Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PANCASILA TENTANG NILAI-NILAI PANCASILA


Dosen Pengampu : Drs. Asep., M.Si..

Judul Makalah :
Problem Umat Agama Minoritas Susah Mendirikan Rumah Ibadah

Disusun Oleh Kelompok 1 :


1. Intan Purnamasari (A1L020009) 2A
2. Harika Okta Putri (A1L020010) 2B
3. Rizka Oktavia Dila (A1L020021) 2A
4. Hastizah Khoiriyah (A1L020022) 2B
5. Manwari Sepanto.S (A1L020031) 2A
6. Agustin Wulan Safitri (A1L020032) 2B
7. Viona Julianti (A1L020033) 2A
8. Ghilang Wahyu Ardella Fernando (A1L020035) 2A
9. Resi Handayani (A1L020041) 2A
10. M.Gusti Adiansyah (A1L020042) 2B
11. Arini Rayfarmansanty (A1L020045) 2A
12. Putri Juairyah Purnama sari (A1L020054) 2B
13. Indah Kurnia Khairunnisa (A1L020055) 2A
14. Okta Andriansyah (A1L020064) 2B
15. Wisa Kurnia Putri (A1L020068) 2B
16. Lidya Putri Lestari (A1L020074) 2B

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul „Problem umat agama minoritas susah mendirikan
rumah ibadah‟ ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
Pancasila. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang „Problem umat
agama minoritas susah mendirikan rumah ibadah‟ bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Asep., M.Si.. selaku dosen pada mata kuliah
Pancasila yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, 3 Mei 2021

Penulis
Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………… i


DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………... ii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………….......……………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………........……………………………………………….. 1
1.3 Tujuan ………………………………………….......………………….…………………………..... 1

BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Faktor-Faktor …………..………………………………………......……………………………… 2
2.2 Solusi …………………………………..…………………….......………………………………….. 5

BAB III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan ……………………………………………….........………………………………...… 9
3.2 Saran ……………………………………………………….........………………………………… . 9

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………. 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki enam agama yang diakui oleh pemerintah yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu. Agama mengajarkan tentang kebenaran yang mutlak tentang eksistensi manusia
dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat dan bahagia dunia akhirat. Sehingga, setiap manusia yang
beragama diharapkan dalam kehidupannya tampil sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhan-Nya,
beradab, bermoral dan berperilaku manusiawi yang tentunya berbeda dari cara-cara hidup hewan atau
makhluk lainnya. Dengan beragamnya bentuk-bentuk agama di Indonesia, maka beragam pula pandangan
hidup yang terdiri dari rentetan etika. Dalam pelaksanaannya sering terjadi gesekan antar pemeluk karena
dalam fungsi ini, agama tidak hanya menjadi alat pemersatu, namun agama dapat menjadi alat pemecah.
Kemudian juga dengan adanya keberagaman dalam segi agama, maka semua penganut agama berupaya
untuk mengekspresikan keberagamaan yang menjadi keyakinan agamanya masing-masing, ekspresi
keberagamaan tersebut menjadi sebuah penanda adanya suatu penganut agama di daerah tertentu, rumah
ibadah sebagai simbol tempat spiritual dan sebagai aktualisasi keyakinan bagi tiap-tiap penganut agama.

Dalam suatu wilayah tentunya ada masyarakat mayoris dan minoritas, dan tentunya memiliki
masalahnya tersendiri, masalah minoritas adalah masalah masyarakat yang umum dan menjadi fenomena
universal dengan sumber perbedaannya pada ras, bahasa, agama, budaya, negara asal, pekerjaan,
pendapatan, kebiasaan dan sebagainya. Hubungan antara kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan
konflik sosial yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak
bersahabat. Ada sikap dari pengaruh rasial yaitu kaum mayoritas mengklaim adanya superioritas secara
biologi karena anggapan tentang adanya nilai-nilai negatif dari kaum minoritas.

Maka dari itu penulis akan membahas mengenai salah satu problem yang dialami masyarakat
minoritas “problematika masyarakat minoritas dalam susahnya membangun rumah ibadah”

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa faktor penyebab masalah masyarakat minoritas susah mendirikkan rumah ibadah?
2. Bagaimana solusi dari permasalahan masyarakat minoritas susah mendirikan rumah ibadah?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa saja faktor penyebab masalah masyarakat minoritas susah mendirikan rumah
ibadah
2. Mengetahui bagaimana solusi dari masalah masyarakat minoritas susahnya mendirikan rumah
ibadah

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Faktor-Faktor penyebab masalah masyarakat minoritas susah mendirikan rumah ibadah
Beberapa peristiwa yang memicu terjadinya konflik muncul berkaitan dengan pembangunan
sarana ibadah yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam mengungkapkan haknya dalam
beragama. Munculnya bangunan-bangunan yang berkelamin agama (terutama agama minoritas)
memunculkan logika ancaman yang begitu besar. Setiap kali pembangunan rumah ibadah, sekolah
agama, rumah sakit/klinik, panti asuhan, dan panti jompo milik agama minoritas, maka yang terlintas di
benaknya adalah adanya bahaya. Kalau yang mayoritas adalah Muslim, maka Muslim akan terancam
dengan munculnya bangunan agama. Kalau Kristen yang mayoritas, maka mereka akan terancam
dengan bangunan ibadah agama lain.

Permasalahan pembangunan rumah ibadah di Indonesia mempermasalahkan berbagai faktor yaitu


agama mayoritas dan agama minoritas, agama yang resmi dan agama yang tidak resmi. Apabila dilihat
dari indikator tersebut di atas maka terlihat suatu diskriminasi yang mana perlakuan terhadap agama
mayoritas tentu akan berbeda dengan agama minoritas. Ijin pembangunan rumah ibadah bagi agama
mayoritas tentu bukan suatu permasalahan, akan tetapi tidak berlaku sebaliknya.

Berdasarkan aspek hukum, istilah minoritas lazim ditujukan untuk kelompok individu yang tidak
dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas
penduduk. Menurut pendekatan hukum, kelompok minoritas agama sejajar dengan dengan suku, bangsa
dan ras yang mana hak-haknya harus dilindungi dan disejajarkan dengan kelompok mayoritas. Hak-hak
tersebut antara lain adalah kebebasan beragama dan pendirian sarana peribadatan.Ukuran dominan atau
tidak dominan seringkali diukur dengan melihat jumlah kuantatitas anggota kelompok minoritas.
Hubungan antara mayoritas dan minoritas agama dapat didekati menurut dua aspek yaitu kebijakan
negara terhadap mayoritas dan minoritas dan interaksi sosial antara mayoritas dan minoritas.

Dari beberapa konflik yang tejadi seputar rumah ibadah, sebagian besar disebabkan atas penolakan
sekelompok agama terhadap suatu rumah ibadah yang dianggap meresahkan masyarakat. Selain
penolakan, permasalahan rumah ibadah biasanya disebabkan argumen mengenai rencana pembangunan
yang tidak memenuhi syarat dalam peraturan SKB 2 Menteri yang telah ditetapkan pemerintah dalam
Peraturan Bersama Menteri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 yang di dalamnya mengatur
mengenai pendirian rumah ibadah. Minimnya jumlah pemeluk Agama tertentu di suatu wilayah nyatanya
berdampak pada kesulitan pendirian rumah ibadah. Hal ini turut dikondisikan peraturan terkait tata cara
pendirian rumah ibadah yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

2
Negeri No.9 dan No. 8 Tahun 2006. Pasal 14 ayat 1 peraturan tersebut disebutkan bahwa pendirian rumah
ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Lebih lanjut,
pada ayat kedua, dijelaskan pula soal beberapa persyaratan khusus dalam pembangunan rumah ibadah.
Pertama, daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah harus paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh
pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit harus berjumlah 60 orang yang
disahkan oleh lurah atau kepala desa. Selain itu, harus ada pula rekomendasi tertulis dari kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota. Yang terakhir, rekomendasi tertulis dari FKUB (Forum Kerukunan
Umat Beragama) kabupaten/kota.

Dari beberapa kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan regulasi pendirian rumah ibadah
masih belum bisa berjalan dengan baik, salah satunya karena Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 tahun 2006.
Faktor masyarakat minoritas susah mendirikan rumah ibadah secara umum :
1. Adanya PBM
Penerapan regulasi pendirian rumah ibadah masih belum bisa berjalan dengan baik, salah satunya
karena Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 tahun 2006.
Masih banyak umat beragama dari kalangan minoritas yang kesulitan mendapatkan akses beribadah
dengan aman dan nyaman. Padahal, kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama
dijamin dalam UUD 1945.
2. Kecemburuan social
Kehidupan masyarakat yang tampak stabil dan harmonis bukan merupakan sebuah jaminan bahwa
didalam masyarakat tidak terdapat permusuhan dan pertentangan. Akan tetapi dibalik stabilitas,
keharmonisan, dan perdamaian tersebut ternyata terdapat konflik yang begitu besar dan siap
meledak kapan saja. Hal ini dibuktikan ketika masa orba runtuh, muncul berbagai konflik antar
etnis, agama dan separatisme yang meledak.
3. Masalah perizinan
Kehadiran sebuah rumah ibadah sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan
memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama
lain. Masalahnya akan menjadi rumit jika jumlah rumah ibadah tersebu dipandang oleh pihak lain
tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas lain.
4. Truth claim (klaim merasa diri dan agama paling benar)
Truth claim (klaim merasa diri dan agama paling benar), dalam konteks hidup bertetangga dan
bermasyarakat banyak sekali pihak yang merasa keyakinannya lebih benar daripada keyakinan orang
lain. Dan ketika keyakinannya diragukan oleh pemeluk agama lain ia merasa sakit hati sehingga
menimbulkan konflik.
5. faktor perbedaan ideology
3
perbedaan ideologi merupakan faktor yang dominan dari berbagai faktor yang ada, kajian ideologi
ini selalu difokuskan pada konflik antar agama yang sering dipicu oleh muatan dogmatis atau misi
agama dengan tidak menafikan faktor-faktor lainnya. Setiap individu atau kelompok akan
menganggap bahwa paham ideologi agama yang mereka anut adalah yang lebih benar. Sebaliknya
paham ideologi agama orang lain dianggap salah dan tidak benar, hal ini mengakibatkan lahirnya
sentimen keagamaan yang muncul dari masyarakat sekitar mengenai nyanyian rohani yang
dilakukan pemuda Kristen disaat azan maghrib
Faktor masyarakat minoritas susah mendirikan rumah ibadah :
A. Factor susah mendirikan rumah ibadah menurut umat islam :
Biasanya factor susah mendirikan rumah ibadah sebagian besar bersumber dari perizinan dan
pemanfaatan sarana ibadah, yaitu :
1. Penggunaan pengeras suara
Misalnya pendirian masjid disekitaran warga yang beragama hindu. Biasanya berkaitan
dengan azan dari umat Islam dan Trisandhi dari umat Hindu. Pembacaan Trisandhi pada masa
lalu tidak dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, namun sekarang beralih
menggunakan pengeras suara. Rumah-rumah yang berada di dekat Mushalla maupun Pura
seringkali mengeluh karena penggunaan suara dari tempat-tempat ibadah tersebut.
2. Terbenturnya kepentingan dari setiap umat beragama
penggunaan tempat-tempat ibadah yang sudah berdiri seringkali menimbulkan konflik atau
dipermasalahkan karena berbenturan dengan kepentingan masyarakat setempat terutama pada
peringatan hari-hari raya besar yang jatuh pada waktu yang hampir bersamaan. Contohnya
pada Hari Raya Nyepi umat Islam bersikeras untuk tetap mengkumandangkan azan melalui
pengeras suara. Demikian juga umat Hindu merasa berkeberatan ketika umat Islam
menyalakan lampu.
3. Masalah perizinan
permasalahan dalam hal perizinan terutama oleh kalangan minoritas Islam dan Kristen.
Hampir semua informan dari tokoh-tokoh agama Islam di Kabupaten Buleleng mengeluhkan
betapa sulitnya untuk mendirikan Masjid. Kesulitan itu berdampak pada diabaikannya SK
Gubernur. Hampir semua Masjid yang didirikan di Kabupaten Buleleng diduga tanpa
memenuhi persyaratan 40 KK sebagaimana diatur oleh SK Gubernur.
B. Factor susah mendirikan rumah ibadah menurut umat kristen :
Umat Kristen juga merasakan kesulitan dalam pembangunan tempat ibadah. Hal itu disebabkan
karena adanya SK. Gubernur Bali No. 583/1991. Salah seorang tokoh Agama Kristen berpendapat
bahwa SK tersebut lebih ditujukan untuk kalangan umat Islam dan Kristen. Menurut keterangan
salah seorang tokoh MPAG, syarat yang memberatkan umat Kristen antara lain pengusulan oleh

4
40 KK di lingkungan tempat yang sama. Hal ini menyulitkan posisi umat Kristen, misalnya Gereja
Maranatha memiliki 3.000 jemaat yang tinggal pada tempat yang berbeda-beda.
Binmas Katolik sendiri mengatakan bahwa Pemda seringkali membuat aturan-aturan
pendirikan tempat ibadah tanpa memperhatikan situasi di bawah. Contoh kasus adalah
pembangunan Gereja Kathedral di Renon, Pemda tidak memberi izin padahala masyarakat di
sekelilingnya sudah memberikan persetujuan. Pemerintah beralasan tanah tersebut tidak
dialokasikan untuk tempat ibadah.
1) Faktor pertama adalah dukungan dari pemerintah setempat dan kepolisian. Mereka memiliki
wewenang untuk menerima atau menolak pengajuan izin pendirian gereja dan menghentikan
massa yang ingin mengganggu proses pembangunan gereja. Dalam kasus GKI Terang Hidup
Jakarta misalnya, kepolisian setempat memfasilitasi dialog antara panitia pembangunan
gereja dan kelompok-kelompok yang menentang pembangunan gereja tersebut. Kepolisian
juga memberikan pengamanan dan menginformasikan masyarakat sekitar tentang proses ini.
2) Faktor kedua adalah dukungan dari tokoh agama setempat. Misalnya, dalam kasus gereja
St.Mikael Bekasi, panitia pembangunan gereja mendekati seorang tokoh muslim yang
memiliki banyak pengikut di daerah itu. Pendekatan ini berhasil menciptakan hubungan baik
dan mengubah sikap tokoh ini untuk mendukung pendirian gereja tersebut.
3) Faktor ketiga adalah keberhasilan dialog dengan masyarakat Muslim di daerah sekitar untuk
menghindari kesalahpahaman dan untuk menegaskan bahwa gereja tersebut tidaklah
dibangun untuk memfasilitasi kristenisasi terhadap umat Muslim, tetapi untuk digunakan oleh
anggota gereja saja. Semua gereja yang sukses didirikan yang diteliti bisa meyakinkan
masyarakat sekitar bahwa pembangunan gereja tidak dimaksudkan untuk memurtadkan umat
Muslim.

2.2 Solusi permasalahan mendirikan rumah ibadah


Menurut Imam Baehaqi, (2002:51)5, untuk mengelola kehidupan umat beragama, Negara
mengeluarkan kebijakan melalui surat keputusan bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama no. 1 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya, serta surat keputusan (SK) Menteri agama no. 70 tahun 1978 tentang pedoman
penyiaran agama oleh Menteri agama6. Sebagaimana isi surat keputusan ini merekomendasikan
kepada pemerintah daerah dan departemen setempat, untuk membimbing, mengarahkan dan mngawasi
serta menyelesaikan pertentangan yang mungkin timbul secara adil dan tidak memihak.
Dalam upaya mengatur prosedur pendirian rumah ibadah, pada masa lalu pemerintah
telah menerbitkan kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 1 tahun
1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
5
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya7. Keberadaan SKB tersebut
ternyata masih dirasa cukup memojokan bagi kaum minoritas, terlebih umat Kristen-Katolik yang
memiliki banyak sekte, aturan ini dianggap sangat membatasi. Bagi umat Islam yang kebetulan secara
komposisi minoritas disebuah wilayah juga terkena dampak yang menyulitkan dari SKB ini.
Dengan alasan bahwa umat Kristen dianggap yang paling dirugikan dengan diberlakukannya SKB ini,
maka melalui Persekutuan Gereja Indonesia, dilontarkan usulan akan perlunya pemerintah mencabut
SKB tersebut.
Menurut Kustini (2009:2), dalam praktik dilapangan, pemberlakuan SKB tersebut menemui
berbagai kendala. Hal ini terjadi karena beberapa faktor antara lain bahwa dalam SKB tersebut masih
terdapat kalimat multitafsir sehingga tidak ada kejelasan mengenai siapa yang disebut sebagai pemerintah
daerah, siapa yang disebut sebagai pejabat pemerintah dibawahnya yang dikuasakan untuk itu, dan siapa
yang disebut sebagai organisasi keagamaan dan ulama atau rohaniawan setempat.
Melalui proses pembahasan dan dialog yang relatif intensif, serius dan berulang-ulang selama
lebih kurang enam bulan dalam 11 kali pertemuan, akhirnya berhasil mencapai kesepakatan yang
kemudian pada tanggal 21 Maret 2006 telah dikeluarkan kebijakan berkaitan dengan pemeliharaan
kerukunan umat beragama melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan pendirian rumah ibadat. Keberadaan regulasi yang baru tersebut diharapkan mampu
menjembatani dan mencegah potensi konflik yang ditimbulkan oleh persoalan pendirian rumah ibadah.
Pada umumnya potensi konflik tersebut biasanya muncul karena beberapa persoalan, diantaranya
belum adanya penjelasan mengenai persyaratan dan tata cara pendirian rumah ibadah, proses perizinan
rumah ibadat
Pada Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini. beberapa ketentuan diatur secara rinci
dalam Bab IV pasal 13-17 Dalam Pasal 13 disebutkan mengenai ketentuan dukungan sosiologis
dalam mendirikan rumah ibadah, disebutkan bahwa :
1. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan
komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa
2. Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga
kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta
mematuhi peraturan bangunan gedung.perundang-undangan.
3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa
sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk
digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.

6
Dalam pasal 14 juga disebutkan mengenai syarat administrasi dan dukungan
komposisi jemaat dan warga setempat dalam pendirian rumah ibadah :
1. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis
2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah
ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90
(sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat
batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3),
2) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa;
3) Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
4) Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi
sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban
memfasilitasi tersedianyalokasi pembangunan rumah ibadah
Untuk memudahkan kita membangun rumah ibadah kita harus memenuhi syarat-syaratnya. Apabila
syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi oleh panitia pembangunan rumah ibadah, maka masyarakat
setempat tidak boleh ada yang melakukan penolakan terhadap pendirian bangunan tersebut. "Kalau sudah
terpenuhi syaratnya, tidak boleh ditolak. Tapi kalau tidak atau belum memenuhi syarat, ya jangan
membangun supaya tidak terjadi konflik PBM tersebut disusun oleh perwakilan organisasi
kemasyarakatan (ormas) lintas agama, seperti Konferensi Waligereja Indonesia, Persatuan Gereja-gereja
Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dan Majelis Ulama
Indonesia.
Jadi sebenarnya aturan ini untuk semua, bukan untuk satu kelompok. Bukan satu kelompok yang
dirugikan, tapi semuanya Bahwa akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation)
minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang
memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat. "Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia
mayoritas. Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur begitu, ya (oleh Pemerintah).
Bagaimana supaya adil," katanya. Persoalan intoleran, bukan muncul di kalangan umat Islam, melainkan
juga dialami pemeluk agama lain di Indonesia. "Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah
bikin gereja.Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun," Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan
pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan/desa menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.

7
Bahwa faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah juga ikut andil menyebabkan
permasalahan tersebut. "Itu saya kira perlu ditata ulang ini, ya. Bagaimana pihak yang berkuasa ini
merasa kurang toleran. Jadi, masih perlu saya kira dilakukan afirmasilah dari tingkat nasional,"
Solusi permasalahan mendirikan rumah ibadah Pemerintah desa seharusnya membacakan peraturan
pemerintah pusat tentang kewajiban melaksanakan ibadah secara rutin dalam kondisi darurat pangan. Hal
ini apabila hanya himbauan, maka akan sulit terealisasi kegiatan keagamaan secara serentak. Sanksi
administrasi dan pengurangan pangan dapat dibacakan di depan warga desa agar mereka mau
menjalankan kegiatan keagamaan, suka atau tidak suka. Kepala desa dapat meminta bantuan dari desa
lain atau donator yang dapat menyediakan kitab-kitab suci atau bahan-bahan pengajaran keagamaan.
Selain itu Untuk mendirikan rumah ibadah, harus memiliki rekomendasi yang tertulis dari kepala kantor
departemen keagamaan di kabupaten/kota dan darinforum kerukunan umat beragama tingkat
kabupaten/kota.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari beberapa konflik yang tejadi seputar rumah ibadah, sebagian besar disebabkan atas penolakan
sekelompok agama terhadap suatu rumah ibadah yang dianggap meresahkan masyarakat. Selain
penolakan, permasalahan rumah ibadah biasanya disebabkan argumen mengenai rencana pembangunan
yang tidak memenuhi syarat dalam peraturan SKB 2 Menteri yang telah ditetapkan pemerintah dalam
Peraturan Bersama Menteri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 yang di dalamnya mengatur
mengenai pendirian rumah ibadah.

Dari beberapa kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan regulasi pendirian rumah ibadah
masih belum bisa berjalan dengan baik, salah satunya karena Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 tahun 2006. Masih banyak umat beragama dari kalangan minoritas
yang kesulitan mendapatkan akses beribadah dengan aman dan nyaman. Padahal, kebebasan memeluk
agama dan beribadah menurut agama dijamin dalam UUD 1945.

Tetapi saat ini sudah ada solusi dari pemerintah Indonesia dimana telah dibentuknya PBM tersusun
oleh perwakilan organisasi kemasyarakatan (ormas) lintas agama, seperti Konferensi Waligereja
Indonesia, Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat
Buddha Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia.Ini diharapkan meningkatkan dan mempermudah
masyarakat minoritas disetiap daerah untuk membangun rumah ibadah tanpa harus adanya konflik lagi
sehingga setiap umat beragama menjadi aman dan tentram.

3.2 Saran

Kita sebagai manusia Pancasila yang memiliki beragam agama hendaknya selalu menciptakan
toleransi yang harmonis kepada sesama sehingga dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang
rukun,dan tidak lupa juga sebagai manusia Pancasila untuk mengahadapi permsalaha Musyawarah adalah
hal yang menjadi pendekatan kultural yang efektif dalam penyelesain kasus/konflik mengenai pendirian
rumah ibadah.

9
Daftar Pustaka

Cakti indra gunawan. 2020. Lumbung pangan gratis model cakti : solusi kelangkaan pangan dan chaos
dunia.the university of new england australia: irdh book publisher,

Kustini, Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, Jakarta: Balitbang Departemen
Agama RI, 2009

Baehaqi Imam. 2002. Agama dan Relasi Sosial. Yogyakarta: LKiS

Jurnal Bimbingan Konseling Islam. 2010. Konseling Religi. Fakultas Dakwah: Stain Kudus

10
11
12

Anda mungkin juga menyukai