Anda di halaman 1dari 6

Nama : Diam ekawati

Nim : 859500946

SOAL

1. Anak tuna netra memiliki keterkaitan dengan beberapa indera karena kekurangannya pada
salah satu indera penglihatan. Jelaskan keterkaitan indera pendengaran dan perabaan dengan
anak tuna netra!

2. Seorang guru dituntut untuk memberikan layanan yang maksimal pada seluruh peserta
didiknya tidak terkecuali anak tuna netra. Berikan salah satu contoh media yang dapat
digunakan guru untuk membimbing anak netra dan jelaskan penggunaan media tersebut!

3.Sistem Pendidikan segregasi, system Pendidikan inklusi dan system Pendidikan integrasi
merupakan sIstem Pendidikan yang dapat diterapkan pada anak tuna rungu. Menurut Saudara
sIstem Pendidikan manakah yang paling tepat digunakan untuk anak tuna rungu dan berikan
alasannya!

4.Jelaskan Chronological age dan mental age yang berkaitan dengan penyandang tunagrahita
dan buatlah bagannya!

5. Terdapat beberapa strategi pembelajaran yang dapat diterapkan pada anak tuna grahita
seperti strategi pengajaran diindividualisasikan, strategi kooperatif, dan strategi modifikasi
tingkah laku. Buatlah skenario pembelajaran yang sederhana dari salah satu strategi tersebut
yang menurut Saudara paling tepat diterapkan pada anak tunagrahita

JAWAB

1. Anak tuna netra memiliki keterkaitan erat antara indera pendengaran dan perabaan karena
kekurangan pada indera penglihatan mereka. Dalam kondisi ini, anak-anak dengan tuna netra
sering mengandalkan indera pendengaran dan perabaan untuk menggantikan informasi yang
biasanya diperoleh melalui penglihatan.

Pertama, indera pendengaran menjadi sangat penting bagi anak tuna netra dalam memahami
lingkungan sekitar mereka. Mereka mengandalkan suara-suara untuk mengidentifikasi objek,
orang-orang, dan aktivitas di sekitar mereka. Anak-anak ini dapat mengembangkan kepekaan
khusus terhadap suara, sehingga dapat mengenali suara-suara yang berbeda dan memahami
informasi yang disampaikan melalui komunikasi verbal. Mereka juga dapat menggunakan
pendengaran mereka untuk memperoleh petunjuk tentang jarak, arah, dan lokasi objek di
sekitar mereka.

Kedua, indera perabaan juga penting bagi anak tuna netra. Mereka menggunakan sentuhan dan
perabaan untuk menjelajahi dan memahami lingkungan sekitar mereka. Anak-anak ini mungkin
menggenggam atau meraba objek-objek untuk mendapatkan informasi tentang bentuk,
tekstur, dan ukuran mereka. Melalui perabaan, mereka dapat memperoleh pemahaman
tentang struktur objek dan cara objek tersebut berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Keterkaitan antara indera pendengaran dan perabaan dalam kasus anak tuna netra membantu
mereka memperoleh informasi yang diperlukan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka.
Dalam lingkungan yang memadai, anak-anak ini dapat menggunakan indera pendengaran dan
perabaan untuk mengatasi keterbatasan penglihatan mereka dan berpartisipasi dalam aktivitas
sehari-hari seperti berkomunikasi, bermain, dan belajar.

Penting untuk mencatat bahwa setiap anak tuna netra dapat mengembangkan preferensi dan
teknik yang unik dalam menggunakan indera pendengaran dan perabaan mereka. Oleh karena
itu, dukungan yang tepat dan lingkungan yang inklusif sangat penting untuk membantu mereka
mengoptimalkan potensi indera pendengaran dan perabaan mereka.

2. Salah satu contoh media yang dapat digunakan oleh seorang guru untuk membimbing anak
tuna netra adalah Braille. Braille adalah sistem tulisan dengan menggunakan kombinasi titik-
titik yang dapat diraba, dikembangkan khusus untuk orang dengan kebutaan.

Penggunaan media Braille memungkinkan anak tuna netra untuk mengakses informasi tertulis
dan mengembangkan keterampilan membaca dan menulis. Guru dapat menggunakan Braille
dalam beberapa cara, antara lain:

1). Buku Braille: Guru dapat menggunakan buku Braille yang telah dibuat khusus dengan huruf-
huruf Braille yang tercetak di atas kertas khusus. Dengan buku Braille, anak tuna netra dapat
membaca dan mempelajari berbagai subjek seperti matematika, ilmu pengetahuan, dan
bahasa.

2). Label Braille: Guru dapat membuat label Braille untuk membantu anak tuna netra
mengidentifikasi dan mengorganisir benda-benda di sekitar mereka. Label ini bisa ditempelkan
pada benda-benda seperti kotak penyimpanan, mainan, dan peralatan sekolah. Hal ini
memungkinkan anak tuna netra untuk mandiri dan mengenali benda-benda dengan
menggunakan sentuhan mereka.

3). Alat bantu Braille: Terdapat juga alat bantu Braille yang dapat digunakan oleh guru, seperti
alat bantu penulisan Braille yang disebut "slate and stylus". Alat ini memungkinkan guru dan
anak tuna netra untuk membuat catatan atau menulis pesan dalam huruf-huruf Braille.

4). Teknologi asistif: Selain media tradisional, teknologi juga dapat digunakan untuk mendukung
pembelajaran anak tuna netra. Misalnya, ada perangkat Braille elektronik yang memungkinkan
anak tuna netra membaca teks dalam format Braille di layar sentuh. Ada juga program
komputer khusus yang mengubah teks menjadi format Braille dan menghasilkan output melalui
perangkat Braille elektronik.

Penggunaan media Braille oleh guru memungkinkan anak tuna netra untuk mengakses
informasi secara langsung dan mengembangkan keterampilan membaca dan menulis mereka.
Hal ini penting dalam memastikan bahwa anak-anak tuna netra mendapatkan layanan
pendidikan yang inklusif dan memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai
dengan potensi mereka.

3. Sistem pendidikan yang paling tepat digunakan untuk anak tuna rungu adalah sistem
pendidikan inklusi. Sistem pendidikan inklusi adalah pendekatan di mana anak-anak dengan
berbagai kebutuhan khusus, termasuk anak tuna rungu, diajarkan bersama-sama dengan teman
sebaya mereka yang tidak memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum.

Ada beberapa alasan mengapa sistem pendidikan inklusi lebih tepat untuk anak tuna rungu:

1). Kesetaraan: Sistem pendidikan inklusi mendorong kesetaraan dalam pendidikan. Dalam
lingkungan inklusif, anak tuna rungu memiliki kesempatan yang sama untuk belajar,
berinteraksi, dan berkembang bersama teman-teman sebaya mereka. Ini menciptakan
lingkungan yang inklusif, menghargai keanekaragaman, dan mengurangi stigma terhadap anak-
anak dengan kebutuhan khusus.

2). Interaksi sosial: Anak-anak tuna rungu dapat mengalami manfaat sosial dan emosional yang
lebih besar melalui interaksi dengan teman sebaya mereka tanpa kebutuhan khusus. Dalam
sistem inklusi, mereka memiliki kesempatan untuk membentuk hubungan sosial yang kuat,
belajar dari satu sama lain, dan mengembangkan keterampilan sosial yang penting untuk
kehidupan sehari-hari.

3). Pembelajaran yang disesuaikan: Dalam sistem inklusi, guru dapat mengadopsi pendekatan
yang disesuaikan dengan kebutuhan individu anak tuna rungu. Mereka dapat menggunakan
strategi dan metode pembelajaran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan belajar yang
beragam. Dalam lingkungan inklusif, anak tuna rungu tidak hanya menerima pendidikan yang
relevan dengan kebutuhan mereka, tetapi juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan
potensi mereka secara maksimal.

4). Penerimaan sosial: Sistem inklusi membantu menghilangkan hambatan sosial dan
mempromosikan penerimaan sosial terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dalam
lingkungan inklusif, teman sebaya anak tuna rungu dapat tumbuh dalam pemahaman tentang
keanekaragaman dan menghargai setiap individu, tidak peduli perbedaan yang ada.

5). Persiapan untuk kehidupan nyata: Dalam sistem inklusi, anak tuna rungu terlibat dalam
kehidupan sehari-hari yang nyata dan beragam, yang mencerminkan masyarakat di luar
sekolah. Mereka dapat mengembangkan keterampilan yang relevan untuk kehidupan mandiri,
kerja tim, komunikasi, dan kemandirian. Hal ini mempersiapkan mereka untuk berpartisipasi
aktif dalam masyarakat setelah mereka meninggalkan lingkungan pendidikan.

Sistem pendidikan inklusi memberikan kesempatan terbaik bagi anak tuna rungu untuk belajar,
berkembang, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka secara menyeluruh. Dalam
sistem ini, mereka dapat merasa diterima, dihargai, dan memiliki kesempatan yang sama untuk
meraih keberhasilan pendidikan dan kehidupan.

4. Chronological age (usia kronologis) mengacu pada usia seseorang berdasarkan hitungan
waktu sejak tanggal lahir mereka. Ini adalah usia yang umumnya digunakan dalam konteks
umum dan dapat dihitung secara objektif. Misalnya, jika seseorang lahir pada tanggal 1 Januari
2000, maka usia kronologisnya pada tanggal 1 Januari 2023 adalah 23 tahun.

Mental age (usia mental) adalah ukuran tingkat perkembangan kognitif seseorang, yang
diperoleh melalui tes psikologis seperti tes kecerdasan. Konsep ini dikembangkan oleh psikolog
Alfred Binet dan digunakan dalam mengukur kecerdasan anak-anak. Mental age
mengindikasikan tingkat perkembangan kognitif yang dimiliki seseorang dalam hal pemahaman,
pemecahan masalah, dan keterampilan kognitif lainnya. Misalnya, jika seorang anak berusia 10
tahun memiliki tingkat perkembangan kognitif yang setara dengan rata-rata anak berusia 12
tahun, maka usia mentalnya adalah 12 tahun.

Pada penyandang tunagrahita, kesenjangan antara usia mental dan usia kronologis mereka
seringkali signifikan. Usia mental mereka cenderung lebih rendah daripada usia kronologis,
menunjukkan adanya keterbatasan dalam perkembangan kognitif. Ini berarti mereka mungkin
memiliki tingkat pemahaman, kecerdasan, dan keterampilan kognitif yang lebih rendah
dibandingkan dengan usia kronologis mereka.

Berikut adalah bagan yang menggambarkan hubungan antara usia kronologis dan usia mental
pada penyandang tunagrahita:

---------------------------------------------

| Usia Kronologis vs. Usia Mental |

---------------------------------------------

| Usia Kronologis: 20 tahun |

| Usia Mental: 15 tahun |

---------------------------------------------

Pada contoh di atas, seseorang yang berusia kronologis 20 tahun memiliki usia mental
sebanding dengan 15 tahun. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat perkembangan
kognitif yang lebih lambat dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang berusia 20 tahun
secara kronologis. Perlu diperhatikan bahwa bagan ini hanya untuk tujuan ilustrasi dan
penyandang tunagrahita memiliki variasi yang luas dalam tingkat perkembangan kognitif
mereka.

5. Salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk diterapkan pada anak tunagrahita adalah
strategi pengajaran individualisasi. Dalam strategi ini, pendekatan pembelajaran disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan setiap anak secara individu, memastikan bahwa mereka
mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka. Berikut
adalah skenario pembelajaran yang sederhana menggunakan strategi pengajaran individualisasi
untuk anak tunagrahita:

Skenario: Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Melalui Media Visual


Tujuan: Membantu anak tunagrahita meningkatkan kemampuan komunikasi mereka melalui
penggunaan media visual.

Langkah-langkah:

1) Identifikasi kebutuhan individu: Identifikasi kebutuhan komunikasi spesifik dari setiap anak
tunagrahita dalam kelompok. Beberapa anak mungkin memiliki kebutuhan untuk meningkatkan
pemahaman visual, sementara yang lain mungkin memerlukan bantuan dalam mengungkapkan
pikiran dan emosi mereka.

2). Pemilihan materi dan media: Pilih materi pembelajaran yang sesuai dengan minat dan minat
anak-anak tunagrahita. Misalnya, jika ada anak yang tertarik pada hewan, pilih gambar-gambar
hewan yang menarik dan mudah dipahami.

3) Sesi individual: Setiap anak akan diberikan waktu khusus untuk berinteraksi dengan materi
pembelajaran. Guru atau pendidik akan bekerja satu-satu dengan setiap anak, memberikan
bimbingan dan dukungan sesuai dengan kebutuhan mereka.

4) Penggunaan media visual: Gunakan media visual seperti gambar, kartu gambar, atau papan
tulis interaktif untuk memfasilitasi komunikasi anak-anak. Misalnya, jika anak memiliki kesulitan
dalam menyusun kalimat verbal, mereka dapat menggunakan gambar-gambar untuk
menunjukkan apa yang mereka inginkan atau rasakan.

5). Penguatan positif: Berikan penguatan positif kepada setiap anak saat mereka menggunakan
media visual untuk berkomunikasi. Pujilah usaha mereka dan beri mereka dorongan untuk terus
mencoba.

6) Kolaborasi dengan orang tua: Melibatkan orang tua dalam proses pembelajaran sangat
penting. Berbagi strategi dan teknik yang digunakan di kelas sehingga mereka dapat
mendukung pembelajaran anak tunagrahita di rumah.

7). Evaluasi dan penyesuaian: Evaluasilah perkembangan setiap anak secara berkala dan
lakukan penyesuaian jika diperlukan. Perhatikan perubahan dalam kemampuan komunikasi
mereka dan kembangkan strategi pembelajaran yang lebih lanjut berdasarkan kebutuhan
individu mereka.

Catatan: Skenario di atas hanya merupakan contoh sederhana dan harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan spesifik anak tunagrahita yang terlibat. Sebaiknya konsultasikan
dengan profesional pendidikan khusus atau ahli terkait untuk merancang program
pembelajaran yang sesuai dengan setiap individu.

Anda mungkin juga menyukai