah bercerita
terhadap konselor, dan ia sudah menemukan solusi atas permasalahan yang
tengah ia hadapi.

IV. Teknik Intervensi


Teknik intervensi yang digunakan adalah Role Reversal. Tujuan Role Reversal
(berganti peran) adalah membuat klien memproyeksikan diri pada suatu situasi
dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda agar dicapai pemahaman yang
lebih jelas terhadap perasaan dan dapat merefleksikan perasaannya pada situasi
yang lebih umum. Konselor menjadi partisipan aktif pada proses ‘berganti peran’
ini. Konselor harus berperan seperti klien cara berpikir dengan akurat.
Role Reversal disajikan di sini karena menawarkan jalan bagi klien untuk
mendekonstruksi yang didorong oleh pengaruh keadaan yaitu, Role Reversal
adalah latihan yang berguna ketika klien secara emosional reaktif terhadap situasi
atau orang lain dan tidak dapat melihat melampaui reaksinya untuk
merenungkannya situasi. Oleh karena itu, tujuan dari Role Reversal adalah untuk
memungkinkan klien memproyeksikan diri mereka ke dalam pandangan alternatif
dari suatu situasi untuk mencapai kejelasan lebih lanjut tentang perasaan mereka
dan untuk mencerminkan pada perasaan dan situasi secara umum.

V. Kesimpulan
Konselor sudah dapat melakukan teknik dengan baik. Kemampuan pembawaan
konseling yang dimiliki konselor sudah cukup baik kepada klien. Sehingga klien
memberikan informasi yang cukup mengenai permasalahannya terhadap konselor.
Dengan melakukan intervensi Role Reversal, dengan beberapa intervensi yang
Konselor lakukan seperti memutuskan untuk mengatur pembalikan peran untuk
membantu klien menjelajahi konflik dari sudut yang berbeda. Konselor
membalikkan peran klien dengan meminta dia mengadakan pertemuan sebagai
Orangtuanya. Intervensi yang dilakukan Konselor pada sesi konseling ini efektif
karena Klien dapat memproyeksikan diri pada suatu situasi dengan menggunakan
sudut pandang yang berbeda sehingga dicapai pemahaman yang lebih jelas
terhadap perasaan dan dapat merefleksikan perasaannya pada situasi yang lebih
umum.

B. Intervensi Alter Ego


I. Identitas Konselee
Nama: Shafira
Jenis Kelamin: Perempuan
Tgl lahir : 7 Januari 1985

II. Keluhan/Permasalahan
Shafira seorang istri yang sudah menikah dengan Fahmi sang suami. Shafira
memiliki seorang anak berusia 11 tahun yang bernama Andi dari pernikahan
sebelumnya. Shafira ini sangat khawatir dengan perkembangan emosional dan
akademik sang anak. Andi ini memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tetapi nilai
nya menjadi turun sehingga ini yang membuat kekhawatirannya. Shafira merasa
suaminya seperti tidak mengenalinya dan sangat kecewa terhadap suami.

III. Hasil Identifikasi Masalah


Konselor menanyakan permasalahan yang di alami klien. Bahwa klien ini
memiliki kekhawatiran perkembangan emosional dan akademik sang anak dan
juga shafira sangat kecewa atas perbuatan suaminya sampai tidak mengenalinya.
Sehingga membuat klien merasa kebingungan terhadap permasalahan ini.

IV. Teknik Intervensi


Pada konseling ini menggunakan teknik intervensi Alter Ego. Alter ego
merupakan diri kedua versi yang berbeda dari diri klien. Bahwa setiap individu
memiliki dimensi lain dari kepribadiannya yang lebih sadar, jujur. Dimana
konselor berperan sebagai public self klien sedangkan klien sebagai diri sisi
pribadinya. Selama proses teknik ini berlangsung, klien melakukan percakapan
seperti dengan dirinya sendiri namun memiliki versi yang berbeda, yaitu public
self klien yang diperankan oleh konselor dan sisi pribadi yang diperankan oleh
klien. Disini klien mengeluarkan permasalahan yang ada pada dirinya

V. Kesimpulan
Konselor sudah dapat melakukan teknik dengan baik dimana konselor sebagai
public self klien dan paham mengenai permasalahan yang disampaikan oleh
klien. Yang perlu ditingkatkan dari konselor nya pada saat mengakhiri konseling,
sebaiknya sebelum mengakhiri konselor lebih baik memberikan perasaan empati
secara verbal.

C. Intervensi Empty Chair


I. Identitas Konselee
Nama: Jihan
Jenis Kelamin: Perempuan
Tgl lahir : 15 April 2004

II. Keluhan/Permasalahan
Subjek berinisial J merupakan remaja perempuan berusia 18 tahun. Subjek
merupakan anak tunggal yang saat ini tinggal bersama nenek dan kakek dari pihak
ibu. Ibu subjek meninggal saat subjek berusia 15 tahun akibat penyakit jantung.
sedangkan ayah sudah tidak tinggal bersama subjek sejak subjek kecil dengan
alasan bekerja di Jakarta. Menurut pemaparan kakek dan neneknya, pada dasarnya
subjek merupakan anak yang sopan, cukup penurut, dan sering di rumah ketika
ibunya masih hidup, namun setelah ibunya meninggal subjek sangat jarang di
rumah. Ayah yang sering meninggalkan subjek sejak dahulu membuat subjek
sedih dan kecewa, terutama saat ibu subjek meninggal dan ayah tidak hadir pada
saat pemakaman. Hal tersebut membuat subjek semakin menjauhi ayahnya.
Subjek mengaku kecewa karena seolah ibu bukanlah hal yang penting bagi ayah.
Tidak hanya itu, sejak ibu meninggal, subjek cenderung menunjukkan perilaku
yang kurang baik, misalnya sering membolos dan tidak betah di rumah. Selain itu,
emosi subjek juga lebih cepat tersulut meski hanya karena masalah yang menurut
orang lain biasa saja. Semakin hari subjek dan ayah semakin canggung satu sama
lain. Subjek sendiri pada dasarnya menggambarkan ayah sebagai individu yang
hebat karena mampu menghasilkan banyak uang, namun subjek sering merasa
bingung mengapa dulu ibu mau menikahi ayah yang mengabaikan mereka berdua
terutama ketika kondisi ibu sedang sakit. Keakraban antara keduanya sulit terjalin
karena setiap ayah mengunjungi subjek, ayah selalu mendominasi dengan
memberikan nasihat-nasihat tanpa ingin mendengarkan subjek. Saat ini subjek
menggambarkan ayah seperti “sultan” yang bertindak sesuka hati.
Ketika subjek mengalami masalah yang memicu kemarahan, subjek
cenderung sulit untuk membuat emosinya stabil, sehingga rasa marah subjek
belum dapat tersampaikan dengan baik apalagi subjek tidak memahami cara untuk
menyampaikan kekecewaan tersebut pada figur ayahnya. Di sisi lain, subjek
merasa marah pada ayahnya dan berduka atas kematian ibunya, namun subjek
merasa tertuntut untuk menjadi anak yang harus patuh pada ayahnya.

III. Hasil Identifikasi Masalah


Ketika subjek mengalami masalah yang memicu kemarahan, subjek
cenderung sulit untuk membuat emosinya stabil, sehingga rasa marah subjek
belum dapat tersampaikan dengan baik apalagi subjek tidak memahami cara untuk
menyampaikan kekecewaan tersebut pada figur ayahnya. Di sisi lain, subjek
merasa marah pada ayahnya dan berduka atas kematian ibunya, namun subjek
merasa tertuntut untuk menjadi anak yang harus patuh pada ayahnya.
Permasalahan perilaku subjek dapat ditangani menggunakan terapi Gestalt
dengan pendekatan kursi kosong. Terapi ini adalah salah satu cara untuk
mengajak subjek mengeksternalisasi introyeksinya dan untuk menyampaikan
kekecewaan dan kemarahan pada ayahnya. Diharapkan hal ini dapat membantu
subjek mengurangi rasa marah pada ayah dan mengurangi dampak dari perasaan
tersebut terhadap fungsi kehidupan subjek.
IV. Teknik Intervensi
The Empty Chair (Kursi kosong) adalah latihan berdialog yang
dipopulerkan oleh terapis gestalt tetapi semakin sering digunakan oleh konselor
dari berbagai orientasi. Ini digunakan untuk membantu klien mengeksplorasi dan
mengembangkan perasaan halus yang tidak muncul ke permukaan tetapi
mempengaruhi fungsi klien. Intervensi dapat digunakan dengan masalah
interpersonal (dalam hal ini berlakunya antara klien dan orang lain yang relevan)
atau dengan masalah intrapersonal (dalam hal ini berlakunya antara klien dan diri
klien yang lain).
Konselor memulai dengan menjelaskan bahwa ini adalah dialog atau
percakapan imajiner juga dengan diri sendiri atau dengan orang tertentu yang juga
terlibat dalam masalah klien. Konselor menjelaskan bahwa perannya adalah untuk
mengamati, membuat koreografi percakapan, dan kadang-kadang menyela untuk
mengajukan pertanyaan atau berbagi pengamatan. Konselor harus mampu
mengenali perpecahan dalam kesadaran atau potensi konflik dalam rangka untuk
menentukan elemen dialog. Langkah selanjutnya adalah menjelaskan kepada
klien bagaimana proses tersebut bekerja.

V. Kesimpulan
Konselor sudah dapat melakukan teknik dengan baik. Kemampuan
pembawaan konseling yang dimiliki konselor sudah cukup baik kepada klien.
Sehingga klien memberikan informasi yang cukup mengenai permasalahannya
terhadap konselor. Pada sesi ini, konselor memulai proses kursi kosong dengan
mengarahkan klien untuk berdialog dengan seseorang yang dihadirkan, dalam hal
ini adalah ayah. Dengan Melakukan proses intervensi afektif Empty Chair Subjek
telah berani mengungkapkan dan mengakui perasaan yang terpendam sejak lama.
Intervensi yang dilakukan konselor pada sesi ini adalah efektif, karena klien
merasa lebih lega dengan mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan. Klien
juga sudah dapat memahami dan menerima kondisi nya yang sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

A Proffesional Counselor : A Process Guide to Helping 6th ed Hackney & Cormier (2017)

LAMPIRAN
Link Video Roleplay : https://drive.google.com/drive/folders/1sFHHpp3zuBuHx-
LSsxhD1yWEnJrYrfR_

Anda mungkin juga menyukai