C-Reaktif Protein
Disusun oleh:
Kelompok 1
Kelas: A19.3
2022
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
contohnya bakteri Genus Mycobacteriumsp, namun fagosit dapat menghancurkannya
dengan senyawa lain berupa radikal bebas yaitu Reactive Oxygen Species (ROS) dan
Nitrite Oxyde (NO).
B. Efek Sitokin
1. Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar, tidak disimpan sebagai molekul
preformed.
2. Aktivitas sitokin sering kali pleiotropik dan redundant, sinergis dan antagonis.
3. Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin lain
4. Aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik
5. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor sitokin / reseptor sel terhadap sitokin
CRP merupakan reaktan fase akut yang ditemukan dalam darah, diproduksi
oleh hepatosit dalam pengaturan infeksi. Konsentrasi serum CRP pada populasi
normal memiliki kadar dibawah 10 mg/l pada 99% sampel normal. Sebagai protein
fase akut, CRP secara langsung berhubungan dengan respon inflamasi dan telah
digunakan untuk memonitor perjalanan infeksi. Kadar CRP meningkat bergantung
pada derajat infeksi yang sedang terjadi.
Protein C-reaktif ini berfungsi sebagai pelengkap dalam mekanisme
pertahanan tubuh, protein C-reaktif mengikat senyawa fosforil kolin pada lapisan kulit
4
terluar bakteri yang masuk ke dalam tubuh dan mengganggu proses perkembangan
bakteri tersebut (Bratawidjaja,2004). Protein C-reaktif juga mengikat kolesterol LDL
(low density lipoprotein) dan lemak aterogenik, yaitu senyawa berbahaya bagi tubuh
yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pembuluh darah. Peran protein C-
reaktif sebagai salah satu bentuk pertahanan tubuh, namun peningkatan kadar protein
C-reaktif ini juga menimbulkan pengaruh yang merugikan yaitu mengaktifkan sistem
komplemen, meningkatkan laju endap darah dan menyebabkan luka pada arteri
(Genco, 2002). Pengaruh-pengaruh yang timbul dari peningkatan kadar protein C-
reaktif ini menjadi salah satu faktor kemungkinan terjadinya penyempitan pembuluh
darah atau aterosklerosis.
Statin berpengaruh terhadap produksi dari berbagai sitokin, antara lain IL6,
IL-8, TNF-α, MCP-1 dan C-reactive protein (CRP). CRP terutama diproduksi oleh sel
hepatosit sebagai respon terhadap IL-6. Penelitian in vitro oleh Arnauld et al. (2005)
dengan menggunakan sel hepatosit manusia yang distimulasi dengan IL-6 dan
kemudian diberi perlakuan pemberian simvastatin dan atorvastatin. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa sel hepatosit yang diberi perlakuan statin menunjukkan
penghambatan secara signifikan ekspresi IL-6 dalam menginduksi produksi CRP
(Arnauld et al., 2005; Kothe et al., 2000).
Dalam keadaan tertentu dengan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan baik
yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi, konsentrasi CRP
dapat meningkat sampai 100 kali sehingga diperlukan suatu pemeriksaan yang dapat
mengukur kadar CRP. High sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) adalah
pengukuran konsentrasi CRP secara kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai
< 0,2 – 0,3 mg/L (Silalahi, 2013).
C-Reactive Protein pertama kali dideskripikan oleh William Tilet dan Thomas
Francis di Institute Rockefeller pada tahun 1930. Mereka mengekstraksi protein dan
serum pasien yang menderita Pneumonia pneumococcus yang akan membentuk
presipitasi dengan C polisakarida dan dinding sel Pneumocouccus. Karena reaksi
antara protein dan polisakarida menyebabkan presipitasi maka protein ini diberi nama
C-reactive Protein (Agustin, 2016).
Awalnya protein ini disangka mempunyai respon spesifik terhadap C
polisakarida dari pneumonkokus, tetapi ternyata protein ini adalah suatu reaktan fase
akut yang timbul akibat proses inflamasi (Arnadi, 2015).
5
Protein ini disebut demikian karena ia bereaksi dengan c-polisakarida yang
terdapat pada Streptococcus pneumoniae. Dulunya dikira timbulnya protein ini karena
respon spesifik terhadap infeksi pneumokokus tetapi ternyata protein ini merupakan
suatu reaktan fase akut, yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi. Kadar CRP
dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam dan
mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah diberi pengobatan yang efektif
dan rangsangan inflamasi hilang, maka kadarnya akan turun 5–7 jam waktu paruh
plasma (Lusari, 2012).
Dalam aplikasi klinis, CRP merupakan prediktor kejadian kardiovaskular,
khususnya penyakit jantung koroner dan lebih kuat dibandingkan LDL. Kadar CRP
menandakan adanya ateroaklerosis yang merupakan faktor resiko terjadinya PJK
(Agustin, 2016).
Jika terdapat kalsium, CRP berikatan dengan polisakarida seperti
Phosphocholine (PCh) pada mikroorganisme dan memicu jalur klasik komplemen
sistem imun alamiah dengan mengaktivasi C1q. CRP memiliki berbagai homolog
pada vertebra dan beberapa pada invertebra dan merupakan protein dari famili
pentraksin, yang meliputi beberapa molekul-molekul lain dengan struktur yang serupa
seperti amyloid. Induksi transkripsional pada gen CRP terutama terjadi pada hepatosit
di lever akibat peningkatan kadar sitokin-sitokin inflamasi, terutama interleukin-6 (IL-
6).
Penelitian-penelitian juga telah menunjukkan hubungan antara produksi TNF-
α dan konsentrasi CRP. TNF-α mampu menginduksi sekresi CRP dari hepatosit, yang
mana akan meningkatkan CRP mRNA. Sebaliknya, peningkatan kadar CRP pada
pasien sepsis disebabkan oleh induksi IL-1β, IL-6, dan TNF-α oleh makrofag. Fakta-
fakta lain juga menyatakan adanya hubungan yang erat antara TNF-α dan IL-6 pada
kondisi inflamasi, di mana TNF-α dan IL-6 menginduksi transkripsi CRP.
6
dilepas oleh hati dibawah rangsangan sitokin-sitokin seperti IL6, Interleukin 1 (IL-1),
dan Tumor Necroting Factor α (TNF-α). Beberapa obat seperti colchicine dapat
menghambat produksi CRP sedangkan obat immunosupresif saperti cortikosteroid
dan yang lainnya atau obat anti radang (Non Steroid Anti Inflamation Drug) tidak
dapat menghambat sekresinya (Silalahi, 2013).
Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan,
konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak
sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam dan menetap pada semua
keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di sirkulasi
adalah menghitung sintesa IL-6 dengan demikian menggambarkan secara langsung
intensitas proses patologi yang merangsang produksi CRP (Silalahi, 2013)
CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu protein pengikat
kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5- 6 subunit
polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam amino, dan
berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk
cakram (disc) dengan berat molekul 110 – 140 kDa, setiap unit mempunyai berat
molekul 23 kDa (Silalahi, 2013). Struktur CRP lebih dikenal dengan sebutan
pentraxin protein karena memiliki 5 subunit identik, dikodekan oleh gen tunggal pada
kromosom 1. Masing-masing subunit berisi satu lokasi pengikatan untuk molekul
fosfokolin dan 2 lokasi pengikat waktu kalsium (Agustin, 2016).
C-Reactive Protein terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP)
dan monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai reaksi
fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan jaringan. Bentuk
monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami dissosiasi dan mungkin
dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti otot polos dinding arteri, jaringan
adiposa dan makrofag (Silalahi, 2013).
Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh (in vivo) belum diketahui seluruhnya,
banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP bukan suatu antibodi,
tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis yang menunjukkan peranannya pada
7
proses peradangan dan mekanisme daya tahan tubuh terhadap infeksi. Beberapa hal
yang diketahui tentang fungsi biologis CRP ialah :
1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui reaksi
presipitasi / aglutinasi.
2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti granulosit
dan monosit / makrofag.
3. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini diduga
CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi tertentu selama
proses keradangan.
4. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel
rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.
5. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen yang
terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan (Silalahi, 2013).
Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) merupakan sitokin utama pada respon
inflamasi akut terhadap bakteri gram negatif dan mikroba lainnya. Infeksi yang berat
dapat memicu produksi TNF dalam jumlah besar yang menimbulkan reaksi sistemik.
TNF disebut TNF-α atas dasar historis dan untuk membedakannya dari TNF-β atau
limfotoksin. Sumber utama TNF-α ialah fagosit mononuklear dan sel T yang
diaktifkan antigen, sel NK, dan sel mast. Lipopolisakarida merupakan rangsangan
poten terhadap makrofag untuk menyekresi TNF. IFN-γ yang diproduksi sel T dan sel
NK juga merangsang makrofag antara lain meningkatkan sintesis TNF.
TNF-α mempunyai beberapa fungsi dalam proses inflamasi, yaitu dapat
meningkatkan peran pro trombotik dan merangsang molekul adhesi dari sel leukosit
serta menginduksi sel endotel, berperan dalam mengatur aktivitas makrofag dan
respon imun dalam jaringan dengan merangsang faktor pertumbuhan dan sitokin lain,
berfungsi sebagai regulator dari hematopoetik serta komitogen untuk sel T dan sel B
serta aktivitas sel neutrofil dan makrofag. TNF-α juga memiliki fungsi tambahan yang
menguntungkan termasuk peranannya dalam respon imun terhadap bakteri, virus,
jamur, dan invasi parasit.
TNF-α pada awalnya ditemukan pada tumor tertentu yang mengalami
perdarahan. Ternyata perdarahan ini disebabkan adanya nekrosis jaringan. Pada
8
penderita infeksi oleh parasit bahan yang dinamakan cahectin sebagai penyebab
kekurusan yang berlebihan. Dua jenis mediator tersebut termasuk golongan sitokin
yang dinamakan Tumor Nekrosis Faktor (TNF). Tumor nekrosis faktor dibentuk atas
212 asam amino diatur pada homotrimers yang stabil dengan berat molekul 51 kDal.
TNF-α adalah suatu sitokin yang bersifat pleiotropik, yang sebagian besar
dihasilkan oleh monosit, makrofag dan sel T. Sebagai tambahan, seperti sitokin
proinflamasi yang lain, ekspresi dan sintesa dari TNF-α tidak hanya dihasilkan oleh
sel-sel hematopoetik saja. Selanjutnya, selintrinsik ginjal, termasuk sel mesangial,
glomerulus, endotel, dendrit, sel tubulus ginjal, juga dapat menghasilkan sitokin.
Selain itu, penelitian pada saat ini memperlihatkan bahwa, TNF-α dapat disimpan di
dalam sel dalam bentuk proaktif, dan enzim yang dapat merubah TNF-α secara cepat
dapat menurunkan kadar TNF-α yang aktif. Menurunkan kadar TNF-a terdapat pada
keadaan inflamasi akut dan kronik.
TNF-α terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel jenis lainnya dengan
berbagai aktivitas biologi pada sel-sel sasaran yang termasuk sistem imun maupun
bukan. Sejumlah jenis sel baru dapat menghasilkan TNF setelah mendapatkan
rangsangan yang cocok misalnya dari limfosit dan sel NK. Sumber TNF-α plasma
pada keadaan aterosklerosis belum jelas, dapat berasal dari makrofag maupun sel
lainnya seperti sel endotel dan sel lemak sangat menarik terungkapnya jejaring
pengawasan induksidan efek dari TNF, misalnya IL-1 menginduksi produksi TNF dan
sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1 olehmakrofag. Ada 2 bentuk TNF-α dan
TNF-β. TNF-α diproduksi oleh berbagai jenis sel termasuk makrofag, selT, B dan
NK. Akhir- akhir ini terungkap TNF- α disebut pula TNF-β sebagai limfotoksin
karena mempunyai efeksitotoksik, dihasilkan oleh limfosit TH1, sebagian oleh
limfosit TH2 dan sel T sitotoksik. Sebaliknya TNF-β disekresi oleh sel T dan sel T
teraktivasi. TNF-α dapat dihasilkan oleh beberapa sel, terutama makrofag akibat
adanya suatu stressor ataupun infeksi. Pada saat ini beberapa studi melaporkan bahwa
akan terjadi peningkatan terhadap produksi TNF-a pada beberapa penyakit, namun
belum ditemukan nilai cut off point.
9
H. Efek TNF
I. Pengertian Interleukin
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
Harri, Kurnia Chandra. dkk., 2021. Peranan C-Reactive Protein (CRP) pada Pasien Sepsis di
Intensive. Journal of Anaesthesia and Pain, Volume 2, pp. 1-10.
Haq, Nurmalita Insani. dkk., 2020. Kadar Protein C-Reaktif Pasien Sepsis dan Non Sepsis di
Ruang Rawat Intensif RSUD Ulin Banjarmasin. Homeostasis, Volume 3, pp. 425-434
Samudra, Dian., 2019. Pengaruh Statin dan Antibodi LPS Terhadap TNF-a, Oksidatif Stress
dan Penanda Biokimiawi dari Disfungsi Organ Tikus Model Sepsis IIP E. coli.
Supit, IA. dkk., 2015. Profil Tumor Necrosis Factor (Tnf-Α) Berdasarkan Indeks Massa
Tubuh (IMT) Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unsrat Angkatan 2014. Jurnal e-
Biomedik (eBm), Volume 3, Nomor 2.
Susanto, Agus. dkk., 2009. Kadar Protein C-Reaktif Setelah Perawatan Periodontal Non
Bedah pada Pasien Periodontitis Kronis.
12
Notulensi Presentasi
13