Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. A DENGAN CA RECTI DI RUANG BEDAH UMUM


RSUD ULIN BANJARMASIN

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Kadek Dian Purwata, S.Kep
11194692010074

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN CARSINOMA RECTI


DI RUANG BEDAH UMUM RSUD ULIN BANJARMASIN

JUDUL KASUS : Carsinoma Recti


NAMA MAHASISWA : KADEK DIAN PURWATA, S.Kep
NIM : 11194692010074

Banjarmasin, Januari 2021

Menyetujui,

RSUD. Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Preseptor Klinik (PK), Preseptor Akademik (PA)

Lola Hamika, Ns., M.Kep Cynthia Eka F. Tjomiadi, Ns., MNS


NIP. 19800207 200801 2 015 NIK.1166092015086

Mengetahui,
Ketua Jurusan Program Studi PROFESI Ners

Mohammad Basit, S.Kep., Ns., MM


NIP. 1166102012053
A. Anatomi Fisiologi

Rektum merupakan sebuah saluran yang berawal dari ujung usus besar

dan berakhir di anus. Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan

sementara feses. Biasanya rektum akan kosong karena tinja disimpan di

tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens

penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang

air besar (defekasi). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan

material di dalam rektum akan memicu sistem syaraf yang menimbulkan

keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali

material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan

kembali dilakukan (Tortora dan Derrickson, 2009)

1 2

Keterangan:

1. Colon Asendens
2. Colon Transversum
3 3. Colon Desendens
7
5 4. Sigmoid
5. Rectosigmoid
6. Rektum
7. Ileum
8. Appendiks
8
6

Gambar 2.1. Anatomi kolon dan rektum (Netter dan Frank, 2014)

Panjang rektum sekitar 15-20cm dan berbentuk-S. Mula-mula rektum

mengikuti kecembungan os sacrum, flexura sacralis, lalu memutar ke

belakang setinggi os coccygis dan berjalan melalui dasar pelvis, flexura

perinealis. Akhirnya rektum menjadi canalis analis dan berakhir pada anus.

Sepertiga atas rektum merupakan bagian yang sangat lebar yaitu ampulla
recti. Jika ampulla terisi maka timbul perasaan ingin defekasi (Leonhardt ,

1988).

Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang

mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membuang air besar

pada kira-kira waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh reflex

gastrokolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan

mencapai lambug dan setelah pencernaan dimulai, maka peristaltik di dalam

usus akibat rangsangan isi usus, gerakan peristaltik merambat ke kolon dan

sisa makanan akhirnya terdorong, dan makanan yang mencapai sekum

mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk kedalam sekum disertai gerakan

peristaltik keras terjadi di dalam kolon. Tekanan di intra abdominal

bertambah dengan penutupan glottis dan diafragma dan otot abdominal,

sfingter anus akan mendorong dan kerjanya berakhir (Judha dkk, 2012).

Rektum merupakan bagian distal dari usus besar yang dimulai dari

setinggi corpus sacralis tiga (Tortora dan Derrickson, 2009). Rektum dibagi

menjadi 3 bagian diantaranya yaitu :

a. Rektum bagian bawah, yaitu sepanjang 3 - 6 cm dari anal verge

b. Rektum bagian tengah, yaitu sepanjang 6 – 10 cm dari anal verge

c. Rektum bagian atas, yaitu sepanjang sekitar 10 - 15 cm dari anal verge,

umumnya rektum mencapai batas atasnya sekitar 12 cm dari anal verge.


3
Keterangan:
1. Bagian bawah
rektum 2
2. Bagian tengah
rektum
3. 1 Bagian atas
rektum
4. Anal Verge

Gambar 2.2
4
Bagian- bagian rektum
(Braddy, 2011).

Sepertiga atas rektum dikelilingi oleh peritoneum pada permukaan

anterior dan lateralnya. Lokasi dari tumor rektum umumnya diidentifikasi

berdasarkan jarak dari anal verge, linea dentata, atau cincin anorektal ke

bagian distal tumor. Dalam menentukan perluasan tumor primer pada

rektum, sangatlah penting untuk mengetahui lapisan-lapisan dindingnya.

Lapisan dinding rektum dari lumen ke arah luar yaitu sebagai berikut :

mukosa, lamina propria, muskularis mukosa, submukosa, muskularis propia

yang terdiri dari otot sirkuler dan otot longitudinal dan serosa

B. Definisi

Ca Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak

di anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm.

Rectosigmoid junction terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid.

Bagian sepertiga atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum.

Di setengah bagian bawah rektum keseluruhannya adalah

ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal dari cabang arteri mesenterika

inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena hemoroidalis

superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke

kranial ke vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis


ke vena porta. Ca Recti dapat menyebar sebagai embulus vena

kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum diatas garis anorektum berjalan

seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut ke kelenjar limfa

mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi

karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limfa ini.

Dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel

kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa.

C. Etiologi

Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab ca recti adalah:

1. Umur

Dewasa muda dapat terkena kanker kolarektal, namun prevelensi

peluang untuk terkena penyakit ini makin meningkat di atas umur 50

tahun. Sekitar 9 dari 10 orang yang didiagnosa kanker kolarectal berada

pada usia 50 tahun.

2. Polip

Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial

untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri

merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari

hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari

displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi

onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion

memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan

dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.

3. Riwayat polip kolorectal atau kanker kolorectal

Orang dengan riwayat adenomatos polip (adenomas), memiliki peluang

lebih tinggi untuk terkena penyakit kanker kolorectal. Khususnya jika


polipnya dalam ukuran yang besar atau jika polipnya tersebar dan

banyak. Orang dengan riwayat kanker kolorectal, meskipun sel kankernya

telah diangkat, tetap memiliki resiko untuk terjadinya pertumbuhan sel

kanker baru di area yang berbeda dari kolon dan recktum. Kemungkinan

hal ini klebih besar terjadi jika riwayat kanker kolorectal pertama terjadi

pada usia yang cukup muda.

4. Riwayat Inflamatory bowel disease

Inflammatory bowel disease (IBD), yang meliputi ulcerative colitis dan

Crohn’s disease adalah kondisi dimana kolon mengalamai inflamasi

dalam jangka waktu yang lama. Orang yang mengalami IBD dalam

jangka waktu yang lama biasanya mengalami dysplasia.

a. Ulcerative Colitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon

sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis.

Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik

pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan

dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10

tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan

yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi

dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan

mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total

proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya

lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan

asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum

terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan

bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial

untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang


berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari

analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak

menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia

mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling

spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi

anatomi.

b. Penyakit Crohn

Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi

untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika

dibandingkan dengan ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari

kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien

dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari

adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma

meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari

dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan

strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker

dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan

crohn’s disease.

5. Faktor Genetik

a. Riwayat Keluarga

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan

riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan

keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai

kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi

bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki

riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

b. Herediter Kanker Kolorektal


Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari

normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari

seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan

dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan

diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada

keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang

lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan

pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan

lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar. Dua

sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari

sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali

karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju

kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu

familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non

polyposis colorectal cancer (HNPCC).

c. FAP (Familial Adenomatous Polyposis)

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang

berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor

supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan

kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang

telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat

banyak untuk dapat dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang

aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi, direkomendasikan

untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti

dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic

colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang

dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus


sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening

untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP

yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan

mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang

mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary

thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan

medulloblastomas otak. Varian dari FAP termasuk gardner’s

syndrom dan turcot’s syndrom.

d. HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s

sindrom I dan II.Generasi multipel yang dipengaruhi dengan

kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (±45 tahun),

dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas

genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang

bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating

sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite

(mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini

mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang

dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+

phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan

seseorang memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien

dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous,

carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk

kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter,

lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic

kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly

differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang


mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi

pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi

lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi

muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang

berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun,

bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker

kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Pasien dengan

HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita

kanker.kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus

dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota

keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang

berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC

yang didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun,

dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker

kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC

terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari

penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang

mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan

kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.

6. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet

rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker

kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga

penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan

kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme

hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama

adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara


resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal.

Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi

mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan

peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada

sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk

menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen

reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat

meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua

adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan

menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari

pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya

fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari

daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan

adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti

teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator

oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat

meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci.

Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat

memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi;

atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi

insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal

epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara

diet dan resiko kanker kolorektal.

7. Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko

tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak


untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun

berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma

yang berukuran besar. Diperkirakan 5000-7000 kematian karena

kanker kolorektal di Amerika dihubungkan dengan pemakaian rokok.

Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya

risiko kanker kolorektal. Pada berbagai penelitian telah menunjukkan

hubungan antara aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker

kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan

energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara

obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas

prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker

kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan

yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya

adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan

meningkatkan risiko terjadinya adenoma.


D. PATOFISIOLOGI
E. Manifestasi Klinik

1. Perubahan kebiasaan defekasi (merupakan gejala yang paling sering

ditunjukkan), keluar darah bersama dengan feses (merupakan gejala

kedua yang paling sering)

2. Anemia yang tidak diketahui penyebabanya, anoreksia, penurunan berat

badan, dan keletihan.

3. Lesi sebelah kanan: nyeri abdominal tumpul dan melena.

4. Lesi sebelah kiri: nyeri abdominal dank ram, feses mengecil, konstipasi

dan distensi, darah merah segar dalam feses.

5. Lesi rectal: tenesmus (nyeri rektal, evakuasi feses yang tidak lengkap

setelah defekasi), konstipasi dan diare bergantian, serta feses berdarah.

F. Stadium Ca Recti

1. Stadium 0 : Kanker rektum terbatas pada mukosa dalam rektum.

2. Stadium 1 : kanker telah tumbuh ke lapisan yang lebih dalam dari mukosa

rektum, yaitu pada dinding rektum tetapi belum menyebar ke luar rektum

itu sendiri

3. Stadium 2 : kanker telah tumbuh menginvasi dinding rektum dan jaringan

sekitarnya, tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening.

4. Stadium 3 : kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di sekitarnya

tetapi tidak ke organ lain.

5. Stadium 4 : kanker telah menyebar ke organ dan jaringan yang jauh

seperti hati atau paru-paru atau disebut dengan metastasis jauh

G. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat adanya kanken rektum adalah :

a.   Terjadinya osbtruksi pada daerah pelepasan

b.   Terjadinya perforasi pada usus

c.   Pembentukan pistula pada kandung kemih atau vagina.


Karsinoma rektum dapat menyebabkan terjadinya ulserasi atau perdarahan,

menimbulkan obstruksi bila membesar, atau menembus vagina (invasi)

keseluruh dinding usus dan kelenjar-kelenjar regional. Adapun komplikasi

selain terjadinya obstruksi, perforasi yaitu pendarahan dan penyebaran ke

organ yang berdekatan

H. Pemeriksaan Penunjang dan Penentuan Stadium Pre-Operasi

1. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma

Embrionik Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk

melihat perdarahan di jaringan.

b. Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai

pemeriksaan skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum

dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal pemeriksaan digital akan

mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan

teraba keras dan menggaung.

c. Barium enema yaitu cairan yang mengandung barium dimasukkan

melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus

gastrointestinal bawah.

d. Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam

rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan

lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon

e. Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam

rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan

lainnya. Alat colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon

sigmoid.
Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus

dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis

yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar.

Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors,

adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors. Ketika

diagnosis rectal cancer sudah dipastikan, maka dilakukan prosedur untuk

menetukan stadium tumor. Hal ini termasuk computed tomography scan

(CT scan) dada, abdomen, dan pelvis, complete blood count (CBC), tes

fungsi hepar dan ginjal, urinanalysis, dan pengukuran tumor marker CEA

(carcinoembryonic antigen).

2. Penentuan Stadium Pre-Operasi

Menurut kemenkes RI, 2017 Penetapan stadium pra operasi kanker

rectum dapat dilakukan tindakan :

a. Pemeriksaan Colok dubur

Pemeriksaan ini sangat bermanfaat terutama pada kanker rektum

distal. Akurasi stadium yang ditentukan oleh pemeriksaan colok dubur

sangat tergantung kepada pengalaman dokter pemeriksa dan

pemeriksaan colok dubur lebih akurat dalam penetapan stadium lokal

lanjut daripada stadium tumor dini, sehingga nilainya untuk kriteria

pemilihan pasien yang akan mendapat terapi lokal adalah terbatas.

b. Endorectal Ultrasonography (ERUS)

Pemeriksaan ini dilakukan oleh spesialis bedah kolorektal (operator

dependent) atau spesialis radiologi. ERUS digunakan terutama pada

T1 yang akan dilakukan eksisi trans-anal, pada T3-T4 yang

dipertimbangkan untuk terapi neoadjuvan, dan digunakan apabila

direncanakan reseksi trans-anal atau kemoradiasi

c. Computed Tomography (CT) Scan


Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk memperlihatkan

invasi ekstra-rektal dan invasi organ sekitar rektum, tetapi tidak dapat

membedakan lapisan-lapisan dinding usus. Akurasi pada

pemeriksaan ini tidak setinggi ultrasonografi endoluminal untuk

mendiagnosis metastasis ke kelenjar getah bening. Pemeriksaan ini

juga berguna untuk menentukan tumor pada stadium lanjut serta

mengevaluasi keadaan ureter dan vesika urinaria.

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk deteksi dini lesi pada

kanker (T1-T2), lebih akurat dalam menetukan staging lokal T dan N.

Lebih sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi metastasis hati

pada pasien dengan steatosis (fatty liver).

I. Penatalaksanaan

Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa

adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis.

Tiga terapi standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :

1. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan

terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek

dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena

kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien

kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan

kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal

sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant

chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien

lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar

jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih


membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk

membunuh sel kanker yang tertinggal. Tipe pembedahan yang dipakai

antara lain :

a. Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor

dapat dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat

abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya

dinamakan polypectomy.

b. Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu

dilakukan anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi

disekitan rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga

mengandung sel kanker

c. Reseksi dan kolostomi

Gambar 8. Reseksi dan Anastomosis Gambar 9. Reseksi dan Kolostomi

2. Radiasi

Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II

dan III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan

pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi

tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah


diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis

jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan

kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan

telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan

angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi

telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya

pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada

pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.

3. Kemoterapi

Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki

penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),

dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam

atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III).

terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan

dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-

FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen

lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi

bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira

15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar 10%.

J. Masalah Keperawatan

a. Pengkajian

1. Aktivitas/istirahat

Pasien dengan kanker kolorektal biasanya merasakan tidak nyaman

pada abdomen dengan keluhan nyeri, perasaan penuh, sehingga perlu

dilakukan pengkajian terhadap pola istirahat dan tidur.

2. Sirkulasi
Gejala: Palpitasi, nyeri dada pada pergerakan kerja. Kebiasaan:

perubahan pada tekanan darah.

3. Integritas ego

Faktor stress (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan cara

mengatasi stress (misalnya merokok, minum alkohol, menunda

mencari pengobatan, keyakinan religius/ spiritual). Masalah tentang

perubahan dalam penampilan misalnya, alopesia, lesi, cacat,

pembedahan. Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus

asa, tidak mampu, tidak merasakan, rasa bersalah, kehilangan.

Tanda : Kontrol, depresi, Menyangkal, menarik diri, marah.

4. Eliminasi

Adanya perubahan fungsi kolon akan mempengaruhi perubahan pada

defekasi pasien, konstipasi dan diare terjadi bergantian. Bagaimana

kebiasaan di rumah yaitu: frekuensi, komposisi, jumlah, warna, dan

cara pengeluarannya, apakah dengan bantuan alat atau tidak adakah

keluhan yang menyertainya. Apakah kebiasaan di rumah sakit sama

dengan di rumah. Pada pasien dengan kanker kolerektal dapat

dilakukan pemeriksaan fisik dengan observasi adanya distensi

abdomen, massa akibat timbunan faeces. Massa tumor di abdomen,

pembesaran hepar akibat metastase, asites, pembesaran kelenjar

inguinal, pembesaran kelenjar aksila dan supra klavikula, pengukuran

tinggi badan dan berat badan, lingkar perut, dan colok dubur.

5. Makanan/cairan

Gejala: kebiasaan makan pasien di rumah dalam sehari, seberapa

banyak dan komposisi setiap kali makan adakah pantangan terhadap

suatu makanan, ada keluhan anoreksia, mual, perasaan penuh

(begah), muntah, nyeri ulu hati sehingga menyebabkan berat badan


menurun.

Tanda: Perubahan pada kelembaban/turgor kulit; edema

6. Neurosensori

Gejala: Pusing; sinkope, karena pasien kurang beraktivitas, banyak

tidur sehingga sirkulasi darah ke otak tidak lancar.

7. Nyeri/kenyamanan

Gejala: Tidak ada nyeri, atau derajat bervariasi misalnya

ketidaknyamanan ringan sampai nyeri berat (dihubungkan dengan

proses penyakit).

8. Pernapasan

Gejala: Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seorang

perokok). Pemajanan asbes.

9. Keamanan

Gejala: Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan

matahari lama/berlehihan.Tanda: Demam, ruam kulit, ulserasi.

10. Seksualitas

Gejala: Masalah seksual misalnya dampak pada hubungan peruhahan

pada tingkat kepuasan. Multigravida lebih besar dari usia 30 tahun.

Multigravida, pasangan seks multipel, aktivitas seksual dini, herpes

genital.

11. Interaksi sosial

Gejala: Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung

12. Riwayat perkawinan (berkenaan dengan kepuasan di rumah,

dukungan, atau bantuan) Masalah tentang fungsi/ tanggungjawab

peran penyuluhan/pembelajaran.

13. Riwayat kanker pada keluarga.


14. Penyakit metastatik: sisi tambahan yang terlibat; bila tidak ada,

riwayat alamiah dari primer akan memberikan informasi penting untuk

mencari metastatik.

15. Riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya untuk tempat

kanker dan pengobatan yang diberikan.

b. Prioritas masalah Keperawatan

1. Nyeri
2. Konstipasi
3. Ansietas
4. Deficit nutrisi
5. Kerusakan integritas jaringan
6. Resiko infeksi
7. Resiko perdarahan
DIANGOSA SLKI
NO SIKI
KEPERAWATAN

1. Nyeri kronis b.d agen Tingkat Nyeri (L.08066) Menejemen nyeri (i. 08238)
infiltrasi tumor (D.0078)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam diharapkan Tingkat
nyeri Menurun dengan kriteria hasil:
1. Identifikasi lokasi,
1. Keluhan nyeri dari skala 1 karakteristik, durasi,
(meningkat) ke skala 5 (menurun) frekuensi, kualitas,
2. Ekspresi meringis dari skala 1 intensitas nyeri
(meningkat) ke skala 5 (menurun) 2. Identifikasi skala nyeri
3. Rasa gelisah dari skala 1 3. Identifikasi respon nyeri
(meningkat) ke skala 5 (menurun) non verbal
4. Tanda-tanda vital dari skala 1 4. Identifikasi faktor yang
(memburuk) ke skala 5 (membaik) memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan
dan keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2. Konstipasi b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Konstipasi


Penurunan motilitas dalam 3 x 24 jam diharapkan konstipasi (0450)
gastrointestinal dapat teratasi dengan kriteria hasil :  Monitor tanda dan gejala
konstipasi
Elimiasi Usus(0503)  Monitor bising usus
 Monitor hasil warna ,
 Feses lembut dan berbentuk dari volume, frekuensi dan
skala 3 cukup terganggu konsistensi dari feses
ditingkatkan menjadi skala 5 tidak  Instruksikan pada pasien
atau keluarga pad diet
terganggu
tinggi serat, dengan cara
 Kemudahan BAB dari skala 3 cukup yang tepat
terganggu ditingkatkan menjadi  Evaluasi catatan asupan
skala 5 tidak terganggu nutrisi apa saja yang telah
 Suara bising usus dari skala 4 dikonsumsi
terganggu ditingkatkan menjadi
skala 5 tidak terganggu
 Darah dalam feses dari skala 4
ringan menjadi skala 5 tidak ada

3. Defisit Nutrisi b/d faktor Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


psikologis ( keengganan
diharapkan Defisit Nutrisi yang dialami Observasi
untuk makan)
pasien dapat menurun dengan kriteria Identifikasi status nutrisi
hasil: Identifikasi alergi dan
-Nafsu makan meningkat intoleransi makanan
-Frekuensi makanmeingkat Monitor asupan makanan
-Porsi makan yang dihabiskan meningkat Monitor berat badan
-Kekuatan otot menelan meningkat Terapeutik
Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
Berikan makanan tinggi kalori
dan tinggi protein
Berikan suplemen makanan,
jika perlu
Edukasi
Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk
menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu
4. Ansietas b.d kurang Standar Luaran Reduksi Anxietas (I.09314)
terpapar informasi
Tingkat Ansietas (L.09093)
(D.0080)  Observasi
 Verbalisasi khawatir akibat
kondisi yang dihadapi dari skala 1. Identifikasi
saat tingkat anxietas
2 cukup meningkat menjadi berubah (mis. Kondisi,
skala 4 cukup menurun waktu, stressor)
2. Identifikasi
 Perilaku gelisah dari skala 2 kemampuan mengambil
cukup meningkat menjadi skala keputusan
3. Monitor tanda
4 cukup menurun anxietas (verbal dan non
 Perilaku tegang dari skala 2 verbal)
cukup meningkat menjadi skala
Terapeutik
4 cukup menurun
 Pucat dari skala 2 cukup 1. Ciptakan suasana 
terapeutik untuk
meningkat menjadi skala 3 menumbuhkan
sedang kepercayaan
2. Temani pasien untuk
 TTV dari sekala 2 cukup mengurangi kecemasan ,
memburuk menjadi sekala 4 jika memungkinkan
cukup membaik 3. Pahami situasi yang
membuat anxietas
4. Dengarkan dengan
penuh perhatian
5. Gunakan pedekatan
yang tenang dan
meyakinkan
6. Motivasi
mengidentifikasi situasi
yang memicu kecemasan
7. Diskusikan
perencanaan  realistis
tentang peristiwa yang
akan datang

Edukasi

1. Jelaskan
prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin
dialami
2. Informasikan
secara factual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
3. Anjurkan
keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu
4. Anjurkan
melakukan kegiatan yang
tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
5. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan
pengalihan, untuk
mengurangi ketegangan
7. Latih
penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
8. Latih teknik
relaksasi

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian obat anti


anxietas, jika perlu
5. Gangguan Integritas Standar Luaran : Perawatan Luka (I.14564)
kulit Integritas Kulit dan Jaringan (L.14125) Observasi
 Kerusakan jaringan dari skala 2 1. Monitor karakteristik luka
(cukup meningkat) menjadi skala 5 2. Monitor tanda-tanda infeksi
(menurun) Terapeutik
 Kerusakan lapisan kulit dari skala 2 1. Lepaskan balutan dan
(cukup meningkat) menjadi skala 5 plaster secara perlahan
(menurun) 2. Bersihkan dengan cairan
 Nyeri dari skala 3 (sedang) menjadi Nacl
skala 5 (menurun) 3. Bersihkan jaringan nekrotik
4. Berikan salep yang sesuai
dengan kulit/luka
5. Pasang balutan sesuai
jenis luka
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
2. Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik
6. Resiko Perdarahan TINGKAT PERDARAHAN (L.02017) Pencegahan pendarahan
(I.02067)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x 24 jam diharapakan Tingkat Observasi
Pendarahan Menurun, dengan kriteria
hasil: 1. Monitor tanda
dan gejala perdarahan
1. Kelembapan Membran mukosa dari 2. Monitor nilai
skala 1 (menurun) ke skala 5 hematokrit/homoglobin
(meningkat) sebelum dan setelah
2. Kelembapan kulit dari skala 1 kehilangan darah
(menurun) ke skala 5 (meningkat) 3. Monitor tanda-
3. Distensi abdomen dari skala 1 tanda vital ortostatik
(meningkat) ke skala 5 (menurun) 4. Monitor
4. Tanda-tanda vital dari skala 1 koagulasi (mis.
(memburuk) ke skala 5 (membaik) Prothombin time (TM),
partial thromboplastin
time (PTT), fibrinogen,
degradsi fibrin dan atau
platelet)

Terapeutik

1. Pertahankan
bed rest selama
perdarahan
2. Batasi
tindakan invasif, jika
perlu
3. Gunakan kasur
pencegah dikubitus
4. Hindari
pengukuran suhu rektal

Edukasi

1. Jelaskan tanda
dan gejala perdarahan
2. Anjurkan
mengunakan kaus kaki
saat ambulasi
3. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan untuk
menghindari konstipasi
4. Anjurkan
menghindari aspirin atau
antikoagulan
5. Anjurkan
meningkatkan asupan
makan dan vitamin K
6. Anjrkan segera
melapor jika terjadi
perdarahan

Kolaborasi

1. Kolaborasi
pemberian obat dan
mengontrol perdarhan,
jika perlu
2. Kolaborasi
pemberian prodok
darah, jika perlu
3. Kolaborasi
pemberian pelunak tinja,
jika perlu

7. Resiko Infeksi (D.0142) Tingkat infeksi menurun (l. 14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi


selama 3x 24 jam diharapakan Tingkat
Infeksi Menurun, dengan kriteria hasil:
1. Monito
1. Demam menurun r tanda gejala infeksi lokal
2. Nyeri menurun
3. Kadar sel darah putih membaik Terapeutik

1. Batasi jumlah
pengunjung
2. Berikan perawatan kulit
disekitar edema

Edukasi

1. Jelaskan tanda gejala


infeksi
2. Anjurkan
menignkatkan asupan
nutrisi
3. Anjurkan
menignkatkan asupan
cairan

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian vaksin,


jika diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. Colorectal Cancer. Atlanta, Ga: American Cancer

Society; 2012

Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,

Jakarta: EGC.

Carpenito, (2001). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges et. al (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, Jakarta : EGC.

PPNI (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator

Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:Definisi dan kriteria hasil

keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:Definisi dan tindakan

keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Price SA., Wilson L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses

Penyakit, Buku I, Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Rahman, Fadhlur.2009. Karsinoma Rektum. Fakultas Kedokteran Universitas

Mataram.

http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/11/06/laporan-pendahuluan-

pada-pasien-dengan-ca-recti/ diakses tanggal 30 Juni 2013.

Anda mungkin juga menyukai