Anda di halaman 1dari 60

Tema: Tafsir Tartibi

MAKALAH
TAFSIR SISTEMATIS ATAS SURAH AL-FAJR
AYAT 22-30

Oleh:
AKBAR BUDIMAN. A

HAWZAH ILMIAH KHATAMUN NABIYYIN


JAKARTA
TAHUN AJARAN 2016-2018
ABSTRAK

Nama: Akbar Budiman. A

Judul: Tafsir Sistematis Atas Surah al-Fajr Ayat 22-30

Makalah ini membahas tentang hari kiamat dan jiwa-jiwa yang al-
Mutmainnah dalam surah al-Fajr ayat 22-30. Dalam hal ini, penulis melakukan
sebuah komparasi tafsir, baik itu dari tafsir klasik, modern dan kontemporer demi
menghidupkan khazanah ilmu tafsir. Perbandingan tafsir merupakan hal yang
sangat penting demi memperkaya makna dan menghidupkan al-Qur’an di era
yang kian mengarah ke hedonisme ini. Titik fokus dalam tafsir ini adalah hari
kiamat merupakan hari laporan pertanggung jawaban manusia serta mendudukkan
siapakah jiwa al-Mut’mainnah itu.

Kata kunci: al-Fajr, al-Mutmainnah

‫الملّخ ص‬

‫ أ‬.‫ اكرب بودميان‬: ‫اإلسم‬

30-22 ‫ التفسري الرتتييب على صورة الفجر‬: ‫العنوان‬

‫ يف ه( ((ذه‬.30-22 ‫يف ه( ((ذه املق( ((ال تبحث عن ي( ((وم القيام( ((ة و النفس املطمئّن ة يف س( ((ورة الفج( ((ر‬

‫ ليعيش يف تفس((ري‬، ‫ يقدم املؤلف تفسًريا مقاَر ًنا للتفسريات الكالس((يكية واحلديث((ة واملعاص((رة‬، ‫احلالة‬

‫ التفسري املقارن مهم جدا إلثراء املعىن وإحياء القرآن يف عصر يؤدي بشكل متزاي((د‬.‫اخلزانة العلمية‬

‫ إن النقط ((ة احملوري ((ة يف ه ((ذا التفس ((ري هي ي ((وم القيام ((ة ه ((و ي ((وم تقري ((ر املس ((ؤولية‬.‫إىل ه ((ذا املذهب‬

.‫البشرية ومقعد من هي النفس املطمئّنة‬

‫ املطمئّنة‬,‫ الفجر‬: ‫كلمةالسر‬

i
KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan limpahan
rahmat dan rahim-Nya kepada kita semua, dan khususnya pada penulis sehingga
dapat menyusun makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada
penghulu Para Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad Saww dan keturunannya yang
suci dan para sahat-sahabatnya yang terpuji. Dengan rasa syukur, penulis akhirnya
bisa menyelesaikan makalah ini dengan judul “TAFSIR SISTEMATIS ATAS
SURAH AL-FAJR AYAT 22-30” yang merupakan bagian dari pembelajaran di
Hawzah Ilmiah Khatamun Nabiyyin.
Tidak bisa dipungkiri dalam penulisan makalah ini telah banyak pihak
yang telah membantu penulis dalam berbagai macam bentuk masukan. Melalui
bagian kecil ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada seluruh Asatidz dan Asatidzah. Lebih terkhususnya lagi kepada Ustadz
Hasan Saleh La Ede yang telah meluangkan sekian waktu dan tenaga dalam
membimbing dalam penulisan makalah ini, serta kepada teman-teman satu
marhalah yang telah banyak membantu.
Makalah ini tentu tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangan.
Oleh karenanya, setiap kritikan positif dan membangun penulis sangat harapkan
untuk perbaikan dalam penelitian dan penulisan selanjutnya. Semoga hasil
makalah tafsir tartibi ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya di Hawzah Ilmiah Khatamun Nabiyyin.

Jakarta, 30 Maret 2018

Penulis

Akbar Budiman. A
NIM: 060042016

ii
Daftar isi
ABSTRAK................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
Daftar isi.................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Permasalahan.........................................................................................3

1.2.2 Pembatasan Masalah......................................................................3


1.2.3 Perumusan Masalah........................................................................4
1.3 Literatur yang relevan............................................................................4
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................5
1.4.1 Tujuan Penelitian............................................................................5
1.4.2 Manfaat Penelitian..........................................................................5
1.5 Metodelogi Penelitian............................................................................5
1.6 Sistematika Penulisan............................................................................6
BAB II......................................................................................................................9
2.1 Defenisi Tafsir dan Tafsir Tartibi..........................................................9
2.1.1 Defenisi Tafsir................................................................................9
2.1.2 Tafsir Tartibi.................................................................................11
2.2 Pentingnya komparasi lintas tafsir.......................................................12
2.3 Selayang Pandang Berkenaan Surah Al-Fajr.......................................14
BAB III..................................................................................................................17
Tafsir Sistematis Atas Surah Al-Fajr Ayat 22-30..................................................17
3.1 Tafsir Klasik........................................................................................17
3.1.1 Tafsir klasik: Tafsir Al-Kabir.......................................................17
3.1.2 Klasik: Tafsir Majma’ Al-Bayan..................................................21
3.2 Tafsir Modern......................................................................................24
3.2.1 Tafsir Modern: Tafsir Al-Mizan...................................................24
3.3 Tafsir Kontemporer.............................................................................27
3.3.1 Tafsir kontemporer: Tafsir Al-Misbah.........................................27

iii
3.3.2 Tafsir Kontemporer: Tafsir Nurul Qur’an....................................30
BAB IV..................................................................................................................37
3.1 Analisis Lintas Tafsir...........................................................................37
4.1.1 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 22....................................................37
4.1.2 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 23....................................................40
4.1.3 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 24....................................................42
4.1.4 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 25 dan 26........................................44
4.1.5 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 27....................................................46
4.1.6 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 28....................................................48
4.1.7 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 29 dan 30........................................50
PENUTUP..............................................................................................................53
A. KESIMPULAN...........................................................................................53
B. SARAN.......................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................54

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu sifat Tuhan dalam pembahasan pelajaran Aqidah yakni
sifat Salbiyah. Sifat Salbiyah adalah sifat yang tidak pantas kita lekatkan
maupun dimiliki oleh Tuhan seperti sifat (‫ )عبث‬Abasan atau sia-sia. Dalam
penciptaa-Nya terhadap alam semesta dan seisinya pasti semuanya memiki
sebuah tujuan maupun hikmah dalam artian tidak ada satupun ciptaan yang
ada di alam ini diciptakan begitu saja atau Tuhan “lagi iseng” lalu
menciptakan apa-apa yang ada di alam ini Allah Swt menurunkan Al-
Qur’an sebagai petunjuk sekaligus sebagai pedoman kepada manusia
dalam mengarungi lautan kehidupan. Selama manusia masih berpegang
teguh kepadanya, maka akan menjadi sebuah transportasi untuk sampai
kepada puncak kesempurnaan maupun keimanan dan mengeluarkanya dari
alam gelap gulita menuju alam yang terang benderang.
Dalam era kontemporer sekarang ini, kehidupan manusia yang kian
mengarah ke hedonisme, pernak pernik dunia, harta, wanita, jabatan
maupun kekuasaan telah menyeretnya kejurang kehidupan dan berujung
pada matinya keimanan. Kecintaan terhadap dunia telah membuat manusia
lalai akan tujuan hidupnya sehingga lupa akan mempersiapkan bekal
dalam perjalanan hidupnya menuju perjalanan hari kebangkitan
menjumpai sang Pencipta. Padahal Al-Quran terdapat ratusan ayat
mengenai hari pengadilan, kehidupan setelah mati yang mana
memperingatkan kita akan adanya yaumul hisab atau lebih kita kenal
dengan hari kebangkitan yang mana semua tindak tanduk dalam
kehidupan manusia akan dipertanyakan dan dimintai pertanggung
jawaban.
Pada dasarnya setiap manusia, selain memiliki watak alamiah,
yakni memiliki beberapa pandangan mengenai hari kebangkitan. Secara
fitrawi, semua manusia ingin mengetahui akhir dari masa depannya dan

1
akhir dunia ini, sampai di mana perjalanan mereka dan apa substansi dari
kehidupan ini. Sukses dan tidaknya manusia dalam berlayar di dunia ini
bergantung dengan keimanan dan amalnya selama hidup. Berbicara
dengan masalah kebangkitan, penulis tertarik untuk meneliti salah satu
surah dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hari kebangkitan
yaitu surah Al-Fajr. Surat ini terdiri atas 30 ayat, termasuk golongan surat-
surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al-Lail. Nama Al-Fajr diambil
dari kata Al-Fajr yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang artinya
fajar, namun penulis disini hanya akan membahas dari ayat 22 sd 30.
Dalam surah ini ayat-ayatnya disepakati turun sebelum Nabi
Muhammad Saww berhijrah ke Madinah. Sebagaimana dengan namanya
Al-Fajr tanpa wauw, ini sedikit berbeda dengan bunyi ayat yang pertama.
adapun penamaan ini disepakati oleh penulis mushaf, kalangan perawi
hadis dan para penggelut pakar tafsir. Adapun pokok inti dalam masalah
ayat ini adalah ancaman terhadap kaum kepada musyrikin Mekkah yang
mana jangan sampai mengalami siksa sebagaimana yang telah dialami
para kaum yang telah menjadi durhaka terhadap Tuhan yang lebih jauh
perkasa dari pada mereka, serta merupakan kabar maupun berita gembira
sekaligus pengukuhuan hati baginda Rasulullah Saww bersama dengan
kaum muslimin yang pada masa diturunkanya ayat-ayat atas surah ini
masih mengalami ketertindasan oleh kaum musyrikin Mekkah.
Pembahasan surah ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Allamah At-Thabathaba’i sebagai lontaran celaan atas mereka yang telah
mabuk ketergantungan terhadap dunia sehingga berujung pada
kesewenangan maupun kekufuran.1 Pada akhir ayat ini, menceritakan
bahwasanya sumber kebahagian dalam kehidupan bukanlah harta semata.
Ayat ini juga, sekaligus memberi pemahaman bahwasanya hidup kita yang
sebenarnya adalah di akhirat kelak, serta penyesalanan yang terdapat
dihari kemudian akan menandakan apa yang menjadi aktifitas maupun
perbuatan yang dilakukanya selama hidup di dunia adalah sia-sia.

1
. Googleweblight.com/i?u=https://onolistrik.wordpress.com/2011/08/04/tafsir-al-
misbah-surah-al-fajr/&hl=id-ID

2
Terdapat beberapa metode dalam penafsiran, diantaranya tafsir
ijmali, tafsir maudu’i, tafsir tartibi dan lain-lain. Adapun penulis dalam
makalah ini mencoba mendekati surah Al-Fajr ayat 22-30 dengan
pendekatan tafsir tartibi dengan mengambil beberapa pandangan dari para
ulama tafsir. Hal ini dikarenakan masing-masing ulama pun dalam
menjelaskan surah Al-Fajr ini, walaupun dengan pendekatan yang sama
yakni tartibi, akan tetapi faktor dinamika kehidupan masing-masing dari
mereka berbeda-beda.
Maka dari itu penulis mencoba untuk mengeksplorasi surat ini
dengan meninjaunya dari para ulama klasik, modern sampai kontemporer.
Sekaligus menjelaskan secara global relevansi surat yang sudah turun
beribu-ribu tahun ini dalam relevansinya tiap-tiap fase maupun dinamika
kehidupan manusia sampai hari ini.

1.2 Permasalahan

1.2.1 Identifikasi Masalah


Dari beberapa persoalan di atas, penulis mencoba mendekati Al-
Qur’an lebih khususnya dalam surah Al-Fajr dengan metode tafsir tartibi.
walaupun pada dasarnya terdapat beberapa metode dalam ilmu penafsiran.
Metode penafsiran tartibi ialah membahas tuntas ayat demi ayat secara
sistematis dalam satu surat. Dengan metode ini penulis berharap untuk
melakukan sebuah komparasi tafsir dengan berbagai pandangan dari para
ulama klasik, modern sampai ke ulama kontemporer dalam menyingkap isi
maupun inti sari dari surah Al-Fajr.

1.2.2 Pembatasan Masalah


Dalam makalah ini, penulis akan membatasi pada perihal
pengertian tafsir itu sendiri dan tafsir tartibi sekaligus sebagai pengantar
dalam menyelami surah Al-Fajr. Kemudian, pemaparan beberapa pendapat
dari para ulama klasik, modern dan kontemporer atas tafsir tartibi surah
Al-Fajr dan sekaligus pandangan masing-masing dalam surah tersebut.

3
1.2.3 Perumusan Masalah
Dari beberapa pemaparan di atas sebagai bahan acuan penulis
dalam makalah ini merumuskan beberapa masalah diantaranya:

1. Apa itu tafsir tartibi dan tafsir maudu’i ?


2. Bagaimana pandangan ulama klasik, modern dan
kontemporer mengenai surah Al-Fajr dari segi tafsir
tartibi ?

1.3 Literatur yang relevan


Adapun buku-buku yang akan menjadi referensi penulis dalam makalah
penelitian ini adalah:

Pertama, At-tafsir Al-kabir atau dikenal juga dengan Mafatih al-Ghayb


karya Fakhruddin Ar-Razi. Nama lengkapnya Muhammad bin Umar bin
Al-Hasan At-Tamimi Al-Bakri At-Tabaristani Ar-Razi. Sebuah tafsir yang
berbeda dengan mayoritas tafsir klasik yang membatasi keselamatan hanya
bagi pengikut Nabi Muhammad Saww yang disebut orang-orang muslim.2

Kedua, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh Muhammad Husain


Thabathaba’i yang lebih dikenal dengan nama “Tafsir al-Mizan”
merupakan sebuah terobosan paling lengkap dan komprehensif dalam
dunia kitab tafsir Al-Qur’an. Dengan ketepatan, keuletan serta kejujuran
ilmiah dalam kitab ini membuatnya menjadi bahan sorotan para ulama-
ulama lintas mazhab.3

Ketiga, Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah al-Munzal karya Nashir Makarim


Syirazi, dengan menyuguhkan gaya baru dalam sebuah penulisan tafsir
dan memuat data-data maupun referensi-referensi yang mengikuti corak
penafsiranya.4

2
. Fakhruddin Ar-Razi, At-tafsir Al-kabir,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah 1433 H), hlm 177.
3
Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an,(Qom: Ismiliyan, Dar
Al-Kutub Al-Iskamiyah 1981 H), hlm 311.
4
Nashir Makarim Syirazi, Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah al-Munzal,(Qom: 1429 H).

4
Keempat, Tafsir Nur Ats-tsaqolaini dikarang oleh Syaikh Abdul Ali bin
Jum’ah ‘Arusi Huwaizi atau lebih dikenal Ibnu Jum’ah. Melakukan
pendekatan tafsir setiap dengan menukilkan riwayat-riwayat yang kaya
akan faedah, keutamaan, manfaat.5

keenam Majma al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an ditulis oleh Abu Ali Fadhl
bin Hasan al-Thabarsi. Dengan pembahasan-pembahasan tentang bacaan
(Qira’ah), tanda baca (i’rab), penjelasan kata-kata yang sulit dan secara

semantik (ma’aani dan bayaan) maupun Azbabu An-Nuzul.6

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini
adalah:

1. Untuk mengetahui apa itu tafsir dan tafsir tartibi


2. Untuk mengetahui berbagai perspektif ulama klasik, modern dan
kontemporer dalam tafsir tartibi terhadap Qur’an.

1.4.2 Manfaat Penelitian


Adapun yang menjadi manfaat dari penelitiaan ini adalah:

1. Dapat menjadi salah satu referensi dalam dunia ilmu tafsir


2. Menambah wawasan bagi para pembaca yang budiman
3. Penulis berharap melalui makalah ini walaupun masih sangat terbatas
dapat memberi kontribusi dalam pergulatan dunia tafsir.
4. Melatih untuk melakukan analisis berbagai tafsir dari segi dinamika
zaman.

1.5 Metodelogi Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Penelitian ini
menggunakan metodologi penelitian kualitatif deskriptif untuk membangun

5
Syaikh Abdul Ali bin Jum’ah ‘Arusi Huwaizi, Tafsir Nur Ats-tsaqolaini,(Lebanon:
Muassasah at-Tarekh al-Arabi 1422 H), hlm 198.
6
Abu Ali Fadhl bin Hasan al-Thabarsi, Majma al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an,( Tehran:
Dar Al-Taqrib baina al-Mazhabani, 1153 H). Hlm 492.

5
argumentasi pemikiran yang relevan dengan zaman kontemporer. Langkah-
langkah yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini adalah dengan
mengumpulkan buku-buku atau teks-teks yang berkaitan atau yang relevan
dengan tema penelitian. Kitab maupun Buku-buku ini merupakan teks otoritatif
yang membahas tentang tafsir Al-Qur’an khususnya dalam tafsir tartibi yang
membahas dari segi periwayatan, Azbabu an-Nuzul bacaan (Qira’ah), tanda baca
(i’rab) dan berbagai kajian ilmiah. Sehingga menjadi dapat menjadi sebuah
referensi dalam penelitian makalah ini. Selain itu mengumpulkan beberapa
wacana tentang judul yang berhubungan dengan tema yang akan diteliti. Terakhir
adalah memilah dan menganalisis teks-teks yang ada dan relevansinya dengan
makalah ini.

1.6 Sistematika Penulisan


Adapun sistematika makalah ini sebagai berikut:
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah
1.2.2 Pembatasan Masalah
1.2.3 Perumusan Masalah
1.3 Literatur yang relevan
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
1.4.2 Manfaat Penelitian
1.5 Metodelogi Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II TAFSIR
2.1 Defenisi Tafsir dan Tafsir Tartibi
2.1.1 Defenisi Tafsir
2.1.2 Tafsir Tartibi

6
2.2 Pentingnya komparasi lintas tafsir
2.3 Selayang Pandang Berkenaan Surah Al-Fajr
BAB III TAFSIR SISTEMATIS ATAS SURAH AL-FAJR AYAT 22-30
3.1 Tafsir Klasik
3.1.1 Tafsir klasik: Tafsir Al-Kabir
3.1.2 Klasik: Tafsir Majma’ Al-Bayan
3.2 Tafsir Modern
3.2.1 Tafsir Modern: Tafsir Al-Mizan
3.3 Tafsir Kontemporer
3.3.1 Tafsir kontemporer: Tafsir Al-Misbah
3.3.2 Tafsir Kontemporer: Tafsir Nurul Qur’an
BAB IV ANALISIS
3.1 Analisis Lintas Tafsir
4.1.1 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 22
4.1.2 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 23
4.1.3 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 24
4.1.4 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 25 dan 26.
4.1.5 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 27
4.1.6 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 28
4.1.7 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 29 dan 30
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN 51
DAFTAR PUSTAKA

7
8
BAB II
TAFSIR

1.7 Defenisi Tafsir dan Tafsir Tartibi

1.7.1 Defenisi Tafsir


Acap kali kita dapati banyak perdebatan yang terjadi dalam
masalah-masalah ilmiah dan selainya dikarenakan globalnya dalam
pemahaman-pemahaman lafadz yang digunakan. Akibatnya, terjadilah
kerancuan tali pemahaman dikarenakan tidak adanya sebuah kesepakatan
maupun batasan terhadap sebuah kata terlebih dahulu dalam pembahasan.
Maka, defenisi sebuah kata sangatlah penting dikarenakan defenisi itu
mengeluarkan yang bukan bagian darinya dan memasukkan yang
merupakan bagian darinya.7 Jadi sudah menjadi sebuah keniscayaan
sebelum masuk dalam sebuah pembahasan kita mendefenisikanya terlebih
dahulu sebuah kata.

Secara etimologi Kata tafsir berasal dari bahasa Arab (– ‫فسّر –يفّس ر‬

‫)تفس((ري‬ Fassara-Yufassiru-Tafsiran artinya menjelaskan atau menyingkap,

dalam artian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau bermakna ‫َبَنَي‬


bayyana (menjelaskan), dan ‫ وَّض َح‬waddhaha (menerangkan). firman Allah
Swt:

‫َو اَل َيْأُتوَنَك َمِبَثٍل ِإاَّل ِج ْئَناَك ِباَحْلِّق َو َأْح َسَن َتْف ِس ًريا‬

“Setiap kali mereka mendatangkan kepadamu sanggahan-


sanggahan yang tidak beralasan, Kami pasti mendatangkan kepadamu
kebenaran yang kami jelaskan dengan sebaik-baiknya”, (QS al-Furqan:
33).8

7
Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Ilmu Mantiq, (Qum: Instisyarat Ismailiyan, 1379), hlm
97.
8
Muhakkik Ja’far Subhani, al-Manahij at-Tafsir Fi Ulum al-Qur’an, (Qum: Muassisah al-
Imam ash-Shadiq, 1432 H), hlm 13

9
‫ فّس ر‬Fassara maupun ‫ فسر‬Fasara pada dasarnya merujuk pada arti

yang sama. Hanya saja kata ‫ فّس ر‬Fassara sebenarnya adalah bentuk

mudha’af dalam ilmu sharaf yang bisa kita arikan berlipat-lipat (dalam

menafsirkan). Jadi, kata ‫ فّس ر‬Fassara memiliki arti benar-benar

menjelaskan, menafsirkan, memiliki usaha yang sungguh-sungguh, serius


dalam menjelaskan makan yang tersirat dalam kandungan teks wahyu.
Adapun pendapat Syekh Nasir Makarim Syirozi, “Tafsir” secara leksikal
berarti ‘penyingkapan tabir yang menyelimuti wajah. Apakah al-Qur’an
yang merupakan sebuah cahaya (Nur) serta merupakan sebuah penjelasan
yang nyata (al-Kalam al-Mubin) adalah tabir sehingga haruss kita
singkap?

Tidak, tidak ada tabir dan hijab pada wajah al-Qur’an, melainkian
kitalah yang harus menghilangkan hijab dari ruh kita dan menyingkap
tabir dari akal kita, sehingga kita dapat , mengetahui ajaran-ajaran al-
Qur’an dan dapat merasakan sentuhan demi sentuhan di dalamnya. 9
Adapun Muhammad Husain Thabathaba’i sendiri mengatakan tafsir itu
adalah:

‫كشف معاىن القران و بيان املراد‬


“menyingkap makna-makna al-Qur’an dan menjelaskan maksudnya”

Walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam mendefenisikan ilmu


tafsir, namun dari semua perbedaan yang ada kita dapat mengambil
benang merah dari berbagai defenisi yang ada. Pada intinya dapat kita
katakan bahwa, tafsir adalah sebuah usaha dalam menyingkap teks-teks
wahyu al-Qur’an, menjelaskan makna-makna tersirat di dalamnya yang di
inginkan oleh Sang Maha Kuasa.

9
Syekh Nasir Makarin Syirozi, Tafsir Al-Amtsal Tafsir Kontemporer, Aktual dan Populer,
(Jakarta Selatan: Sadra Press2015), hlm 1.

10
1.7.2 Tafsir Tartibi
Pandangan maupun solusi yang diajukan Al-Qur’an tentang sebuah
tema hanya dapat ditangkap secara lengkap dengan cara mempelajari
semua ayat-ayat yang terkait. Dengan mencari pandangan Al-Qur’an dari
satu ayat saja tidak akan memadai karena satu ayat seringkali penjelasan
tambahannya, Batasan-batasannya, pengecualian-pengecualiannya,
pengertian dan definisi justru disampaikan dalam ayat lainnya. Misalnya,
di antara tema yang ingin disampaikan kepada kita adalah tentang “Islam
adalah agama rahmat”. Gagasan Al-Qur’an tentang tema ini tidak bisa
hanya dijelaskan dengan merujuk pada satu ayat atau surat saja.
Gagasan ini harus ditelaah, digali dan dipahami dengan
memahami semua ayat yang terkait dengan persoalan maupun
permasalahan-permasalahan ini mulai dari surat pertama sampai terakhir.
Dengan metode tersebut, gagasan al-Qur’an tentang konsep Islam agama
rahmat dapat dipahami secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal. Karena al-
Qur’an adalah kitab petunjuk bagi manusia yang mumpuni memberikan
jawaban terhadap segala problematika kehidupan dengan segala macam
tema permasalahannya, idealnya setiap tema permasalahan harus diajukan
kepada Al-Qur’an. Dengan demikian, al-Qur’an akan memberikan sebuah
jawaban yang utuh sebagai solusi dari setiap masalah per topik dan per
tema permasalahan tersebut.
Menggali petunjuk dan sikap Al-Qur’an untuk setiap topik dan
tema permasalahan dalam metode tafsir dikenal dengan tafsir maudhu’i
(tafsir tematik). Sedangkan tafsir yang mengkhususkan diri pada
interpretasi ayat per ayat secara berurutan disebut dengan tafsir tartibi.
Karena tidak bisa menyuguhkan sebuah pandangan dan sikap yang utuh
Al-Qur’an tentang sebuah tema permasalahan, tafsir tartibi tidak akan
pernah mencukupi. Karena itu tatsir tartibi seharusnya tidak disejajarkan
dengan tafsri maudhu’i. Tafsir tartibi sebenarnya hanyalah sebagai alat
dalam mendukung tafsir maudhu’i. Tafsir tartibi diupayakan dalam rangka
sebuah tujuan lebih tinggi, yaitu mendapatkan sebuah gambaran utuh
tentang gagasaan dan sikap Al-Qur’an tentang sebuah tema permasalahan
melalui tafsir tematik. Pada dasarnya, usaha menafsirkan ini tidak

11
menuntut sebuah usaha di luar kemampuan manusia. Tafsir diupayakan
sejauh kemampuan manusia bisa mengungkap makna Al-Qur’an. Karena
keterbatasan kemampuan yang dimiliki, hasil dari semua upaya tafsir yang
dicapai oleh siapapun, kecuali nabi, tidak bisa diklaim sebagai maksud
Allah swt yang sesungguhnya.10

1.8 Pentingnya komparasi lintas tafsir


Penulis disini akan memulai dengan melakukan sebuah komparasi
pandangan terhadap para mufassirin dari Ahlu Sunnah dan Syiah, baik itu dari
ulama klasik, modern hingga kontemporer. penulis mencoba untuk mendudukkan
terlebih dahulu atau mengspesifikasikan komparasi tafsir lintas periode yang
penulis maksud. Dengan memberi batasan tengah, kategori yang penulis maksud
klasik disini adalah tafsir yang sudah ada sebelum tahun 1800 Masehi, adapun
yang melewati tahun tersebut penulis kategorikan sebagai tafsir modern,
sedangkan tafsir kontemporer tak ada kesepakatan yang jelas tentang Istilah
kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau
hanya merujuk pada abad ke-20 atau 21. Sebagian pakar berpandangan bahwa
kontemporer identik dengan modern, keduanya saling saling digunakan secara
bergantian dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak
intelektual pertama dunia Islam dengan Barat.
Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu pada
pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern. Maka dapat
disimpulkan bahwa tafsir kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-
Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti
ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran
agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau
menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial
masyarakat.11 Tafsir lintas periode maupun mazhab ini berkenaan untuk
menyelami sejauh mana relevansi surah yang sudah turun beribu-ribu tahun ini
10
https://darasagama.com/definisi-tafsir-2/
11
Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2014/01/tafsir-kontemporer-dan-
penjelasannya.html#ixzz5AIRHSMhp

12
dalam relevansinya tiap-tiap fase maupun dinamika kehidupan manusia sampai
hari ini.
Maka dari itu dapat kita katakan:
Pertama, Mengkaji khazanah tafsir klasik akan memberikan sebuah
inspirasi dalam menghidupkan kembali budaya tafsir al-Qur’an sebagaimana
diteladani para ulama terdahulu, ulama modern hingga kontemporer. seperti Al-
Syuyuthi, Al-Zamakhrsyari, Ar-Razi, Hasan al-Thabarsi, Al-Thabathaba’i, Wahba
Zuhayli, Mutawalli Sya’rawi Makarim Syirazi dll. Diantara mufassir-mufassir
yang ada mereka telah membangun budaya tafsir yang mana sangat patut
diteladini oleh generasi mendatang dalam melahirkan mutiara-mutiara makna
yang dapat menghangatkan kembali tubuh umat islam yang sudah semakin layu
dan lemas. Apalagi dalam pusaran budaya yang serba pragmatis “serba jadi”,
tafsir al-Qur’an sedikit banyak telah dipengaruhi oleh budaya tersebut, yang pada
mulanya ditentang tapi tanpa terasa pelan-pelan diadopsi menjadi bagian dari
keberagaman muthakhir. Budaya tafsir al-Qur’an digantikan dengan keberagaman
yang sejalan dengan logika pasar “serba jadi”, serba singkat dan sederhana.
Menurut kelompok tersebut yang penting adalah simbol, sedangkan
kedalaman isi dan meteri keagaman sebagaimana yang terdapat dalam khazanah
telah mengalami pergeseran paradigma. Karena itu, tradisi tafsir sebagaimana
diwari oleh para ulama terdahulu dengan pembahasanya yang sangat kaya akan
makna, memberikan sebuah inspirasi bahwa betapa pentingnya tafsir dalam
rangka menyelesaikan masalah seluruh umat berdasarkan tunttutan maupun
kondisi zamanya.
Kedua, ini adalah reaktualisasi tafsir untuk zaman kontemporer, agenda
kedua ini merupakan lanjutan dari agenda pertama. Karena apabila hanya berhenti
pada tahap itu saja, maka akan terjebak dalam romantisme masa lalu, glorifikasi. 12
Seolah-olah dengan mengkaji sebuah khazanah tafsir klasik, agenda yang lain
tidak penting. Bila hal ini terjadi, maka tafsir yang akan dihasilkan nantinya
tiddak akan mumpuni dalam menjawab tantangan kontemporer. Bahkan, bila
tidak diantisifasi akan menimbulkan masalah baru, karena tafsir yang tersedia

12
Glorifikasi= Glorifikasi melebih-lebihkan sesuatu hingga hingga terkesan hebat luar
biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela.peny.

13
akan menjadi hambatan terhadap penyesuaian ihwal problematika kontemporer.
Misalnya, pandangan tafsir ihwal ekologi. Di masa lalu, masalah tersebut bisa kita
katakan bukanya hal yang begitu urgen. Namun, dalam konteks kita sekarang ini
dalam hal penebangan liar yang menyebabkan longsor,banjir, maupun
pencemaran lingkungan, penumpukan sampah di tempat-tempat umum menjadi
salah satu pemandangan yang hampir kita jumpai di setiap sudut-sudut kota.
Parahnya lagi, kondisi ini umumnya kita temukan pada masyarakat yang memeluk
Islam dan mengimani al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan. 13 Disinilah
upaya dalam mencari titik temu khazanah tafsir klasik, modern maupun
kontemporer dalam rangka menghidupkan diskursur keilmual tafsir dan
relavansinya dalam kehidupan.

1.9 Selayang Pandang Berkenaan Surah Al-Fajr


Surah ini merupakan wahyu yang ke-10 yang diterima oleh Nabi
Muhammad Saww. Ia turun sebelum surah ash-Dhuha dan sesudah surah al-Fil.
Ayat-ayatnya berjumlah 30 ayat menurut cara perhitungan ulama Kufah dan
Syam, dan 32 ayatmenurut cara perhitungan ulama Mekkah dan Madinah karena
ayat 15 mereka jadikan dua ayat yakni awalnya sampai kata wa na’ammahu satu
ayat lagi sampai dengan akraman. Demikian juga ayat 16 mereka jadikan dua
ayat, yang pertama sampai kata rizqahu lalu lanjutanya ayatberdiri sendiri sampai
dengan ahanan.14
Seperti halnya surah-surah Makkiyyah lainya, surah al-fajr memuat ayat-
ayat pendek yang kaya nan padat akan makna, membangkitkan kesadaran dan
memberi banyak peringatan. Ada beberapa sumpah yang dicantumkam pada
bagian pertama surah ini yang bersifat umum dan secara kuat dimaksudkan
sebagai peringatan bagi para pelanggar batas akan azab Allah. Pada bagian
berikutnya memuat penjelasan tentang sejumlah bangsa yang membangkang
terhadap perintah Allah di zaman dulu. Bangsa tersebut adalah bangsa ‘Ad dan
Tsamud dan juga kepada fir’aun.
13
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin,
(jakarta: Pustaka Oasis 2010), hlm 94.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Penerbit Lentera Hati 2012), hlm 283.

14
Tiga bangsa yang disebut oleh surah ini untuk diperhatikan bagaimana
perlakuan Allah terhadap mereka adalah:
1.Umat Nabi Hud, yaitu kaum ‘Ad, yang sangat mahir dalam bangunan,
sehingga dilukiskan kotanya yang bernama Iram, oleh ayat 7 dan 8 sebagai kota
yang memunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun
sebuah kota seperti itu sebelumnya di negeri lain, atau mereka dilukiskan sebagai
sangat kuat dan Allah belum pernah menciptakan penduduk sekuat mereka di
tempat-tempat lain.
2.Umat kaum Nabi Shaleh, yaitu Tsamud, yang demikian mahir dalam
seni pahat, sehingga mereka mampu memotong batu-batu besar di lembah guna
dijadikannya istana-istana tempat tinggal dan memahatnya sehingga menghasilkan
relief-relief di dinding-dinding istana/ kediaman mereka.
3.Kaum Firaun yang memunyai pasak-pasak, yakni piramid-piramid yang
terdiri dari batu-batu yang tersusun rapi dan kokoh tertancap di bumi, juga
tentara-tentara yang dijadikannya bagaikan pasak guna mengukuhkan
kekuasaannya.
Mereka yang melanggar dan telah melampaui batas itu hancur ditimpa
azab dari Allah Yang Maha Kuasa. Fakta tersebut merupakan pelajaran dan
peringatan bagi para penguasa yang arogan dan setiap manusia agar mereka bisa
berhati-harti dan selalu memperhatikan keadaan mereka sendiri sat ini. Selain itu
dengan kesinambungan dengan makna yang khas, ayat-ayat selanjutnya
mengungkapkan tentang penderitaan manusia, juga peringatan tegas melalui
kecaman-kecaman keras terhadap sikap dan tindakan manusia yang lalai
menunaikan kebaikan. Adapun akhir dari bagian surah diketengahkan tentang hari
akhirat, bagaimana nasib para pendosa dan orang-orang kafir di satu pihak, serta
ganjaran besar akan diterima oleh orang-orang beriman di pihak lain.
Mereka yang mendapat ganjaran besar itu ialah orang-orang yang jiwanya
berada dalam kedamaian.15

15
Allamah Kamar Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an, sebuah tafsir sederhana menuju
cahaya Al-Qur’an, (Jakarta: Al-Huda 2006), hlm 21.

15
16
BAB III

Tafsir Sistematis Atas Surah Al-Fajr Ayat 22-30

3.1 Tafsir Klasik

3.1.1 Tafsir klasik: Tafsir Al-Kabir16


)22( ‫َو جاَء َر ُّبَك َو اْلَم َلُك َص ًّفا َص ًّفا‬.

‫ َو ج ((اَء َر ُّب َك‬Dalam hal ini Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa, ayat

tersebut dapat dipastikan dengan menggunakan dalil Aqli, bahwasanya

pergerakan Allah ‫ﷻ‬ memiliki tempat. Semua apa-apa yang telah


bergerak dan memiliki tempat maka itu meniscayakan adanya jism
“bentuk” atau berbentuk, sementara jism juga mustahil untuk menjadi
sesuatu yang Azali.17 Maka dalam ayat tersebut harus kita takwilkan. Ayat
tersebut mengalami penghapusan pada mudofnya lalu posisi mudof ilaih
menempati posisi mudof tersebut. Mudof yang terhapus tersebut memiliki
beberapa pengertian diantaranya:

1. Sebenarnya yang datang pada hari kiamat itu adalah amru Allah yakni hari
perhitungan maupun balasan terhadap manusia
2. Kedatangan keagungan tanda-tanda jalaliah tuhan karena terjadi hari
kiamat
3. Pada hari itu ma’rufatullah merupakan sesuatu yang pasti atau mesti,
sehingga pada hari itu seperti zuhurnya atau nampaknya tuhan dan
tajallinya terhadap mahluknya
4. Bisa dikatakan juga disana kedatangan malaikatnya, yang mana malaikat
yang paling agung, yakni murabbi (pengatur) bagi Nabi

16
Fakhruddin Ar-Razi, At-tafsir Al-kabir,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah 1433 H), hlm
177.
17
Sesuatu yang tidak pernah diawali oleh ketiadaan, dalam artian dia selalu ada, penj.

17
‫َو اْلَم َل ُك َص ًّفا َص ًّفا‬, maknanya adalah turunya para malaikat secara

keseluruhan dari langit sembari berbaris-baris dan barisan tersebut


mengelilingi “melingkari” jin dan manusia.

Ayat ‫الِّذ ْك رى‬ ‫ِئٍذ‬ ‫ِئٍذ‬


‫))َو جيَء َيْو َم َجِبَه َّنَم َيْو َم َيَتَذ َّك ُر اِإْل ْنساُن َو َأىَّن َلُه‬
(( ‫َو جيَء َيْو َم ِئ ٍذ َجِبَه َّنَم َيْو َم ِئ ٍذ‬, ayat ini memiliki padanan pada surah Asy-

‫ِت ِح ِل‬
Syu'ara' Ayat 91
‫))َو ُبِّر َز ا ْل َج ي ُم ْل َغ ا ِو ي َن‬ yakni pada hari itu

datanglah tali untuk mengkekang sebanyak 70.000 tali,


sementara setiap tali tersebut dipegang oleh malaikat-malaikat
yang mana akan membuat manusia terbakar. Tapi para pakar
Ushul mengatakan bahwa, pada hari itu tidak ada seorang pun
yang bisa memisahkan diri maupun lari dari tempat tersebut.

Kemudian ayat ‫َيْو َم ِئ ٍذ َيَت َذ َّك ُر اِإْل ْنس((اُن َو َأىَّن َل ُه ال (ِّذ ْك رى‬, takdir “perkiraan”

‫ِت‬
kata di situ, ‫ِإذا ُدَّك اَأْلْر ُض‬, artinya jika bumi diguncangakan sedemikian
rupa, maka pada hari itu manusia akan mengingat kelalaian-kelalaianya
selama hidup dan pada akhirnya mereka sadar bahwasanya mereka telah
menjadi orang-orang yang sesat selama hidupnya dan di akhirat . mereka
juga akan bangun, tersadar, bahwa seaindanya aku punya kesempatan
untuk dikembalikan ke bumi, niscaya kami tidak akan mendustakan ayat-
ayat tuhan, kami akan tobat dan berbuat kebajikan. Namun, semua hal
tersebut tidaklah bermanfaat baginya. Kemudian Allah Swt berkata:

(‫)َو َأىَّن َلُه الِّذ ْك رى‬ sungguh telah datang kepada kalian Rasul yang

nyata yang telah memberi peringatan. Ayat disitu menegaskan bahwa tidak

ada lagi manfaat dari penyesalan dan taubat.

Ayat 24 (‫َحِليايت‬ ‫)َيُقوُل يا َلْيَتين َقَّد ْمُت‬

18
Pada ayat ini Fakhruddin Ar-Razi menyatakan dalam ayat tersebut
terkandung andai-andaian manusia mengerjakan amalan yang baik selama

hidupnya dan ‫َحِليايت‬ ‫ َقَّد ْمُت‬bermakna bukan hanya kehidupan di dunia saja,
bahkan seakan-akan kehidupan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
hanya kehidupan akhirat, karena suramnya kehidupan dalam akhirat
nantinya adalah representasi amal selama hidup di dunia, jadi inti
kehidupan yang dimaksud adalah akhirat.

‫ِئٍذ‬ ‫ِث‬
Ayat 25 ( ‫َأَح ٌد‬ ‫(َو ال ُيو ُق َو ثاَقُه َأَح ٌد ) )َفَيْو َم ال ُيَعِّذ ُب َعذاَبُه‬ 26

‫ِئ ٍذ‬
( ‫ٌد‬ ‫)َفَيْو َم ال ُيَع ِّذ ُب َعذاَب ُه َأَح‬ disini menerangkan bahwa tidak akan ada

yang bisa menyiksa”mengazab” di dunia sebagaimana azab Tuhan

terhadap orang kafir dan ayat ( ‫)َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬ juga menerangkan hal

yang sama. Yakni tidak ada sesuatu yang bisa mengikat seperti ikatanya
di dunia sebagaimana Tuhan mengikat orang kafir. Makna perumpamaan
pazab dan ikatan-Nya pada ayat tersebut merupakan mubalagoh yang
sangat tinggi. Pada intinya, tidak ada yang bisa memegang kendali atas
hari tersebut yakni hari kiamat. Yang mana tidak ada perintah atau amr
selain dari pada perintahnya.

Ayat 27 ‫ِئَّنُة‬
‫))يا َأَّيُتَه ا الَّنْف ُس اْلُم ْطَم‬
Ketika Allah mensifati kondisi terhadap orang-orang yang tenang
(mantap) di dunia, serta orang-orang yang tenang dengan ma’rifah

ubudiyyah, Dia berkata


‫ي((ا َأَّيُتَه ا الَّنْف ُس‬, dalam ayat tersebut ada beberapa

aspek, diantaranya : makna yang tersirat pada ayat ayat tersebut adalah
Allah meberikan seruan yang hanya di khususkan terhadap orang
mu’minin sebagai sebuah penghormatan ataupun pemuliaan bagi orang

mu’minin sebagaimana juga Allah berkata kepada Musa As ‫كلم اهلل وس((ى‬.
Yang mana Allah Swt benar-benar menyeru hanya kepada mereka yang

19
memiliki sifat tersebut. Dalam ayat tersebut juga tersirat makna bahwa

hanya jiwa-jiwa yang tenang (mantap) ‫ اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬sebagai syarat untuk

kembali kepada Allah, karena panggilan tersebut hanya dijukan kepada

yang ‫ِئَّنُة‬ ‫ِئ‬ ‫ِئ‬


‫اْلُم ْطَم‬taqyid. Aspek berikutnya adalah ‫اْلُم ْطَم َّنُةاْلُم ْطَم َّنُة‬al-Haq Allah
Swt dan tidak ada sama sekali keraguan di dalam keyakinan tersebut
maupun tidak ada lagi rasa ketakutan dan kesedihan.

Ayat 28 ‫ِض َّيًة‬ ‫ِج ِإ ِك ِض‬


‫))اْر عي ىل َر ِّب را َيًة َمْر‬
Dalam ayat tersebut tidak digunakan kepada manusia kecuali sudah dalam
keadaan sempurna dalam kekuatan, potensi dalam tingkat ma’rifatullah.
Karena, apakah layak seorang hamba kembali kepada Tuhanya sementara
dia tidak dalam keadaan memiliki kapasitas sempurna. Sempurna dalam
artian dia adalah orang-orang yang telah memiliki kemantapan jiwa

‫ اْلُم ْطَم ِئَّنُة‬ataupun jiwa yang tenang karna itulah syarat untuk diridhai Sang
Tuhan ‫راِض َيًة ِض َّيًة‬.
‫َمْر‬
Ayat )30( ‫)َو اْد ُخ لي َج َّنيت‬29( ‫َفاْد ُخ لي يف ِعبادي‬
Yakni maqam orang-orang yang telah bergabung dengan Tuhannya dan
telah termasuk orang orang-orang yang mendekatkan diri sebelumnya,
karna syarat untuk mendekat pada Tuhan adalah dengan ber-taqarrub
hanya kepadanya. Tentunya, kondisi ini adalah kondisi yang sangat mulia,
semua arwah-arwah yang mulia dan suci menjadi layaknya cermin yang di

poles sehingga mengkilap. Ayat ‫ َو اْد ُخ لي َج َّنيت‬juga membicarakan sebuah


hadiah kepada orang yang telah masuk sebagai hamba Tuhan. Ayat ini
mengisyaratkan kebahagian jismiyah, dikarenakan kebahagian surga Ar-
ruhiyyah bukanlah tempat istirahat dari kematian bagi orang-orang yang
telah berbahagia. Surga jismiyyah tidaklah merupakan suatu kemenangan
kecuali setelah terjadinya hari kiamat.

20
3.1.2 Klasik: Tafsir Majma’ Al-Bayan18
Ayat (22) ‫َو جاَء َر ُّبَك َو اْلَم َلُك َص ًّفا َص ًّفا‬

Yakni kedatangan amr “perintah/urusan” tuhan dengan


kekuasaanya beserta hari perhitunganya, ini adalah kedatangan sebuah amr
yang mana amr itu sendiri tidak bersama dengan-Nya, berbeda dengan

kondisi di dunia. Adapun ‫ َو اْلَم َلُك‬yaitu kedatangan para malaikat ‫َص ًّفا َص ًّف ا‬
bershaf-shaf maupun berbaris-baris. Allah menghendaki barisan-barisan

para malaikat maupun seluruh penghuni langit dalam satu barisan . Jika

telah gempa bumi yang dahsyat yang berujung pada kiamat, maka para
malaikat membentuk sebuah barisan yang meliputi bumi maupun orang-
orang yang di dalamnya. Malaikat yang bersha-shaf tersebut seperti
manusia yang sedang sholat, yang mana ada shaf pertama, kedua, ketiga
dan seterusnya yang mana bercampurnya sesama manusia dengan manusia
yang lain yang mana keserasian maupun kerapian yang lebih utama.

Ayat (23) ‫الِّذ ْك رى‬ ‫ِئٍذ‬ ‫ِئٍذ‬


‫َو جيَء َيْو َم َجِبَه َّنَم َيْو َم َيَتَذ َّك ُر اِإْل ْنساُن َو َأىَّن َلُه‬

Yakni, dihadirkannya pada hari tersebut hari jahannam sebagai


‫ ِئ ٍذ‬,
balasan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. ‫َيْو َم‬ yakni

kedatangan hari Jahannam yeng membuat orang kafir


‫َيَتَذ َّك ُر‬ mulai sadar

dan hendak bertaubat ‫َأىَّن َل ُه ال (ِّذ ْك رى‬, yang mana taubat ini mau kemana

lagi? Sudah tidak ada manfaat lagi. Orang kafir tersebut mengingat apa
yang telah diperbuatnya dan apa yang telah melalaikanya sehingga sampai
melampai batas. Karena, pada saat itu dia baru mengetahui dengan yakin
dengan apa-apa yang telah di serukan kepadanya. Namun hal tersebut
tidak lagi bermanfaat dengan diberikanya pembawa peringatan
sebelumnya. Hal tersebut tidak bermanfaat juga karena bukan lagi
18
Abu Ali Fadhl bin Hasan al-Thabarsi, Majma al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an,( Tehran:
Dar Al-Taqrib baina al-Mazhabani, 1153 H). Hlm 492.

21
waktunya. Adapun jika didatangkan kepada mereka, mereka malah
mengabaikanya bahkan menafikanya. Mereka telah memiliki waktu di
dunia selama

Ayat (24) ‫َحِلياتي‬ ‫َيُقوُل يا َلْيَتين َقَّد ْمُت‬


Orang kafir yang telah mendapat siksa dan tidak melakukan amal
kebajikan selama hidupnya berangan-angan bahwa mereka telah benar-
benar melakukan amal sholeh, ketaatan hanya kepada Allah Swt di dunia.
Serta demi persiapan bekalnya setelah kematian, yanag mana tidak ada
lagi kehidupan setelahnya

Ayat (25) ‫) َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬26( ‫َفَيْو َم ِئٍذ ال ُيَعِّذ ُب َعذاَبُه َأَح ٌد‬

Tuhan berkata kepada mereka ‫ َفَيْو َم ِئٍذ ال ُيَعِّذ ُب َعذاَبُه َأَح ٌد‬yakni, tidak
ada lagi yang mengazab “menyiksa” pada hari itu dari mahluknya selain
dari pada azab Tuhan semata dan ‫َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬ tidak ada pula yang
dapat mengikat terhadap mahluknya selain dari pada ikatanya. Dalam
artian, tidak ada lagi yang mumpuni maupun memiliki kapasitas maupun
‫ِث‬
daya untuk mengazab, menindas ‫ " "ُيَعِّذ ُب‬serta mengikat " ‫ " ُيو ُق‬terhadap
mahluk-Nya sebagaimana di dunia melainkan azab maupun ikatan “siksa”
Allah terhadap orang kafir pada hari pembalasan tersebut.

Ayat (27) ‫ِئَّنُة‬


‫يا َأَّيُتَه ا الَّنْف ُس اْلُم ْطَم‬
Dengan keimanan dan juga meyakini adanya balasan atau pahala
dan juga pengutusan serta adanya tuma’ninah “ketenangan/kemantapan”

adalah hakikat keimanan ‫اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬. Dalam artian tidak ada lagi sebuah

keraguan di dalamnya karena telah mantap jiwanya”tenang”. ‫ِئَّنُة‬


‫ اْلُم ْطَم‬Juga
adalah orang yang bercahaya wajahnya serta diberikan bukunya dari
sebelah kanannya maka orang itulah yang tenang “mantap jiwanya” pada
hari tersebut.

22
Ayat (28) ‫ِض َّيًة‬ ‫ِج ِإ ِك ِض‬
‫اْر عي ىل َر ِّب را َيًة َمْر‬
Pada hari tersebut dikatakan kepada ‫ الَّنْف ُس اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬kembalilah
kepada tempat yang mana Allah Swt telah mengkhususkan tempat tersebut
hanya pada hamba-Nya yang memiliki jiwa mutmainnah. Dengan
perintah-Nya pula, jiwa yang mutmainnah bisa memasukinya serta
melarang selain mahluknya untuk memasuki tempat tersebut. Adapun

dengan posisi‫ راِض َيًة‬adalah pahala dari Allah Swt. Dengan pahala tersebut
dia akan menjadi ‫“ ِض َّيًة‬orang yang diridhai” seluruh amal perbuatannya
‫َمْر‬
dikarenakan kataanya hanya kepada Allah Swt.

Ayat (29) ‫َج َّنيت‬ ‫) َو اْد ُخ لي‬30( ‫َفاْد ُخ لي يف ِعبادي‬


Yakni, disinilah kumpulan maupun golongan yang termasuk dalam
hamba-hamba Allah Swt berkumpul, karena telah mendapatkan sebuah
seruan untuk memasukinya. Orang-orang yang telah memasukinya adalah
mereka hamba-hamba yang soleh serta hamba-hamba pilihan yang mana
mereka telah diridhai oleh Allah Swt. Dilanjutkan di penghujung ayat

dengan ‫َو اْد ُخ لي َج َّن يت‬ ,Tentunya nisbat dari ayat tersebut adalah sebuah

kedudukan yang sangat agung dan sangat mulia sebagaimana Allah Swt
telah janjikan kedapa hamba-hamba-Nya dan nikmat sedemikian rupa
yang telah dipersiapkan di dalam surga bagi mereka yang terpilih.

3.2 Tafsir Modern

3.2.1 Tafsir Modern: Tafsir Al-Mizan19


Ayat (22) ‫َص ًّفا‬ ‫َو جاَء َر ُّبَك َو اْلَم َلُك َص ًّفا‬
Ini menisbatkan tempat kedatangn Allah Swt, namun jika
dihukumi demikian, maka ayat ini masih mutasyabih yang mana Allah

19
Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an,(Qom: Ismiliyan, Dar
Al-Kutub Al-Iskamiyah 1981 H), hlm 311

23
Swt itu‫ش( ( ((يء‬ ‫ليس كمثل( ( ((ه‬ “tidak ada yang serupa dengan-Nya”. 20 juga

terdapat pada ayat-ayat yang membahas tentang hari kiamat yang mana
merupakan hari terangkatnya hijab-hijab dari manusia dan kemunculan-

Nya bahwa Allah Swt adalah al-Haq al-Mubin. Adapun ‫ جاَء َر ُّبَك‬pada ayat
tersebut terdapat mudhof yang terhapus yakni ‫ج((اَء أم((ر َر ُّبَك‬, yakni urusan
maupun perintah Allah Swt atau nisbat tempat kedatangan Allah Swt scara
majazi aqli.

Ayat (23) ‫الِّذ ْك رى‬ ‫ِئٍذ‬ ‫ِئٍذ‬


‫َو جيَء َيْو َم َجِبَه َّنَم َيْو َم َيَتَذ َّك ُر اِإْل ْنساُن َو َأىَّن َلُه‬
Sampai akhir ayat itu, tidak jauh dari makna bahwa neraka
jahannam akan benar-benar muncul kepada mereka sebagai mana dalam
ayat al-Qur’an “dan neraka diperlihatkan dengan jelas kepada setiap
‫ِئ ٍذ‬
orang yang melihat”.21 Serta perkataan Allah berikutnya
‫َيَت َذ َّك ُر‬ ‫َيْو َم‬

‫ اِإْل ْنس((اُن‬, yakni manusia mengingat dengan ingatan yang paling berkesan
dengan apa-apa yang telah diberikan kapanda selama masih hidup di
dunia, dari kebaikan dan keburukan yang mana merupakan sebuah ujian

dari Allah Swt. Namun mereka justru lalai dalam perintah-Nya. Adapun ‫َأَّن‬

‫ى َل ُه ال (ِّذ ْك رى‬, yakni mau kamana lagi peringatan itu? Merupakan sebuah
kinayah tidak bermanfaatnya lagi bagi manusia mengingat-ingat sebagai
mana ayat sebelumnya. Adapun peringatan itu hanya bermanfaat di
tempatnya yakni kehidupan dunia, dimana disanalah tempat memperbaiki
diri dari kesalahan-kesalahan, sebagai tempat untuk bertaubat juga dan
melakukan amal kebajikan. Sementara hari ini adalah hari belasan, maka
tidak ada lagi sebuah kesempatan untuk kembali.

Ayat (24) ‫َحِليايت‬ ‫َيُقوُل يا َلْيَتين َقَّد ْمُت‬


20
Qur’an surah asy-Syura: 11.
21
Qur’an surah an-naziat: 36.

24
Manusia pada hari tersebut mengatakan, inilah kehidupanku yaitu
hari akhirat sebagai kehidupan yang hakiki. Sebagaimana firman Allah
“dan kehidupan dunia ini hanya senda-gurau dan permainan. Dan
sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya

mereka mengetahui”.22 Yang diinginkan ‫َق َّد ْمُت َحِلي((ايت‬ dari sekiranya dulu

selama hidup senantiasa mendahulukan melakukan amal sholeh sebagai


bekal untuk akhirat, serta manusia begitu berandai-andai, namun tiada arti
lagi harapan maupun andai-andaian yang ada.

Ayat (25) ‫) َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬26( ‫َفَيْو َم ِئٍذ ال ُيَعِّذ ُب َعذاَبُه َأَح ٌد‬

Kedua dhomir ‫َعذاَب ُه‬ dan ‫ َو ثاَق ُه‬tertuju kedapa Allah Swt semata.

Dalam artian bahwa sesungguhnya azab maupun ikatan yang ada pada hari
itu merupakan azab dan ikatan yang lebih di atas dari pada mahluknya.
Sebagaimana manusia yang telah menjadi congkak terhadap dunia, mereka
menindas, mengikat”menyiksa” orang-orang lemah selama hidupnya,
maka sungguh siksa Allah Swt pada hari itu lebih di atas dan pedih dari
pada apa-apa yang telah dilakukan oleh mahluknya terhadap orang-orang
yang lemah.

Ayat (27) ‫ِئَّنُة‬


‫يا َأَّيُتَه ا الَّنْف ُس اْلُم ْطَم‬
Adalah jiwa yang diberi posisi, dalam artian inilah jiwa yang
memiliki sifat-sifat maupun kapasitas untuk memiliki tempat kembali yang

terbaik. Karena dalam posisi ‫ اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬ini, dia adalah jiwa yang tinggal
bersama Tuhanya. Jiwa ini juga ‫ اْل ْط ِئَّنُة‬tergolong sebagai jiwa yang ridha
‫ُم َم‬
terhadap Tuhanya dan ridha Tuhan atasnya pula. Maka orang-orang yang

tidak tergolong memiliki jiwa ‫اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬, yakni orang-orang yang selama

hidupnya di dunia melakukan keburukan, kerusakan, menindas orang


lemah, melakukan kesewenang-wenangan dan juga mengingkari tuhan
tidak akan mendapatkan maqam kenikmatan yang sangat agung tersebut.
22
Quran surah al-Ankabut: 64

25
Ayat (28) ‫اْر ِج عي ِإىل َر ِّبِك راِض َيًة َمْر ِض َّيًة‬
Ini seruan kepada seluruh kelompok pada hari itu, yakni hari
kiamat dari sisi tuhan. Ketika dihidupkanya jiwa-jiwa tersebut dan
dimasukkan ke dalam kekalnya alam surgawi. Tapi ayat ini tetap
menegaskan (sebagimana kita sebutkan sebelumnya) ini hanya berlaku

bagi ‫اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬. Karena dengan kapasitas ‫ اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬melazimkan jiwa tersebut
ridha dengan apa-apa yang telah di tetapkan kepadanya, baik itu seputar
hukum tasri’i maupun hukum takwini atau penciptaan. Dengan kondisi
ridha tersebut, maka seorang hamba tidak akan mendapatkan hukuman
maupun murka dari Tuhannya. Dengan kata lain, dengan menempuh
perjalanan ubudiyah menjadi jawaban bagi seorang hamba dalam
mendapatkan posisi ridha dari Tuhannya. Sebagaimana firman Allah:

‫ اْر ِج عي ِإىل َر ِّب ِك راِض َيًة‬maka akan mendapatkan balasan dengan maqam

‫َمْر ِض َّيًة‬.

Ayat (29) ‫ َفاْد ُخ لي يف ِعبادي‬Ayat(30) ‫َو اْد ُخ لي َج َّنيت‬

Ini merupakan cabang atau kelanjutan dari perkataan Allah Swt:

‫ا ِج عي ِإىل ِّب ِك‬ dalam ayat tersebut terdapat dalil bahwasanya, yang
‫َر‬ ‫ْر‬
memiliki daya maupun kapasitas sebagai ‫ النفس املطمئن( ( ( ((ة‬dia berhak

terkategorikan sebagai golongan hamba Allah Swt. Mereka juga


merupakan orang-orang yang telah menang dalam menempuh perjalanan

ubudiyah-Nya. adapun dalam firman berikutnya Allah Swt berkata: ‫اْد ُخ لي‬

‫َج َّنيت‬, ini adalah sebuah penetapan untuk hamba Allah Swt mendiami surga
tersebut sebagai hadiah baginya sekaligus sebagai pemenang. Dalam ayat

tadi terdapat domir tambahan pada kata ‫ َج َّنيت‬yakni, domir mutakallim “

26
‫”ي‬. Domir ini merupakan domir yang sangat mulia dan sangat khusus.
Karena, dalam firman Allah Swt tidak didapatkan suatu ayat dalam al-

Qur’an yang menambahkan domir mutakalim yakni “ ‫ ”ي‬pada kata surga

kecuali pada ayat ini.

3.3 Tafsir Kontemporer

3.3.1 Tafsir kontemporer: Tafsir Al-Misbah23


‫ِئ ٍذ‬
Ayat (22)
‫) َو جيَء َيْو َم َجِبَه َّنَم‬33( ‫َو ج ((اَء َر ُّب َك َو اْلَم َل ُك َص ًّفا َص ًّفا‬
‫َيْو َم ِئٍذ َيَتَذ َّك ُر اِإْل ْنساُن َو َأىَّن َلُه الِّذ ْك رى‬
Sikap manusia durhaka terhadap dunia secara umum dan harta
benda secara khusus, sebagaimana digambarkan pada ayat sebelumnya,
dikecam oleh ayat-ayat di atas. Mereka menduga bahwa itulah jalan
kebahagiaan. Sebagaimana masih ada kaitanya juga dengan ayat 21 pada
surah al-Fajr menafikan dugaan tersebut dengan menyatakan: Hai
manusia, tidak demikian! Atau ayat itu memperingatkan merka bahwa:
janganlah kalian berbuat demikan, karena hal tersebut akan mencelakakan
diri kalian sendiri. Apabila bumi dengan mudah dihantamkan berturut-
turut dengan hantaman yang besar sehingga meluluhkan segala sesuatu,
dan datanglah Tuhanmu-wahai Nabi Muhammad atau wahai manusia--
dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau
hadirnya ketetapan-Nya serta tampaklah dengan jelas semua kuasa dan
keagungan-Nya; sedang malaikat berbaris-baris sesuai dengan kedudukan
dan tugas-tugasnya, dan pada hari itu didatangkanlah, yakni
diperlihatkanlah neraka jahannam dengan berbagai kepedihan dan siksaan
di dalamnya dan pada hari, yakni saat terjadinya peristiwa-peristiwa itu,
ingatlah manusia, Yakni sadarlah ia tentang apa-apa yang telah dilaikanya
selama hidup di muka bumi. Tetapi, untuk apa,yakni tidak berguna lagi
baginya mengingat, yakni kesadaran itu, karena saart itu adalah saat
menuai, sedangkan saat menanam telah berlalu sedemikan jauh.
23
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an,(Jakarta:
Penerbit Lentera Hati 2012), hlm 297.

27
Pengulangan kata ‫ َص ًّفا‬shaffan/barisan pada ayat 22,

mengisyaratkan begitu banyaknya shaf-shaf malaikat yang berbaris di


tempat penghimpunan seluruh mahluk di padang Mashyar itu.

‫ِئٍذ‬
Ayat (24) ‫ال‬
‫) َو‬26( ‫) َفَيْو َم ال ُيَعِّذ ُب َعذاَبُه َأَح ٌد‬25( ‫َيُقوُل يا َلْيَتين َقَّد ْمُت َحِليايت‬

‫ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬

Ayat yang lalu melukiskan penyesalan manusia, ayat di atas


menginformasikan ucapanya ketika ia melihat betapa bahagianya orang
beriman serta batapa malang dan sengsaranya orang yang durhaka.
Dimana manusia menyesal, dari saat kesaat mengatakan dengan penuh
penyesalan: “Seandainya aku dahulu mengedepankan, yakni melakukan
kegiatan yang berguna, untuk hidupku yang kekal ini atau pada masa
hidupku di dunia dahulu.” Maka, pada hari terjadinya peristiwa-peristiwa
itu tiada satu pun, yakni tidak terbayang dalam benak seorang pun adanya
yang menyiksa seperti siksa-Nya dan tiada satu pun yang mengikat seperti
ikata-Nya.

Firman-Nya: tiada satu pun yang menyiksa seperti siksa-Nya dapat


juga berarti pada hari itu manusia sangat takut kepada Allah Swt, rasa
takut yang tiada bandinganya.

Siksa Allah itu dilukiskan banyak dalam al-Qur’an. Kita dapat


menemukanya dengan begitu mudah didalamnya. Kita juga jangan
mengatakan bahwa siksa itu sedemikian besar dan parah, tidak sebanding
dengan apa yang dilakukan. Bukankah kesalahan hanya dilakukan sekian
waktu dan terlihat remeh, tetapi mengapa siksa dapat terjadi sepanjang
masa dan amat keras. Jangan berkata demikian karena siksa itu adalah
hasil ataupun buah dari perbuatan yang bersangkutan. Dalam kehidupan
ini, bila kita menanam satu butir dari sebuah tomat, kita akan memanen
tomat yang tak sebanding dengan apa yang kita tanam. Jika seseorang

28
meminum segelas air bersih, ia akan merasa segar dan kehilangan dahaga ,
tetapi mengapa jika ia meminum setetes racun, ia akan mati. Adilkah itu?
Bukankah itu hanya setetes? Pertanyaan ini tidak pada tempatnya. Yang
bertanya lupa bahwa itu adalah hasil dari tindakannya.

Pohon tomat yang menghasilkan ratusan tomat atau bahkan ribuan


padahal yang ditanam hanya bagian yang sangat kecil dari sebuah tomat
merupakan hal yang wajar, karena itulah ketentuan hukum Allah bagi
tomat. Kematian yang meminum racun–walau hanya setetes–begitu juga.
Demikian pula dengan kedurhakaan yang dilakukan seseorang. Itu adalah
buah yang ditanamnya dalam kehidupan dunia yang akan mereka petik
hasilnya di hari kemudian nanti.

‫ا ِج عي ِإىل ِّب ِك راِض ًة ِض‬ )28( ‫ِئَّن ُة‬


Ayat (27) )29( ‫َّيًة‬
‫َي َمْر‬ ‫َر‬ ‫ْر‬ ‫ي ((ا َأَّيُتَه ا الَّنْف ُس اْلُم ْطَم‬
‫) َو اْد ُخ لي َج َّنيت‬30( ‫َفاْد ُخ لي يف ِعبادي‬

Ayat yang lalu menguraikan penyesalan manusia durhaka serta


siksa atau rasa takutnya. Ayat di atas menggambarkan keadaan keadaan
manusia yang taat kalau ayat yang lalu melukiskan ucapan menyesal, ayat
di atas melukiskan sambutan Allah Swt kepada yang taat. Allah berfirman
menyeru kepada ruhnya akan meninggalkan badanya atau ketika ia bangkit
dari kuburnya: Hai jiwa yang tenang lagi merasa aman dan tenteram
karena banyak berdzikir dan mengingat Allah Swt. Kembalilah,yakni
wafat dan bangkitlah di hari kemudian, kepada tuhan pemelihara dan
pembimbing-mu dengan hati yang rela, yakni puas dengan ganjaran
ilahi , lagi diridhai oleh Allah Swt bahkan seluruh mahluk, maka maka
karena itu masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku yang taat lagi
memperoleh kehormatan dari-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku yang
telah Ku-persiapkan bagi mereka yang taat.

Sementara ulama memahami ‫ الَّنْف ُس اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬dalam arti jiwa yang

tenang, yakin akan wujud Allah Swt atau janji-Nya desertai dengan

29
keihklasan beramal. Awal dari surah ini dimulai dengan sumpah Allah Swt
untuk membuktikan keniscayaan kebangkita, akhirnya pun berbicara
tentang kebangkitan. Manusia durhaka bangkit menyesali hidupnya dan
yang taat bangkit dalam keadaan ridha dan diridhai serta dipersilahkan
masuk kedalam surga. Demikian bertemu awal surah ini dan akhirnya.
Maha Besar Allah Swt dalam segala firman-Nya.

3.3.2 Tafsir Kontemporer: Tafsir Nurul Qur’an24


‫ِئٍذ‬
Ayat (22)
‫) َو جيَء َيْو َم َجِبَه َّنَم‬23( ‫َو ج((اَء َر ُّب َك َو اْلَم َل ُك َص ًّفا َص ًّفا‬
)25( ‫َحِلي((ايت‬ ‫) َيُق وُل ي((ا َلْيَت ين َق َّد ْمُت‬24( ‫َيْو َم ِئٍذ َيَتَذ َّك ُر اِإْل ْنس(اُن َو َأىَّن َل ُه ال(ِّذ ْك ر‬

‫) َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬26( ‫َفَيْو َم ِئٍذ ال ُيَعِّذ ُب َعذاَبُه َأَح ٌد‬

Pada ayat-ayat sebelumnya dalam surah ini diuraikan tentang para


pelanggar batas yang menggemari kekayaan dunia dan menindas hak-hak
orang lain. Dalam ayat berikut para penindas diperingatkan, bahwa hari
pembalasan dengan siksa pedih tengah menantikan mereka. Karena itu,
mereka semestinya waspada. Sebelumnya juga ayat 21 berbunyi,”
janganlah (berbuat demikian)” yakni, jangan mengira, bahwa tidak ada
catatan dalam setiap perbuatan mereka yang akan yang akan
diperhitungkan pada hari perhitungan nantinya. Juga janganlah berfikir
bahwa, kekayaan dunia yang telah Allah karunikan kepada mereka
semata-mata untuk kemuliaan mereka dan bukan untuk menguji mereka.
Selanjutnya dikatakan “ketika bumi diguncangkan berturut-turut”. Istilah

dakk yang ‫َد ًّك ا‬artinya “tanah datar”, lalu digunakan dalam makna

“menghancurkan bukit-bukit dan bangunan-bangunan rata menjadi

debu”. Penggunaan dakk ‫ َد ًّك ا‬yang berulang menujukkan sebagai

penegasan bahwa sanya akan dihancurkan dengan sehancur-hancurnya.

24
Kamal Faqih Amani, Tafsir Nurul Qur’an, sebuah tafsir sederhana menuju cahaya al-
Qur’an,(Jakarta: Penerbit Al-Huda 2016), hlm 48.

30
Secara umum, pandangan ancaman di atas antara lain berbentuk
gempa bumi dan peristiwa-peristiwa menakutkan di dunia ini dan
permulaan kebangkitan. Akan ada suatu revolusi besar pada seluruh
mahkluk dimana semua gunung hancur temuk dan tanah akan diratakan
hingga menjadi halus, sebagaimana disitir dalam surha Thaha:105,”dan
mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad!) tentang (apa yang akan
terjadi) pada gunug-gunung (pada hari kiamat), maka katakanlah,
Tuhanku akan menghancurkan mereka dan menceraiberaikan mereka
laksana debu. Kemudian menjadikanya menjadi dataran; yang halus
permukaanya. Kamu tidak akan melihat padanya tempat yang
berlengkung-lengkung atau tidak rata.” Saat tahap pertama kebangkitan
berakhir, yakni kehancuran dunia maka tahap kedua akan dimulai. Seluruh
manusia akan dihidupkan kembali, dan mereka akan hadir guna
mendapatkan keputusan Tuhan; “Dan datanglah (perintah) Tuhanmu;
sedang malaikat berbaris-baris”.

Para malaikat akan hadir mengelilingi semua mahkluk yang tengah


berkumpul di padang Mahsyar untuk menjalankan perintah Allah Swt,
Sang Penguasa Segala, kepada mereka. Ini merupakan suatu garis besar
perihal keagungan Allah Swt dan kedahsyatan hari kiamat serta

ketidakmampuan manusia untuk lari dari jerat keadilan. Istilah ‫ج((اَء َر ُّبَك‬,
datanglah Tuhanmu, berarti bahwa perintah Tuhan datang untuk
mendukung pembalasan (amal perbuatan) manusia. Atau berarti, bahwa
tanda-tanda penampakan keagungan dan kebesaran Allah Swt datang.

Atau, ‫ ج ((اَء َر ُّب َك‬berarti bahwa, penampakan ilmu Allah Swt akan nyata

sedemikian rupa pada hari itu sehingga tak satupun yang dapat
mengingkarinya. Semua mahkluk akan menyaksikan (kekuasan) Allah Swt
dengan mata mereka masing-masing. Dalam hal apapun tentu saja bahwa,
kemunculan-Nya tidaklah berarti kedatangan secara material sehingga
membentuk makna bahwa Dia ber-jism (berjasad) dan karena berjasad
maka Dia membutuhkan ruang untuk bergerak. Sesungguhnya Dia jauh
dari persangkaan memiliki anggota-anggota tubuh atau bagian lainya.

31
Salah satu bukti atas tafsir ini adalah surah an-Nahl: 33 yang
berbunyi, Tidaklah orang-orang kafir menunggu sampai datang para
malaikat kepada (untuk mencabut nyawa mereka) atau datangnya
perintah Tuhan [dengan kedatangan azab dari Allah Swt untuk

memusnahkan mereka]?”. Istilah shaffan shaffa ‫َص ًّفا َص ًّفا‬, berbaris-baris,


merujuk pada pandangan bahwa para malaikat akan memasuki akhirat
dalam berbagai barisan. Atau barangkali, para malaikat yang datang dari
setiap penjuru langit akan berada dalam sebuah barisan dan mengelilingi
manusia. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka jahannam (langsung di
hadapan mereka); pada hari itu manusia akan sadar, tetapi bagaimana pun
kesadaran seperti itu sudah tidak berguna lagi dirinya. Dari ayat ini bisa
dipahami, bahwa neraka bisa bergerak dan menghampiri para pelaku
kesalahan, seperti halnya surga yang juga mendekati orang-orang yang
saleh: Dan surga akan didekatkan untuk orang-orang yang saleh. 25
Sejumlah mufassir cenderung untuk mengartikan secara metaforis
penampakan surga dan neraka di hadapan orang-orang saleh dan para
pendosa.

Dan ketika tidak ada bukti yang tersedia untuk melawan


pengertian jelasnya, maka mereka memilih lebih baik meninggalkan
pengertian tersebut pada keadaannya sendiri. Meskipun demikian, fakta
sesungguhnya akan hari kiamat itu tidak jelas bagi kita secara persis
seperti saat ini. Yang pasti, keadaan di sana sepenuhnya berbeda dengan
keadaan di dunia ini. Karena itu, sedikit sekalo perhatian yang merujuk
pada keadaan surga dan neraka di hari itu, apakah bergerak dari satu
tempat ke tempat lain atau sebaliknya.

Sebuah riwayat menyebutkan, bahwa ketika ayat ini turun paras


Rasulullah Saw memucat. Perubahan tersebut merawankan hati para
sahabat sehingga sebagian dari mereka datang kepada Imam Ali bin Abi
Thalib As dan mengatakan kepadanya tentang perisriwa itu. Imam Ali As

25
Al-Qur’an Surah asy-Syu’ara: 90

32
menemui Rasul Saw dan mencium beliau di antara kedua bahunya seraya
berkata:

”Wahai Rasulullah, semoga orangtuaku menjadi tebusanmu, apa


yang terjadi hari ini?
Rasulullah Saw menjawab,”Jibril datang dan membacakan
ayat ini (ayat tadi) kepadaku.”

Ali bertanya kepada Rasulullah Saw bagaimana neraka akan


didekatkan (dihadapkan secara langsung). Belaiau Saw
menjawab,”tujuh puluh ribu malaikat akan menarik dan
membawanya (neraka) dengan tujuh puluh ribu tali. Neraka tak
bergeser sedikit pun sehingga, sekiranya dibebaskan, neraka akan
membakar semuanya. Maka aku akan berdiri menentang neraka
(jahannam) itu, dan neraka akan mengatakan dia tidak berurusan
denganku, dan Allah Swt telah mengharamkan dagingku terbakar
(neraka). Pada hari itu, semua akan sibuk dengan urusan masing-
masing, namun Muhammad Saw akan berkata;’Wahai Tuhan,
umatku, umatku!.

Sesungguhnya, tatkala seorang pendosa melihat hal itu, ia akan


terguncang dan tersadar. Kesedihan dan duka menyelimutinya dan ia akan
menyesali perbuatan-perbuatan dosanya di masa lalu. Tapi sayang,
penyesalan seperti itu tidak bermanfaat lagi baginya. Oleh karena itu,
manusia akan berhasrat untuk kembali lagi ke dunia ini demi keinginan
mengganti perbuatan kelamnya di masa lalu. Naasnya, tidak akan ada
pintu terbuka bago mereka untuk kembali. Mereka menyesali kelalaianya
di masa silam, tapi sayang sudah terlambat. Ia ingin sekali melakukan
amal saleh untuk mengganti perbuatan buruknya, akan tetapi catatan amal
sudah digulung.

Dengan keadaan yang menimpa seperti itu, si pendosa menangis

dan berkata, ‫” َيُقوُل يا َلْيَتين َقَّد ْمُت َحِليايت‬Alangkah baiknya kiranya aku dulu
mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini”.

33
Penting untuk diperhatikan bahwa, ia tidak mengatakn “untuk kehidupan
masa depanku”, tetapi ia berlata”untuk kehidupanku ini”, seolah-olah
istilah “kehidupan” tidak digunakan kecuali untuk kehidupan pada hari itu,
dan kehidupan sementara duia ini, yang penuh penderitaan dan kepahitan,
tidak lagi dinilai sebagai kehidupan. Sebagaimana juga ditegaskan dalam
Surah al-Ankabut: 64 mengatakan, “Dan tiadalah (di) dunia ini melainkan
senda gurau dan main-main. Dan sekiranya mereka mengetahui,
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan.
Kemudian, dalam dua ayat ringkas berikutnya, dijelaskan tentang

kepedihan azab Ilahi pada hari itu: ‫”َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬karena tak seorang
pun bisa menyiksa seperti siksan-Nya pada hari itu”. Dikatakan, mengapa
tidak? Para penindas tersebu, yang mengerjakan kejahatan-kejahatan
terburuk di dunia ini, akan disiksa pada hari itu dengan jenis siksaan yang
belum pernah disaksikan dan dirasakan sebelumnya.
Demikian pula dengan orang-orang yang saleh yang akan diganjar
sampai pada satu tingkatan yang tak seorang pun bisa membayangkan
sebelumnya. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepada mereka
yang menunjukkan kasih sayang dan begitu pula sebaliknya.

Atau ‫“ َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬Dan tak seorang pun yang bisa mengikat seperti
ikatan-Nya”. Baik “ikatan”-Nya maupun “Siksa”-Nya tidak bisa
dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Mengapa Dia harus mengikat dan
mengazab? Karena mereka telah menindas hamba-hamba Allah yang tak
berdaya ketika menjalani hidup di dunia ini sebanyak yang mereka bisa,
dan penindasan itu dilakukan dengan siksaan-siksaan yang terburuk.
Karena itu, balasanya, mereka harus diikat kuat-kuat dan disiksa.

‫ا ِج عي ِإىل ِّب ِك راِض ًة ِض‬ )28( ‫ِئَّن ُة‬


Ayat (27) )29( ‫َّيًة‬
‫َي َمْر‬ ‫َر‬ ‫ْر‬ ‫ي ((ا َأَّيُتَه ا الَّنْف ُس اْلُم ْطَم‬
‫) َو اْد ُخ لي َج َّنيت‬30( ‫َفاْد ُخ لي يف ِعبادي‬

34
Bertolak berlakang dengan ayat-ayat sebelumnya perihal siksa
pedih yang dialami para penindas dan pencinta dunia ini di akhirat. Ayat-
ayat berikut bercerita tentang ketenangan orang-orang saleh pada hari
kiamat. Al-Qur’an memberi tanda kepada mereka dengan mengatakan,
“(Dikatakan kepada mereka) Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke
dalam jamaah hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Betapa menarik dan agungnya kata-kata ini! Penuh kemurahan,
kedamaian, ketentraman, dan keyakinan! Ia merupakan undangan
langsung dari Allah Tuhan seluruh mahkluk kepada jiwa-jiwa yang tenang
dengan keyakinan disebkan keimanan mereka. Allah, Yang Maha
Pengasih, mengundang mereka untuk kembali kepada-Nya, pemilik, dan
pemberi kedamaian bagi mereka. Ini adalah undangan yang digabungkan
dengan kepuasan yang dinikmati bersama, yakni kepuasan pecinta dengan
yang dicintai dan kepuasan dari kekasih yang dicintai, satu-satunya Zat
yang diibadahi.

Dengan demikian, setiap hamba yang saleh dimuliakan dengan


mahkota kehambaan dan ditempatkan pada suatu peringkat yang tinggi
oleh-Nya. kemudian, ia diundang untuk memasuki surga dengan kata-kata,

‫” َف اْد ُخ لي يف ِعب ((ادي‬Dan masuklah ke dalam surga-Ku”, yang memberi

makna bahwa tuan rumahnya adalah Allah sendiri. Istilah nafs


‫الَّنْف ُس‬, jiwa
di sini berarti ruh manusia, dan istilah mutma’innah ‫ِئَّنُة‬
‫اْلُم ْطَم‬, yang tenang
berarti kedamaian dan ketenangan yang diperoleh dengan iman,
sebagaimana kata al-Qur’an ”Dan orang-orang yang beriman dan hatinya
tenang karena mengingat Allah; sesungguhnya (hanya) dengan mengingat
Allahlah hati akan tenang.”26 Jiwa semacam itu yakin terhadap janji-janji
Allah dan percaya penuh terhadap jalan yang dipilih dan ditempuhnya. Ia
menginsafi ekses dan kesulitanya serta mengenai kekacauan dan peristiwa-

26
Al-Qur’an Surah Ar-Ra’ad: 28

35
peristiwa memilukan di dunia ini, namun ia tetap memiliki keimanan
terhadap kasih sayang Allah.

Hal terpenting di sini adalah keyakina terhadap kasih sayang Allah


itu, sehingga bahkan dalam kengerian dahsyat hari akhirat pun ia tetap
tenang dan damai. Sebagian mufassir percaya arti obyektif dari frase
“kembalilah kepadaTuhanmu” adalah “kembali kepada kebajikan dan
rahmat Tuhan”. Tetapi, lebih baik untuk mengatakan “kembali kepada
diri-Nya, Diri-Nya sendiri”, yakni ditempatkan pada maqam dekat dengan-
Nya, yang merupakan perjalanan spiritual yang mana bukan perjalanan
fisik atau ruang angkasa.

Apakah undangan kembali kepada Tuhan ini hanya terjadi di akhirat, atau
di saat terpisahnya ruh dari tubuh? Konteks ayat tersebut sudah pasti
merujuk pada akhirat, namun pengertian ayat tersebut, dengan sendirinya
amatlah luas dan berwatak umum.

36
BAB IV
Analisis

3.1 Analisis Lintas Tafsir

4.1.1 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 22


“dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbari-baris”

Setelah penulis memaparkan beberapa jenis tafsir yang ada, penulis


akan mencoba untuk mengambil sebuah benang merah dan titik temu
antara tafsir yang satu dengan yang lain. Sejauh mana para mufassir
memandang al-Qur’an serta relevansi tafsir dalam setiap zaman. Supaya
kita tidak lagi memahami kitab suci sebagai wahyu yang ”mati” seperti
yang dipahami beberapa masyarakat umumnya, melainkan sebagai sesuatu
yang ”hidup”. Al-qur’an seharusnya dipahami sebagai kitab suci yang
kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejarahan umat
manusia. Al-qur’an tidak diwahyukan dalam ruang dan waktu tertentu tapi
dia mengcakupi seluruh sekat-sekat waktu yang ada.

Pada umumnya dari beberapa komparasi tafsir yang ada, pada


surah al-Fajr ayat 22 berupaya menjelaskan bahwa kedatangan Allah Swt
pada hari tersebut, yakni hari kiamat, datangnya perintah-Nya. Jika kita
asumsikan bahwa, Allah Swt benar-benar datang pada hari tersebut, secara
tidak langsung kita akan mengatakan bahwa Allah Swt datang dari satu
tempat ke tempat yang lain yang akan mengindikasikan bahwa Allah Swt
bergerak. Asumsi tersebut akan membawa kita pada kesimpulan bahwa
Allah Swt dibatasi oleh ruang maupun waktu, serta kedatangan itu juga
membutuhkan sebuah jasad atau jism yang mana ini merupakan salah satu
sifat yang mustahil kita tempelkan pada Allah Swt. Allah Swt tidaklah
memiliki jasad serta terikat dengan ruang waktu. Kedatangan yang dibahas
dalam ayat tersebut adalah kedatangan amr “Perintah” Allah Swt, karena
ada mudof yang terhapus dalam ayat tersebut.

37
Adapun mudof yang terhapus adalah ‫ أم( ((ر‬jadi ‫وج ((اء أم( ((ر رّب ك‬,
menjelaskan kedatangan perintah Allah Swt di hari yang dahsyat tersebut
yang mana tidak ada satu pun yang bisa mengingkarinya. Berikutnya
disusul para malaikat yang membentuk shaf-shaf yang berbaris rapih
layaknya dalam shaf-shaf manusia ketika dalam sholat jama’ah.
Sebagaimana juga yang terdapat dalam riwayat bahwa ketika ayat ini turun
paras Rasulullah Saw memucat. Perubahan tersebut merawankan hati para
sahabat sehingga sebagian dari mereka datang kepada Imam Ali bin Abi
Thalib As dan mengatakan kepadanya tentang perisriwa itu. Imam Ali As
menemui Rasul Saw dan mencium beliau di antara kedua bahunya seraya
berkata:

”Wahai Rasulullah, semoga orangtuaku menjadi tebusanmu, apa


yang terjadi hari ini?
Rasulullah Saw menjawab,”Jibril datang dan membacakan
ayat ini (ayat tadi) kepadaku.”

Ali bertanya kepada Rasulullah Saw bagaimana neraka akan


didekatkan (dihadapkan secara langsung). Belaiau Saw
menjawab,”tujuh puluh ribu malaikat akan menarik dan
membawanya (neraka) dengan tujuh puluh ribu tali. Neraka tak
bergeser sedikit pun sehingga, sekiranya dibebaskan, neraka akan
membakar semuanya. Maka aku akan berdiri menentang neraka
(jahannam) itu, dan neraka akan mengatakan dia tidak berurusan
denganku, dan Allah Swt telah mengharamkan dagingku terbakar
(neraka). Pada hari itu, semua akan sibuk dengan urusan masing-
masing, namun Muhammad Saw akan berkata;’Wahai Tuhan,
umatku, umatku!27

Pada intinya, ayat ini juga berupaya untuk mengingatkan kepada segenap
manusia sekaligus menegaskan dan menetapkan bahwasanya, hari kiamat
atau hari pembelasan itu akan benar-benar terjadi. Hari dimana tidak ada
27
Allamah Kamal Faqih Imanih, Tafsir Nurul Qur-an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Al-Huda 2006), hlm 51.

38
keraguan tentang dasar terjadinya hari itu dan tidak ada keraguan juga
tentang apa yang akan terjadi pada hari yang sangat agung itu. Maka, tidak
ada kesangsian tentang keberadaannya, apakah ia ada atau tidak. Tidak ada
pada hari itu sedikit pun keraguan. Keraguan tidak akan tersisa pada
seseorang di hari itu, maka segala sesuatu akan nampak jelas.

Dikarenakan juga banyaknya manusia yang masih menanyakan


bahwasanya apakah kiamat itu benar ada, Sebagaimana difirmankan oleh
Allah:

‫َيْس َأُلَك الَّناُس َعِن الَّس اَعِةۖ ُقْل ِإَمَّنا ِعْلُم َه ا ِعْنَد الَّلِهۚ َو َم ا ُيْد ِر يَك َلَعَّل الَّس اَعَة َتُك وُن َقِر يًبا‬

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari kebangkitan. Katakanlah,


‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi
Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit
itu sudah dekat waktunya.” 28

Sekaligus penegasan kepada orang-orang kafir yang mana mereka


mengatakan bahwa Allah Ta’ala tak mungkin dapat menghidupkannya dan
mengembalikannya seperti sedia kala setelah kondisinya hancur luluh
seperti itu. Sebagaimana firman-Nya:

‫َو َقاُلوا َأِإَذا ُك َّنا ِعَظاًم ا َو ُر َفاًتا َأِإَّنا َلَم ْبُعوُثوَن َخ ْلًق ا َج ِد يًد ا‬

“Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang


hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai
makhluk baru?” [al Isra`/17: 98].

‫ِح‬ ‫ِد‬ ‫ِإ‬ ‫ِع‬ ‫ِإ‬


‫﴾ُقْل ُك وُنوا َج اَر ًة َأْو‬٤٩﴿‫َو َقاُلوا َأ َذا ُك َّنا َظاًم ا َو ُر َفاًتا َأ َّنا َلَم ْبُعوُثوَن َخ ْلًق ا َج يًد ا‬
‫ِذ‬ ‫ِع‬ ‫ِد‬
‫﴾ َأْو َخ ْلًق ا َّمِما َيْك ُبُر يِف ُصُد وِر ُك ْم ۚ َفَس َيُقوُلوَن َمْن ُي يُدَناۖ ُقِل اَّل ي َفَطَر ُك ْم‬٥٠﴿‫َح يًد ا‬

28
Al-Qur’an Surah Al-Ahzaab: 63

39
﴿‫َأَّو َل َم َّر ٍةۚ َفَس ُيْنِغُضوَن ِإَلْيَك ُرُءوَسُه ْم َو َيُقوُلوَن َم ٰىَت ُه َو ۖ ُقْل َعَس ٰى َأْن َيُك وَن َقِر يًبا‬

‫﴾َيْو َم َيْد ُعوُك ْم َفَتْس َتِج يُبوَن َحِبْم ِدِه َو َتُظُّنوَن ِإْن َلِبْثُتْم ِإاَّل َقِلياًل‬٥١

Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang


dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan
dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?” Katakanlah:
“Jadilah kamu sekalian batu atau besi, atau suatu makhluk dari makhluk
yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu”. Maka mereka akan
bertanya: “Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?” Katakanlah:
“Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama”. Lalu mereka
akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata:
“Kapan itu (akan terjadi)?” Katakanlah: “Mudah-mudahan waktu
berbangkit itu dekat”,yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu
mematuhiNya sambil memujiNya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak
berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja”.[al Isra`/17:49-52]

Kembalinya Sesuatu yang telah Tiada Salah satu persoalan yang


mengemuka dalam pembahasan ma’ad. Bahwa, pada waktu manusia
meninggal dunia, maka ruhnya akan pergi dari badannya dan jasadnya
akan hancur. Jika ma'ad benar-benar terjadi, Allah harus menciptakan
kembali makhluk-makhluk-Nya yang telah binasa dan dari sisi bahwa
I'adeh ma'dum menurut perspektif Filosof adalah mustahil, maka ma'ad
juga mustahil. Namun Allah Swt dalam al-Quran dalam menjawab kritikan
yang disampaikan manusia bahwa setelah kematian, manusia akan hancur
dan tiada, menjelaskan bahwa para malaikat akan mencabut ruh manusia
dan akan membawa kembali ke sisi Tuhan. Oleh karena itu, ma'ad
bukanlah I'adeh ma'dum (kembalinya sesuatu yang telah tiada) namun
kembalinya ruh ke sisi Tuhan.

4.1.2 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 23


“dan pada hari itu diperlihatkan neraka jahannam; pada hari itu
sadarlah manusia, tetapi tidak lagi berguna baginya kesadaran itu.”

40
Semua mafassir dari klasik, modern maupun kontemprer
menegaskan bahwa pada hari yang sangat dahsyat tersebut, neraka
jahananam didatangkan. Neraka akan benar-benar dinampakkan
dihadapan manusia “Dan neraka diperlihatkan dengan jelas kepada setiap

orang yang melihat” [ surah an-naziat: 36]. Kehadiran neraka jahannam


pada hari tersebut tidak lain adalah memberikan balasan kepada orang-
orang yang selama hidupnya telah melakukan perbuatan dosa, maksiat,
memakan harta anak yatim, berbuat kerusakan di bumi, menindas kaum
lemah. Ayat tersebut sekaligus mengecam bagi segenap manusia bahwa,
jangan kira dengan melakukan sikap ketamakan terhadap dunia,
melakukan kerusakan selama di bumi akan membuat kalian bahagia.
Sebenarnya al-Qur’an memberi perhatian yang begitu besar kepada
manusia bahwa janganlah kalian berbuat demikan, karena hal tersebut
akan mencelakakan diri kalian sendiri.

Selama manusia hidup, dia akan mengarungi lautan kehidupan


yang berliku-liku. Tindak tanduk selama hidupnya akan menjadi saksi di
hari yang dinanti kelak. Sudah menjadi konsekuensi logis bahwasanya apa
yang kita lakukan pada hari ini akan menjelma dihari kemudian, “Dan
mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan

Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun” [al-Kahfi: 49] :

Secara zahir ayat di atas menjelaskan pembahasan baru dan bukan


penafsiran terhadap ayat “wala yughadiru shagiratan wala kabiratan” oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang didapati manusia adalah
amal perbuatannya yang setiap dari amal tersebut akan berwujud sesuai
dengan apa yang telah ia kerjakan.29 Adapun jika selama hidupnya
manusia melakukan amal kebajikan maka balasanya adalah kebajikan pula
sebagaimana rincian penjelasn di atas. Namun jika selama hidupnya hanya
melakukan kebatilan maka kebatilan pulalah balasanya, yakni di
hadiahkan baginya neraka jahannam sebagai balasan. Sementara disisi

29
Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir al Mizan, (Qom: Ismiliyan, Dar Al-Kutub Al-
Iskamiyah, 1981 H), jil 20, hal 452.

41
lain, orang yang melakukan kebajikan selama hidupnya mendapatkan pula
hadiah dari sisi Tuhannya, yakni balasan surga yang tidak ada
kesengsaraan maupun siksa kecuali kenikmatan yang kekal nan abadi.

Berikutnya, setelah kedatangan neraka jahannam barulah orang-


orang yang selama hidupnya menduskatan pembawa peringatan dengan
apa yang dibawanya, matanya terbuka tercengang-cengang. Sebagaimana
Abu Ali Fadhl dalam tafsir Majma al-Bayan mengatakan bahwa,

kedatangan hari Jahannam yang membuat orang kafir


‫َيَت َذ َّك ُر‬ mulai sadar

dan hendak bertaubat. Disini kita dapat mengatakan apakah selama


hidupnya orang-orang tersebut tidak memiliki mata untuk melihat atau
berfikir ? tidak demikian. Mereka adalah orang yang selama hidupnya
telah diberikan nikmat karunia penglihatan, namun tidak digunakan untuk
melihat kebenaran. Mereka yang selama hidupnya diberikan nikmat
pendengaran, akan tetapi tidak digunakan untuk mendengarkan nasehat
dan lebih memilih mendengar ucapan setan yang berwujud manusia.
Mereka yang selama hidupnya diberi nikmat untuk berbicara, namun tidak
digunakan untuk menyampaikan tutur kata yang bajik, namun lontaran
fitnah maupun caci makian tiada henti.

Lalu kenapa mereka baru tersadarkan dihari kiamat itu ? karena,


saat mereka menyaksikan langsung adzab neraka dengan mata kepala
mereka sendiri. Pada saat itu juga, mereka meyakini sepenuhnya bahwa,
pembawa peringatan dan apa yang dibawanya ialah bukanlah dusta. Pada
hari itu juga, mereka yang mendustakan kalam Tuhan mengingat-ingat
tentang apa yang telah mereka lakukan selama hidupnya. sebagaimana

dalam surah al-Furqan: 27 ” Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-


orang zalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya
berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul”.

4.1.3 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 24


“Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku
mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini”.

42
Dalam ayat ini, Fakhruddin Ar-Razi mengatakan dalam ayat
tersebut terkandung andai-andaian manusia mengerjakan amalan yang baik

selama hidupnya dan ‫ َق َّد ْمُت َحِلي ((ايت‬bermakna bukan hanya kehidupan di

dunia saja, bahkan seakan-akan kehidupan yang dimaksud dalam ayat


tersebut adalah untuk kehidupannya di akhirat kelak. Kemudian
dilanjutkan juga oleh Abu Ali Fadhl bin Hasan al-Thabarsi dengan
mengatakan: Orang kafir yang telah mendapat siksa dan tidak melakukan
amal kebajikan selama hidupnya berangan-angan bahwa mereka telah
benar-benar melakukan amal sholeh, ketaatan hanya kepada Allah Swt di
dunia. Serta demi persiapan bekalnya setelah kematian, yang mana tidak
ada lagi kehidupan setelahnya. Di sini, dapat kita asumsikan bahwa, ada
apa sebenarnya di hari tersebut?

Kenapa tiba-tiba beberapa golongan manusia mengatakan


“Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk
hidupku ini” ?. Ini tidak lain adalah, manusia yang tidak membawa bekal
apapun, tidak memiliki persiapan apapun akan dimintai pertanggung
jawaban. Kenapa dimintai pertanggung jawaban ? karena Allah tidaklah
meninggalkan manusia di bumi ini dalam keadaan tidak memimiliki apa-
apa. Allah telah memberikan kita pembawa peringatan beserta ayat-
ayatnya, menganugrahi kita akal maupun fitrah dalam mentadabburi alam
ini. Jadi golongan manusia yang selama hidupnya tidak mempersiapkan
bekal demi kehidupannya kelak yakni akhirat, Akan mendapatkan
balasanya. karena suram maupun indahnya kehidupan dalam akhirat
nantinya adalah representasi amal selama hidup di dunia. Sudah menjadi
sebuah konsekuensi logis bahwasanya, apa yang kita petik hari ini adalah
sebuah hasil dari apa yang kita tanam di hari kemarin.

Tindak tanduk manusia dalam keseharinya merupakan sebuah


proses menanam yang begitu penuh liku. Badai dan petir yang
menghantam, cuaca ektrim yang siap menerjang serta angin yang siap
melahap dan meratan apa yang dia lewati. Begitulah kehidupan kita.
Dengan modal ayat-ayat Tuhan, pembawa peringatan, nikmat dan rahmat

43
yang berupa akal dan fitrah adalah sebuah bibit yang jika ditanam dan
dirawat dengan baik akan menumbuhkan pohon yang subur dan berbuah.
Namun, jika modal tersebut kita abaikan, dirusak bahkan dibuang maka
akan melahirkan pohon yang tandus, rusak, dan tidak berbuah sama sekali.
Adapun pohon yang subur sang penanam menikmati hasilnya namun,
pohon yang rusak, hancur dan tidak berbuah sama sekali sang pemiliknya
tidak menikmati apapun bahkan hanya mendapatkan kerugian.

Begitulah kehidupan kita diakhirat kelak, tergantung kita mau


menanam pohon dengan baik berdasarkan modal yang telah diberikan
Allah kepada kita atau mendustakan modal tersebut. Jangan sampai kita
termasuk orang-orang merugi atau orang-orang yang berandai-andai
sebagaimana ayat tadi.

4.1.4 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 25 dan 26.


“Maka pada hari itu, tidak ada seorang pun yang meazab selain
azab-Nya(yang adil)” kemudian ”dan tidak ada seorang pun yang
mengikat seperti ikata-Nya”

Para mufassirin pada umumnya mengatakan pada ayat ini

bahwasanya Tuhan berkata kepada mereka ‫ َفَيْو َم ِئٍذ ال ُيَعِّذ ُب َعذاَبُه َأَح ٌد‬yakni,
tidak ada lagi yang mengazab “menyiksa” pada hari itu dari mahluknya

selain dari pada azab Tuhan semata dan ‫َو ال ُيوِثُق َو ثاَقُه َأَح ٌد‬ tidak ada pula

yang dapat mengikat terhadap mahluknya selain dari pada ikatanya. Dalam
artian, tidak ada lagi yang mumpuni maupun memiliki kapasitas serta daya
‫ِث‬
untuk mengazab, menindas " ‫ " ُيَع ِّذ ُب‬maupun mengikat " ‫ " ُيو ُق‬terhadap
mahluk-Nya sebagaimana di dunia melainkan azab maupun ikatan “siksa”
Allah terhadap orang kafir pada hari pembalasan tersebut.

Dalam ayat ini menegaskan kepada segenap manusia bahwasanya


semua otoritas maupun kendali pada hari tersebut diambil alih oleh Allah
Swt, tidak akan ada campur tangan manusia pada hari tersebut
sebagaimana di dunia. Ayat ini memberikan gambaran bahwa manusia

44
yang telah menjadi congkak terhadap dunia, mereka menindas, mengikat
”menyiksa” orang-orang lemah selama hidupnya. Maka sungguh siksa
Allah Swt pada hari itu lebih pedih, tidak ada bandinganya dan di atas dari
pada apa-apa yang telah dilakukan oleh mahluknya terhadap orang-orang
yang lemah serta. Sebagaimana juga ayat ini memberi tamparan keras
terhadap kaum-kaum arogan seperti, golongan fir’aun, ad’dan Tsamud
yang mana mereka menentang Nabi Hud as untuk mendatangkan azab (QS
al-A‘raf [7]: 70). Kaum Tsamud pun bersikap demikian. Mereka
menantang Nabi Shalih as. untuk mendatangkan azab (QS al-A‘raf [7]: 77)
seolah-olah dengan kekuatan mereka, mereka mampu menghadapi azab
Allah.

Fir‘aun pun tak kalah sombongnya. Ia bahkan mengaku sebagai


Tuhan yang paling tinggi (QS an-Nazi‘at [79]: 24) dan kaum ‘Ad dengan
sombong berkata, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada
kami?” (QS Fushilat [41]: 15. Ayat tersebut bukan hanya berlaku pada
masa itu saja, akan tetapi kita memahami bahwa al-Qur’an ini adalah
sebuah kalam ilahi yang mampu menembus sekat-sekat lintas waktu
maupun zaman. Dalam artian ayat tersebut merupakan teguran juga bagi
para kaum arogan maupun pemimpin arogan pada masa kontemporer
seperti saat ini. Dengan mengandalkan kekuasaan, mereka melakukan
kerusakan di bumi, merampas hak-hak manusia dan sebagainya. Mungkin
kita dapat katakan kenapa siksa Allah Swt di akhirat kelak begitu kejam?
Padahal mungkin kita tidak melakukan hal yang seberapa di dunia ini. Di
sini, ada sebuah perumpamaan yang sangat menarik yang di tulis oleh M.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah yang mana berkaitan juga dengan
ayat yang kita bahas saat ini, sebagai berikut:

Dalam kehidupan ini, bila kita menanam satu butir dari


sebuah tomat, kita akan memanen tomat yang tak sebanding
dengan apa yang kita tanam. Jika seseorang meminum segelas air
bersih, ia akan merasa segar dan kehilangan dahaga , tetapi
mengapa jika ia meminum setetes racun, ia akan mati. Adilkah itu?

45
Bukankah itu hanya setetes? Pertanyaan ini tidak pada tempatnya.
Yang bertanya lupa bahwa itu adalah hasil dari tindakannya.

Pohon tomat yang menghasilkan ratusan tomat atau bahkan


ribuan padahal yang ditanam hanya bagian yang sangat kecil dari
sebuah tomat merupakan hal yang wajar, karena itulah ketentuan
hukum Allah bagi tomat. Kematian yang meminum racun–walau
hanya setetes–begitu juga. Demikian pula dengan kedurhakaan
yang dilakukan seseorang. Itu adalah buah yang ditanamnya dalam
kehidupan dunia yang akan mereka petik hasilnya di hari kemudian
nanti.

4.1.5 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 27


“Wahai jiwa-jiwa yang tenang (yang telah mencapai
kemantapan)”

Ayat yang lalu menguraikan penyesalan manusia durhaka dan


aneka ragam penyesalanya, namun berbeda 190 derajat dengan ayat yang
satu ini. Ayat ini lebih memberikan sebuah lukisan yang begitu akan
rahmat dan nikmat-Nya. Kebanyakan dari mufassirin mengatakan
bahwasanya, maqam al-Mutmainnah ini adalah sebuah kondisi maupun
kedudukan yang sangat dispesialkan. Mengapa tidak, ini adalah seruan
yang hanya terlontarkan dan diperuntukkan oleh segenap manusia yang
memiliki kapasitas al-Mutmainnah. al-Mutmainnah ini juga adalah jiwa
yang telah mendapatkan kemantapan maupun ketenangan. Pada dasarnya
jiwa manusia idealnya menginginkan ketenangan sebagaimana gambaran
dalam surah al-Falaq dan an-Nas. Bahkan, Rasulullah Saw menyebutkan
bahwasanya ketenangan, ketentraman, kegembiraan, dan keceriaan
merupakan ciri penghuni surga.30

Disisi lain, al-Mutmainnah ini memiliki begitu banyak


keistimewaan diantaranya: Saking dahsyatnya kedudukan mereka (al-
Mutmainnah ) tetap tenang dengan kondisi kiamat yang begitu dahsyat nan

30
Ishaq Husaini Kuhsari, al-Qur’an dan Tekanan Jiwa, (Jakarta: Sadra Press 2011) hlm
14.

46
menakutkan. Serta sekaligus mendapatkan salam hangat secara langsung
dari sang Ilahi Tuhan Pencipta alam semesta. Itulah yang dinanti-nanti
seluruh anak cucu adam. Lantas, kenapa hanya Ketenangan atau al-
Mutmainnah yang mendapatkan seruan pada hari tersebut?. Semua itu
tidak lain adalah mereka yang telah mencapai sebuah kapasitas
penghambahaan yang sanggup untuk menerima cahaya kebenaran ilahi
dalam kehidupanya. Selain itu, al-Mutmainnah juga adalah jiwa-jiwa yang
telah mampu menolak maupun menikmati kemewahan dunia, nafsu-nafsu
yang senantiasa siap melemparkanya keluar dari garis keimanan.

Dengan demikian, yang tidak memiliki daya jiwa al-Mutmainnah


maka tidak akan masuk dalam golongan ini. Mereka adalah jiwa-jiwa yang
tidak tenang, selama hidupnya tidak memiliki sebuah sandaran. Ketika
susah, sedih, ditimpah musibah, entah kemana mereka akan
menyandarkanya. Menurut Al-Qur’an, salah satu pemicu tekanan jiwa
adalah tidak adanya sandaran dan tumpuan spiritual. Karena, saat
seseorang melupakan Tuhannya, kehidupan ini seketika menjadi sulit
baginya, sebagaimana firman-Nya:

“Dan barangsiapa enggan mengingat-Ku, maka ia akan


mendapatkan kehidupan yang susah” (QS. Thaha: 124)

Seseorang yang tidak memiliki sandaran jiwa, tidak akan memiliki


perasaan cukup ( qanâ’ah) yang merupakan makanan ruhnya. Selain pula
tidak akan memperoleh kekuatan ruhani yang dapat menjaganya dari
serbuan hawa nafsu dan syahwatnya. Ia juga tidak akan menemukan
harapan yang dapat mengarahkannya ke masa depan yang lebih baik.
Melupakan Tuhan sama saja dengan membatasi harapan-harapannya pada
kehidupan dunia ini saja. Padahal dunia berikut segala isinya yang bersifat
material tidak akan pernah mampu memuaskan dahaga yang dirasakan
jiwa. Orang seperti ini selamanya terkungkung dalam kemiskinan spiritual
dan hatinya selalu diliputi keinginan yang mustahil diwujudkan. Mereka
selalu terbuai angan-angan yang mustahil tercapai serta kecemasan ihwal
pudarnya pelbagai kesenangan yang dimiliki selama ini.

47
Masyarakat tanpa iman terdiri dari orang-orang yang saling curiga
satu sama lain.31 Masing-masing mereka tidak saling percaya dan segala
urusan hanya berpusat pada keuntungan pribadi. Al-Qur’an
mengungkapkan orang-orang yang tidak memiliki sandaran iman dalam
hatinya:

“Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka,


lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka
tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di
belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga
mereka tidak dapat melihat” (QS. Yasin: 8-9).

Kalangan yang menjadikan kebiasaan jahiliahnya sebagai aturan


hidup tak ubahnya segerombolan tawanan yang dirantai dan lehernya
tergantung dengan kepala mendongak ke atas sehingga tidak dapat melihat
ke samping dan sekelilingnya. Lebih dari itu, di depan dan belakang
mereka berdiri dinding-dinding yang tinggi. Tidak hanya terperangkap
dalam kesusahan semata, mata mereka bahkan tidak dapat melihat
kubangan-kubangan di sepanjang jalan yang dilaluinya.32

4.1.6 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 28


“kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan
diridhai-Nya”

Sungguh agung nan indah seruan ini, sebuah seruan dari sang ilahi
yang membuat para perindu-perindu Tuhan, para pesuluk dan hambah-
hambah akan mencapai puncak ekstase kerinduanya. Setelah mendapatkan
maqam al-Mutmainnah, mereka juga dalam posisi maqam ar-Radhiyah
yang ridha terhadap Tuhannya. Setelah dia menjadi jiwa-jiwa yang ridha
terhadap Tuhannya, maka ia pun mendapatkan maqam al-Mardiyyah
sebagai jiwa-jiwa yang juga diridhai oleh Tuhannya. Dalam hal ini,
sebagaimana Fakhruddin Ar-Razi mengatakan dalam tafsir al-Kabir

31
Ishaq Husaini Kuhsari, al-Qur’an dan Tekanan Jiwa, (Jakarta: Sadra Press 2011) hlm
124.
32
N.M. Syiraz dalam buku Al-Qur’an dan Tekanan Jiwa, (Jakarta: Sadra Press 2011), hlm
125.

48
bahwa, ayat tersebut tidak digunakan kepada manusia kecuali sudah dalam
keadaan sempurna dalam kekuatan, potensi dalam tingkat ma’rifatullah.
Karena, apakah layak seorang hamba kembali kepada Tuhanya sementara
dia tidak dalam keadaan memiliki kapasitas sempurna. Sempurna dalam

artian dia adalah orang-orang yang telah memiliki kemantapan jiwa

‫ اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬ataupun jiwa yang tenang karna itulah syarat untuk diridhai Sang
Tuhan ‫راِض َيًة َمْر ِض َّيًة‬.

Bahkan Allamah Thabathaba’i dalam tafsirnya tafsir al-Mizan


menegaskan bahwa, Ini seruan kepada seluruh kelompok pada hari itu,
yakni hari kiamat dari sisi tuhan. Ketika dihidupkanya jiwa-jiwa tersebut
dan dimasukkan ke dalam kekalnya alam surgawi. Tapi ayat ini tetap

menegaskan ini hanya berlaku bagi ‫اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬. Karena dengan kapasitas

‫ اْلُم ْطَم ِئَّن ُة‬melazimkan jiwa tersebut ridha dengan apa-apa yang telah di

tetapkan kepadanya, baik itu seputar hukum tasri’i maupun hukum takwini
atau penciptaan. Dengan kondisi ridha tersebut, maka seorang hamba tidak
akan mendapatkan hukuman maupun murka dari Tuhannya. Dengan kata
lain, dengan menempuh perjalanan ubudiyah “penghambaan” menjadi
jawaban bagi seorang hamba dalam mendapatkan posisi ridha dari

Tuhannya. Sebagaimana firman Allah: ‫ اْر ِج عي ِإىل َر ِّب ِك راِض َيًة‬maka akan
mendapatkan balasan dengan maqam ‫َمْر ِض َّيًة‬. Dalam hal ini dapat kita
katakan bahwa semua maqam tersebut merupakan sebuah relasi timbal
balik dalam pusaran hamba dan Sang Penciptanya. Peleburan seorang
hamba dalam tingkatan yang bukan lagi karena posisinya sebagai hamba
dalam menjalankan syariat semata, tapi sebagai sebuah cinta. Dengan
relasi timbal balik antara hamba (al-haabbu) dan Sang Pencipta (al-
mahbubu) lahirlah kecintaan (al-hubbu). Dengan jalan kecintaan inilah
sang hamba akan mampu mencapai maqamnya melalui bantuan yang

49
dicintainya (al-mahbubu). Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Imran:
31:
“Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”

Dengan Mengikuti wahyu Ilahi adalah sebuah perjalanan yang


dapat mengantarkan cinta kepada-Nya juga. Jika jalan ini dilalui, maka
pecinta akan sampai di rumah Sang Kekasih dan saat itu Sang Kekasih pun
akan mencintainya. Dan dalam bentuk ini—bentuk cinta timbal-balik—
yang itu sebagai tanda sampainya sang pecinta ke (hadirat) Sang
Kekasih.33 ini juga tidak lain adalah dikarenakan kecintaan seorang hamba
kepada para pembawa peringatan dengan apa yang dibawanya. Tidak
mungkin kita mencintai Sang Pencipta (al-mahbubu) jika tidak mencintai
utusan-Nya juga. Inilah sebuah perjalan eksklusif nan indah bagi seorang
hamba. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah mengatakan:

Allah berfirman menyeru kepada ruhnya akan meninggalkan


badanya atau ketika ia bangkit dari kuburnya: Hai jiwa yang tenang lagi
merasa aman dan tenteram karena banyak berdzikir dan mengingat Allah
Swt. Kembalilah,yakni wafat dan bangkitlah di hari kemudian, kepada
tuhan pemelihara dan pembimbing-mu dengan hati yang rela, yakni puas
dengan ganjaran ilahi , lagi diridhai oleh Allah Swt bahkan seluruh
mahluk.

4.1.7 Analisis Surah Al-Fajr Ayat 29 dan 30


“Masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku”.”dan masuklah
kedalam surga-Ku”

Setelah mendapatkan seruan hangat dan undangan eksklusif dari


Sang Tuhan Pencipta alam semesta, jiwa-jiwa al-Mutmainnah memasuki
maqam-nya yakni maqam sebagai orang-orang yang telah bergabung
dengan Tuhannya. Tentunya posisi ini tak kalah mulianya, dimana
33
Jawadi Amuli, Makna Hari Kiamat Dalam al-Qur’an, (jakarta: Sadra Press 2012), hlm
39.

50
pertemuan dengan Sang Maha Suci. Apakah kita layak untuk bertemu
dengan Yang Maha Suci sedangkan jiwa ini masih belum memiliki
kapasitas al-mutmainnah, tentunya tidak. Untuk bertemu dengan Sang
Maha Suci tentunya harus memiliki jiwa-jiwa yang suci pula sebagaimana
golongan jiwa al-Mutmainnah. Dalam hal ini, Fakhruddin Ar-Razi dalam
tafsirnya al-Kabir yang sehubungan dengan ayat ini mengatakan bahwa,
kondisi ini adalah kondisi yang sangat mulia, semua arwah-arwah yang
mulia dan suci menjadi layaknya cermin yang di poles sehingga
mengkilap. Inilah Pertemuan dengan Allah adalah disaat menyaksikan
agungnya kekuasaan-Nya serta Melihat balasan pahala ataupun siksa-Nya.

Setelah berkumpulnya golongan yang termasuk hamba-hamba


Allah Swt, jiwa-jiwa al-Mutmainnah ini kembali mendapatkan nikmat
yang begitu luar biasa dan tak ada bandinyanya. Mereka mendapatkan
undangan untuk memasuki surga-Nya, tentunya tak ada satu pun yang
memiliki daya untuk memasukinya tanpa seizin-Nya. Namun, yang
menjadi dari substansi dari surga tersebut tidak lain adalah undangan
masuk kedalam surga yang mana memberi makna bahwa, Sang Pemberi
undangan adalah Allah Swt dan sekaligus tuan rumahnya adalah Allah Swt
sendiri. Betapa menarik dan agungnya kata-kata yang penuh dengan
kemurahan, kedamaian, ketentraman, dan keyakinan. Dalam hal ini

Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa ayat ‫ اْد ُخ لي َج َّن يت‬ini adalah

sebuah penetapan untuk hamba Allah Swt mendiami surga tersebut


sebagai hadiah baginya sekaligus sebagai pemenang. Dalam ayat tadi

terdapat domir tambahan pada kata ‫ َج َّن يت‬yakni, domir mutakallim “ ‫”ي‬.

Domir ini merupakan domir yang sangat mulia dan sangat khusus. Karena,
dalam firman Allah Swt tidak didapatkan suatu ayat dalam al-Qur’an yang

menambahkan domir mutakalim yakni “ ‫ ”ي‬pada kata surga kecuali pada

ayat ini. Sungguh indah, Allah Yang Maha Pengasih, mengundang


mereka untuk kembali kepada-Nya, pemilik, dan pemberi kedamaian bagi
mereka. Ini adalah undangan yang digabungkan dengan kepuasan yang

51
dinikmati bersama, yakni kepuasan pecinta dengan yang dicintai dan
kepuasan dari kekasih yang dicintai, satu-satunya Zat yang diibadah.34

34
Allamah Kamal Faqih Imanih, Tafsir Nurul Qur-an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Al-Huda 2006), hlm 55.

52
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Eksisten al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, dia
mampu malampaui sekat-sekat waktu maupun zaman. Tanpa manusia
berpegang teguh dengannya beserta yang membawanya yakni Baginda
Rasulullah Saw, niscaya manusia akan hidup dalam kegelapan tanpa cahaya.
Al-Qur’an sekaligus hadir menjawab segala problematika mendasar yang
dihadapi umat manusia di setiap ruang dan waktu dapat terjawab. Tak hanya
itu saja, sekaligus menyediakan pemahaman yang benar ihwal esensi manusia
dan kehidupan sosialnya. dengan itu para mufassirin memiliki peran yang
sangat urgen dalam menafsirkan al-Qur’an, dengan itu al-Qur’an dapat
menjadi hidup dan mewarnai setiap kehidupan anak cucu adam. Dengan
adanya kajian tafsir lintas mazhab maupun komprasi dapat membuat khazanah
al-Qur’an ini juga lebih hidup.

Berkenaan dengan hal tersebut, masalah kehidupan adalah hal yang tak
bisa kita pisahkan dari al-Qur’an. Khusunya dalam surah al-Fajr memberi kita
berjuta-juta pelajaran mengenai perjalan kehidupan menuju perjalan kematian
sebagai laporan pertanggungjawaban atas tindak tanduk selama hidup.
Sejatinya persiapan dalam kehidupan adalah persiapan menuju kematian,
namun hal itu tidaklah mudah. Berbagai godaan yang siap menghempaskan
kita keluar dari jalur keimanan. Dengan tetap menyandarkan jiwa ini pada al-
Qur’an akan mengantarkan ke maqam al-utmainnah sebagai tujuan utama.
Ekstase dalam pusaran pertemuan antara pecinta dan yang dicinta, antara
hamba dengan yang disembah.

B. SARAN
Adapun saran yang dapat peneliti berikan berkaitan dengan makalah ini,
yaitu;

53
1. Bagi peneliti berikutnya disarankan untuk melakukan elaborasi yang
lebih kaya lagi berkaitan dengan wacana tafsir tartibi berkenaan
dengan surah al-Fajr ini yang mana masih penuh dengan kekurangan.
2. Peneliti berikutnya juga bisa lebih melakukan sebuah penelitian yang
lebih pelik lagi khsusnya yang berkaitan dengan hari kiamat yang
mana menjadi titik fokus dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-Razi, Fakhruddin. At-tafsir Al-kabir. Lebanon: Dar Al-Kutub Al-


Ilmiyah, 1433 H.
Husain Thabathaba’i, Muhammad. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an.
Qom: Ismiliyan, Dar Al-Kutub Al-Iskamiyah, 1981 H.

Makarim Syirazi, Nashir. Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah al-Munzal.


Qum: 1429 H.

Huwaizi, Syaikh Abdul Ali bin Jum’ah ‘Arusi . Tafsir Nur Ats-
tsaqolaini. Lebanon: Muassasah at-Tarekh al-Arabi, 1422 H.

Fadhl, Abu Ali. Majma al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Tehran: Dar Al-
Taqrib baina al-Mazhabani, 1153 H.

Googleweblight.com/i?u=https://onolistrik.wordpress.com/2011/08/04/
tafsir-al-misbah-surah-al-fajr/&hl=id-ID

Al-Muzhafffar, Muhammad Ridha, Ilmu Mantiq, Qum: Instisyarat


Ismailiyan , 1379 H.

Subhani , Muhakkik Ja’far, al-Manahij at-Tafsir Fi Ulum al-Qur’an,


Qum: Muassisah al-Imam ash-Shadiq, 1432 H.

54
Syirozi, Syekh Nasir Makarin, Tafsir Al-Amtsal Tafsir Kontemporer,
Aktual dan Populer, Jakarta Selatan: Sadra Press 2015.

https://darasagama.com/definisi-tafsir-2/

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2014/01/tafsir-
kontemporer-dan-penjelasannya.html#ixzz5AIRHSMhp

Misrawi, Zuhairi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Tafsir Tematik Islam


Rahmatan Lil ‘Alamin, jakarta: Pustaka Oasis 2010.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian


al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati 2012.

Kuhsari, Ishaq Husaini, al-Qur’an dan Tekanan Jiwa, Jakarta: Sadra


Press 2011.

Amuli, Jawadi, Makna Hari Kiamat Dalam al-Qur’an, Jakarta: Sadra


Press 2012.

55

Anda mungkin juga menyukai