Anda di halaman 1dari 25

Makalah ayat-ayat dan hadis ahlak

Kejujuran

Dosen pengampu :

Dr. Hasep Saputra, M.ag

Disusun oleh

Sri wahyuni (20651021)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS UHSULUDIN ADAB DAN DA’WAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI CURUP
TAHUN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mengajarkan manusia ilmu dan
mengajarkan manusia tentang apa-apa yang tidak diketahuinya. Shalawat dan salam senantiasa
tercurhkan kepada Nabi Agung, Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari jaman
jahiliyah menuju jalan yang rahmatan lil alamin.
Kami sangat bersyukur karna telah barhasil mengerjakan tugas makalah pada mata kuliah
ayat dan hadis ahlak yang berjudul Kejujuran, kami juga mengucapkan banyak terimah kasi
kepada dosen pengampu yang telah memberikan tugas serta memberikn arahan sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Demi pengembangan, dan kemajuan dari kami, diharapkan adanya kritikan, dan saran dari
pembaca serta mohon maaf apabila ada kekeliruan dalam penulisan, dan penyusunan makalah
ini.

Curup , 13 September 2022

ii

2
DAFTAR ISI

Cover............................................................................................................................. i
Kata Pengantar............................................................................................................ ii
Daftar Isi...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah ................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jujur..............................................................................................5
B. Dalam surah at-taubah ayat 119 ....................................................................5
C. Dalam surah al-ghofur ayat 28.......................................................................17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA……………………………………..........…………………25

iii

3
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Kejujuran merupakan bagian dari sifat positif manusia. Jujur itu mahal harganya,
orang merusak kejujuran mendapat sanksi akan berat dan berlangsung lama. Kejujuran
diikat dengan hati nurani manusia dan keduanya itu merupakan anugerah dari Allah
SWT. Dua eleman ini saling terkait, ketika ucapan tak sesuai dengan kenyataan, hati
menjadi risau karena ucapan dirasa tidak jujur. Kejujuranpun sekarang ini sangat
diutamakan karna sebuah kejujuran sangat berharga. Jujur memang indah, sikap jujur
membuat hidup kita lebih tentram tanpa ada tekanan dari luar maupun dari batin sendiri.
Kejujuran merupakan satu kata yang amat sederhana namun di zaman sekarang
menjadi sesuatu yang langka dan sangat tinggi harganya. Menurut Afif (2012), kejujuran
berarti apa yang dikatakan sesuai dengan hati nurani atau sesuai dengan kenyataan yang
ada. yang ada adalah kenyataan yang sesungguhnya yang terjadi. Jujur juga dapat
diartikan seseorang yang bersih hati dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama
dan hukum. Jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir malalui
kata-kata atau perbuatan. Merosotnya karakter kejujuran pada setiap manusia sangatlah
memprihatinkan, sekarang ini banyak sekali manusia yang tidak berkata jujur baik itu
anak kecil maupun orang dewasa. Kejujuran dianggap sebagai sudah tidak penting lagi
bahkan sebagian orang mengangap kejujuran tidak akan mengutungkan bagi dirinya.
Maka dari itu pada makalah kali ini saya akan membahas kejujuran di dalam Ai-
Quran yaitu pada surah At-Taubah ayat 119, dan Al- Ghofur ayat 28 bserta penafsiran
dari Imam Ibnu Katsir.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jujur
Pengertian jujur dalam Islam berasal dari bahasa Arab merupakan terjemahan dari
kata Sidiq yang artinya benar dan dapat dipercaya. Sehingga, jujur secara bahasa dan
istilah adalah perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan kebenaran.1
Jujur adalah sebuah sifat yang membutuhkan kesesuaian sikap antara perkataan
yang diucapkan dan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Sifat jujur wajib dimiliki
oleh setiap orang terutama umat muslim. Jelaskan pengertian jujur perlu ditanamkan
sejak dini, supaya dapat menerapkan sifat jujur dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat
jujur tersebut adalah perasaan tenang, terbiasa bertanggungjawab, dijauhkan dari perilaku
melanggar norma, dan dapat dipercaya orang lain. Ini juga dapat diterapkan dalam segala
lini kehidupan, termasuk di lingkungan sekolah sampai beribadah kepada Allah SWT.
Kejujuran akan mengantarkan pelakunya pada kebaikan dan kehidupan yang harmonis. 2

B. Dalam surah At-Taubah 119


َّ ‫َِ آ ٍَُْ٘ا ارَّقُ٘ا‬ِٝ‫ُّ َٖب اىَّز‬َٝ‫أ‬
َّ ‫َّللاَ َٗ ُمُّ٘٘ا ٍَ َع اى‬
َِِٞ‫صب ِدق‬
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama
orang-orang yang benar.

Tafsir ibnu katsir:


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami keponakan Az-Zuhri (yaitu Muhammad ibnu Abdullah),
dari pamannya (Muhammad ibnu Muslim Az-Zuhri), telah menceritakan kepadaku Abdur
Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik, bahwa Ubaidillah ibnu Ka'b ibnu Malik
yang menjadi juru penuntun Ka'b ibnu Munabbih setelah matanya buta mengatakan

1
Adilang, kejujuran, (Irenetresia.blokspot.com/2013/kejujuran.html.?m=1). 2018
2
Yunahar, Kuliah Akidah Islam. Ilyas 2007, Yogyakarta:LPPI UMY

5
bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Malik menceritakan hadis tentang dirinya ketika ia
tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam Perang
Tabuk. Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Aku tidak pernah absen dari Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam dalam suatu peperangan pun yang dilakukannya, kecuali
dalam Perang Tabuk. Hanya dalam Perang Badar aku tidak ikut, dan tidak ada seorang
pun yang ditegur karena tidak mengikutinya. Karena sesungguhnya saat itu Rasulullah
Shalallahu'alaihi Wasallam berangkat hanya bertujuan untuk menghadang kafilah orang-
orang Ouraisy, tetapi pada akhirnya Allah mempertemukan mereka dengan musuh
mereka tanpa ada perjanjian sebelumnya. Sesungguhnya aku ikut bersama Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam dalam malam 'Aqabah ketika kami mengucapkan janji setia
kami kepada Islam, dan aku tidak suka bila malam itu diganti dengan Perang Badar,
sekalipun Perang Badar lebih dikenal oleh orang daripadanya. Termasuk berita yang
menyangkut diriku ketika aku tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam dalam Perang Tabuk ialah bahwa pada saat itu keadaanku cukup kuat dan
cukup mudah, yaitu ketika aku absen dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam
peperangan tersebut. Demi Allah, aku belum pernah mengumpulkan dua rahilah (unta
kendaraan lengkap dengan perbekalannya) melainkan aku mampu mengumpulkannya
buat perang itu. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam apabila hendak berangkat menuju
suatu medan perang jarang sekali menyebutkan tujuannya, melainkan
menyembunyi-kannya di balik tujuan yang lain. Ketika tiba saat perang itu, maka
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam berangkat menuju medannya dalam musim yang
panas sekali dan perjalanan yang sangat jauh serta padang sahara yang luas, juga akan
menghadapi musuh yang sangat banyak. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk membuat persiapan sesuai dengan
musuh yang akan mereka hadapi, dan beliau Shalallahu'alaihi Wasallam memberitahukan
kepada mereka tujuan yang akan ditempuhnya. Saat itu jumlah kaum muslim yang
bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sangat banyak sehingga sulit untuk
dicatat jumlahnya."
Ka'b melanjutkan kisahnya, "Jarang sekali seorang lelaki yang berkeinginan untuk
absen melainkan ia menduga bahwa dirinya pasti tidak diketahui, selagi tidak turun
wahyu kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang

6
memberitahukannya. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam berangkat ke medan Perang
Tabuk di saat musim buah sedang masak dan naungan yang rindang, sedangkan diriku
(Ka'b) lebih cenderung kepada kedua hal ini. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
melakukan persiapan untuk menghadapinya bersama-sama kaum muslim, dan aku pun
pergi dengan mereka untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan masih
belum dapat menyelesaikan sesuatu pun dari persiapanku. Lalu aku berkata kepada diri
sendiri, 'Aku mampu membuat persiapan jika aku meng-hendakinya.' Hal tersebut
berkepanjangan dalam diriku, sedangkan orang lain terus membuat persiapannya dengan
penuh kesungguhan. Hingga pada suatu hari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan
kaum muslim berangkat, sedangkan aku masih belum menunaikan sesuatu pun dari
persiapanku. Dan aku berkata kepada diriku sendiri, 'Aku akan membuat persiapanku
dalam satu dua hari lagi, lalu aku akan berangkat menyusul Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam' Pada keesokan harinya setelah mereka semuanya pergi, aku pergi untuk
membuat persiapanku, tetapi akhirnya aku kembali dalam keadaan masih belum
mempersiapkan sesuatu pun dari urusanku itu. Lalu pada keesokan harinya aku pergi lagi
untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan belum menunaikan apa-apa.
Hal itu berkepanjangan atas diriku, hingga pasukan kaum muslim telah menempuh
perjalanan yang cukup jauh. Kemudian aku berniat berangkat dan menyusul mereka —
sebenar-nya alangkah baiknya bagiku bila niat tersebut kulakukan—, tetapi aku tidak
mampu melakukan hal itu. Sejak saat itu apabila keluar menemui orang-orang sesudah
ke-berangkatan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, aku selalu dilanda kesedihan,
karena aku memandang diriku sendiri tiada lain seperti seseorang yang tenggelam dalam
kemunafikannya, atau sebagai seorang lelaki yang dimaafkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala karena berhalangan. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam tidak menyebut
tentang diriku melainkan sesudah sampai di medan Tabuk. Ketika beliau sudah sampai di
Tabuk di saat beliau sedang duduk di tengah-tengah kaum muslim, beliau
Shalallahu'alaihi Wasallam bertanya, 'Apakah yang telah dilakukan Ka'b ibnu Malik?'
Seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah menjawab, 'Wahai Rasulullah, dia tertahan
oleh dua lapis kain burdahnya dan memandang kepada kedua sisi pundaknya,' yakni
cenderung kepada duniawi. Maka perkataannya itu dibantah oleh Mu'az ibnu Jabal,

7
'Perkataanmu itu buruk sekali. Demi Allah, wahai Rasulullah, sepanjang pengetahuan
kami dia adalah orang yang baik.' Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam diam."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Ketika sampai kepadaku berita yang
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam perjalanan pulangnya
dari medan Tabuk, maka diriku dilanda kesedihan dan kesusahan, lalu aku mulai berpikir
mencari alasan dengan berdusta untuk menyelamatkan diriku dari murka Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam pada keesokan harinya. Untuk itu, aku bermusyawarah
dengan orang-orang yang pandai dari kalangan keluargaku. Tetapi ketika diberitakan
bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam kini telah dekat, maka lenyaplah kebatilan
dari diriku, dan kini aku sadar bahwa diriku tidak akan selamat darinya dengan alasan apa
pun. Maka akhirnya aku Pada pagi harinya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam tiba.
Kebiasaan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam apabila baru tiba dari suatu perjalanan,
beliau memasuki masjid terlebih dahulu, lalu salat dua rakaat, setelah itu duduk
menghadapi orang-orang. Ketika Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam telah melakukan
hal itu, maka berdatangan-lah kepadanya orang-orang yang tidak ikut berperang, lalu
mereka mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepadanya untuk menguatkan alasannya.
Yang melakukan demikian ada delapan puluh orang lebih, maka Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam menerima lahiriah mereka dan memohonkan ampun kepada
Allah untuk mereka, sedangkan mengenai isi hati mereka beliau serahkan kepada Allah
Swt. Setelah itu aku tiba dan mengucapkan salam kepadanya, maka ia kelihatan
tersenyum sinis kepadaku, lalu bersabda, 'Kemarilah!' Aku berjalan ke arahnya hingga
duduk di hadapannya, lalu ia bersabda, 'Apakah yang menyebabkan kamu tidak ikut
perang? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?' Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah,
sesungguhnya jika aku duduk di hadapan selain engkau dari kalangan penduduk dunia,
niscaya aku dapat keluar dari kemarahannya dengan berbagai alasan, sesungguhnya aku
telah dianugerahi pandai berbicara. Tetapi demi Allah, aku merasa yakin bahwa jika aku
berbicara kepadamu pada hari ini dengan pembicaraan yang dusta hingga aku dapat
membuatmu rida, niscaya Allah akan membuat engkau murka terhadap diriku dalam
waktu yang dekat (yakni melalui wahyu-Nya yang menerangkan hal sebenarnya). Dan
sesungguhnya jika aku mengatakan hal yang sebenarnya kepadamu, niscaya engkau akan
murka terhadap diriku karenanya; hanya saja aku benar-benar berharap semoga Allah

8
memberikan akibat yang terbaik bagiku dalam kejujuranku ini. Demi Allah, sebenarnya
aku tidak mempunyai uzur (halangan) apa pun. Demi Allah, aku belum pernah
mengalami keadaan yang luas dan mudah seperti ketika aku tidak ikut perang
bersamamu'."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
bersabda: Adapun orang ini, maka ia berkata sejujurnya. Sekarang pergilah hingga Allah
memberikan keputusan. Maka aku bangkit dan pergi, lalu bangkitlah banyak kaum lelaki
dari kalangan Bani Salamah mengikuti diriku, lalu mereka berkata kepadaku, "Demi
Allah, kami belum pernah melihat engkau melakukan suatu dosa (kesalahan) pun
sebelum ini. Kali ini engkau tidak mampu mengemuka-kan alasan seperti apa yang
dikemukakan oleh mereka yang tidak ikut perang itu. Padahal dosamu sudah cukup akan
dihapus oleh permohonan ampun Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam kepada Allah
buat dirimu."
Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, mereka terus-menerus menegurku
hingga timbul perasaan dalam hatiku seandainya aku kembali kepada Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam, lalu aku berdusta terhadap diriku. Kemudian aku bertanya
kepada mereka, 'Apakah ada orang lain yang mengalami seperti apa yang aku lakukan?'
Mereka menjawab, 'Ya, engkau ditemani oleh dua orang lelaki yang kedua-duanya
mengatakan hal yang sama dengan apa yang telah kamu katakan, lalu dijawab dengan
jawaban yang sama seperti yang diutarakan kepadamu.' Aku bertanya, 'Siapakah
keduanya itu?' Mereka menjawab, 'Mararah ibnu Rabi' Al-Amiri dan Hilal ibnu Umayyah
Al-Waqifi.' Mereka menceritakan kepadaku perihal dua orang lelaki yang pernah ikut
dalam Perang Badar, kedua-duanya adalah orang yang saleh, dan pada diri keduanya
terdapat teladan yang baik bagi diriku. Lalu aku meneruskan perjalananku setelah mereka
menceritakan kedua orang itu kepadaku."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
melarang kaum muslim berbicara dengan kami bertiga dari kalangan orang-orang yang
tidak ikut perang bersamanya. Maka kami dijauhi oleh orang-orang. Sikap mereka
berubah total terhadap kami, hingga terasa olehku bahwa bumi yang aku huni ini
bukanlah bumi yang pernah aku tinggal padanya dan bukanlah bumi yang aku kenal.
Kami tinggal dalam keadaan demikian selama lima puluh hari. Kedua temanku itu diam

9
saja dan hanya tinggal di dalam rumahnya masing-masing sambil menangis tiada henti-
hentinya (menyesali perbuatannya), tetapi aku adalah orang yang paling sabar dan paling
tahan dalam menderita di antara mereka. Aku tetap ikut salat berjamaah bersama kaum
muslim dan berkeliling Di pasar-pasar tanpa ada seorang pun yang mau berbicara
kepadaku. Dan aku datang menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam ketika
beliau sedang berada di majelisnya sesudah salat, lalu aku mengucapkan salam
kepadanya, dan aku berkata kepada diriku sendiri bahwa apakah beliau menggerakkan
kedua bibirnya menjawab salamku ataukah tidak. Kemudian aku salat di dekatnya dan
mencuri pandang ke arahnya. Tetapi apabila aku menghadapi salatku, beliau memandang
ke arahku, dan apabila aku memandang ke arahnya, maka beliau berpaling dariku.
Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama kualami, semua orang muslim tidak mau
berbicara kepadaku, hingga aku berjalan menelusuri tembok kebun milik Abu Qatadah.
yaitu saudara sepupuku dan orang yang paling aku sukai. Lalu aku mengucapkan salam
kepadanya, tetapi demi Allah dia tidak menjawab salamku. Lalu aku berkata, 'Hai Abu
Qatadah. aku memohon kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah engkau
mengetahui bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?"
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Sepupuku itu diam saja." Ka'b ibnu
Malik mengulangi salam dan pertanyaannya, tetapi sepupunya itu tetap diam. Ketika Ka'b
ibnu Malik mengulangi lagi hal itu kepadanya, barulah ia menjawab, "Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui." Maka berlinanganlah air mata Ka'b ibnu Malik, hingga pergi dan
meniti jalan dengan bersembunyi di balik tembok. Ketika aku (Ka'b ibnu Malik) sedang
berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba aku bersua dengan seorang Nabti dari negeri Syam
yang biasa mendatangkan bahan makanan untuk dijual di Madinah. Dia bertanya,
"Siapakah yang akan menunjukkan Ka'b ibnu Malik kepadaku?" Maka orang-orang
menunjukkan kepadanya rumahku, hingga orang itu datang kepadaku dan menyerahkan
sepucuk surat untukku dari Raja Gassan. Kebetulan aku adalah orang yang pandai baca
tulis. Ketika kubaca isinya, ternyata di dalamnya terdapat kata-kata berikut, "Amma
ba'du. Sesung-guhnya telah sampai kepada kami suatu berita yang mengatakan bahwa
temanmu (yakni Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam) telah menjauhimu, dan sesungguhnya
Al-lah tidak menjadikanmu berada di negeri yang semuanya menghina dan menyia-
nyiakanmu. Maka bergabunglah dengan kami, kami pasti akan membantumu."

10
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Setelah kubaca isi surat itu. jiku berkata kepada
diriku sendiri. Inipun suatu malapetaka lagi. Lalu aku menuju tempat pembakaran roti.
kemudian surat itu aku masukkan ke dalamnya. Setelah berlalu empat puluh hari dari
lima puluh hari yang telah kami sebutkan, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam yakni utusannya datang kepadaku seraya membawa pesan bahwa Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam memerintah-kan aku agar menjauhi istriku. Aku bertanya,
'Apakah aku harus menceraikannya ataukah harus bagaimana?' Utusan itu menegaskan.
'Tidak, tetapi kamu harus menjauhinya, janganlah kamu mendekatinya." Hal yang sama
telah dikatakan pula kepada kedua orang temanku."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku berkata kepada istriku,
'Pulanglah ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah
memutuskan perkaraku ini menurut apa yang dikehendaki-Nya'." Lain halnya dengan istri
Hilal ibnu Umayyah (teman Ka'b yang juga dijauhkan). Ia datang menghadap Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal adalah
orang yang telah berusia lanjut lagi lemah keadaannya, dia pun tidak mempunyai
pembantu, apakah engkau tidak suka bila aku melayaninya?" Rasulullah Shalallahu'alaihi
Wasallam menjawab, "Tidak, tetapi dia tidak boleh mendekatimu." Istri Hilal berkata,
"Sesungguhnya dia, demi Allah, tidak mempunyai selera apa pun. Dia, demi Allah, masih
terus-menerus menangis sejak peristiwa yang dialaminya sampai sekarang."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu salah seorang istriku ada yang
mengatakan kepadaku,' Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam agar istrimu diberi izin untuk melayanimu seperti apa yang
diizinkan kepada istri Hilal ibnu Umayyah untuk melayaninya.' Aku berkata, 'Demi Alah,
aku tidak mau meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk istriku
itu, apakah nanti yang akan dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
tentang diriku yang masih muda ini bila aku meminta izin kepadanya'."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Kami tinggal selama sepuluh hari dalam
keadaan demikian, hingga genaplah lima puluh hari sejak Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam melarang orang-orang berbicara kepada kami."

11
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku melakukan salat Subuh pada
pagi hari yang kelima puluhnya di atas loteng salah satu rumahku. Ketika itu aku sedang
duduk dalam keadaan seperti apa yang disebutkan oleh Allah, bahwa jiwaku merasa
sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Dalam keadaan demikian aku
mendengar suara seruan keras dari atas Bukit Sala' yang menyerukan dengan suara keras
sekali, 'Bergembiralah engkau, hai Ka'b ibnu Malik!' Maka aku menyungkur bersujud,
dan aku mengetahui bahwa telah datang jalan keluar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala,
yaitu dengan menerima tobat kami. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam seusai salat
Subuhnya memaklumatkan penerimaan tobat kami oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Maka orang-orang pun pergi untuk menyampaikan berita gembira itu kepadaku dan
kepada kedua orang temanku. Ada seorang lelaki yang memacu kudanya dari kalangan
kabilah Aslam, dan seorang lagi berlari menaiki puncak Bukit (Sala') untuk menyerukan
hal itu, dan ternyata suara lebih cepat daripada kuda. Ketika datang kepadaku orang yang
telah kudengar suaranya menyampaikan berita gembira dari atas bukit itu, maka aku
tanggalkan kedua bajuku, lalu kuberikan kepadanya sebagai penghargaan atas jasanya;
padahal, demi Allah, aku tidak mempunyai baju lagi yang selainnya pada saat itu. Lalu
aku meminjam dua lapis baju dan kukenakan, lalu aku berang-kat dengan tujuan akan
menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Setiap orang yang aku jumpai secara
berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat mereka kepadaku karena tobatku
diterima oleh Allah. Mereka mengata-kan, 'Selamat dengan penerimaan tobatmu oleh
Allah.' Ketika aku memasuki masjid, kujumpai Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam
sedang duduk dikelilingi oleh orang banyak. Maka Talhah ibnu Ubaidillah berlari kecil
datang kepadaku dan menyalamiku serta mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah
dialah satu-satunya orang dari kalangan Muhajirin yang bangkit menyambutku."Perawi
mengatakan bahwa atas peristiwa itu Ka'b tidak pernah melupakan kebaikan Talhah ibnu
Ubaidillah.
Ka'b melanjutkan kisahnya, "Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah
Shalallahu'alaihi Wasallam (dan beliau menjawab salamku), maka kelihatan wajah
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bercahaya karena gembira, lalu bersabda:
'Bergembiralah engkau dengan sebaik-baik hari yang kamu alami sejak kamu dilahirkan
oleh ibumu.' Aku bertanya, 'Apakah dari sisimu, hai Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?'

12
Rasul Shalallahu'alaihi Wasallam menjawab, 'Tidak, tetapi dari sisi Allah.' Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam bila wajahnya bersinar hingga kelihatan seperti bulan
purnama, maka hal itu merupakan suatu pertanda bahwa beliau sedang gembira. Ketika
aku duduk di hadapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya untuk
menunjukkan tobatku, aku melepaskan semua hartaku untuk aku sedekahkan kepada
Allah dan Rasul-Nya.' Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, 'Peganglah
sebagian dari hartamu, hal itu lebih baik bagimu.' Aku berkata, 'Sesungguhnya aku hanya
mau memegang bagianku yang ada di Khaibar.' Dan aku berkata, 'Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Allah menyelamatkan diriku hanya dengan berkata benar, dan
sesungguhnya termasuk tobatku ialah aku tidak akan berbicara melainkan sejujurnya
selagi aku masih hidup'."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, aku tidak pernah
mengetahui seseorang dari kalangan kaum muslim yang diuji dengan kejujuran dalam
berbicara sejak aku mengucapkan kejujuran itu kepada Rasulullah, yakni dengan hasil
yang lebih baik daripada apa yang pernah diujikan oleh Allah kepadaku. Demi Allah, aku
tidak punya niat melakukan suatu kedustaan pun sejak aku mengucapkan hal itu kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sampai sekarang. Dan sesungguhnya aku
berharap semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memelihara diriku dari dusta dalam sisa
usiaku."
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

‫ل ِخ ْاىوُر َْشحِ ٍِ ِْ ثَ ْو ِذ ٍَب‬َ ‫اب‬ َ ِٜ‫َِ ارَّجَوُُ٘ٓ ي‬ِٝ‫بس اىَّز‬


ِ ‫ص‬َ ّْ‫َِ َٗاْن‬ٝ‫بر ِش‬ ِ َٖ َُ ْ‫ ِ َٗاى‬ٜ ّ ِ‫ اىَّْج‬َٚ‫لي‬ َّ ‫بة‬
َ ُ‫َّللا‬ َ َ ‫ىَقَذْ ر‬
‫َِ ُخ ِيُُّ٘ا‬ِٝ‫ اىثَّالث َ ِخ اىَّز‬َٚ‫لي‬ ٌ ‫ْ ِٖ ٌْ ئَُِّّٔ ثِ ِٖ ٌْ َس ُء‬َٞ‫لي‬
َ َٗ .ٌٌ ٞ‫ٗف َس ِح‬ َ َ ‫ق ٍِ ْْ ُٖ ٌْ ث ُ ٌَّ ر‬
َ ‫بة‬ ُ ُ‫ ُغ قُي‬ٝ‫َ ِض‬ٝ َ‫َمبد‬
ٍ ٝ‫٘ة يَ ِش‬
ٍَِِ َ ‫ظُّْ٘ا أ َ ُْ ََل ٍَ ْي َجأ‬ ُ ُُّْ َ ‫ ِٖ ٌْ أ‬ْٞ َ‫لي‬
َ َٗ ٌْ ُٖ ‫ر‬ َ ‫ذ‬ ْ َ‫ظبق‬
َ َٗ ‫ذ‬ ْ َ‫ض ثِ ََب َس ُحج‬ُ ‫اْنس‬ْ ٌُ ِٖ َْٞ‫لي‬ َ ‫ذ‬ْ َ‫ظبق‬ َ ‫ ِئرَا‬َّٚ‫َحز‬
َّ ‫َِ آ ٍَُْ٘ا ارَّقُ٘ا‬ِٝ‫ُّ َٖب اىَّز‬َٝ‫َب أ‬ٝ .ٌُ ٞ‫اىش ِح‬
َ‫َّللا‬ َّ ‫اة‬ َّ َُّ ‫َزُ٘ثُ٘ا ِئ‬ٞ‫ْ ِٖ ٌْ ِى‬َٞ‫لي‬
ُ َّ٘ َّ ‫َّللاَ ُٕ َ٘ اىز‬ َ َ ‫ ِٔ ث ُ ٌَّ ر‬ْٞ َ‫َّللا ِئَل ِئى‬
َ ‫بة‬ ِ َّ
َّ ‫َٗ ُمُّ٘٘ا ٍَ َع اى‬
َِِٞ‫صب ِدق‬
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang
Ansar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka
hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesung-guhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang

13
ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi
mereka, padahal bumi itu luas danjiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh
mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap
dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 117-119)
Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Demi Allah, tidak ada suatu nikmat yang telah
dianugerahkan oleh Allah kepadaku sesudah Dia memberiku petunjuk kepada Islam,
yakni nikmat yang paling besar artinya bagiku selain dari kejujuranku kepada Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam pada hari itu. Karena aku tidak mau berdusta kepadanya,
sebab aku akan dibinasakan oleh Allah seperti apa yang telah Dia lakukan kepada orang-
orang yang berdusta kepada Rasul Shalallahu'alaihi Wasallam"
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengecam dengan kecaman yang sangat keras
terhadap orang-orang yang berdusta kepada Rasul Shalallahu'alaihi Wasallam melalui
firman yang diturunkan-Nya, yaitu:

ٌْ ُٕ ‫س َٗ ٍَأ ْ َٗا‬ٌ ْ‫ل ْْ ُٖ ٌْ ِئَّّ ُٖ ٌْ ِسر‬


َ ‫ظ٘ا‬ُ ‫ل ْْ ُٖ ٌْ يَأَل ِْش‬
َ ‫ظ٘ا‬ ُ ‫ْ ِٖ ٌْ ِىز ُ ْو ِش‬َٞ‫بَّلل ىَ ُن ٌْ ِئرَا ا ّْقَيَجْز ُ ٌْ ئِى‬
ِ َّ ‫َ ْح ِيَُُُ٘ ِث‬ٞ‫ا‬
َ
َّ َُّ ِ‫ل ْْ ُٖ ٌْ يَا‬
‫َّللاَ ََل‬ َ ‫لْْ ُٖ ٌْ يَاِ ُْ ر َ ْش‬
َ ‫ظ ْ٘ا‬ َ ‫َحْ ِيَُُُ٘ ىَ ُن ٌْ ِىز َ ْش‬ٝ . َُُ٘ ‫َ ْن ِرج‬ٝ ‫َر ََّْٖ ٌُ َرضَ ا ًء ثِ ََب َمبُّ٘ا‬
َ ‫ظ ْ٘ا‬
َِٞ‫ل ِِ ْاىقَ ْ٘ ًِ ْاىَُب ِا ِق‬
َ ٚ‫ظ‬
َ ‫َ ْش‬ٝ
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu
kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari
mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam:
sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu
agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka
sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu. (At-Taubah: 95-96)
Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Kami bertiga adalah orang-orang yang berbeda
dengan mereka yang diterima uzurnya oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam;
ketika mereka tidak ikut perang, lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam membaiat
mereka dan memohonkan ampun kepada Allah buat mereka. Sedangkan terhadap kami

14
bertiga, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menangguhkan urusan kami hingga Allah
Subhanahu wa Ta'ala sendiri yang memutuskannya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

‫َِ ُخ ِيُُّ٘ا‬ِٝ‫ اىثَّالث َ ِخ اىَّز‬َٚ‫لي‬


َ َٗ
'dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka.' (At-Taubah:
118)
Penangguhan Allah terhadap kami tentang urusan kami itu bukanlah karena
pelanggaran kami yang tidak ikut perang, melainkan ditangguhkan dari orang-orang yang
mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepada Nabi untuk mempercayainya, lalu Nabi
Shallallahu'alaihi Wasallam menerima alasan mereka."
Hadis ini sahih lagi terbuktikan kesahihannya dan telah disepakati kesahihannya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri dengan
lafaz yang semisal. Hadis ini mengandung tafsir ayat ini dengan penafsiran yang paling
baik dan paling detail.
Hal yang sama telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama
Salaf dalam tafsir ayat ini, seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Al-A'masy dari Abu
Sufyan, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka. (At-Taubah:
118); Mereka adalah Ka'b ibnu Malik, Hilal ibnu Umayyah, dan Mararah ibnu Rabi',
semuanya dari kalangan Ansar. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad-
Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Semuanya
mengatakan bahwa salah seorangnya adalah Mararah ibnu Rabi'ah.
Hal yang sama disebutkan dalam salah satu salinan dari kitab Muslim, disebutkan
Ibnu Rabi'ah; sedangkan dalam salinan yang lainnya disebutkan Mararah ibnur Rabi'. Di
dalam suatu riwayat dari Ad-Dahhak disebutkan Mararah ibnur Rabi', seperti yang
terdapat di dalam kitab Sahihain, dan ini adalah yang benar.
Teks hadis yang menyebutkan bahwa mereka (orang-orang dari Bani Salamah)
menyebutkan dua orang lelaki yang pernah mengikuti Perang Badar; menurut suatu
pendapat, ini merupakan kekeliruan dari Az-Zuhri, karena sesungguhnya keikutsertaan
seseorang dari mereka dalam Perang Badar tidak dikenal.
Setelah Allah menyebutkan jalan keluar yang telah diberikan-Nya kepada mereka
dari kesempitan dan musibah yang menimpa mereka, yaitu diasingkan oleh kaum muslim

15
selama lima puluh hari, dalam masa-masa itu jiwa mereka terasa sempit dan bumi yang
luas ini terasa sempit oleh mereka. Semua jalan dan semua pemikiran tertutup bagi
mereka sehingga mereka tidak menemukan petunjuk tentang apa yang harus mereka
lakukan. Tetapi mereka tetap bersabar kepada perintah Allah dan tenang menunggu
perintah-Nya serta bersikap teguh, sehingga Allah memberikan jalan keluar bagi mereka
berkat kejujuran mereka terhadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam
mengemukakan alasan ketidakikut-sertaan mereka. Mereka mengatakan bahwa
ketidakikutsertaan mereka dalam perang bukanlah karena beruzur, sehingga mereka
mendapat hukuman selama masa itu. Kemudian pada akhirnya Allah menerima tobat
mereka, dan ternyata akibat yang baik bagi mereka adalah berkat kejujuran mereka
hingga tobat mereka diterima. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
َّ ‫َِ آ ٍَُْ٘ا ارَّقُ٘ا‬ِٝ‫ُّ َٖب اىَّز‬َٝ‫َب أ‬ٝ
َّ ‫َّللاَ َٗ ُمُّ٘٘ا ٍَ َع اى‬
َِِٞ‫صب ِدق‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian
bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)
Yakni jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya kalian akan
termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi
kalian jalan keluar dari urusan kalian.

ُِ ‫ ُٕ َ٘ ا ْث‬،‫َّللا‬ َ ِْ ‫ل‬
ِ َّ ‫ل ْج ِذ‬ َ ‫ق؛‬ َ ِْ ‫ل‬
ٍ ٞ‫ش ِق‬ ُ ََ ‫ َحذَّثََْب ْاْن َ ْل‬،َ‫َخ‬ِٝٗ ‫ َحذَّثََْب أَثُ٘ ٍُوَب‬:ُ ‫اْل ٍَب ًُ أَحْ ََذ‬
َ ‫ش‬ ِ ْ ‫قَب َه‬
َُّ ِ‫ق؛ يَا‬
ِ ْ‫صذ‬ّ ِ ‫ ُن ٌْ ثِبى‬ْٞ َ‫لي‬َ " :ٌَ َّ‫اي‬
َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫لي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ا٘ ُه‬ُ ‫ قَب َه َس‬:َ‫ قَبه‬،ُْْٔ ‫ل‬ َّ ٜ
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ظ‬ِ ‫ َس‬،ٍ‫ٍَ ْروُ٘د‬
ٙ‫َز َ َح َّش‬َٝٗ ‫صذ ُ ُق‬ ْ َٝ ‫اىش ُر ُو‬َّ ‫َضَ ا ُه‬ٝ ‫ َٗ ٍَب‬،‫ ْاى َجَّْ ِخ‬َٚ‫ ئِى‬ِٛ‫َ ْٖذ‬ٝ ‫ اىْجِ ِ ّش َٗئِ َُّ اىْجِ َّش‬َٚ‫ ئِى‬ِٛ‫َ ْٖذ‬ٝ َ‫صذْق‬
ّ ِ ‫اى‬
َُّ ِ‫ َٗئ‬،‫٘س‬ ِ ‫ ْاىُُ ُج‬َٚ‫ ئِى‬ِٛ‫َ ْٖذ‬ٝ ‫ِة‬
َ ‫ يَاِ َُّ اىْ َنز‬،‫ِة‬
َ ‫َّب ُم ٌْ َٗاىْ َنز‬ِٝ‫ َٗئ‬،‫قًب‬ِّٝ ‫صذ‬ ِ َّ َ‫ت ِل ْْذ‬
ِ ‫َّللا‬ َ َ ‫ ُ ْنز‬ٝ َّٚ‫صذْقَ َحز‬
ّ ِ ‫اى‬
ُ َ ‫ُ ْنز‬ٝ ٚ‫ حز‬،‫ اىنزة‬ٙ‫َز َ َح َّش‬َٝٗ ‫ِة‬
ِ َّ َ‫ت ِل ْْذ‬
‫َّللا‬ ُ ‫َ ْنز‬ٝ ‫اىش ُر ُو‬ َّ ‫َضَ ا ُه‬ٝ ‫ َٗ ٍَب‬،‫بس‬ ِ َّْ‫ اى‬َٚ‫ ئِى‬ِٛ‫َ ْٖذ‬ٝ ‫٘س‬ َ ‫ْاىُُ ُج‬
‫َمزَّاثًب‬
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah,
telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Syaqiq. dari Abdullah (yaitu Ibnu
Mas'ud Radhiyallahu Anhu) yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam pernah bersabda: Jujurlah kalian, karena sesungguhnya kejujuran itu
membimbing ke arah kebajikan; dan sesungguhnya kebajikan itu membimbing ke arah
surga. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kejujuran serta berpegang teguh

16
kepada kejujuran pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur
(benar). Hati-hatilah kalian terhadap kebohongan, karena sesungguhnya bohong itu
membimbing kepada kedurhakaan; dan sesungguhnya kedurhakaan itu membimbing ke
arah neraka. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kebohongan serta bersikeras
dalam kebohongannya, pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang
pembohong (pendusta).
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab shahihnya.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah bahwa ia pernah mendengar
Abu Ubaidah menceritakan hadis dari Abdullah ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu yang
mengatakan bahwa dusta itu tidak layak dilakukan, baik dalam keadaan sungguhan
maupun dalam keadaan bersenda gurau. Bacalah oleh kalian firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada
Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)
Demikianlah bunyi ayat seperti yang dibacakan oleh Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam
Maka apakah kalian menjumpai padanya suatu rukhsah (kemurahan) bagi seseorang?
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan firman-Nya:
Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.
(At-Taubah: 119) Yaitu bersama Muhammad Shalallahu'alaihi Wasallam dan para
sahabatnya.
Menurut Ad-Dahhak, bersama Abu Bakar dan Umar serta teman-teman keduanya.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Jika engkau ingin bersama orang-orang yang
benar, maka berzuhudlah kamu terhadap duniawi, dan cegahlah dirimu dari (menyakiti)
saudara seagamamu."3

C. Dalam QS. Al- Ghofur 28

ٌْ ‫َّللاُ َٗقَذْ َرب َء ُم‬


َّ ٜ َ ّ‫َقُ٘ َه َس ِث‬ٝ ُْ َ ‫ ََبَُّٔ أَرَقْزُيَُُ٘ َس ُرال أ‬ِٝ‫َ ْنز ُ ٌُ ئ‬ٝ َُْ٘ ‫ل‬ ِ ِْ ٍِ ٌِ ٍِ ْ‫َٗقَب َه َس ُر ٌو ٍُإ‬
َ ‫آه يِ ْش‬
َُّ ِ‫َ ِوذ ُ ُم ٌْ ئ‬ٝ ِٛ‫ط اىَّز‬ ِ ُٝ ‫صب ِدقًب‬
ُ ‫ص ْج ُن ٌْ ثَ ْو‬ ِ ‫َِّْب‬َٞ‫ثِ ْبىج‬
َ ُ‫َل‬ٝ ُْ ِ‫ ِٔ َم ِزثُٔ ُ َٗئ‬ْٞ َ‫َلُ َمب ِرثًب يَوَي‬ٝ ُْ ِ‫د ٍِ ِْ َسثِّ ُن ٌْ َٗئ‬
ٌ َّ ‫ف َمز‬
‫اة‬ ٌ ‫ ٍَ ِْ ُٕ َ٘ ٍُر ِْش‬ِٛ‫َ ْٖذ‬ٝ ‫َّللاَ ََل‬
َّ

3
Tafsir Ibnu Katsir Lengkap. P.9_HAL.73

17
Artinya :
Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang
menyembunyikan imannya berkata, "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki
karena dia menyatakan, 'Tuhanku ialah Allah, 'padahal dia telah datang kepadamu dengan
membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta, maka
dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya
sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.

Tafsir ibnu katsir:


Menurut qaul yang masyhur, lelaki mukmin yang mengatakan kalimat ini adalah seorang
bangsa Egypt dari kalangan keluarga Fir'aun.
As-Saddi mengatakan bahwa dia adalah saudara sepupu Fir'aun yang membelot
dari Fir'aun dan bergabung bersama Musa 'alaihissalam Menurut suatu pendapat, ia
selamat bersama Musa 'alaihissalam dari kejaran Fir'aun. Pendapat inilah yang dipilih
oleh Ibnu Jarir; Ibnu jarir menjawab pendapat yang mengatakan bahwa lelaki itu adalah
seorang Bani Israil, bahwa ternyata Fir'aun mau mendengarkan perkataan lelaki itu dan
terpengaruh olehnya, lalu tidak jadi membunuh Musa 'alaihissalam Seandainya laki-laki
itu adalah seorang Bani Israil, pastilah Fir'aun menyegerakan hukumannya, karena dia
adalah dari kalangan mereka (Bani Israil).
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, bahwa tiada
seorang pun dari kalangan keluarga Fir'aun yang beriman kecuali lelaki ini, istri Fir'aun,
dan seorang lelaki lainnya yang memperingatkan Musa 'alaihissalam melalui
perkataannya, yang disitir oleh firman-Nya:

َ‫َ ْقزُيُ٘ك‬ٞ‫َأْر َ َِ ُشَُٗ ِثلَ ِى‬ٝ ‫ ِئ َُّ ْاى ََأل‬ٚ‫ا‬


َ ٍُ٘ ‫َب‬ٝ
Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk
membunuhmu. (Al-Qasas: 20). Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Lelaki ini menyembunyikan imannya dari mata kaumnya bangsa Egypt. Dia tidak
menampakkannya kecuali pada hari itu, yaitu ketika Fir'aun mengatakan:

َ ٍُ٘ ‫ أ َ ْقز ُ ْو‬ِّٜٗ‫رَ ُس‬


ٚ‫ا‬

18
Biarkanlah aku membunuh Musa. (Al-Mu’min: 26)
Maka lelaki itu menjadi marah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala Dan jihad yang
paling utama itu ialah mengutarakan kalimat keadilan di hadapan penguasa yang zalim,
seperti yang telah disebutkan di dalam hadis. Dan tidak ada perkataan yang lebih besar
daripada kalimat ini di hadapan Fir'aun, yaitu:
َّ ٜ
ُ‫َّللا‬ َ ّ‫َقُ٘ َه َس ِث‬ٝ ُْ َ ‫أَر َ ْقزُيَُُ٘ َس ُرال أ‬
Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, 'Tuhanku ialah
Allah.' (Al-Mu’min: 28)
Juga selain dari apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya.
Dia mengatakan:
ِٜ‫ ْث ُِ أَث‬َٚٞ‫َ ْح‬ٝ َِْٜ‫ َحذَّث‬،ٜ ُّ ‫ َحذَّثََْب ْاْن َ ْٗصَ ا ِل‬،ٌٍ ‫ذ ُ ث ُِْ ٍُ ْر ِي‬ٞ‫ َحذَّثََْب اىْ َ٘ ِى‬،‫َّللا‬
ِ َّ ‫ل ْج ِذ‬ َ ُِْ ‫ ث‬ٜ
ُّ ‫ل ِي‬ َ ‫َحذَّثََْب‬
ِ َّ ‫ قُ ْيذُ ِىوَ ْج ِذ‬:َ‫ ِْش قَبه‬َٞ‫اىضث‬
ِِْ ‫َّللا ث‬ ُّ ُِْ ‫ل ْش َٗح ُ ث‬ ُ ِْٜ َ ‫ َحذَّث‬،ٜ َ ِٕ ‫ ٍُ َح ََّذ ُ ث ُِْ ِئث َْشا‬ِْٜ َ ‫ َحذَّث‬،‫ش‬ٞ
ُّ َِْ َّٞ‫ٌ اىز‬ٞ ٍ ‫َم ِث‬
ِٔ ْٞ َ‫لي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ا٘ ِه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫صَْؤَُ اىْ َُ ْش ِش ُمَُ٘ ِث َش‬ َ ‫ءٍ ٍِ ََّب‬ٜ َ َ ‫ ِثأ‬ِّٜ ‫ أ َ ْخ ِج ْش‬:‫بص‬
َ ّ‫ش ِذ‬
ْ ‫ش‬ ِ َ‫ل َْ ِشٗ ث ِِْ ْاىو‬ َ
ِٜ‫لقْجخ ْث ُِ أَث‬ُ ‫ ِث ُِْ َِبء ْاى َن ْوجَ ِخ ِئ ْر أ َ ْقجَ َو‬ّٜ‫ص ِي‬
َ ُٝ ٌَ َّ‫اي‬
َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫لي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ا٘ ُه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫َْب َس‬ْٞ َ‫ ث‬:‫ايَّ ٌَ قَب َه‬
َ َٗ
ُ ِٜ‫ ث َ ْ٘ثَُٔ ي‬َٙ٘ َ‫ايَّ ٌَ ٗى‬
‫ يَ َخَْقَُٔ َخ ْْقًب‬،ِٔ ‫لُْ ِق‬ َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫لي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫٘ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ يَأ َ َخزَ ث ََ ْْنت َس‬،‫ط‬َٞ‫ٍُو‬
ِ ‫ا‬
ٌَ َّ‫اي‬
َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫لي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِٜ ّ ‫ل ِِ اىَّْ ِج‬َ ‫ يَأ َ َخزَ ِث ََْْ ِن ِج ِٔ ٗدَيَع‬،ُْْٔ ‫ل‬ َّ ٜ
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ظ‬ِ ‫ َس‬،‫ يَأ َ ْقجَ َو أَثُ٘ ثَ ْن ٍش‬،‫ذًا‬ِٝ‫شذ‬
َ
ٌْ ‫د ٍِ ِْ َس ِثّ ُن‬ِ ‫َِّْب‬َٞ‫َّللاُ َٗقَ ْذ َرب َء ُم ٌْ ِث ْبىج‬
َّ ٜ َ ّ‫َقُ٘ َه َس ِث‬ٝ ُْ َ ‫ث ُ ٌَّ قبه أَرَقْزُيَُُ٘ َس ُرال أ‬

Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada
kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah
menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abu Kasir, telah menceritakan kepadaku Muhammad
ibnu Ibrahim At-Taimi, telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair Radhiyallahu
Anhu yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Abdullah ibnu Amr ibnul As
Radhiyallahu Anhu, "Ceritakanlah kepadaku perlakuan yang paling kejam yang telah
dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap diri Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam" Abdullah ibnu Amr menjawab, bahwa pada suatu hari Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam sedang salat di serambi Ka'bah, tiba-tiba datanglah Uqbah
ibnu Abu Mu'it, lalu Uqbah memegang pundak Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam

19
dan melilitkan kainnya ke leher beliau sehingga kain itu mencekiknya dengan keras.
Maka datanglah Abu Bakar Radhiyallahu Anhu, lalu memegang pundak Uqbah dan
mendorongnya jauh dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, kemudian Abu Bakar
berkata: Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan,
'Tuhanku ialah Allah,' padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-
keterangan dari Tuhanmu? (Al-Mu’min: 28)
Imam Bukhari meriwayatkannya secara tunggal melalui hadis Al-Auza'i. Imam
Bukhari mengatakan bahwa hadis ini diikuti oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Ibrahim
ibnu Urwah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.

َِْ‫ اث‬ِْٜ‫َ ْو‬ٝ- ً‫ل ِْ ِٕش ٍَب‬ َ ‫ل ْجذح‬َ ‫ َحذَّثََْب‬،ٜ ُّ ِّ‫َبسٗ ُُ ث ُِْ ِئ ْا َحبقَ اىْ َٖ َْذَا‬
ُ ٕ ‫ َحذَّثََْب‬:ٌٍ ِ‫ َحبر‬ٜ‫قَب َه اث ُِْ أ َ ِث‬
‫ا٘ ِه‬ُ ‫شب ثَيَغُ٘ا ٍِ ِْ َس‬ ً ْٝ ‫ْذَ قُ َش‬َٝ‫شذُّ ٍَب َسأ‬
َ َ ‫ ٍَب أ‬:‫ائِو‬ ِ َ‫ل َْ ِشٗ ث ِِْ ْاىو‬
ُ ُ ََّّٔ‫بص أ‬ َ ِْ ‫ل‬ َ ،ِٔ ِٞ‫ل ِْ أَث‬ َ -َ ‫ل ْش َٗح‬
ُ
ُ ‫َوْجُذ‬ٝ ‫ أ َ ّْذَ رَْْ َٖبَّب أ َ ُْ َّ ْوجُذَ ٍَب‬:َُٔ‫َ ْ٘ ًٍ يَقَبىُ٘ا ى‬ٝ َ‫ ٍَ َّش ثِ ِٖ ٌْ رَاد‬:‫ايَّ ٌَ؟ قبه‬ َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫لي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ
ِْ ٍِ ُُْٔ‫ع‬ ِ َ ‫ذُ أَثَب ثَ ْن ٍش ٍُ ْحز‬ٝ‫ يشأ‬،ِٔ ِ‫َبث‬ِٞ‫بٍ ِع ث‬ ِ ‫ يَأ َ َخزُٗا ثِ ََ َج‬،ِٔ ْٞ َ‫ "أََّب رَاكَ " يَقَب ٍُ٘ا ئِى‬:َ‫آثَب ُؤَّب؟ يَقَبه‬
‫ أَر َ ْقزُيَُُ٘ َس ُرال‬،ًِ ْ٘ َ‫َب ق‬ٝ :ُ‫َقُ٘ه‬ٝ َ٘ َُٕٗ ،ُِ ‫ال‬ِٞ َ ‫َر‬َٞ‫ ِٔ ى‬ْٞ َْْٞ‫ل‬ َ َُّ ‫ َٗ ِئ‬،ِٔ ‫ص ْ٘ ِر‬ َ َٚ‫ ُح ِثأ َ ْلي‬ٞ‫ص‬ ِ َٝ َ٘ َُٕٗ ،ِٔ ‫َٗ َسا ِئ‬
‫َ ِخ مُ ِيّ َٖب‬ٟٝ‫غ ٍَِِ ْا‬ َ ‫ يَ َش‬َّٚ‫د ٍِ ِْ َس ِثّ ُن ٌْ َحز‬ِ ‫َّْب‬ِٞ َ‫َّللاُ َٗقَذْ َرب َء ُم ٌْ ِث ْبىج‬
َّ ٜ َ ّ‫َقُ٘ َه َس ِث‬ٝ ُْ َ ‫أ‬.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq Al-
Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Amr ibnul As Radhiyallahu Anhu, bahwa ia pernah ditanya, "Perlakuan
apakah yang paling keras dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap diri Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam?" Amr ibnul As menjawab, bahwa pada suatu hari Nabi
Shallallahu'alaihi Wasallam bersua dengan mereka, lalu mereka berkata kepadanya,
"Engkau telah mencegah kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang
kami." Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab, "Ya, memang itulah yang aku
lakukan." Maka mereka bangkit menuju kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dan
memegang leher baju Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Kulihat Abu Bakar
Radhiyallahu Anhu memeluk Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dari belakangnya seraya
menjerit sekuat suaranya, sedangkan kedua matanya mencucurkan air mata seraya

20
berkata, "Hai kaum, apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia
mengatakan, 'Tuhanku ialah Allah,' padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa
keterangan-keterangan dari Tuhanmu?” (Al-Mu’min: 28), hingga akhir ayat.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai melalui Abdah, lalu ia
menjadikannya termasuk hadis yang disandarkan kepada Amr ibnul As Radhiyallahu
Anhu
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

ِ ‫َِّْب‬َٞ‫َٗقَذْ َرب َء ُم ٌْ ثِ ْبىج‬


ٌْ ‫د ٍِ ِْ َس ِثّ ُن‬
padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari
Tuhanmu. (Al-Mu’min: 28)
Yakni mengapa kalian mau membunuh seorang lelaki karena dia telah
mengucapkan, 'Tuhanku ialah Allah,' padahal dia telah menegakkan kepada kalian bukti
yang membenarkan apa yang disampaikan kepada kalian, yaitu berupa perkara yang hak.
Kemudian laki-laki itu dalam pembicaraannya bernada agak lunak, seperti yang disitir
oleh firman-Nya:

ٌْ ‫َ ِوذ ُ ُم‬ٝ ِٛ‫ط اىَّز‬ ِ ُٝ ‫صب ِدقًب‬


ُ ‫ص ْج ُن ٌْ ثَ ْو‬ َ ُ‫َل‬ٝ ُْ ِ‫ ِٔ َم ِزثُُٔ َٗئ‬ْٞ َ‫َلُ َمب ِرثًب يَوَي‬ٝ ُْ ِ‫َٗئ‬
Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan
jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu
akan menimpamu. (Al-Mu’min: 28)
Yaitu jika tidak terbukti kebenaran dari apa yang disampaikannya kepada kalian,
berarti dari pendapatnya sendiri secara murni, dan sikap yang terbaik dalam
menghadapinya ialah membiarkannya sendirian bersama dengan pendapatnya itu, dan
janganlah kamu mengganggunya. Jika dia dusta, maka sesungguhnya Allah Swt. akan
membalas kedustaannya itu dengan hukuman di dunia dan di akhirat nanti. Jika dia
memang benar, sedangkan kalian telah menyakitinya, niscaya akan menimpa kalian
sebagian dari bencana yangtelah diancamkannya kepada kalian, jika kalian
menentangnya, yaitu berupa azab di dunia ini dan di akhirat nanti. Bisa saja dia memang
benar terhadap kalian, maka sikap yang tepat ialah hendaklah kalian tidak menghalang-
halanginya. Tetapi biarkanlah dia dan kaumnya, biarkanlah dia menyeru kaumnya dan

21
kaumnya mengikutinya. Dan memang demikianlah apa yang telah diceritakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala, bahwa Musa meminta kepada Fir'aun dan kaumnya agar
melepaskan dia dan kaum Bani Israil, yaitu:

‫ َٗأ َ ُْ َل‬.ِٞ
ٌ ٍِ َ ‫ا٘ ٌه أ‬
ُ ‫ ىَ ُن ٌْ َس‬ِّّٜ ‫َّللا ِئ‬ َّ َ‫ أ َ ُْ أَدُّٗا ِئى‬.ٌٌ ٝ‫ا٘ ٌه م َِش‬
ِ َّ َ‫ ِلجَبد‬ٜ َ ‫َٗىَقَذْ يَزََّْب قَ ْجيَ ُٖ ٌْ قَ ْ٘ ًَ ِي ْش‬
ُ ‫ل ْ٘ َُ َٗ َرب َء ُٕ ٌْ َس‬
ِ َُ ‫ َٗ َس ِثّ ُن ٌْ أ َ ُْ ر َْش ُر‬ّٜ‫لزْدُ ِث َش ِث‬
ٜ‫ َٗ ِئ ُْ ىَ ٌْ رُإْ ٍُِْ٘ا ِى‬.ُ٘ ُ ِّّٜ ‫ َٗ ِئ‬.ِٞ
ٍ ‫بُ ٍُ ِج‬
ٍ ‫ط‬َ ‫ر ْي‬ َ ‫ر َ ْويُ٘ا‬
ِ َّ َٚ‫لي‬
ُ ‫ ُن ٌْ ِث‬ٞ‫ آ ِر‬ِّّٜ ‫َّللا ِئ‬
ِ ُ‫يَب ْلز َِضى‬
ُ٘

Sesungguhnya sebelum mereka telah Kami uji kaum Fir’aun dan telah datang
kepada mereka seorang rasul yang mulia, (dengan berkata), "Serahkanlah kepadaku
hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya aku adalah utusan
(Allah) yang dipercaya kepadamu, dan janganlah kamu menyombongkan diri terhadap
Allah. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata. Dan
sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari keinginanmu
merajamku; dan jika kamu tidak beriman kepadaku, maka biarkanlah aku (memimpin
Bani Israil)." (Ad-Dukhan: 17-21)

Hal yang sama telah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam


terhadap orang-orang Quraisy, beliau meminta agar mereka membiarkannya menyeru
hamba-hamba Allah untuk menyembah-Nya, dan janganlah mereka mengganggunya dan
hendaklah mereka tetap menghubungkan tali persaudaraan yang telah ada antara dia dan
mereka, tiada yang saling menyakiti. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman menceritakan
hal ini:

َٚ‫ ْاىقُ ْشث‬ِٜ‫رْشا ِئَل اىْ ََ َ٘دَّح َ ي‬


ً َ ‫ ِٔ أ‬ْٞ َ‫لي‬
َ ٌْ ‫قُ ْو ََل أَاْأَىُ ُن‬
Katakanlah, "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih
sayang dalam kekeluargaan.” (Asy-Syura: 23)
Maksudnya, janganlah kalian menggangguku demi tali persaudaraan yang telah
ada antara aku dan kalian, dan biarkanlah urusan antara aku dan manusia. Berdasarkan
hal ini, maka ditandatanganinyalah Perjanjian Hudaibiyah, yang merupakan awal dari
kemenangan yang jelas.

22
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

ٌ َّ‫ف َمز‬
‫اة‬ ٌ ‫ ٍَ ِْ ُٕ َ٘ ٍُر ِْش‬ِٛ‫َ ْٖذ‬ٝ ‫َّللاَ ََل‬
َّ َُّ ‫ِئ‬
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.
(Al-Mu’min: 28)
Yakni seandainya orang ini (Musa 'alaihissalam) yang mengakui bahwa dirinya
diutus oleh Allah kepada kalian adalah dusta seperti yang kalian sangkakan terhadapnya
tentulah perkaranya jelas dan kelihatan bagi setiap orang melalui ucapan dan
perbuatannya; dan sudah barang tentu semua sikap dan ucapannya banyak bertentangan
dan kacau. Tetapi ternyata orang ini (Musa 'alaihissalam) perkaranya kami lihat benar
dan sepak terjangnya lurus. Seandainya dia termasuk orang yang melampaui batas lagi
pendusta, tentulah Allah tidak menunjukinya dan membimbingnya kepada sikap dan
ucapan seperti yang kamu lihat sendiri; semua urusan dan perbuatannya kelihatan begitu
teratur dan rapi.4

4
Tafsir Ibnu Katsir Lengkap. P.40_Hal.10

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kejujuran merupakan salah satu perilaku terpuji. Oleh karena itu kejujuran
termasuk dalam akhlak mahmudah. Kejujuran merupakan perilaku yang wajib ada pada
umat islam. Kejujuran terdapat beberapa jenis seperti kejujuran dalam berbicara
kejujuran dalam niat ( hati) dan kejujuran dalam perbuatan. Kejujuran akan membawa
seseorang untuk melakukan kebaikan sehingga memudahkan seseorang untuk masuk ke
dalam surga kelak di setelah hari kiamat di alam akhirat.

Jujur merupakan salah satu sifat yang wajib ada pada nabi yang terdapat dalam
pembahasan i'tiqah.Kejujuran juga harus berusaha diterapkan oleh umat islam. Jujur
merupakan perilaku seseorang yang sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Jujur
dalam bahasa arab disebut dengan istilah siddiq.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adilang, kejujuran, (Irenetresia.blokspot.com/2013/kejujuran.html.?m=1). 2018

Yunahar, iilyas.2007.Kuliah Akidah Islam. Yogyakarta:LPPI UMY

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap. P.9_HAL.73

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap. P.40_Hal.10

25

Anda mungkin juga menyukai