Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Analisis dan Mendeskriprikan Pembelajaran Berbicara Di Kelas Tinggi


Disusun Untuk Melengkapi Tugas Pemebelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas
Tinggi.
Dosen Pengampu : Amin Basri,S.Pd,.M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Nurani Atika Putri Lubis (2002090102)
Vani fadilasari (2002090121)
Syahputri (2002090127)
Fathini Shofura Hasibuan (2002090129)

Kelas
PGSD V C PAGI

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2022

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT.Karena dengan berkah,
rahmat, karunia serta hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan Makalah. Dan juga tidak lupa
kami berterima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Kelas Tinggi.Kami sangat berharap tugas makalah ini dapat berguna.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk pemenuhan salah satu tugas mata kuliah
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Untuk itu kami selaku penulis
sangat berterima kasih kepada Bapak Amin Basri, S. Pd., M.Pd. Selaku dosen mata kuliah
yang telah memberikan bimbingan dan arahannya serta semua pihak yang telah membantu
penyusunan Maklah sehingga selesai tepat pada waktunya.

Untuk itu kami penulis sangat berharap tugas makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang penulis harapkan.
Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga
tugas sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya laporan yang
telah disusun ini dapat berguna bagi penulis maupun bagi orang yang membacanya.
Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Medan, 27 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan ...................................................................................................................2
BAB 11 PEMBAHASAN
A. Materi pembelajaran berbicara di kelas tinggi.....................................................3
B. Pelaksanaan Pengajaran Berbicara di kelas tinggi..........................................….6

C. Penilayaan dalam pembelajaran berbicara di kelas tinggi....................................6


BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................................9
B. Saran .....................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berbicara merupakan suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan
anak, yang hanya didahului oleh keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan
anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah
kemampuan berbicara dipelajari. Berbicara sangat erat hubungannya dengan perkembangan kosa
kata yang diperoleh anak dengan kegiatan menyimak dan membaca. (Linguis dalam Guntur
Tarigan: 3)
Berbicara juga merupakan pengetahuan yang sangat fungsional dalam memahami seluk
beluk berbicara. Manusia hidup selalu berkelompok mulai dari kelompok kecil, misalnya
keluarga, sampai kelompok yang besar seperti organisasi sosial. Dalam kelompok itu mereka
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Dimana ada kelompok baru manusia disitu pasti ada
bahasa. Kenyataan ini berlaku baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat moderen.
Dalam setiap masyarakat diperlukan komunikasi lisan dan tulisan. Permainan bahasa merupakan
suatu strategi atau pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa memahami materi
pelajaran lebih menarik, lebih menyenangkan, lebih bermakna dan lebih berkesan. Ciri khusus
dari permainan bahasa adalah mengembangkan kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca
dan menulis yang ditempuh dengan 2 langkah yang menyenangkan dan menggembirakan. Suatu
permainan bahasa yang yang tidak menimbulkan kegembiraan, tidaklah bisa dikatakan
permainan bahasa. Demikian sebaliknya, suatu permainan yang menggembirakan namun tidak
mengembangkan keterampilan berbahasa, tidaklah bisa juga dikatakan permainan bahasa.
Melalui bermain siswa, dapat belajar berbagai kemampuan dasar, mengembangkan keterampilan
motorik, daya pikir, kemasyarakatan dan keterampilan berbahasa. Pendidik hendaknya
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk melakukan semua keterampilan
itu. Komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya komunikasi verbal dan
komunikasi non verbal. Komunikasi verbal menggunakan bahasaa sebagai sarana, sedangkan
komunikasi non verbal menggunakan sarana gerakgerik seperti warna, gambar, bunyi bel, dan
sebagainya. Komunikasi verbal dianggap paling sempurna, efisien, dan efektif. Komunikasi lisan
sering terjadi dalam kehidupan manusia, misalnya dialog dalam lingkungan keluarga, percakapan
antara tetangga, percakapan antara pembeli dan penjual di pasar dan sebagainya.

4
Bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Hal ini
dapat dirasakan pada waktu proses pembelajaran, karena Bahasa Indonesia adalah Bahasa yang
digunakan dalam penyampaian materi pembelajaran. Pembinaan kemampuan menggunakan
Bahasa Indonesia meliputi aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.
Salah satu aspek yang harus dikuasai siswa adalah berbicara, sebab keterampilan berbicara
menunjang keterampilan lainnya. Keterampilan ini bukanlah suatu jenis keterampilan yang dapat
diwariskan secara turun temurun walaupun pada dasarnya secara alamiah setiap manusia dapat
berbicara. Namun, keterampilan berbicara secara formal memerlukan latihan dan pengarahan
yang intensif.
Berbicara sebagai suatu cara berkomunikasi, manusia sebagai makhluk sosial dan tindakan
utama dan paling penting adalah tindakan sosial, suatu tindakan tepat saling menukar
pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling mengutarakan perasaan atau
saling mengekspresikan, serta menyetujui suatu pendirian atau keyakinan. Oleh karena itu, maka
didalam tindakan sosial haruslah terdapat elemen-elemen umum yang sama-sama disetujui dan
dipahami oleh sejumlah orang yang merupakan suatu masyarakat. Untuk menghubungkan
sesama anggota masyarakat maka diperlukanlah komunikasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Materi pembelajaran berbicara di kelas tinggi?
2 Bagaimana Pelaksanaan Pengajaran Berbicara di kelas tinggi?
3 Bagaimana Penilaian dalam pembelajaran berbicara di kelas tinggi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Materi pembelajaran berbicara di kelas tinggi
2. Untuk mengetahui Pelaksanaan Pengajaran Berbicara di kelas tinggi
3. Untuk Mengetahui Penilaian dalam pembelajaran berbicara di kelas tinggi

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Materi pembelajaran berbicara di kelas tinggi


Konsep dan Teori
Para pakar mendefinisikan kemampuan berbicara secara berbeda-beda. Tarigan(1985)
menyebutkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau
kata-kata yang mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan. Batasan ini diperluas sehingga berbicara merupakan sistem tanda-tanda yang dapat
didengar (audioble) yang terlihat (visible)
Dalam kegiatan menyimak, aktivitas kita diawali dengan mendengar dan diakhiri dengan
memahami atau menanggapi. Kegiatan berbicara tidak demikian, kegiatan berbicara diawali dari
suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar
penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan tersebut. Penyampaian isi pikiran dan
perasaan, penyampaian informasi, gagasan, serta pendapat yang selanjutnya disebut pesan
(message) ini diharapkan sampai ke tujuan secara tepat.
Dalam menyampaikan pesan, seseorang menggunakan bahasa, dalam hal ini ragam
bahasa lisan. Seseorang yang menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan
dapat mengerti atau memahaminya. Apabila isi pesan itu dapat diketahui oleh penerima pesan,
maka akan terjadi komunikasi antara pemberi pesan dan penerima pesan. Komunikasi tersebut
pada akhirnya akan menimbulkan pengertian atau pemahaman terhadap isi pesan bagi
penerimanya.
1. Pengertian Berbicara
Secara umum berbicara merupaka suatu proses penuangan gagasan dalam bentuk ujaran
dan juga dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh
orang lain (Depdikbud, 1984/1985:7). Pengertiannya secara khusus banyak dikemukakan oleh
para pakar. Tarigan (1983:15), misalnya mengemukakan berbicara adalah kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta
menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Berbicara pada hakikatnya merupakan suatu
proses berkomunikasi sebab di dalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat
lain.
Dalam proses komunikasi terjadi pemindahan pesan dari komunikator (pembicara)
kepada komunikan (pendengar). Komunikator adalah seseorang yang memiliki pesan. Pesan
yang akan disampaikan kepada komunikan lebih dahulu diubah ke dalam simbol yang dipahami
oleh kedua belah pihak. Simbol tersebut memerlukan saluran agar dapat dipindahkan kepada
komunikan. Bahasa lisan adalah alat komunikasi berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Saluran untuk memindahkannya adalah udara. Selanjutnya, simbol yang disalurkan
lewat udara diterima oleh komunikan. Karena simbol yang disampaikan itu dipahami oleh
komunikan, ia dapat mengerti pesan yang disampaikan oleh komunikator.

6
Tahap selanjutnya, komunikan memberikan umpan balik kepada komunikator. Umpan balik
adalah reaksi yang timbul setelah komunikan memahami pesan. Reaksi dapat berupa jawaban
atau tindakan. Dengan demikian, komunikasi yang berhasil ditandai oleh adanya interaksi antara
komunikator dengan komunikan. Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi akan mudah
dipahami dengan cara memperbandingkan diagram komunikasi dengan diagram peristiwa
berbahasa.
Berbicara merupakan bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik,
psikologis, neurologis, semantik dan linguistik. Pada saat berbicara seseorang memanfaatkan
faktor fisik, yaitu alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bahkan organ tubuh yang lain
seperti kepala, tangan, dan roman muka pun dimanfaatkan dalam berbicara. Stabilitas emosi,
misalnya tidak saja berpengaruh terhadap kualitas suara yang dihasilkan oleh alat ucap tetapi
juga berpengaruh terhadap keruntutan bahan pembicaraan. Berbicara juga tidak terlepas dari
faktor neurologis, yaitu jaringan saraf yang menghubungkan otak kecil dengan mulut, telinga,
dan organ tubuh lain yang ikut dalam aktivitas berbicara. Demikian pula faktor semantik yang
berhubungan dengan makna, dan faktor linguistik yang berkaitan dengan struktur bahasa selalu
berperan dalam kegiatan berbicara. Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan kata-kata harus
disusun menurut aturan tertentu agar bermakna.

2.Proses Berbicara
Kegiatan berbicara dilakukan untuk dua hal, yakni yang pertama untuk mengadakan
hubungan sosial, merupakan percakapan dalam suasana santai. Sedangkan yang kedua untuk
melaksanakan suatu layanan, kegiatan berbicara ini antara lain mengikuti wawancara untuk
memperoleh pekerjaan, memesan makanan di rumah makan, mendaftar sekolah dan sebagainya.
Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, anak-anak mengembangkan kemampuan
secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, mereka sudah dapat mengungkapkan pesan
secara lengkap meskipun belum sempurna dalam arti strukturnya menjadi benar, pilihan katanya
semakin tepat, kalimat-kalimatnya semakin bervariasi, dan sebagainya. Dengan kata lain,
perkembangan tersebut tidak secara horizontal mulai dari fonem, kata, frase, kalimat, dan
wacana seperti halnya jenis tataran linguistik.
Proses pembentukan kemampuan berbicara ini dipengaruhi oleh pajanan aktivitas
berbicara yang tepat. Bentuk aktivitas yang dapat dilakukan di dalam kelas untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa lisan siswa antara lain: memberikan pendapat atau tanggapan pribadi,
bercerita, menggambarkan orang/barang, menggambarkan posisi, menggambarkan proses,
memberikan penjelasan, menyampaikan atau mendukung argumentasi.
3. Aspek yang mempengaruhi kemahiran bicara
Dalam rangka pembinaan keterampilan berbicara, hal yang perlu mendapat perhatian
guru dalam membina keefektifan berbicara menurut Arsyad ada dua aspek, yakni: aspek
kebahasaan mencakup: (a) lafal, (b) intonasi, tekanan, dan ritme, dan (c) penggunaan kata dan
kalimat, dan aspek non-kebahasaan yang mencakup: (a) kenyaringan suara, (b) kelancaran, (c)
sikap berbicara, (d) gerak dan mimik, (e) penalaran, (f) santun berbicara.
7
Jalongo (1992) menyatakan pendapatnya bahwa dalam praktik berbahasa baik dalam bentuk
reseptif maupun produktif/ekspresif komponen kebahasaan akan selalu muncul. Komponen
kebahasaan tersebut adalah: (a) fonologi, (b) sintaktis,(c) semantik, dan (d) pragmatik.
Berkaitan dengan komponen fonologis anak dituntut untuk menguasai sistem bunyi. Tingkah
laku yang tampak pada anak adalah pemahaman serta pemroduksian bunyi-bunyi lingual, seperti
tekanan, nada, kesenyapan, atau ciri-ciri prosodi yang lain.
Komponen sintaktis menurut penguasaan sistem gramatikal. Tingkah laku sintaktik pada diri
anak adalah pengenalan srtuktur ucapan, serta pemroduksian kecepatan struktur ujaran.
Komponen semantik berkaitan dengan penguasaan sistem makna. Tingkah laku semantik pada
diri anak adalah pemahaman akan makna, sedangkan produksinya berupa ujaran yang bermakna.
Sedangkan komponen pragmatik menuntut anak akan sistem interaksi sosial makna. Tingkah
laku pragmatik yang tampak pada diri anak adalah pemahaman terhadap implikasi sosial dari
suatu ujaran. Produksinya berupa ujaran-ujaran yang sesuai dengan situasi sosial, situasi sosial
itu berhubungan dengan: (a) siapa yang berbicara, (b) dengan siapa berbicara, (c)apa yang
dibicarakan, (d) bagaimana membicarakan, (e) kapan dan di mana dibicarakan, (f) menggunakan
media apa dalam membicarakan (Hymes, 1971).
Dari aspek kebahasaan dan non-kebahasaan yang telah disebutkan di atas, guru dapat
mengefektifkan penggunaan serta mengontrol kesalahan yang terjadi pada siswa. Sehingga siswa
dalam malaksanakan tindakan berbicara dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin
terjadi
2.2 Pelaksanaan Pengajaran Berbicara di kelas tinggi
1. Ulang Ucap Metode ulang ucap sangat cocok untuk siswa SD karena pada tahap-tahap awal
siswa belajar berbicara memerlukan contoh pelafalan secara benar sebagai pajanan (Expose).
Jika siswa salah mengucapkan dalam menirukan kata itu dapat diulang lagi sampai lafal siswa
betul (sesuai dengan lafal guru). Di sini dapat menggunakan kartu transkripsi fonetis sebagai
media.
Misalnya:
Guru : mama
Siswa : mama
Guru : ini mama
Siswa : ini mama
Guru : ini nana
Siswa : ini nana
Guru : ini mama nana
Siswa : ini mama nana

8
2. Lihat Ucap
Metode ini dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan sesuatu yang konkret atau
gambar benda sebagai media, kemudian siswa menyebutkan warna benda tersebut dan
menceritakan isi gambar. Metode lihat ucapkan dapat digunakan untuk lafal yang masih sering
salah bagi siswa kita atau model penseritaan deskriptif.
Misalnya:
Guru menunjukkan gambar berseri.
Siswa membaca gambar dengan lafal gambar ber-[seri].
Guru menunjukkan gambar orang senyum berseri-seri.
Siswa membaca gambar dengan lafal gambar [seri].
3. Memerikan
Dalam pelaksanaannya, siswa disuruh memperlihatkan sesuatu yang dapat berwujud benda atau
peristiwa dengan waktu yang telah ditentukan, kemudian siswa disuruh memerikan atau
mendeskripsikan sesuatu yang diperlihatkan tersebut secara lisan. Misalnya, guru membawa dan
memperlihatkan daun pepaya kepada siswa dan meminta siswa sejenak mengamatinya. Setelah
itu, guru meminta siswa memerikan bentuknya, wana daunnya, manfaat dan sebagainya.
4. Menjawab Pertanyaan
Metode ini digunakan untuk semua mata pelajaran dan dalam pembelajaran BI dapat digunakan
untuk semua standar kompetensi karena dalam setiap pembelajaran guru dapat mengawali
dengan memberikan pertanyaan. Siswa yang pemalu lama-lama akan menjadi terlatih keberanian
berbicaranya apabila ia selalu diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara lisan.
Mislanya:
Guru : siapa namamu?
Siswa : Ariel, Bu
Guru : di mana tempat tinggalmu?
Siswa : di Malang
Guru : sempurnakan jawabanmu!
Siswa : saya tinggal di jalan Jembawan XII Nomor 25 Sawojajar Malang
Guru : kamu tinggal bersama siapa saja?
Guru : bisakah kamu gambarkan keluargamu dengan kalimat yang lengkap?

9
Siswa : Kakak saya bernama Arief, adik saya bernama Aries, kami saling menyayangi,
kedua orang tuaku bekerja di kantor.

5. Bertanya
Guru yang baik selalu memberika kesempatan kepada siswanya untuk bertanya. Jangan
lupa bahwa setiap guru akan mengawali pembelajaran dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan terhadap materi yang akan dibahas, dan belum mengakhiri guru harus memberi tugas
atau memberitahukan materi yang harus dikerjakan siswa untuk pelajaran yang akan datang.
Dengan demikian, akan sering terjadi tanya jawab atau pertanyaan dari siswa-siswi tentang tugas
yang diberikan. Bertanya kepada siswa bukan hanya pada kegiatan berbicara saja karena pada
hakikatnya pembelajaran semua keterampilan selalu ada pertanyaan. Melalui pertanyaan siswa
dapat mengungkapkan keingintahuannya tentang sesuatu hal. Melalui pertanyaan pula guru akan
tahu kemampuan siswa dalam berbicara.
Misalnya:
Guru membawa/menyimpan benda dalam dos atau di atas meja yang ditutup. Kemudian,
siswa disuruh bertanya tentang benda yang dimaksud secara bergilir. Pertanyaan yang diajukan
siswa harus bisa dijawab dengan jawaban ya atau tidak.
Guru : Benda apa yang ada dalam dos ini?
Siswa : Apakah benda itu bernyawa?
Guru : Tidak
Siswa : Apakah benda itu berwarna? Guru Ya
Siswa : Apakah benda itu untuk kegiatan belajar?
Guru : Ya
Siswa : Buku
Guru : Bagus (guru memberi reward)

6. Bertanya Menggali
Pertanyaan menggali dimaksudkan untuk melatih siswa banyak berbicara karena
pertanyaan menggali merangsang siswa untuk banyak berpikir. Pertanyaan menggali merupakan
pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang berupa penjelasan. Jadi, bukan sekedar jawaban ya
atau tidak. Pertanyan menggali yang dilakukan guru dapat juga digunakan untuk mengetahui
kedalaman pemahaman siswa terhadap suatu masalah.
Misalnya:
Guru : Apa yang Anda ketahui tentang hujan?

10
Siswa : Hujan itu adalah air yang turun dari langit.
Guru : Bagaimana proses terjadinya?
Siswa : Hujan berasal dari air yang menguap karena adanya panas. Uap tersebut
membentuk awan, setelah terkumpul jadilah hujan.
7. Melanjutkan Cerita
Pelaksanaan metode ini, kita sebagai seorang guru dapat membuat sesuatu permainan
cerita. Siswa disuruh menceritakan sesuatu, kemudian siswa yang lain disuruh melanjutkan cerita
itu. Guru dapat terlibat langsung dengan bertindak sebagai motivator atau pengumpan.
Misalnya:
Guru : Kelas IIB selalu menjadi juara. Ruang kelas terletak di dekat ruang guru. Suasana
kelas ini tertata baik karena siswa-siswinya selalu bekerja sama.
Siswa A : Iuran untuk penataan kelas pun dilakukan bersama-sama. Pemilihan dekorasinya
selalu dimusyawarahkan.
8. Melanjutkan Cerita
Metode ini dapat diterapkan untuk mengintegrasikan kompetensi membaca,
mendengarkan, dan sastra. Untuk memulai pelajaran guru dapat memutar kaset, memberi bahan
bacaan, atau membacakan sebuah bacaan sastra kepada siswa. Tinggal dari mana guru memulai
pembelajaran jika dengan kaset, guru cukup memutarkan kemudian siswa disuruh melanjutkan
ceritanya. Apabila memberikan bahan bacaan, siswa disuruh membaca kemudian disuruh
menceritakan isi bacaan.
9. Bercakap-Cakap
Percakapan merupakan pertukaran pikiran atau pendapat tentang suatu masalah atau topik
antara dua orang atau lebih. Pada umumnya, suasana dalam percakapan adalah suasana akrab
dan spontan. Dalam penggunaan metode ini, guru dapat menanyakan apa yang sedang siswa
bicarakan atau mereka terima sebelumnya. Kemudian, guru gunakan sebagai bahan percakapan
siswa.
10. Mereka Cerita Gambar
Guru menunjukkan beberapa gambar atau rangkaian gambar, kemudian siswa disuruh
menceritakan isi gambar yang telah guru tunjukkan dengan bahasanya masing-masing sesuai
dengan pemahamannya.
11. Bercerita
Dengan metode ini guru dapat meminta siswa memilih cerita yang menarik tentang
dirinya, cerita orang lain, atau cerita yang pernah ia baca. Kegiatan bercerita ini akan menuntun
siswa menjadi pembicara yang baik. Perlu diingat, dengan menggunakan metode ini bukan
berarti seluruh kegiatan diisi siswa bercerita. Akan tetapi, diselingi dengan lain yang menunjang
kegiatan bercerita siswa.

11
12. Memberi Petunjuk
Dalam menggunakan metode ini, guru meminta siswa untuk memberi petunjuk tentang
suatu acara, tempat, letak, atau cara menggunakan/mengerjakan sesuatu dengan bahasa yang
singkat, jelas, dan tepat.
Misalnya:
Guru : Coba kalian jelaskan bagaimana cara menuju sekolah ini dari rumah
masing-masing.
Siswa : Rumah saya di jalan Danau Sentani. Dari rumah ke sini bisa jalan kaki,
naik sepeda, atau naik angkot jurusan Cemorokandang-Landungsari.
13. Melaporkan
Dalam pembelajaran dengan teknik “Melaporkan”, guru dapat meminta siswa untuk
melaporkan sesuatu secara lisan. Agar laporan baik dan lancar terlebih dahulu siswa disuruh
menulis apa yang akan dilaporkan. Hal yang dilaporkan dapat diambil dari peristiwa yang ada di
sekitar siswa.
Misalnya:
Guru : sesuai dengan tugas yang ibu berikan minggu lalu maka sekarang ibu minta secara
bergilir melaporkan ke depan. Siapa yang berani?
Siswa : Saya, Bu. Boleh saya mulai, Bu?
Guru : Boleh silakan.
Siswa : Pulang sekolah kemarin, saya ke sebuah toko buku di jalan Bali, di sana banyak orang
tua yang mencarikan buku anak-anaknya. Ternyata buku yang dicari banyak yang tidak tersedia.
Setelah mencari buku yang dimaksud saya pergi ke toko buku lainnya untuk membeli buku yang
tidak ada di toko buku di jalan Dieng.

14. Bermain Peran


Bermain peran hampir sama dengan percakapan. Hanya saja, dalam percakapan
seseorang memerankan diri sendiri masing-masing, sedangkan dalam bermain peran seseorang
memerankan orang lain.

15. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dalam bentuk tanya jawab. Dalam situasi formal, orang
yang diwawancarai adalah orang yang berprestasi, ahli, atau yang mengalami. Adapun dalam
situasi nonformal, wawancara dapat berlangsung antarteman. Agar siswa dapat mewawancarai
dengan baik, terlebih dahulu siswa dilatih membuat pertanyaan secara tertulis apa yang akan
ditanyakan.

12
Misalnya:
Guru : Anak-anak kalian buat daftar pertanyaan untuk tugas kalian berwawancara. Kalian
boleh memilih siapa yang akan kalian wawancarai, boleh di kantor puskesmas, sekolah, atau
teman.
Siswa : di puskesmas saja Bu.
Guru : menentukan harinya dan membentuk kelompok. Kelompok satu mewawancarai dokter
umum, kelompok dua mewawancarai dokter gigi. Kelompok tiga mewawancarai bagian obat,
dan kelompok empat mewawancarai pasien. Sebagai contoh:
Kel. 1 : Selamat pagi Dokter? Maaf mengganggu, sampai jam berapa waktu periksa dok?
Jumlah pasien tiap hari berapa ya, dok? Kebanyakan yang diderita pasien apa, dok? Dan
seterusnya.
16. Diskusi
Diskusi adalah percakapan dalam bentuk lanjut karena isi, cara, dan bobot pembicaraan
lebih tinggi daripada percakapan biasa (Tarigan dalam Idra, dkk. 2002:68). Oleh sebab itu,
metode diskusi dapat digunakan pada kelas tinggi, khususnya kelas 5 dan 6.
17. Bertelepon
Melalaui metode ini, guru dapat meminta siswa untuk mendemonstrasikan berbicara
lewat telepon. Yang perlu diketahui siswa bahwa dalam telepon, pembicaraan harus jelas, lugas,
dan singkat karena waktu sangat diperhitungkan. Media yang dapat digunakan adalah telepon-
teleponan (telepon mainan) dan jika sekolah bisa digunakan sekadar contoh.
18. Dramatisasi
Bermain drama lebih kompleks daripada bermain peran karena guru dan siswa harus
mempersiapkan skenario, pelaku, dan perlengkapan. Dalam hal ini, skenario dapat dibuat oleh
guru atau siswa dan dapat juga menggunakan skenario yang sudah ada yang ditulis orang lain.
Dengan dramatisasi ini, siswa di latih mengekspresikan perasaan dan pikiran tokoh dalam bentuk
bahasa lisan.

2.3 Penilaian dalam pembelajaran berbicara di kelas tinggi


Setiap kegiatan belajar perlu diadakan penilaian termasuk dalam pembelajaran kegiatan
berbicara. Cara yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu berbicara adalah
tes kemampuan berbicara.
Pada prinsipnya ujian keterampilan berbicara memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berbicara, bukan menulis, maka penilaian keterampilan berbicara lebih ditekankan pada praktik
berbicara.Untuk mengetahui keberhasilan suatu kegiatan tertentu perlu ada penilaian. Penilaian
yang dilakukan hendaknya ditujukan pada usaha perbaikan prestasi siswa sehingga
menumbuhkan motivasi pada pelajaran berikutnya. Penilaian kemampuan berbicara dalam

13
pengajaran berbahasa berdasarkan pada dua faktor, yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan.
Faktor kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan struktur sedangkan faktor nonkebahasaan
meliputi materi, kelancaran dan gaya.
Dalam mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang pada prinsipnya harus memperhatikan
lima faktor, yaitu: a) Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal atau konsonan) diucapkan dengan
tepat?; b) Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta rekaman suku kata
memuaskan?; c) Apakah ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi
internall memahami bahasa yang digunakan?; d) Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam
bentuk dan urutan yang tepat?; e) Sejauh manakah “kewajaran” dan “kelancaran” ataupun
“kenative-speaker-an” yang tecermin bila sesorang berbicara?

Tes Kompetensi Berbicara


Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan
bahasa setelah mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah
kemudian manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara. Untuk dapat
berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan
kosakata yang bersangkutan. Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan atau
gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahai bahasa lawan bicara.
Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk
keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan. Lambang yang berupa tanda-tanda visual
seperti yang dibutuhkan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya
orang yang buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para
penutur asli. Penutur yang demikian mungkin bahkan tidak menyadari kompetensi
kebahasaannya, tidak “mengerti” sistem bahasanya sendiri. Kenyataan itu sekali lagi
membuktikan bahwa peguasaan bahasa lisan lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, kemampuan berbicara seharusnyalah mendapat perhatian yang cukup dalam
pembelajaran bahasa dan tes kemampuan berbahasa.
Dalam situasi yang normal, orang melakukan kegiatan berbicara dengan motivasi ingin
menemukan sesuatu kepada orang lain, atau karena ingin memberikan reaksi terhadap sesuatu
yang didengarnya. Pembicaraan dalam situasi yang demikian, kejelasan penuturan tidak semata-
mata ditentukan oleh ketepatan bahasa (verbal) yang dipergunakan saja, melainkan amanat
dibantu oleh unsur-unsur paralinguistik seperti gerak-gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada
suara, dan sebagainya, suatu hal yang tidak ditemui dalam komunitas tertulis. Situasi
pembicaraan (serius, santai, wajar, tertekan) dalam banyak hal juga akan memengaruhi keadaan
dan kelancaran pembicaraan.
Hal lain yang mempengaruhi keadaan pembicaraan adalah masalah apa yang menjadi topik
pembicaraan dan lawan bicara. Kedua hal tersebut merupakan hal yang esensial, dan karenanya
harus diperhitungkan dalam tes kemampuan berbicara peserta didik dalam suatu bahasa (Oller:
1979:305). Atau paling tidak, tes berbicara hendaknya mampu mencerminkan situasi yang
menghadirkan kedua faktor tersebut. Tes kemampuan berbicara yang memertimbangkan faktor-

14
faktor tersebut, dan karenanya pembicaraan mendekati situasi yang normal, boleh dikatakan
telah memenuhi harapan tes pragmatik dan bermakna sebagaimana tuntutan tes otentik.
Tugas Berbicara Otentik
Tugas berbicara otentik dimaksudkan sebagai tes berbicara yang memenuhi kriteria
asessmen otentik. Hal ini perlu dikemukakan kembali karena pada kenyataan praktik pemberian
tugas berbicara di sekolah belum tentu berkadar otentik. Misalnya, pembelajaran pelafalan
(pronunciation) dalam bahasa target yang melatih ketepatan pelafalan peserta didik, pengucapan
kata, tekanan kata, pola dan tekanan kalimat, dan lain-lain. Kegiatan tersebut penting dalam
penguasaan bahasa target, dan bahkan menjadi prasyarat kompetensi berbahasa lisan, namun
berkadar otentik. Tugas-tugas semacam itu dalam sudut pandang pendekatan komunikatif
dikenal sebagai tugas prakomunikatif.
Dalam tugas berbicara otentik terdapat dua hal pokok yang tidak boleh dihilangkan, yaitu
benar-benar tampil berbicara (kinerja bahasa) dan isi pembicaraan mencerminkan kebutuhan
realitas kehidupan (bermakna).[4] Jadi, dalam assesmen otentik peserta didik tidak sekedar
ditugasi untuk berbicara, berbicara dalam arti sekedar praktik memergunakan bahasa secara
lisan, melainkan juga menyangkut isi pesan yag dijadikan bahan pembicaraan. Dalam kebutuhan
sehari-hari, misalnya di kantor atau di dunia pekerjaan, orang terlibat pembicaraan pasti karena
ada sesuatu yang perlu dibicarakan dan bukan berbicara sekedar praktik berbahasa. Hal inilah
yang kemudian diangkat dalam asesmen otentik kompetensi berbahasa lisan: berbicara dalam
konteks yang jelas. Konteks menunju pada berbagai faktor penentu: siapa yang berbicara, situasi
pembicaraan, isi dan tujuan pembicaraan, dan lain-lain.
Bentuk Tugas Kompetensi Berbicara
Ada banyak bentuk tugas yang dapat diberikan kepada peserta didik untuk mengukur
kompetensi berbicaranya dalam bahasa target. Apapun bentuk tugas yang dipilih haruslah yang
memungkinkan peserta didik untuk tidak saja mengekspresikan kemampuan berbahasanya,
melainan juga mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, atau menyampaikan informasi.
Dengan demikian, tes tersebut bersifat fungsional, disamping dapat juga mengungkap
kemampuan peserta didik berbicara dalam bahasa yang bersangkutan mendekati
pemakaiannya secara normal. Selain itu, pemberian tugas hendaklah juga dilakukan dengan
cara yang menarik menyenangkan agar peserta uji tidak merasa tertekan dan dapat
mengungkapkan kompetensi berbahasanya secara normal dan maksimal.

Berbicara Berdasarkan Gambar


Untuk mengungkapkan kemampuan berbicara pembelajar dalam suatu bahasa, gambar
dapat dijadikan rangsang pembicaraan yang baik. Rangsang yang berupa gambar sangat baik
untuk dipergunakan anak-anak usia sekolah dasar ataupun pembelajar bahasa asing pada tahap
awal. Akan tetapi, rangsang gambarpun dapat pula dipergunakan pada pembelajar yang

15
kemampuan berbahasanya telah (lebih) tinggi tergantung pada keadaan gambar yang
dipergunakan itu sendiri. Burt dkk (Oller, 1979:47-48, 304-314) menyusun gambar-gambar
menarik yang dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan berbicara peserta didik yang
potensial untuk tes yang berkadar pragmatik. Gambar yang dimaksud kemudian disebutnya
sebagai the Bilingual Syntax measure.
Rangsang gambar yang dapat dipakai sebagai rangsang berbicara dapat dikelompokkan
ke dalam gambar objek dan gambar cerita. Gambar objek merupakan gambar tentang objek
tertentu yang berdiri sendiri seperti binatang, kendaraan, pakaian, alam dan berbagai objek
yang lain yang kehadirannya tidak memerlukan bantuan objek gambar lain. Gambar cerita
adalah gambar susun yang terdiri dari sejumlah panel gambar yang saling berkaitan yang secara
keseluruhan membentuk sebuah cerita.
1) Objek Gambar
Gambar objek adalah gambar yang masing-masing memiliki nama satu kata dan
merupakan gambar-gambar lepas yang antara satu dengan yang lain kurang ada kaitannya.
Gambar objek dapat dijadikan rangsang berbicara unuk peserta didik tingkat awal, misalnya
taman kanak-kanak, atau pembelajar bahasa asing tingkat pemula yang masih dalam tahap
melancarkan lafal bahasa dan memahami makna kata. Gambar-gambar tersebut contohnya
sebagai berikut.
Untuk maksud mengungkap kemampuan berbicara, misalnya, peserta didik diminta
untuk menyebutkan, menemukan nama-nama gambar objek tersebut, atau bahkan merangkai
kalimat berdasarkan gambar. Misalnya, kita mengajukan pertanyaan seperti “gambar apakah
ini?”, “bukankah ini gambar katak?”, “kalau ke luar negeri kita naik apa agar cepat?”, dan
sebagainya.
Namun, sebenarnya tugas peserta didik yang sekedar menyebutkan atau menemukan nama-
nama gambar tersebut tidak alamiah, tidak wajar, peserta didik sudah tahu jawabannya, karena
tidak pragmatik, tidak otentik. Tugas yang dilakukan dengan gambar tersebut tidak bermakna
karena tidak berada dalam kaitannya dengan situasi konteks. Tugas seperti di atas tidak
memaksa peserta didik untuk menunjukkan kemampuan berbicaranya, baik yang menyangkut
ketepatan aspek linguistik maupun unsur ekstraliguistik. Oleh karena itu, penggunaan media
tersebut untuk maksud merangsang berbicara peserta didik sebaiknya dibatasi.
2) Gambar Cerita
Gambar cerita adalah rangkaian gambar yang membentuk sebuah cerita. Ia mirip komik, atau
mirip buku gambar tanpa kata (wordless picture books), yaitu buku-buku gambar cerita yang
alur ceritanya disajikan lewat gambar-gambar,atau gambar-gambar itu sendiri menghadirkan
cerita. Kalaupun dalam gambar-gambar itu disertai kata-kata, bahasa verbal tersebut sangat
terbatas. Gambar cerita atau buku gambar tanpa kata bervariasi tingkat kompleksitasnya dari
yang sederhana dan mudah dikenali sequensialnya sampai yang abstrak. Dilihat dari sifat
alamiah gambar cerita tersebut, ia terlihat potensial untuk dijadikan bahan rangsang berbicara.

16
Gambar cerita berisi suatu aktivitas, mencerminkan maksud atau gagasan tertentu, bermakna,
dan menunjukkan situasi konteks tertentu. Untuk menunjukkan urutan gambar, panel-panel
gambar tersebut dapat diberi nomor urut, namun dapat pula tanpa nomor agar peserta didik
menemukan logika urutannya sendiri. Jadi, pada intinya gambar cerita itu sudah menunjukkan
makna tertentu. Maka, tugas berbicara berdasarkan rangsang gambar cerita tidak lain adalah
tugas menceritakan makna gambar itu atau menjawab pertanyaan yang terkait.

Gambar 2

Tugas-tugas pragmatik atau otentik yang diberikan kepada peserta didik untuk berbicara
berdasarkan gambar-gambar yang disediakan tersebut dapat dengan cara-cara sebagai berikut;
Pertama, Pemberian pertanyaan secara terbuka untuk dijawab semua peserta didik termasuk
asesmen otentik. Namun pertanyaan yang diajukan harus yang menuntut mereka berpikir
tingkat tinggi dan bukan sekedar pertanyaan hafalan atau menagih fakta dan konsep.
Berdasarkan gambar-gambar yang disediakan, misalnya seperti dalam gambar di atas, kita
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pragmatis. Pertanyaan yang dimaksud
hendaklah yang memungkinkan peserta didik mengungkapkan kemampuan berbahasa dan
pemahaman terhadap kandungan makna gambar. Untuk gambar cerita di atas, misalnya kita
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a) Mengapa pemburu memanjat pohon
dengan ketakutan?; b) Bagaimana sikap kera demi melihat pemburu yang ketakutan?; c)
Bagaimanakah karakter pemburu yang justru menembak kera?; d) Mengapa harimau yang
semula mengejar pemburu kini datang lagi?
Sekali lagi, perlu dicatat bahwa tidak semua pertanyaan yang diajukan pasti berupa
tugas pragmatik. Pertanyaan yang dimaksud adalah yang dengan mudah dijawab karena
memang hanya itu jawabannya. Misalnya pertanyaan yang dimulai dengan kata “siapa”. Siapa
yang mengejar pemburu?, siapa yang menolog pemburu?, yang jawabannya telah jelas, yaitu
harimau dan kera. Jawaban peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan pragmatis di atas
dimungkinkan sekali berbda-beda. Untuk itu perlu ditentukan kinerja jawaban yang tepat dan
yang sebaiknya. Oller (197:313) mengemukakan bahwa penilaian dapat dilakukan secara
terpisah, yaitu dari segi ketepatan (struktur) bahasa dan kelayakan konteks. Namun, ia
menambahkan bahwa kelayakan konteks haruslah mendapat penekanan.
Kedua, Bercerita dimana pertanyaan-pertanyaan yang disajkan di atas hanya menuntut peserta
didik untuk memberikan jawaban yang sesuai yang biasanya hanya terdiri dari satu kalimat.
Pertanyaan-pertanyaaan seperti itu walaupun terarah, agak membatasi kreativitas imajinatif
peserta didik. Tugas pragmatik atau otentik yang lebih memberi kebebasan peserta didik,
disamping juga lebih mengugkap kemampuan berbahasa dan pemahaman kandungan makna
secara logis, adalah meminta mereka untuk bercerita sesuai dengan gambar yang disedikan.

17
Jika tugas itu meminta peserta didik untuk menceritakannya secara tertulis, tugas ini menjadi
tugas menulis.
Untuk menilai kompetensi berbicara peserta didik, kita dapat membuat dan
menggunakan rubrik yang sengaja disiapkan untuk maksud itu. Komponen penilaian harus
melibatkan unsur bahasa dan kandungan makna. Namun demikian, karena tugas yang demikian
lebih tepat dilakukan dalam tes proses yang sekaligus menjadi bagian dari strategi
pembelajaran, guru jga perlu mencatat kesalahan-kesalahan kebahasaan yang dilakukan
peserta didik untuk dibetulkan kemudian. Ingat, kita sebaiknya tidak memotong pembicaraan
peserta didik agar mereka tidak terganggu dan justru mematikan keberanian. Rubrik penilaan
yang dimaksudkan dicontohkan sebagai berikut.

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Para pakar mendefinisikan kemampuan berbicara secara berbeda-beda. Tarigan
menyebutkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau
kata-kata yang mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan. Kegiatan berbicara tidak demikian, kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang
harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan
dapat menerima atau memahami isi pesan tersebut. Penyampaian isi pikiran dan perasaan,
penyampaian informasi, gagasan, serta pendapat yang selanjutnya disebut pesan ini diharapkan
sampai ke tujuan secara tepat.
Seseorang yang menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat
mengerti atau memahaminya.

3.2 Saran
Pada makalah ini penulis telah membahas tentang analisis dan mendeskripsikan pembelajaran
berbicara dikelas tinggi, Penulis menyadari banyak kekurangan dalam menyusun makalah.
Penulis mengharapkan tanggapan,baik kritik, mau pun saran dari Ibu Dosen dan teman-teman
agar penulis dapat memperbaiki penulisan dengan lebih baik lagi kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

18
https://www.academia.edu/36929561/
KONSEP_PEMBELAJARAN_BERBICARA_1_PENDIDIKAN_GURU_SEK
OLAH_DASAR

19

Anda mungkin juga menyukai