Anda di halaman 1dari 17

TUGAS CJR

PENDIDIKAN NILAI DALAM PPKn

DISUSUN OLEH:

NOVRIDAH REANTI PURBA (8216181006)

DOSEN PENGAMPU : Dr. Yacobus Ndona, M.Hum

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan bermasyarakat kita semua hidup berdasarkan nilai dan norma yang

berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam lingkungan masyarakat pula kita sering mendengar

istilah kata etis dan tidak etis, keduanya digunakan oleh manusia untuk menggambarkan dan

menilai suatu bentuk perilaku yang dianggap baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas.

Penilaian manusia terhadap tingkah laku etis atau tidak etis ini berdasarkan atau bersumber pada

hati nurani manusia itu sendiri dan ditambah dengan adanya nilai-nilai lain yang berkembang di

lingkungan tersebut, seperti nilai-nilai adat.

Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan bahwa etika adalah suatu ilmu

pengetahuan yang mempelajari tentang tingkah laku baik dan buruknya manusia dalam berbuat

dan bertindak yang seharusnya. Terkait dengan perkembangan zaman pada saat ini, maka

wacana etika harus lebih ditegakkan dalam setiap kehidupan manusia. Karena segala sesuatu

harus dinilai terlebih dahulu baik dan buruknya, bukan hanya terbatas dalam kehidupan untuk

melakukan kewajiban beretika, melainkan bagaimana upaya untuk merealisasikan nilai-nilai

yang telah ada.

Peranan etika sangatlah penting dalam segala bidang keilmuan, karena setiap bidang

keilmuan memiliki panduan dan batasannya masing-masing yang harus ditegakkan. Dengan

begitu, maka kajian etika ini menembus segala bidang dalam hidup manusia, salah satunya

tentang nilai pada saat ini. Banyak orang melakukan kewajiban tetapi tidak tahu dengan nilai

yang terkandung di dalamnya, jadi yang mereka lakukakan hanya memenuhi kewajiban saja dan

tidak merealisasikan nilai.


Misalnya pelajar di sekolah, jika mereka hanya memenuhi kewajiban saja maka mereka

hanya masuk sekolah dan tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Maka dari itu perluh tahunya

nilai-nilai yang ada di dalam kewajiban agar apa yang dilakukan bisa sepenuhnya dipahami dan

direalisasikan dengan baik. Namun menurut Max Scheler, Kant dengan formalismenya justru

tidak menangkap hakikat moralitas yang sebenarnya. Sebuah tindakan bernilai secara moral

bukan karena merupakan kewajiban, melainkan bernilai secara moral. Nilai mendahului

kewajiban. Inti moralitas bukanlah kesediaan untuk memenuhi kewajiban, melainkan kesedian

untuk merealisasikan apa yang bernilai.

Mengusahakan nilai-nilai moral sebenarnya tidak perlu diperintahkan karena manusia

dengan sendirinya tertarik oleh apa yang bernilai. Maka bukan kewajiban, melainkan nilai yang

menjadi pusat moralitas. Jadi nilai menurut Max Scheler merupakan kualitas yang tidak

tergantung pada benda. Benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup

setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas priori. Ketidakgantungan tidak hanya mengacu pada

objek yang ada di dunia seperti lukisan, patung, tindakan manusia dan sebagainya namun juga

reaksi kita terhadap benda dan nilai.

Penelitian tentang hakikat nilai dan pendekatan intuitif melalui apriori emosi (intuisi)

terhadap kehidupan kongkrit sangat menarik dan penting bagi upaya mengatasi krisis yang

terjadi di Indonesia. Penelitian ini penting terutama untuk merumuskan dasar aksiologis

pengembangan kepribadian bangsa dan kehidupan bangsa Indonesia di masa depan. Dasar

aksiologis untuk menentukan pilihan hierarkhi nilai-nilai hidup yang dapat

dipertanggungjawabkan bukan hanya kebenarannya, tetapi juga ketepatannya.


Refleksi terhadap pandangan-pandangan dasar aksiologis Scheler tetap harus di dalam

bingkai akulturasi. Akulturasi budaya dipahami sebagai suatu pengembangan nilai-nilai budaya

sendiri melalui pengaruh nilai-nilai budaya dari luar untuk tujuan tertentu. Tujuan akulturasi

adalah agar dapat mengambil unsur-unsur nilai baru yang dapat memajukan dan

mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia sendiri.


BAB II
Ringkasan
1. Riwayat Hidup Max Scheler

Max Scheler dilahirkan di Munchen Jerman Selatan pada tahun 1874, suatu daerah yang

masyarakatnya mayoritas Katholik. Pendidikan selanjutnya ia berhasil mencapai promosi

dibawah bimbingan Prof. Rudolf Eucken di Jena dalam judul karangan "Sumbangan untuk

Menetapkan Hubungan antara Prinsip-prinsip Logis dan Etis. "Prof. Rudolf Eucken adalah

seorang filsuf yang sangat gigih menentang dominasi positivisme dan materialisme pada waktu

itu. Ia menekankan adanya 'ruh" disamping materi. Ia menekankan pula nilai-nilai manusiawi,

kesusilaan, kebudayaan dan agama.

Pad 1990 Ia memperoleh pengakuan dan penghormatan atas karangan berjudul: "Metode

Transendental dalam Psikologi." Sesudah itu ia menjadi dosen di Jena. Kemudian pada tahun

1907 ia memangku jabatan yang sama di kota asalnya, Munchen. Pada tahun 1912 terbit

karyanya yang besar "tentang Resentimen dan Putusan Nilai Moral", dan pada tahun 1913 terbit

karyanya yang lebih penting berjudul “Hakikat dan Bentuk-bentuk Simpati", yang dapat

dipandang sebagai aliran filosofinya tentang manusia.

2. Pengaruh Fenomenologi

Karya Scheler mengalir seperti yang dijelaskan dimuka, banyak pengaruhnya dari

fenomenologi (Husserl), disamping pengaruh tradisi Katholik. Metode fenomenologi diterapkan

secara konsisten dalam etika, filsafat kebudayaan. Sedangkan tradisi Katholik sangat

mempengaruhi jalan pikirannya (walau ia sempat keluar masuk), antara lain karyanya "Tentang

yang abadi dalam diri manusia", dan karya lain banyak pandangannya di bidang filsafat agama.
Metode fenomenologi tentang "hakikat" oleh Scheler diterapkan pada bidang teori

pengenalan, etika, filsafat.kebudayaan, keagamaan dan bidang nilai. Metode fenomenologi

Scheler terutama tertumpu pada karya Husseri mengenai "Penelitian-penelitian tentang Logika”.

Walaupun dikemudian hari ia tidak tertari: lagi. Husserl seorang sarjana klasik yang

mencurahkan perhatian kepada masalah-masalah yang fundamental dan sedapat mungkin ia

menjauhkan diri dari masyarakat. Sebaliknya bagi Scheler, filsafat dan kehidupan konkrit tidak

dapat dipisahkan. Hubungan tersebut. dinamakan sebagai "pengalaman fenomenologi". Yang

memainkan peranan dalam pengalaman fenomenotogi bukan fakta biasa, melainkan fakta jenis

tertentu, yaitu fenomenologis: Scheler membedakan tiga jenis fakta :

a. Fakta natural: Berasal dari pengenalan inderawi yang menyangkut benda-benda konkrit.

Fakta semacam ini nampak dalam pengalaman biasa.

b. fakta ilmiah: fakta ini mulai melepaskan dari pencerapan inderawi yang langsung dan

semakin abstrak. Fakta ilmiah dapat dijadikan suatu formula simbolis yang dapat

diperhitungkan dan” dimanipulasi, walaupun sudah tidak bersangkutan lagi dengan fakta

konkrit, sehingga kaitannya dengan realitas inderawi semakin menipis.

c. fakta fenomenologis: adalah isi institusi atau hakikat yang diberikan dalam pengalaman

langsung tidak tergantung dari ada tidak adanya realitas dari luar. Fakta fenomenologis

selalu diberikan dalam keadaan utuh (bukan sebagian seperti simbol). Mereka itu tidak

mungkin terancam ilusi.


Menurut Scheler fakta natural dan fakta ilmiah mempunyai dasar/landasan pada fakta

fenomenologi. Pendekatan fenomenologis seperti dilakukan Max Scheler secara ringkas

dijelaskan sebagai berikut :

a. penghayatan: pengalaman intuitif yang menuju kepada "yang diberikan", dengan

demikian kita menghadapi sikap yang sama sekali aktif.

b. perhatian kepada esensi: sambil tidak lagi memperhatikan segi eksistensi (adanya). Hal

ini merupakan salah satu aspek dari apa yang ditunjukkan Husserl sebagai "Reduksi

transcendental".

c. perhatian hubungan satu sama lain antara esensi-esensi tadi: hubungan itu bersifat apriori

"diberikan dalam intuisi", terlepas dari kenyataan, hubungan satu sama lain antara esensi-

esensi itu dapat bersifat togis maupun non fogis. Prinsip kontradiksi dapat dikemukakan

sebagai contoh hubungan satu sama lain antara esensi-esensi logis. (dasarnya: ada dan

tidak ada, tidak mungkin diperdamaikan).

Kenyataan bahwa warna tidak mungkin tanpa keluasan (extension), dapat dipakai sebagai

contoh satu sama lain esensi-esensi yang non logis. Menurut Scheler, dunia esensi terdiri dari

fenomena dan ide-ide. Dengan demikian persepsi indra dan konsep rasio praktis (hanya)

merupakan "Image". fa memberi contoh misalnya "esensi hidup", secara fundamental ia yang

terjabar kemudian, merupakan "logis objektif” dan tersusun dalam realitas dunia yang

menyeluruh.

“Sesuatu yang tersajikan" dalam pengalaman fenomena logis yang sangat murni, hal ini

merupakan fakta-fakta yang memiliki "(adanya) dunia mutlak”. Scheler memang menyatakan,

bahwa fenomenotogi secara ketat serupa dengan metafisika. "Status ontologi dari esensi dapat
dilihat dalam kenyataan bahwa para ahli Nisafat dapat memahami dengan jalan abstraksi (istilah

Scheler : dengan jalan cinta kasih) serta partisipasi manusia ke dalam inti yang terdalam.

Dengan cara demikian (berperan serta dalam ada yang mutiak) maka ada beda dalam

dirinya sendiri. Supaya para ahli filsafat dapat berada dalam ada yang mutlak (berperan serta

dalam ada yang mutiak) maka ahli filsafat harus melepaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan

biofisik yaitu dari daya hidup dan dari ini hendaknya dilakukan dengan cara reduksi

fenomenologi. Max Scheler memandang fenomenologi sebagai empirisme dan positivisme yang

sangat radikal, (radikal dimaksudkan sebagai kegiatan menggali pengetahuan dan pengalaman

sampai ke akarnya). Bagi Scheler istilah fenomenologi itu merupakan kegiatan masalah fakta

mutlak, dengan demikian secara konsisten ia menggantikan serupa dengan metafisika.

3. Ajaran Max Scheler

Karangan-karangan Max Scheler. muncul sebagai reaksi pada zamannya. Ajarannya

merupakan contoh bagaimana 'ia menyelesaikan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi

secara dinamis dengan analisa logis terhadap implikasi yang khusus dapat ditelusuri keasliannya.

Pada masa berikutnya ia nampak terlihat dalam persoalan-persoalan yang mendasar tentang

masyarakat, antara lain ia meletakkan dasar-dasar ontologis bagi perkembangan masyarakat

dengan meletakkan hubungan faktor-faktor kehidupan yang bersifat spiritual maupun material.

Ia menyoroti secara tajam tentang filsafat manusia dengan memusatkan perhatiannya.

pada masalah eksistensi. manusia, tempat kedudukan manusia dalam alam semesta (kosmos),

persoalan biologisnya secara teoritis dan ia berhasil menunjukan refleksi. yang mendalam

tentang manusia. Manusia bukan satu-satunya realitas di alam semesta ini, melainkan merupakan

salah satu unsur saja dari keseluruhan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan manusia di

alam semesta ini sangat unik atau mempunyai dimensi yang kompleks (muiti dimensional).
Sebagai salah satu unsur realitas di alam semesta ini memang tidak dapat dipungkiri

keberadaannya diwarnai Oleh gejala-gejala yang kompleks dari yang paling sederhana sampai

pada yang rumit. Manusia tidak dapat dipisahkan dari realita jasmaniah, sehingga ia dapat

dianalisa secara jasmaniah/biologis. Namun manusia mempunyai sisi lain yang sifatnya

ruhaniah. (psikhis) yang sebenarnya baru difahami keberadaannya dengan menangkap gejala

konkrit, kemudian ditelusuri sampai pada gejala psikhis. Dapat disimpulkan, bahwa manusia itu

dalam realitasnya merupakan makhluk yang kompleks: Manusia itu (hanya) merupakan salah

satu jenis dari keseluruhan (totalitas) kehidupan organisme.

Manusia harus menuju pada suatu kelepasan tertentu dalam Lingkungannya (dunia

material) serta mentranformasikan ke dalam dunia spiritual (psikhis). Sehingga manusia pada

saatnya mampu berada pada taraf yang lebih tinggi. Secara terinci dijelaskan keberadaan

manusia (eksistensi manusia) dalam hidup berupa tindakan yang terendah sampai sangat

tertinggi, yakni "tingkatan eksistensi psikhis".

a. Tingkatan kehidupan pertumbuhan (vegetatif)

b. Tingkatan kehidupan instinktif (naluriah)

c. Tingkatan ingatan assosiasif (hubungan assosiasif)

d. Tingkatan intelegensia praktis

e. Tingkatan manusia sebagai makhluk kejiwaan (psyche).

Scheler menempatkan dasar metafisika yang pokok tentang "nilai" dan dasar dari obiek

dalam nilai yang utama dari suatu Tuhan yang berpribadi. Bahwa segala nilai yang mungkin

diketemukan pada nilai suatu jiwa pribadi yang tidak terbatas. Segera nilai dan jenis-jenis nilai

pribadi kenyataannya terkandung bersama-sama dalam kebaikan yang hakiki dari Tuhan. Bagi

Scheler, "nilai" merupakan manifestasi dari essensi Ilahi dan mereka tercermin dalam cara yang
terpencar-pencar dalam nilai kebenaran Tuhan. Nilai (seperti baik, benar, indah dan sebagainya)

ditangkap pada subjek "tetapi sebaliknya subjek seakan-akan tergantung pada nilai".

Kesimpulan yang dapat diperoleh. ialah nilai tu berlaku objektif apriori. . Berdasarkan

penelitian fenomenotogi Scheler menggolongkan sifat itu dalam empat kelompok :

a. Nilai yang menyangkut kesenangan (terendah)

b. Nilai yang vital

c. Nilai rukhani

d. Nilai yang tertinggi (suci)

Scheler menggolongkan ada beberapa nilai (tingkatan): selanjutnya ada kriteria tertentu

untuk menetapkan hirarki nilai sebagai berikut :

a. Berdasarkan pada lamanya suatu nilai, kecenderungan intern untuk bertahan terus.

Contohnya "cinta" jika dibandingkan dengan rasa simpati yang mudah hilang.

b. Nilai-nilai lebih rendah dapat dibagi-bagikan diantara beberapa orang, sedang nilai-nilai

tebih tinggi tidak mungkin dibagi-bagi. Contoh: bahan makanan dengan barang seni.

Oleh sebab itu lebih banyak orang senang mengambil bagian dalam nilai-nilai lebih

tinggi dari pada dalam nilai-nilai lebih rendah.

c. Bahwa suatu nilai makin tinggi semakin kurang pula didasarkan pada nilai -nilai lain, dan

semakin rendah suatu nilai semakin banyak 'ia dasarkan pada nilai-nilai lain. Contoh:

"yang berguna" sebagai nilai didasarkan pada "yang menyenangkan", tetapi "yang

menyenangkan" didasarkan pada nilai vital.

d. Nilai-lebih tinggi menghasilkan rasa puas yang lebih mendalam pula.


e. Nilai-nilai lebih tinggi kurang dialami dalam organisme subjek bersangkutan. Misalnya:

"yang menyenangkan" berhubungan erat dengan indera dan perasaan iderawi, sedangkan

perasaan-perasaan itu.

f.

4. Penutup

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penerapan pendekatan

fenomenologi Max Scheler dalam bidang nilai sangat detail. Membagi nilai menjadi beberapa

golongan dengan kriteria tertentu. Juga diakui mampu mengatasi relativisme Nietzhe. Jika kita

mengetahui konsep nilai Max Scheler sebagai. Suatu kebenaran (baik menyeluruh ataupun hanya

sebagian saja) kiranya pemikiran Scheler dalam bidang "nilai" ini membantu untuk merenungkan

nilai-nilai etika. Beberapa kata-kata kunci dari pemikiran Scheler tentang "nilai" tersebut di atas

adalah:

a. Kenyataan-kenyataan lain yang ada hanyalah merupakan "pendukung", "pengemban"

nilai. Nilai merupakan suatu kenyataan yang ada pada umurnnya tersembunyi di balik

kenyataan-kenyataan lain.

b. "Dunia nilai sangatlah kaya, nilai tidak dapat disimpulkan hanya dalam satu nilai atau

beberapa nilai. Nilai-nilai itu bukan ciptaan manusia, manusia hanya "menemukan" nilai-

nilai saja. Sumber nilai adalah Tuhan, nilai berasal dari Tuhan.

c. Hirarki nilai secara obyektif memang tidak demikian hal ini tidak dibuat manusia. Nilai-

nilai yang ada tidak sama luhur dan sama tinggi. Secara kenyataanya ada yang lebih

tinggi dan ada yang lebih rendah dibanding dengan nilai-nilai lain.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan nilai sebagai kualitas, Scheler berpendapat bahwa nilai bukanlah

bagian dari objek bernilai, eksistensinya tidak bergantung pada pembawanya (apriori), yang

tidak akan mengalami perubahan selang berubahnya objek. Contoh kecil dapat digambarankan,

yaitu meskipun seorang pembunuh tidak pernah dinyatakan jahat, tetapi dia akan tetap jahat.

Sebaliknya, meskipun “sesuatu yang baik” tidak pernah dimengerti sebagai baik, tetapi akan

tetap menjadi yang baik.

Dari sudut pandang subjektif atau objektif suatu nilai, menurut Scheler, nilai suatu hal

yang objektif, tanpa kecenderungan dari subjektivisme parsial. Nilai memiliki kemutlakan yang

tidak dapat diubah walaupun dengan penilaian itu sendiri. Dengan demikian, nilai dapat

dimaknai dengan sesuatu yang hanya dapat terjadi dengan menggunakan jiwa yang bergetar,

yaitu dengan emosi atau hal yang menuju perasaan (apriori perasaan). Hal tersebut jelas berbeda

dengan pemahaman umum, layaknya mendengar, melihat, atau mencium sesuatu.

Dapat dikatakan, bahwa nilai seharusnya tidak dapat dimasuki oleh logika penalaran dan

rasio, yang ditimbulkan akibat manusia yang memiliki persepsi sentimental, dalam preferensi,

cimta, dan benci. Hal tersebut dipengaruhi peran fenomenologis terhadap dunia emosional

manusia, yang menjadikannya tidak bisa membedakan dunia emosional dengan jelas.

Selanjutnya, Scheler memberikan pemahaman yang berbeda antara perasaan intensional dengan
keadaan sensitif. Yang pertama disebut, pemahaman dari suatu keadaan, dan yang terakhir

disebut, pengalaman murni akibat dari suatu keadaan.

Selain itu, Scheler juga tidak percaya dengan pencarian suatu nilai pada realitas objek

ideal, yang digambarkan pada bilangan dan gambar geometris. Konsep-konsep, seperti konep

keindahan, kesenangan, dan lain sebagainya, memang benar berada pada kenyataan ideal, tetapi

nilai moral dan nilai lainnya tidak memiliki batasan sekadar konsep atau dalam suatu pengertian

ideal. Perlu adanya pembedaan antara konsep tentang nilai dengan nilai itu sendiri, sama halnya

dengan penilaian dan nilai. Nilai, menurut Scheler, tidak akan bisa dirasakan melalui rasio

belaka, karena nilai dapat dirasakan dengan adanya intuisi emosional, yaitu dengan pemahaman

secara langsung oleh emosi.

Dengan intuisi, nilai dapat ditangkap dan dirasakan tanpa adanya pengalaman inderawi

terhadap objek bernilai, sehingga akan merasakan hal yang sesungguhnya ada. Dalam kehidupan

nyata, akan selalu ada keterkaitan dengan sesuatu yang terkadang tidak dapat dipandang dari

persepsi intelektual, tetapi dengan perasaan nilai. Dengan demikian, etika emosi Max Scheler

bukan suatu bentuk empirisme, yang mendasar pada pengalaman indera, melainkan merupakan

intuisi esensial.

Orang harus memulai dengan akhir dalam pemikirannya. Ini berarti pada saat manusia

mulai berpikir, ternyata pemikirannya justru diawali atau didasari oleh tujuan yang pada

akhirnya akan dicapai. Masalah dasar hidup manusia justru terletak pada kesadaran akan tujuan

yang perlu diwujudkan berdasar keadaan sekarangnya, yaitu kualitas-kualitas yang dirasakan

paling baik untuk diwujudkan.


Pemikiran memiliki peranan untuk memperoleh kejelasan tentang jalan yang perlu

ditempuh, rambu-rambu yang ditemukan, berbagai rintangan yang perlu dihadapi, sarana yang

digunakan, serta cara-cara dan tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan yang sudah

ditentukan tersebut. Sedangkan arah-tujuan yang sebaiknya dan seharusnya diusahakan

ditentukan oleh pilihan hati nurani yang terpanggil pada nilai/kualitas atau yang baik untuk

diwujudkan.

Berdasar Etika Deontologis (misal Etika Wahyu, etika peraturan), jawabannya adalah

karena hal tersebut telah ditentukan dalam wahyu atau peraturan. Suatu baik dilakukan, karena

wajib dilakukan; dan suatu dikatakan jahat, karena wajib dihindari atau dilarang. Namun bila

mengikuti pemikiran Covey, tindakan hanya merupakan langkah yang dilakukan untuk

mewujudkan tujuan, sehingga sebenarnya tujuanlah yang semestinya menentukan baik atau

jahatnya tindakan.

Etika Nilai Max Scheler mampu menampung atau mengakomodasi adanya berbagai

perbedaan dari paham etika teleologis tersebut di atas, karena Max Scheler memiliki pemahaman

nilai yang bersikap obyektif, mendasar, serta dapat mencakup segala nilai seluruh unsur dan

aspek kehidupan manusia. Nilai yang diperkenalkan Max Scheler bukanlah nilai yang bersifat

subyektif (tergantung pada subyek bersangkutan), tidak yang bersifat relatif (tergantung situasi

dan kondisi hal yang bernilai), melainkan bersifat obyektif, sebagai kualitas yang tidak

ditentukan subyek maupun lingkungan terwujudnya nilai tersebut.

Nilai tidaklah terbatas pada salah satu unsur saja, misalnya kenikmatan belaka yang

bersifat empiris dan hedonis, melainkan merupakan kualitas kehidupan yang mencakup unsur-

unsur dan aspek-aspek yang luas dalam kehidupan manusia, misalnya: unsur jasmaniah, unsur

rohaniah, aspek sosial, aspek religius. Dengan demikian dalam tindakan moral, orang tidak
hanya berhenti mencari kenikmatan belaka (hedonis), dan tidak berhenti pada perintah untuk

menjalankan kewajiban saja (deontologis); melainkan kewajiban melakukan tindakan moral

untuk mewujudkan nilai-nilai dalam arti luas dan obyektif, yaitu nilai-nilai positif dan luhur

sebagai tujuannya (teleologis).

Dalam rangka membangun pribadi mahasiswa yang mampu berperanan dan bertanggung

jawab dalam kehidupan masyarakat, Lembaga Perguruan Tinggi memiliki tugas mempersiapkan

serta mendampingi mereka dalam kegiatan pendidikan. Selain dibekali kemampuan dan

kecerdasan akademis, diharapkan mahasiswa memiliki kesadaran moral untuk bertanggung

jawab serta memiliki kepekaan hati nurani untuk mampu memilih tindakan-tindakan yang

bernilai bagi kehidupan manusia.

Selain mata kuliah yang dapat mengembangkan kemampuan akademis mahasiswa,

Lembaga Perguruan Tinggi juga memberikan mata kuliah dasar bagi pengembangan kepribadian

yang diharapkan dapat membangun kepribadian mahasiswa secara utuh, yang meliputi aspek

religiusitas, intelektualitas, individualitas, sosialitas, dan moralitas. Adanya Pendidikan Pancasila

di Perguruan Tinggi dimaksudkan bukan hanya sekedar untuk memberikan informasi dan

pengertian tentang berbagai peristiwa historis, berbagai norma serta lembaga yang perlu

diketahui dan dipatuhi, melainkan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran moral mahasiswa

akan arah-tujuan hidup manusia serta langkah-langkah tindakan yang perlu diambil agar dapat

mewujudkan kehidupan moral yang bernilai/berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dasar Etika yang ditawarkan pada Pendidikan Pancasila dalam tulisan ini bukan yang

bersifat deontologis, yang didasarkan pada kewajiban moral, dan juga tidak sekedar berdasarkan

nilai kenikmatan (hedonis), melainkan perkuliahan moral yang bersifat teleologis, yang

didasarkan pada nilai objektif, yang menjadi arah-tujuan bagi kehidupan moral yang berkualitas
dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu nilai-nilai positif dan nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai

Max Scheler sebagai landasan pemahaman bagi Pendidikan Pancasila untuk meningkatkan

kesadaran moral mahasiswa.

Yang menjadi objek material adalah hubungan nilai dan tindakan manusia menurut Max

Scheler, dan sudut pandang sebagai obyek formal untuk membahasnya adalah dari segi etika.

Setelah dihasilkan pengetahuan yang mendalam, lengkap dan menyeluruh pemikiran Max

Scheler tentang nilai dan tindakan manusia, kemudian pandangan etis Max Scheler tentang

hubungan nilai dan tindakan manusia tersebut akan dijadikan landasan bagi perkuliahan

Pendidikan Pancasila. Menurut panggilan moralnya, manusia memiliki kewajiban untuk

bertindak melakukan nilai-nilai positif dan lebih memilih nilai-nilai yang luhur, serta memiliki

kewajiban menghindari nilai-nilai yang negatif dan nilai-nilai yang rendah.

Setelah menemukan dan mengenal nilai-nilai Pancasila, kemudian perlu ditemukan nilai-

nilai Pancasila tersebut dalam perjuangan dan perwujudan yang telah diusahakan Bangsa

Indonesia dalam perjalanan sejarahnya. Nilai-nilai ketuhanan (yang memuat nilai keimanan dan

ketakwaan) perlu dicari dan ditemukan dalam tahap-tahap perjalanan sejarah dan perjuangan

Bangsa Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan, perlu dicari dan ditemukan sebagai usaha Bangsa

Indonesia dalam memperjuangkan keluhuran martabatnya sebagai manusia, untuk memiliki

kebebasan mewujudkan apa yang menjadi kehendaknya, mewujudkan apa yang dicita-

citakannya.
DAFTAR PUSTAKA

Christina Shally Kabelen Marista, Fenomenologi Nilai Slametan Masyarakat Yogyakarta Dalam
Perspektif Max Scheler, Jurnal, Universitas Indraprasta PGRI, 2017.
Dahlan Moh, Pemikiran Filsafat Moral Immanuel kant (Deontologi, Imperatif Kategoris dan
Postulat Rasio Praktis), Jurnal, Vol. 8, No. 1, Universitas Muhammadiah Malang,
Malang, 2009.
Jirzanah. Aktualisasi Pemahaman Nilai Menurut Max Scheler Bagi Masa Depan Bangsa
Indonesia. Jurnal Filsafat Universitas Gajah Mada. Volume 18 No. 1. April 2008.

Anda mungkin juga menyukai