LABORATORIUM BATUAN
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
BATUAN METAMORF
BAB I
PENDAHULUAN
Batuan asal atau batuan induk baik berupa batuan beku, batuan sedimen
maupun batuan metamorf dan telah mengalami perubahan mineralogi, tekstur serta
struktur sebagai akibat adanya perubahan temperatur (di atas proses diagenesa dan di
bawah titik lebur; 200o-350oC < T < 650o-800oC) dan tekanan yang tinggi (1 atm < P
< 10.000 atm) disebut batuan metamorf. Proses metamorfisme tersebut terjadi di
dalam bumi pada kedalaman lebih kurang 3 km – 20 km. Winkler (1989)
menyatakan bahwasannya proses-proses metamorfisme itu mengubah mineral-
mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh atau respons terhadap kondisi
fisika dan kimia di dalam kerak bumi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya.
Proses-proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan diagenesa.
Batuan beku dan sedimen dibentuk akibat interaksi dari proses kimia, fisika,
biologi dan kondisi-kondisinya di dalam bumi serta di permukaannya. Bumi
merupakan sistim yang dinamis, sehingga pada saat pembentukannya, batuan-batuan
mungkin mengalami keadaan yang baru dari kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan perubahan yang luas di dalam tekstur dan mineraloginya. Perubahan-
perubahan tersebut terjadi pada tekanan dan temperatur di atas diagenesa dan di
bawah pelelehan, maka akan menunjukkan sebagai proses metamorfisme.
Suatu batuan mungkin mengalami beberapa perubahan lingkungan sesuai
dengan waktu, yang dapat menghasilkan batuan polimetamorfik. Sifat-sifat yang
mendasar dari perubahan metamorfik adalah batuan tersebut terjadi selama batuan
berada dalam kondisi padat. Perubahan komposisi di dalam batuan kurang berarti
pada tahap ini, perubahan tersebut adalah isokimia yang terdiri dari distribusi ulang
elemen-elemen lokal dan volatil diantara mineral-mineral yang sangat reaktif.
Pendekatan umum untuk mengambarkan batas antara diagenesa dan
metamorfisme adalah menentukan batas terbawah dari metamorfisme sebagai
kenampakan pertama dari mineral yang tidak terbentuk secara normal di dalam
sedimen-sedimen permukaan, seperti epidot dan muskovit. Walaupun hal ini dapat
dihasilkan dalam batas yang lebih basah. Sebagai contoh, metamorfisme shale yang
menyebabkan reaksi kaolinit dengan konstituen lain untuk menghasilkan muskovit
ADE WIRA PUTRA RAMADANA MUHTABSIR. S
093 2017 0129 093 2018 0078
PRAKTIKUM GEOLOGI DASAR
LABORATORIUM BATUAN
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
BATUAN METAMORF
Bagaimanapun juga, eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa
reaksi ini tidak menempati pada temperatur tertentu tetapi terjadi antara 200°C –
350°C yang tergantung pada pH dan kandungan potasium dari material-material
disekitarnya. Mineral-mineral lain yang dipertimbangkan terbentuk pada awal
metamorfisme adalah laumonit, lawsonit, albit, paragonit atau piropilit. Masing-
masing terbentuk pada temperatur yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda,
tetapi secara umum terjadi kira-kira pada 150°C atau dikehendaki lebih tinggi. Di
bawah permukaan, temperatur di sekitarnya 150°C disertai oleh tekanan lithostatik
kira-kira 500 bar.
Batas atas metamorfisme diambil sebagai titik dimana kelihatan terjadi
pelelehan batuan. Di sini kita mempunyai satu variabel, sebagai variasi temperatur
pelelehan sebagai fungsi dari tipe batuan, tekanan lithostatik dan tekanan uap. Satu
kisaran dari 650°C – 800°C menutup sebagian besar kondisi tersebut. Batas atas dari
metamorfisme dapat ditentukan oleh kejadian dari batuan yang disebut migmatit.
Batuan ini menunjukkan kombinasi dari kenampakan tekstur, beberapa darinya
muncul menjadi batuan beku dan batuan metamorf yang lain.
Batuan beku dan sedimen dibentuk akibat interaksi dari proses kimia, fisika,
biologi dan kondisi-kondisinya di dalam bumi serta di permukaannya. Bumi
merupakan sistim yang dinamis, sehingga pada saat pembentukannya, batuan-batuan
mungkin mengalami keadaan yang baru dari kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan perubahan yang luas di dalam tekstur dan mineraloginya. Perubahan-
perubahan tersebut terjadi pada tekanan dan temperatur di atas diagenesa dan di
bawah pelelehan, maka akan menunjukkan sebagai proses metamorfisme.
Suatu batuan mungkin mengalami beberapa perubahan lingkungan sesuai
dengan waktu, yang dapat menghasilkan batuan polimetamorfik. Sifat-sifat yang
mendasar dari perubahan metamorfik adalah batuan tersebut terjadi selama batuan
berada dalam kondisi padat. Perubahan komposisi di dalam batuan kurang berarti
pada tahap ini, perubahan tersebut adalah isokimia yang terdiri dari distribusi ulang
elemen-elemen lokal dan volatil diantara mineral-mineral yang sangat reaktif.
Pendekatan umum untuk mengambarkan batas antara diagenesa dan
metamorfisme adalah menentukan batas terbawah dari metamorfisme sebagai
ADE WIRA PUTRA RAMADANA MUHTABSIR. S
093 2017 0129 093 2018 0078
PRAKTIKUM GEOLOGI DASAR
LABORATORIUM BATUAN
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
BATUAN METAMORF
kenampakan pertama dari mineral yang tidak terbentuk secara normal di dalam
sedimen-sedimen permukaan, seperti epidot dan muskovit. Walaupun hal ini dapat
dihasilkan dalam batas yang lebih basah. Sebagai contoh, metamorfisme shale yang
menyebabkan reaksi kaolinit dengan konstituen lain untuk menghasilkan muskovit.
Bagaimanapun juga, eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa reaksi ini
tidak menempati pada temperatur tertentu tetapi terjadi antara 200°C – 350°C yang
tergantung pada pH dan kandungan potasium dari material-material disekitarnya.
Mineral-mineral lain yang dipertimbangkan terbentuk pada awal metamorfisme
adalah laumonit, lawsonit, albit, paragonit atau piropilit. Masing-masing terbentuk
pada temperatur yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda, tetapi secara umum
terjadi kira-kira pada 150°C atau dikehendaki lebih tinggi. Di bawah permukaan,
temperatur di sekitarnya 150°C disertai oleh tekanan lithostatik kira-kira 500 bar.
Prosedur pada praktikum ini memiliki dua deskripsi batuan yang berbeda
karena struktur dan tekstur batuannya dan terbagi menjadi dua yaitu foliasi dan non
foliasi. Pertama batuan yang memiliki struktur dan tekstur foliasi, yang pertama
mengamati warna segar dan lapuk dari batuan kemudian mengamati jenis tekstur
batuan yang di mana ada beberapa jenis tekstur batuannya yaitu slaty, phylitic,
schistose, gneissose. Lalu mengamati bentuk kristalnya yang di mana juga memiliki
beberapa bentuk yaitu hipidioblastik, xenoblastik, kristalonoblastik. Lalu
mementukan struktur batuan yang di mana ada Slaty Cleavage, Phylitic, Schistosic,
Gneissic/Gnissose. Kemudian mengamati mineral – mineral apa saja yang ada pada
batuan menggunakan Lup dengan pembesaran 20x dan berapa persentase dari
mineral yang mendominasi pada batuan tersebut. Dan menentukan nama batuan
metamorf dengan melihat hasil determinasi mulai dari warna hingga ke pengamatan
mineralnya.
Kedua batuan yang memiliki struktur dan tekstur non foliasi, pertama-tama
sama seperti di pembahasan di atas mengamati warna lalu mengamati teksturnya di
mana ada tekstur Relict/Palimset/Sisa, Kristaloblastik, Granoblastik. Lalu melihat
kekompakannya, kemudian mengamati bentuk kristalnya yang dimana bentuk-
bentuk kristalnya sama seperti penjelasan di atas. Lalu menentukan struktur
batuannya di mana ada Hornfelsic/granulose, Kataklastik, Milonitic, Phylonitic.
Kemudian mengamati mineral-mineralnya dan persentasenya setelah itu menentukan
nama dari batuan. Dan yang terakhir mendokumentasikan atau memotret batuan
tersebut dan juga memakai pembanding entah itu menggunakan penggaris maupun
alat yang lainnya.
4.1 Hasil
4.1.1 Pengamatan 1
1. Warna
Warna Segar : Abu - Abu
Warna Lapuk : Coklat
2. Tekstur
Foliasi
Jenis Tekstur : Lepidoblastik
Bentuk Kristal : Xenoblastik
3. Struktur : Scistose
4. Komposisi Mineral
Nama Mineral Persentase (%)
Mika 50 %
Klorit 20 %
Kuarsa 30 %
Asisten Praktikan
Asisten Praktikan
Asisten Praktikan
Asisten Praktikan
Asisten Praktikan
Asisten Praktikan
Asisten Praktikan