Anda di halaman 1dari 44

PERKEMBANGAN PRAKTIK REWARD DENGAN SISTEM

KOMPENSASI DALAM PENGEMBANGAN MANAJEMEN SUMBER


DAYA MANUSIA

Disusun oleh:

SANTI DUWI PUTRI NUGROHO


adenia.santi@gmail.com Malang Jawa Timur
LUSIANA PRATIWI
lusianayusuf9@gmail.com Banjarmasin Kalimantan Selatan
WIDIANANDA PRABOWO
ian.enviro@gmail.com Malang Jawa Timur

SIMPOSIUM PERKEMBANGAN PEMIKIRAN

ILMU EKONOMI DAN BISNIS

FEB UB

2019
ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan sistem reward melalui pemberian
kompensasi sebagai salah satu peran dalam pengembangan manajemen sumber daya manusia.
Pengembangan manajemen sumber daya manusia menjadi semakin penting dengan
meningkatnya kesadaran organisasi bahwa sumber daya manusia adalah salah satu faktor
penentu bagi organisasi untuk mencapai visi, misi, dan tujuan perusahaan. Metode penelitian
yang digunakan berupa metode kualitatif dengan tinjauan literatur yang berasa dari berbagai
buku, e-book, jurnal, dan penelitian penelitian terdahulu yang telah diunggah di jurnal index.
Perkembangan sistem kompensasi terus berkembang. Pada awal 2000an banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa kompensasi finansial masih menjadi pilihan utama, namun makin ke sini,
kompensasi non finansial justru semakin marak. Selain kompensasi, faktor internal, seperti
budaya dan iklim organisisai, seperti terciptanya komunikasi yang baik dengan manajemen
tingkat atas juga berpengaruh dalam meningkatkan kinerja karyawan. Oleh karena itu, penerapan
sistem kompensasi harus direncanakan dan dipraktikkan dengan strategi yang tepat.
Kata Kunci: kompensasi finasial, kompensasi non finansial, reward, manajemen SDM,
kinerja karyawan.

I. PENDAHULUAN

Memasuki era industry 4.0 terjadi iklim kompetisi yang tinggi di segala bidang yang
menuntut perusahaan untuk berkerja dengan lebih efektif dan efesien. Tingkat kompetisi yang
tinggi menuntut pula suatu organisasi mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang kuat dari sumber daya manusia terhadap efektivitas dan
efisiensi organisasi .karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan kunci keberhasilan
organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia yang baik akan mendorong organisasi ke arah
pencapaian tujuan.

Salah satu tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu memastikan organisasi
memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana
untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya. Dalam usaha
mendukung pencapaian tenaga kerja yang memiliki motivasi dan berkinerja tinggi, yaitu dengan
cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat


anggota berbuat sesuai dengan keinginan organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu
menciptakan kemauan diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi
dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara umum berarti karyawan harus
merasa bahwa dengan melakukannya mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang mereka
perlukan. Dimana didalamnya termasuk interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan dan
perkembangan.

Kompensasi mempunyai peran penting bagi perusahaan, karena kompensasi


mencerminkan upaya perusahaan dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan
karyawan. Jika kompensasi tidak memadai, maka dapat menurunkan prestasi kerja, motivasi
kerja, dan kepuasan kerja karyawan, bahkan dapat menyebabkan karyawan yang potensial keluar
dari perusahaan. Kompensasi memiliki arti penting karena kompensasi mencerminkan upaya
organisasi dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan pegawainya. Pengalaman
menunjukkan bahwa kompensasi yang tidakmemadai dapat menurunkan prestasi kerja, motivasi
kerja, dan kepuasan kerjakaryawan, bahkan dapat menyebabkan karyawan yang potensial keluar
dari organisasi. Kompensasi merupakan suatu mekanisme penting di dalam mendorong dan
memotivasi manajer dan karyawan untuk lebih berprestasi di dalam pencapaian tujuan
perusahaan.

II. METODOLOGI

Penulisan makalah ini menggunakan metode kualitatitif dengan tinjauan pustaka.


Menurur definisi dari Lexy J. Moleong (2000), metode penelitian kualitatif adalah suatu riset
yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistic, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Metode penelitian kualititatif merupakan suatu cara
yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian yang berkaitan dengan data berupa narasi
yang bersumber dari aktivitas wawancara, pengamatan, dan dokumen atau data.

Data berupa narasi yang bersumber dari berbagai dokumen atau data inilah yang
kemudian disebut dengan pemanfaatan tinjauan pustaka. Dokumen atau data ini didapat dari
hasil penelitian penelitian lainya serta literatur literatur lainnya yang kemudian diinformasikan
kepada para pembaca dan mengisi celah celah dalam penelitian sebelumnya (Marshall &
Rosmann, 2011). Cooper (2010) membahas empat tipe kajian pustaka yang (a) menggabungkan
apa yang telah dikatakan dan dilakukan orang lain, (b) mengkritisi penelitian dari para ahli
sebelumnya, (c) membangun jembatan antara topik-topik terkait, dan (d) mengidentifikasi isu-isu
sentral dalam suatu bidang. Dengan perkecualian mengkritisi penelitian-penelitian dari para
peneliti sebelumnya, sebagaian besar disertasi dan tesis berperan menggabungkan literatur,
mengatur menjadi serangkaian topik yang saling berkaitan, dan merangkum literatur dengan
menunjukan isu-isu sentral.

Penelitian kualitatif harus berdasarkan pada teori dan data-data yang valid. Maka dalam
penelitian ini, tim penulis akan mengkaji berbagai literatur yang kredibel berupa buku-buku,
jurnal online atau penelitian-penelitian terdahulu yang telah diunggah di database jurnal online
berindeks internasional. Pemaparan sumber data tersebut akan dikembangkan oleh tim peneliti
untuk menemukan perkembangan praktik kompensasi dalam manajemen sumber daya manusia.

III. DISKUSI & HASIL

Banyak teori terkait sejarah perkembangan manajemen dan segala unsur di dalamnya,
seperti manusia (human), uang atau finansial (money), bahan (material), mesin (machines),
metode (methods), pasar (market) telah disampaikan dalam berbagai literatur. Unsur-unsur ini
yang kemudian dikembangkan dan dikategorikan ke dalam beberapa bidang. Bidang manajemen
berkembang seiring pengembangan ilmu manajemen itu sendiri. Bidang-bidang manajemen
mengalami perkembangan sesuai dengan sasaran tiap bidang. Bidang-bidang manajemen di
antara yang ada adalah bidang manajemen produksi, bidang manajemen pemasaran, bidang
manajemen keuangan, bidang manajemen personalia dan bidang manajemen administrasi.
Dalam makalah ini, tim penulis akan berfokus pada penyampaian teori dan aplikasi serta
pengembangan dalam manajemen sumber daya manusia serta berbagai kebijakan di dalamnya.

A. Sejarah Perkembangan Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Wren & Bedeian dalam bukunya The Evolution of Management Thought edisi
ke-6, manajemen termasuk di dalamnya manajemen sumber daya manusia telah ada sejak
Babilonia Hammurabi (sekitar tahun 2123–2071 SM), Raja Hammurabi menerima haknya untuk
memerintah dan kode hukum dari dewa matahari. Pada 2250 SM, Hammurabi mengeluarkan
kode 282 undang-undang, yang mengatur urusan bisnis, perilaku pribadi, hubungan
interpersonal, hukuman, dan sejumlah masalah sosial lainnya.

Pada tahun 1000 SM, birokrasi di Cina telah berkembang ke dalam hirarki pejabat.
Birokrasi ini berkembang jauh sebelum sistem konfusius mulai muncul. Filsafat konfusianisme
ini bertetentangan dengan para legalist saat itu. Ketika kaum legalis, yang kemudian disebut
kaum formalis berusaha menggunakan sistem ganjaran dan hukuman melalui peraturan hukum
yang berlaku untuk menjaga atau meningkatkan kinerja sumber daya manusia, kaum konfusius
yang kemudian disebut sebagai kaum humanis, justru menganjurkan pembudidayaan dan
peningkatan moral pekerja atau sumber daya manusia untuk menjaga dan meningkatkan
kerjasama yang telah terjalin.

Sejak kedua era itu, birokrasi, manajemen, terutama di bidang sumber daya manusia terus
berkembang. Era berikutnya ditandai dengan semangat kapitalisme yang diciptakan oleh etika
Protestan, di mana mereka menyamakan nilai spiritual dan kesuksesan duniawi. Tanpa ruang
untuk mengumbar atau mengeksploitasi diri sendiri dan dengan prinsip kontrol diri serta
pengarahan diri sendiri, era individualisme baru telah lahir. Semangat kapitalistik yang
diciptakan sebagai pedoman khusus oleh para Protestan ini banyak diperkenalkan ke dunia luar
oleh Max Weber melalui karya karya literaturnya. Menurutnya, orang memiliki kewajiban untuk
bekerja, kewajiban untuk menggunakan kekayaan mereka dengan bijak, dan kewajiban untuk
hidup menyangkal diri.

Pada zaman pencerahan (age of enlightment) ini, muncul salah satu tokoh terkemuka
bernama John Locke yang tulisannya juga mempengaruhi Adam Smith (ahli filsuf dan ekonomi)
serta menjadi dasar bagi tulisan-tulisan Rousseau yang juga merupakan seorang tokoh filosofi
besar di abad pencerahan. Locke mengajukan suatu tatanan sipil yang baru, yaitu: (1) hukum
yang didasarkan pada alasan, bukan perintah yang sewenang-wenang; (2) pemerintah
memperoleh kekuasaannya dari yang diperintah; (3) kebebasan untuk mengejar tujuan individu
sebagai hak alami; dan (4) kepemilikan pribadi dan penggunaannya dalam mengejar kebahagiaan
sebagai hak alami dan dilindungi secara hukum. Keempat gagasan ini terjalin dalam praktik
untuk membentuk fondasi politik yang kokoh bagi pertumbuhan industri. Ini memberikan sanksi
bagi ekonomi laissez-faire dan mengejar imbalan individu, menjamin hak-hak properti,
memberikan perlindungan pada kontrak, dan menyediakan sistem keadilan bagi orang-orang.
Tahun 1723-1790, Adam Smith, seorang ekonom politik Skotlandia yang
menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar
perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Smith berpikir bahwa kebijakan tarif
merkantilisme bersifat merusak dan bahwa, alih-alih melindungi industri, kebijakan ini
menghilangkan daya guna yang didasarkan pada peraturan atau persetujuan negara yang
berakibat pada alokasi sumber daya negara yang salah. Merkantilisme adalah suatu teori
ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya
aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan bahwa besarnya volume
perdagangan global teramat sangat penting. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan
secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas
lainnya) yang dimiliki oleh negara dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan
meningkatkan ekspor dan mencegah (sebisanya) impor sehingga neraca perdagangan dengan
negara lain akan selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara
harus mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan
mendorong eksport (dengan banyak insentif) dan mengurangi import (biasanya dengan
pemberlakuan tarif yang besar). Kebijakan ekonomi yang bekerja dengan mekanisme seperti
inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme. Ajaran merkantilisme dominan
sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal periode modern (dari abad ke-16 sampai ke-
18, era dimana kesadaran bernegara sudah mulai timbul)

Smith berpendapat, dengan memberikan setiap orang kebebasan untuk memproduksi dan
menukar barang sesuka hati (perdagangan bebas), serta membuka pasar hingga kompetisi
domestik dan asing, kepentingan pribadi manusia akan meningkatkan kesejahteraan yang lebih
besar daripada dengan peraturan pemerintah yang ketat. Smith mengusulkan bahwa hanya pasar
dan kompetisi yang menjadi pengatur kegiatan ekonomi. Smith secara teguh mempertahankan
teorinya bahwa harga alamiah harus dibiarkan berlaku sesuai dengan mekanisme pasar. Praktik-
praktik ekonomi di zamannya juga membuatnya yakin bahwa apa yang akan dibakukan oleh
pemerintah bukanlah harga alamiah atau harga yang fair, tetapi harga yang pada akhirnya hanya
akan menguntungkan segelintir orang yang kaya dan berkuasa dan bukannya menguntungkan
semua pihak. Karena itu, jalan terbaik untuk bisa mewujudkan harga yang fair adalah dengan
membiarkan harga alamiah berkembang sesuai dengan mekanisme pasar.
Selain teori harga, Smith menjelaskan teori nilai berdasarkan nilai dari suatu pekerjaan,
dan terutama sekali tenaga kerja, menurutnya tenaga kerja adalah merupakan sebab dan
sekaligus alat pengukur nilai. Adam Smith mengakui hanya tiga faktor produksi: tanah, tenaga
kerja dan modal. Namun kemudian pengusaha dijadikan faktor produksi keempat dan menerima
reward terpisah karena telah melakukan pengelolaan, selain sebagai pengembalian modal pribadi
yang diinvestasikan. Hal ini dianggap menjadi sesuatu yang gagal diperhatikan oleh Smith
padahal beberapa pengusaha memiliki usaha, tetapi kenyataannya yang lebih sering terjadi
adalah mereka hanya memiliki saham, meminjam dari orang lain atau membentuk kemitraan.
Pengusaha kemudian menjadi manajer untuk orang lain dan mengambil risiko tambahan dalam
menggabungkan faktor-faktor tanah, tenaga kerja, dan modal. Ketika organisasi tumbuh,
pengusaha itu sendiri tidak dapat mengarahkan dan mengendalikan semua kegiatan, dan menjadi
perlu untuk mendelegasikan beberapa kegiatan ke tingkat sub-manajer. Sub-manajer ini adalah
manajer pertama yang tidak memiliki usaha atau bukan bagian dari usaha itu sendiri, digaji dan
bertanggung jawab untuk membuat keputusan dalam kerangka kebijakan yang lebih luas yang
ditetapkan oleh pengusaha.

Smith cukup banyak memberikan perhatian pada produktivitas tenaga kerja, ia


mengambil kesimpulan bahwa produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui apa yang
disebutnya dengan pembagian kerja (division of labour). Keunggulan ekonomis akan diperoleh
organisasi dari pembagian kerja (division of labour), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugas-
tugas yang spesifik dan berulang. Pembagian kerja akan mendorong spesialisasi, di mana orang
akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-
masing. Menurut Adam Smith, pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas dengan cara:
meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja, menghemat waktu yang terbuang
dalam pergantian tugas, serta menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat
tenaga kerja.

Menurut Smith, laju pertumbuhan penduduk dalam jangka panjang tergantung pada dana
yang tersedia untuk nafkah manusia, maka dapat dikatakan bahwa tingkat upah yang berlaku di
pasar merupakan faktor penentu penting dari ukuran populasi. Pasokan tenaga kerja biasanya
diharapkan seimbang dengan permintaan tenaga kerja. Adam Smith berpendapat bahwa insentif
moneter dapat membantu mengeluarkan atau mengoptimalkan potensi yang terbaik dari orang-
orang dan bahwa mereka akan bekerja lebih keras untuk mendapatkan insentif yang lebih
banyak.

Ada banyak versi terkait sejarah berkembangnya manajemen sumber daya manusia.
Namun sebagian besar literatur menyatakan bahwa, peristiwa penting kedua setelah munculnya
Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya, yang mempengaruhi perkembangan ilmu
manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya
penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan
produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut pabrik. Perpindahan ini
mengakibatkan manager-manager ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka
meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas
kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain,sehingga ilmu manajamen
mulai dikembangkan oleh para ahli. Era ini disebut juga sebagai Era Manajemen Personalia
(awal abad ke-19), era di mana muncul. seperangkat aktifitas sederhana untuk merekrut,
menempatkan, dan menggaji karyawan untuk memenuhi permintaan perusahaan akan sumber
daya manusia/tenaga kerja.

Pada tahun 1800, Robert Owen yang dijuluki sebagai Bapak Manajemen Personalia,
melakukan penelitian di pabrik pemintalan kapas di New Lanark, Skolandia, tempat dimana ia
bekerja sebagai manajernya. Dalam penelitiannya, ia menilai bahwa manusia memiliki banyak
persamaan dengan mesin, jika manusia dirawat secara baik dalam artian diberikan kompensasi,
tunjangan serta insentif yang lain secara berkesinambungan, maka produktivitas karyawan
tersebut dapat meningkat dan memberikan keuntungan kepada perusahaan. Selain itu, Owen
merasa bahwa karakter berkembang hanya jika lingkungan, baik secara material dan moralnya
benar. Untuk tujuan ini, ia menjadi lebih aktif secara politis sekitar tahun 1813 dan mengusulkan
pabrik untuk melarang mempekerjakan anak di bawah sepuluh tahun dan membatasi pekerjaan
hingga sepuluh jam per hari tanpa kerja malam untuk anak-anak. Setelah banyak intrik politik,
undang-undang tersebut menjadi undang-undang pada tahun 1819, tetapi alih-alih berlaku untuk
semua pabrik, undang-undang ini hanya berlaku untuk pabrik kapas dan menetapkan batas usia
sembilan dan bukan sepuluh.

Charles Babbage (1792 – 1871) juga menjadi salah satu tokoh yang menaruh perhatian
dalam hal pembagian kerja, yang mempunyai beberapa keunggulan, yaitu; waktu yang
diperlukan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang baru, banyaknya waktu yang
terbuang bila seseorang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan orang tersebut harus
menyesuaikan kembali pada pekerjaan barunya sehingga kan menghambat kemajuan dan
ketrampilan kerja, untuk itu diperlukan spesialisasi daam pekerjaannya, kecakapan dan keahlian
seseorang bertambah karena seorang pekerja bekerja terus menerus dalam bidangnya, adanya
perhatian pada pekerjaannya sehingga dapat meresapi alat-alatnya karena perhatiannya terfokus
pada bidang pekerjaannya. Kontribusi lain dari Babbage, antara lain menciptakan kalkulator
mekanis yang pertama, mengembangkan kerjasama saling menguntungkan antara pekerja dan
pemilik perusahaan, membuat skema perencanaan pembagian keuntungan.

Frederick W. Taylor (1856-1915) yang dikenal sebagai “Bapak manajemen Ilmiah”


dalam sebuah diskusi dengan Nels P. Alifas, mewakili Departemen Perdagangan Logam
Federasi Buruh Amerika, Taylor mempresentasikan kasus untuk studi waktu, meningkatkan
metode kerja, dan memberi penghargaan kepada pekerja berdasarkan hasil. Menurut Taylor,
pembagian keuntungan atau profit gagal karena ambisi pribadi yang tidak dicegah dengan
membiarkan semua orang berbagi keuntungan terlepas dari kontribusi mereka dan karena masih
asingnya system pemberian reward atau hadiah. Dalam mengenali kekurangan ini, Taylor
menunjukkan penghargaan terhadap apa yang sekarang dikenal sebagai prinsip kedekatan
temporal, yaitu pentingnya waktu antara stimulus dan respons dalam perilaku pengkondisian,
dan mencerminkan pandangan Taylor bahwa pembagian keuntungan atau profit pada akhir tahun
dengan memberikan sedikit insentif dapat meningkatkan kinerja harian.

Sistem upah per satuan, jauh sebelum masa Taylor, berupaya mendorong produktivitas
individu dengan membayar pekerja berdasarkan hasil mereka, tetapi sistem seperti itu pada
umumnya gagal; standar sering kali ditetapkan dengan buruk, pengusaha memotong tingkat upah
karena peningkatan output menjadi norma, dan pekerja menyembunyikan metode pintas mereka
untuk membuat manajemen tidak tahu seberapa cepat pekerjaan dapat dilakukan. Tidak
mengherankan, para pekerja mengembangkan konsensus tentang berapa banyak yang masing-
masing harus hasilkan, tidak hanya untuk melindungi diri mereka sendiri tetapi juga untuk
menghindari sanksi terhadap yang kurang mampu. Manajemen tampaknya tidak menyadari
inefisiensi yang dihasilkan. Selain itu, Gaji didasarkan pada kehadiran dan posisi, bukan usaha.
Bekerja lebih keras tidak membuahkan hasil dan, karenanya, para pekerja sebenarnya didorong
untuk menjadi malas.

Henry Gantt yang pernah bekerja bersama Taylor menggagas ide bahwa seharusnya
seorang mandor mampu memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin
(industrious) & kooperatif. Grant sangat mendukung gagasan bahwa dalam semua urusan
manajemen, elemen manusia harus merupakan hal yang sangat penting. Ia juga mendesain
sebuah grafik untuk membantu manajemen yang disebut sebagai Gantt chart yang digunakan
untuk merancang & mengontrol pekerjaan. Selanjutnya, Gantt mengadaptasi gagasan seorang
kolega, EP Earle, untuk memberikan bonus kepada pengawas lini pertama bagi setiap pekerjanya
yang mencapai standar yang ditetapkan untuk pekerjaan mereka, ditambah bonus tambahan
berdasarkan bonus yang diperoleh dari para pekerja diawasi. Gantt memandang bonus tambahan
ini sebagai cara untuk mendorong penyelia untuk mengajar dan membantu pekerja meningkatkan
kinerja mereka. Gantt yakin bahwa kekuatan tidak bisa menjadi dasar untuk kepemimpinan.
Peningkatan produktivitas hanya bisa dicapai melalui pengetahuan. Seperti Taylor, Gantt
menghadapi lebih banyak perlawanan dari supervisor lini pertama yang peduli untuk melindungi
otoritas mereka daripada dari para pekerja yang mereka awasi. Untuk Gantt, semua komponen
dalam suatu perusahaan harus bekerja sama untuk mencapai kinerja yang efisien. Lebih lanjut, ia
merasa bahwa imbalan di tempat kerja harus didistribusikan secara adil sesuai dengan kontribusi
masing-masing peserta.

Frank menaruh perhatian pada upaya untuk memaksimalkan efisiensi. Dengan


memakasimalkan efisiensi maka produktivitas akan meningkat. Frank mengambil eksperimen
pada 18 gerakan tukang batu dalam menyusun batu bata, menurutnya setelah diamati, 18 gerakan
tersebut dapat diefisienkan menjadi tinggal 5 gerakan, dan efeknya justru meningkatkan
produktivitas sebesar 200 %. Frank melembagakan "daftar putih" yang dirancang untuk
memberikan hadiah bagi pria yang berkinerja baik. Dalam upaya untuk mengembangkan
keterampilan para pria yang bekerja untuknya, Frank mengembangkan plan ‘rencana tiga posisi’
dari promosi

Pada tahun 1853-1931, berawal dari pengamatannya, Harrington Emerson menyatakan


bahwa pemborosan dan ketidakefisienan adalah masalah-masalah besar dan merupakan penyakit
dalam sistem industri. Emerson kemudian mengemukakan 12 Prinsip Efisiensi, yaitu tujuan-
tujuan harus dirumuskan dengan jelas, kegiatan yang dilakukan harus masuk akal, adanya staf
yang cakap, disiplin, balas jasa yang adil, laporan-laporan yang terpercaya, segera, akurat, dan
konsisten, pemberian perintah, adanya standar dan jadwal atau agenda yang jelas, kondisi yang
distandardisasi, operasi yang distandardisasi, instruksi-instruksi praktis tertulis yang terstandar,
dan balas jasa efisiensi.

Kemudian pada akhir abad ke-20, dunia memasuki era manajemen sumber daya manusia
tradisional. Berakhirnya perang korea dan perang dunia ke-2, menandai perubahan yang
signifikan dalam sejarah perkembangan sejarah pengelolaan sumber daya manusia. Pada
generasi ini, ide-ide dan konsep hak asasi manusia dan juga aktualisasi diri menjadi bagian yang
tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan sumber daya manusia, hal ini berdampak kepada
semakin dilibatkannya pekerja dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, hal tersebut juga
mendorong untuk menggabungkan ide-ide pekerja menjadi bagian strategi dari jalannya
operasional perusahaan.

Abad ke-21 merupakan era stratejik manajemen sumber daya manusia. Adanya
perubahan zaman, ditambah semakin berkembangnya fenomena globalisasi dimana batas-batas
negara semakin berkurang, berimplikasi secara langsung terhadap perubahan lingkungan bisnis.
Pada era ini, sumber daya manusia yang dibutuhkan adalah yang memiliki kemampuan yang
terspesialisasi, dapat bekerja dalam tim dan melek teknologi. Selain itu, dewasa kini manajemen
sumber daya manusia menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam merumuskan strategi
organisasi untuk mencapai tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.

B. Reward - Kompensasi

Menurut David Guest (1999), ada empat kebijakan utama dalam MSDM, yaitu Employee
Influence, Human resource flow, Rewards systems, dan Work systems. Kebijakan lainnya
berkaitan dengan sistem penghargaan yang merupakan bagian utama organisasi dalam memberi
motivasi kepada para karyawannya guna memaksimalkan kerja dan proses pemekerjaan. Sistem
penghargaan (rewards systems) misalnya dapat berupa paket kompensasi yang terdiri dari
penggajian, pemberian bonus dan insentif serta berbagai bentuk kompensasi lainnya.

Pada dasarnya, manusia membutuhkan motivasi agar dapat terus berkembang seiring
dengan berjalannya waktu. Memotivasi karyawan di tempat kerja merupakan salah satu tugas
penting jajaran top manajemen agar karyawan dapat terus memberikan kontribusi terbaiknya
bagi perusahaan. Dengan bertumbuhnya motivasi di dalam diri karyawan, maka hal ini secara
tidak langsung akan meningkatkan kinerja karyawan dan akan berdampak pada kinerja
keseluruhan dari perusahaan dikarenakan sumber daya manusia merupakan faktor penting yang
mempengaruhi lingkungan perusahaan.

Menurut Dessler (2012) kompensasi karyawan merujuk kepada semua bentuk bayaran
atau hadiah bagi karyawan dan berasal dari pekerjaan mereka. Kompensasi karyawan memiliki
dua komponen utama, yaitu pembayaran langsung seperti dalam bentuk upah, gaji,
insentif, komisi, bonus dan pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti
asuransi dan liburan yang dibayar oleh pengusaha. Kompensasi non-finansial merupakan
kompensasi yang selain kompensasi moneter, ada cara lain bagi pemberi kerja untuk
memberikan nilai kepada karyawan mereka. Misalnya, pengembangan karir dan peluang
pelatihan dapat dimasukkan dalam kategori ini. Fasilitas tambahan seperti peluang pengakuan
dan keseimbangan kerja / hidup juga bisa jatuh di bawah kompensasi non-finansial.
Kompensasi, menurut Dessler, biasanya tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan,
pekerjaan, dan tingkat pendidikan, bahaya keselamatan, tingkat tanggung jawab, dan faktor
lainnya yang dinilai melalui analisis pekerjaan. Tujuan dasarnya adalah untuk menarik,
memotivasi, dan mempertahankan karyawan yang baik. Rencana kompensasi harus terlebih
dahulu memajukan tujuan strategis perusahaan, manajemen harus menghasilkan strategi
penghargaan yang selaras. Ini berarti menciptakan paket kompensasi termasuk upah, insentif,
dan manfaat yang menghasilkan perilaku karyawan yang diperlukan perusahaan untuk
mendukung dan mencapai strategi kompetitifnya.

Sedangkan menurut Armstrong (2006), manajemen kompensasi adalah salah satu pilar
utama manajemen sumber daya manusia (SDM). Ini berkaitan dengan perumusan dan
implementasi strategi dan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada orang
secara adil dan konsisten sesuai dengan nilai mereka kepada organisasi. Manajemen kompensasi
adalah bagian integral dari pendekatan manajemen sumber daya manusia untuk mengelola orang
dan karena itu mendukung pencapaian tujuan bisnis dan strategis dalam arti bahwa itu
menangani masalah jangka panjang yang berkaitan dengan bagaimana orang harus dinilai untuk
apa yang ingin mereka capai. Manajemen kompensasi adalah semua tentang mengembangkan
hubungan kerja yang positif dan kontrak psikologis yang mengadopsi pendekatan kompensasi
total yang mengakui bahwa ada sejumlah cara di mana orang dapat diberi kompensasi.

Dessler mengacu pada kompensasi tidak langsung sebagai pembayaran tidak langsung,
baik finansial dan non-finansial yang diterima karyawan untuk melanjutkan pekerjaan mereka
dengan perusahaan yang merupakan bagian penting dari kompensasi setiap karyawan. Istilah lain
seperti tunjangan tambahan, layanan karyawan, kompensasi tambahan dan pembayaran
tambahan digunakan. Sedangkan, Armstrong mengatakan kompensasi tidak langsung atau
tunjangan karyawan adalah elemen remunerasi yang diberikan di samping berbagai bentuk
pembayaran tunai. Itu juga termasuk barang-barang yang tidak sepenuhnya dibayar seperti
liburan tahunan.

Menurut Touana & Puspitasari (2017) jenis-jenis kompensasi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok:
a. Kompensasi dalam bentuk finansial. Kompensasi dalam bentuk finansial dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara langsung seperti gaji, upah, komisi, dan
bonus.
2. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara tidak langsung, seperti asuransi kesehatan,
tunjangan pensiun, tunjangan hari raya, tunjangan perumahan, tunjangan pendidikan dan
lain sebagainya.
b. Kompensasi dalam bentuk non-finansial. Kompensasi dalam bentuk non-finansial dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Berhubungan dengan pekerjaan, seperti kebijakan perusahaan yang sehat, pekerjaan yang
sesuai (menarik, menantang), peluang untuk dipromosikan naik jabatan.
2. Berhubungan dengan lingkungan kerja, seperti ditempatkan dilingkungan kerja
yangkondusif dan fasilitas kerja yang baik.
Victor Vroom (dalam McGrath dan Bates dalam bukunya yang berjudul The Little Book
Of Big Management Theories, 2017:66) mengemukakan bahwa seorang individu akan
mempunyai pemikiran berdasarkan kepada keyakinannya (expectation/ekspektasi) bahwa suatu
tindakan tertentu yang ia lakukan akan memberikan dampak positif berupa nilai yang akan ia
dapatkan (valence/nilai) setelah melakukan tindakan tersebut dengan baik
(instrumentality/perantara). Hal ini disampaikannya melalui teori motivasi dan harapan di dalam
rumus matematis sebagai berikut.
Motivasi = Nilai × Harapan × Perantara

Dilihat dari rumus tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan jika salah satu dari ketiga
faktor yang menjadi penentu terdapat angka nol, maka bisa dipastikan hasil dari perhitungan
(motivasi) juga akan menunjukkan angka nol. Untuk penjelasan lebih jelas dapat dilihat pada
bagan di bawah ini:

Motivasi

Nilai Harapan Perantara


Mengukur nilai individu
Mengukur suatu Mengukur besarnya
terkait yang akan
keyakinan atau harapan pengharapan seorang
diberikan sebuah reward.
yang dimiliki individu individu bahwa jajaran
Nilai disini dapat bersifat
terkait dengan kinerja manajer atau perusahaan
ekstrinsik/faktor dari luar
yang ia lakukan agar bisa akan mengirimkan
(contoh: uang, promosi
mendapatkan hasil sesuai imbalan sesuai dengan
jabatan atau liburan) atau
dengan yang diharapkan. yang dijanjikan apabila
intrinsik/faktor dari
Hal ini murni didapatkan individu terkait telah
dalam (dorongan untuk
dari keyakinan suatu berhasil memenuhi
mendapatkan sebuah
individu terhadap dirinya kinerja yang diharapkan
prestasi).
sendiri. perusahaan.

Selain teori yang dikemukakan oleh Victor Vroom tentang bagaimana menilai suatu
motivasi dari seorang karyawan, terdapat teori yang sebelumnya telah dikemukakan oleh
Frederick Herzberg. Frederick Irving Herzberg (1923-2000) merupakan seorang psikolog asal
Amerika Serikat. Beliau dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan
teori motivasi. Frederick Herzberg mengemukakan Teori Dua Faktor (juga dikenal sebagai teori
motivasi Herzberg atau teori hygiene-motivator) dalam menentukan faktor yang menyebabkan
kepuasan dan ketidakpuasan dalam bekerja pada seorang individu. Frederick Herzberg (dalam
McGrath dan Bates, 2017:62) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penentu di
tempat kerja yang menyebabkan kepuasan kerja, sementara di sisi satunya terdapat pula faktor
lain yang menyebabkan ketidakpuasan dalam bekerja. Dengan kata lain kepuasan dan
ketidakpuasan kerja saling erat kaitannya antar satu dengan yang lainnya.

Teori Dua-Faktor menyiratkan bahwa manajer harus fokus untuk menjamin kecukupan
faktor hygiene (faktor kesehatan) guna menghindari ketidakpuasan karyawan. Juga, manajer
harus memastikan bahwa pekerjaan sebagai perangsang dan bermanfaat sehingga karyawan
termotivasi untuk bekerja dan melakukannya lebih keras dan lebih baik. Teori ini menekankan
pada kerja pengayaan sehingga memotivasi karyawan. Pekerjaan harus memanfaatkan
keterampilan karyawan dan kompetensi mereka secara maksimal. Berfokus pada faktor-faktor
motivasi dapat meningkatkan kerja berkualitas.

Faktor-faktor tertentu di tempat kerja tersebut oleh Frederick Herzberg diidentifikasi


sebagai hygiene factors (faktor kesehatan) dan motivation factors (faktor pemuas). Dua faktor ini
oleh Frederick Herzberg dialamatkan kepada faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik, dimana faktor
intrinsik adalah faktor yang mendorong karyawan termotivasi, yaitu daya dorong yang timbul
dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari
luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Teori ini merupakan
pengembangan dari teori hirarki kebutuhan Maslow. Dan juga berhubungan erat dengan teori
tiga faktor sosial McClelland.

Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah faktor-faktor dalam pekerjaan yang penting


untuk ditumbuhkan sebuah motivasi di tempat kerja. Menurut Herzberg, faktor kesehatan tidak
dapat mendorong minat para karyawan untuk melakukan kinerja dengan baik, akan tetapi jika
faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan karyawan dalam berbagai hal seperti pada
misalnya gaji yang tidak memadai, kondisi kerja yang kurang menyenangkan, maka faktor-faktor
tersebut dapat menjadi sumber ketidakpuasan yang potensial (Cushway & Lodge, 1995:139).
Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai
dissatisfiers’ atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari
ketidakpuasan. Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah gambaran kebutuhan fisiologis suatu
individu yang diharapkan untuk dipenuhi oleh perusahan tempat dia bekerja. Hygiene
factors (faktor kesehatan) dapat meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi
kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan.
Namun menurut Herzberg, hygiene factors (faktor kesehatan) tidak dapat dianggap
sebagai motivator seorang individu dalam bekerja. Hal ini disebabkan karena faktor motivasi
harus menghasilkan kepuasan yang berbentuk positif. Faktor-faktor yang melekat dalam
pekerjaan dan memotivasi karyawan dapat menghasilkan kualitas kinerja yang unggul disebut
sebagai faktor pemuas. Karyawan hanya menemukan faktor-faktor intrinsik yang berharga
pada motivation factors (faktor pemuas). Faktor pemuas merupakan faktor-faktor yang
mendorong semangat dan motivasi karyawan guna mencapai kinerja yang lebih baik. Jadi
pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk
menghasilkan kinerja yang baik jika dibandingkan dengan faktor pemuasan untuk kebutuhan
lebih rendah (hygienis) Para motivator melambangkan kebutuhan psikologis yang dirasakan
sebagai manfaat tambahan. Faktor motivasi ini biasanya akan dikaitkan dengan isi pekerjaan
yang mencakup keberhasilan, pengakuan, pekerjaan yang menantang, peningkatan dan
pertumbuhan dalam pekerjaan.

Teori Herzberg ini mendapat kritikan dari para ahli. Hal ini dikarenakan didalam teori
Herzberg, uang dan gaji tidak masuk di dalam faktor yang memotivasi karyawan, dan teori ini
mengabaikan pekerja kerah biru. Pekerjaan kerah biru seringkali dilakukan oleh mereka bukan
karena faktor intrinsik yang akan mereka peroleh dari pekerjaan itu, akan tetapi dikarenakan
pekerjaan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Teori dua faktor juga memiliki keterbatasan lain yaitu terdapatnya variabel situasional.
Herzberg mengasumsikan adanya korelasi di antara kepuasan dan produktivitas dari suatu
individu. Namun penelitian yang dilakukan oleh Herzberg menekankan pada kepuasan seorang
individu dan terkesan mengabaikan produktivitas dari kinerja individu tersebut. Tidak ada
analisa ukuran komprehensif terhadap faktor kepuasan yang digunakan di dalam teori tersebut.
Contohnya seorang karyawan mungkin dapat menemukan pekerjaannya dapat dilakukan dengan
benar meskipun pada faktanya mungkin ia membenci obyek pekerjaannya tersebut.

Menurut para ahli, teori dua faktor juga tidak bebas dari bias dikarenakan teori tersebut
didasarkan pada reaksi alami dari karyawan ketika mereka diberikan pertanyaan tentang sumber
kepuasan dan ketidakpuasan di tempat kerja mereka. Ketika diberi pertanyaan seputar kepuasan
dan ketidakpuasan di tempat bekerja, maka otomatis mayoritas dari mereka akan menyalahkan
ketidakpuasan kepada faktor-faktor eksternal seperti struktur gaji, kebijakan perusahaan dan
hubungan dengan karyawan lainnya, dan juga seorang karyawan tentunya subyektif dalam
menilai diri mereka sendiri untuk menilai faktor kepuasan kerja. Meskipun mendapatkan kritik,
namun demikian teori dua faktor Herzberg dapat diterima secara luas oleh para ahli.

C. Perkembangan Praktik Kompensasi di Era Awal 2000an & Era Masa Kini

Penelitian mengenai kompensasi telah menjadi daya tarik selama dua dekade ini.
Sebagian besar kompensasi yang diteliti adalah kompensasi yang berkaitan dengan kompensasi
finansial. Salah satu penelitian terkait kompensasi finansial di awal 2000-an tepatnya di tahun
2002 dilakukan di negara berkembang, yaitu China dan Hongkong. Penelitian yang dilakukan
oleh Randy K. Chiu dan Vivienne Wai-Mei Luk ini diberi judul Retaining and Motivating
Employees: Compensation Preferences in Hong Kong and China. Tujuan utama dari penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi komponen-komponen dalam kompensasi yang saat itu
ditawarkan kepada para karyawan dan mengidentifikasi persepsi karyawan tentang komponen
kompensasi yang paling penting dalam mempertahankan dan memotivasi karyawan.

Penilitian ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang makin terintegrasi.
Hal ini telah mengakibatkan intensitas persaingan di pasar global. Untuk bisa bertahan di tengah
persaiangan yang luar biasa ini, organisasi harus bisa mengelola manajemennya dengan baik.
Berbagai bentuk kompensasi digunakan untuk menarik, mempertahankan dan memotivasi para
karyawannya untuk mencapai tujuan perusahaan. Penelitian ini berfokus pada konpensasi
finansial yang berwujud uang. Penelitian lebih jauh dilakukan untuk menemukan jawaban atas
beberapa hipotesis yang dibuat, yaitu “Karyawan Hongkong akan melihat pembayaran tunai
(seperti gaji pokok, bonus akhir tahun, dan upah jasa) merupakan komponen yang penting dalam
kompensasi mereka”, “Karyawan Hongkong akan mempertimbangkan penyediaan rumah
penting dalam mempertahankan karyawan namun tidak dalam memotivasi karyawan”, “Para
pekerja di China akan menganggap pembayaran secara tunai seperti gaji pokok, bonus akhir
tahun, dan upah jasa/bonus sebagai komponen terpenting dalam kompensasi mereka”, dan “Para
pekerja di China akan menganggap penyediaan rumah penting dan menjadi hal yang sangat
diinginkan untuk mempertahankan karyawan namun tidak untuk memotivasi mereka”
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua populasi. Pertama, populasi
yang ada di Hongkong yang terdiri dari karyawan dan mahasiswa di Hongkong, sedangkan
sample yang diambil berasal dari para anggota Chartered Institute of Bankers, Hongkong
Management Association, Hongkong Industrial Relations Association, Mahasiswa MBA (Master
of Business Administration) dari berbagai universitas yang ada di Hongkong. Kedua, populasi di
China yang terdiri dari Perusahaan Hongkong maupun asing yang bergerak di bidang manufaktur
atau retail dan beroperasi di RRC, sedangkan sample diambil dari karyawan organisasi dan
direktori bisnis, seperti Hongkong Industrial Relations Association, Hong Kong Manufacturers
Associations, Hong Kong Chinese Chamber of Commerce.

Kompensasi finansial yang terdiri dari 37 komponen yang kemudian dikelompokkan ke


dalam enam kategori utama, yaitu gaji pokok dan variabel, dana pensiun, asuransi, tunjangan
cuti, uang saku, dan manfaat sosial menjadi variabel independen dalam penelitian ini. Responden
diharuskan menilai 5 poin terpenting berdasarkan 37 komponen tersebut dalam mempertahankan
dan memotivasi karyawan.

Dari penelitian yang dilakukan di Hongkong ditemukan hasil yang menunjukkan bahwa
komponen dalam kompensasi yang paling sering ditawarkan adalah gaji pokok (93,7%),
kemudian diikuti dengan tunjangan cuti (97,1%), tunjangan cuti sakit (78,7%), bonus akhir tahun
(73,6%), cuti hamil (63,6%), tunjangan pendidikan (60,4%), tunjangan cuti nikah (58,8%),
perlindungan kesehatan atau asuransi (56,8%), tunjangan lembur (55,4%), dana cadangan iuran
(50,6%). Sedangkan komponen yang kurang popular antara lain skema tabungan atau investasi
(9,9%), fasilitas penitipan anak (5,5%), tunjangan pension janda/duda (1,4%). Kemudian lima
komponen yang dianggap paling penting untuk mempertahankan karyawan adalah gaji pokok,
upah jasa, bonus akhir tahun, cuti tahunan, dan pinjaman hipotek. Sedangkan komponen
kompensasi yang dianggap paling memotivasi karyawan adalah gaji pokok, upah jasa/bonus, dan
bonus akhir tahun. Sedangkan, penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa item
komponen kompensasion paling populer ditawarkan perusahaan kepada para karyawan lokal
yang berasal dari Cina adalah gaji pokok, bonus akhir tahun, tunjangan cuti, subsidi makanan,
upah lembur, penyediaan rumah. Sedangkan yang paling jarang diberikan atau ditawarkan adalah
tunjangan pensiun janda atau duda, dana cadangan non-kontribusi, tunjangan penatu, pakaian,
perlatan mandi, fasilitas penitipan anak, dan sekolah untuk anak-anak dari para karyawan.
Kemudian terkait 5 komponen kompensasi yang dianggap paling penting oleh para pekerja di
China menunjukkan bahwa ada tiga dari lima komponen utama kompensasi dapat digunakan,
baik untuk mempertahankan dan memotivasi dan ketiganya adalah gaji pokok, bonus jasa, dan
bonus akhir tahun merupakan tiga komponen utama yang dapat mempertahankan sekaligus
memotivasi karyawan. Sedangkan faktor komponen kompensasi ke empat dan ke lima dalam
mempertahankan karyawan adalah penyediaan rumah dan tunjangan tunai merupakan komponen
yang terpenting bagi para supervisor, dan bagi para karyawan manajemen tingkat bawah,
komponen yang penting untuk mempertahankan mereka adalah penyediaa rumah dan bonus
individu. Dalam memotivasi karyawan, komponen terpenting ke empat dan ke lima bagi para
supervisors adalah bonus individu dan penyediaan perumahan, sedangkan bagi karyawan tingkat
bawah, upah lembur dan bonus individu menjadi komponen kompensasi utama lainnya.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para pekerja di Hongkong dan
China memiliki mentalitas tunjangan tunai (cash mentality). Komponen kompensasi dengan
dasar tunjangan tunai atau uang menjadi komponen terpenting dalam mempertahankan dan
memotivasi karyawan baik itu di Hongkong maupun Cina. Di Hongkong untuk memotivasi para
pekerja, pembagian keuntungan dan cuti tahunan sangatlah penting, sedangkan bagi para pekerja
di Cina, komponen kompensasi yang dianggap paling penting oleh para pekerjanya adalah bonus
individu, penyediaan rumah, dan upah lembur. Perbedaan ini menunjukkan adanya kondisi
ekonomi dan budaya yang berbeda anatara China dan Hongkong. Orang orang yang berada di
Hongkong memiliki uang lebih banyak daripada orang orang yang berada di China. Para pekerja
Hongkong menganggap bahwa cuti tahunan lebih penting daripada para pekerja di China. Hal ini
menunjukan pernyataan yang diungkapkan oleh Tang & Baumeister (1984), Tang & West
(1997) bahwa semakin banyak uang yang dimiliki oleh seseorang, maka fokus perhatian mereka
pun berubah menjadi hal hal yang lebih berkaitan dengan kesenangan, bermain, konsumsi,
kepuasan akan kebutuhan atau keinginan yang lebih tinggi dalam lingkungan.

Sedangkan di era masa kini atau 2000an akhir (2010 -2019), di negara berkembang
lainnya, yaitu Vietnam, ada sebuah penelitian terkait kompensasi yang dilakukan oleh Tung
Thanh Do. Tung Thanh Do (2016) yang merupakan mahasiswa lulusan program studi
internasional administrasi bisnis, Universitas Nasional Vietnam melakukan sebuah penelitian di
negaranya, Vietnam. Penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari dampak dari empat
dimensi spiritualitas tempat kerja (keterikatan pada pekerjaan, koneksi atau hubungan spiritual,
pengalaman tersembunyi, dan rasa kebersamaan) yang dikaitkan dengan iklim tempat kerja dan
kompensasi atas kinerja yang dirasakan karyawan. Metode penelitiannya sendiri berupa kualitatif
dengan mennggunakan sistem wawancara yang melibatkan 207 karyawan dari rumah sakit
internasional sebagai sampelnya. Penelitian pendahuluan, penilaian penjualan, korelasi dan
regresi juga dilakukan dalam penulisan makalah ini. Hasil temuannya menunjukkan bahwa ada
hubungan yang kuat, positif dan signifikan antara spiritualitas tempat kerja (keterikatan terhadap
pekerjaan, rasa kebersamaan) dengan iklim tempat kerja, kompensasi dan kinerja pekerjaan yang
dirasakan. Batasan dari makalah ini adalah respondennya yang hanya berkaitan dengan orang-
orang di bidang layanan kesehatan. Oleh karena itu, Tung Thanh Do sangat merekomendasikan
agar penelitian lebih lanjut bisa dikelola ke dalam profesi dan bidang lainnya dengan pandangan
yang lebih luas dan dengan desain desain penelitian longitudinal.

Keberhasilan suatu perusahaan dikatakan bergantung pada banyak faktor yang bervariasi,
baik dari internal dan juga eksternal. Salah satu literatur yang digunakan sebagai landasan oleh
Tung Thanh Do adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ulrich. Ulrich (1998) mendukung
bahwa orang menjadi sumber daya saing yang menjadi keuntungan bagi sebagian besar
perusahaan, dan bahwa keunggulan kompetitif organisasi tidak lagi muncul dari produk dan
layanan mereka tetapi dari orang-orang mereka. Selain itu, upaya membangun tenaga kerja yang
termotivasi untuk meningkatkan produktivitas sangat penting bagi manajer di banyak perusahaan
belakangan ini. Di Vietnam sendiri karena banyaknya masalah di tempat kerja masih terjadi,
terlepas dari banyak penelitian dan perbaikan pada faktor-faktor yang disebutkan di atas,
memotivasi pekerja tampaknya merupakan kompleksitas yang ekstrem dan tantangan yang tidak
pernah berakhir. Ini berarti bahwa, alih-alih mencari motivator ekonomi yang terkenal,
perusahaan disarankan untuk mencari strategi alternatif untuk mempertahankan staf terbaik
mereka serta memperoleh keunggulan kompetitif (Ashmos dan Duchon, 2000).
Spiritualitas tempat kerja telah menjadi perhatian utama di tahun 1990-an (Case and
Gosling, 2007) dan telah memberi jalan bagi lebih dari 300 buku dan beberapa jurnal akademik
dari berbagai peneliti dan juga praktisi manajemen (Garcia-Zamor, 2003). Tempat spiritual yang
positif atau suasana hati karyawan dapat memicu peningkatan kinerja mereka (Shaw, 1999;
Ayranci, 2011) yang kemudian dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas perusahaan
(Milliman et al., 2003). Di Vietnam, hal ini tampaknya menjadi topik yang luar biasa dalam
manajemen dan sebagian besar masih belum diteliti sejauh ini. Selain itu, menurut Lichtman
(2007), sejumlah besar perhatian manajemen dalam 30 tahun terakhir telah difokuskan pada
iklim tempat kerja dan pengaruhnya terhadap kinerja karyawan. Rupanya, iklim tempat kerja
berasal dari persepsi karyawan, bersamaan dengan pemahaman mereka, menghasilkan karakter,
perilaku mereka dan efektivitas di tempat kerja (Ramazaninezhad et al., 2009). Selain dua
penentu kinerja karyawan non-finansial di atas, kompensasi tampaknya menjadi pendekatan
sistematis untuk memasok nilai moneter atau finansial bagi para pekerja dengan imbalan kinerja
kerja. Persepsi karyawan dalam ketentuan kompensasi dianggap sebagai dasar dari kinerja
pekerjaan (Ghazanfar et al., 2011).

Terkait kinerja dari pekerjaan itu sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Otley (1999),
kinerja dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan dan karyawan. Dalam penelitian ini, kinerja
perusahaan berada di luar ruang lingkup penelitian dan hanya kinerja pekerjaan karyawan
dipertimbangkan. Menurut Hunter (1986), prestasi kerja mengacu pada kemampuan untuk
memiliki hasil yang baik dan produktivitas yang tinggi dari karyawan itu sendiri. Demikian pula,
Bjarnadottir dan Campbell (2001) menganggap kinerja pekerjaan sebagai variabel tingkat
individu atau sesuatu yang dilakukan oleh satu orang. Tidak hanya dapat dirasakan, kinerja
pekerjaan menjadi penentu penting yang berkontribusi untuk meningkatkan hasil organisasi dan
perilaku serta sifat karyawan, Kinerja perusahaan juga digunakan sebagai strategi manajemen
sumber daya manusia melalui hasil dari penilaian dengan proses yang sistematis.

Markow dan Klenke (2005) menyatakan bahwa meskipun ada lebih dari 70 definisi
spiritualitas, tidak ada definisi tertentu yang diterima secara luas. Pelopor studi empiris Ashmos
dan Duchon (2000) mengusulkan spiritualitas di tempat kerja sebagai kesadaran bahwa
karyawan mengalami kehidupan batin yang perlu dipelihara dan diasuh sehingga menciptakan
pekerjaan yang terjadi dalam keadaan komunitas tersebut berarti. Tiga elemen yang termasuk di
dalamnya adalah kehidupan batin, pekerjaan yang bermakna, dan rasa koneksi dan komunitas.
Penelitian ini mengukur konsep tersebut pada pengalaman individu, unit kerja dan tingkat
organisasi. Giacalone dan Jurkiewicz (2003) mendefinisikan kembali spiritualitas tempat kerja
sebagai kerangka kerja yang berasal dari nilai-nilai perusahaan yang ditampilkan dalam budaya
yang mendorong pengalaman transenden individu melalui prosedur kerja, membantu
menciptakan perasaan orang-orang terkait dengan orang lain secara menyenangkan. Tiga
komponen inti terdiri dari pekerjaan yang bermakna, rasa kebersamaan, dan keselarasan
organisasi dengan nilai-nilai dan misi, yang diakses di tingkat individu. Kemudian, Sheep (2004)
datang dengan konvergensi konseptual Spiritualitas Tempat Kerja, Person - Organization Fit
(WSP-OF), terdiri dari empat tema utama, yaitu makna dalam pekerjaan, transendensi diri,
integrasi dengan tempat kerja; dan pengembangan diri batin seseorang di tempat kerja.
Spiritualitas tempat kerja dalam pekerjaan Domba diukur bukan hanya pada seberapa sikap /
harapan individu terhadap semangat di tempat kerja tetapi juga seberapa baik perusahaan
memfasilitasi harapan ini. Kinjerski dan Skrypnek (2004) merekonstruksi spiritualitas tempat
kerja menjadi "semangat di tempat kerja", menganggapnya sebagai "keadaan berbeda yang
ditandai dengan dimensi fisik, afektif, kognitif, interpersonal, spiritual, dan tersembunya.” Pada
tahun 2006, mereka mendefinisikannya menjadi empat elemen, yaitu pekerjaan yang menarik,
koneksi spiritual, rasa komunitas dan pengalaman tersembunyi atau implisit. Penelitian ini
mengadopsi konsep "semangat di tempat kerja" yang dikembangkan oleh Kinjerski dan
Skrypnek (2006) untuk mendefinisikan spiritualitas tempat kerja.

Pekerjaan yang menarik menurut Wrzesniewski (2003) berhubungan dengan tugas


kognitif dan pekerjaan yang bermakna yang membangun rasa sukacita, dengan demikian
menghubungkan karyawan dengan lebih baik. Singkatnya, pekerjaan yang menarik ditandai
dengan rasa kesejahteraan, gagasan tentang keterlibatan individu untuk berkatya dan bermakna
yang membuat mereka memiliki tujuan lebih tinggi, pencerahan nilai-nilai keyakinan kerja
seseorang, keselarasan, dan perasaan menjadi otentik (Kinjerski dan Skrypnek, 2006a). Bahkan,
Mitroff dan Denton (1999) juga berpendapat bahwa perusahaan yang pekerjaannya memiliki
kebermaknaan yang lebih kuat dapat memberdayakan karyawan mereka untuk memamerkan
lebih banyak kreativitas dan fleksibilitas. Akibatnya, dalam temuan Reave (2005), semakin
banyak pekerjaan yang dianggap berharga, tampaknya lebih bermakna dan akibatnya
meningkatkan kinerja pekerjaan karyawan, dan komitmen mereka. Spiritualitas dapat membuat
karyawan merasakan pekerjaan yang lebih dalam dan bermakna dan memicu peningkatan
produktivitas dan kinerja mereka.

Spiritualitas memiliki kemiripan yang mencolok dengan “pengertian berbagi, kewajiban


bersama dan komitmen yang menghubungkan orang satu sama lain ”(Duchon dan Ploughman,
2005) dan “Dicirikan oleh perasaan terhubung dengan orang lain dan tujuan bersama” (Kinjerski
dan Skrypnek, 2006a). Ada berbagai peneliti memajukan gagasan hubungan antara rasa
komunitas dan kinerja pekerjaan. Milliman et al. (1999) menyampaikan bahwa kinerja dan
komitmen kerja yang lebih besar berasal dari rasa komunitas dan tujuan organisasi yang kuat.
Vanover (2014) melakukan penelitian tentang efek rasa komunitas pada kinerja pekerjaan
dengan temuan yang menyiratkan bahwa semakin tinggi skor komunitas yang didapatkan
seorang karyawan, semakin tinggi skor kinerja kerja yang ditampilkan.

Studi tentang kompensasi menjadi minat di antara para peneliti dalam dua dekade
terakhir. Kompensasi adalah “semua bentuk pengembalian finansial serta layanan dan manfaat
nyata karyawan menerima sebagai bagian dari hubungan kerja ”(Milkovich dan Newman, 2002).
Selain itu, menurut Christofferson dan King (2006), kompensasi dapat didefinisikan sebagai
“Bayaran yang diberikan oleh pemberi kerja kepada karyawan untuk layanan yang diberikan
(yaitu waktu, tenaga, dan ketrampilan)". Banyak peneliti dan praktisi telah menemukan arti dari
kompensasi dalam meningkatkan kinerja karyawan. Demikian pula, Huselid (1995) mencatat
bahwa satu peningkatan standar deviasi dalam kinerja karyawan setara dengan kira-kira 40
persen dari kompensasi karyawan. Tidak diragukan lagi, sistem kompensasi yang efektif dapat
memperkuat staf untuk bekerja lebih keras dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan
kinerja pekerjaan (Lai, 2011). Setelah karyawan puas dengan kompensasi yang ditawarkan,
motivasi mereka meningkat pada tingkat yang lebih tinggi, diikuti oleh perbaikan kinerja
pekerjaan mereka. Secara umum, ada hubungan yang signifikan antara kompensasi dan kinerja
(Herzberg, 1968).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tung Thanh Do pada rumah sakit tersebut
menunjukkan bahwa organisasi telah membangun tempat kerja di mana sejumlah besar
karyawan dapat menemukan, merasakan bahwa pekerjaan mereka bermakna dan bertujuan serta
merasa bergairah, bersyukur dan cocok dengan pekerjaan yang mereka tanggung. Dengan
demikian, disarankan bagi pengusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kebermaknaan
pekerjaandi tempat kerja.

Penelitian menunjukkan bahwa rasa komunitas sangat mempengaruhi kinerja pekerjaan


yang dirasakan. Ini didukung oleh penelitian Miller (1992), Milliman et al. (1999) dan Vanover
(2014), yang menyampaikan bahwa rasa komunitas di tempat kerja meningkatkan pekerjaan
kinerja dan produktivitas. Pada kenyataannya, sehubungan dengan karakteristik rumah sakit,
yang sangat menghargai kerja sama antar personel, terutama dalam operasi dan perawatan lain,
karyawan di sini bisa mengalami rasa komunitas yang positif.

Hasil dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa iklim di tempat kerja memainkan
peran penting dalam kinerja pekerjaan yang dirasakan. Ini sejalan dengan beberapa penelitian
terdahulu, seperti Hansen dan Wernerfelt (1989) dan Ostroff dan Bowen (2000) yang
menunjukkan bahwa iklim yang diperoleh di organisasi berkorelasi dan meningkatkan kinerja
pekerjaan. Mempertahankan dan mempromosikan iklim kerja yang positif adalah yang paling
penting.

Sedangkan untuk hasil penelitian terkait kompensasi menunjukkan bahwa kompensasi


adalah faktor penting yang secara signifikan mempengaruhi persepsi kinerja oleh karyawan.
Hasil ini didukung oleh penelitian Herzberg (1968), yang menunjukkan bahwa kompensasi
mengarahkan dan menumbuhkan perilaku karyawan untuk mencapai tujuan dan kepuasan kerja,
sehingga meningkatkan kinerja kerja mereka. Selain itu, sistem pemberian kompensasi harus
dipertimbangkan dengan strategi yang relevan.

Berikut disampaikan table perbandingan atau perkembangan kompensasi di era awal


2000an (2000-2010) dan saat ini (2010 – 2019) yang disimpulkan dari kedua penelitian yang
telah dibahas di atas:

ITEM STUDI
TAHUN 2002 TAHUN 2016
Tujuan Mengidentifikasi komponen- Mempelajari dampak dari
komponen dalam kompensasi empat dimensi spiritualitas
yang saat itu ditawarkan tempat kerja (keterikatan
kepada para karyawan dan pada pekerjaan, koneksi atau
mengidentifikasi persepsi hubungan spiritual,
karyawan tentang komponen pengalaman tersembunyi,
kompensasi yang paling dan rasa kebersamaan) yang
penting dalam dikaitkan dengan iklim
mempertahankan dan tempat kerja dan kompensasi
memotivasi karyawan. atas kinerja yang dirasakan
karyawan
Hipotesis H1: Para pekeja Hongkong H1: Pekerjaan yang menarik
akan melihat pembayaran meningkatkan kinerja
tunai (seperti gaji pokok, pekerjaan
bonus akhir tahun, dan upah H2: Semakin tinggi mystical
jasa) merupakan komponen experience semakin tinggi
yang penting dalam pula kinerja yang dihasilkan.
kompensasi mereka. H3: Semakin baik sense of
H2: Para pekerja Hongkong community nya, semakin
akan mempertimbangkan tinggi kinerja yang dihasilkan
penyediaan rumah penting H4: Semakin baik iklim
dalam mempertahankan tempat kerja, semakin baik
karyawan namun tidak dalam kinerja yang dihasilkan
memotivasi karyawan. H5: Semakin baik
H3: Para pekerja di China kompensasi yang diberikan,
akan menganggap semakin baik pula kinerja
pembayaran secara tunai yang dihasilkan.
seperti gaji pokok, bonus
akhir tahun, dan upah
jasa/bonus sebagai
komponen terpenting dalam
kompensasi mereka.
H4: Para pekerja di China
akan menganggap
penyediaan rumah penting
dan menjadi hal yang sangat
diinginkan untuk
mempertahankan karyawan
namun tidak untuk
memotivasi mereka.

Populasi dan Sampel Populasi di Hongkong: Populasi:


Karyawan dan mahasiswa Rumah sakit internasional di
Vietnam
Sample:
Para anggota Chartered Sample:
Institute of Bankers, 270 karyawan rumah sakit
Hongkong Management internasional
Association, Hongkong
Industrial Relations
Association, Mahasiswa
MBA (Master of Business
Administration) dari berbagai
universitas yang ada di
Hongkong.

Populasi di China:
Perusahaan Hongkong
maupun asing yang bergerak
di bidang manufaktur atau
retail dan beroperasi di RRC.
Sample:
karyawan organisasi dan
direktori bisnis, seperti
Hongkong Industrial
Relations Association, Hong
Kong Manufacturers
Associations, Hong Kong
Chinese Chamber of
Commerce.
Variable Variabel: Kompensasi Variabel: engaging work,
finansial yang terdiri dari 35 mystical experience, sense of
komponen yang kemudian community, workplace
dikelompokkan ke dalam climate, dan kompensasi.
enam kategori utama, yaitu
gaji pokok dan variabel, dana
pensiun, asuransi, tunjangan
cuti, uang saku, dan manfaat
sosial.

Pengukuran Variabel Kuisioner survey yang dibagi 1. The Spirit at Work Scale
ke dalam 3 bagian: (SAWS)
1. Informasi demografi dari (18 items, a = 0.93) oleh
perusahaan yang Kinjerski & Skrypnek
berpartisipasi (2006a)
2. Total keseluruhan ada 37 2. Organizational Climate
komponen kompensasi yang Scale (CLIOR) (a = 0.94)
ditawarkan kepada karyawan dengan 15 item yang
masing-masing dalam tiga dikembangkan oleh Elsa,
tingkatan yang berbeda; dkk.
manajer, supervisor, dan 3. Praktik manajemen
karyawan tingkat bawah. kompensasi dengan 6 item
3. Lima item teratas (a=0.82) yang dikembangkan
mengenai persepsi efektivitas oleh Tessema & Soeters
mereka dalam (2006)
mempertahankan dan 4. Peningkatan kinerja diukur
memotivasi supervisor dan dengan 10 item evaluasi
karyawan tingkat bawah. kinerja yang dikembangkan
oleh by Wright et al. (1995)
(a = 0.90).
Alat Analisis Analisis statistic berdasarkan Analisis skala, korelasi, dan
varian dan standard deviasi regresi.
Hasil Pekerja di Hongkong dan Aspek spiritualitas tempat
China memiliki mentalitas kerja (work engagement,
tunjangan tunai (cash sense of community, mystical
mentality). Komponen experience, & spiritual
kompensasi dengan dasar connection) yang dikaitkan
tunjangan tunai atau uang dengan iklim tempat kerja
menjadi komponen dan kompensasi atas kinerja
terpenting dalam merupakan faktor-faktor
mempertahankan dan internal yang sangan
memotivasi karyawan baik berdampak signifikan pada
itu di Hongkong maupun kinerja para karyawan dan
Cina. Di Hongkong untuk harus lebih diperhatikan serta
memotivasi para pekerja, ditingkat dengan penerapan
pembagian keuntungan dan strategi yang relevan.
cuti tahunan sangatlah
penting, sedangkan bagi para
pekerja di Cina, komponen
kompensasi yang dianggap
paling penting oleh para
pekerjanya adalah bonus
individu, penyediaan rumah,
dan upah lembur. Perbedaan
ini menunjukkan adanya
kondisi ekonomi dan budaya
yang berbeda anatara China
dan Hongkong. Para pekerja
Hongkong menganggap
bahwa cuti tahunan lebih
penting daripada para pekerja
di China. Hal ini dikarenakan
orang orang yang berada di
Hongkong memiliki uang
lebih banyak daripada orang
orang yang berada di China
sehingga mereka lebih
memiliki waktu luang untuk
hal hal yang sifatnya
bersenang senang atau
konsumtif.
Perkembangan Sejak awal tahun 2000-an hingga kini, penerapan reward
dengan sistem kompensasi secara finansial dalam manajemen
sumber daya manusia telah marak, bahkan di negara negara
berkembang. Keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa
kompensasi dapat meningkatkan kinerja yang dicapai oleh
para karyawannya. Namun, penelitian pada awal 2000-an
lebih menekankan hanya pada faktor secara finansial atau
tunjangan berbentuk materi, sedangkan di era akhir 2000-an
ini, penelitian menunjukkan bahwa kompensasi bukanlah
faktor internal satu satunya yang berpengaruh pada kinerja
karyawan. Faktor-faktor internal lain yang juga berpengaruh
pada kinerja karyawan adala spiritualitas dan iklim di tempat
kera.
Seperti yang disampaikan pada uraian literatur di awal diskusi, bentuk dari kompensasi
terbagi menjadi dua, yaitu finansial dan non-finansial. Penerapan kompensasi non-finansial
sendiri bisa berupa penerapan sistem K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Dalam hal itu
menurut Ferika Özer Sarıa (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Effects of employee
trainings on the occupational safety and health in accommodation sector menjelaskan bahwa
menyelenggarakan pelatihan pegawai dan menjaga keselamatan dan kesehatan kerja adalah
fungsi utama departemen manajemen sumber daya manusia serta pengaruh pelatihan karyawan
pada keselamatan dan kesehatan kerja telah dipelajari oleh analisis terapan untuk melihat
pendekatan dan praktik sektor akomodasi.
Kegiatan-kegiatan pelatihan yang direncanakan menyebabkan karyawan memiliki sikap
yang sesuai, berfungsi juga untuk menjaga keselamatan dan kesehatan mereka. Pelatihan reguler
dianggap sebagai fungsi yang berfungsi baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
dan kinerja karyawan serta melindungi kesehatan fisik dan spiritual mereka. Penelitian ini
dilakukan untuk memahami kontribusi pelatihan karyawan terhadap perlindungan kesehatan fisik
dan spiritual mereka di sektor akomodasi.
Karyawan penyedia akomodasi juga menghabiskan sebagian besar hari dengan berurusan
pada pekerjaan mereka. Ini menghasilkan beberapa masalah yang membahayakan keselamatan
dan kesehatan mereka. Untuk memberikan keselamatan dan kesehatan kerja, pertama-tama perlu
untuk memperoleh mengetahui hal seperti kecelakaan kerja, penyakit kerja dan stres kerja.
Pelatihan karyawan merupakan salah satu cara paling efektif dalam memberikan
keselamatan & kesehatan mereka didalam kehidupan bisnis maka dari itu pelatihan harus
diberikan. Pelatihan-pelatihan ini harus dimulai pada hari mereka direkrut karena memperoleh
informasi yang diperlukan tentang bagaimana melakukan pekerjaan akan mengurangi risiko
kecelakaan. Pelatihan teknis tentang keselamatan & kesehatan yang harus diberikan perusahaan
jelas berubah sesuai dengan sektor tempat mereka beroperasi.
Beberapa jenis pelatihan yang bertujuan melindungi keselamatan & kesehatan para
karyawan dan yang dapat diterapkan di banyak perusahaan yaitu seperti, Orientasi Pekerjaan,
Kebersihan Umum dan Pribadi, Pertolongan pertama, Latihan Kebakaran, Penggunaan Bahan
Pelindung Pribadi, Penanganan Manual, Mengatasi Stres. Dalam penelitian ini sumber data
terdiri dari tiga perusahaan akomodasi yang terkait dengan dua fungsi penting yang diambil
sebagai dasar dalam penelitian dan satu perusahaan konsultan pendidikan dan pelatihan yang
berspesialisasi dalam keselamatan & kesehatan kerja. Data dalam penelitian ini dikumpulkan
menggunakan teknik percakapan yang semi-terstruktur dan yang tidak memandu.

Konsep yang diajarkan dalam penelitian ini yaitu para pekerja harus melindungi
keselamatan & kesehatan mereka sendiri dan penekanan perlunya pendidikan dasar terkait
keselamatan. Tujuan diselenggarakan pelatihan karyawan adalah untuk membuat karyawan
mempelajari fakta-fakta perusahaan dan mengajari mereka aturan umum, memberikan kepuasan
tamu, memberikan pengetahuan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, untuk
menghilangkan kemungkinan cacat di tempat kerja. Dalam konteks keselamatan keselamatan &
kesehatan kerja, pelatihan dilakukan tentang penggunaan bahan pelindung pribadi, seperti
kacamata, masker debu, headphone, dan sarung tangan.

Hasil dalam penelitian ini menyebutkan bahwa penting untuk mewujudkan program
pelatihan. Dalam hal ini kita harus yakin bahwa itu diajarkan kepada karyawan untuk
menciptakan perubahan dalam sikap. Dijelaskan juga bahwa karyawan harus dilatih mengenai
keselamatan & kesehatan kerja. Tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka lebih sensitif
dalam melindungi kesehatan mereka sendiri. Program pelatihan sistematis yang disiapkan untuk
karyawan di tempat kerja mereka sendiri akan menjadi langkah yang tepat untuk tujuan ini dan
langkah-langkah ini akan mengarahkan kita untuk membentuk karyawan yang lebih sehat dan
masyarakat yang lebih sehat.

Sedangkan disisi lain menurut Howar Quartey (2017) dalam penelitiannya yang berjudul
Examining employees’ safety behaviours: an industry-level investigation from Ghana
menjelaskan bahwa perilaku keselamatan karyawan merupakan salah satu faktor penting terkait
kepatuhan dan partipasi dari sikap pekerja terhadap keselamatan mereka ditempat kerja.
Pandangan keselamatan digambarkan sebagai seperangkat harapan atau keinginan yang koheren
yang dipunyai oleh masing-masing karyawan terkait keamanan. Perilaku keselamatan ditempat
kerja merupakan kunci kepatuhan dan keikutsertaan dari sikap karyawan terhadap keselamatan.
Penelitiannya sendiri menggunakan metodologi survey. Metode ini digunakan sebagai
pendekatan yang tepat. Secara total, 197 kuesioner yang valid diambil dari karyawan yang
bekerja di industri pabrik minuman. Kuesioner diproses untuk analisis kuantitatif untuk menguji
hipotesis. Analisis regresi dilakukan untuk menilai persepsi karyawan tentang perilaku
keselamatan mereka sendiri dan untuk menyelidiki dampak OC terhadap ESB. Frekuensi
deskriptif dan persentase digunakan untuk mengidentifikasi penentu ESB.
Perilaku keselamatan karyawan terdiri dari beberapa jenis yaitu, kepatuhan dan
partisipasi keselamatan karyawannya. Namun jika budaya mendukung bagaimana perilaku
karyawannya dan perilaku keselamatannya yang tersusun oleh keselamatan kepatuhan dan
partisipasi, maka dapat disarankan bahwa budaya dan perilaku keselamatan saling berkaitan satu
sama lain. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa perilaku keselamatan dapat dipengaruhi
oleh kepuasan pekerjaan, kepemimpinan keselamatan dan kondisi kerja yang aman.
Kewarganegaraan perilaku organisasi seperti keterlibatan komitmen, janji dan pengaruh pada
perilaku aman. Karyawan rentan dengan masalah keselamatan yang dimana nantinya dapat
menentukan cara mereka berperilaku dan merasakan keselamatan di tempat mereka bekerja.
Selain keterbatasan biaya atau keuangan, diyakini juga bahwa penyebab mayoritas masalah
keselamatan kerja karyawan dan bahaya industri manufaktur dapat dikaitkan dengan tidak
adanya budaya yang dipertimbangkan secara cermat.

Menurut temuan ini, para karyawan percaya bahwa organisasi yang aman itu penting
karena sangat memengaruhi keselamatan perilaku mereka. Selain itu, temuan-temuan ini lebih
lanjut menyoroti peran kepemimpinan dalam membentuk kebijakan dan praktik organisasi yang
relevan dalam mengelola ESB. Seperti yang dikemukakan oleh Schneider (1987), meskipun
struktur dan proses organisasi muncul dari kebutuhan sehari-hari, namun, bentuk dan isi dari
struktur dan proses tersebut dibentuk oleh pendiri. Dapat disimpulkan bahwa pemberian
kompensasi yang bisa menjamin dan menjaga keselamatan dan kesehatan kerja bagi para
karyawan adalah hal yang penting untuk memotivasi dan meningkatkan kinerja pekerjaan
mereka.

Berikut dilampirkan tabel perkembangan K3(Keselamatan dan Kesehatan Kerja)


berdasarkan jurnal-jurnal yang terindeks internasional dari tahun 2009 dan 2017.

ITEM STUDI
TAHUN 2009 TAHUN 2017
Tujuan Pengaruh Pelatihan Untuk menguji perilaku
Karyawan pada Keselamatan keselamatan karyawan (ESB)
dan Kesehatan Kerja telah dalam minuman industri
dipelajari oleh analisis minuman manufaktur.
terapan untuk melihat
pendekatan dan praktik
sektor akomodasi.
Hipotesis H1 : Diduga pelatihan H1: Diduga persepsi
karyawan memiliki efek yang karyawan tentang perilaku
sangat positif pada keselamatan kerja memiliki
keselamatan dan kesehatan pengaruh yang positif.
kerja. H2: Diduga OC memiliki
H2 : Diduga program dampak positif yang kuat
pelatihan potensial seperti pada ESB.
risiko kecelakaan dan H3: Diduga kondisi kerja
penyakit akibat kerja tidak yang aman, kepuasan kerja
dapat dihindari. dan kepemimpinan
organisasi sebagai penentu
utama organisasi perilaku
keselamatan di antara para
karyawan
Populasi dan Sampel Populasi : perusahaan Populasi : Perusahaan dalam
akomodasi, perusahaan industri manufaktur
konsultan pendidikan dan minuman (karyawan)
pelatihan yang berspesialisasi Sampel : Empat perusahaan
dalam keselamatan & dalam industri manufaktur
kesehatan kerja di Izmir, minuman, (400 karyawan)
Turkey
Sampel : 3 perusahaan
akomodasi, 1 perusahaan
konsultan pendidikan dan
pelatihan yang berspesialisasi
dalam keselamatan &
kesehatan kerja di Izmir,
Turkey
Variable dan Indikator Variabel : Variabel : Safety Behaviours
Pelatihan Karyawan
Keselamatan
Kesehatan Kerja

Pengukuran Variabel Teknik percakapan yang Skala Likert tujuh poin yang
semi-terstruktur berkisar dari 1= sangat
tidak setuju dengan 7 =
sangat setuju.
Alat Analisis Metode aplikasi Paket Statistik untuk Ilmu
Sosial (Versi 17)
Hasil Bahwa pelatihan karyawan Hasilnya menunjukkan
memiliki efek yang sangat bahwa persepsi karyawan
positif pada keselamatan dan tentang perilaku keselamatan
kesehatan kerja. Selain itu, mereka adalah positif. OC
telah dipahami bahwa dilaporkan memiliki dampak
beberapa program pelatihan positif yang kuat pada ESB.
potensial seperti risiko Kondisi kerja yang aman,
kecelakaan dan penyakit kepuasan kerja dan
akibat kerja tidak dapat kepemimpinan organisasi
dihindari. diidentifikasi sebagai
penentu utama organisasi
perilaku keselamatan di
antara para karyawan.
Perkembangan Pada tahun 2009 dilakukan penelitian yang menguji bahwa
Pelatihan Karyawan pada Keselamatan dan Kesehatan Kerja
itu penting bagi suatu organisasi atau perusahaan, banyak
kesadaran terkait pentingnya melakukan pelatihan karyawan
untuk mengurangi kejadian kecelakaan dalam kerja. Dan
disadari juga bahwa meskipun sudah melakukan pelatihan
karyawan tetapi kecelakaaan kerja dan penyakit memang
tidak dapat dihindarkan hanya saja dapat dikurangi. Dan pada
tahun 2017 ditemukan bahwa sekarang karyawan sudah
mulai sadar dengan keselamatan karyawan. Maka dari itu
adanya perilaku keselamatan karyawan dapat membuat
organisasi dan karyawannya lebih sadar terkait keselamatan
karyawan. perilaku keselamatan karyawan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti, kondisi kerja yang aman, kepuasan
kerja dan kepemimpinan organisasi yang diidentifikasi
sebagai penentu utama organisasi perilaku keselamatan di
antara para karyawan.

Didalam beberapa perusahaan, kompensasi dan benefit atau sering disingkat dengan
combem (compensation & benefit) merupakan salah satu aspek penting di dalam divisi HRD di
suatu perusahaan. Didalam kaitannya dalam memberikan kesejahteraan bagi karyawan, faktor
pemberian benefit/tunjangan yang efektif juga sama pentingnya dengan pemberian kompensasi
seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Benefit adalah tunjangan yang
diberikan di samping upah (kompensasi) yang biasanya berupa non tunai atau berupa fasilitas
seperti asuransi (jaminan sosial), kendaraan dinas, liburan, program pensiun, dan lain
sebagainya.

Kompensasi dan benefit yang sesuai dan kompetitif akan memberikan keuntungan bagi
perusahaan dan terlihat menarik di mata karyawan dan para pencari kerja. Karyawan yang
unggul di suatu perusahaan akan tetap berkarya dan bertahan bekerja, dan bagi mereka yang
belum atau masih kurang dalam kinerja, akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya.
Sehingga kompensasi dan benefit akan menstimulasi suatu situasi kerja yang kompetitif dan
menguntungkan dan tentunya akan berdampak langsung terhadap keberhasilan bagi perusahaan
dalam mencapai visi dan misinya.

Didalam penelitiannya yang berjudul Particularities of knowledge worker’s motivation


strategies in Romanian organizations, Todericiu, Serban, dan Dumitrascu (2013)
mengemukakan bahwa pengelolaan sumber daya manusia secara efektif dan tepat akan sangat
penting bagi suatu perusahaan atau organisasi yang menginginkan kemajuan dalam bisnisnya.
Penelitian yang dilakukan oleh mereka bertujuan untuk mencari faktor mayoritas yang mampu
meningkatkan motivasi pekerja yang mempunyai keterampilan di sebuah perusahaan di
Romania.

Beberapa faktor yang menjadi penentu peningkatan motivasi karyawan yang dibahas di
dalam penelitian ini adalah faktor kebebasan dalam perencanaan dalam bekerja (liberty of
planning the work), faktor jenis pekerjaan (type of works), faktor kondisi lingkungan pekerjaan
(working condition), faktor rekan/kolega (colleagues), faktor komunikasi yang baik dengan
atasan (good communication with top management), faktor gaji (salary), faktor pengakuan atas
prestasi yang dihasilkan (recognition of achievements by management), faktor benefit yang
didapatkan (benefits package), faktor kenaikan jabatan yang dilakukan perusahaan (promotion
opportunities), faktor pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan (training opportunities), faktor
kebijakan perusahaan (organization’s policy), dan faktor kurangnya pengontrolan oleh atasan
(low control).

Di dalam penelitiannya, peneliti menyebutkan bahwa faktor tunjangan/benefit merupakan


masalah yang sangat sensitif, hal ini dikarenakan apabila dilakukan penghapusan atau
pengurangan sebuah benefit yang diterima oleh karyawan, maka hal ini bisa merusak hubungan
diantara karyawan dan perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja karena menghapus atau
mengurangi benefit sama dengan mengurangi nilai dari upaya yang telah dilakukan oleh
karyawan tersebut. Jadi, sebuah benefit yang tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang
panjang akan lebih baik tidak ditawarkan sama sekali kepada karyawan karena hal ini hanya
akan menurunkan moral dari karyawan. Kepuasan karyawan dalam menerima benefit yang
ditawarkan perusahaan akan mencerminkan perbedaan diantara tingkat dan jumlah benefit yang
dimiliki oleh karyawan dan tingkat serta jumlah benefit yang seharusnya diterima oleh
karyawan.
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan metode survey dan persebaran kuesioner.
Sampel diambil dari 26 tenaga terampil di area Sibiu di Romania. Populasi sampel merupakan
pekerja terampil di masing-masing bidangnya di perusahaan mereka. Ke 26 karyawan tersebut
dipilih dari beberapa macam perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, pendidikan,
keuangan, budaya, layanan dan teknologi. Sekitar 57% dari total sampel yang berjumlah 26
orang tersebut bekerja pada sebuah perusahaan yang memiliki sumber daya manusia lebih dari
100 orang. Data dari hasil survey dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan secara
umum, pertanyaan dikembangkan di dalam kuesioner tersebut untuk memberikan informasi
mengenai: jenis motivasi yang digunakan oleh organisasi tempat mereka bekerja, tingkat
kepuasan yang mereka dapat dan keinginan mereka dengan adanya benefit yang ditawarkan oleh
perusahaan, intensitas pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan dan pembangunan tim yang
disediakan oleh perusahaan. Metode statistik yang sesuai akan digunakan untuk analisis data,
yang didukung dengan program SPSS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor stimulus yang memiliki pengaruh
terbesar terhadap adanya motivasi para tenaga kerja terampil yang menjadi sampel penelitian ini.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa faktor kebebasan dalam merencanakan pekerjaan
memiliki rata-rata tertinggi yaitu sebesar 4.27, diikuti oleh faktor jenis pekerjaan dengan rata-rata
sebesar 4.23, kemudian faktor kondisi lingkungan kerja dengan rata-rata sebesar 4.19 dan faktor
rekanan/kolega sebesar 4.12. Stimulus lain yang memiliki pengaruh pada karyawan terampil
yang menjadi sampel adalah faktor komunikasi yang baik dengan jajaran top manajemen dan
faktor gaji yang dihasilkan, yaitu dengan rata-rata yang sama sebesar 3.96. Variabel hasil yang
berupa gaji berbanding lurus dengan teori yang mengemukakan bahwa faktor finansial memiliki
peran penting dalam motivasi karyawan, namun dalam kasus pekerja yang memiliki
keterampilan, faktor finansial bukanlah yang paling penting dalam meningkatkan motivasi.
Faktor stimulus dengan dampak rata-rata pada adalah faktor pengakuan atas prestasi yang
dihasilkan (3.85) faktor benefit yang didapatkan (3.62), faktor peluang kenaikan jabatan (3.54),
faktor adanya peluang pelatihan (3.73) dan faktor kebijakan organisasi (3.15). Kelima variabel
yang disebutkan diatas mencapai rata-rata di atas 3 yang berarti bahwa faktor-faktor tersebut
bukan faktor netral ketika membahas motivasi karyawan dan perusahaan seharusnya
menginvestasikan lebih banyak sumber daya dalam menggunakan faktor-faktor tersebut sebagai
pendongkrak motivasi para karyawan. Rata-rata terendah (2.96) adalah untuk rendahnya tingkat
pengawasan yang dilakukan oleh atasan, hasil ini cukup mengejutkan mengingat bahwa secara
umum, karyawan tidak suka apabila selalu dipantau dan dikontrol.

Didalam penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang
memotivasi seorang karyawan didalam pekerjaannya. Dalam kasus karyawan yang memiliki
keterampilan, kebebasan dalam merencanakan pekerjanannya mempunyai makna lebih penting
dibandingkan dengan pendapatan maupun benefit atau fasilitas yang didapatkan oleh karyawan
tersebut. Namun secara garis besar, untuk era saat ini imbalan berupa faktor finansial masih
memiliki peran penting dalam memotivasi karyawan, namun para manajer tetap harus mencari
alternatif lainya yang terbaik untuk dapat memotivasi dan menginspirasi karyawan sebagai solusi
jika perusahaan sedang mengalami krisis keuangan. Dalam penelitian di atas, mayoritas pekerja
menginginkan kebebasan dalam mengerjakan sesuatu dan lingkungan kerja yang nyaman juga
merupakan salah satu faktor yang diinginkan pekerja. Oleh karena itu, strategi perusahaan dalam
menyediakan lingkungan kerja yang sesuai dengan masing-masing skill dari pekerja secara tidak
langsung dapat memotivasi mereka untuk menggunakan pengetahuan mereka dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.

Dewasa ini, banyak kasus disebabkan karena kurangnya interaksi di antara manajer dan
bawahan mereka, sehingga hal ini akan menciptakan situasi yang tidak menguntungkan bagi
perusahaan yang akan mempengaruhi keterlibatan karyawan, dan oleh karena itu seorang
manajer harus mampu membangun komunikasi pada tingkat informal untuk menciptakan ikatan
antara karyawan dan perusahaan, sehingga nantinya akan tercipta hubungan kerja yang bersifat
pribadi dan profesional, yang dibangun di atas kepercayaan masing-masing individunya. Seorang
manajer perlu mengetahui bakat yang dimiliki oleh masing-masing karyawannya, sehingga
nantinya manajer mampu menetapkan tujuan yang jelas dan metrik kinerja untuk setiap
karyawan, dan memberikan insentif dan penghargaan yang sesuai dengan motivasi masing-
masing individu.

Manajemen kompensasi (termasuk di dalamnya faktor-faktor pendukung seperti


pemberian tunjangan, asuransi, dll) mengalami perkembangan dari tahun ke tahun seiring dengan
bertambahnya tuntutan dari karyawan. Sebuah perusahaan harus mampu menyesuaikan
kemampuan finansial dan sumber daya yang dimiliki dengan keinginan para karyawan terhadap
adanya manajemen kompensasi yang disediakan perusahaan agar tercapai visi dan misi
perusahaan secara menyeluruh.

Dalam penelitiannya yang berjudul The strategic importance of motivational rewards for
lower-level employees in the manufacturing and retailing industries, Arnolds dan Venter (2007)
mengemukakan bahwa salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para manajer dalam
menjalankan strategi bisnis perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang diinginkan
adalah penggunaan teknik motivasi yang tepat dalam membangun komitmen karyawannya.
Namun pada penerapannya masih terdapat ketidak jelasan diantara faktor imbalan seperti apakah
yang mampu memotivasi para karyawan, sehingga terjadi kebimbangan diantara para jajaran
manajer dalam menentukan imbalan bagi karyawannya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arnolds dan Venter (2007), terdapat beberapa
faktor benefit dan imbalan yang digunakan dalam memotivasi karyawannya, khususnya bagi
buruh (blue-collar workers) dan karyawan (white-collar workers). Beberapa faktor yang
digunakan di dalam penelitian ini adalah faktor imbalan berupa finansial (financial reward,
seperti contohnya bonus atau insentif berdasarkan kinerja karyawan, tunjangan anak, tunjangan
pendidikan, dll), pengakuan diri dari dalam dan luar organisasi (social reward, seperti contohnya
piagam penghargaan, employee of the month, dll ), imbalan berupa desain karir (job design
reward, seperti contohnya mendapatkan wewenang dan kuasa tambahan, penjaminan keamanan
dalam bekerja, rotasi pekerjaan, pelibatan karyawan di dalam pengambilan keputusan penting,
perencanaan dan pengembangan karir, dll), imbalan yang dapat dikonsumsi (consumable
reward, seperti contohnya coffee break, makan siang gratis atau tersubsidi, company picnics,
makan malam keluarga yang disponsori oleh perusahaan, pesta yang diadakan perusahaan, dll),
imbalan berupa barang berharga (manipulatable reward, seperti contohnya perhiasan, pakaian,
rekomendasi untuk kenaikan jabatan, mobil dinas, penggunaan fasilitas perusahaan seperti gym
dan kolam renang, dll) dan imbalan melalui visual dan pendengaran karyawan (visual and
auditory reward, seperti contohnya memasang musik pada tempat bekerja, poster motivasi di
tempat kerja, dan penerbitan majalah perusahaan).

Dari beberapa faktor yang disebutkan tersebut maka dapat ditarik sebuah hipotesa yang
akan digunakan di dalam penelitian ini, dimana:
 H1: imbalan berupa pembayaran secara langsung (direct financial rewards yang
berupa pembayaran langsung, insentif, dan tunjangan) adalah faktor penting
dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih penting
daripada reward yang berupa pengakuan / social reward.

 H2: imbalan berupa pembayaran secara tidak langsung (indirect financial


rewards atau yang biasa disebut dengan fringe benefits) adalah faktor penting
dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih penting
daripada imbalan yang berupa pengakuan/social reward dan imbalan yang berupa
pembayaran secara langsung (direct financial rewards).

 H3: imbalan berupa pengakuan (social reward) adalah faktor paling penting
dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah.

 H4: imbalan berupa wewenang dan otoritas (job design reward) adalah faktor
penting dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih
penting daripada imbalan yang berupa pengakuan/social reward dan imbalan
yang berupa pembayaran (financial rewards).

 H5: imbalan yang dapat dikonsumsi (consumable reward) adalah faktor yang
memiliki pengaruh paling kecil didalam memotivasi kinerja karyawan kelas
bawah.

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah 367 karyawan tingkat bawah (white
and blue collar workers) yang diambil dari 22 perusahaan bisnis di distrik metropolitan Nelson
Mandela di Afrika Selatan. Dari total jumlah tersebut, 213 adalah pekerja kerah biru (blue-collar
worker) dan 154 adalah karyawan (white-collar worker). Sampel pekerja buruh termasuk di
dalamnya operator mesin, pengendali proses operasi, petugas servis mesin, teknisi, supir dan
pembersih, sedangkan sampel dari karyawan termasuk di dalamnya operator pusat layanan,
asisten penjualan, resepsionis dan personel keamanan. Sampel buruh terdiri dari 52% pria,
sedangkan sampel karyawan terdiri dari 68,2% wanita. Untuk mengukur variabel yang
mendefinisikan imbalan sebagai faktor pembentuk motivasi yang telah dijelaskan pada
pembahasan di atas, digunakan metode penyebaran kuesioner yang terstruktur. Termasuk di
dalamnya daftar 46 jenis imbalan yang pada umumnya digunakan oleh berbagai macam
perusahaan. Kuesioner diawali dengan pertanyaan sejauh mana responden menganggap imbalan
sebagai faktor yang memotivasi peningkatan kinerja. Tanggapan responden diukur dengan skala
Likert 5 poin mulai dari 1 (sama sekali tidak penting) hingga 5 (sangat penting). Analisa data
menggunakan software statistik BMDP4M dan dibantu dengan MS-Excel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wisata yang diakomodasi oleh perusahaan


menduduki peringkat pertama dalam hal imbalan yang memiliki faktor terbesar dalam
memotivasi kinerja karyawan (faktor imbalan berupa wisata termasuk di dalam non-financial
reward), peringkat selanjutnya adalah imbalan berupa pembayaran upah secara penuh ketika
sedang tidak bekerja atau sakit (paid leave/sick leave). Hal ini dapat disimpulkan bahwa ketika
karyawan tidak bekerja (dalam rangka berlibur atau sedang sakit) maka hal ini dapat
meningkatkan motivasi dan produktivitas karyawan. Hal ini dikarenakan para karyawan dan
buruh tersebut dapat menghabiskan waktu lebih lama bersama keluarga mereka masing-masing
dan dapat menyelesaikan urusan mereka yang selama ini terkendala akibat adanya jam kerja.
Hasil yang menempati peringkat berikutnya adalah adanya faktor kenaikan gaji dan pemberian
insentif. Hal ini menunjukkan bahwa faktor finansial bukan merupakan faktor paling penting
yang mampu meningkatkan motivasi dari para karyawan kelas bawah. Mayoritas karyawan
maupun buruh lebih menginginkan imbalan berupa pembayaran non-tunai (fringe benefit) seperti
akomodasi wisata, tunjangan anak, tunjangan pinjaman rumah, maupun tunjangan pendidikan.

Dengan adanya penelitian-penelitian tersebut, diharapkan para pemangku kepentingan


dapat mengetahui jenis imbalan seperti apa yang mampu menumbuhkan motivasi kinerja bagi
para karyawannya. Dari dua penelitian yang dianalisa diatas, terdapat korelasi bahwa faktor
finansial bukanlah faktor terpenting dalam menumbuhkan motivasi bagi kinerja para karyawan,
baik untuk karyawan terampil seperti yang dibahas oleh Todericiu, Serban, dan Dumitrascu
(2013) maupun buruh dan karyawan kelas bawah seperti yang dibahas oleh Arnolds dan Venter
(2007). Dalam kasus karyawan yang mempunyai keterampilan, hal yang paling diinginkan oleh
mereka adalah kebebasan dalam merencanakan pekerjaannya (kebebasan dalam merencakan
pekerjaan termasuk di dalam job design reward), hal ini dapat dipahami mengingat susahnya
suatu individu untuk dapat berkembang apabila ruang gerak mereka dibatasi oleh perusahaan.
Sedangkan bagi buruh dan karyawan kelas bawah, hal yang paling memotivasi mereka adalah
adanya imbalan berupa imbalan non-finansial seperti akomodasi wisata, tunjangan anak,
tunjangan pinjaman rumah, maupun tunjangan pendidikan. Hal ini dikarenakan mayoritas dari
karyawan tingkat bawah tersebut mempunyai penghasilan rendah, sehingga mereka akan merasa
terbantu dengan adanya benefit dan tunjangan seperti yang disebutkan diatas untuk meringankan
beban mereka.

Berikut ini terlampir tabel perkembangan faktor-faktor yang mampu memotivasi


karyawan berdasarkan jurnal-jurnal yang terindeks internasional dari tahun 2007 dan 2013

ITEM STUDI

TAHUN 2007 TAHUN 2013

Tujuan Untuk mengetahui jenis imbalan Untuk mengetahui faktor stimulus


yang paling berpengaruh dalam yang memiliki pengaruh terbesar
mempengaruhi motivasi karyawan terhadap adanya motivasi para tenaga
kelas bawah di industri manufaktur kerja terampil di industri di Romania.
dan ritel pakaian.
Hipotesis •H1: imbalan berupa pembayaran  H1: faktor berupa kebebasan dalam
secara langsung (direct financial bekerja merupakan faktor paling
rewards yang berupa pembayaran penting dalam menumbuhkan
langsung, insentif, dan tunjangan) motivasi terhadap para karyawan
adalah faktor penting dalam yang mempunyai keterampilan.
memotivasi kinerja karyawan kelas  H2: faktor berupa besarnya gaji
bawah namun tidak lebih penting merupakan faktor penting dalam
daripada reward yang berupa menumbuhkan motivasi, namun
pengakuan / social reward. faktor gaji bukan merupakan faktor
terpenting bagi karyawan yang
•H2: imbalan berupa pembayaran
memiliki keterampilan.
secara tidak langsung (indirect
financial rewards atau yang biasa  H3: faktor berupa jenis pekerjaan
disebut dengan fringe benefits) merupakan faktor paling penting
adalah faktor penting dalam dalam menumbuhkan motivasi
memotivasi kinerja karyawan kelas terhadap para karyawan yang
bawah namun tidak lebih penting mempunyai keterampilan.
daripada imbalan yang berupa  H4: faktor berupa kondisi pekerjaan
pengakuan/social reward dan merupakan faktor paling penting
imbalan yang berupa pembayaran dalam menumbuhkan motivasi
secara langsung (direct financial terhadap para karyawan yang
rewards). mempunyai keterampilan.
 H5: faktor berupa rekanan atau
•H3: imbalan berupa pengakuan kolega merupakan faktor paling
(social reward) adalah faktor paling penting dalam menumbuhkan
penting dalam memotivasi kinerja motivasi terhadap para karyawan
karyawan kelas bawah. yang mempunyai keterampilan.
 H6: faktor berupa komunikasi yang
•H4: imbalan berupa wewenang dan
baik dengan atasan merupakan
otoritas (job design reward) adalah
faktor paling penting dalam
faktor penting dalam memotivasi
menumbuhkan motivasi terhadap
kinerja karyawan kelas bawah
para karyawan yang mempunyai
namun tidak lebih penting daripada
keterampilan.
imbalan yang berupa
 H7: faktor berupa pengakuan
pengakuan/social reward dan
merupakan faktor paling penting
imbalan yang berupa pembayaran
dalam menumbuhkan motivasi
(financial rewards).
terhadap para karyawan yang
•H5: imbalan yang dapat dikonsumsi mempunyai keterampilan.
(consumable reward) adalah faktor  H8: faktor berupa tunjangan/benefit
yang memiliki pengaruh paling kecil merupakan faktor paling penting
didalam memotivasi kinerja dalam menumbuhkan motivasi
karyawan kelas bawah. terhadap para karyawan yang
mempunyai keterampilan.
 H9: faktor berupa adanya peluang
promosi merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
 H10: faktor berupa adanya
kesempatan untuk mengikuti
pelatihan merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
 H11: faktor berupa kebijakan
perusahaan merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
 H12: faktor berupa kurangnya
pengawasan merupakan faktor
paling penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
Populasi dan Sampel Populasi: 22 perusahaan bisnis di Populasi: perusahaan yang bergerak
distrik metropolitan Nelson Mandela di bidang telekomunikasi, pendidikan,
di Afrika Selatan. keuangan, budaya, layanan dan
teknologi di area Sibiu, Rumania.
Sampel: 367 karyawan tingkat
bawah (white and blue collar Sampel: sampel diambil dari 26
workers) yang terdiri dari 213 tenaga terampil di area Sibiu di
pekerja kerah biru (blue-collar Romania. Sekitar 57% dari total
worker) dan 154 karyawan (white- sampel yang berjumlah 26 orang
collar worker). Sampel buruh terdiri tersebut bekerja pada sebuah
dari 52% pria, sedangkan sampel perusahaan yang memiliki sumber
karyawan terdiri dari 68,2% wanita. daya manusia lebih dari 100 orang.

Variable dan Indikator Variabel: jenis imbalan yang Variabel: faktor yang menjadi
mempengaruhi motivasi kinerja dari penentu peningkatan motivasi
para karyawan kelas bawah. karyawan yang mempunyai
keterampilan.

Pengukuran Variabel Skala Likert 5 poin mulai dari 1 Skala Likert 5 poin mulai dari 1 (sama
(sama sekali tidak penting) hingga 5 sekali tidak penting) hingga 5 (sangat
(sangat penting). penting).
Alat Analisis Analisa data menggunakan software Analisa menggunakan software SPSS.
statistik BMDP4M dan dibantu
dengan MS-Excel.
Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil dari penelitian menunjukkan
wisata yang diakomodasi oleh bahwa faktor kebebasan dalam
perusahaan menduduki peringkat merencanakan pekerjaan memiliki
pertama dalam hal imbalan yang rata-rata tertinggi, diikuti oleh faktor
memiliki faktor terbesar dalam jenis pekerjaan kemudian faktor
memotivasi kinerja karyawan (faktor kondisi lingkungan kerja dan faktor
imbalan berupa wisata termasuk di rekanan/kolega sebesar. Stimulus lain
dalam non-financial reward), yang memiliki pengaruh pada
peringkat selanjutnya adalah imbalan karyawan terampil yang menjadi
berupa pembayaran upah secara sampel adalah faktor komunikasi yang
penuh ketika sedang tidak bekerja baik dengan jajaran top manajemen
atau sakit (paid leave/sick leave. dan faktor gaji yang dihasilkan, yaitu
Hasil yang menempati peringkat dengan rata-rata yang sama. Variabel
berikutnya adalah adanya faktor hasil yang berupa gaji berbanding
kenaikan gaji dan pemberian insentif. lurus dengan teori yang
Hal ini menunjukkan bahwa faktor mengemukakan bahwa faktor finansial
finansial bukan merupakan faktor memiliki peran penting dalam
paling penting yang mampu motivasi karyawan, namun dalam
meningkatkan motivasi dari para kasus pekerja yang memiliki
karyawan kelas bawah. Mayoritas keterampilan, faktor finansial
karyawan maupun buruh lebih bukanlah yang paling penting dalam
menginginkan imbalan berupa meningkatkan motivasi.
pembayaran non-tunai (fringe
benefit) seperti akomodasi wisata,
tunjangan anak, tunjangan pinjaman
rumah, maupun tunjangan
pendidikan.
Perkembangan Pada tahun 2007 dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis
imbalan yang mempunyai faktor pengaruh paling besar dalam memotivasi
kinerja karyawan kelas bawah (blue and white collar worker) di Afrika
Selatan. Dan pada tahun 2013 dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
menjadi stimulus bagi kinerja karyawan yang mempunyai keterampilan di
Romania. Dengan adanya penelitian-penelitian tersebut, diharapkan para
pemangku kepentingan dapat mengetahui jenis imbalan seperti apa yang
mampu menumbuhkan motivasi kinerja bagi para karyawannya. Dari dua
penelitian yang dianalisa diatas, terdapat korelasi bahwa faktor finansial
bukanlah faktor terpenting dalam menumbuhkan motivasi bagi kinerja para
karyawan, baik untuk karyawan terampil seperti yang dibahas pada penelitian
di tahun 2013 maupun buruh dan karyawan kelas bawah seperti yang dibahas
oleh penelitian pada tahun 2007. Dalam kasus karyawan yang mempunyai
keterampilan, hal yang paling diinginkan oleh mereka adalah kebebasan dalam
merencanakan pekerjaannya (kebebasan dalam merencakan pekerjaan
termasuk di dalam job design reward), hal ini dapat dipahami mengingat
susahnya suatu individu untuk dapat berkembang apabila ruang gerak mereka
dibatasi oleh perusahaan. Sedangkan bagi buruh dan karyawan kelas bawah,
hal yang paling memotivasi mereka adalah adanya imbalan berupa imbalan
non-finansial seperti akomodasi wisata, tunjangan anak, tunjangan pinjaman
rumah, maupun tunjangan pendidikan. Hal ini dikarenakan mayoritas dari
karyawan tingkat bawah tersebut mempunyai penghasilan rendah, sehingga
mereka akan merasa terbantu dengan adanya benefit dan tunjangan seperti
yang disebutkan diatas untuk meringankan beban mereka.

IV. KESIMPULAN & SARAN

Sejarah Manajemen Sumber Daya Manusia sebelum permulaan abad ke-20 manusia
dipandang sebagai barang, benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak oleh majikan, hingga
saat ini peningkatan kualitas sumber daya masih terus dilakukanManajemen sumber daya
manusia akan terus berkembang dan tidak akan berhenti menyesuaikan dengan perkembangan
zaman. Kita bisa melihat bagaimana perkembangannya dari generasi ke generasi, namun satu hal
yang dapat kita simpulkan dari perjalanan manajemen sumber daya manusia dari generasi awal
hingga saat ini adalah perubahan mendasar terhadap paradigma dalam melihat manusia sebagai
faktor penentu dalam menggerakan organisasi.
Dari berbagai literatur dan penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
sistem reward dengan pemberian kompensasi, baik finansial maupun non-finansial memberikan
dampak yang signifikan dan positif terhadap peningkatan kinerja karyawan. Namun, dengan
adanya perubahan ekonomi dan budaya secara global, pemberian kompensasi mengalami banyak
perkembangan. Jika dulu komponen kompensasi yang diutamakan adalah komensasi finansial
yang berbentuk uang, semakin ke sini bentuk kompensasi yang diberikan semakin berkembang
ke arah non finansial. Kompensasi non finansial ini bisa berbentuk pelatihan dan peningkatan hal
hal yang bisa mendukung kesehatan dan keselamatan kerja, akomodasi wisata, tunjangan anak,
tunjangan pendidikan anak, dll. Bahkan di era generasi millennial ini, faktor kebebasan dalam
merencanakan pekerjaan, faktor komunikasi dengan rekan dan jajaran top manajemen menjadi
beberapa komponen faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan.
Pemberian kompensasi didukung lingkungan atau budaya organisasi yang positif dapat
mengoptimalkan potensi sumber daya manusia hingga pada akhirnya dapat memberi keunggulan
kompetitif tersendiri bagi organisasi atau perusahaan yang bersangkutan. Sistem pemberian
kompensasi harus dengan strategi yang tepat dan relevan.
Saran dari tim penulis adalah perlunya diadakan penelitian berkelanjutan tentang
perkembangan manajemen sumber daya manusia untuk mengembangkan pengelolaan
manajemen sumber daya manusia di Indonesia. Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia akan
mencapai bonus demografi pada tahun 2020. Indonesia harus mampu memanfaatkan peluang ini
untuk mencapai keunggulan kompetitif di era perdagangan bebas dan industry 4.0 ini.

V. DAFTAR PUSTAKA

Arnolds, C.A. and Venter, D.J.L. (2007). The Strategic Importance of Motivational Rewards for
Lower-Level Employees in the Manufacturing and Retailing Industries. South African
Journal of Industrial Psychology, 33(3), 15-23.

Armstrong, Michael. 2006. Strategic Human Resource Management: A Guide to Action. Kogan
Page: United Kingdom.

Bates Bob and McGrath James. (2017). The Little Book of Big Management Theories and How
To Use Them. Pearson Education Limited: United Kingdom.

Cooper, H. M. (2010). Research synthesis and meta-analysis: A step-by-step approach (4th ed.).
Thousand Oaks, CA: Sage.
Cushway, B. and Lodge, D. (1995). Organizational Behaviour And Design. Crest Pub House, p.
139.

Dessler, Gary. (2012). Human Resource Management (13th ed.). Prentice Hall: United States.

Do Thanh Tung. (2016). How spirituality, climate and compensation affect job performance.
Emerald Publishing Limited, VOL. 14 NO. 2 2018, pp. 396-409.

Mahatma. (2018). Compensation and Reward Management. Department of Master of Business


Administration.

Marshall, C. and Rossman B. Gretchen. (2011). Designing Qualitative Research (5th ed.).
Thousand Oaks, CA: Sage.

McGrath, J. and Bates, B. (2017) The Little Book of Big Management Theories, 2nd ed., Harlow:
Pearson UK., p. 62 & 66.

Moleong J. Lexy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Özer Sarı, Ferika. (2009) Effects of employee trainings on the occupational safety and health in
accommodation sector, Procedia Social and behavioural sciences, p. 1865–1870.

Priyono P. (2016). Buku Manajemen Sumber Daya Manusia (2). Zifatama Publisher: Sidoarjo.

Quartey (2017). Examining employees’ safety behaviours: an industry-level investigation from


Ghana. Emerald Publishing., p. 1-6.

Todericiu, R., Serban, A., Dumitrascu, O., (2013) Particularities of Knowledge Worker’s
Motivation Strategies in Romanian Organizations, Procedia Economics and Finance 6, p.
405 – 413.

Wren A. Daniel and Bedeian G. Arthur. 2009. The Evolution of Management Thought. John
Wiley & Sons, Inc.: United States of America.

Anda mungkin juga menyukai