Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

UNROOFING L-COPI HEPAR

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah


Program Studi Profesi Ners

Disusun Oleh:
Nina Fahriani, S. Kep
NIM: 11194692210146

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : Unroofing L-copi Hepar


NAMA MAHASISWA : Nina Fahriani ,S.Kep
NIM : 11194692210146

Banjarmasin, Januari 2023

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Ners


Universitas Sari Mulia
Presetor Klinik (PK) Presetor Akademik (PA)

Nawawi, S.Kep.Ns M. Riduansyah, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 198111122000121004 NIK.116672017105
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : Unroofing L-Copi Hepar


NAMA MAHASISWA : Nina Fahriani ,S.Kep
NIM : 11194692210146

Banjarmasin, Januari 2023

Menyetujui,
RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Ners
Universitas Sari Mulia
Presetor Klinik (PK) Presetor Akademik (PA)

Nawawi, S.Kep.Ns M. Riduansyah, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 198111122000121004 NIK.116672017105

Mengetahui,
Ketua Jurusan
Program Studi Profesi Ners
Fakultas Kesehatan
Universitas Sari Mulia

Mohammad Basit, S.Kep., Ns., MM


NIK. 166102012053

KISTA HEPAR
A. Landasan Teoritis Penyakit

1. Definisi
Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah rongga yang
dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang
biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi
berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa
epitel ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa epitel.
Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan
selama pemeriksaan gejala abdominal yang tidak berhubungan dengan
kista. Dalam banyak kasus, penemuan kista hepar yang tidak terduga
baik soliter maupun multipel, tidak memiliki arti klinis bila tidak bergejala,
walaupun kista hepar ini juga dapat diasosiasikan sebagai proses
patologis yang cukup serius.
2. Anatomi
Hepar terletak pada kuadran kanan atas abdomen,
intraperitoneal tepat di bawah sisi kanan diafragma yang dilindungi oleh
costa. Berat hepar kurang lebih 1400 gram pada orang dewasa dan
dibungkus oleh sebuah kapsul fibrous.

Gambar 1. Posisi hepar dalam tubuh

Hepar memiliki facies diaphragmatica dan facies visceralis


(dorsokaudal) yang dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies
diaphragmatica bersifat licin dan berbentuk kubah, sesuai dengan
cekungan permukaan kaudal diafragma, tetapi untuk sebagian besar
terpisah dari diafragma karena recessus subphrenicus cavitas
peritonealis. Hepar tertutup oleh peritoneum, kecuali di sebelah dorsal
pada area nuda, tempat hepar bersentuhan langsung pada diafragma.
Area nuda hepar ini dibatasi oleh melipatnya peritoneum dari diafragma
ke hepar sebagai lembar ventral (cranial) dan lembar dorsal (kaudal)
ligamentum coronarium. Kedua lembar tersebut bertemu di sebelah
kanan untuk membentuk ligamentum triangulare. Ke arah kiri lembar-
lembar ligamentum coronarium tercerai dan membatasi area nuda
hepar yang berbentuk segitiga. Lembar ventral ligamentum di sebelah
kiri bersinambungan dengan lembar kanan ligamentum falciforme, dan
lembar dorsal bersinambungan dengan lembar kanan omentum minus.
Lembar kiri ligamentum falciforme dan omentum minus bertemu untuk
membentuk ligamentum triangulare sinistrum.
Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis
sinistra yang masing-masing berfungsi secara mandiri. Masing-masing
lobus memiliki pendarahan sendiri dan arteria hepatica dan vena portae
hepatis, dan juga penyaluran darah venosa dan empedu bersifat serupa.
Lobus hepatis dekstra dibatasi terhadap lobus hepatis sinistra
oleh fossa vesicae biliaris dan sulcus vena cava pada facies visceralis
hepatis, dan oleh sebuah garis khayal pada permukaan diaphragmatika
yang melintas dari fundus vesicae biliaris ke vena cava inferior.
Lobus hepatis sinistra mencakup lobus caudatus dan hampir
seluruh lobus quadratus. Lobus hepatis sinistra terpisah dari lobus
caudatus dan lobus quadratus oleh fissure ligament teretis dan fissura
ligamenti venosi pada facies visceralis, dan oleh perlekatan ligamentum
teres hepatis pada facies diaphragmatica.
Hepar menerima darah dari dua sumber: arteri hepatica propria
(30%) dan vena porta hepatis (70%). Arteri hepatica propria membawa
darah yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena porta hepatis
mengantar darah yang miskin akan oksigen dari saluran cerna, kecuali
dari bagian distal canalis analis. Di porta hepatis arteri hepatica propria
dan vena porta hepatis berakhir dengan membentuk ramus dekstra dan
ramus sinistra, masing-masing untuk lobus hepatis dekstra. Lobus-lobus
ini berfungsi secara terpisah, dalam masing-masing lobus cabang primer
vena porta hepatis dan arteri hepatica propria teratur secara konsisten
untuk membatasi segmen vascular. Bidang horizontal melalui masing-
masing lobus membagi hepar.

delapan segmen vascular. Antara segmen-segmen terdapat


vena hepatica untuk menyalurkan darah dari segmen-segmen yang
bertetangga.

Gambar 2. Distribusi vaskular dan duktus hepatikus

Vena hepatica yang terbentuk melalui persatuan vena centralis


hepatis, bermuara dalam vena cava inferior, tepat kaudal dari
diaphragm. Hubungan vena ini dengan vena cava inferior membantu
memantapkan kedudukan hepar.
Hepar memiliki vasa lymphaticum superficial dan vasa
lymphaticum profundum. Vasa lymphaticum superficial terbanyak
bergabung dengan pembuluh limfe di porta hepatis dan ditampung oleh
nodi lymphoidei hepatici.
Pembagian anatomi menurut nomenklatur Couinaud sangat
penting dalam mempertimbangkan reseksi segmen hepar. Hal ini
memungkinkan kita melakukan reseksi pada segmen tertentu atau
kombinasi beberapa segmen dengan tetap mempertahankan
vaskularisasi dan kontinuitas aliran bilier pada segmen yang tertinggal.
Anatomi hepar dapat dideskripsikan menggunakan dua aspek
yang berbeda : anatomi morfologis dan anatomi fungsional. Anatomi
morfologis tradisional berdasarkan pada penampakan eksternal hepar,
dan tidak mempertimbangkan vaskularisasi dan percabangan duktus
biliaris, yang sebenarnya penting dalam reseksi hepar.
Sebagian besar pada kasus kista hati yang merupakan gejala
idiopatik yaitu karena tidak adanya alasan yang signifikan karena pada
pembentukan. Kista hati yang sering kali kita ketahui dari adanya
perkembangan sebagai adanya akibat dari gejala bawaan sejak lahir
karena adanya penyimpangan dari saluran empedu. Dari beberapa
kasus kista hati juga dapat disebabkan karena adanya komplikasi berat
lainnya seperti pada penyakit polikistik hati, kanker hati, penyakit caroli,
dan fibrosis hati bawaan.
Pada penyakit bawaan yang bernama polikistik yang dapat
mengalami seseorang yang dapat terjadi pada saat mengembangkan
beberapa kista hati, hal tersebut juga membuat menghambat terjadinya
dari fungsi ginjal. Pada pembentukan kista jinak yang ada didalam
saluran empedu yang dapat disebabkan oleh penyakit bawaan yang
disebut dengan kista koledokus.
Terjadinya pada faktor genetik yang dapat menimbulkan
penyebab untuk penyakit caroli yang dapat mengakibatkan gejala kista
hati. Infeksi yang terjadi biasanya disebabkan oleh adanya parasit
echinococcus granulosus yang dapat menimbulkan penyebab kondisi
ini.
Larva parasit yang akan membungkus diri yang ada didalam
kista, hal ini yang disebut dengan kista hidatidosa yang biasanya
menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa nyeri perut. Pada tumor
kanker yang ada dibagian hati ada kemungkinan besar yang telah
didiagnosa sebagai gejala kista hati. Oleh karena itu bagi penderita
sebaiknya melakukan pengobatan yang lebih tepat.

3. Penatalaksanaan/Jenis-Jenis Tindakan
a. Biopsi hepar perkutan: pada teknik perkutan, jarum dimasukkan ke
dalam rongga perut melalui kulit perut bagian atas (transtorakal atau
subcostalis). Teknik ini merupakan teknik yang paling umum
digunakan dan sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Dalam
melakukan prosedur ini, dapat digunakan alat pencitraan seperti
ultrasonografi (USG) atau CT-Scan sebagai pemandu
b. Biopsi hepar transvena (transjugularis atau transfemoralis): Pada
teknik ini, jarum dimasukkan ke dalam vena jugularis atau vena
femoralis. Lalu menuju hepar mengikuti rute pembuluh vena. Teknik
ini dilakukan jika pasien memiliki kondisi medis yang menyulitkan
prosedur utama, yaitu perkutan. Misal pada pasien dengan
gangguan pembekuan darah atau asites.[2] Teknik transvena lebih
rendah resikonya dibanding perkutan karena tidak ada prosedur
melukai kapsula Glisson, selain itu meskipun terjadi perdarahan,
maka darah akan tetap berada di pembuluh darah, dan tidak masuk
ke rongga peritoneum. Terlebih, melalui teknik ini, pengukuran
tekanan pembuluh darah hepatika juga dapat dilakukan, bila
diperlukan. Pada anak-anak, biopsi transvena bukan merupakan
pilihan utama, dikarenakan kesulitan teknis
c. Biopsi hepar laparoskopi: Teknik laparoskopi biasanya oportunistik,
yaitu ketika durante operasi, ditemukan kelainan makroskopis pada
organ hepar. Melalui teknik ini, lebih banyak hasil yang diperoleh,
yaitu dapat melihat tampilan makroskopis hepar, memungkinkan
pengambilan jumlah spesimen yang lebih banyak dan representatif,
serta kemudahan dalam mengawasi organ disekitarnya untuk
mengantisipasi adanya perdarahan atau kebocoran

4. Biopsi hepar diindikasikan untuk:


Menegakkan diagnosis pada hasil tes fungsi hati abnormal atau
penyakit kuning yang tidak diketahui sebabnya (unknown jaundice)
Mengetahui prognosis dari penyakit hepar, Mengetahui penanganan
terbaik pada suatu penyakit hepar, Mengetahui efek pengobatan yang
dilakukan misal pada transplantasi hepar

5. Kontraindikasi
biopsi hepar tidak banyak, namun penentuan kontraindikasi
secara seksama, penting dilakukan untuk menghindari komplikasi terkait
dengan prosedur. Kontraindikasi terbagi menjadi 2, absolut dan relatif.
Penyakit polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara
dominan autosomal. Hepar tampak kistik difus secara makroskopik,
walaupun dapat tampak pola yang berbeda dari penyakit ini, seperti
kista yang unilobar dan ukuran kista yang bervariasi. Kista dapat
ditemukan pada lien, pancreas, ovarium, paru-paru, dan ginjal. Insidens
meningkat seiring usia dan lebih sering pada wanita dibandingkan pria.
Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya bergantung
pada penyakit ginjal yang menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus,
dan manifestasi hipertensi portal jarang ditemukan. Tingkat mortalitas
dari kista non-parasitik yang ditangani secara operatif mendekati angka
nol.

6. Tanda dan Gejala


Kista hati yang biasanya terjadi jika tidak adanya gejala maka
tidak akan terlihat lebih jelas. Yang kebanyakan orang yang menderita
nya tidak akan mudah menyadari pada kondisi yang telah menimpanya
tersebut. Kantung jinak yang tidak dapat mempengaruhi pada fungi hati
yang normal. akan tetapi bila gejala kista hati sudah tumbuh lebih besar
sampai 7 cm, atau bila terjadi pada perdarahan yang ada didalam kista.
Maka gejala kista hati pun akan mudah terlihat.
a. Penderitanya biasanya akan mengalami perubahan pada kulit
tubuhnya, kulit dan mata yang akan nampak lebih menguning dan
pada lingkaran kulit tepat dibagian bawah mata akan terlihat lebih
gelap, dari adanya gejala kista hati ini biasanya penderita akan
mengalami tubuh warna kuning.
b. Air kencing yang keluar akan berubah menjadi warna lebih pekat
dan sangat berbau yang menyengat. Selain itu adapun gejala kista
hati lainnya, penderita akan mengalami susah buang air besar yang
tidak lancar.. BAB yang bagus pada saat bangun pagi hari untuk
memperbarui dalam asupan gizi dan nutrisi yang baru bagi tubuh.
c. Terjadinya pembentukan tubuh dan kuku. Beberapa gejala kista hati
pada wanita yang terkena gejala kista hati, pada bentuk kuku jarinya
yang akan melengkung dan keluar seperti keputihan yang tidak
normal.
d. Gejala kista lainnya biasanya penderita akan mengalami pada
penurunan nafsu makannya yang bahkan bisa saja hilang dalam
nafsu makan yang akan berimbas pada penurunan berat badan
yang secara drastis. Bahkan ada juga yang sampai terserang
penyakit anemia, perut terasa mual, perut kembung, dan adanya
gangguan setelah makan. Tapi tidak hanya semua penderita gejala
kista hati ini akan mengalami pada penurunan berat badan.
e. Tubuh kekurangan cairan yang diakibatkan karena tidak
seimbangnya dalam mengkonsumsi air putih. Penderita yang
biasanya akan merasa mudah haus dan mengalami perubahan
pada saat buang air kecil. Air putih memanglah sangat diperlukan
tubuh berfungsi untuk memudahkan tubuh dan pada organ tubuh
lainnya untuk mencernakan makanan. Maka dari itu sebaiknya
anda minum air putih minimal 8 sampai 10 gelas setiap harinya
untuk menghindari dari adanya gejala kista hati tersebut.
f. Penderita kista hati biasanya dia akan mengalami pusing kepala,
kejang kejang dan mengalami perubahan mood dan perasaannya,
seperti mudah tersinggung, mudah marah atau bahkan akan
mengalami depresi berat.

7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pasien dengan kista hepar tidak banyak memerlukan
pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan faal hati seperti
transaminase atau alkali fosfatase mungkin sedikit abnormal,
namun kadar bilirubin, prothrombin time (PT) dan activated
prothrombin times (APTT) biasanya berada dalam batas normal.
Pada Polycystic Liver Disease (PCLD), dapat dijumpai
abnormalitas yang lebih banyak pada pemeriksaan fungsi faal hati,
namun gagal fungsi hati jarang dijumpai. Tes fungsi ginjal termasuk
kadar urea dan kreatinin darah biasanya abnormal. Pada tumor
kistik hepar, tes fungsi hati juga dapat normal seperti pada simple
cyst namun bisa terdapat abnormalitas pada sebagian pasien.
Terdapat peningkatan kadar Carbohydrate antigen (CA) 19-9
pada sebagian pasien. Cairan kista dapat diambil untuk
pemeriksaan CA 19-9 pada saat pembedahan sebagai pemeriksaan
marker untuk kistadenoma dan kistadenokarsinoma. Pasien dengan
abses hepar dapat dikenal pasti dari gejala klinis. Pada
pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis.
Jika terdapat kista hidatid, dijumpai eosinophilia pada sekitar
40% pasien, dan titer antibody echinococcal positif pada hampir
80% dari pasien. Pemeriksaan immunoassay enzim (enzyme
immunoassay, EIA) dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi
spesifik untuk E. histolytica.
Pemeriksaan histologik dari kista dilakukan dengan tujuan
untuk menyingkirkan kemungkinan suatu keganasan, seperti
kistadenokarsinoma. Secara histopatologik kista hepar yang
benigna mengandung cairan yang bersifat serosa dan dindingnya
terdiri dari selapis sel epitel kuboidal dan stroma fibrosa yang tipis.

b. Pemeriksaan Radiologik
Sebelum tersedia modalitas pencitraan abdominal secara
luas termasuk ultrasonografi (USG) dan CT scan, kista hepar
didiagnosa hanya apabila ia sudah sangat membesar dan bisa
dilihat sebagai massa di abdomen atau sebagai penemuan tidak
sengaja saat melakukan laparotomy. Saat ini, pemeriksaan
radiologik sering menemukan lesi yang asimptomatik secara tidak
sengaja. Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan radiologik pada
pasien dengan kista hepar, seperti USG yang bersifat non-invasif
namun cukup sensitif untuk mendeteksi kista hepar. CT scan juga
sensitif dalam mendeteksi kista hepar, dan hasilnya lebih mudah
untuk diinterpretasikan dibanding USG. MRI, nuclear medicine.
scanning dan angiografi hepatik mempunyai penggunaan yang
terbatas dalam mengevaluasi kista hepar.
Secara umum simple cysts mempunyai gambaran radiologik
yang tipikal yaitu mempunyai dinding yang tipis dengan cairan yang
berdensitas rendah dan homogenous. PCLD harus dikonfirmasi
dengan USG atau CT scan dengan menemukan kista-kista multiple
pada saat evaluasi.
Kista hidatid bisa diidentifikasi dengan ditemukannya
daughter cyst yang terkandung dalam rongga utama yang
berdinding tebal. Kistadenoma dan kistadenokarsinoma umumnya
terlihat multilokuler dan mempunyai septa internal, densitas yang
heterogeneus dan dinding kista yang irregular. Tidak seperti tumor
lain pada umumnya, jarang dijumpai kalsifikasi pada kistadenoma
dan kistadenokarsinoma.
Satu masalah yang sering ditemui dalam mengevaluasi
pasien dengan lesi kistik pada hepar adalah untuk membedakan
kista neoplasma dan simple cyst. Namun secara umum, neoplasma
kistik mempunyai dinding yang tebal, irregular dan hipervaskular,
sedangkan dinding kista pada simple cyst tipis dan uniform.
Simple cyst memiliki tendensi memiliki bagian interior yang
homogenous dan berdensitas rendah, sedangkan neoplasma kistik
biasanya mempunyai bagian interior yang heterogenous dengan
septasi-septasi.

7. Komplikasi
 Infeksi berat
 Pecahnya kista
 Penyebaran infeksi ke organ lain (otak, prostat, dan lain-lain)
 Gagal hati

8. Pengkajian Fokus Keperawatan


Menurut (Majid, Judha & Istianah, 2016).Tindakan yang
dilakukan pada saat dilakukannya prosedur operasi ialah :
1. Fase pra operasi
Fase pra operasi dimulai ketika ada keputusan untuk
dilakukan intervensi bedah dan diakhiri ketika pasien berada di meja
operasi sebelum pembedahan dilakukan. Lingkup aktivitas
keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup pengkajian
dasar pasien di Rumah Sakit, wawancara pra operasi dan
menyiapkan pasien untuk anestesi yang diberikan dan
pembedahan. Bagi perawat anestesi, perawatan pra anestesia
dimulai saat pasien berada di ruang perawatan, atau dapat juga
dimulai pada saat pasien diserah-terimakan di ruang operasi dan
berakhir saat pasien dipindahkan ke meja operasi. Tujuan
perawatan pra operasi:
a. Menciptakan hubungan yang baik dengan pasien, memberikan
penyuluhan tentang tindakan anestesia.
b. Mengkaji, merencanakan dan memenuhi kebutuhan pasien.
c. Mengetahui akibat tindakan anestesia.
d. Mengantisipasi dan menanggulangi kesulitan yang mungkin timbul.
Dalam menerima pasien yang akan menjalani tindakan anestesia,
perawat anestesi wajib memeriksa kembali data dan persiapan
anestesia, diantaranya:
a. Memeriksa:
1) Identitas pasien dan keadaan umum pasien.
2) Kelengkapan status /rekam medik.
3) Surat persetujuan operasi dari pasien / keluarga.
4) Data laboreatorium, rontgent, EKG dan lain-lain.
5) Gigi palsu, lensa kontak, perhiasan, cat kuku, lipstick dll
b. Mengganti baju pasien dengan baju operasi.
c. Membantu pasien untuk mengosongkan kandung kemih.
d. Mencatat timbang terima pasien serta catatan medis lainnya yang
menjadi pendukung data saat pasien akan dioperasi. Perawat
anestesia juga bertugas memberikan pre-medikasi berdasarkan
instruksi tertulis dari Dokter Spesialis Anestesiologi atau dokter lain
yang berwenang.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Memeriksa kembali nama pasien sebelum memberikan obat.
b. Mengetahui riwayat penyakit yang pernah diderita.
c. Mengetahui riwayat alergi terhadap obat-obatan.
d. Memeriksa fungsi vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan)
sebelum memberikan premedikasi dan sesudahnya.
2. Fase intra operasi
Fase intra operasi dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke
instalasi bedah (meja operasi) dan berakhir saat pasien dipindahkan di
ruang pemulihan (Recovery Room) atau istilah lainnya adala Post
Anesthesia Care Unit (PACU). Pada fase ini ruang lingkup aktivitas
keperawatan mencakup pemasangan intravena catheter, pemberian
medikasi intravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga
keselamatan pasien. Contoh konkrit peran perawat dalam fase intra
operasi adalah memberikan dukungan psikologis selama induksi
anestesi, bertindak sebagai perawat scrub (instrumentator), atau
membantu mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan
meggunakan prinsip-prinsip dasar kesimetrisan tubuh
Pada fase ini terdapat juga pengisian checklist. Yang bertanggung
jawab untuk memeriksa checklist, yaitu perawat sirkuler tetapi dapat
juga setiap dokter yang berpartisipasi dalam operasi. Checklist dalam
operasi dibagi menjadi tiga fase, masing-masing sesuai dengan periode
waktu tertentu dalam prosedur normal: periode sebelum induksi anestesi
(sign in), periode setelah induksi dan sebelum insisi (time out) dan
periode selama atau segera setelah penutupan luka (sign out) (WHO,
2009). Sign in yaitu sebelum induksi anestesia, koordinator pengisian
checklist akan secara verbal mengkonfirmasi dengan pasien (jika
mungkin) identitasnya, lokasi operasi, prosedur dan persetujuan operasi
telah diperoleh.
Koordinator akan selalu mengkonfirmasi bahwa lokasi operasi sudah
ditandai (jika perlu) dan akan meninjau secara lisan dengan anestesi
profesional mengenai resiko pasien kehilangan darah, penyulit
pernapasan, alergi, dan juga apakah persiapan mesin anestesi serta
obat-obatan telah lengkap. Idealnya, ahli bedah akan hadir untuk 'Sign
in', karena ahli bedah mungkin memiliki gagasan yang lebih jelas
tentang kehilangan darah yang diantisipasi, alergi atau faktor-faktor
penyulit potensial lainnya. Namun kehadiran dokter bedah dalam
melengkapi checklist tidak diwajibkan (WHO, 2009).
Pada fase Time Out, tim akan berhenti sesaat sebelum sayatan
kulit untuk mengkonfirmasi dengan keras bahwa operasi yang sedang
dilakukan pada pasien yang benar dan lokasi yang benar. Semua
anggota tim kemudian akan meninjau secara verbal satu sama lain,
pada gilirannya, unsur-unsur penting dari rencana mereka untuk operasi,
menggunakan pertanyaan checklist pada panduan. Mereka juga akan
mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60
menit sebelumnya dan bahwa pencitraan penting ditampilkan
sebagaimana mestinya (WHO, 2009). Pada fase Sign Out tim akan
meninjau bersama operasi yang dilakukan, kelengkapan jumlah spons
dan instrumen serta label dari setiap spesimen bedah yang diperoleh.
Mereka juga akan meninjau setiap malfungsi peralatan atau masalah
yang perlu ditangani. Pada akhirnya tim akan meninjau rencana utama
dan kekhawatiran untuk manajemen pasca operasi serta pemulihan
sebelum memindahkan pasien dari ruang operasi (WHO, 2009).
Tujuan perawatan intra operasi yaitu untuk mengupayakan fungsi
vital pasien selama anestesi berada dalam kondisi optimal agar
pembedahan dapat berjalan dengan lancar dan baik. Sebelum tindakan
anestesia, perawat anestesi wajib:
a. Melakukan pemeriksaan kembali nama pasien, data diagnosa dan
rencana operasi.
b. Mengenalkan pasien kepada dokter spesialis anestesiologi, dokter
ahli bedah, dokter asisten dan perawat instrumen.
c. Memberikan dukungan moril, menjelaskan tindakan induksi yang
akan dilakukan dan menjelaskan fasilitas yang ada di sekitar meja
operasi.
d. Memasang alat-alat pemantau (antara lain tensimeter, ECG dan
alat lainnya sesuai dengan kebutuhan).
e. Mengatur posisi pasien bersama-sama perawat bedah sesuai
dengan posisi yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan.
f. Mendokumentasikan semua tindakan yang telah dilakukan.
Selama tindakan anestesi perawat anestesi wajib:
1) Mencatat semua tindakan anestesia.
2) Berespon dan mendokumentasikan semua perubahan fungsi vital
tubuh pasien selama anestesia/pembedahan. Pemantauan meliputi
sistem pernapasan, sirkulasi, suhu, keseimbangan cairan,
perdarahan, produksi urine dan lain-lain.
3) Berespon dan melaporkan pada dokter spesialis anestesiologi bila
terdapat tanda-tanda kegawatan fungsi vital tubuh pasien agar
dapat dilakukan tindakan segera.
4) Melaporkan pada dokter yang melakukan pembedahan tentang
perubahan fungsi vital tubuh pasien dan tindakan yang diberikan
selama anestesia.
5) Mengatur dosis obat anestesi atas pelimpahan wewenang dokter.
6) Menanggulangi keadaan perawat darurat.
Pengakhiran anestesi meliputi:
a) Memantau tanda vital secara lebijh intensif.
b) Menjaga jan nafas supaya tetap bebas.
c) Menyiapkan alat-alat dan obat-obat untuk pengakhiran anestesia
dan atau ekstubasi.
d) Melakukan pengakhiran anestesia dan atau sekstubai sesuai
kewenangan yang diberikan.
3. Fase pasca operasi
Fase pasca operasi dimulai dengan masuknya pasien ke ruang
pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan
klinik atau ruang perawatan bedah atau di rumah. Lingkup aktivitas
keperawatan meliputi rentang aktivitas yang luas selama periode ini.
Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen atau obat anestesi
dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan
pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan
pasien. Tujuan perawatan pasca operasi:
a. Mengawasi kemajuan pasien sewaktu masa pulih.
b. Mencegah dan segera mengatasi komplikasi yang terjadi.
c. Menilai kesadaran dan fungsi vital tubuh pasien untuk menentukan
saat pemindahan/pemulangan pasien (sesuai dengan “penilaian
aldrette”)
Aktivitas perawat anestesi:
1) Setelah pengakhiran anestesia, pasien dikirim ke kamar pulih sadar
untuk pemantauan fungsi vital tubuh oleh perawat terlatih.
2) Bila dianggap perlu pasien dapat langsung dikirim ke ruang rawat
khusus (misalnya ICU).
3) Bantuan oksigenasi, ventilasi dan sirkulasi tetap diberikan.
4) Pemberian analgesia dan sedatif disesuaikan dengan kondisi
pasien.
5) Keputusan untuk memindahkan pasien dari kamar pulih sadar
dibuat oleh dokter yang bertugas.

4. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA PRE-OPERATIF
NO Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
1. Ansietas b.d Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas
rencana (L.09093) (I.09314)
operasi Setelah dilakukan Observasi
tindakan 1x3 jam - Monitor tanda-tanda
diharapkan masalah vital
keperawatan ansietas - Identifikasi saat tingkat
dapat teratasi dengan ansietas berubah
kriteria hasil: Terapeutik
 Verbalisasi khawatir - Ciptakan suasana
akibat kondisi yang teraupetik untuk
dihadapi, dari sedang menumbuhkan
(3) ke menurun (5) kepercayaan
 Perilaku gelisah, dari - Temani pasien untuk
sedang (3) ke mengurangi
meningkat (5) kecemasan
 Frekuensi napas dari - Pahami situasi yang
sedang (3) ke membuat ansietas
membaik (5) - Dengarkan dengan
 Frekuensi nadi penuh perhatian
sedang (3) ke - Gunakan pendekatan
membaik (5) yang tenang dan
 Kontak mata, dari meyakinan
sedang 3 ke Edukasi
membaik (5) - Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
dialami
- Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan
pengalihan untuk
mengurangi
ketegangan
- Latih teknik relaksasi
2. Gangguan Integritas jaringan Perawatan luka
intregritas (L.14125) (I.14564)
jaringan b.d Tindakan keperawatan Observasi
faktor dalam 1x 8 jam - Monitor karakteristik
mekanisme diharapkan integritas luka (mis. drainase,
jaringan meningkat warna, ukuran, bau)
dengan kriteria hasil : - Monitor tanda-tanda
• Kerusakan jaringan infeksi
dari sedang (3) Terapeutik
menjadi meningkat - Lepaskan balutan dan
(1) plester secara
• Nyeri dari sedang perlahan
(3) menjadi - Cukur rambut di
meningkat (1) sekitar daerah luka,
• Kemerahan dari jika perlu
sedang (3) menjadi - Bersihkan dengan
meningkat (1) cairan NaCl atau
• Hematoma dari pembersih nontoksik,
sedang (3) menjadi sesuai kebutuhan
meningkat (1) - Bersihkan jaringan
nekrotik
- Berikan salep yang
sesuai ke kulit/lesi, jika
perlu
- Pasang balutan sesuai
jenis luka
- Pertahankan teknik
steril saat melakukan
perawatan luka
- Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
- Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam
atau sesuai kondisi
pasien
Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Anjurkan
mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
- Ajarkan prosedur
perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi prosedur
debridement (mis.
enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik),
jika perlu :
Kolaborasi
pemberian antibiotik,
jika perlu

INTRA-OPERATIF
1. Perfusi perifer Perfusi Perifer Perawatan Sirkulasi
tidak efektif b.d
(L.02011) Observasi :
penurunan Setelah dilakukan - Periksa sirkulasi
konsentrasi tindakan keperawatan perifer (mis,
hemoglobin 1x4 jam diharapkan edema,warna,suhu,)
perfusi perifer dengan - Identifikasi factor
kriteria hasil: resiko gangguan
• Warna kulit pucat sirkulasi (mis,
yang awalnya diabetes, hipertensi,
meningkat (1) kolestrol)
menjadi cukup Terapeutik :
menurun (4) - Lakukan
• Akral yang awalnya pencengahan infeksi
memburuk (1) - Hindari penekanan
menjadi cukup dan pemasangan
membaik (4) pada ektrimitas
• Kelemahan otot dengan keterbatasan
yang awalnya perfusi
cukup menurun (2) Edukasi :
menjadi meningkat
- Anjurkan minum obat
(1)
pengontrol tekanan
• Turgor kulit menjadi
darah secara teratur
membaik
. Resiko Kontrol Pencegahan
Perdarahan Perdarahan(L.02017) Perdarahan(I.02067)
b.d tindakan Setalah dilakukan Obeservasi
pembedahan tindakan keperawatan - monitor tanda dan
dalam 1x30 menit gejala perdarahan
diharapkan risiko - monitor nilai
perdarahan tidak terjadi hematocrit/hemoglobin
dengan kriteria hasil: sebelum dan setelah
- Kelembapan kehilangan darah
membrane mukosa, - monitor tanda-tanda
dari sedang (3) ke vital ortostatik
meningkat (5) Terapeutik
- denyut nadi apical, - Batasi tindakan invve
dari cukup - pertahankan bed rest
memburuk (2) ke Edukasi
membaik (5) - jelaskan tanda dan
- Hemoglobin, dari
cukup memburuk gejala perdarahan
(2) ke membaik (5) - ajurkan meningkatkan
- Tekanan darah, dari asupan cairan untuk
cukup memburuk menghindari
(2) ke membaik (5) konstipasi anjurkan
segera melapor jika
terjadi perdarahan
Kolaborasi
- kolaborasi pemberian
produk darah
- kolaborasi pemberian
obat
pengontrol perdarahan
. Bersihan jalan
Label : Bersihan Jalan Label : Manajemen Jalan
nafas tidak Napas (L.01001) Napas (I.01011)
efektif b.d
Setelah dilakukan tindakan Observasi
sekret yang keperawatan 1x8 jam - Monitor status
tertahan diharapkan bersihan kardiopulmunal
jalan nafas membaik - Monitot status
didapatkan kreteria oksigenasi
hasil : - Monitor status cairan
• Batuk efektif dari Terapeutik
sedang (3) ke - Berikan oksigen untuk
menurun (5) mempertahankan
• Pola napas dari status oksigenasi
sedang (3) ke
- Pasang jalur IV
membaik (5)
Edukasi
• Frekuensi napas
- Jelaskan tanda dan
dari sedang (3) ke
gejala awal syok
menurun (5)
• Gelisah dari
- Jelaskan penyebab
sedang (3) ke dan faktor risiko syok
menurun (5) Kolaborasi
• Produksi sputum - Kolaborasi pemberian
dari sedang (3) ke IV
menurun (5) - Kolaborasi pemberian
transfuse darah

DIAGNOSA POST-OPERATIF
1. Hipotermia b.d Termoregulasi Manajemen hipotermia
terpapar suhu (L.14134) (I.14507)
lingkungan Setelah dilakukan Observasi
rendah tindakan keperawatan - monitor suhu tubuh
1x8 jam diharapkan - identifikasi penyebab
termoregulasi hipotermia
meningkat dapat - monitor tanda dan
berkurang dengan gejala akibat
Kriteria Hasil: hipotermia
• Menggigil dari Terapeutik
sedang (3) ke - sediakan lingkungan
menurun (5) yang hangat
• Suhu tubuh dari - ganti pakaian atau
sedang (3) ke linen yang basah
meningkat (5) - lakukan
• Suhu kulit dari penghangatan pasif
sedang (3) ke - lakukan
meningkat (5) penghangatan
• Tekanan darah dari internal
sedang (3) ke
Edukasi
meningkat (5) - ajurkan makan atau
• Pucat dari sedang minum hangat
(3) ke meningkat
(5)
• Takikardia dari
sedang (3) ke
menurun (5)

2. Nyeri akut b.d Kontrol nyeri Manajemen nyeri


agen (L.08063) (I.08238)
pencedera fisik Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan - Tentukan riwayat
1x8 jam diharapkan nyeri, lokasi, durasi
nyeri akut dapat dan intensitas
berkurang dengan - Evaluasi therapi:
Kriteria Hasil: pembedahan,
• Mengenali kapan radiasi,
nyeri terjadi khemotherapi,
• Menggambarkan biotherapi, ajarkan
faktor penyebab klien dan keluarga
• Menggunakan tentang cara
tindakan menghadapinya
pencegahan Terapeutik
• Melaporkan - Berikan pengalihan
perubahan seperti reposisi dan
terhadap nyeri aktivitas
• Ekspresi wajah dari menyenangkan
sedang (3) ke seperti
meningkat (5) mendengarkan
• Tanda-tanda vital musik atau nonton
dari sedang (3) ke TV
menurun (5) Edukasi
- Menganjurkan
tehnik penanganan
stress (tehnik
relaksasi,
visualisasi,
bimbingan),
gembira, dan
berikan sentuhan
therapeutik.
- Evaluasi nyeri,
berikan pengobatan
bila perlu.
- Diskusikan
penanganan nyeri
dengan dokter dan
juga dengan klien
Kolaborasi
- Berikan analgetik
sesuai indikasi
seperti morfin,
methadone, narkotik
dll
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, VC., McKay RJ., Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics.


Liver and bile ducts. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 2007. h.1131-
2.
2. Doherty, GM., Way, LW. Current surgical diagnosis & treatment 11th ed.
Benign tumor & cysts of the liver. India : McGraw-Hill. 1994. h.576-7.
3. Norton, JA., et al. Essential practice ofsurgery : basic science and clinical
evidence.

Liver. New York : Springer-Verlag. 2003. h.235-41.

4. McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease : an


introduction to clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical
Books/McGraw- Hill. 2003. h. 380-92.
5. Netter. The Human Body Atlas of Netter [e-book]

6. Moore, KL., Agur, AM. Anatomi klinis dasar. Abdomen. Editors : Vivi S. &
Virgi S. Jakarta : Hipokrates. 2002. h. 117-25.
7. Schwartz, SI., et al. Principles of surgery 7th ed. Liver. New York : McGraw-
Hill. 1999. h. 1395-405.
8. Smithuis, R. Liver : segmental anatomy [online]. 2006 [dikutip April 2010].
Tersedia pada URL http://www.radiologyassistant.nl/en/4375bb8dc241d
9. Heriot AG., Karanjia ND. A review of techniques for liver resection [online].
2002 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL
http://www.rsmpress.co.uk/arcsam.pdf
10. Jackson, HH., Mulvihill, SJ. Hepatic cyst [online]. September 2009 [dikutip
April 2010]. Tersedia pada URL
http://emedicine.medscape.com/article/190818-overview
11. Cady, B. The surgical clinics of north America vol. 69 : Liver surgery.
Management of cystic disease of the liver. Philadelphia : W.B. Saunders
Company. 1989. h. 285-95.
12. Debas, HT. Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management.
Liver cyst. San Fransisco : Springer-Verlag. 2004. h.180-1.
13. Chan. CY., Tan CHJ., Chew, SP, Teh CH. Laparoscopic fenestration of a
simple hepatic cyst [online]. 2001 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL
http://www.pkdiet.com/pdf/liver%20lapRx.pdf

Anda mungkin juga menyukai