Disusun oleh :
LUSIANA PRATIWI
WIDIANANDA PRABOWO
PROGRAM STUDI S2
MAGISTER MANAJEMEM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
I. PENDAHULUAN
Memasuki era industry 4.0 terjadi iklim kompetisi yang tinggi di segala bidang yang
menuntut perusahaan untuk berkerja dengan lebih efektif dan efesien. Tingkat kompetisi yang
tinggi menuntut pula suatu organisasi mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang kuat dari sumber daya manusia terhadap efektivitas dan
efisiensi organisasi .karyawan sebagai sumber daya manusia merupaka kunci keberasilan
organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia yang baik akan mendorong organisasi ke arah
pencapaian tujuan.
Salah satu tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu memastikan organisasi
memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana
untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya. Dalam usaha
mendukung pencapaian tenaga kerja yang memiliki motivasi dan berkinerja tinggi, yaitu dengan
cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang
menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja para
karyawan. Dengan demikian maka setiap badan usaha harus dapat menetapkan kompensasi yang
paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan badan usaha secara lebih efektif dan
lebih efisien. Seberapa besar kompensasi diberikan harus sedemikian rupa sehingga mampu
mengikat para karyawan.
II. METODOLOGI
Penulisan makalah ini menggunakan teknik kualitatitif dengan studi literatur. Literatur
yang digunakan berupa buku-buku serta jurnal atau penelitian terdahulu yang telah diunggah di
database jurnal online berindeks internasional.
Banyak teori terkait sejarah perkembangan manajemen dan segala unsur di dalamnya,
seperti manusia (human), uang atau finansial (money), bahan (material), mesin (machines),
metode (methods), pasar (market) telah disampaikan dalam berbagai literatur. Unsur-unsur ini
yang kemudian dikembangkan dan dikategorikan ke dalam beberapa bidang. Bidang manajemen
berkembang seiring pengembangan ilmu manajemen itu sendiri. Bidang-bidang manajemen
mengalami perkembangan sesuai dengan sasaran tiap bidang. Bidang-bidang manajemen di
antara yang ada adalah bidang manajemen produksi, bidang manajemen pemasaran, bidang
manajemen keuangan, bidang manajemen personalia dan bidang manajemen administrasi.
Dalam makalah ini, tim penulis akan berfokus pada penyampaian teori dan aplikasi serta
pengembangan dalam manajemen sumber daya manusia serta berbagai kebijakan di dalamnya.
Menurut Wren & Bedeian dalam bukunya The Evolution of Management Thought edisi
ke-6, manajemen termasuk di dalamnya manajemen sumber daya manusia telah ada sejak
Babilonia Hammurabi (sekitar tahun 2123–2071 SM), Raja Hammurabi menerima haknya untuk
memerintah dan kode hukum dari dewa matahari. Pada 2250 SM, Hammurabi mengeluarkan
kode 282 undang-undang, yang mengatur urusan bisnis, perilaku pribadi, hubungan
interpersonal, hukuman, dan sejumlah masalah sosial lainnya.
Pada tahun 1000 SM, birokrasi di Cina telah berkembang ke dalam hirarki pejabat.
Birokrasi ini berkembang jauh sebelum sistem konfusius mulai muncul. Filsafat konfusianisme
ini bertetentangan dengan para legalist saat itu. Ketika kaum legalis, yang kemudian disebut
kaum formalis berusaha menggunakan sistem ganjaran dan hukuman melalui peraturan hukum
yang berlaku untuk menjaga atau meningkatkan kinerja sumber daya manusia, kaum konfusius
yang kemudian disebut sebagai kaum humanis, justru menganjurkan pembudidayaan dan
peningkatan moral pekerja atau sumber daya manusia untuk menjaga dan meningkatkan
kerjasama yang telah terjalin.
Sejak kedua era itu, birokrasi, manajemen, terutama di bidang sumber daya manusia terus
berkembang. Era berikutnya ditandai dengan semangat kapitalisme yang diciptakan oleh etika
Protestan, di mana mereka menyamakan nilai spiritual dan kesuksesan duniawi. Tanpa ruang
untuk mengumbar atau mengeksploitasi diri sendiri dan dengan prinsip kontrol diri serta
pengarahan diri sendiri, era individualisme baru telah lahir. Semangat kapitalistik yang
diciptakan sebagai pedoman khusus oleh para Protestan ini banyak diperkenalkan ke dunia luar
oleh Max Weber melalui karya karya literaturnya. Menurutnya, orang memiliki kewajiban untuk
bekerja, kewajiban untuk menggunakan kekayaan mereka dengan bijak, dan kewajiban untuk
hidup menyangkal diri.
Pada zaman pencerahan (age of enlightment) ini, muncul salah satu tokoh terkemuka
bernama John Locke yang tulisannya juga mempengaruhi Adam Smith (ahli filsuf dan ekonomi)
serta menjadi dasar bagi tulisan-tulisan Rousseau yang juga merupakan seorang tokoh filosofi
besar di abad pencerahan. Locke mengajukan suatu tatanan sipil yang baru, yaitu: (1) hukum
yang didasarkan pada alasan, bukan perintah yang sewenang-wenang; (2) pemerintah
memperoleh kekuasaannya dari yang diperintah; (3) kebebasan untuk mengejar tujuan individu
sebagai hak alami; dan (4) kepemilikan pribadi dan penggunaannya dalam mengejar kebahagiaan
sebagai hak alami dan dilindungi secara hukum. Keempat gagasan ini terjalin dalam praktik
untuk membentuk fondasi politik yang kokoh bagi pertumbuhan industri. Ini memberikan sanksi
bagi ekonomi laissez-faire dan mengejar imbalan individu, menjamin hak-hak properti,
memberikan perlindungan pada kontrak, dan menyediakan sistem keadilan bagi orang-orang.
Smith berpendapat, dengan memberikan setiap orang kebebasan untuk memproduksi dan
menukar barang sesuka hati (perdagangan bebas), serta membuka pasar hingga kompetisi
domestik dan asing, kepentingan pribadi manusia akan meningkatkan kesejahteraan yang lebih
besar daripada dengan peraturan pemerintah yang ketat. Smith mengusulkan bahwa hanya pasar
dan kompetisi yang menjadi pengatur kegiatan ekonomi. Smith secara teguh mempertahankan
teorinya bahwa harga alamiah harus dibiarkan berlaku sesuai dengan mekanisme pasar. Praktik-
praktik ekonomi di zamannya juga membuatnya yakin bahwa apa yang akan dibakukan oleh
pemerintah bukanlah harga alamiah atau harga yang fair, tetapi harga yang pada akhirnya hanya
akan menguntungkan segelintir orang yang kaya dan berkuasa dan bukannya menguntungkan
semua pihak. Karena itu, jalan terbaik untuk bisa mewujudkan harga yang fair adalah dengan
membiarkan harga alamiah berkembang sesuai dengan mekanisme pasar.
Selain teori harga, Smith menjelaskan teori nilai berdasarkan nilai dari suatu pekerjaan,
dan terutama sekali tenaga kerja, menurutnya tenaga kerja adalah merupakan sebab dan
sekaligus alat pengukur nilai. Adam Smith mengakui hanya tiga faktor produksi: tanah, tenaga
kerja dan modal. Namun kemudian pengusaha dijadikan faktor produksi keempat dan menerima
reward terpisah karena telah melakukan pengelolaan, selain sebagai pengembalian modal pribadi
yang diinvestasikan. Hal ini dianggap menjadi sesuatu yang gagal diperhatikan oleh Smith
padahal beberapa pengusaha memiliki usaha, tetapi kenyataannya yang lebih sering terjadi
adalah mereka hanya memiliki saham, meminjam dari orang lain atau membentuk kemitraan.
Pengusaha kemudian menjadi manajer untuk orang lain dan mengambil risiko tambahan dalam
menggabungkan faktor-faktor tanah, tenaga kerja, dan modal. Ketika organisasi tumbuh,
pengusaha itu sendiri tidak dapat mengarahkan dan mengendalikan semua kegiatan, dan menjadi
perlu untuk mendelegasikan beberapa kegiatan ke tingkat sub-manajer. Sub-manajer ini adalah
manajer pertama yang tidak memiliki usaha atau bukan bagian dari usaha itu sendiri, digaji dan
bertanggung jawab untuk membuat keputusan dalam kerangka kebijakan yang lebih luas yang
ditetapkan oleh pengusaha.
Menurut Smith, laju pertumbuhan penduduk dalam jangka panjang tergantung pada dana
yang tersedia untuk nafkah manusia, maka dapat dikatakan bahwa tingkat upah yang berlaku di
pasar merupakan faktor penentu penting dari ukuran populasi. Pasokan tenaga kerja biasanya
diharapkan seimbang dengan permintaan tenaga kerja. Adam Smith berpendapat bahwa insentif
moneter dapat membantu mengeluarkan atau mengoptimalkan potensi yang terbaik dari orang-
orang dan bahwa mereka akan bekerja lebih keras untuk mendapatkan insentif yang lebih
banyak.
Ada banyak versi terkait sejarah berkembangnya manajemen sumber daya manusia.
Namun sebagian besar literatur menyatakan bahwa, peristiwa penting kedua setelah munculnya
Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya, yang mempengaruhi perkembangan ilmu
manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya
penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan
produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut pabrik. Perpindahan ini
mengakibatkan manager-manager ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka
meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas
kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain,sehingga ilmu manajamen
mulai dikembangkan oleh para ahli. Era ini disebut juga sebagai Era Manajemen Personalia
(awal abad ke-19), era di mana muncul. seperangkat aktifitas sederhana untuk merekrut,
menempatkan, dan menggaji karyawan untuk memenuhi permintaan perusahaan akan sumber
daya manusia/tenaga kerja.
Pada tahun 1800, Robert Owen yang dijuluki sebagai Bapak Manajemen Personalia,
melakukan penelitian di pabrik pemintalan kapas di New Lanark, Skolandia, tempat dimana ia
bekerja sebagai manajernya. Dalam penelitiannya, ia menilai bahwa manusia memiliki banyak
persamaan dengan mesin, jika manusia dirawat secara baik dalam artian diberikan kompensasi,
tunjangan serta insentif yang lain secara berkesinambungan, maka produktivitas karyawan
tersebut dapat meningkat dan memberikan keuntungan kepada perusahaan. Selain itu, Owen
merasa bahwa karakter berkembang hanya jika lingkungan, baik secara material dan moralnya
benar. Untuk tujuan ini, ia menjadi lebih aktif secara politis sekitar tahun 1813 dan mengusulkan
pabrik untuk melarang mempekerjakan anak di bawah sepuluh tahun dan membatasi pekerjaan
hingga sepuluh jam per hari tanpa kerja malam untuk anak-anak. Setelah banyak intrik politik,
undang-undang tersebut menjadi undang-undang pada tahun 1819, tetapi alih-alih berlaku untuk
semua pabrik, undang-undang ini hanya berlaku untuk pabrik kapas dan menetapkan batas usia
sembilan dan bukan sepuluh.
Charles Babbage (1792 – 1871) juga menjadi salah satu tokoh yang menaruh perhatian
dalam hal pembagian kerja, yang mempunyai beberapa keunggulan, yaitu; waktu yang
diperlukan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang baru, banyaknya waktu yang
terbuang bila seseorang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan orang tersebut harus
menyesuaikan kembali pada pekerjaan barunya sehingga kan menghambat kemajuan dan
ketrampilan kerja, untuk itu diperlukan spesialisasi daam pekerjaannya, kecakapan dan keahlian
seseorang bertambah karena seorang pekerja bekerja terus menerus dalam bidangnya, adanya
perhatian pada pekerjaannya sehingga dapat meresapi alat-alatnya karena perhatiannya terfokus
pada bidang pekerjaannya. Kontribusi lain dari Babbage, antara lain menciptakan kalkulator
mekanis yang pertama, mengembangkan kerjasama saling menguntungkan antara pekerja dan
pemilik perusahaan, membuat skema perencanaan pembagian keuntungan.
Sistem upah per satuan, jauh sebelum masa Taylor, berupaya mendorong produktivitas
individu dengan membayar pekerja berdasarkan hasil mereka, tetapi sistem seperti itu pada
umumnya gagal; standar sering kali ditetapkan dengan buruk, pengusaha memotong tingkat upah
karena peningkatan output menjadi norma, dan pekerja menyembunyikan metode pintas mereka
untuk membuat manajemen tidak tahu seberapa cepat pekerjaan dapat dilakukan. Tidak
mengherankan, para pekerja mengembangkan konsensus tentang berapa banyak yang masing-
masing harus hasilkan, tidak hanya untuk melindungi diri mereka sendiri tetapi juga untuk
menghindari sanksi terhadap yang kurang mampu. Manajemen tampaknya tidak menyadari
inefisiensi yang dihasilkan. Selain itu, Gaji didasarkan pada kehadiran dan posisi, bukan usaha.
Bekerja lebih keras tidak membuahkan hasil dan, karenanya, para pekerja sebenarnya didorong
untuk menjadi malas.
Henry Gantt yang pernah bekerja bersama Taylor menggagas ide bahwa seharusnya
seorang mandor mampu memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin
(industrious) & kooperatif. Grant sangat mendukung gagasan bahwa dalam semua urusan
manajemen, elemen manusia harus merupakan hal yang sangat penting. Ia juga mendesain
sebuah grafik untuk membantu manajemen yang disebut sebagai Gantt chart yang digunakan
untuk merancang & mengontrol pekerjaan. Selanjutnya, Gantt mengadaptasi gagasan seorang
kolega, EP Earle, untuk memberikan bonus kepada pengawas lini pertama bagi setiap pekerjanya
yang mencapai standar yang ditetapkan untuk pekerjaan mereka, ditambah bonus tambahan
berdasarkan bonus yang diperoleh dari para pekerja diawasi. Gantt memandang bonus tambahan
ini sebagai cara untuk mendorong penyelia untuk mengajar dan membantu pekerja meningkatkan
kinerja mereka. Gantt yakin bahwa kekuatan tidak bisa menjadi dasar untuk kepemimpinan.
Peningkatan produktivitas hanya bisa dicapai melalui pengetahuan. Seperti Taylor, Gantt
menghadapi lebih banyak perlawanan dari supervisor lini pertama yang peduli untuk melindungi
otoritas mereka daripada dari para pekerja yang mereka awasi. Untuk Gantt, semua komponen
dalam suatu perusahaan harus bekerja sama untuk mencapai kinerja yang efisien. Lebih lanjut, ia
merasa bahwa imbalan di tempat kerja harus didistribusikan secara adil sesuai dengan kontribusi
masing-masing peserta.
Kemudian pada akhir abad ke-20, dunia memasuki era manajemen sumber daya manusia
tradisional. Berakhirnya perang korea dan perang dunia ke-2, menandai perubahan yang
signifikan dalam sejarah perkembangan sejarah pengelolaan sumber daya manusia. Pada
generasi ini, ide-ide dan konsep hak asasi manusia dan juga aktualisasi diri menjadi bagian yang
tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan sumber daya manusia, hal ini berdampak kepada
semakin dilibatkannya pekerja dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, hal tersebut juga
mendorong untuk menggabungkan ide-ide pekerja menjadi bagian strategi dari jalannya
operasional perusahaan.
Abad ke-21 merupakan era stratejik manajemen sumber daya manusia. Adanya
perubahan zaman, ditambah semakin berkembangnya fenomena globalisasi dimana batas-batas
negara semakin berkurang, berimplikasi secara langsung terhadap perubahan lingkungan bisnis.
Pada era ini, sumber daya manusia yang dibutuhkan adalah yang memiliki kemampuan yang
terspesialisasi, dapat bekerja dalam tim dan melek teknologi. Selain itu, dewasa kini manajemen
sumber daya manusia menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam merumuskan strategi
organisasi untuk mencapai tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.
B. Reward - Kompensasi
Menurut David Guest (1999), ada empat kebijakan utama dalam MSDM, yaitu Employee
Influence, Human resource flow, Rewards systems, dan Work systems. Kebijakan lainnya
berkaitan dengan sistem penghargaan yang merupakan bagian utama organisasi dalam memberi
motivasi kepada para karyawannya guna memaksimalkan kerja dan proses pemekerjaan. Sistem
penghargaan (rewards systems) misalnya dapat berupa paket kompensasi yang terdiri dari
penggajian, pemberian bonus dan insentif serta berbagai bentuk kompensasi lainnya.
Pada dasarnya, manusia membutuhkan motivasi agar dapat terus berkembang seiring
dengan berjalannya waktu. Memotivasi karyawan di tempat kerja merupakan salah satu tugas
penting jajaran top manajemen agar karyawan dapat terus memberikan kontribusi terbaiknya
bagi perusahaan. Dengan bertumbuhnya motivasi di dalam diri karyawan, maka hal ini secara
tidak langsung akan meningkatkan kinerja karyawan dan akan berdampak pada kinerja
keseluruhan dari perusahaan dikarenakan sumber daya manusia merupakan faktor penting yang
mempengaruhi lingkungan perusahaan.
Menurut Dessler (2010) kompensasi karyawan merujuk kepada semua bentuk bayaran
atau hadiah bagi karyawan dan berasal dari pekerjaan mereka. Kompensasi karyawan memiliki
dua komponen utama, yaitu pembayaran langsung seperti dalam bentuk upah, gaji,
insentif, komisi, bonus dan pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti
asuransi dan liburan yang dibayar oleh pengusaha. Kompensasi non-finansial merupakan
kompensasi yang selain kompensasi moneter, ada cara lain bagi pemberi kerja untuk
memberikan nilai kepada karyawan mereka. Misalnya, pengembangan karir dan peluang
pelatihan dapat dimasukkan dalam kategori ini. Fasilitas tambahan seperti peluang pengakuan
dan keseimbangan kerja / hidup juga bisa jatuh di bawah kompensasi non-finansial.
Kompensasi, menurut Dessler, biasanya tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan,
pekerjaan, dan tingkat pendidikan, bahaya keselamatan, tingkat tanggung jawab, dan faktor
lainnya yang dinilai melalui analisis pekerjaan. Tujuan dasarnya adalah untuk menarik,
memotivasi, dan mempertahankan karyawan yang baik. Rencana kompensasi harus terlebih
dahulu memajukan tujuan strategis perusahaan, manajemen harus menghasilkan strategi
penghargaan yang selaras. Ini berarti menciptakan paket kompensasi termasuk upah, insentif,
dan manfaat yang menghasilkan perilaku karyawan yang diperlukan perusahaan untuk
mendukung dan mencapai strategi kompetitifnya.
Sedangkan menurut Armstrong, manajemen kompensasi adalah salah satu pilar utama
manajemen sumber daya manusia (SDM). Ini berkaitan dengan perumusan dan implementasi
strategi dan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada orang secara adil
dan konsisten sesuai dengan nilai mereka kepada organisasi. Manajemen kompensasi adalah
bagian integral dari pendekatan manajemen sumber daya manusia untuk mengelola orang dan
karena itu mendukung pencapaian tujuan bisnis dan strategis dalam arti bahwa itu menangani
masalah jangka panjang yang berkaitan dengan bagaimana orang harus dinilai untuk apa yang
ingin mereka capai. Manajemen kompensasi adalah semua tentang mengembangkan hubungan
kerja yang positif dan kontrak psikologis yang mengadopsi pendekatan kompensasi total yang
mengakui bahwa ada sejumlah cara di mana orang dapat diberi kompensasi.
Dessler mengacu pada kompensasi tidak langsung sebagai pembayaran tidak langsung,
baik finansial dan non-finansial yang diterima karyawan untuk melanjutkan pekerjaan mereka
dengan perusahaan yang merupakan bagian penting dari kompensasi setiap karyawan. Istilah lain
seperti tunjangan tambahan, layanan karyawan, kompensasi tambahan dan pembayaran
tambahan digunakan. Sedangkan, Armstrong mengatakan kompensasi tidak langsung atau
tunjangan karyawan adalah elemen remunerasi yang diberikan di samping berbagai bentuk
pembayaran tunai. Itu juga termasuk barang-barang yang tidak sepenuhnya dibayar seperti
liburan tahunan.
Menurut Touana & Puspitasari (2017) jenis-jenis kompensasi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok:
a. Kompensasi dalam bentuk finansial. Kompensasi dalam bentuk finansial dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara langsung seperti gaji, upah, komisi, dan
bonus.
2. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara tidak langsung, seperti asuransi kesehatan,
tunjangan pensiun, tunjangan hari raya, tunjangan perumahan, tunjangan pendidikan dan
lain sebagainya.
b. Kompensasi dalam bentuk non-finansial. Kompensasi dalam bentuk non-finansial dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Berhubungan dengan pekerjaan, seperti kebijakan perusahaan yang sehat, pekerjaan yang
sesuai (menarik, menantang), peluang untuk dipromosikan naik jabatan
Menurut Mahatma (2018) kompensasi adalah alat yang digunakan oleh manajemen untuk
berbagai keperluan untuk memajukan keberadaan perusahaan. Kompensasi dapat disesuaikan
sesuai dengan kebutuhan bisnis, tujuan, dan sumber daya yang tersedia. Kompensasi dapat
digunakan untuk rekrut dan pertahankan karyawan yang berkualitas, tingkatkan atau pertahankan
moral / kepuasan, hadiah dan dorong kinerja puncak, mencapai ekuitas internal dan eksternal,
kurangi omset dan dorong loyalitas perusahaan, ubah (melalui negosiasi) praktik serikat pekerja.
Kompensasi mempengaruhi moral dan kepuasan kerja Kompensasi juga dapat digunakan sebagai
hadiah untuk kinerja pekerjaan yang luar biasa. Contoh dari rencana tersebut meliputi: bonus,
komisi, saham, dan bagi hasil, bagi hasil.
Motivasi
Selain teori yang dikemukakan oleh Victor Vroom tentang bagaimana menilai suatu
motivasi dari seorang karyawan, terdapat teori yang sebelumnya telah dikemukakan oleh
Frederick Herzberg. Frederick Irving Herzberg (1923-2000) merupakan seorang psikolog asal
Amerika Serikat. Beliau dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan
teori motivasi. Frederick Herzberg mengemukakan Teori Dua Faktor (juga dikenal sebagai teori
motivasi Herzberg atau teori hygiene-motivator) dalam menentukan faktor yang menyebabkan
kepuasan dan ketidakpuasan dalam bekerja pada seorang individu. Frederick Herzberg (dalam
McGrath dan Bates, 2017:62) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penentu di
tempat kerja yang menyebabkan kepuasan kerja, sementara di sisi satunya terdapat pula faktor
lain yang menyebabkan ketidakpuasan dalam bekerja. Dengan kata lain kepuasan dan
ketidakpuasan kerja saling erat kaitannya antar satu dengan yang lainnya.
Teori Dua-Faktor menyiratkan bahwa manajer harus fokus untuk menjamin kecukupan
faktor hygiene (faktor kesehatan) guna menghindari ketidakpuasan karyawan. Juga, manajer
harus memastikan bahwa pekerjaan sebagai perangsang dan bermanfaat sehingga karyawan
termotivasi untuk bekerja dan melakukannya lebih keras dan lebih baik. Teori ini menekankan
pada kerja pengayaan sehingga memotivasi karyawan. Pekerjaan harus memanfaatkan
keterampilan karyawan dan kompetensi mereka secara maksimal. Berfokus pada faktor-faktor
motivasi dapat meningkatkan kerja berkualitas.
Teori Herzberg ini mendapat kritikan dari para ahli. Hal ini dikarenakan didalam teori
Herzberg, uang dan gaji tidak masuk di dalam faktor yang memotivasi karyawan, dan teori ini
mengabaikan pekerja kerah biru. (Cushway dan Lodge, 1995:139). Pekerjaan kerah biru
seringkali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang akan mereka peroleh dari
pekerjaan itu, akan tetapi dikarenakan pekerjaan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar
mereka.
Teori dua faktor juga memiliki keterbatasan lain yaitu terdapatnya variabel situasional.
Herzberg mengasumsikan adanya korelasi di antara kepuasan dan produktivitas dari suatu
individu. Namun penelitian yang dilakukan oleh Herzberg menekankan pada kepuasan seorang
individu dan terkesan mengabaikan produktivitas dari kinerja individu tersebut. Tidak ada
analisa ukuran komprehensif terhadap faktor kepuasan yang digunakan di dalam teori tersebut.
Contohnya seorang karyawan mungkin dapat menemukan pekerjaannya dapat dilakukan dengan
benar meskipun pada faktanya mungkin ia membenci obyek pekerjaannya tersebut.
Menurut para ahli, teori dua faktor juga tidak bebas dari bias dikarenakan teori tersebut
didasarkan pada reaksi alami dari karyawan ketika mereka diberikan pertanyaan tentang sumber
kepuasan dan ketidakpuasan di tempat kerja mereka. Ketika diberi pertanyaan seputar kepuasan
dan ketidakpuasan di tempat bekerja, maka otomatis mayoritas dari mereka akan menyalahkan
ketidakpuasan kepada faktor-faktor eksternal seperti struktur gaji, kebijakan perusahaan dan
hubungan dengan karyawan lainnya, dan juga seorang karyawan tentunya subyektif dalam
menilai diri mereka sendiri untuk menilai faktor kepuasan kerja. Meskipun mendapatkan kritik,
namun demikian teori dua faktor Herzberg dapat diterima secara luas oleh para ahli.
Keberhasilan suatu perusahaan dikatakan bergantung pada banyak faktor yang bervariasi
dari internal dan juga eksternal. Salah satu literature yang digunakan sebagai landasan oleh Tung
Thanh Do adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ulrich. Ulrich (1998) mendukung bahwa
orang menjadi sumber daya saing yang menjadi keuntungan bagi sebagian besar perusahaan, dan
bahwa keunggulan kompetitif organisasi tidak lagi muncul dari produk dan layanan mereka
tetapi dari orang-orang mereka. Selain itu, upaya membangun tenaga kerja yang termotivasi
untuk meningkatkan produktivitas sangat penting bagi manajer di banyak perusahaan belakangan
ini. Di Vietnam sendiri karena banyaknya masalah di tempat kerja masih terjadi, terlepas dari
banyak penelitian dan perbaikan pada faktor-faktor yang disebutkan di atas, memotivasi pekerja
tampaknya merupakan kompleksitas yang ekstrem dan tantangan yang tidak pernah berakhir. Ini
berarti bahwa, alih-alih mencari motivator ekonomi yang terkenal, perusahaan disarankan untuk
mencari strategi alternatif untuk mempertahankan staf terbaik mereka serta memperoleh
keunggulan kompetitif (Ashmos dan Duchon, 2000).
Spiritualitas tempat kerja telah menjadi perhatian utama di tahun 1990-an (Case and
Gosling, 2007) dan telah memberi jalan bagi lebih dari 300 buku dan beberapa jurnal akademik
dari berbagai peneliti dan juga praktisi manajemen (Garcia-Zamor, 2003). Tempat spiritual yang
positif atau suasana hati karyawan dapat memicu peningkatan kinerja mereka (Shaw, 1999;
Ayranci, 2011) yang kemudian dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas perusahaan
(Milliman et al., 2003). Di Vietnam, hal ini tampaknya menjadi topik yang luar biasa dalam
manajemen dan sebagian besar masih belum diteliti sejauh ini. Selain itu, menurut Lichtman
(2007), sejumlah besar perhatian manajemen dalam 30 tahun terakhir telah difokuskan pada
iklim tempat kerja dan pengaruhnya terhadap kinerja karyawan. Rupanya, iklim tempat kerja
berasal dari persepsi karyawan, bersamaan dengan pemahaman mereka, menghasilkan karakter,
perilaku mereka dan efektivitas di tempat kerja (Ramazaninezhad et al., 2009). Selain dua
penentu kinerja karyawan non-finansial di atas, kompensasi tampaknya menjadi pendekatan
sistematis untuk memasok nilai moneter atau finansial bagi para pekerja dengan imbalan kinerja
kerja. Persepsi karyawan dalam ketentuan kompensasi dianggap sebagai dasar dari kinerja
pekerjaan (Ghazanfar et al., 2011).
Terkait kinerja dari pekerjaan itu sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Otley (1999),
kinerja dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan dan karyawan. Dalam penelitian ini, kinerja
perusahaan berada di luar ruang lingkup penelitian dan hanya kinerja pekerjaan karyawan
dipertimbangkan. Menurut Hunter (1986), prestasi kerja mengacu pada kemampuan untuk
memiliki hasil yang baik dan produktivitas yang tinggi dari karyawan itu sendiri. Demikian pula,
Bjarnadottir dan Campbell (2001) menganggap kinerja pekerjaan sebagai variabel tingkat
individu atau sesuatu yang dilakukan oleh satu orang. Tidak hanya dapat dirasakan, kinerja
pekerjaan menjadi penentu penting yang berkontribusi untuk meningkatkan hasil organisasi dan
perilaku serta sifat karyawan, Kinerja perusahaan juga digunakan sebagai strategi manajemen
sumber daya manusia melalui hasil dari penilaian dengan proses yang sistematis.
Markow dan Klenke (2005) menyatakan bahwa meskipun ada lebih dari 70 definisi
spiritualitas, tidak ada definisi tertentu yang diterima secara luas. Pelopor studi empiris Ashmos
dan Duchon (2000) mengusulkan spiritualitas di tempat kerja sebagai kesadaran bahwa
karyawan mengalami kehidupan batin yang perlu dipelihara dan diasuh sehingga menciptakan
pekerjaan yang terjadi dalam keadaan komunitas tersebut berarti. Tiga elemen yang termasuk di
dalamnya adalah kehidupan batin, pekerjaan yang bermakna, dan rasa koneksi dan komunitas.
Penelitian ini mengukur konsep tersebut pada pengalaman individu, unit kerja dan tingkat
organisasi. Giacalone dan Jurkiewicz (2003) mendefinisikan kembali spiritualitas tempat kerja
sebagai kerangka kerja yang berasal dari nilai-nilai perusahaan yang ditampilkan dalam budaya
yang mendorong pengalaman transenden individu melalui prosedur kerja, membantu
menciptakan perasaan orang-orang terkait dengan orang lain secara menyenangkan. Tiga
komponen inti terdiri dari pekerjaan yang bermakna, rasa kebersamaan, dan keselarasan
organisasi dengan nilai-nilai dan misi, yang diakses di tingkat individu. Kemudian, Sheep (2004)
datang dengan konvergensi konseptual Spiritualitas Tempat Kerja, Person - Organization Fit
(WSP-OF), terdiri dari empat tema utama, yaitu makna dalam pekerjaan, transendensi diri,
integrasi dengan tempat kerja; dan pengembangan diri batin seseorang di tempat kerja.
Spiritualitas tempat kerja dalam pekerjaan Domba diukur bukan hanya pada seberapa sikap /
harapan individu terhadap semangat di tempat kerja tetapi juga seberapa baik perusahaan
memfasilitasi harapan ini. Kinjerski dan Skrypnek (2004) merekonstruksi spiritualitas tempat
kerja menjadi "semangat di tempat kerja", menganggapnya sebagai "keadaan berbeda yang
ditandai dengan dimensi fisik, afektif, kognitif, interpersonal, spiritual, dan tersembunya.” Pada
tahun 2006, mereka mendefinisikannya menjadi empat elemen, yaitu pekerjaan yang menarik,
koneksi spiritual, rasa komunitas dan pengalaman tersembunyi atau implisit. Penelitian ini
mengadopsi konsep "semangat di tempat kerja" yang dikembangkan oleh Kinjerski dan
Skrypnek (2006) untuk mendefinisikan spiritualitas tempat kerja.
Studi tentang kompensasi menjadi minat di antara para peneliti dalam dua dekade
terakhir.. Kompensasi adalah “semua bentuk pengembalian finansial serta layanan dan manfaat
nyata karyawan menerima sebagai bagian dari hubungan kerja ”(Milkovich dan Newman, 2002).
Selain itu, menurut Christofferson dan King (2006), kompensasi dapat didefinisikan sebagai
“Bayaran yang diberikan oleh pemberi kerja kepada karyawan untuk layanan yang diberikan
(yaitu waktu, tenaga, dan ketrampilan)". Banyak peneliti dan praktisi telah menemukan arti dari
kompensasi dalam meningkatkan kinerja karyawan. Demikian pula, Huselid (1995) mencatat
bahwa satu peningkatan standar deviasi dalam kinerja karyawan setara dengan kira-kira 40
persen dari kompensasi karyawan. Tidak diragukan lagi, sistem kompensasi yang efektif dapat
memperkuat staf untuk bekerja lebih keras dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan
kinerja pekerjaan (Lai, 2011). Setelah karyawan puas dengan kompensasi yang ditawarkan,
motivasi mereka meningkat pada tingkat yang lebih tinggi, diikuti oleh perbaikan kinerja
pekerjaan mereka. Secara umum, ada hubungan yang signifikan antara kompensasi dan kinerja
(Herzberg, 1968).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tung Thanh Do pada rumah sakit tersebut
menunjukkan bahwa organisasi telah membangun tempat kerja di mana sejumlah besar
karyawan dapat menemukan, merasakan bahwa pekerjaan mereka bermakna dan bertujuan serta
merasa bergairah, bersyukur dan cocok dengan pekerjaan yang mereka tanggung. Dengan
demikian, disarankan bagi pengusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kebermaknaan
pekerjaandi tempat kerja.
Penelitian menunjukkan bahwa rasa komunitas sangat mempengaruhi kinerja pekerjaan
yang dirasakan. Ini didukung oleh penelitian Miller (1992), Milliman et al. (1999) dan Vanover
(2014), yang menyampaikan bahwa rasa komunitas di tempat kerja meningkatkan pekerjaan
kinerja dan produktivitas. Pada kenyataannya, sehubungan dengan karakteristik rumah sakit,
yang sangat menghargai kerja sama antar personel, terutama dalam operasi dan perawatan lain,
karyawan di sini bisa mengalami rasa komunitas yang positif.
Hasil dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa iklim di tempat kerja memainkan
peran penting dalam kinerja pekerjaan yang dirasakan. Ini sejalan dengan beberapa penelitian
terdahulu, seperti Hansen dan Wernerfelt (1989) dan Ostroff dan Bowen (2000) yang
menunjukkan bahwa iklim yang diperoleh di organisasi berkorelasi dan meningkatkan kinerja
pekerjaan. Mempertahankan dan mempromosikan iklim kerja yang positif adalah yang paling
penting.
Seperti yang disampaikan pada uraian literatur di awal diskusi, bentuk dari kompensasi
terbagi menjadi dua, yaitu finansial dan non-finansial. Penerapan kompensasi non-finansial
sendiri bisa berupa penerapan system K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Menurut Howar
Quartey (2017) dalam penelitiannya yang berjudul Examining employees’ safety behaviours:
an industry-level investigation from Ghana menjelaskan bahwa perilaku keselamatan karyawan
merupakan salah satu faktor penting terkait kepatuhan dan partipasi dari sikap pekerja terhadap
keselamatan mereka ditempat kerja. Pandangan keselamatan digambarkan sebagai seperangkat
harapan atau keinginan yang koheren yang dipunyai oleh masing-masing karyawan terkait
keamanan. Perilaku keselamatan ditempat kerja merupakan kunci kepatuhan dan keikutsertaan
dari sikap karyawan terhadap keselamatan.
Penelitiannya sendiri menggunakan metodologi survey. Metode ini digunakan sebagai
pendekatan yang tepat. Secara total, 197 kuesioner yang valid diambil dari karyawan yang
bekerja di industri pabrik minuman. Kuesioner diproses untuk analisis kuantitatif untuk menguji
hipotesis. Analisis regresi dilakukan untuk menilai persepsi karyawan tentang perilaku
keselamatan mereka sendiri dan untuk menyelidiki dampak OC terhadap ESB. Frekuensi
deskriptif dan persentase digunakan untuk mengidentifikasi penentu ESB.
Perilaku keselamatan karyawan terdiri dari beberapa jenis yaitu, kepatuhan dan
partisipasi keselamatan karyawannya. Namun jika budaya mendukung bagaimana perilaku
karyawannya dan perilaku keselamatannya yang tersusun oleh keselamatan kepatuhan dan
partisipasi, maka dapat disarankan bahwa budaya dan perilaku keselamatan saling berkaitan satu
sama lain. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa perilaku keselamatan dapat dipengaruhi
oleh kepuasan pekerjaan, kepemimpinan keselamatan dan kondisi kerja yang aman.
Kewarganegaraan perilaku organisasi seperti keterlibatan komitmen, janji dan pengaruh pada
perilaku aman. Karyawan rentan dengan masalah keselamatan yang dimana nantinya dapat
menentukan cara mereka berperilaku dan merasakan keselamatan di tempat mereka bekerja.
Selain keterbatasan biaya atau keuangan, diyakini juga bahwa penyebab mayoritas masalah
keselamatan kerja karyawan dan bahaya industri manufaktur dapat dikaitkan dengan tidak
adanya budaya yang dipertimbangkan secara cermat.
Menurut temuan ini, para karyawan percaya bahwa organisasi yang aman itu penting
karena sangat memengaruhi keselamatan mereka perilaku. Selain itu, temuan-temuan ini lebih
lanjut menyoroti peran kepemimpinan dalam membentuk kebijakan dan praktik organisasi yang
relevan dalam mengelola ESB. Seperti yang dikemukakan oleh Schneider (1987), meskipun
struktur dan proses organisasi muncul dari kebutuhan sehari-hari, namun, bentuk dan isi dari
struktur dan proses tersebut dibentuk oleh pendiri. Dapat disimpulkan bahwa pemberian
kompensasi yang bisa menjamin dan menjaga keselamatan dan kesehatan kerja bagi para
karyawan adalah hal yang penting untuk memotivasi dan meningkatkan kinerja pekerjaan
mereka.
Disisi lain A.Autenrieth (2016) dalam penelitiannya yang berjudul The associations
between occupational health and safety management system programming level and prior injury
and illness rates in the U.S. dairy industry menjelaskan bahwa associations between
occupational health and safety management system (OHSMS ) merupakan kumpulan kebijakan,
rencana dan prosedur terkait yang menentukan bagaimana suatu organisasi mengelola masalah
K3. Beberapa faktor dari OHSMS yang efektif yang efektif dan termasuk syarat dalam
kepemimpinan manajemen, antisipasi karyawan, identifikasi bahaya, pengendalian bahaya,
pelatihan pekerja dan tinjauan berkala. Beberapa elemen OHSMS dibagi menjadi tujuh
komponen OHSMS (antisipasi dan deteksi bahaya, bahaya pencegahan dan pengendalian,
perencanaan dan evaluasi, administrasi dan supervisi, pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja,
manajemen pemimpin kapal, dan partisipasi karyawan). Sistem manajemen kesehatan dan
keselamatan kerja (OHSMS) telah diusulkan sebagai cara untuk mengurangi cedera dan penyakit
untuk bisnis dari semua jenis dan ukuran.
Todericiu, Serban, dan Dumitrascu (2013) mengemukakan bahwa pengelolaan sumber
daya manusia secara efektif dan tepat akan sangat penting bagi suatu perusahaan atau organisasi
yang menginginkan kemajuan dalam bisnisnya. Untuk era saat ini, imbalan berupa finansial
masih memiliki peran penting dalam memotivasi karyawan, namun para manajer tetap harus
mencari alternatif lainya yang terbaik untuk dapat memotivasi dan menginspirasi karyawan
sebagai solusi jika perusahaan sedang mengalami krisis keuangan. Dalam penelitiannya,
mayoritas pekerja menginginkan kebebasan dalam mengerjakan sesuatu dan lingkungan kerja
yang nyaman juga merupakan salah satu faktor yang diinginkan pekerja. Oleh karena itu, strategi
perusahaan dalam menyediakan lingkungan kerja yang sesuai dengan masing-masing skill dari
pekerja secara tidak langsung dapat memotivasi mereka untuk menggunakan pengetahuan
mereka dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Dewasa ini, banyak kasus disebabkan karena kurangnya interaksi di antara manajer dan
bawahan mereka, sehingga hal ini akan menciptakan situasi yang tidak menguntungkan bagi
perusahaan yang akan mempengaruhi keterlibatan karyawan, dan oleh karena itu seorang
manajer harus mampu membangun komunikasi pada tingkat informal untuk menciptakan ikatan
antara karyawan dan perusahaan, sehingga nantinya akan tercipta hubungan kerja yang bersifat
pribadi dan profesional, yang dibangun di atas kepercayaan masing-masing individunya. Seorang
manajer perlu mengetahui bakat yang dimiliki oleh masing-masing karyawannya, sehingga
nantinya manajer mampu menetapkan tujuan yang jelas dan metrik kinerja untuk setiap
karyawan, dan memberikan insentif dan penghargaan yang sesuai dengan motivasi masing-
masing individu.
IV. KESIMPULAN & SARAN
Sejarah Manajemen Sumber Daya Manusia sebelum permulaan abad ke-20 manusia
dipandang sebagai barang, benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak oleh majikan, hingga
saat ini peningkatan kualitas sumber daya masih terus dilakukan, karena meskipun suatu negara
tidak mempunyai keunggulan komparatif yang baik, namun mempunyai keunggulan kompetitif,
maka negara tersebut bisa lebih bersaing dengan negara lain. Manajemen sumber daya manusia
akan terus berkembang dan tidak akan berhenti menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kita bisa melihat bagaimana perkembangannya dari generasi ke generasi, namun satu hal yang
dapat kita simpulkan dari perjalanan manajemen sumber daya manusia dari generasi awal hingga
saat ini adalah perubahan mendasar terhadap paradigma dalam melihat manusia sebagai faktor
determinan dalam menggerakan organisasi.
Fungsi adanya MSDM yaitu perencanaan tenaga kerja, pengembangan tenaga kerja,
penilaian prestasi kerja, pemberian kompensasi, pemeliharaan tenaga kerja, dan pemberhentian.
Urgensi adanya MSDM yaitu karena MSDM berarti mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi
perusahaan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara optimum, staffing dan personalia dalam
organisasi, meningkatkan kinerja, mengembangkan budaya korporasi yang mendukung
penerapan inovasi dan fleksibilitas.
Dari berbagai literatur dan penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
sistem reward dengan pemberian kompensasi, baik finansial maupun non-finansial memberikan
dampak yang signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan. Pemberian kompensasi
didukung lingkungan atau budaya organisasi yang positif dapat mengoptimalkan potensi sumber
daya manusia hingga pada akhirnya dapat memberi keunggulan kompetitif tersendiri bagi
organisasi atau perusahaan yang bersangkutan.
Saran dari tim penulis adalah perlunya diadakan penelitian berkelanjutan tentang
perkembangan manajemen sumber daya manusia untuk mengembangkan pengelolaan
manajemen sumber daya manusia di Indonesia. Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia akan
mencapai bonus demografi pada tahun 2020. Indonesia harus mampu memanfaatkan peluang ini
untuk mencapai keunggulan kompetitif di era perdagangan bebas dan industry 4.0 ini.
V. DAFTAR PUSTAKA
Wren A. Daniel and Bedeian G. Arthur. 2009. The Evolution of Management Thought. John
Wiley & Sons, Inc.: United States of America.
Do Thanh Tung. (2016). How spirituality, climate and compensation affect job performance.
Emerald Publishing Limited, VOL. 14 NO. 2 2018, pp. 396-409.
Priyono P. (2016). Buku Manajemen Sumber Daya Manusia (2). Zifatama Publisher: Sidoarjo.
Cushway, B. and Lodge, D. (1995). Organizational Behaviour And Design. Crest Pub House, p.
139.
McGrath, J. and Bates, B. (2017) The Little Book of Big Management Theories, 2nd ed., Harlow:
Pearson UK., p. 62 & 66.
Todericiu, R., Serban, A., Dumitrascu, O., (2013) Particularities of Knowledge Worker’s
Motivation Strategies in Romanian Organizations, Procedia Economics and Finance 6, p.
405 – 413.
Autenrieth et all. (2016). The associations between occupational health and safety management
system programming level and prior injury and illness rates in the U.S. dairy industry.
Safety Science, p. 108–116.