Anda di halaman 1dari 19

SYAR’U MAN QABLANÂ DAN IMPLEMENTASINYA

DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH (MU’ÂMALAH


MÂLIYYAH)

Panji Adam Agus Putra


Fakultas Syariah Univeristas Islam Bandung
panjiadam@unisba.ac.id

Abstrak:
Syarat-syariat umat terdahulu atau disebut dengan syar’u man qablanâ merupakan salah
satu dalil hukum dalam Islam yang menjadi perdebatan para ulama terkait dengan
keabsahannya. Oleh karena itu, perlu dialkukan penelitian terkait mengenai konsep
mengenai syar’u man qablanâ dan implementasinya dalam bidang mu’âmalah mâliyyah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber penelitian ini adalah
sumber primer dan sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif dan tergolong penelitian
kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa impelementasi syariat umat terdahulu
dalam bidang mu’âmalah mâliyyah adalah akad ju’âlah,akad ijârah, Dhamân Mâ Tafsadahu
al-Dawwâb al-Mursalah, akad kafâlah bi al-wajh (bi al-nafs) dan akad qismah muhaya’ah.

Kata Kunci: Syar’u Man Qablanâ, Syariat Islam, Mu’âmalah Mâliyyah

Pendahuluan Hukum Islam relatif lebih


berkembang dari pada dimensi yang lain.
Secara yuridis, hukum Islam dari
Pada masa Nabi, problematika hukum
aspek metodologis dapat dipahami
diselesaikan oleh langsung oleh Nabi
sebagai hukum yang bersumber dari al-
melalui wahyu atau sunnah-sunnahnya.
Qur’an dan hadis Nabi melalui proses
Setelah Nabi wafat, hukum Islam
penalaran atau ijtihad. Hukum Islam
mengalami perkembangan. Persoalan-
bersifat elastis dan akomodatif. Status
persoalan baru tidak dapat dipecahkan
ini dapat terjadi apabila dipandang dari
hanya mengandalkan teks ayat al-Qur‟an
aspek ruang gerak metodologinya
al-Hadits yang telah ada. Para Sahabat
antara wahyu sebagai sumber hukum
sudah tidak dapat bertanya lagi secara
yang memuat petunjuk-petunjuk global
langsung kepada Nabi. Salah satu solusi
dan kedudukan ijtihad sebagai fungsi
yang mereka lakukan berijtiha, baik
pengembangan. Dengan demikian
secara personal maupun kolektif
karakteristik hukum Islam yang
sehingga terjadi ijmâ‟. Pada abad
berasaskan wahyu dan akal pikiran
berikutnya, metode yang digunakan
merupakan ciri yang membedakan
untuk menetapkan hukum semakin
hukum Islam dari sisi hukum lainnya.1
berkembang. Pada abad kedua
terbentuk disiplin ilmu ushul fikih yang

1
Zumrotul Wahidah, Metodologi Hukum Islam Perspektif Al-Ghazali, MEDIA KEADILAN
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 11 Nomor 2, Oktober 2020, h. 205.
mengulas tentang metode-metode adanya syariat Islam yang dibawa oleh
istinbâth hukum Islam. Pada ranah Nabi Muhammad Saw. Telah diketahui
metodologi para ulama berbeda bahwa syar'u man qablanâ adalah salah
pendapat. Implikasinya, hukum yang saru dari sekian banyak metode
diproduk tidak akan seragam.2 istinbâth (penggalian) hukum Islam,
walaupun tampak adanya warna-warna
Setiap Rasul yang datang
yang mengindikasikan syar'u man
belakangan, di samping bertugas
qablanâ hanya sebagai penguat teks-
membawa syariat yang baru untuk
teks keagamaan dan bukan dijadikan
umatnya, juga melakukan semacam
sebagai petunjuk untuk menggali
koreksi (penyempurnaan) dan
hukum, namun seringkali ia tetap
pembatalan syariat sebelumnya yang
dijadikan sebagai metode. Berkaitan
tidak diberlakukan lagi untuk umatnya.
dengan hal tersebut, para ahli ushul fikih
Hal ini berarti bahwa apa yang harus
menggunakan syar'u man qablanâ untuk
dijalankan umatnya, diantaranya ada
membedakan antara syariat atau hukum
yang sama dengan syariat umat
sebelum Nabi Muhammad Saw menjadi
sebelumnya dan ada ketentuan syariat
seorang Rasul dan hukum di saat ia
yang baru sama sekali. Pembahasan
diutus sebagai Rasul. Namun demikian,
yang berkembang sebab demikian ini
tampalnya para ahli ushul fikih memiliki
adalah apakah syariat sebelum Islam itu
perspektif yang berbeda dalam
masih berlaku sehingga tetap dituntut
memandang syar'u man qablanâ.
kewajiban melaksanakan aturan itu.3
Perbedaan tersebut tampak ketika
Oleh karena syariat mereka membahas keterikatan Nabi
berhubungan dengan masalah hukum, Muhammad setelah menjadi Nabi dan
maka kajian tentang Syar’u Man Qablanâ pengikutnya terhadap syaiat-syariat
ini sering ditemukan dalam kitab-kitab sebelumnya.5
Ushul fikih sebagai alat memproduksi
terlepas dari perbedaan para ahli
hukum islam.4 Selain itu, dalam kitab-
ushul fikih dalam memandang syar’u
kitab ushul fikih kajian mengenai syar’u
man qablana dapat dijadikan hujjah
man qablanâ merupakan pembahasan
sebagai dalil hukum, dalam konteks
yang kental akan perbedaan pendapat
hukum ekonomi syariah atau mu’âmalah
ulama mengenai keabsahan dijadikan
mâliyyah, syariat-syariat umat terdahulu
sebagai dalil hukum.
yang masih berlaku hingga sekarang.6
Syar'u man qablanâ merupakan Dengan demikian perlu dilakukan kajian
syariat para nabi terdahulu sebelum mengenai bentuk-bentuk syar’u man

2
Kawakib, Yusuf, Hafdz dan Syuhud, Sadd Al-Dzarî’ah Sebagai Dalil Hukum Islam (Studi
Komparatif Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah Dan Ibnu Hazm), Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist,
Volume 4, No.1. Januari 2021, h. 78.
3
Imam Yazid, Analisis Teori Syar’u Man Qablana, Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata
Sosial Islam, Vol 2, No 04, 2014, h. 370.
4
Imam Yazid, Tafsir Ayat Ahkam Tentang Syar’u Man Qablana Dan Kehujahannya Sebagai
Dalil Hukum, Al-Usrah: Jurnal Al Ahwal As Syakhsiyah, Vol. 5, No. 1, 2017, h. 43.
5
Abdul Helim, Memposisikan Kembali Syar’u Man Qablana Sebagai Istinbat Hukum Islam,
HIMMAH Vol. Vll No.20 September - Desember 2006, h. 36.
6
Panji Adam, Fikih Muamalah Kontemporer: Perkembangan Akad-Akad dalam Hukum
Ekonomi Syariah, (Malang: Inteligensia Media, 2021), h. 63.
qablanâ dalam konteks mu’âmalah Musthafa Sa’id al-Khin
mâliyyah. memberikan definisi mengenai syar’u
man qablanâ dalam kitabnya al-Kâfȋ al-
Konsep Syar’u Man Qablanâ
Wâfȋ Fȋ Ushȗl al-Fiqh al-Islâmȋ sebagai
Definisi mengenai syar’u man berikut:
qablanâ tidak ditemukan di dalam kitab-
kitab ushul fikih klasik. Akan tetapi para ‫ما نقل الينا من احكام تلك الشرائع‬
ulama kontemporer merumuskan bahwa
‫الىت انزلت على االنبياء قبل نبينا حممد عليه‬
yang dimaksud dengan syar’u man
qablanâ sebagaimana dikemukakan oleh ‫ والىت كانوا مكلفني بالعمل‬.‫الصالة والسالم‬
Abd al-Karim Zaidan sebagai berikut:
‫ وما بينه‬,‫هبا على اهنا شرع اهلل عز وجل هلم‬
‫االحكام اليت شرعها اهلل تعايل ملن سبقنا من‬ ‫هلم رسلهم عليهم الصالة والسالم‬.9
‫ وانزهلا على االنبيائه ورسله لتبليغها‬,‫االمم‬ “Apa yang yang berlaku bagi kita
‫لتلك االمم‬.7 dari hukum-hukum syariat yang
diturunkan kepada para nabi
“Hukum-hukum yang sebelum Nabi Muhammad dan
disyariatkan Allah Swt bagi umat- mereka menjadi subjek hukum
umat terdahulu yang diturunkan atas syariat tersebut
syariat tersebut kepada para nabi bahwasannya itu adalah syariat
dan rasul_nya untuk disampaikan Allah Swt bagi mereka yang
kepada umatnya”. syariat tersebut hadir melalui
Senada dengan definisi di atas, perantara para Rasul mereka”
Zaki al-Din Sya’ban memberikan definisi Berdasarkan definisi para ulama
syar’u man qablanâ sebagai berikut: kontemporer di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksus dengan syar’u
‫االحكام اليت شرعها اهلل تعايل لالمم‬
man qablanâ adalah hukum-hukum yang
‫السابقة بواسطة انبيائه الذي ارسلهم اىل تلك‬ telah disyariatkan untuk umat sebelum
umat Nabi Muhammad Saw yang dibawa
‫ كسيدنا ابراهم وموسى وعيسى عليهم‬,‫االمم‬ oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan
menjadi beban hukum untuk diikuti oleh
‫الصالة والسالم‬.8 umat sebalum adanya syariat Nabi
Muhammad Saw.
“Hukum-hukum yang Allah Swt
syariatkan bagi umat-umat Metode
terdahulu melalui perantara nabi- Pendekatan yang digunakan
nabi-Nya yang ia utus kepada dalam penelitian ini adalah pendekatan
umat tersebut, seperti Ibrahim, yuridis normatif. Pendekatan yuridis
Musa, Isa ‘Alaihim al-Shalatu wa normatif dilakukan melalui pendekatan
Salam”. filosofis, sistematis, dan analisis kritis.

7
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajȋz Fȋ Ushȗ al-Fiqh, (Beirut: Muasasah al-Risâsalah, 2015), h. 247.
8
` Zaki al-Din Sya’ban, Ushȗl al-Fiqh al-Islâmȋ, (Istambul: Dâr Tahqȋq al-Kitâb, 2019), h. 215.
9
Musthafa Sa’id al-Khin, al-Kâfȋ al-Wâfȋ Fȋ Ushȗl al-Fiqh al-Islâmȋ, (Beirut: Muasasah al-
Risâlah, 2000), h. 233.
Oleh karena penelitian ini berdasarkan telah disyariatkan pada umat terdahulu
pendekatan yuridis normatif, maka melalui para Rasul, kemudian nash
teknis pengumpulan data dalam tersebut diwajibkan kepada kita
penelitian ini melalui studi pustaka, yaitu sebagaimana diwajibkan kepada
menelaah serta mengkaji bahan-bahan mereka, maka tidak diragukan lagi
primer berupa buku-buku mengenai bahwa syariat tersebut ditunjukkan
ushul fikih, khususnya yang berkiatan kepada kita. Dengan kata lain, wajib
dengan konsep syar’u man qablanâ. untuk diikuti, sebagaima firman Allah
Adapun bahan sekunder dalam Swt mengenai kewajiban puasa dalam al-
penelitian ini adalah kitab-kitab fikih Quran surah al-Baqarah ayat 183.
yang relevan dengan fokus penelitian. Sebaliknya, apabila dikisahkan suatu
Penelitian ini bersifat deskriptif karena syariah yang telah ditetapkan kepada
penelitian ini dilakukan untuk mencari orang-orang terdahulu, namun hukum
data seteliti mungkin dan lengkap tersebut telah dihapus untuk kita, para
tentang karakteristik suatu keadaan atau ulama sepakat bahwa hukum tersebut
gejala-gejala yang dapat membantu tidak disyariatkan kepada kita, seperti
memperkuat teori lama yaitu tentang syariat Nabi Musa A.S bahwa seseorang
syar’u man qablanâ untuk membangun yang telah berbuat dosa tidak akan
teori baru implementasinya dalam diampuni dosanya, kecuali dengan
bidang mu’âmalah mâliyyah. membunuh didinya. Demikian pula
apabila terdapat najis yang nemempel
Konsep Syar’u Man Qablanâ
pada tubuh, tidak akan suci kecuali
Pada dasarnya syariat syariat dengan memotong anggota tubuh
samawi adalah satu. Hal ini sesuai badan tersebut, dan hukum-hukum
dengan firman Allah SWT: sebagainya.10

‫َش َر َع َلُك ْم ِم َن الِّديِن َم ا َو َّص ى ِبِه ُنوًح ا َو اَّلِذي‬ Di dalam menanggapi


berlakunya syar’u man qablanâ, ada
‫َأْو َح ْيَنا ِإَلْيَك َو َم ا َو َّص ْيَنا ِبِه ِإْبَر اِه يَم َو ُموَس ى‬ beberapa hal yang disepakati ulama:
pertama, bahwa hukum-hukum syara’
‫ِعي ى َأْن َأِقي وا الِّدي اَل َفَّرُقوا ِفيِه‬
‫َن َو َتَت‬ ‫ُم‬ ‫َو َس‬ yang ditetapkan bagi umat sebelum kita
tidaklah dianggap ada tanpa melalui
Dia telah mensyariatkan kamu
sumber-sumber hukum Islam, karena di
tentang agama apa yang telah
kalangan umat Islam, nilai sesuatu
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
hukum didasarkan kepada sumber-
apa yang telah Kami wahyukan
sumber hukum Islam; kedua, segala
kepadamu dan apa yang telah
sesuatu hukum yang dihapuskan dengan
Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
syariah Islamiyyah, otomatis hukum
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
tersebut tidak berlaku bagi kita. Dengan
agama dan janganlah kamu
demikian, hukum-hukum yang
berpecah belah tentangnya...(Q.S
dikhususkan untuk sesuatu umat
Asy-Syura: 13).
tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam
Apabila al-Quran dan sunah yang seperti keharaman beberapa
shahȋh mengisahkan suatu hukum yang makanan/daging bagi Bani Israil; ketiga,

10
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 143-144.
segala yang ditetapkan dengan nash- dengan tawâtyr dan ini tidak disetujui
nash yang dihargai oleh Islam seperti bagi Ahli Kitab, sehingga terbataslah
juga ditetapkan oleh agama-agama pembicaraannya dalam hal yang
samawi yang telah lalu, tetap berlaku diceritakan kepada kita. Menurut al-
bagi umat Islam, karena ketetapan nash Khudari yang terpilih adalah bahwa kita
Islam itu tadi, bukan karena ditetapkan- beribadah dengannya, karena ulama
Nya bagi ymat yang telalh lalu. sepakat atas penetapan dalil dengan
Sedangkan hukum umat sebelum kita firman Allah Swt:
yang tidak disepakati oleh ulama
‫ِبالَّنْف ِس‬ ‫ِه ِف َّن‬
tentang nilai atau kekuatannya adalag ‫َو َك َتْبَنا َعَلْي ْم يَه ا َأ الَّنْف َس‬
hukum-hukum samawi yang telah lalu
Dan kami telah tetapkan
yang tidak ada dalil yang
terhadap mereka di dalamnya (At
menetapkannya, atau menolaknya.11
Taurat) bahwasanya jiwa
Menurut Muhammad al-Khudari (dibalas) dengan jiwa,...(Q.S al-
12
Beik, berkaitan dengan syar’u man Maidah: 45).
qablanâ terdapat ketentuan hukum yang
Ayat di atas menunjukkan bahwa
dibatalkan oleh syariat kita (Islam) dan
wajibnya penerapan syariat qishâsh
ini tidak menimbulkan pertengkaran
dalam agama kita dan kalau kita tidak
bahwa Nabi Muhammad Saw tidak
beribadah dengannya (menjalankan-nya)
beribadah denganya. Terdapat pula
niscaya tidak sah istidlal-nya.
diantaranya ada yang tidak disebut
dalam nash mengenai pembatalannya Syariat atau hukum yang berlaku
dan dalam hal ini terdapat dua bagian, dalam agama samawi yang diturunkan
pertama, bagian yang ditetapkan oleh Allah kepada para Nabi sebelum Nabi
syariat dna ini tidak ada persoalan di Muhammad Saw sering pula diceritakan
dalamnya bahwa kita beribadah di dalam al-Quran dan sunah kepada
dengannya, karena ia termasuk dalam umat Islam. Bentuk cerita tersebut
syariah Islam; dan kedua, bagian yang dibedakan dalam 3 (tiga) bentuk yang
tidak ditetapkan, di antaranya ada yang masing-masingnya mempunyai
diceritakan oleh Allah Swt kepada kita di konsekuensi yang berbeda bagi umat
dalam kitab-Nya atau melalui Nabi-Nya Islam, yaitu sebagai berikut:13 pertama,
tanpa ada nash bahwa ia diwajibkan atas terdapat petunjuk tentang nasakh-nya.
kita sebagaimana diwajibkan atas Para ulama sepakat bahwa tentang tidak
mereka. Kemudian diantaranya ada berlakunya lagi sebagai syariat bagi
bagian yang tidak disebutkan sama kaum muslimin. Sebagai contoh adalah
sekali. firman Allah Swt dalam surah al-An’am
ayat 145 dan 146 sebagai berikut:
Adapun yang tidak disebut, maka
tidak ada persoalan bahwa kita juga
tidak beribadah dengannya, karena tidak
ada jalan untuk mengetahuinya kecuali
11
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000), h. 204-205.
12
Muhammad al-Khudari Beik, Ushȗl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Hadȋts, 2003), h. 249.
13
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), h. 69-72.
‫ُقْل اَل َأِج ُد يِف َم ا ُأوِح َي ِإَّيَل َحُمَّر ًم ا‬ kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging
‫َعَلى َطاِعٍم َيْطَعُم ُه ِإاَّل َأْن َيُك وَن َم ْيَتًة َأْو َدًم ا‬ babi, karena sesungguhnya
semua itu kotor atau binatang
‫َمْس ُفوًح ا َأْو ْحَلَم ِخ ْنِز يٍر َفِإَّنُه ِر ْج ٌس َأْو ِفْس ًق ا‬ yang disembelih atas nama selain
Allah. Barang siapa yang dalam
‫ُأِه َّل ِلَغِرْي الَّلِه ِبِه َف ِن اْض ُطَّر َغ اٍغ اَل اٍد‬
‫ْيَر َب َو َع‬ ‫َم‬ keadaan terpaksa sedang dia

)145( ‫َفِإَّن َر َّبَك َغُفوٌر َر ِح يٌم‬ tidak menginginkannya dan tidak


(pula) melampaui batas, maka
Katakanlah: "Tiadalah aku sesungguhnya Tuhanmu Maha
peroleh dalam wahyu yang Pengampun lagi Maha
diwahyukan kepadaku, sesuatu Penyayang." (Q.S al-An’am: 146).
yang diharamkan bagi orang yang Pada ayat 145 surah al-An’am di
hendak memakannya, kecuali atas menerangkan segala makanan yang
kalau makanan itu bangkai, atau diharamkan dalam syariat Islam
darah yang mengalir atau daging sedangkan pada ayat 146 apa yang
babi, karena sesungguhnya diharamkan atas orang Yahudi saja
semua itu kotor atau binatang memakan sebagian yang baik-baik
yang disembelih atas nama selain sebagai siksaan dan cambuk terhadap
Allah. Barang siapa yang dalam diri mereka yang tenggelam dalam
keadaan terpaksa sedang dia syahwat sehingga sampai tingkat
tidak menginginkannya dan tidak kezaliman, sebagai sanksi terhadap
(pula) melampaui batas, maka pembunuhan mereka atas para Nabi,
sesungguhnya Tuhanmu Maha dan berbagai kesalahan yang mereka
Pengampun lagi Maha lakukan.
Penyayang." (Q.S al-An’am: 145). Contoh hadis yang
‫َو َعَلى اَّلِذ يَن َه اُدوا َح َّر ْم َنا ُك َّل ِذ ي‬ meriwayatkan mengenai nasakh-nya
hukum/syariat umat terdahulu antara
‫ِه‬ ‫ِم‬
‫ُظُفٍر َو َن اْلَبَق ِر َو اْلَغَنِم َح َّر ْم َنا َعَلْي ْم‬ lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari dan Muslim dari Jabir
‫ُش ُح وَمُه َم ا ِإاَّل َم ا َمَحَلْت ُظُه وُر َمُها َأِو‬ Ibn Abdullah:
‫ َقاَل وُل الَّلِه‬: ‫ َقاَل‬،‫ِد الَّلِه‬
‫ِل‬
‫اَحْلَو اَيا َأْو َم ا اْخ َتَلَط ِبَعْظٍم َذ َك‬ ‫َرُس‬ ‫اِبُر ْبُن َعْب‬
‫ِط‬ ‫ِه‬
( ‫َجَز ْيَناُه ْم ِبَبْغِيِه ْم َو ِإَّنا َلَص اِد ُقوَن‬ ‫ " ُأْع يُت ْمَخًس ا ْمَل‬:‫َص َّلى اُهلل َعَلْي َو َس َّلَم‬
)146 ‫(رواه‬...‫ُيْع َطُه َّن َأَح ٌد ِم َن اَألْنِبَياِء َقْبِلي‬
Katakanlah: "Tiadalah aku )‫البخاري ومسلم‬14
peroleh dalam wahyu yang
“Aku diberikan hak 1/5 harta
diwahyukan kepadaku, sesuatu
rampasan perang, yang tidak
yang diharamkan bagi orang yang
diberikan kepada Nabi
hendak memakannya, kecuali
sebelumku”.
14
Muhammad Ibn Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahȋh al-Bukhârȋ, (Kairo: Dâr al-Hadȋts,
2008), j 1, h. 222. Lihat juga, Muslim Ibn al-Hajaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahȋh
Muslim, (Kairo: Dâr al-Hadȋts, 1997), j. 1, h. 383.
،‫َو ُج ِعَلْت يِل اَألْر ُض َمْس ِج ًد ا َو َطُه وًر ا‬ ‫ ا وَل اِهلل‬:‫ َقاُلوا‬." ‫" ِبُك ِّل َش ٍة َنٌة‬
‫َي َرُس‬ ‫ْع َر َح َس‬
‫َفَأَمُّيا َرُج ٍل ِم ْن ُأَّم يِت َأْد َر َك ْتُه الَّص َالُة‬ ‫ " ِبُك ِّل َش ٍة ِم الُّص وِف‬: ‫َفالُّص وُف ؟ َقاَل‬
‫ْع َر َن‬
‫ َو ُأِح َّلْت يِل ا َغاُمِن َو ْمَل ِحَت َّل‬،‫َفْلُيَص ِّل‬ )‫َح َس َنٌة " (رواه امحد‬16
‫َمل‬
)‫(رواه البخاري‬...‫َأِلَح ٍد َقْبِلي‬15 dari Zaid bin Arqam ia bekata;
Saya berkata atau mereka
“Budi dijadikan masjid dan suci bertanya, "Wahai Rasulullah,
bagiku. Maka dimana saja untuk apakah hewan kurban ini?"
seseorang dari umatku yang beliau menjawab: "Yaitu sunnah
memasuki waktu sholeh, maka bapak kalian Ibrahim." Mereka
hendaklah ia shalat. Hewan- bertanya lagi, "Lalu kebaikan
hewan ternak dihalalkan bagiku, apakah yang akan kami peroleh
dan tidak dihalalkan bagi darinya?" beliau menjawab:
seseorang sebelumku”. "Setiap helai dari bulunya adalah
Hadis-hadis ini menunjukkan kebaikan." Mereka bertanya lagi,
bahwa hukum dalam syariat umat "Bagaimana dengan domba?"
terdahulu tidak halalnya hewan ternak, beliau menjawab: "Setiap helai
tidak sahnya shalat ditempat yang tidak bulu domba itu adalah bernilai
ditentukan untuk itu, sudah di-nasakh- satu kebaikan."
kan dalam syariat Islam.
Ketiga, Tidak terdapat petunjuk
Kedua, Terdapat petunjuk
tentang diakui dan di-nasakh-nya, maka
tentang diakui dan lestarinya, maka para
dalam hal ini ulama berbeda pendapat
ulama tidak berbeda pendapat tentang
tentang apakah masih berlaku atau tidak
diakuinya dan dituntut mengamalkan
lagi. Dalam hal ini terdapat 2 pendapat
oleh umat Islam. Contohnya seperti
sebagai berikut:17
kewajiban puasa sebagaimana termatub
dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 1. Sebagian ulama di antaranya
183. Maka hukum berpuasa diwajibkan mayoritas ulama dari kalangan
atas kaum muslimin sebagaimana Hanafiyyah, Malikiyyah dan
diwajibkan atas umat terdahulu. Syafi’iyyah berpendapat bahwa
Demikian pula hadis Nabi yang syariat itu diamalkan oleh umat
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Zaid Islam, dengan alasan:
Ibn Arqam mengenai ibadah berkurban a. Semua syariah samawiyyah
sebagai berikut: itu adalah satu. Allah berfiran
‫ِد‬
‫ َأْو‬: ‫ ُقْلُت‬: ‫َعْن َز ْي ْبِن َأْر َقَم َقاَل‬
dalam surah Asy-Syura ayat
13 sebagaimana di atas. Ayat
" : ‫ َيا َرُس وَل اِهلل َم ا َه ِذِه اَأْلَض اِح ُّي ؟ َقاَل‬:‫َقاُلوا‬ ini menetapkan mengenai
kesatuan agama/syariat ini
: ‫ َم ا َلَنا ِم ْنَه ا؟ َقاَل‬:‫ َقاُلوا‬." ‫ُس َّنُة َأِبيُك ْم ِإْبَر اِه يَم‬ dan kesatuan hukumnya.

15
Ibid.
16
Abu Abdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani, Musnad
al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Muasasah al-Risâlah, 2001), j. 32, h. 34.
17
Muhammad Musthafa al-Zuhaili, al-Wajȋz Fȋ Ushȗl al-Fiqh al-Islâmȋ, (Damaskus: Dâr al-
Khair, 2006), j. 1, h. 275.
Maka wajiblah beramal diputuskan perkara orang-
menurut hukum-hukum dari orang Yahudi oleh nabi-nabi
syariat terdahulu, kecuali yang menyerah diri kepada
terhadap yang terdapat dalil Allah, oleh orang-orang alim
yang menunjukkan bahwa ia mereka dan pendeta-pendeta
merupakan syariat temporer mereka, disebabkan mereka
bagi umat terdahulu, atau di- diperintahkan memelihara
nasakh dalam syariat Islam. kitab-kitab Allah dan mereka
Hal ini diperkuat oleh firman menjadi saksi terhadapnya….
Allah Swt yang diarahkan (Q.S al-Maidah: 44).
kepada Nabi-Nya dalam al- Diantara petunjuk ayat ini
Quran, yaitu sebagai berikut: adalah bahwa hukum-hukum
Taurat itu mengandung
...‫ُأوَلِئَك اَّلِذ يَن َه َد ى الَّلُه َفِبُه َد اُه ُم اْقَتِد ْه‬ petunjuk, cahaya dan
Mereka itulah orang-orang rahmat. Maka mana di
yang telah diberi petunjuk antaranya yang tidak di-
oleh Allah, maka ikutilah nasakh, maka masih wajib
petunjuk mereka....(Q.S al- diamalkan.
An’am: 90). b. Bahwa Rasulullah Saw sering
menjadikan rujukan kepada
‫َو َأْنَز ْلَنا ِإَلْيَك اْلِكَتاَب ِباَحْلِّق‬ Taurat untuk memutuskan
‫ِّد ًقا ِل ا َنْي َد ْيِه ِم اْلِكَتاِب‬ perkara diantaranya adalah
‫ُمَص َم َب َي َن‬ berkaitan dengan hukum
Dan Kami telah turunkan perzinaan muhshan orang
kepadamu Al Qur'an dengan Yahudi yang diajukan
membawa kebenaran, kepadanya.
membenarkan apa yang Sehubungan dengan
sebelumnya, yaitu kitab-kitab pendapat tersebut, ulama
(yang diturunkan Hanafiyyah memberlakukan
sebelumnya)...(Q.S al- hukum qishâsh yang
Maidah: 48). seimbang sebagaimana
‫ِف‬ ‫ِإ‬
‫َّنا َأْنَز ْلَنا الَّتْو َر اَة يَه ا ُه ًد ى َو ُنوٌر‬
tersebut dalam surah al-
Maidah ayat 45 bagi umat
‫ْحَيُك ُم َهِبا الَّنِبُّيوَن اَّلِذ يَن َأْس َلُم وا‬ Islam, meskipun ayat
tersebut diarahkan kepada
‫ِن‬ ‫ِل ِذ‬
‫َّل يَن َه اُدوا َو الَّر َّبا ُّيوَن َو اَأْلْحَباُر‬ orang Yahudi. Berdasarkan
‫َمِبا ا ُت ِف ُظوا ِم ِكَتاِب الَّلِه‬ pendapat ini orang muslim
‫ْن‬ ‫ْس ْح‬ yang membunuh kafir
‫ِه‬
‫َو َك اُنوا َعَلْي ُش َه َد اَء‬
dzimmi (yang mendapatkan
perlidungan) dikenai qishâsh
Sesungguhnya Kami telah sebagaimana orang kafir
menurunkan Kitab Taurat di dzimmi membunuh orang
dalamnya (ada) petunjuk dan Islam. Sedangkan kalangan
cahaya (yang menerangi), ulama Syafi’iyyah yang tidak
yang dengan Kitab itu memberlakukan syariat umat
Yahudi itu untuk umat Islam ‫ِمِه‬ ‫ِإ‬
memahami ayat tersebut ‫َو َك اَن الَّنُّيِب ُيْبَعُث ىَل َقْو‬
bahwa tidak perlu ada ‫ َو ُبِعْثُت ِإىَل الَّناِس َعاَّم ًة‬،‫َخ اَّص ًة‬
keseimbangan dalam
pelaksanaan qishâsh antara )‫(رواه ابن ايب شيبة‬19
muslim dan non-muslim “Nabi-nabi terdahulu diutus
sebagaimana yang bagi kaumnya saja,
diberlakukan terhadap orang sedangkan saya (Muhammad)
Yahudi. Oleh karena itu, diutus kepada manusia
apabila orang muslim seluruhnya”
membunuh kafir dzimm, Jadi, apabila tidak terdapat
maka tidak berlaku hukum dalil khusus atas tetap
qishâsh. Tetapi apabola kafir berlakunya syariat terdahulu
dzimmi yang membuhuh itu, tidaklah wajib diamalkan
orang Islam, maka kaum muslimin. Hal ini
18
diberlakukan qishâsh. sebagaimana firman Allah
2. Menurut para ulama Mu’tazilah, Swt sebagai berikut:
Syi’ah sebagian kalangan
Syafi’iyah dan salah satu ...‫َفاْح ُك ْم َبْيَنُه ْم َمِبا َأْنَز َل الَّلُه‬
‫ِم‬ ‫ِب‬
‫َو اَل َتَّت ْع َأْه َو اَءُه ْم َعَّم ا َج اَءَك َن‬
pendapat Imam Ahmad, syariat
sebelum Islam, yaitu tidak ada
petunjuk mengenai nasakh atau ‫اَحْلِّق ِلُك ٍّل َجَعْلَنا ِم ْنُك ْم ِش ْر َعًة‬
tetap berlakunya, tidak menjadi ‫َو ِم ْنَه اًج ا‬...
syariat bagi kaum muslimin dan
...maka putuskanlah perkara
tidak wajib diamalkan. Alasan
mereka menurut apa yang
mereka adalah sebagai berikut:
Allah turunkan dan janganlah
a. Bahwa syariat terdahulu itu
kamu mengikuti hawa nafsu
adalah temporer selama
mereka dengan
masa itu, terbatas, dan
meninggalkan kebenaran
khusus bagi umat terdahulu,
yang telah datang kepadamu.
sedangkan syariat Islam
Untuk tiap-tiap umat di
datang untuk semua umat
antara kamu, Kami berikan
serta me-nasakh)kan syariat
aturan dan jalan yang
lainnya, sebagaimana sabda
terang....(Q.S al-Maidah: 48).
Nabi Muhammad Saw yang
Ayat tersebut menunjukkan
diriwayatkan oleh Imam Ibn
bahwa setiap umat
Abi Syaibah dalam Mushanaf-
mempunyai syariat
nya sebagai beirkut:
tersendiri. Itu berarti bahwa
syariat nabi terdahulu tidak
berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad Saw.

18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), j. 2, h. 421.
19
Abu Bakar Ibn Abi Syaibah, al-Kitâb al-Mushanaf Fȋ al-Ahâdȋts wa al-Âtsar, (Riyadh:
Maktabah al-Rusyd, 1409 H), j. 6, h. 303.
b. Ketika Mu’adz Ibn Jabal ke Yaman beliau bersabda:
diutus untuk menjadi hakim "Bagaimana engkau
di Yaman, Rasulullah Saw memberikan keputusan
bertanya kepadanya apabila ada sebuah peradilan
sebagaimana hadis yang yang dihadapkan
diriwayatkan oleh Abu kepadamu?" Mu'adz
Dawud sebagai berikut: menjawab, "Saya akan
memutuskan menggunakan
‫ َعْن َأيِب‬،‫ َعْن ُش ْع َبَة‬، ‫َح َّد َثَنا َح ْف ُص ْبُن ُعَمَر‬ Kitab Allah." Beliau bersabda:
‫ ِن ا اِر ِث ِن ِر و ا ِن َأِخ ي اْل ِغ ِة‬، ‫ٍن‬ "Seandainya engkau tidak
‫ُم َري‬ ‫َعْو َع َحْل ْب َعْم ْب‬ mendapatkan dalam Kitab
‫ِم‬ ‫ِم‬
‫ ْن‬، ‫ َعْن ُأَناٍس ْن َأْه ِل ْمِحٍص‬،‫ْبِن ُش ْع َبَة‬ Allah?" Mu'adz menjawab,
‫ َأَّن َرُس وَل الَّلِه َص َّلى‬، ‫َأْص َح اِب ُمَعاِذ ْبِن َجَبٍل‬ "Saya akan kembali kepada
sunnah Rasulullah shallallahu
‫اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم َلَّم ا َأَر اَد َأْن َيْبَعَث ُمَعاًذا ِإىَل‬ 'alaihi wasallam." Beliau

‫ «َك ْيَف َتْق ِض ي ِإَذا َعَر َض َلَك‬: ‫اْلَيَم ِن َقاَل‬


bersabda lagi: "Seandainya
engkau tidak mendapatkan
‫ «َفِإْن‬: ‫ َقاَل‬،‫ َأْقِض ي ِبِكَتاِب الَّلِه‬: ‫ َقاَل‬،»‫َقَض اٌء؟‬ dalam Sunnah Rasulullah
‫ َفِب َّنِة وِل‬: ‫ َقاَل‬،»‫ِجَت ْد يِف ِكَتاِب الَّلِه؟‬ shallallahu 'alaihi wasallam
‫ُس َرُس‬ ‫ْمَل‬ serta dalam Kitab Allah?"
‫ «َفِإْن ْمَل ِجَت ْد‬: ‫ َقاَل‬،‫الَّلِه َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم‬ Mu'adz menjawab, "Saya
akan berijtihad menggunakan
‫ َو اَل‬، ‫يِف ُس َّنِة َرُس وِل الَّلِه َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم‬ pendapat saya, dan saya
‫ َو اَل آُلو‬،‫ َأْج َتِه ُد َر ْأِيي‬: ‫يِف ِكَتاِب الَّلِه؟» َقاَل‬ tidak akan mengurangi."
Kemudian Rasulullah
‫ِه َّل‬ ‫َّلِه َّل‬
‫َفَض َر َب َرُس وُل ال َص ى اُهلل َعَلْي َو َس َم‬ shallallahu 'alaihi wasallam
، ‫ «اَحْلْم ُد ِلَّلِه اَّلِذ ي َو َّفَق َرُس وَل‬: ‫ َو َقاَل‬،‫َص ْد َر ُه‬ menepuk dadanya dan
berkata: "Segala puji bagi
‫ (رواه ايب‬،»‫َرُس وِل الَّلِه ِلَم ا ُيْر ِض ي َرُس وَل الَّلِه‬ Allah yang telah memberikan
20 petunjuk kepada utusan
)‫داود‬
Rasulullah untuk melakukan
Telah menceritakan kepada apa yang membuat senang
kami Hafsh bin Umar dari Rasulullah.
Syu'bah dari Abu 'Aun dari Al Dalam dialog tersebut, tidak
Harits bin 'Amru anak terdapat petunjuk Rasulullah
saudara Al Mughirah bin Saw untuk merujuk kepada
Syu'bah, dari beberapa orang syariat-syariat nabi-nabi
penduduk Himsh yang terdahulu. Seandainya
merupakan sebagian dari syariat nabi-nabi terdahulu
sahabat Mu'adz bin Jabal. dapat dijadikan rujukan oleh
Bahwa Rasulullah shallallahu Mu’adz, sudah tentu
'alaihi wasallam ketika akan Rasulullah Saw memberi
mengutus Mu'adz bin Jabal petunjuk untuk itu.
20
Abu Dawud Sulaiman Ibn Al-Asy’ats Ibn Ishaq Ibn Basyir Ibn Syidad Ibn ‘Amr al-Azdi al-
Sijistani, Sunan Abȋ Dâwud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, t.th), j. 3, h. 303.
Menurut Abd al-Wahab Khalaf,21 yang terkandung dalam kisah itu berlaku
pendapat yang râjih (unggul) diantara khusus atau umum. Apabila memang
kedua pendpaat di atas adalah pendapat demikian, maka perbedaan pendapat
pertama, yaitu pendapat yang ulama tersebut seharusnya tidak terjadi.
menyatakan tetap berlaku dan wajib Sebab syariat umat terdahulu, jika ada
diamalkan atas syar’u man qablanâ. dalil yang menerangkan berlaku khusus,
Alasannya adalah syariat Islam hanya tidak bisa dijadikan hujjah dengan
membatalkan hukum yang kebetulan kesepakatan ulama. sedangkan apabila
berbeda dengan syariat Islam. Oleh ada dalil yang menerangkan berlaku
karena itu, segala hukum-hukum syariat umum, maka dapat dijadikan hujjah.
nabi terdahulu yang disebut dalam al-
Hasil dan Pembahasan
Quran tanpa adanya keteasan bahwa
hukum-hukum itu telah di-nasakh Berdasarkan hasil temuan
(dihapus), maka hukum-hukum itu tetap penulis, setidaknya terdapat 5 bentuk
berlaku bagi umat Nabi Muhammad akad dalam kajian mu’âmalah mâliyyah
Saw. Di samping itu, disebutnya hukum- yang merupakan bentuk Implementasi
hukum itu di dalam al-Quran yang dari syariat terdahulu (syar’u man
merupakan petunjuk bagi umat Islam, qablanâ) dalam kegiatan transaksi
menunjukkan berlakunya bagi umat mu’âmalah mâliyyah, yaitu sebagai
Muhammad Saw. berikut:

Menurut Muhammad Abu Akad Ju’âlah


22
Zahrah, persoalan syar’u man qablanâ ju’âlah memiliki keunikan dari
seharusnya tidak menjadi topik yang segi ilmu akad dalam fikih mu’âmalah
berlimplikasi pada perbedaan pendapat mâliyyah. Pada umumnya, ulama
ulama. sebab menurutnya, setiap berpendapat bahwa ju’âlah termasuk
perkara yang ditetapkan oleh Allah dalam domain akad perjanjian,
dalam al-Quran dan disebutkan oleh sebagaimana diatur dalam hukum
hadis sebagai hukum syara’ yang berlaku perjanjian (dikenak juga dengan istilah
khusus untuk sebagian umat masa hukum perikatan), karena ju’âlah
lampau, pastilah didukung oleh adanya mengandung (dapat melahirkan) hak
dalil yang menunjukkan kekhususan itu, dan kewajiban yang lahir karena
atau adanya dalil yang menunjukkan perjanjian.23
tetap berlakunya ketentuan hukum itu
Secara harfiah, kata ju’âlah
yang bersifat universal untuk segala
bermakna janji untuk memberikan
zaman. Lebih lanjut Abu Zahrah
imbalan atau ‘iwadh/jâizah (al-ju’âlah aw
menjelaskan bahwa, berdasarkan hasil
al-wa’ad bi al-jâizah) kepada pihak lain
penelitian terhadap nash-nash al-Quran
apabila berhasil mencapai natȋjah
maupun hadis, ternyata tidak ditemukan
tertentu. Pihak ‘âmil tidak berhak untuk
satu nash-pun yang mengangkat kisah
mendapatkan imbalan dari pihak jâ’il
umat terdahulu tanpa dilengkapi dengan
apabila ia tidak mampu mencapai natȋjah
keterangan bahwa ketentuan hukum
21
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushȗl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Rasyȋd, 2008), h. 84.
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushȗl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabȋ, t.th), h. 294.
23
Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah: Akad Ijarah dan Ju’alah,
(Bandung: Simbiosa, 2017), h. 272.
secara sempurna.24 Dengan kata lain, ju’âlah untuk mengembalikan budak
secara bahasa ju’âlah memiliki makna yang melarikan diri dengan alasan
janji untuk memberikan hadiah (yaitu istihsan, yaitu dibolehkannya
pemberian hadiah, upah, fee atau memberikan hadiah kepada pihak yang
kompensasi yang ditentukan). Ia berhasil mengembalkan budak yang
merupakan akad atau perjanjian yang melarikan diri dengan jangka waktu tiga
didasarkan pada kehendak pribadi. hari atau lebih dengan imbalan (ju’l)
yang berjumlah 40 dirham.
Secara istilah syara’ yang
dimakasud dengan akad ju’âlah adalah Menurut ulama Malikiyyah,
sebagai berikut: Syafi’iyyah dan Hanabilah, mereka
berpendapat bahwa hukum akad ju’âlah
‫ أو‬،‫التزام عوض معلوم على عمل معني‬ adalah diperbolehkan. Hal ini didasarkan
kepada syar’u man qablanâ (syariat umat
‫ عسر علمه‬،‫جمهول‬25 terdahulu) yaitu kisah Nabi Yusuf yang
“Komitemen untuk memberikan tertuang dalam al-Quran surah Yusuf
imbalan yang jelas atas suatu ayat 72 sebagai berikut:
pekerjaan tertentu atau belum ‫ِلِك ِل‬ ‫ِق‬
diketahui yang sulit ilmunya” ‫َقاُلوا َنْف ُد ُصَو اَع اْلَم َو َمْن َج اَء‬
Secara sederhana dapat )72( ‫ِبِه ْمِحُل َبِعٍري َو َأَنا ِبِه َز ِعيٌم‬
dikatakan bahwa ju’âlah adalah sebuah
"Penyeru-penyeru itu berkata:
permintaan dari seseorang agar
"Kami kehilangan piala raja, dan
mengembalikan barang yang hilang
siapa yang dapat
dengan bayaran/upah yang ditentukan.
mengembalikannya akan
Dalam makna yang sederhana ini, akad
memperoleh bahan makanan
ju’âlah hampir mirip dengan pranata
(seberat) beban unta, dan aku
sayembara yang sudah biasa dilakukan di
menjamin terhadapnya". (Q.S
masyarakat.
Yusuf: 72).
Menurut mazhab Hanafiyaah,
Ayat di atas merupakan dalil bagi
akad ju’âlah tidak diperbo;ehkan karena
mayoritas ulama untuk membolehkan
mengandung unsur gharar di dalamnya,
akad ju’âlah. Selain itu, menurut ulama
yakni ketidakjelasan atas pekerjaan dan
Malikiyyah dan Hanabilah, ayat 72 surat
jangka waktu yang ditentukan. Ulama
yusuf di atas merupakan bentuk syar’u
Hanafiyyah menganalogikan dengan
man qablanâ dan hukum tersebut masih
akad ijârah yang mensyaratkan adanya
berlaku seblum ditmukannya dalil yang
kejeasan atas suatu pekerjaan, ujarah
me-nasakh-nya.27
(upah), dan jangka waktu.26 Ulama
Hanafiyyah hanya membolehkan akad Akad Ijârah
24
Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir,
2002), h. 78.
25
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmȋ wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 2012), j. 4,
h. 578.
26
Panji Adam, Fikih Muâmalah Mâliyyah: Konsep, Regulasi dan Implementasi, (Bandung:
Refika Aditama, 2017), h. 352-353.
27
Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fȋhâ: Mashâdir al-Tasyrȋ’ al-Tabi’iyyah
Fȋ al-Fiqh al-Islâmȋ, (Beirut: Dâr al-Qalam, 2013), h. 545.
Ijârah secara etimologis adalah Salah satu landasan yuridis
mashdar dari kata ‫اجر‬RR ‫ي‬-‫ر‬RR ‫( اج‬ajara-ya’jiru), dibolehkannya akad ijârah berdasarkan
yaitu upah yang diberikan sebagai syar’u man qablanâ, yaitu kisan Nabi
kompensasi sebuah pekerjaan. Menurut Musa ‘Alahi Salam beserta dua putri Nabi
M. Rawas Qal’aji, ijârah berasal dari Syu’aib. Hal ini sebagaimana termaktub
kalimat ‫ارة‬RR R‫اج‬-‫اجر‬RR R‫ي‬-‫ر‬RR R‫ اج‬jamaknya ‫ور‬RR R‫ اج‬yang di dalam al-Quran surah al-Qashash ayat
26 sebagai berikut:
berarti ‫ل‬RR‫( اجلزاء على العم‬sesuatu yang engkau
‫ِت ِج ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َقاَلْت ْح َد اَمُها َياَأَب اْس َتْأ ْر ُه َّن َخ ْيَر‬
berikan kepada orang lain berupa upah
dalam pekerjaan).28
)26( ‫َم ِن اْس َتْأَجْر َت اْلَق ِو ُّي اَأْلِم ُني‬
Definisi akad ijârah secara
terminologis syariah sebagaimana Salah seorang dari kedua wanita
dibawakan oleh Umar Abdullah Kamil itu berkata: "Ya bapakku ambillah
adalah: ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), karena sesungguhnya
‫االجارة شرعا عقد يفيد متليك املنافع بعوض‬29 orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita)
“Akad yang mengakibatkan
ialah orang yang kuat lagi dapat
terjadinya perpindahan
dipercaya". (Q.S al-Qashash: 26).
kepemilikan atas suatu manfaat
dengan disertai adanya Orang yang bekerja dalam ayat
imbalan/upah” ini maksudnya adalah bekerja dengan
akad ijârah. Memberikan persewaan atas
Akad ijârah merupakan
jasa yang dimiliki oleh Nabi Musa.
pertukatan harta dengan manfaat.
Menyewakan jasa seseorang untuk
Karena definisi yang demikian maka
melakukan suatu pekerjaaan tertentu
ulama pada umumnya menyebutnya
adalah akad ijârah yang diboleh dalam
dengan jual-beli manfaat (bai’ al-
kegiatan mu’âmalah mâliyyah. Penyewa
manâfi’). Akad ijârah dari segi objeknya
jasa dalam kisah sebagaimana tertuang
dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
dalam suarah al-Qashash ayat 26 di atas
(1) ijârah yang objeknya manfaat atas
adalah ayah dari dua perempuan
suatu barang/benda disebut sewa (al-
tersebut sedangkan yang disewa jasanya
ijârah); dan (2) ijârah yang objeknya jasa
adalah Nabi Musa, sementara
(tenaga atau keahlian mansusia) disebut
pekerjaannya adalah mengembalakan
upah atau buruh atas jasa (al-kirâ).
kambing-kambing milik keluarga
Menurut versi ulama Malikiyyah, sewa
tersebut.31
yang objeknya tenaga/jasa manusia
disebut dengan al-ijârah, sedangkan Dhamân Mâ Tafsadahu al-Dawwâb al-
sewa yang objeknya manfaat suatu Mursalah
benda disebut al-kirâ.30 Implementasi berikutnya
menurut para ulama berdasarkan syar’u
28
Muhammad Rawas Qal’ahji, Mu’jam Lughat al-Fqahâ, Dar al-Nafais, Beirut, 1998, hlm. 28.
29
Umar Abdullah Kamil, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubrâ wa Atsaruhâ Fȋ al-Mu’âmalât al-
Mâliyyah, (Kairo: Universitas al-Azhar, t.th), h. 508.
30
Ahmad Hasan, Nadzariyyah al-Ujȗr Fȋ al-Fiqh al-Islâmȋ: Dirâsah Tahlȋliyyah Mubtakirah li
Fiqh al-Mu’âmalât al-Mâliyyah, (t.t: Dâr Iqra, t.th), h. 13.
31
M. Pudjihardjo, dkk, Ushul Fikih Ekonomi Syariah, (Malang: UB Press, 2021), h. 131.
man qablana dalam bidang mu’âmalah diberikan oleh mereka itu (Q.S al-
mâliyyah adalah kewajiban mengganti Anbiya: 78).
rugi terhadap tanaman atau apa saja
Menurut Musthafa Sa’id al-Khin,
yang telah dirusak oleh hewan ternak
kalimat nafasyat dalam teks ayat 78
milik seseorang. Dalam istilah fikih
surah al-Anbiya di atas bermakna
mu’âmalah mâliyyah konsep ganti rugi
pengrusakan yang terjadi di malam
terhadap tanaman yang dirusak oleh
hari.32 Hukum yang berlaku pada zaman
hewan ternak milik seseorang disebut
Nabi Dawud sebagaimana dikisahkan
dengan “Dhamân Mâ Tafsadahu al-
dalam al-Quran tersebut dijadikan
Dawwâb al-Mursalah”.
sebagai dasar penetapan hukum
Menurut pandangan Imam wajibnya ganti rugi/dhamân terhadap
Malik, Syafi’i dan Ahmad Ibn Hanbal, kerusakan yang dilakukan oleh hewan
kerusakan yang dilakukan oleh hewan ternak milik seseorang yang dilakukan
ternak milik seseorang harus diganti oleh pada malam hari, sebagaimana dalam
pemilik hewan ternak tersebut apabila pandangan Imam Malik di atas.
pengrusakannya itu terjadi di waktu
Akad Kafâlah bi al-Nafs
malam hari, namun apabila
pengrusakannya terjadi di waktu siang, Kafâlah secara bahasa
maka tidak ada kewajiban bagi sebagaimana termaktub dalam kitab-
pemiliknya untuk mengganti rugi. kitab Hanafiyah dan Hanabilah bermakna
Artinya pihak pemilik hewan tersebut al-dham yakni tanggungan, dan menurut
tidak dapat dimintai Syafi’iyah bermakna al-iltizâm. Akad
pertanggungjawaban penggantian. kafâlah memiliki padanan kata
Imam Malik berpandangan demikian diantaranya: (1) al-dhamân, yaitu kata
berasarkan syar’u man qablanâ, yaitu yang digunakan untuk penjaminan yang
kisah Nabi Dawud yang dikisahkan dalam berkiatan dengan harta benda; (2) al-
al-Quran sebagai berikut: hamâlah, yaitu kata yang digunakan
untuk penjaminan yang berkaitan
‫َو َد اُو وَد َو ُس َلْيَم اَن ِإْذ ْحَيُك َم اِن يِف اَحْلْر ِث ِإْذ‬ dengan pembayaran sanksi diyat; (3) al-
‫ِم ِه ِهِد‬ ‫ِم‬ ‫ِف ِه‬ zâ’im, yaitu kata yang digunakan untuk
‫َنَف َشْت ي َغَنُم اْلَق ْو َو ُك َّنا ُحِلْك ْم َش ا يَن‬ penjaminan yang berkaitan dengan harta
)78( dalam jumlah besar; (4) al-kâfil/kafâlah,
yaitu kata yang digunakan untuk
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan penjaminan yang berkiatan dengan jiwa;
Sulaiman, di waktu keduanya dan (5) al-shabir, yaitu kata yang
memberikan keputusan digunakan untuk penjaminan yang bersifat
mengenai tanaman, karena umum.33
tanaman itu dirusak oleh
Adapun definisi secara
kambing-kambing kepunyaan
terminologi syariah, akad kafâlah
kaumnya. Dan adalah Kami
sebagaimana disampaikan oleh ulama
menyaksikan keputusan yang
Hanabilah sebagai berikut:

32
Musthafa Sa’id al-Khin, al-Kâfȋ..., h. 236.
33
Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah: Akad Tabarru’, (Bandung:
Simbiosa, 2017), h. 191.
nama baik dan ketokohan seseorang
‫ألن الضمان ضم ذمة الضامن إىل ذمة‬
atau pemuka masyarakat. Walaupun
‫املضمون عنه يف التزام احلق‬34 bank secara fisik tidak memegang
“Jaminan yang diberikan kepada barang apa pun, tetapi bank berharap
orang yang mempunyai tokoh tersebut dapat mengusahakan
tanggungan dalam memenuhi pembayaran ketika nasabah yang
kewajibannya”. dibiayai mengalami kesulitan.36
Para ulama fikih 4 mazhab
Dalil atau dasar hukum
berbeda dalam istilah penjaminan,
keabsahan akad kafâlah slaah satunya
pertama, ulama Hanafiyyah
kafâlah bi al-nafs berdasarkan al-Quran
menggunakan istilah kafâlah dan
surah Yusuf ayat 72 yang berbunyi:
dibedakan menjadi dua, yaitu kafâlah al-
‫ِلِك ِل‬ ‫ِق‬
‫َقاُلوا َنْف ُد ُصَو اَع اْلَم َو َمْن َج اَء‬
mâl dan kafâlah al-wajh (kafâlah bi al-
nafs); kedua, ulama Malikiyyah
menggunakan istilah al-dhamân dan )72( ‫ِبِه ْمِحُل َبِعٍري َو َأَنا ِبِه َز ِعيٌم‬
dibedakan menjadi dua, yaitu dhamân al-
mâl dan dhamân al-wajh (dhamân al- "Penyeru-penyeru itu berkata:
nafs); ketiga, ulama Syafi’iyyah "Kami kehilangan piala raja, dan
menggunakan istilah kafâlah yang hanya siapa yang dapat
mencakup kafâlah bi al-mâl (tidak mengembalikannya akan
mencakup kafâlah bi al-nafs); dan memperoleh bahan makanan
keempat, ulama Hanabilah (seberat) beban unta, dan aku
menggunakan istilah kafâlah dan menjamin terhadapnya". (Q.S
dhamâan dengan dua penggunaan yang Yusuf: 72).
berbeda, yaitu (1) dhamân digunakan Menurut Ibn ‘Abbas menegaskan
untuk jaminan harta (dhamân al-mâl) dan bahwa yang dimaksu dengan kata al-
kafâlah digunakan untuk jaminan za’im pada surah Yusuf ayat 72 di atas
kesanggupan menghadirkan seseorang maksdnya adalah al-kâfil. Menurut ulama
(kafâlah bi al-nafs) untuk keperluan Hanabilah sebagaimana dikutip oleh
proses pengadilan/persidangan.35 Musthafa Dib al-Bugha, bahwa ayat 72
Salah satu bentuk implementasi surah Yusuf tersebut berkaitan dengan
syar’u man qablanâ adalah akad kafâlah konsep syar’u man qablanâ mengenai
bi al-nasf. Kafâlah bi nafs merupakan kebolehan akad kafâlah bi al-nafs.
akad memberikan jaminan atas (personal
guarantee). Sebagai contoh, dalam
Qismah Muhaya’ah
praktik perbankan untuk bentuk kafâlah
bi nafs adalah seorang nasabah yang Akad qismah muhaya’ah lahir
mendapat pembiayaan dengan jaminan untuk mengakhiri tergabungnya
kepemilikan banyak pihak atas suatu
34
Abd al-Rahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad Abu Muhammad al-Din al-Maqdisi, al-‘Uddah
Syarh al-‘Umdah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 230.
35
‘Ala al-Din Za’tari, Fiqh al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Muqâran: Shiyâghah Jadȋdah wa
Amtsilah Mu’âshirah, (Damaskus: Dâr Al-‘Ashmâ, 2010), h. 495.
36
Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 124-125.
barang dan/atau aset, baik karena upaya syar’u man qablanâ, hal ini didasarkan
bersangkutan (misalnya akad syirkah) atas firman Allah sebagai berikut:
maupun karena sebab alamiah (misalnya
harta peninggalan [al-mauruts] karena ‫َو َنِّبْئُه ْم َأَّن اْلَم اَء ِقْسَم ٌة َبْيَنُه ْم ُك ُّل‬
)28( ‫ِش ْر ٍب ْحُمَتَض ٌر‬
meninggalnya seseorang). Dengan
qismah, kepemilikan masing-masing
pihak menjadi jelas dan terpisah dari Dan beritakanlah kepada mereka
entisas syirkah sebelumnya.37 bahwa sesungguhnya air itu
Kata muhaya’ah berasal dari kata terbagi antara mereka (dengan
al-hai’ah yang secara harfiah berarti unta betina itu); tiap-tiap giliran
keadaan nyata. Keadaan nyata yang minum dihadiri (oleh yang punya
dimaksud adalah mitra-mitra giliran). (Q.S al-Qamar: 28).
menggunakan barang yang sama Serta firman Allah sebagai
dengan bentuk penggunaan yang sama. berikut:
Adapun pengertian akad atau perjanjian
‫ِش‬ ‫ِش‬ ‫ِذِه‬
muhaya’ah adalah sebagai berikut:38
‫َقاَل َه َناَقٌة َهَلا ْر ٌب َو َلُك ْم ْر ُب‬
‫ هي عبارة عن قسمة املنافع‬:‫واملهايأة فقهًا‬ )155( ‫َيْو ٍم َم ْع ُلوٍم‬
“Perjanjian tentang pembagian “shaleh menjawab: "Ini seekor
manfaat” unta betina, ia mempunyai giliran
untuk mendapatkan air, dan
Definisi lain menurut ulama
kamu mempunyai giliran pula
Malikiyyah menyatakan bahwa yang
untuk mendapatkan air di hari
dimaksud dengan muhaya’ah adalah:
yang tertentu” (Q.S al-Syu’ara:
‫بأهنا اختصاص كل شريك عن شريكه يف‬ 155).
Konsep qismah muhaya’ah
‫ مبنفعة‬،‫ أو متعدد كدارين‬،‫شيء متحد كدار‬
merupakan implementasi dari syar’u
‫ وبناء‬.‫شيء متحد أو متعدد يف زمن معلوم‬ man qablanâ yaitu syariat nabi Sholeh
dan tetap berlaku hukum tersebut
‫ إذ به يعرف قدر‬،‫ تعني الزمن شرط‬:‫عليه‬ sebelum ditemukan adanya dalil yang
.‫ وإال فسدت املهايأة‬،‫االنتفاع‬ men-naskah-nya.

“Perjanjian tentang
pengkhususan bagi tiap-tiap Simpulan
mitra atas kemanfaatan sebuah
Syar’u man qablanâ merupakan
atau terhadap barang yang lebih
salah stau dalil hukum yang
dari satu, seperti dua rumah
diperselisihkan mengenai keabsahannya
secara terpisah dan bergantian”.
sebagai metode ijtihad. Akan tetapi
Akad qismah muhaya’ah mayoritas ulama memandang bahwa
merupakan bentuk implementasi dari syariat umat terdahulu/syar’u man
qablanâ dapat dijadikan hujjah dalam
37
‘Ali Haidar, Durar al-Hukkâm Syarh Majallat al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1991), j. 10, h. 176.
38
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmȋ..., h. 4776.
menetapan hukum. Konsep syariat umat Sunan Abȋ Dâwud, Beirut: al-
terdahulu/syar’u man qablanâ Maktabah al-‘Ashriyyah, t.th.
terimplementasikan dalam bidang
Ahmad Hasan, Nadzariyyah al-Ujȗr Fȋ al-
hukum ekonomi syariah (mu’âmalah
Fiqh al-Islâmȋ: Dirâsah
mâliyyah) diantaranya adalah: (1) akad Tahlȋliyyah Mubtakirah li Fiqh
ju’âlah; (2) akad ijârah; (3) Dhamân Mâ al-Mu’âmalât al-Mâliyyah, t.t:
Tafsadahu al-Dawwâb al-Mursalah; (4) Dâr Iqra, t.th.
akad kafâlah bi al-wajh (bi al-nafs) dan (5)
akad qismah muhaya’ah. ‘Ala al-Din Za’tari, Fiqh al-Mu’âmalât al-
Mâliyyah al-Muqâran:
Daftar Pustaka Shiyâghah Jadȋdah wa
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Amtsilah Mu’âshirah,
Metodologi Hukum Islam, Damaskus: Dâr Al-‘Ashmâ,
Jakarta: PT RajaGrafindo 2010.
Persada, 2000. ‘Ali Haidar, Durar al-Hukkâm Syarh
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajȋz Fȋ Ushȗ al- Majallat al-Ahkâm, Beirut:
Fiqh, Beirut: Muasasah al- Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Risâsalah, 2015. 1991.

Abd al-Rahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:
Abu Muhammad al-Din al- Kencana Prenada Media
Maqdisi, al-‘Uddah Syarh Group, 2011.
al-‘Umdah, Beirut: Dar al- Imam Yazid, Analisis Teori Syar’u Man
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005. Qablana, Al Mashlahah
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushȗl al-Fiqh, Jurnal Hukum Dan Pranata
Kairo: Dâr al-Rasyȋd, 2008. Sosial Islam, Vol 2, No 04,
2014.
Abdul Helim, Memposisikan Kembali
Imam Yazid, Tafsir Ayat Ahkam Tentang
Syar’u Man Qablana Sebagai
Istinbat Hukum Islam, Syar’u Man Qablana Dan
Kehujahannya Sebagai Dalil
HIMMAH Vol. Vll No.20
Hukum, Al-Usrah: Jurnal Al
September - Desember
Ahwal As Syakhsiyah, Vol. 5,
2006.
No. 1, 2017.
Abu Abdullah Ahmad Ibn Muhammad
Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fikih
Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad
Mu’amalah Maliyyah: Akad
al-Syaibani, Musnad al-Imâm
Ijarah dan Ju’alah, Bandung:
Ahmad Ibn Hanbal, Beirut:
Simbiosa, 2017.
Muasasah al-Risâlah, 2001.
, Fikih Mu’amalah
Abu Bakar Ibn Abi Syaibah, al-Kitâb al-
Maliyyah: Akad Tabarru’,
Mushanaf Fȋ al-Ahâdȋts wa al-
(Bandung: Simbiosa, 2017.
Âtsar, Riyadh: Maktabah al-
Rusyd, 1409 H. Kawakib, Yusuf, Hafdz dan Syuhud, Sadd
Al-Dzarî’ah Sebagai Dalil
Abu Dawud Sulaiman Ibn Al-Asy’ats Ibn
Hukum Islam (Studi
Ishaq Ibn Basyir Ibn Syidad
Komparatif Ibnu Al-Qayyim
Ibn ‘Amr al-Azdi al-Sijistani,
Al-Jauziyah Dan Ibnu Hazm),
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al- Syariah, Malang: Inteligensia
Qur'an dan Hadist, Volume 4, Media, 2021.
No.1. Januari 2021.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
M. Pudjihardjo, dkk, Ushul Fikih Ekonomi Bandung: Pustaka Setia,
Syariah, Malang: UB Press, 2015.
2021.
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum
Muhammad Abu Zahrah, Ushȗl al-Fiqh, Islam: Permasalahan dan
Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabȋ, Fleksibilitasnya, Jakarta:
t.th. Sinar Grafika, 2007.

Muhammad al-Khudari Beik, Ushȗl al- Umar Abdullah Kamil, al-Qawâ’id al-
Fiqh, Kairo: Dâr al-Hadȋts, Fiqhiyyah al-Kubrâ wa
2003. Atsaruhâ Fȋ al-Mu’âmalât al-
Mâliyyah, Kairo: Universitas
Muhammad Ibn Isma’il Abu Abdullah al-
al-Azhar, t.th.
Bukhari, Shahȋh al-Bukhârȋ,
Kairo: Dâr al-Hadȋts, 2008. Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’âmalât al-
Mâliyyah al-Mu’âshirah,
Muhammad Rawas Qal’ahji, Mu’jam Beirut: Dâr al-Fikr al-
Lughat al-Fqahâ, Dar al- Mu’âshir, 2002.
Nafais, Beirut, 1998.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmȋ wa
Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah Adillatuh, Beirut: Dâr al-Fikr
dari Teori ke Praktik, Jakarta: al-Mu’âshir, 2012.
Gema Insani Press, 2001.
Zaki al-Din Sya’ban, Ushȗl al-Fiqh al-
Muslim Ibn al-Hajaj Abu al-Hasan al-
Islâmȋ, Istambul: Dâr Tahqȋq
Qusyairi al-Naisaburi, Shahȋh
al-Kitâb, 2019.
Muslim, Kairo: Dâr al-Hadȋts,
1997. Zumrotul Wahidah, Metodologi Hukum
Islam Perspektif Al-Ghazali,
Musthafa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah Media Keadilan Jurnal Ilmu
al-Mukhtalif Fȋhâ: Mashâdir Hukum, Volume 11 Nomor 2,
al-Tasyrȋ’ al-Tabi’iyyah Fȋ al- Oktober 2020.
Fiqh al-Islâmȋ, Beirut: Dâr al-
Qalam, 2013.

Musthafa Sa’id al-Khin, al-Kâfȋ al-Wâfȋ Fȋ


Ushȗl al-Fiqh al-Islâmȋ, Beirut:
Muasasah al-Risâlah, 2000.

Panji Adam, Fikih Muâmalah Mâliyyah:


Konsep, Regulasi dan
Implementasi, (Bandung:
Refika Aditama, 2017.

, Fikih Muamalah
Kontemporer:
Perkembangan Akad-Akad
dalam Hukum Ekonomi

Anda mungkin juga menyukai