DISUSUN OLEH:
berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam lingkungan masyarakat pula kita sering mendengar
istilah kata etis dan tidak etis, keduanya digunakan oleh manusia untuk menggambarkan dan
menilai suatu bentuk perilaku yang dianggap baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas.
Penilaian manusia terhadap tingkah laku etis atau tidak etis ini berdasarkan atau bersumber pada
hati nurani manusia itu sendiri dan ditambah dengan adanya nilai-nilai lain yang berkembang di
Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan bahwa etika adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang tingkah laku baik dan buruknya manusia dalam berbuat
dan bertindak yang seharusnya. Terkait dengan perkembangan zaman pada saat ini, maka
wacana etika harus lebih ditegakkan dalam setiap kehidupan manusia. Karena segala sesuatu
harus dinilai terlebih dahulu baik dan buruknya, bukan hanya terbatas dalam kehidupan untuk
Peranan etika sangatlah penting dalam segala bidang keilmuan, karena setiap bidang
keilmuan memiliki panduan dan batasannya masing-masing yang harus ditegakkan. Dengan
begitu, maka kajian etika ini menembus segala bidang dalam hidup manusia, salah satunya
tentang nilai pada saat ini. Banyak orang melakukan kewajiban tetapi tidak tahu dengan nilai
yang terkandung di dalamnya, jadi yang mereka lakukakan hanya memenuhi kewajiban saja dan
hanya masuk sekolah dan tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Maka dari itu perluh tahunya
nilai-nilai yang ada di dalam kewajiban agar apa yang dilakukan bisa sepenuhnya dipahami dan
direalisasikan dengan baik. Namun menurut Max Scheler, Kant dengan formalismenya justru
tidak menangkap hakikat moralitas yang sebenarnya. Sebuah tindakan bernilai secara moral
bukan karena merupakan kewajiban, melainkan bernilai secara moral. Nilai mendahului
kewajiban. Inti moralitas bukanlah kesediaan untuk memenuhi kewajiban, melainkan kesedian
dengan sendirinya tertarik oleh apa yang bernilai. Maka bukan kewajiban, melainkan nilai yang
menjadi pusat moralitas. Jadi nilai menurut Max Scheler merupakan kualitas yang tidak
tergantung pada benda. Benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup
setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas priori. Ketidakgantungan tidak hanya mengacu pada
objek yang ada di dunia seperti lukisan, patung, tindakan manusia dan sebagainya namun juga
Penelitian tentang hakikat nilai dan pendekatan intuitif melalui apriori emosi (intuisi)
terhadap kehidupan kongkrit sangat menarik dan penting bagi upaya mengatasi krisis yang
terjadi di Indonesia. Penelitian ini penting terutama untuk merumuskan dasar aksiologis
pengembangan kepribadian bangsa dan kehidupan bangsa Indonesia di masa depan. Dasar
bingkai akulturasi. Akulturasi budaya dipahami sebagai suatu pengembangan nilai-nilai budaya
sendiri melalui pengaruh nilai-nilai budaya dari luar untuk tujuan tertentu. Tujuan akulturasi
adalah agar dapat mengambil unsur-unsur nilai baru yang dapat memajukan dan
Max Scheler dilahirkan di Munchen Jerman Selatan pada tahun 1874, suatu daerah yang
dibawah bimbingan Prof. Rudolf Eucken di Jena dalam judul karangan "Sumbangan untuk
Menetapkan Hubungan antara Prinsip-prinsip Logis dan Etis. "Prof. Rudolf Eucken adalah
seorang filsuf yang sangat gigih menentang dominasi positivisme dan materialisme pada waktu
itu. Ia menekankan adanya 'ruh" disamping materi. Ia menekankan pula nilai-nilai manusiawi,
Pad 1990 Ia memperoleh pengakuan dan penghormatan atas karangan berjudul: "Metode
Transendental dalam Psikologi." Sesudah itu ia menjadi dosen di Jena. Kemudian pada tahun
1907 ia memangku jabatan yang sama di kota asalnya, Munchen. Pada tahun 1912 terbit
karyanya yang besar "tentang Resentimen dan Putusan Nilai Moral", dan pada tahun 1913 terbit
karyanya yang lebih penting berjudul “Hakikat dan Bentuk-bentuk Simpati", yang dapat
2. Pengaruh Fenomenologi
Karya Scheler mengalir seperti yang dijelaskan dimuka, banyak pengaruhnya dari
secara konsisten dalam etika, filsafat kebudayaan. Sedangkan tradisi Katholik sangat
mempengaruhi jalan pikirannya (walau ia sempat keluar masuk), antara lain karyanya "Tentang
yang abadi dalam diri manusia", dan karya lain banyak pandangannya di bidang filsafat agama.
Metode fenomenologi tentang "hakikat" oleh Scheler diterapkan pada bidang teori
Scheler terutama tertumpu pada karya Husseri mengenai "Penelitian-penelitian tentang Logika”.
Walaupun dikemudian hari ia tidak tertari: lagi. Husserl seorang sarjana klasik yang
menjauhkan diri dari masyarakat. Sebaliknya bagi Scheler, filsafat dan kehidupan konkrit tidak
memainkan peranan dalam pengalaman fenomenotogi bukan fakta biasa, melainkan fakta jenis
a. Fakta natural: Berasal dari pengenalan inderawi yang menyangkut benda-benda konkrit.
b. fakta ilmiah: fakta ini mulai melepaskan dari pencerapan inderawi yang langsung dan
semakin abstrak. Fakta ilmiah dapat dijadikan suatu formula simbolis yang dapat
diperhitungkan dan” dimanipulasi, walaupun sudah tidak bersangkutan lagi dengan fakta
c. fakta fenomenologis: adalah isi institusi atau hakikat yang diberikan dalam pengalaman
langsung tidak tergantung dari ada tidak adanya realitas dari luar. Fakta fenomenologis
selalu diberikan dalam keadaan utuh (bukan sebagian seperti simbol). Mereka itu tidak
b. perhatian kepada esensi: sambil tidak lagi memperhatikan segi eksistensi (adanya). Hal
ini merupakan salah satu aspek dari apa yang ditunjukkan Husserl sebagai "Reduksi
transcendental".
c. perhatian hubungan satu sama lain antara esensi-esensi tadi: hubungan itu bersifat apriori
"diberikan dalam intuisi", terlepas dari kenyataan, hubungan satu sama lain antara esensi-
esensi itu dapat bersifat togis maupun non fogis. Prinsip kontradiksi dapat dikemukakan
sebagai contoh hubungan satu sama lain antara esensi-esensi logis. (dasarnya: ada dan
Kenyataan bahwa warna tidak mungkin tanpa keluasan (extension), dapat dipakai sebagai
contoh satu sama lain esensi-esensi yang non logis. Menurut Scheler, dunia esensi terdiri dari
fenomena dan ide-ide. Dengan demikian persepsi indra dan konsep rasio praktis (hanya)
merupakan "Image". fa memberi contoh misalnya "esensi hidup", secara fundamental ia yang
terjabar kemudian, merupakan "logis objektif” dan tersusun dalam realitas dunia yang
menyeluruh.
“Sesuatu yang tersajikan" dalam pengalaman fenomena logis yang sangat murni, hal ini
merupakan fakta-fakta yang memiliki "(adanya) dunia mutlak”. Scheler memang menyatakan,
bahwa fenomenotogi secara ketat serupa dengan metafisika. "Status ontologi dari esensi dapat
dilihat dalam kenyataan bahwa para ahli Nisafat dapat memahami dengan jalan abstraksi (istilah
Scheler : dengan jalan cinta kasih) serta partisipasi manusia ke dalam inti yang terdalam.
Dengan cara demikian (berperan serta dalam ada yang mutiak) maka ada beda dalam
dirinya sendiri. Supaya para ahli filsafat dapat berada dalam ada yang mutlak (berperan serta
dalam ada yang mutiak) maka ahli filsafat harus melepaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan
biofisik yaitu dari daya hidup dan dari ini hendaknya dilakukan dengan cara reduksi
fenomenologi. Max Scheler memandang fenomenologi sebagai empirisme dan positivisme yang
sangat radikal, (radikal dimaksudkan sebagai kegiatan menggali pengetahuan dan pengalaman
sampai ke akarnya). Bagi Scheler istilah fenomenologi itu merupakan kegiatan masalah fakta
secara dinamis dengan analisa logis terhadap implikasi yang khusus dapat ditelusuri keasliannya.
Pada masa berikutnya ia nampak terlihat dalam persoalan-persoalan yang mendasar tentang
dengan meletakkan hubungan faktor-faktor kehidupan yang bersifat spiritual maupun material.
pada masalah eksistensi. manusia, tempat kedudukan manusia dalam alam semesta (kosmos),
persoalan biologisnya secara teoritis dan ia berhasil menunjukan refleksi. yang mendalam
tentang manusia. Manusia bukan satu-satunya realitas di alam semesta ini, melainkan merupakan
salah satu unsur saja dari keseluruhan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan manusia di
alam semesta ini sangat unik atau mempunyai dimensi yang kompleks (muiti dimensional).
Sebagai salah satu unsur realitas di alam semesta ini memang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya diwarnai Oleh gejala-gejala yang kompleks dari yang paling sederhana sampai
pada yang rumit. Manusia tidak dapat dipisahkan dari realita jasmaniah, sehingga ia dapat
dianalisa secara jasmaniah/biologis. Namun manusia mempunyai sisi lain yang sifatnya
ruhaniah. (psikhis) yang sebenarnya baru difahami keberadaannya dengan menangkap gejala
konkrit, kemudian ditelusuri sampai pada gejala psikhis. Dapat disimpulkan, bahwa manusia itu
dalam realitasnya merupakan makhluk yang kompleks: Manusia itu (hanya) merupakan salah
Manusia harus menuju pada suatu kelepasan tertentu dalam Lingkungannya (dunia
material) serta mentranformasikan ke dalam dunia spiritual (psikhis). Sehingga manusia pada
saatnya mampu berada pada taraf yang lebih tinggi. Secara terinci dijelaskan keberadaan
manusia (eksistensi manusia) dalam hidup berupa tindakan yang terendah sampai sangat
Scheler menempatkan dasar metafisika yang pokok tentang "nilai" dan dasar dari obiek
dalam nilai yang utama dari suatu Tuhan yang berpribadi. Bahwa segala nilai yang mungkin
diketemukan pada nilai suatu jiwa pribadi yang tidak terbatas. Segera nilai dan jenis-jenis nilai
pribadi kenyataannya terkandung bersama-sama dalam kebaikan yang hakiki dari Tuhan. Bagi
Scheler, "nilai" merupakan manifestasi dari essensi Ilahi dan mereka tercermin dalam cara yang
terpencar-pencar dalam nilai kebenaran Tuhan. Nilai (seperti baik, benar, indah dan sebagainya)
ditangkap pada subjek "tetapi sebaliknya subjek seakan-akan tergantung pada nilai".
Kesimpulan yang dapat diperoleh. ialah nilai tu berlaku objektif apriori. . Berdasarkan
c. Nilai rukhani
Scheler menggolongkan ada beberapa nilai (tingkatan): selanjutnya ada kriteria tertentu
a. Berdasarkan pada lamanya suatu nilai, kecenderungan intern untuk bertahan terus.
Contohnya "cinta" jika dibandingkan dengan rasa simpati yang mudah hilang.
b. Nilai-nilai lebih rendah dapat dibagi-bagikan diantara beberapa orang, sedang nilai-nilai
tebih tinggi tidak mungkin dibagi-bagi. Contoh: bahan makanan dengan barang seni.
Oleh sebab itu lebih banyak orang senang mengambil bagian dalam nilai-nilai lebih
c. Bahwa suatu nilai makin tinggi semakin kurang pula didasarkan pada nilai -nilai lain, dan
semakin rendah suatu nilai semakin banyak 'ia dasarkan pada nilai-nilai lain. Contoh:
"yang berguna" sebagai nilai didasarkan pada "yang menyenangkan", tetapi "yang
"yang menyenangkan" berhubungan erat dengan indera dan perasaan iderawi, sedangkan
perasaan-perasaan itu.
f.
4. Penutup
fenomenologi Max Scheler dalam bidang nilai sangat detail. Membagi nilai menjadi beberapa
golongan dengan kriteria tertentu. Juga diakui mampu mengatasi relativisme Nietzhe. Jika kita
mengetahui konsep nilai Max Scheler sebagai. Suatu kebenaran (baik menyeluruh ataupun hanya
sebagian saja) kiranya pemikiran Scheler dalam bidang "nilai" ini membantu untuk merenungkan
nilai-nilai etika. Beberapa kata-kata kunci dari pemikiran Scheler tentang "nilai" tersebut di atas
adalah:
nilai. Nilai merupakan suatu kenyataan yang ada pada umurnnya tersembunyi di balik
kenyataan-kenyataan lain.
b. "Dunia nilai sangatlah kaya, nilai tidak dapat disimpulkan hanya dalam satu nilai atau
beberapa nilai. Nilai-nilai itu bukan ciptaan manusia, manusia hanya "menemukan" nilai-
nilai saja. Sumber nilai adalah Tuhan, nilai berasal dari Tuhan.
c. Hirarki nilai secara obyektif memang tidak demikian hal ini tidak dibuat manusia. Nilai-
nilai yang ada tidak sama luhur dan sama tinggi. Secara kenyataanya ada yang lebih
tinggi dan ada yang lebih rendah dibanding dengan nilai-nilai lain.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan nilai sebagai kualitas, Scheler berpendapat bahwa nilai bukanlah
bagian dari objek bernilai, eksistensinya tidak bergantung pada pembawanya (apriori), yang
tidak akan mengalami perubahan selang berubahnya objek. Contoh kecil dapat digambarankan,
yaitu meskipun seorang pembunuh tidak pernah dinyatakan jahat, tetapi dia akan tetap jahat.
Sebaliknya, meskipun “sesuatu yang baik” tidak pernah dimengerti sebagai baik, tetapi akan
Dari sudut pandang subjektif atau objektif suatu nilai, menurut Scheler, nilai suatu hal
yang objektif, tanpa kecenderungan dari subjektivisme parsial. Nilai memiliki kemutlakan yang
tidak dapat diubah walaupun dengan penilaian itu sendiri. Dengan demikian, nilai dapat
dimaknai dengan sesuatu yang hanya dapat terjadi dengan menggunakan jiwa yang bergetar,
yaitu dengan emosi atau hal yang menuju perasaan (apriori perasaan). Hal tersebut jelas berbeda
Dapat dikatakan, bahwa nilai seharusnya tidak dapat dimasuki oleh logika penalaran dan
rasio, yang ditimbulkan akibat manusia yang memiliki persepsi sentimental, dalam preferensi,
cimta, dan benci. Hal tersebut dipengaruhi peran fenomenologis terhadap dunia emosional
manusia, yang menjadikannya tidak bisa membedakan dunia emosional dengan jelas.
Selanjutnya, Scheler memberikan pemahaman yang berbeda antara perasaan intensional dengan
keadaan sensitif. Yang pertama disebut, pemahaman dari suatu keadaan, dan yang terakhir
Selain itu, Scheler juga tidak percaya dengan pencarian suatu nilai pada realitas objek
ideal, yang digambarkan pada bilangan dan gambar geometris. Konsep-konsep, seperti konep
keindahan, kesenangan, dan lain sebagainya, memang benar berada pada kenyataan ideal, tetapi
nilai moral dan nilai lainnya tidak memiliki batasan sekadar konsep atau dalam suatu pengertian
ideal. Perlu adanya pembedaan antara konsep tentang nilai dengan nilai itu sendiri, sama halnya
dengan penilaian dan nilai. Nilai, menurut Scheler, tidak akan bisa dirasakan melalui rasio
belaka, karena nilai dapat dirasakan dengan adanya intuisi emosional, yaitu dengan pemahaman
Dengan intuisi, nilai dapat ditangkap dan dirasakan tanpa adanya pengalaman inderawi
terhadap objek bernilai, sehingga akan merasakan hal yang sesungguhnya ada. Dalam kehidupan
nyata, akan selalu ada keterkaitan dengan sesuatu yang terkadang tidak dapat dipandang dari
persepsi intelektual, tetapi dengan perasaan nilai. Dengan demikian, etika emosi Max Scheler
bukan suatu bentuk empirisme, yang mendasar pada pengalaman indera, melainkan merupakan
intuisi esensial.
Orang harus memulai dengan akhir dalam pemikirannya. Ini berarti pada saat manusia
mulai berpikir, ternyata pemikirannya justru diawali atau didasari oleh tujuan yang pada
akhirnya akan dicapai. Masalah dasar hidup manusia justru terletak pada kesadaran akan tujuan
yang perlu diwujudkan berdasar keadaan sekarangnya, yaitu kualitas-kualitas yang dirasakan
ditempuh, rambu-rambu yang ditemukan, berbagai rintangan yang perlu dihadapi, sarana yang
digunakan, serta cara-cara dan tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan yang sudah
ditentukan oleh pilihan hati nurani yang terpanggil pada nilai/kualitas atau yang baik untuk
diwujudkan.
Berdasar Etika Deontologis (misal Etika Wahyu, etika peraturan), jawabannya adalah
karena hal tersebut telah ditentukan dalam wahyu atau peraturan. Suatu baik dilakukan, karena
wajib dilakukan; dan suatu dikatakan jahat, karena wajib dihindari atau dilarang. Namun bila
mengikuti pemikiran Covey, tindakan hanya merupakan langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan tujuan, sehingga sebenarnya tujuanlah yang semestinya menentukan baik atau
jahatnya tindakan.
Etika Nilai Max Scheler mampu menampung atau mengakomodasi adanya berbagai
perbedaan dari paham etika teleologis tersebut di atas, karena Max Scheler memiliki pemahaman
nilai yang bersikap obyektif, mendasar, serta dapat mencakup segala nilai seluruh unsur dan
aspek kehidupan manusia. Nilai yang diperkenalkan Max Scheler bukanlah nilai yang bersifat
subyektif (tergantung pada subyek bersangkutan), tidak yang bersifat relatif (tergantung situasi
dan kondisi hal yang bernilai), melainkan bersifat obyektif, sebagai kualitas yang tidak
Nilai tidaklah terbatas pada salah satu unsur saja, misalnya kenikmatan belaka yang
bersifat empiris dan hedonis, melainkan merupakan kualitas kehidupan yang mencakup unsur-
unsur dan aspek-aspek yang luas dalam kehidupan manusia, misalnya: unsur jasmaniah, unsur
rohaniah, aspek sosial, aspek religius. Dengan demikian dalam tindakan moral, orang tidak
hanya berhenti mencari kenikmatan belaka (hedonis), dan tidak berhenti pada perintah untuk
untuk mewujudkan nilai-nilai dalam arti luas dan obyektif, yaitu nilai-nilai positif dan luhur
Dalam rangka membangun pribadi mahasiswa yang mampu berperanan dan bertanggung
jawab dalam kehidupan masyarakat, Lembaga Perguruan Tinggi memiliki tugas mempersiapkan
serta mendampingi mereka dalam kegiatan pendidikan. Selain dibekali kemampuan dan
jawab serta memiliki kepekaan hati nurani untuk mampu memilih tindakan-tindakan yang
Lembaga Perguruan Tinggi juga memberikan mata kuliah dasar bagi pengembangan kepribadian
yang diharapkan dapat membangun kepribadian mahasiswa secara utuh, yang meliputi aspek
di Perguruan Tinggi dimaksudkan bukan hanya sekedar untuk memberikan informasi dan
pengertian tentang berbagai peristiwa historis, berbagai norma serta lembaga yang perlu
diketahui dan dipatuhi, melainkan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran moral mahasiswa
akan arah-tujuan hidup manusia serta langkah-langkah tindakan yang perlu diambil agar dapat
Dasar Etika yang ditawarkan pada Pendidikan Pancasila dalam tulisan ini bukan yang
bersifat deontologis, yang didasarkan pada kewajiban moral, dan juga tidak sekedar berdasarkan
nilai kenikmatan (hedonis), melainkan perkuliahan moral yang bersifat teleologis, yang
didasarkan pada nilai objektif, yang menjadi arah-tujuan bagi kehidupan moral yang berkualitas
dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu nilai-nilai positif dan nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai
Max Scheler sebagai landasan pemahaman bagi Pendidikan Pancasila untuk meningkatkan
Yang menjadi objek material adalah hubungan nilai dan tindakan manusia menurut Max
Scheler, dan sudut pandang sebagai obyek formal untuk membahasnya adalah dari segi etika.
Setelah dihasilkan pengetahuan yang mendalam, lengkap dan menyeluruh pemikiran Max
Scheler tentang nilai dan tindakan manusia, kemudian pandangan etis Max Scheler tentang
hubungan nilai dan tindakan manusia tersebut akan dijadikan landasan bagi perkuliahan
bertindak melakukan nilai-nilai positif dan lebih memilih nilai-nilai yang luhur, serta memiliki
Setelah menemukan dan mengenal nilai-nilai Pancasila, kemudian perlu ditemukan nilai-
nilai Pancasila tersebut dalam perjuangan dan perwujudan yang telah diusahakan Bangsa
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya. Nilai-nilai ketuhanan (yang memuat nilai keimanan dan
ketakwaan) perlu dicari dan ditemukan dalam tahap-tahap perjalanan sejarah dan perjuangan
Bangsa Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan, perlu dicari dan ditemukan sebagai usaha Bangsa
kebebasan mewujudkan apa yang menjadi kehendaknya, mewujudkan apa yang dicita-
citakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Christina Shally Kabelen Marista, Fenomenologi Nilai Slametan Masyarakat Yogyakarta Dalam
Perspektif Max Scheler, Jurnal, Universitas Indraprasta PGRI, 2017.
Dahlan Moh, Pemikiran Filsafat Moral Immanuel kant (Deontologi, Imperatif Kategoris dan
Postulat Rasio Praktis), Jurnal, Vol. 8, No. 1, Universitas Muhammadiah Malang,
Malang, 2009.
Jirzanah. Aktualisasi Pemahaman Nilai Menurut Max Scheler Bagi Masa Depan Bangsa
Indonesia. Jurnal Filsafat Universitas Gajah Mada. Volume 18 No. 1. April 2008.