Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH

“HUKUM PERJANJIAN/KONTRAK BISNIS”

Di ajukan sebagai salah satu tugas Matkul Hukum Bisnis

Dosen Pengajar:
Doni Dirgantara Asikin, S.I.P.,M.M

Disusun oleh :
Ardiansyah Permana (01011913111)
Sherly Wulandari Setiawan (01011913135)
N.Siti Patimah (01012013007)
Kinkin Apriyanti (0101181043)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NASIONAL PASIM
BANDUNG
2022

i
DAFTAR ISI
MAKALAH ............................................................................................................................................. i
PERJANJIAN BAKU (STANDAR CONTRACT) .............................................................................1
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Baku ......................................................................................1
1. Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Baku .........................................................................2
2. Landasan Hukum Perjanjian Baku .........................................................................................3
3. Jenis-jenis Perjanjian Baku ......................................................................................................6
4. Bentuk dan Isi Perjanjian Baku ...............................................................................................7
6. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku ..........................................................................................8
7.Klausula Exonoratie .......................................................................................................................9
MACAM-MACAM PERJANJIAN ...................................................................................................10
1. Perjanjian Sepihak, Perjanjian Timbal Balik, dan Perjanjian Timbal Balik Tak Sempurna
...........................................................................................................................................................10
A. Perjanjian Sepihak Perjanjian Sepihak ............................................................................10
B. Perjanjian Timbal Balik (Bilateral) ...................................................................................10
C. Perjanjian Timbul Balik Tak Sempurna ...............................................................................11
2. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Rill, dan Perjanjian Formil .............................................12
A. Perjanjian Konsensuil ............................................................................................................12
B. Perjanjian Riil .........................................................................................................................12
C.Perjanjian Formil ....................................................................................................................12
3. Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama, dan Perjanjian Campuran .....................13
5. Perjanjian Liberator, Perjanjian Obligator & Perjanjian Kebendaan (Mariam Darus
Badrulzaman (et.al), 2001, 67). .......................................................................................................15
SYARAT-SYARAT SAHNYA PERJANJIAN (BESTAANDBAARHEID) ..................................16
Sikap Pembuat Undang-Undang ................................................................................................19
PELAKSANAAN PERJANJIAN .......................................................................................................33
1. Melaksanakan Perjanjian .......................................................................................................33
2. Riel Eksekusi dan Parate Eksekusi ........................................................................................34
KONTRAK BISNIS.............................................................................................................................35
A. Tinjauan Umum Mengenai Pembatalan Kontrak Bisnis....................................................35
A. Tahap Pelaksanaan Suatu Perjanjian Kontrak Bisnis........................................................42
A. Tahapan Pelaksanaan Review Kontrak ................................................................................48

ii
PERJANJIAN BAKU (STANDAR CONTRACT)

1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Baku

Standar contract merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam
bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama
pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah.

Hondius mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah : “Syarat-syarat konsep tertulis


yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu,
tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”. Inti dari perjanjian baku menurut Hondius adalah
bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya
hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya (Hondius, 1978:139).

Mariam Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian


yang telah dibakukan (Mariam Darus Badrulzaman, 1980:4).

Adapun ciri-ciri perjanjian baku, yaitu :

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat
b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian
c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
d. Bentuknya tertentu (tertulis)
e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif (Mariam Darus Badrulzaman, 1980:11)

Sultan Remy Sjachdeini juga memberikan pengertian tentang perjanjian baku adalah :
“perjanjian yang hampir seluruh klausulanya dibakukan oleh pemakaiannya, dan pihak
lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang
spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir
perjanjian tersebut tetapi klausal-klausalnya. Oleh karena itu, suatu perjanjian yang
dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausal-klausal yang hanya

1
mengambil alih saja klausal-klausal yang telah dibakukan oleh salah satu pihak,
sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan atas klausal-klausal itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta
notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”. (Sutan Remy Sjahdeini, 1993 : 66).

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur kontrak baku, yaitu :


a. Diatur oleh kreditur atau pihak ekonomi kuat
b. Dalam bentuk sebuah formulir
c. Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.
Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah kontrak yang
bersifat “ambil atau tinggalkan” (take it or leave it), Dalam reformasi hukum perjanjian
diperlukan pengaturan tentang kontrak standar. Hal ini sangat diperlukan untuk
melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah terhadap pihak
ekonomi kuat.

1. Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Baku

Sejarah timbulnya perjanjian baku telah dimulai sejak ribuan tahun.


Ketika lima ribu tahun yang lalu di Mesir dan Negara Dua Sungai dibuat tulisan-
tulisan pertama, hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak
yang dibakukan pertama kali, sesudah itu di banyak peradaban ada gejala
untuk melepaskan formalisme dari model-model kontrak yang ditetapkan oleh
para rohaniawan. Sebaliknya kita melihat bahwa penggunaan syarat-syarat
baku saat ini justru akan bertambah lagi. Kebutuhan akan syarat-syarat
kontrak baku di Eropa Barat, terutama dalam abad ke-19 menjadi besar.
Kongsi-kongsi (gilden) dengan peraturan-peraturan yang melindungi mereka
ditiadakan. Revolusi industri menyebabkan pertambahan jumlah transaksi-
transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi model yang
semakin besar menjadikan pemakaian formulir-formulir perlu, karena
pembuatan transaksi-transaksi penting sekarang ini harus diserahkan kepada
pejabat-pejabat rendahan, kepada siapa perumusan isi kontrak tidak dapat

2
diserahkan. Dalam abad ke-20 pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas
(Hondius, 1978:140-141).
Pitlo berpendapat bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku
adalah keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan yang besar, atau perusahaan-
perusahaan Pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan
untuk kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak.
Pihak lawannya (wederpartij) yang pada umumnya mempunyai kedudukan
ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya
hanya menerima apa yang disodorkan itu” (Mariam Darus Badrulzaman,
1980:7).
Syarat utama suatu kontrak dapat disebut kontrak baku, yaitu kontrak
harus digunakan secara luas, terutama dalam masyarakat bisnis (usaha).
Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh
efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga, dan waktu. Suatu gambaran
masyarakat yang pragmatis.
Dengan demikian perjanjian baku yang dirancang sepihak oleh
pengusaha akan menguntungkan pengusaha dalam hal :
(a). Efesiensi biaya, waktu, dan tenaga
(b). Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir
atau balanko yang siap diisi dan ditandatangani
(c). Penyelesaiannya cepat karena konsumen hanya menyetujui dan
atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya ( Abdulkadir
Muhammad, 1992; 8).

2. Landasan Hukum Perjanjian Baku

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian baku dapat dilihat


dan dibaca dalam berbagai peraturan perundang undangan berikut ini.
a. Pasal 6.5.1.2 dan Pasal 6.5.1.3 NBW Belanda. Isi ketentuan itu adalah
1) Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan, ditentukan dengan
peraturan;

3
2) Aturan baku dapat ditetapkan, diubah, dan dicabut jika disetujui oleh Menteri
Kehakiman, melalui sebuah panitia yang ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan
cara bekerja diatur dengan undang-undang
3) Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai
kekuatan, setelah ada persetujuan Raja dan keputusan Raja mengenai hal itu
dicatat dalam Berita Negara
4) Seorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku
atau menerima penunjukan terhadap syarat umum, terikat pada janji itu
5) Janji baku dapat dibatalkan jika pihak kreditur mengetahui atau seharusnya
mengetahui pihak debitur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia
mengetahui isinya (dalam Mariam Darus Badrulzaman, 1980: 23-24).

b. Pasal 2.19 s.d Pasal 2.22 Prinsip UNIDROIT (Principles of International Commercial
Contract). Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan
kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak,
karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang
lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan :
(1) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku
maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk
pada Pasal 2.20-Pasal 2.22
(2) Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
untuk digunakan secara umum dan berulangulang oleh salah satu pihak dan secara
nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya” (dalam Taryana Soenandar,
2001:189).

Ketentuan ini mengatur tentang :


1. tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
2. pengertian kontrak baku.

Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan :

4
(1) Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat
secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berkala kecuali pihak
tersebut secara tegas menerimanya
(2) Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri-ciri tersebut di atas
akan bergantung pada isi, bahasa, dan penyanjiannya. Ketentuan ini mengatur
tentang persyaratan dan ciri perjanjian baku.
cirinya tergantung pada isi, bahasa, dan Penyajiannya.
Pasal 2.21 berbunyi : dalam hal timbul yang pertentangan antara persyaratan-
persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir yang
dinyatakan berlaku. Ketentuan ini mengatur tentang konflik antara persyaratan
standar dan tidak standar. Apabila terjadi konflik penyelesaian didasarkan pada
perjanjian tidak standar.
Pasal 2.22 berbunyi : jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan standar dan
mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, maka suatu
kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan
persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali
suatu pihak sebelumnya telah menyatakan secara jelas atau kemudian dan tanpa
penundaan.
Pasal 2.20 berbunyi :
(1) Tidak ada persyaratan yang terkandung dalam persyaratan standar yang bersifat
demikian rupa sehingga pihak lainnya secara wajar tidak dapat mengharapkannya
akan berlaku, kecuali apa bila persyaratan tersebut telah secara nyata diterima oleh
pihak tersebut.
(2) Dalam menentukan apakah suatu persyaratan adalah bersifat demikian, maka
pertimbangan harus diberikan pada isi, bahasa, dan Penyajiannya.
Pasal 2.21 berbunyi : dalam hal adanya perselisihan antara suatu syarat standar
dengan suatu syarat yang bukan standar maka yang terakhir akan berlaku.
Pasal 2.22 berbunyi : Jika kedua belah pihak akan mempergunakan persyaratan
standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu,
maka suatu kontrak telah diadakan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah
disepakati dan berdasarkan persyaratan standar mana pun yang adalah umum dalma
substansi, kecuali satu pihak dengan jelas menunjukkan sebelumnya atau kemudian

5
dan tanpa penundaan yang tidak sebagaimana mestinya memberitahukan pihak
lainnya bahwa ia bermaksud untuk tidak terikat kontra semacam ini.
Pasal 2.21 mengatur tentang perselisihan antara ketentuan standar dan ketentuan
nonstandard. Apabila terjadi hal itu, maka yang berlaku adalah ketentuan yang tidak
dibakukan.
Adapun pasal 2.22 mengatur tentang pertentangan antarbentuk. Ketentuan dalam
rancangan undang-undang tentang kontrak ini merupakan salinan dari Pasal 2.19 s.d
Pasal 2.22 UNIDROIT. Prinsip yang tercantum dalam UNIDROIT ini dapat dijadikan
sumber hukum kontrak, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan perjanjian
baku. hal ini disebabkan sumber hukum tidak hanya berasal dari undang-undang,
tetapi juga berasal dari traktat yang berlaku secara Internasional.

3. Jenis-jenis Perjanjian Baku

Secara kuantitatif, jumlah perjanjian baku yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat sangat banyak, karena masing-masing perusahaan atau lembaga baik
yang bergerak di bidang perbankan dan nonbank maupun lainnya selalu menyiapkan
kontrak baku (standar) dalam mengelola usahanya. Kontrak baku tersebut dibuat
untuk mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum.
Mariam Darus Badrulzaman membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis :
a. Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang
kuat Kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini ialah pihak kreditor
yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur
b. Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh
kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri pihak majikan
(kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam
organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif
c. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu perjanjian baku yang isinya
ditentukan pemerintah terhadap perubahanperubahan hukum tertentu, misalnya
perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang
agraria, lihatlah misalnya formulir-formulir perjanjian sebagai mana yang diatur dalam
SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No.104/Dja/1977 berupa antara lain
akta jual beli
d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokad, yaitu
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi kebutuhan anggota masyarakat akan bantuk notaris atau advokat yang
bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract
model.

6
4. Bentuk dan Isi Perjanjian Baku

Bentuk perjanjian baku atau standar yang dibuat oleh salah satu pihak adalah
berbentuk tertulis. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pihak ekonomi kuat.
Isinya dituangkan dalam klausula baku. klausula baku menurut Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) adalah :
“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen”

Apabila kita mengakaji definisi di atas, maka klausula baku itu dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian. Pembuatan klausula baku ini tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik.
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah ditentukan berbagai
larangan dalam membuat atau mencantumkan klausula baku dalam setiap dokumen
dan/atau perjanjian sebagaimana tercantum berikut ini :
(1). ”Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan


jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,


tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.

7
(2). Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. (3). Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan batal demi hukum.
(4). Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini. Dengan demikian perjanjian baku yang dilarang sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen selain dilihat dari substansi perjanjiannya, juga dilihat dari segi tampilannya
seperti sulit dilihat, tidak dapat terbaca dan tidak dapat dimengerti.
6. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku

Dalam perjanjian baku telah ditentukan klausula-klausulanya oleh salah satu pihak, seperti
misalnya dalam perjanjian kredit bank, polis asuransi, leasing dan lain-lain. Persoalannya kini,
apakah dengan adanya berbagai klausula tersebut, perjanjian ini mempunyai kekuatan
mengikat. Dalam perpustakaan hukum telah dicoba untuk mencari dasar mengikatnya
perjanjian dengan syarat-syarat baku. Berikut ada beberapa pendapat para ahli hukum
tentang kekuatan mengikat dari perjanjian baku yaitu :

(1). Sluijter mengatakan bahwa : “perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio
particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah
undang-undang dan bukan perjanjian” ( Mariam Darus Badrulzaman, 1980:14). Pandangan ini
melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi kontrak. Substansi kontrak itu dibuat
oleh pengusaha secara sepihak sehingga Sluijter berpendapat substansi kontrak itu bukan
kontrak, tetapi undang-undang swasta yang diberlakukan bagi debitur.
(2). Adapun Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa : “Perbedaan posisi para pihak
ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur mengadakan
“real bargaining” dengan pengusaha (kreditor). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk
mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu
perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata jo. Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” (Mariam Darus
Badrulzaman, 1980:13). Pandangan Mariam Darus Badrulzaman juga mengkaji dari aspek
kebebasan para pihak. Disini pihak debitur tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar dalam
menentukan isi kontrak dengan pihak kreditor. Pihak kreditor tinggal menyodorkan isi kontrak
tersebut kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui “Ya” atau “Tidak” (take it or leave it).
Apabila debitur menyetujui substansinya, maka ia menandatangani kontrak tersebut, tetapi
apabila substansi itu tidak disetujui, maka ia tidak menandatangani kontrak tersebut. Dengan
demikian, kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab
UndangUndang Hukum Perdata tidak mempunyai arti bagi debitur, karena hak-hak debitur
dibatasi oleh kreditor.

(3). Pitlo berpendapat perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract)

8
(4). Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa
perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan
kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para
pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima perjanjian tersebut berarti
ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004;
117).
(5). Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian
bertanggung gugat pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang
membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan
membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi
perjanjian yang ditandatanganinya, karena tidak mungkin seorang menandatangani apa yang
tidak dikehendaki isinya (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 69).
(6). Hondius dalam disertasinya menyatakan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan
mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu
lintas perdagangan (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004; 117).
(7). Adapun Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa keabsahan berlakunya perjanjian baku
tidak perlu dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan
kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis
sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang
lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Didunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa
perjanjian baku. perjanjian baku dibutuhkan oleh masyarakat dan karena itu diterima oleh
masyarakat” (Sutan Remy Sjahdeini, 1993:70-71). Stein dan Hondius menitikberatkan
kekuatan mengikat perjanjian baku karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada
dasarnya, masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya, dengan
menandatangani perjanjian baku, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya,
tanpa memerlukan waktu dan pikiran yang lama. Seperti misalnya, apabila ia membutuhkan
kredit bank, maka begitu ia menandatangani perjanjian kredit, perjanjian sudah terjadi.
Dengan telah ditandatanganinya standar kontrak tersebut, timbullah hak dan kewajiban para
pihak.

7.Klausula Exonoratie

Perjanjian baku (Standar contract) merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan
telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh
salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Dengan
ditetapkannya klausulaklausula dalam perjanjian baku secara sepihak oleh pihak yang
ekonominya kuat, maka keadaan ini seringkali perjanjian baku tersebut memuat klausula
exonoratie.
Klausula exonoratie adalah “suatu klausula dalam suatu perjanjian, dimana ditetapkan
adanya pembebasan atau pembatasan dari tanggung jawab tertentu, yang secara normal

9
menurut hokum seharusnya menjadi tanggung jawabnya” (J. Satrio, 1995; 119). Klausula
exonoratie dimungkinkan karena adanya asas kebebasan berkontrak. Dapat dibayangkan
dengan dimungkinkannya orang memperjanjikan suatu klausula exonoratie dapat membawa
akibat, bahwa hak dan kewajiban dari para pihak menjadi jauh tidak berimbang. Keadaan
seperti ini menimbulkan suatu persoalan apakah klausula exonoratie tidak bertentangan
dengan kesusilaan (J.Satrio, 1995; 120).

MACAM-MACAM PERJANJIAN

1. Perjanjian Sepihak, Perjanjian Timbal Balik, dan Perjanjian Timbal Balik Tak
Sempurna

A. Perjanjian Sepihak Perjanjian Sepihak

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok


hanya pada satu pihak saja, sedangkan pada pihak lain hanya ada hak saja.
Pihak I : terdapat kewajiban / terdapat hak
Pihak II : terdapat hak / terdapat kewajiban
Contoh perjanjian sepihak :
(1). Perjanjian hibah
(2). perjanjian kuasa tanpa upah
(3). Perjanjian Pinjam pakai cuma-cuma
(4). Perjanjian Pinjam mengganti cuma-cuma (verbruiklening)
(5). Perjanjian penitipan barang cuma-cuma

B. Perjanjian Timbal Balik (Bilateral)

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-


kewajiban dan hak-hak kepada kedua belah pihak, hak dan kewajiban tersebut
mempunyai hubungan satu sama lainnya.
Pihak I : ada kewajiban & ada hak
Pihak II : ada hak & ada kewajiban
Contoh perjanjian timbal balik :

10
(1). Perjanjian jual beli
(2). Perjanjian tukar menukar
(3). Perjanjian sewa menyewa

C. Perjanjian Timbul Balik Tak Sempurna

Perjanjian timbal balik tak sempurna sebenarnya merupakan perjanjian sepihak,


karena kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja, namun dalam
hal-hal tertentu dapat timbul kewajiban dapat timbul kewajiban-kewajiban pada
pihak lainnya (J.Satrio, 1995; 45).
Contoh dari perjanjian timbal balik tak sempurna adalah perjanjian pemberian
kuasa tanpa upah. Perjanjian ini sebenarnya merupakan perjanjian sepihak, karena
kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak (penerima kuasa
berkewajiban untuk mengurus semua urusan yang dikuasai kepadanya tanpa ada
hak untuk menuntut pembayaran karena pemberian kuasa tanpa upah), dan hak
hanya ada pada salah satu pihak (pihak pemberi kuasa berhak untuk diurusi semua
urusan yang ia kuasakan kepada penerima kuasa tanpa adanya kewajiban untuk
membayar imbalan/upah kepada penerima kuasa), namun dalam hal-hal tertentu
misalkan si penerima kuasa mengeluarkan ongkos-ongkos untuk pelaksanaan
kuasanya, maka pemberi kuasa wajib mengganti ongkos-ongkos tersebut (Pasal
1808, 1809, 1810 Kitab Undang Undang Hukum Perdata) sehingga sekarang timbul
kewajiban pula pada pihak pemberi kuasa, tetapi kewajiban yang timbul kemudian
ini bukan merupakan kontra prestasi terhadap pihak lain.
Manfaat Pembedaan

(1). Dalam hal resiko Pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik tak
sempurna, resiko ada pada kreditur. Sedangkan pada perjanjian timbal balik pada
asasnya resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli berdasarkan Pasal
1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
resiko ada pada kreditur. Tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 dianjurkan kepada hakim supaya menganggap Pasal
1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut sebagai ketentuan yang sudah

11
mati, dan masalah resiko dalam perjanjian jual beli dinilai menurut keputusan dalam
kasus yang bersangkutan.
(2). Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya berlaku untuk
perjanjian timbal balik saja. Apabila perjanjian yang ditutup adalah perjanjian timbal
balik dan salah satu pihaknya tidak memenuhi kewajiban perikatannya sebagaimana
mestinya, maka pihak lawan janjinya berhak menuntut pembatalan perjanjian yang
mereka tutup, seakan-akan para pihak memang menutup perjanjian tersebut dengan
syarat seperti itu. Masalah ini penting sehubungan dengan adanya tingkisan bahwa
pihak lawan janjinya pun tidak memenuhi kewajiban perikatannya (exceptioe non
adempleti contractus) (J.Satrio, 1995; 47).

2. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Rill, dan Perjanjian Formil

A. Perjanjian Konsensuil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana dengan adanya kata sepakat diantara
para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjiannya yang bersangkutan. Pada
umumnya perjanjian yang ada didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
bersifat konsensuil, kecuali ada beberapa perjanjian tertentu yang termasuk dalam
perjanjian formil.

B. Perjanjian Riil

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi obyek
perjanjian telah diserahkan.
Contoh perjanjian riil adalah :
(1). Perjanjian utang piutang
(2). Perjanjian pinjam pakai
(3). Perjanjian penitipan barang

C.Perjanjian Formil

12
Perjanjian formil adalah suatu perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kata
sekapat saja, tetapi juga mensyaratkan penuangan perjanjian tersebut dalam suatu
bentuk perjanjian tertentu atau disertai dengan formalitas tertentu.
Adakalanya untuk perjanjian-perjanjian tertentu undang-undang menentukan
bahwa suatu perjanjian baru sah selain harus memenuhi syarat umum untuk sahnya
perjanjian, tetapi juga harus dituangkan dalam akta otentik.
Contoh perjanjian formil :
(1). Perjanjian kawin
(2). Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik.

3. Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama, dan Perjanjian Campuran

A. Perjanjian Bernama Benoemde / Nominaatcontracten


Perjanjian bernama disebut juga perjanjian khusus adalah perjanjian yang
mempunyai nama khusus, maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan type yang paling banyak terjadi
sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001;
67).
B. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde / Innominaatcontracten)
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi perjanjian ini banyak ditemui di dalam
praktik sehari-hari (Mariam Darus Badrulzaman (et.al), 2001; 67). Dengan kata lain
perjanjian ini di dalam kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu,
tetapi tidak diatur secara khusus didalam undang-undang (J.Satrio, 1995; 148).

Maksud Pembedaan

Ketentuan umum tentang perjanjian yang dimuat didalam Titel I, II, IV Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk semua perjanjian (baik
perjanjian bernama maupun perjanjian tidak bernama) sepanjang undang-undang
tentang perjanjian bernama tersebut tidak memberikan pengaturan tersendiri yang

13
menyimpang dari ketentuan umum, di sini berlaku asas umum lex specialis derogate
lex generalis.
A. Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mempunyai ciri-ciri dari dua atau lebih
perjanjian bernama, dimana ciri-ciri atau unsur-unsur tersebut Terjalin menjadi satu
sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri
(J.Satrio,1995;151).
Contoh perjanjian campuran : Perjanjian sewa beli, perjanjian ini mengandung
unsur-unsur perjanjian bernama, yaitu :
(1). Perjanjian sewa menyewa, karena selama membayar cicilan, pembeli sewa
boleh menggunakan benda yang dibeli sewa tersebut;
(2). Perjanjian jual beli, karena pada akhirnya setelah penjual sewa menerima
pelunasan pembayaran, pembeli berubah menjadi pemilik.
Teori-teori tentang Perjanjian Campuran
(1). Teori Kombinasi/Komulasi
Menurut teori ini, unsur-unsur perjanjian dipisah-pisahkan dulu, kemudian untuk
masing-masing unsur diterapkan ketentuan perjanjian bernama yang cocok untuk
unsur tersebut. Kelemahan dari teori ini adalah apabila ketentuan-ketentuan
perjanjian tersebut saling bertentangan satu sama lainnya.
(2). Teori Absorpsi
Menurut teori ini untuk perjanjian campuran dilihat dulu unsur mana dalam
perjanjian tersebut yang paling menonjol, kemudian diterapkan
peraturan perjanjian yang sesuai dengan unsur yang paling dominan tersebut.
Sedangkan unsur yang lainnya dikalahkan seakan-akan unsur tersebut dihisap oleh
unsur yang dominan tersebut. Kelemahan dari teori ini adalah, tidak ada patokan
yang pasti dalam memutuskan unsur mana yang paling dominan di dalam perjanjian
tersebut.
(3). Teori Sui Generis
Teori ini memandang perjanjian campuran sebagai perjanjian yang tersendiri
(perjanjian sui generis atau perjanjian yang mempunyai ciri tersendiri. Peraturan
perjanjian bernama yang unsur-unsurnya muncul dalam perjanjian tersebut dapat
diterapkan secara analogis (J.Satrio,1995;153-157)

14
5. Perjanjian Liberator, Perjanjian Obligator & Perjanjian Kebendaan (Mariam
Darus Badrulzaman (et.al), 2001, 67).

A. Perjanjian Liberator
Perjanjian liberator adalah perjanjian dimana para pihak Membebaskan diri dari
kewajiban yang ada. Jadi perjanjian liberator merupakan perjanjian yang
menghapuskan perikatan. Contoh perjanjian liberator adalah perjanjian pembebasan
hutang (kwijschelding) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1438 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
B. Perjanjian Obligator
Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri
untukmelakukan penyerahan kepada pihak lain. Perjanjian obligator merupakan
perjanjian yang melahirkan perikatan.
C. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk
mengoperkan/mengalihkan hal milik atas benda, disamping mengalihkan juga untuk
menimbulkan, Mengubah atau menghapus hak-hak kebendaan.
5. Perjanjian Pembuktian, Perjanjian Untung-untungan dan Perjanjian Publik

A. Perjanjian Pembuktian
Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menetapkan alat-alat
bukti apa yang dapat digunakan dalma hal terjadi perselisihan antara mereka
(Mariam Darus Badrulzaman, 2001, 69).
B. Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian yang obyeknya ditentukan kemudian,
misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
(Mariam Darus Badrulzaman, 2001, 69)
C. Perjanjian Publik
Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh
hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak
lainnya adalah pihak swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan
bawahan (subordinated), jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (co-
ordinated). Misalnya perjanjian ikatan dinas (Mariam Darus Badrulzaman (et.al),
2001, 69)

15
SYARAT-SYARAT SAHNYA PERJANJIAN (BESTAANDBAARHEID)

Bestaandbaarheid tidak diterjemahkan menjadi syarat untuk adanya perjanjian tetapi


diterjemahkan menjadi syarat sahnya perjanjian, hal ini dikarenakan ada kalanya
walaupun perjanjian tidak memenuhi salah satu syarat, tetapi perjanjian tersebut tetap
dianggap ada selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan. Syarat-syarat sahnya
perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu ada 4
(empat) syarat :
(1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2). Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3). Suatu hal tertentu
(4). Kausa (suatu sebab) yang halal.
Syarat ”sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” dan syarat ”Kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian” dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-
orangnya atau subyek yang melakukan perjanjian. Apabila syarat subyektif ini tidak
dipenuhi, maka akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta supaya perjanjian dibatalkan adalah pihak yang
memberikan sepakatnya secara tidak bebas atau pihak yang tidak cakap.
Jadi perjanjian yang dibuat dengan tidak mematuhi syarat subyektif, perjanjian
tersebut tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang
berhak mengajukan pembatalan.
Terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian
tersebut dapat dimintakan pembatalan (cancelling). Hak meminta pembatalan hanya
ada pada salah satu pihak saja yaitu pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas
dalam memberikan kesepakatannya.
Pengajuan pembatalan perjanjian karena tidak memenuhi syarat subyektif
menurut ketentuan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi
waktunya selama 5 (lima) tahun, dihitung mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan
salah satu pihak), maka sejak orang tersebut cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan
dihitung sejak paksaan tersebut telah berhenti, dalam hal kekhilapan atau penipuan,
maka dihitung sejak hari diketahuinya kekhilapan atau penipuan tersebut.
Adapun syarat ”suatu hal tertentu” dan syarat ”kausa yang halal” dinamakan
syarat obyektif, karena berkenaan dengan obyek dari perjanjian, apabila perjanjian
16
dibuat dengan tidak memenuhi syarat obyektif ini, maka berakibat perjanjian batal demi
hukum (null and void). Sehingga secara yuridis dari semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada pula perikatan maka para pihak yang mengadakan
perjanjian dengan tujuan melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan
demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka pengadilan. Dan hakim karena
jabatannya diwajibkan untuk menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau
perikatan.
Namun harus diingat walaupun akibatnya batal demi hukum, batalnya
perjanjian tersebut tidaklah secara otomatis, melainkan harus dimintakan pembatalan
kepada hakim pengadilan (Subekti, 1979; 50). Pembatalan perjanjian bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Kalau salah satu pihak telah menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun
barang, maka hal tersebut harus dikembalikan (Subekti, 1979; 49).
Dengan demikian akibat dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif
berakibat perjanjian batal demi hukum, sehingga keadaan dikembalikan seperti keadaan
semula dan dianggap tidak pernah ada perjanjian diantara para pihak, sehingga apa yang
sudah diterima oleh para pihak harus dikembalikan.
Namun mengembalikan keadaan seperti pada keadaan semula sebelum
perjanjian dilahirkan adakalanya menimbulkan permasalahan seperti pada perjanjian
sewa menyewa dan pada perjanjian perburuhan, karena tidak mungkin bagi si penyewa
untuk mengembalikan kenikmatan yang telah ia nikmati dari obyek yang ia sewa, dan
dalam perjanjian perburuhan tidaklah mungkin orang mengembalikan tenaga yang
telah buruh berikan kepada majikannya.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai syarat-syarat sahnya
perjanjian.
1. Sepakat (Toestemming)
Sepakat (toestemming) adalah pertemuan dua kehendak yang saling mengisi
dengan cara dinyatakan, atau dapat dikatakan bahwa sepakat adalah bertemunya
penawaran dan penerimaan (J.Satrio, 1995;165).
Sekarang timbul pertanyaan Bagaimanakah dua kehendak dapat dikatakan
saling tertemu. Kehendak seorang baru nyata bagi pihak lain, kalau kehendak
tersebut dinyatakan (diutarakan). Jadi perlu adanya pernyataan kehendak.
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki
timbulnya hubungan hukum.
17
Adanya kesesuaian kehendak antara dua orang belum melahirkan perjanjian,
karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak lain dan harus dapat
dimengerti oleh pihak lain.
Dengan demikian unsur dari sepakat (toestemming) adalah :
a. Adanya kehendak (keinginan yang ada dalam sanubari para pihak) dan
pernyataan kehendak
b. Pernyataan kehendak ditujuan kepada pihak lain
c. Pernyataan kehendak tersebut dimengerti dan diterima oleh pihak lain.
d. Ditujukan kepada akibat hukum yang diharapkan timbul dari tindakan tersebut
Cara Menyatakan Kehendak Untuk menyatakan kehendak ada bermacam-macam
cara, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut :

Untuk lahirnya suatu perjanjian yang sah, pernyataan kehendak tersebut harus
merupakan pernyataan kehendak yang bebas, tanpa paksaan, kesesatan atau penipuan.
Kapan Lahirnya Sepakat Seperti telah dijelaskan terdahulu, sepakat terdiri dari
kehendak dan pernyataan kehendak, maka timbul pertanyaan sepakat lahir atas dasar
kehendak Ataukah atas dasar pernyataan kehendak. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, lahirlah teori-teori tentang kapan lahirnya sepakat (J.Satrio, 1995; 195-225).

(1). Teori Kehendak (Wilstheorie)

Menurut teori kehendak, kesepakatan terjadi apabila kehendak lebih saling bertemu
dan perjanjian mengikat atas dasar bahwa kehendak para pihak patut dihormati Prinsip
teori kehendak adalah suatu perjanjian yang tidak didasarkan atas suatu kehendak yang
benar adalah tidak sah. Teori ini berlaku pada saat dibuatnya Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Konsekuensi teori kehendak adalah ;
(a). Kalau orang memberikan suatu pernyataan yang tidak sesuai dengan kehendaknya,
maka pernyataan tersebut tidak mengikat dirinya
(b). Perjanjian tidak lahir atas dasar pernyataan yang tidak dikehendaki, seperti : latah,
bercanda.

Keberatan terhadap teori kehendak Teori ini tidak menciptakan kepastian hukum,
karena siapa yang dapat mengetahui kehendak orang lain, dan kalau orang tidak dapat
berpegang kepada apa yang dikatakan orang lain, maka dapat dibayangkan para
18
pedagang tidak akan bisa merasa tenang, karena sewaktu-waktu akan menghadapi
pembeli yang membatalkan pembeliannya, dengan alasan bahwa ia keliru membeli
barang tersebut.
(2). Teori Pernyataan (Verklarings Theorie)

Patokan dari teori pernyataan adalah apa yang dinyatakan, kalau pernyataan dua orang
sudah saling bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan mengikat bagi mereka.
Keberatan terhadap teori pernyataan : Pernyataan tidak selalu dapat dipakai untuk
keterikatan seseorang secara adil. Misalnya kalau terjadi suatu peristiwa, dimana prang
salah menyampaikan kehendaknya, misalnya melalui surat menawarkan sebuah sepeda
motor baru merek Honda dengan harta Rp.1.500.000,- dan si calon pembeli tahu bahwa
penulisan harga tersebut keliru, maka apakah adil apabila penawaran dengan harga
yang jelas-jelas keliru dan calon pembeli tahu akan kekeliruan tersebut akan mengikat
calon penjual.
(3). Teori Kepercayaan (Vertrouwen Theorie)
Patokan dari teori kepercayaan adalah pernyataan, tetapi dengan pembatasan, apakah
pihak lain tahu atau seharusnya tahu, bahwa orang dengan siapa ia berunding adalah
keliru. Dengan perkataan lain, yang menentukan bukan pernyataan, tetapi keyakinan
(kepercayaan) yang ditimbulkan oleh pernyataan tersebut. Dengan demikian sepakat
terjadi apabila pernyataan kedua belah pihak menurut ukuran normal saling
membangkitkan kepercayaan bahwa diantara mereka telah terjadi sepakat yang sesuai
dengan kehendak kedua belah pihak. Keberatan terhadap teori kepercayaan adalah
seakan-akan kehendak tidak berperan lagi, sebab yang terpenting adalah kepercayaan
yang ditimbulkan oleh pernyataan.
(4). Teori Bertanggung jawab (Gevaarzetting Theorie)
Prinsip teori ini adalah bahwa barang siapa turut serta dalam pergaulan hidup, harus
menerima konsekuensi bahwa tindakan dan ucapannya mungkin ditafsirkan lain oleh
pihak lain menurut arti yang dianggap patut oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan. Jadi menurut teori bertanggung jawab setiap orang bertang gung jawab
atas kekeliruannya, orang lain tidak pantas menanggung akibatnya.

Sikap Pembuat Undang-Undang

19
Undang-undang tidak menyatakan secara tegas mengenai teori mana yang dipakai
sebagaimana terlihat pada Pasal 1342, 1343, dan 1344 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Adapun pengadilan menganut teori kepercayaan. Unsur-Unsur Kesepakatan
Kesepakatan merupakan pertemuan antara penawaran dan penerimaan, maka unsur dari
kesepakatan adalah :
1). Penawaran (Offerte)
2). Penerimaan (Akseptasi)

Penawaran

Penawaran adalah suatu usul yang ditujukan kepada pihak lain untuk menutup
perjanjian, usul tersebut telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan
(akseptasi) oleh pihak lain segera melahirkan perjanjian.
Suatu penawaran dibedakan dari suatu undangan untuk memasukan penawaran
seperti suatu perusahaan memasang iklan disuatu surat kabar yang mencari seorang
sarjana hukum untuk menduduki jabatan di biro hukum dengan gaji tertentu. Iklan yang
demikian hanya dikategorikan sebagai undangan untuk memasukkan suatu penawaran.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa hubungan buruh dan majikan mempunyai
segi-segi yang bersifat pribadi, sehingga orang tidak begitu saja menerima setiap orang
yang menjawab iklan tersebut. Ketentuan Umum tentang Penawaran
1. Pada dasarnya penawaran hanya ditujukan kepada orang tertentum kecuali
apabila penawaran itu ditujukan kepada umum.
2. Suatu penawaran dapat ditarik kembali selama penawaran tersebut belum
diterima (diakseptir) oleh pihak lawan janji (J.Satrio, 1995; 241)
Macam-Macam Penawaran
1. Penawaran tidak mengikat Contoh : Iklan dijual kopi robusta sebanyak 1 ton
harga tidak mengikat
2. Penawaran mengikat untuk jangka waktu tertentu Contoh : Hypermar
memberikan discount sebesar 10 s/d 20% selama bulan Maret.
3. Penawaran untuk jangka waktu tidak tertentu Contoh : jual beli dengan
perjanjian mana orang tersebut membeli untuk dan atas nama orang lain (yang belum
disebutkan), maka seakan-akan penjual tersebut memberikan penawaran yang terikat

20
(dalam waktu yang tidak tertentu) untuk menerima siapa saja yang disebutkan pembeli
tersebut.
4. Penawaran Umum Penawaran umum tidak ditujukan kepada orang tertentu
atau sekelompok orang tertentu, tetapi ditujukan kepada masyarakat umum, penawaran
ini bias dilakukan lewat iklan, selebaran, papan reklame, atau menaruh barang dalam
etalase toko (J.Satrio, 1995; 245-249).
Penerimaan (Akseptasi)
Penerimaan (akseptasi) yang dilakukan pada saat penawaran masih mengikat,
akan mengikat orang yang menyaaka akseptasinya sejak saat akseptasi diberikan,
kecuali apabila penerimaan tersebut dilakukan dengan bersyarat.
Pada penawaran umum, siapa saja boleh menerima/mengaksptir penawaran
tersebut, seperti halnya penawaran yang dilakukan oleh bis yang mangkal di stasiun bis
jurusan tertentu, pada asasnya semua orang boleh menerima penawaran bis tersebut
untuk diangkat ke jurusan trayek tersebut.
Adapun cara menyatakan penawaran (akseptasi) adalah bebas, kecuali apabila
ada disyaratkan suatu bentuk akseptasi tertentu oleh pihak yang menawarkan.

Saat Lahirnya Perjanjian

Suatu penawaran yang dilakukan secara lisan dan apabila antara yang
menawarkan dengan si penerima berapa dalam suatu tempat merupakan hal yang
mudah untuk menentukan kapan saat lahirnya sepakat yaitu pada saat penawaran
tersebut diakseptir (diterima) oleh si penerima, tetapi lain halnya apabila penawaran
diberikan untuk orang yang berlainan tempat bahkan berbeda negara dan penawaran
dilakukan secara tertulis, maka akan sulit untuk menentukan kapan lahirnya sepakat
dan selanjutnya sulit untuk menentukan kapan lahirnya suatu perjanjian.
Penentuan kapan lahirnya suatu perjanjian sangat penting artinya dalam hal :
1. Penentuan risiko
2. Kesempatan penarikan kembali penawaran
3. Saat menghitung jangka waktu kadaluarsa
4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian Mengingat pentingnya penentuan
kapan saat lahirnya suatu perjanjian maka lahirnya teori-teori tentang kapan lahirnya
suatu perjanjian (J.Satrio, 1995; 257-264). Teori Kapan Lahirnya Perjanjian

21
(1).Teori Pernyataan (Uitings Theorie) Menurut teori pernyataan, perjanjian telah
ada pada saat asas suatu penawaran telah ditulis jawaban penerimaan
Keberatan terhadap teori pernyataan adalah karena orang tidak dapat memastikan kapan
perjanjian telah lahir, karena sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti dan
membuktikan kapan saat penulisan surat jawaban. Disamping itu perjanjian sudah
terjadi pada saat si akseptor (penerima) masih mempunyai kekuasaan penuh terhadap
surat jawaban, sehingga ia dapat mengulur-ulur waktu bahkan membatalkan
akseptasinya, padahal orang yang menawarkan sudah terikat.
(2). Teori Pengiriman (Verzending Theorie) Menurut teori pengiriman, saat lahirnya
perjanjian adalah pada saat pengiriman jawaban penerimaan. Teori ini mempunyai
pegangan yang relatif pasti tentang saat lahirnya perjanjian, karena tanggal cap post
dapat dipakai sebagai patokan kapan surat jawaban tersebut terkirim Keberatan
terhadap teori pengiriman adalah : Perjanjian telah lahir dan mengikat si pemberi
penawaran pada saat di pemberi penawaran belum tahu akan hal tersebut. Teori
pengiriman dan pernyataan tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan.
(3). Teori Penerimaan (Ontvangs Theorie) Menurut teori penerimaan, perjanjian
lahir pada saat jawaban atas penawaran telah diterima ole yang menawarkan, tidak
peduli apakah surat jawaban tersebut telah dibuka ataukah dibiarkan tidak terbuka.
Teori penerimaan ini dianggap paling baik, Hege Raad dalam beberapa putusannya
menggunakan teori ini. Kelemahan teori penerimaan adalah kalau jawaban hilang
dalam pengiriman, maka apakah tidak akan pernah lahir suatu perjanjian.
(4). Teori Pengetahuan (Vernemings Theorie) Menurut teori pengetahuan, perjanjian
lahir pada saat suatu jawaban penerimaan diketahui isinya oleh yang menawarkan.
Teori ini sebenarnya merupakan teori yang paling sesuai dengan prinsip bahwa
perjanjian lahir atas dasar pertemuan dua kehendak yang dinyatakan. Keberatan
terhadap teori pengetahuan adalah dalam hal si penerima surat (yang menawarkan)
membiarkan suratnya begitu saja dan tidak dibuka, apakah dengan demikian tidak akan
pernah lahir suatu perjanjian.
Catat dalam Kehendak
Berdasarkan asas konsensualitas, perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata
sepakat diantara para pihak. Sepakat di sini harus diberikan dengan bebas tanpa adanya
cacat kehendak.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikenal 3 (tiga) macam cacat
kehendak yaitu kesesatan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Namun
22
dalam perkembangan selanjutnya dikenal catat kehendak lainnya yaitu penyalahgunaan
keadaan (misbruik omstandigheden).
a. Kesesatan/Kekeliruan/Kekhilafan (Dwaling)
Kesesatan diartikan sebagai gambaran yang ada dalam bayangan ternyata tidak ada
lain dari kenyataannya. Macam-macam Kesesatan :
1. Kesesatan motif
Kesesatan motif timbul karena “kehendaknya” muncul atas dasar motif yang keliru
Motif diartikan sebagai faktor yang pertama-tama (sebab yang paling jauh) yang
menimbulkan adanya kehendak
2. Kesesatan Semu
Kesesatan semua terjadi apabila kehendak dan pernyataan kehendaknya tidak sama
seperti pernyataan orang gila yang secara hukum dianggap tidak mempunyai
kehendak
3. Kesesatan Sebenarnya
Dalam kesesatan sebenarnya, antara kehendak dan pernyataan kehendaknya sama,
di sini memang ada kehendak, tetapi kehendak tersebut terbentuk secara
keliru/tidak benar, dan kekeliruan tersebut baru diketahui setelah perjanjian ditutup
Dalam hal ini memang ada sepakat dan lajir perjanjian, namun perjanjian tersebut
lahir karena ada yang keliru Kesesatan sebenarnya terbagi dua yaitu :
a. Error in Persona Kesesatan mengenai orangnya
b. Error in Substantia Kesesatan mengenai obyek atau hakekat bendanya (J.Satrio,
1995; 269-277).

Akibat Kesesatan (Dwaling)

Akibat dari perjanjian yang lahir karena adanya yang sesat (keliru), maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan oleh orang yang merasa kehendaknya keliru/tersesat.

Kesesatan (Dwaling) yang dapat Dimintakan Pembatalan Perjanjian

1. Pihak yang menggugat pembatlaan perjanjian berdasarkan kesesatan harus


membuktikan bahwa kesesatan/kekeliruan yang dialaminya merupakan kesesatan
yang secara normal dapat dialami oleh setiap orang dalam Kedudukannya pada
waktu menutup perjanjian
23
2. Dari pihak yang mengemukakan adanya kesesatan layak ada kemungkinan
timbulnya gambaran yang keliru tentang hakekat bendanya.
3. Harus diperhitungkan bahwa apakah pihak yang mengemukakan kesesatan
dengan mudah dapat mengadakan pengecekan akan kebenaran apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan janjinya Kesesatan baru diketahui setelah perjanjian
ditutup, dalam hal ada kesesatan perjanjian tetap mengikat, tetapi dengan adanya
kesesatan, maka menjadi alasan untuk pembatalan perjanjian tersebut.

Beda Kesesatan dengan Wanprestasi

Pada kesesatan orang sebenarnya telah memperoleh apa yang menjadi haknya,
tetapi ia keliru mengenai ciri/hakekat bendanya, sedangkan pada wanprestasi,
kreditur tidak memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak lawan janjinya, debitur
tidak melakukan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan prestasinya
sebagaimana mestinya.
b. Paksaan (Dwang)
Pada perjanjian yang ditutup di bawah paksaan, kehendak dan pernyataannya
memang sama dan karenanya lahirlah perjanjian, hanya saja kehendaknya tidak
murni yaitu kehendak tersebut berbentuk karena adanya rasa takut.

Subyek Pemaksaan (Pasal 1323 KUHPerdata)

1. Orang yang menutup perjanjian


2. Pihak ketiga untuk kepentingan orang yang menutup perjanjian (siap saja yang
disuruh pihak lawan janjinya) Subyek yang Dipaksa (Dwang) ditujukan (Pasal
1324-1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) 1. Orang yang menutup
perjanjian 2. Bisa juga ditujukan kepada orang lain yang terbatas, yaitu suami/istri
dan sanak keluarga dalam garis keturunan keatas maupun kebawah

Obyek Paksaan (Pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)


1. Keutuhan badan
2. Kehormatan dan kemerdekaan
3. Ketakutan akan kerugian terhadap kekayaan

24
Syarat Paksaan 1. Tindakan paksaan tersebut tidak dibenarkan oleh hukum dalam
menutup perjanjian, dengan cara :
a. Melalui sarana yang tidak dibenarkan oleh undang-undang berusaha mencapai
tujuan yang tidak dibenarkan undang-undang
b. Melalui sarana yang dibenarkan undang-undang berusaha untuk mencapai tujuan
yang tidak dibenarkan undang-undang
c. Melalui sarana yang tidak dibenarkan untuk mencapai tujuan yang dibenarkan
oleh undang-undang
2. Menimbulkan rasa takut akan kerugian (J.Satrio, 1995; 344-345)

C. Penipuan / Bedrog (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)


Penipuan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja dengan tipu
muslihat (serangkaian kebohongan), untuk menimbulkan kesesatan pada pihak lain
supaya memberikan persetujuannya.
Dalam perjanjian yang lahir karena adanya penipuan, kehendak dan pernyataan
kehendak sama, tetapi kehendak terbentuk karena adanya tipu daya dan serangkaian
kebohongan.

Subyek Penipuan
Penipuan harus dilakukan oleh pihak lawan di dalam perjanjian.

Obyek Penipuan
Obyek penipuan adalah mengenai sifat hakekat bendanya.

Beda Paksaan dengan Penipuan dan kesesatan


Pada paksaan; orang sadar memberikan pernyataan kehendaknya, yaitu seandainya
tidak ada paksaan, maka ia tidak akan memberikan persetujuan tersebut, sedangkan
pada penipuan dan kesesatan, orang baru sadar kalau ia tersesat dan tertipu setelah
perjanjian ditutup.
Syarat Penipuan
1. Adanya tipu muslihat (serangkaian kebohongan)
2. Orang yang merasa tertipu harus membuktikan bahwa seandainya ia tahu ada
penipuan, ia tidak akan menutup perjanjian tersebut.
25
Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden)
Penyalahgunaan keadaan memang tidak dikenal di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata namun perkembangan selanjutnya penyalahgunaan keadaan
dijadikan sebagai salah satu bentuk cacat kehendak berdasarkan putuskan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1904K/Sip/1982 tanggal 28 Januari
1984 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3431K/Pdt/1985
tanggal 4 Maret 1987.
Di negeri Belanda kasus yang terkenal berkaitan dengan penyalahgunaan
keadaan adalah Putusan Hoge Raad tanggal 11 Januari 1957 tentang kasus Bovag II
(J.M.van Dunne dan Gr van der Brught, 1987; 30).
Adapun faktor-faktor yang merupakan ciri dari penyalahgunaan keadaan yaitu
pada waktu menutup perjanjian salah satu pihak ada dalam keadaan yang terjepit,
yang disebabkan :
a. Adanya keadaan ekonomis yang menekan seperti keadaan kesulitan keuangan
yang mendesak
b. Adanya hubungan atasan-bawahan. Keunggulan ekonomis pada salah satu
pihak, hubungan buruh-majikan, orang tua/wali anak yang belum dewasa
c. Adanya keadaan yang tidak menguntungkan, seperti pasien yang
membutuhkan pertolongan dokter ahli.
d. Perjanjian tersebut mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban
timbal balik antara para pihak (prestasi tidak seimbang), seperti pembebasan majikan
dari menanggung resiko dan menggesernya menjadi tanggung jawab si buruh
(klausula exonerasi)
e. Adanya kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak (J.Satrio, 1995; 317-
318).
Akibat penyalahgunaan Keadaan Terhadap Perjanjian
Perjanjian yang lahir karena adanya penyalahgunaan keadaan dapat dibatalkan,
baik seluruhnya maupun sebagian saja.
Syarat Penyalahgunaan Keadaan
a. Ketidakseimbangan prestasi yang menyolok yang tidak patut;
b. Ketidakseimbangan prestasi tersebut harus dicapai dengan cara
menyalahgunakan keadaan;

26
c. Keadan yang disalahgunakan bisa berupa kedudukan monopoli, kelebihan
psychologis atau ekonomis (J.Satrio, 1995; 325).
Contoh kasus Perkara “Palatine – N.G.K.
Perusahaan Assuransi Palantine – selanjutnya disebut Asuransi saja – menutup
perjanjian pertanggungan dengan N.G.K. atas bangunan yang terdiri di atas sebidang
persil yang terletak di Garut. Terjadilah, bahwa bangunan yang berdiri di atas persil
tersebut musnah terbakar. Pihak N.G.K. menuntut ganti rugi atas bangunan-
bangunan yang musnah terbakar, tetapi pihak Asuransi menolak sebagian dari
tuntutan penggugat-asal, dengan alasan, bahwa yang diasuransikan hanyalah salah
satu dari kedua bangunan yang berdiri di atas persil N.G.K. Karena tidak mencapai
titik temu, maka N.G.K. menggugat Asuransi di depan Pengadilan. Pihak Asuransi
menangkis gugatan N.G.K. dengan mengatakan, bahwa karena ternyata tidak ada
persesuaian faham antar mereka mengenai objek perjanjian pertanggungannya,
maka belum ada perjanjian pertanggungan, sehingga penggugat (N.G.K.) tidak
berhak untuk mendasarkan gugatannya pada hak-hak yang lahir dari perjanjian
pertanggungan.
Atas sengketa tersebut pihak R.v.J memberikan pertimbangan yang juga
disetujui oleh HgH sebagai berikut :
Bahwa bukankan Raad mempunyai kewenangan sepenuhnya untuk
memutuskan, bahwa dasar yang diberikan oleh pembanding, untuk menuntut agar
pengadilan menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima, adalah tidak
benar, yaitu : bahwa seakan-akan penggugat sendiri telah menyatakan, bahwa antara
para pihak tidak ada perjanjian pertanggungan, karena pada saat perjanjian ditutup,
para pihak tidak sepakat mengenai obyek bahaya (obyek pertanggungan), sedang
penggugat asal sebenarnya hanya menyatakan bahwa tidak adanya sepakat mengenai
obyek pertanggungan baru muncul pada pelaksanaan perjanjian, yaitu sesudah
beberapa tahun perjanjian berjalan (J.satrio, 1995; 167-168).
2. Kecakapan
Kecakapan Bertindak dan Kewenangan Bertindak Kecakapan bertindak
(Bekwaamheid)
menunjuk kepada kewenangan yang umum,
kewenangan yang umum untuk menutup perjanjian atau untuk melakukan
tindakan hukum pada umumnya. Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum
melakukan perbuatan hokum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal
27
pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undangan untuk melakukan suatu
perbuatan hokum (Riduan Syahrani, 2004; 208). Kewenangan bertindak
(Bevoegheid) menunjuk kepada kewenangan yang khusus yaitu kewenangan untuk
bertindak dalam peristiwa yang khusus.
Orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah sudah pasti orang yang tidak
berwenang, sedangkan orang yang tidak wenang adalah orang yang pada umumnya
cakap untuk bertindak, tetapi untuk peristiwaperistiwa tertentu tidak dapat
melaksanakan tindakan hukum secara sah.
Dengan demikian, kata “Kewenangan” dalam Pasal 1329 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tertuju kepada kewenangan umum yang mengatur tentang
kecakapan bertindak sedangkan Pasal 1330 sub (3) mengatur tentang kewenangan
bertindak.
Dari ketentuan pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat
disimpulkan bahwa pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk bertindak, cakap
untuk melakukan tindakan hukum, ketidakcakapan hanya merupakan hanya
merupakan pengecualian atas asas tersebut dan orang tidak cakap hanya apabila
undang-undang menyatakannya demikian, karena itulah maka untuk mengetahui
siapakah orang-orang yang tidak cakap untuk bertindak, kita harus melihatnya di
dalam undang-undang.
Menurut ketentuan, Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Tidak
cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang yang oleh undang-undang dilarang untuk melakukan perbuatan
tertentu”.
Dengan demikian secara argumentum a contrario ketentuan Pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat ditafsirkan menjadi ”Cakap
membuat perjanjian adalah :
(1). Orang yang telah dewasa;
(2). Orang yang tidak ditaruh di bawah pengampuan;
(3). Orang-orang yang oleh undang-undang tidak dilarang untuk melakukan
perbuatan tertentu”.

28
Syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian mengandung kesadaran
untuk melindungi baik bagi dirinya, bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan
keselamatan keluarganya.
Ukuran Dewasa
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; dewasa adalah telah
berusaha 21 tahun atau sudah menikah
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; dewasa adalah apabila telah
berumur 16 tahun
3. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dewasa
adalah berusia 18 tahun atau telah menikah (Pasal 47 ayat (1))

Orang yang Ditaruh di Bawah Pengampuan, yaitu :


1. Orang gila, dungu, mata gelap
2. Orang yang lemah akal/idiot
3. Pemboros. Orang-Orang yang Oleh Undang-undang yang Dilarang untuk
Melakukan Perbuatan Tertentu yaitu :
1. Suami-istri dilarang melakukan transaksi jual beli diantara mereka 9Pasal
1467 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
2. Hakim, Jaksa, Panitera, advokad, Pengacau, Juru sita, notaris dilarang
mengoper hak dan tagihan yang sedang disengketakan dalam wilayah hukum dimana
mereka melakukan pekerjaan 9 Pasal 1468 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
3. Pejabat umum baik sendiri maupun melalui perantara dilarang untuk membeli
benda-benda yang dijual dengan perantaraan atau dihadapannya (Pasal 1469 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata)
4. Penerima kuasa dilarang membeli barang-barang untuk mana ia dikuasakan
untuk menjualnya (Pasal 1470 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata)
Pentingnya pengaturan tentang ketidakcakapan & ketidakwenangan Ketentuan
mengenai ketidakcakapan diadakan untuk melindungi kepentingan si tidak cakap
terhadap kemungkinan kerugian yang timbul dari tindakan mereka sendiri, karena
mereka dianggap tidak menyadari sepenuhnya akibat dari tindakannya. Adapun
ketentuan mengenai ketidakwenangan diadakan untuk melindungi kepentingan pihak
lawan janjinya/pihak ketiga/ kepentingan umum, dan karenanya perjanjian yang ditutup
oleh orang yang tidak wenang pada asasnya adalah batal demi hukum dan setidak-

29
tidaknya dapat dibatalkan. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh orang gila ada
beberapa pendapat, yaitu :
1. Tidak dapat dibatalkan
2. Menurut Opzomer; perjanjian batal demi hukum berdasarkan teori kehendak
3. Menurut Scholten; perjanjian dapat dibatalkan asal saja dapat dibuktikan
bahwa gilanya sudah ada pada saat perjanjian dibuat. Perkara ”EELMAN –
HIN” Antara Hin (penggugat) dengan Eelman (tergugat) pada tanggal 20 April
1954 telah ditutup perjanjian jual beli rumah peternakan, tetapi tergugat tidak
bersedia untuk menyerahkan rumah peternakan tersebut. Penggugat menuntut,
agar tergugat dihukum untuk memberikan kerjasamanya, untuk
menandatangani akta transportnya, disertai uang paksa. Tergugat sebagai alasan
telah mengemukakan, bahwa pada saat penandatanganan perjanjian, ia tidak
dapat menetapkan dan menyatakan kehendaknya, karena ia tidak ”compos
mentis” (tidak dalam keadaan sadar) dan sebagai akibat dari penyakit jiwanya –
schizophrenia – ia tidak dapat menyadari isi maupun tujuan dari perjanjian itu
dan karena tidak memenuhi Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
maka tidak lahir perjanjian atau paling tidak ada cacat pada kehendak tergugat.
Ternyata tergugat pada tanggal 24 Februari 1955 – jadi sesudah perjanjian
ditutup-ditaruh dibawah curatele. Psychiater, yang ditunjuk sebagai ahli,
memberikan laporan, bahwa tergugat pada saat perjanjian ditutup tidak dapat
menyadari arti dan tujuan tindakannya dan karenanya tak dapat menetapkan
kehendaknya.
Ketika perkara tersebut sampai kepada Hoge Raad, maka Hoge Raad memberikan
pertimbangan :
- Menimbang bahwa keberatan terhadap suatu tindakan hukum, atas dasar tidak adanya
kecakapan bertindak dengan mengesampingkan beberapa unsur perbedaan lain- dalam
hal ini antara lain daripada keberatan terhadap tinadakan hukum berdasarkan tidak
adanya sepakat, sedangkan untuk berhasilnya tuntutan dengan dasar ketidak cakapan,
pertanyaan tentang apakah pihak lawan janjinya tahu atau seharusnya dapat mengetahui
adanya ketidakcakapan itu menjadi tidak relevan, maka untuk tuntutan pembatalan atas
dasar adanya cacat pada kehendak yang dinyatakan dalam kesepakatan, harus dipenuhi
syarat, bahwa pihak lawan janjinya tahu atau setidak-tidaknya dapat dimengerti, bahwa
gambaran (kepercayaan) yang tampak yang ditimbulkan oleh kehendak yang
dinyatakan tersebut, adalah tidak sesuai dengan kehendak yang sebenarnya, yang ada
30
pada dia yang menuntut pembatalan berdasarkan adanya cacat kehendak. - Bahwa dasar
adanya perbedaan adalah, bahwa suatu pengaturan mengenai akibat ketidakcakapan,
menempatkan perlindungan si tidak cakap sebagai pokok pengaturan, sedang pada
waktu orang menilai ada atau tidaknya ”sepakat”, pertama-tama yang diperhatikan
adalah tuntutan dari lalu lintas hukum, yang menuntut -paling tidak untuk perjanjian
atas beban- bahwa pihak yang mendasarkan pada gambaran yang timbul pada dirinya,
mendapat perlindungan atas kepercayaannya yang memang patut dibenarkan- dari
gugatan orang yang menggugat atas dasar adanya cacat kehendak. Bahwa khususnya
untuk itu tidak ada dasar untuk mempertimbangkan, bahwa seorang yang gila, tidak
dapat dipersalahkan atas timbulnya gambaran (mengenai) adanya kehendak –yang
mungkin dalam kenyataan tidak ada- karena bukankah, dalam hukum perdata,
dipertanggungjawabkannya akibat dari gmbaran yang tampak keluar- kepada si yang
menimbulkan gambaran seperti itu, bukan didasarkan atas persangkaan adanya
kesalahan pada si yang disebut terakhir. (J.satrio, 1995; 23-24). 3. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu adalah obyek perjanjian atau merupakan prestasi perjanjian, prestasi
ini dalam Pasal 1332 – 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berupa :
a. memberikan sesuatu
b. berbuat sesuatu
c. tidak berbuat sesuatu Syarat dari obyek (prestasi) dari suatu perjanjian
a. Obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
b. Obyek perjanjian harus terang dan jelas, minimal bisa ditentukan jenisnya namun
jumlahnya dapat ditentukan kemudian (Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata);
c. Boleh memperjanjikan barang yang akan ada seperti jual beli pesanan (absolute
belum ada), disamping itu boleh memperjanjikan barang yang sudah ada tetapi belum
menjadi milik kita (relatif belum ada) (Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata);
d. Syarat yang terpenting adalah obyeknya tidak dilarang oleh undang-undang. Alasan
kenapa isi prestasi harus ditentukan setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya karena
kalau obyeknya tidak tertentu adalah bagaimana orang dapat menuntut pemenuhan
haknya dan bagaimana orang dapat melunasi/melaksanakan kewajibannya kalau
obyeknya saja tidak jelas. Contoh Perkara ”Moraux - Firma Gebr. Veth” Duduk
perkaranya secara ringkas adalah sebagai berikut : Firma Gebr. Veth telah menutup
31
perjanjian jual beli satu partij damar dengan harga f.22,50 per pikol dengan pihak
Moraux, namun kemudian Moraux menolak menerima penyerahan 5 peti damar – yang
disertai dengan tuntutan harganya – sehingga Firma menggugat pihak Moraux di depan
Raad van Justitie Makasar. Tergugat – Moraux – menangkis, dengan mengemukakan,
bahwa gugatan tidak jelas, karena di sana hanya dikatakan, untuk memenuhi kewajiban
pembayaran 5 peti dengan harga f.22,50 per pikol, sedang beratnya tidak disebutkan.
R.v.J memberikan pertimbangan sebagai berikut : - Bahwa bukankah partij dammar,
atas dasar mana diadakan gugatan, dengan cukup telah diuraikan, dan sikap tergugat
juga telah menunjukkan kalau ia tidak kebingungan mengenai damar mana yang
dimaksud, sedang penggugat telah mengemukakan, bahwa partij dammar itu dijual
berdasarkan timbangan (berat), dan adalah sesuai dengan sifat bendanya, bahwa
beratnya akan ditetapkan pada saat penyerahan dan atas dasar itu akan dihitung jumlah
keseluruhan uang pembelian. - Bahwa mengenai jumlah totalnya, tidak dapat dikatakan
obyeknya tidak tertentu (J.Satrio, 1995; 36). 4. Sebab (Kausa) Yang Halal Menurut
Domat dan Poteir, “kausa” suatu perjanjian adalah alasan penggerak yang menjadi
dasar dari kesediaan debitur untuk menerima keterkaitannya atau untuk memenuhi isi
(prestasi) dari perjanjian, tetapi tidak semua alasan penggerak digolongkan sebagai
kausa, melainkan hanya daya penggerak yang langsung saja yang dianggap sebagai
kausa, sedangkan yang lainnya (faktor-faktor yang jauh) dianggap sebagai motif
(J.Satrio, 1995; 54). Hamaker mengartikan “kausa” sebagai suatu perjanjian adalah
akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang
menjadi “tujuan para pihak” untuk menutup perjanjian, oleh karena itu disebut dengan
tujuan yang obyektif, sedangkan tujuan obyektif dinamakan motif. Sementara itu
Subekti mengartikan “kausa” dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.
Misalkan dalam suatu perjanjian jual beli, maka kausa (isinya) adalah penjual
menghendaki uang dan pembeli menghendaki barang, dan kausa dalam perjanjian sewa
menyewa berupa si penyewa mengenginkan menikmati suatu barang dan dipihak
lainnya menginginkan uang sewa (Subekti, 1979; 20). Ajaran mengenai kuasa ini
berlatar belakang pada asas kebebasan berkontrak, karena dikhawatirkan dengan
adanya kebebasan yang luas/besar yang semata-mata hanya didasarkan atas janji saja,
bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada salah satu pihak, maka dicarilah sarana
kontrol terhadap perjanjian
yaitu sebagaimana yang dicantumkan dalam ketentuan Pasal 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu suatu sebab terlarang apabila :
32
a. Bertentangan dengan undang-undang
b. Bertentangan dengan kesusilaan baik
c. Bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan demikian secara argumentum
a contrario ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat
ditafsirkan menjadi “ Sebab (kausa yang halal” yaitu kausa yang :
(a). Tidak bertentangan dengan undang-undang;
(b). Tidak bertentangan dengan kesusilaan baik;
(c). Tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Contoh Peristiwa. Perkara
”Persetujuan Untuk Bercerai” Duduk perkaranya secara ringkas adalah sebagai berikut
: Dr. L dan W adalah suami istri yang telah menikah campur harta. Menjelang keduanya
akan bercerai, pada tanggal 10 Mei 1933 mereka mengadakan perjanjian, dalam mana
disetujui, bahwa Dr.L tidak akan melawan gugat cerai yang akan dilancarkan oleh
istrinya – W – dan sebagai imbalannya – sesudah ada keputusan cerai – W akan
melepaskan haknya atas harta persatuan, suatu pengorbanan finansial yang besar sekali
bagi W untuk keuntungan Dr.L. Untuk itu W telah menandatangani blangko kuasa
untuk melepaskan haknya atas harta persatuan, yang kemudian oleh Dr.L diisi nama
tertentu sebagai penerima kuasa dan selanjutnya kuasa itu benar-benar digunakan.
Karena merasa menyesal W menggugat Dr.L dengan tuntutan agar antara lain
perjanjian tanggal 10 Mei 1933 dan Kuasa untuk melepaskan hak atas harta persatuan
dinyatakan batal. Ketika Hoge Raad mengahadapi perkara tersebut, memberikan
pertimbangan sebagai berikut :
Menimbang bahwa perjanjian tanggal 10 Mei 1933 ternyata melanggar
ketentuan Pasal 208 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan karenanya
berdasarkan ketentuan Pasal 1335 dan 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
tidak mempunyai daya mengikat dan membawa konsekuensi tidak ada
kewajiban/keterikatan untuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melaksanakan
perbuatan yang disebutkan dalam perjanjian (J.Satrio, 1995; 108).

PELAKSANAAN PERJANJIAN

1. Melaksanakan Perjanjian

Pelaksanaan perjanjian adalah aspek yang amat penting dalam perjanjian,


bahkan dapat dikatakan pelaksanaan perjanjian inilah yang merupakan tujuan-tujuan

33
orang-orang yang mengadakan perjanjian, karena dengan pelaksanaan perjanjian
tersebut pihak-pihak yang membuat perjanjian akan dapat memenuhi kewajibannya.
Perjanjian kalau dilihat dari wujudnya merupakan rangkaian kata-kata yang
mengandung janji-janji atas kesanggupan-kesanggupan yang diucapkan/dituangkan
dalam bentuk tulisan oleh pihak yang membuat perjanjian. Dalam perjanjian
tercantum hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak yang membuatnya.
Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa
yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian tersebut dibuat. (Riduan
Syahrani, 2004;218) . Dengan kata lain melaksanakan perjanjian adalah merealisasikan
apa yang sudah disepakati dalam perjanjian.
Apabila perjanjian tersebut merupakan perjanjian sepihak, maka kewajiban
untuk melaksanakan perjanjian tersebut hanya ada pada salah satu pihak saja,
sedangkan pihak yang lainnya hanya mempunyai hak. Tetapi pada perjanjian tambal
balik, kewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut ada pada kedua belah pihak,
sehingga kedua belah pihak secara timbal balik masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban yang saling berhadapan satu sama lainnya sebagai contoh dalam perjanjian
jual beli, maka pelaksanaan perjanjian adalah :
1. Penjual menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli
2. Pembeli menyerahkan uang harga pembelian barang kepada penjual

2. Riel Eksekusi dan Parate Eksekusi

A. Riel Eksekusi

Pasal 1241 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan : “apabila


perikatan tidak dilaksanakan, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya ia
sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang”.
Adapun yang dimaksud dengan riel eksekusi adalah bahwa kreditur dapat
mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan, dengan biaya dari debitur,
berdasarkan kuasa yang diberikan oleh hakim, apabila debitur enggan
melaksanakan prestasi tersebut.
Berdasarkan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi bisa
berwujud :
(a). Memberikan sesuatu
(b). Berbuat sesuatu
(c). Tidak berbuat sesuatu.
Riel eksekusi hanya dilakukan terhadap perikatan yang prestasinya berbuat
sesuatu atau perikatan yang prestasinya tidak berbuat sesuatu, sedangkan untuk
prestasi memberikan/ menyerahkan sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tidak memberikan ketentuan tentang boleh tidaknya dilakukan eksekusi
riel tersebut.
Dalam hal-hal tertentu. Riel eksekusi tidak dapat dilaksanakan, untuk
melakukan suatu perbuatan yang sifatnya sangat pribadi, misalnya perjanjian

34
untuk melukis, dalam hal ini eksekusi riel tidak bisa dilaksanakan karena bersifat
sangat pribadi dan tidak semua orang dapat melukis seperti yang dilakukan oleh
debitur (Subekti, 1979; 36).
Namun undang-undang memberikan perlindungan kepada kreditur untuk
menuntut ganti rugi dan uang pemaksa (dwangsom) dari debitur. Apabila kreditur
menuntut ganti rugi, maka ia harus dapat membuktikan bahwa ia menderita
kerugian, sedangkan apabila kreditur menuntut uang pemaksa, kreditur cukup
mengemukakan bahwa debitur tidak memenuhi prestasinya.

B. Parate Eksekusi

Dalam melaksanakan riel eksekusi harus dipenuhi suatu syarat yaitu adanya
izin dari hakim. Ini adalah sebagai akibat dari azas hukum yaitu tidak boleh main
hakim sendiri. Seorang kreditur yang menghendaki pelaksanaan perjanjian dari
seorang debitur yang tidak mau memenuhi kewajibannya, harus minta bantuan
pengadilan.
Namun, sering terjadi debitur sendiri dari semula sudah memberikan
persetujuannya bahwa apabila ada sampai lalai, kreditur berhak melaksanakan
sendiri hak-haknya menurut perjanjian tanpa harus meminta persetujuan hakim.
Sebagai contoh dalam hal gadai, debitur dengan memberikan memenuhi
kewajibannya, barang tanggungan dapat dijual sendiri oleh kreditur untuk
mengambil pelunasan hutang.
Jadi parate eksekusi merupakan pelaksanaan prestasi yang dilakukan sendiri
oleh kreditur tanpa melalui hakim.

KONTRAK BISNIS

A. Tinjauan Umum Mengenai Pembatalan Kontrak Bisnis

1. Batal karena tidak terpenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian

Batalnya suatu kontrak menyangkut suatu persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya

suatu perjanjian yang berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, terdiri dari empat syarat yakni

syarat pertama yakni adanya kesepakatan kedua belah pihak, syarat kedua adanya kecakapan

untuk melakukan perbuatan hukum, syarat ketiga adanya obyek tertentu dan syarat keempat

yakni adanya kausa yang halal.

35
Perjanjian yang tidak dimintakan pembatalan dianggap tetap berlaku, sehingga penekanan

terhadap pembatalan ada pada inisiatif para pihak. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat

obyektif suatu perjanjian, dengan konsekuensi tidak terpenuhinya salah satu atau keduanya

menyebabkan perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak

pernah ada dan tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan

suatu perikatan hukum dianggap telah gagal, sehingga tidak ada dasar bagi para pihaknya untuk

saling menuntut di depan hakim, disebut null and void.

2. Batal karena terpenuhinya syarat batal dalam perjanjian bersyarat Perikatan bersyarat

merupakan salah satu bentuk perikatan yang dikenal dalam masyarakat. Dalam

KUHPerdata sendiri perikatan bersyarat didefinisikan sebagai perikatan yang digantungkan

pada syarat. Syarat itu adalah peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan

terjadi. Perikatan dengan syarat ini dibedakan menjadi dua, yakni perikatan dengan syarat

tangguh dan perikatan dengan syarat batal. Perikatan dengan syarat tangguh yakni

menangguhkan lahirnya perikatan hingga syarat yang dimaksud terjadi. Sedangkan perikatan

dengan syarat batal, perikatan yang sudah lahir justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa

yang dimaksud itu terjadi. Dalam prakteknya syarat batal ini sering dicantumkan dalam klausul

yang mengatur tentang kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian beserta penyebab dan

konsekuensinya bagi para pihak.

Pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian (terminasi) dapat dilakukan dengan

penyebutan alasan pemutusan perjanjian, dalam hal ini dalam perjanjian diperinci alasan-

alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutus perjanjian. Maka

dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan

perjanjiannya, tetapi hanya wanprestasi yang disebutkan dalam perjanjian saja. Cara lain

pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian yakni dengan kesepakatan kedua belah pihak.

36
Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi

hukum, perjanjian dapat diterminasi jika disetujui oleh para pihak. Pengenyampingan Pasal

1266 KUHPerdata juga sangat sering dicantumkan dalam perjanjian untuk mengatur

pemutusan perjanjian. Pengenyampingan Pasal ini mempunyai makna bahwa jika para pihak

ingin memutuskan perjanjian mereka, maka para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur

pengadilan, tetapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak.

Pengenyampingan Pasal 1266 ini sendiri sebenarnya masih merupakan kontroversi diantara

para ahli hukum maupun praktisi. Dalam hal ini Pasal 1266 KUHPerdata harus secara tegas

dikesampingkan, beberapa alasan yang mendukung pendapat ini misalnya Pasal 1338 ayat 1

yang menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-

undang bagi para pembuatnya, sehingga pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata ini harus

ditaati oleh para pihak, ditambah lagi bahwa jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan

membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi para

pelaku bisnis. Disamping penentuan pemutusan tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan

juga pemutusan perjanjian oleh para pihak tersebut. Sering ditentukan dalam perjanjian, bahwa

sebelum diputuskan suatu perjanjian, haruslah diperingatkan pihak yang tidak memenuhi

prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini bisa dilakukan dua atau tiga kali.

Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung

memutuskan perjanjian tersebut. Pemberian peringatan seperti ini sejalan dengan Pasal 1238

KUHPerdata:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis

itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si

berutang harus dianggap lalaidengan lewatnya waktu yang ditentukan.“

37
Beberapa Praktisi maupun Ahli Hukum lain menyatakan bahwa wanprestasi tidak secara

otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian tetapi harus dimintakan kepada hakim. Hal ini

didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi maka kreditur masih berhak

mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian. Selain itu berdasarkan Pasal

1266 ayat (4) KUHPerdata, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur,

dalam jangka waktu paling lama satu bulan, untuk memenuhi perjanjian meskipun sebenarnya

debitur sudah wanprestasi atau cedera janji.

Sedangkan pendapat yang menyebutkan bahwa pembatalan harus dimintakan kepada

pengadilan, akan menjadi masalah jika hal tersebut dimanfaatkan oleh debitur untuk menunda

pembayaran kredit atau melaksanakan kewajibannya, karena proses melalui pengadilan

membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena hal-hal di atas,

diperlukan pertimbangan dari kasus perkasus dan pihak yang membuat perjanjian dalam hal

memutuskan apakah wanprestasi merupakan syarat batal atau harus dimintakan pembatalannya

kepada hakim.

3. Batal Karena Adanya Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Seseorang yang

berjanji, tetapi tidak melakukan apa yang dijanjikannya, ia alpa, lalai atau ingkar janji atau juga

ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya,

maka ia dikatakan wanprestasi.

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupinya akan dilakukannya

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

38
Terhadap kelalaian atau kealpaan seseorang, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman,

yakni:

a. Membayar kerugian yang diderita pihak lain yang mengalami kerugian, atau

dengan singkat dinamakan ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata).

b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian melalui

pengadilan (Pasal 1266 KUHPerdata).

c. Meminta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi

dan pembatalan perjanjian disertai ganti rugi (Pasal 1267 KUHPerdata).

Dari uraian di atas, terjadinya ingkar janji atu wanprestasi dari pihakpihak dalam perjanjian,

pihak yang dirugikan dapat meminta pembatalan perjanjian.

Pembatalan perjanjian dengan alasan wanprestasi sudah sering terjadi, dan dianggap

wajar. Apalagi jika alasan itu dibenarkan dalam termination clause yang sudah disepakati

bersama kedua pihak. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi salah

satu pihak, dalam KUHPerdata, terdapat pengaturan pada Pasal 1266, yaitu suatu Pasal yang

terdapat dalam bagian kelima Bab I, Buku III, yang mengatur tentang perikatan bersyarat.

Undang-undang memandang kelalaian debitur sebagai suatu syarat batal yang dianggap

dicantumkan dalam setiap perjanjian. dengan kata lain, dalam setiap perjanjian dianggap ada

suatu janji (clausula) yang berbunyi demikian “apabila kamu, debitur, lalai, maka perjanjian

ini akan batal.“76 Walaupun demikian perjanjian tersebut tidak secara otomatis batal demi

hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim, hal ini juga harus tetap dilakukan

walaupun klausula atau syarat batal tadi dicantumkan dalam perjanjian.

Pasal 1266 KUHPerdata, menjadi dasar bahwa hakimlah yang menentukan apakah telah

terjadi wanprestasi atau tidak dalam suatu kontrak.

39
Sebenarnya, pengakhiran kontrak sepihak karena wanprestasi tanpa putusan dari hakim

tidak menjadi masalah kalau pihak lain juga menerima keputusan itu.

Tetapi kalau salah satu pihak menolak dituduh wanprestasi, maka para pihak sebaiknya

menyerahkan keputusan kepada hakim untuk menilai ada tidaknya wanprestasi. Jika hakim

menyatakan perbuatan wanprestasi terbukti dan sah, maka ingkar janji itu dihitung sejak salah

salah satu pihak mengakhiri perjanjian.

Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan

sebelum perjanjian diadakan. Jika suatu pihak telah menerima sesuatu dari pihak lainnya, baik

uang ataupun barang, maka uang atau barang tersebut harus dikembalikan.

4. Pembatalan Perjanjian Secara Sepihak

Pembatalan sepihak atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah satu

pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian. Pada

saat mana pihak yang lainnya tetap bermaksud untuk memenuhi prestasi yang telah

dijanjikannya dan menghendak untuk tetap memperoleh kontra prestasi dari pihak yang lainnya

itu.

Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian yang sah, dalam arti memenuhi syarat sah

menurut Undang-undang, maka berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata. Sedangkan pada ayat

(2) menyebutkan bahwa: “persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan

sepakat kedua belah pihak, atau karena alasanalasan yang oleh Undang-undang dinyatakan

cukup untuk itu”

Dari Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata tersebut, jelas bahwa perjanjian itu tidak dapat

dibatalkan sepihak, karena jika perjanjian tersebut dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian

tersebut tak mengikat diantara orang-orang yang membuatnya. Jika dilihat dari Pasal 1266 dan

40
1267 KUHPerdata, maka jelas diatur mengenai syarat batal jika salah satu pihak tidak

memenuhi kewajibannya.

Pembatalan tersebut harus dimintakan ke pengadilan, hal ini dimaksudkan agar nantinya

tidak ada para pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan alasan salah satu

pihak lainnya tersebut tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi).

Menurut Pasal 1266 KUHPerdata, ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat

supaya pembatalan itu dapat dilakukan. Tiga syarat itu adalah:

a. perjanjian bersifat timbal balik

b. harus ada wanprestasi

c. harus dengan putusan hakim

Perjanjian timbal balik, seperti yang telah dijelaskan di atas dimana kedua pihak memenuhi

kewajibannya masing-masing, yakni prestasi. Jika salah satu pihak ingkar janji atau

wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari perjanjian, maka dapat diajukan gugatan

permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim.

Ada beberapa teori hukum yang terkait dengan pembatalan perjanjian ecara sepihak, yaitu

repudiasi terhadap perjanjian. Repudiasi (repudiation, anticipatory) adalah pernyataan

mengenai ketidaksediaan atau ketidak mampuan untuk melaksanakan perjanjian yang

sebelumnya telah disetujui, pernyataan mana disampaikan sebelum tiba waktu melaksanakan

perjanjian tersebut. Repudiasi dalam pengertian itu disebut repudiasi anticepatory yang

berbeda dengan repudiasi biasa (ordinary) yaitu pembatalan yang dinyatakan ketika telah

masuk masa pelaksanaan perjanjian.

Konsekuensi yuridis dari adanya repudiasi atas suatu kontrak adalah dapat menunda atau

bahkan membebaskan pihak lain dari kewajiban melaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut;

41
dan di sisi lain memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat segera menuntut

ganti rugi, sungguhpun kepada pihak yang melakukan repudiasi belum jatuh tempo untuk

melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian.

Suatu tindakan repudiasi atas suatu perjanjian dapat diwujudkan dengan cara yaitu:

1. Repudiasi secara tegas Maksudnya pihak yang menyatakan repudiasi menyatakan

kehendaknya dengan tegas bahwa dia tidak ingin melakukan kewajibannya yang terbit

dari perjanjian.

2. Repudiasi secara inklusif Di samping secara tegas-tegas, maka tindakan repudiasi

dapat juga dilakukan tidak secara tegas, tetapi secara inklusif. Maksudnya dari fakta-

fakta yang ada dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu pihak telah tidak akan

melakukan kewajibannya yang terbit berdasarkan perjanjian.

Kriteria utama terhadap adanya repudiasi inklusif adalah bahwa pihak yang melakukan

repudiasi menunjukkan tindakan atau maksudnya secara logis dan jelas (reasonably clear)

bahwa dia tidak akan melaksanakan kewajibannya yang terbit dari perjanjian.

A. Tahap Pelaksanaan Suatu Perjanjian Kontrak Bisnis

1. Pendahuluan

Sebelum sebuah draf kontrak disusun atau dirancang maka, para pihak harus melewati

tahapan awal yang dikenal dengan pra penyusunan kontrak atau pra kontraktual. Pembuatan

kontrak hendaknya ditulis spesifik terkait dengan siapa, apa, kapan dan bagaimana kontrak

tersebut dilakukan atau written agreements should be specific: who, what,when and how.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada masa sebelum kontrak dibuat (pracontractul) oleh

42
para pihak yaitu identifikasi para pihak, penelitian awal aspek terkait, pembuatan MOU, dan

negosiasi.

2. Tahapan Perancangan Kontrak Bisnis

Sebelum merancangan kontrak bisnis perlu diperhatikan tahapan-tahapan yang harus

dijalankan, agar kontrak yang akan dibuat nantinya dapat menampung semua kepentingan para

pihak yang terkait. Tahapan yang dimaksud sebagai berikut:

a. Identifikasi para pihak Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi secara jelas,

perlu diperhatikan perundang-undangan yang berkaitan terutama tentang

kewenangannya sebagai pihak dalam kontrak tersebut dan apa yang menjadi dasar

kewenangannya itu untuk misalnya badan hukum melihat pada anggaran dasar.

b. Penelitian awal aspek terkait Dalam hal ini para pihak berharap bahwa kontrak yang

ditandatangani akan dapat menampung semua keinginannya, sehingga perlu perincian

yang jelas.

c. Pembuatan MOU Meskipun tidak terlalu dikenal dalam hukum konvensional

Indonesia, akan tetapi dalam praktek sering terjadi. Hal itu dianggap sebagai kontrak

yang sederhana serta dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan.

Hal itu sebagaimana pengertian Memorandum of Understending (MoU) yang rumuskan

dalam Black’s Law Dictionary, yaitu: “is to serve as the basis of future formal contract.”

MoUdapat diartikan sebagai dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada

masa datang. Dalam pengertian yang lain pula dapat diartikan bahwa memorandum itu sebagai

permulaan untuk mengadakan ikatan hukum atau perjanjian yang akan dituangkan dalam suatu

akta yang autentik. Perkataan ‘Understanding’ diartikan sebagai: “an implied agreement

resulting from the express term of another agreement, whether written or oral.” Yang berarti

pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain,

43
baik secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan

maupun tertulis.

Dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun tertulis. Dengan demikian, MoU

sebagai suatu bentuk perjanjian atau kesepakatan awal menyatakan langkah pencapaian saling

pengertian antara kedua belah pihak (prelimary understanding of parties) untuk melangkah

kemudian pada penandatanganan suatu kontrak.Menurut Erman Radjagukguk MoU sebagai

dokumen yang memuat saling pengertian dan pemahaman para pihak sebelum dituangkan

dalam perjanjian yang formal yang mengikat kedua belah pihak. Maka agar muatan MoU

mengikat harus dituangkan kembali dalam perjanjian.

Salim H. S pula memberikan pengertian Memorandum of Understanding adalah “Nota

kesepahaman yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik

dalam suatu negara maupun antarnegara untuk melakukan kerja sama dalam berbagai aspek

kehidupan dan jangka waktunya tertentu.” Adapun Hikmahanto Juwana, menyatakan bahwa

“penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis.“ Penggunaan istilah

yang dimaksud baik dari segi teori maupun praktis, dapat dirincikan seperti berikut:

a. Secara teoritis, dokumen MoU tidak mengikat secara hukum, agar mengikat secara

hukum harus dilanjuti dengan perjanjian. Kesepakatan dalam MoU lebih bersifat

ikatan moral. Beliau menganalogikan MoU sebagai lembaga “pertunangan” bukan

lembaga “perkawinan.”

b. Sedangkan dalam segi praktis, Hikmahanto Juwana membagi pemahaman MoU ke

dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

i). Pemahaman bahwa MoU hanya mengikat secara moral, karena itu harus

dilanjutkan dengan perjanjian.

44
ii). Pemahaman bahwa MoU disejajarkan dengan perjanjian. Namun hal

terpenting bukan pada istilah yang digunakan, tetapi isi atau materi dari nota

kesepahaman tersebut“.

Dalam pandangan legal, jika perjanjian atau kontrak mengatur mengenai hal-hal yang

pokok saja, maka mengikatnya juga hanya terhadap hal-hal yang pokok tersebut. Selain itu,

jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu, maka mengikatnya juga

hanya untuk jangka waktu tertentu pula, para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat

suatu perjanjian yang lebih rinci dari MoU tersebut. Secara teori, MoU bukanlah sebuah

kontrak karena memang masih merupakan kegiatan prakontraktual. Oleh karena itu, di

dalamnya sengaja tidak dimasukkan unsur intention to create legal relation oleh para pihak

yang melakukan kesepakatan tersebut.

Dalam pengertian lain, walaupun para pihak yang melakukan kesepakatan tersebut

menandatangani kesepakatan dalam bentuk MoU, akan tetapi apabila para pihak menyetujui

untuk memasukkan unsur “intention to create legal relation” sebagai konsekuensi hukum atas

tidak dilaksanakannya kesepakatan prakontraktual tersebut, maka MoU yang secara teori

bukanlah berubah menjadi kontrak bagi para pihak. MoU yang pada dasarnya tidak

dimaksudkan sebagai kontrak tersebut oleh para pihak disusupi ketentuan-ketentuan ataupun

perikatan yang memiliki konsekwensi hukum, maka MoU berubah pengertiannya menjadi

sebuah kontrak.

Prinsip mengikatnya kontrak bagaimana pun juga bukan suatu yang absolut. Apabila

terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak,

keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan yang dimaksud dalam prinsip-prinsip ini

sebagai hardship. Article 6.2.2 memberikan definisi kesulitan (hardship) adalah peristiwa yang

secara fundamental telah merubah keseimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya

45
pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang

menerima sangat menurun, sementara itu:

a. peristiwa tersebut diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah kontrak terjadi

b. peristiwa tidak dapat diperkirakan oleh pihak yang dirugikan sebelum kontrak

disepakati

c. peristiwa terjadi di luar kontrol pihak yang dirugikan d. resiko dari peristiwa itu tidak

diperkirakan oleh pihak yang dirugikan

Akibat hukum bila terjadi kesulitan diatur dalam yang menentukan bahwa:

1. pihak yang dirugikan berhak meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain yang harus

diajukan dengan menunjukan dasar-dasarnya

2. permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak

3. apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar,

masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan

4. apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan, maka pengadilan dapat

memutuskan untuk hal-hal berikut:

i) Mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti

ii) Mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.

Tahap prakontraktual tidak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana kekuatan

mengikatnya sebuah kontrak sebab belum memenuhi unsur syarat umum sahnya

sebuah kontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Tahap

prakontraktual hanya mengikat para pihak secara moral dan tetap harus dilandasi oleh

prinsip itikad baik dan transaksi jujur (good faith and fair dealing).

46
Bentuk MoUyang dibuat antara para pihak adalah tertulis dan substansinya

ditentukan oleh kedua belah pihak. Dalam berbagai literatur tidak ditemukan struktur

atau susunan dari sebuah MoU. Sebelum dirumuskan tentang struktur tentang MoU,

maka kita harus melihat substansi MoU yang dibuat para pihak. Dengan demikian

MoU merupakan bentuk perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai pra kontrak atau

perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian

lain yang mengaturnya secara detail.

MOU memiliki beberapa ciri yang menggambarkan sebagai suatu pembuka

kesepakatan, seperti berikut:

i. Isinya singkat berupa hal pokok

ii. Merupakan pendahuluan yang akan diikuti kontrak terperinci

iii. Jangka waktunya terbatas

iv. Biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang

memaksa untuk adanya kontrak terperinci.

d. Negosiasi

Negosiasi dipandangan sebagai sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi

dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya perbedaan

pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh kesamaan/ketidaksamaan

kepentingan diantara mereka.

pentingan diantara mereka. Negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan

menyimpang dari prinsip fair dealing. Contohnya: seseorang melakukan atau melanjutkan

negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan

47
perhatian lawan atau saingan bisnisnya; suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan

sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan

bahwa perundingan akan menjadi kontrak; - apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain

mengenai isi atau syarat kontrak, baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya

diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.

Terdapat 2 (dua) corak posisi negosiasi yaitu:

a. Bargaining position yang lunak, yaitu sering dilakukan di lingkungan keluarga,

kawan dll.

b. Hard position bargainer (keras) sangat mungkin menemui deadlock akibat adanya

tekanan/ancaman. Oleh karena itu, yang paling efektif adalah perpaduan keduanya

dalam bernegosiasi menganut pola ‘menang-menang yaitu keras dalam

permasalahan tetapi lunak terhadap orang. Pilihan akan mudah diterima bila

dilandasi adanya kriteria obyektif seperti penilaian ilmiah, perundangan-undangan,

nilai pasar dll.

Penyusunan draf kontrak merupakan salah satu tahapan yang merupakan tahap awal

dalam pembuatan suatu kontrak adalah tahap penyusunan kontak. Dalam tahap ini, disusunlah

kesepakatan yang telah dicapai dalam negosiasi dan yang dituangkan dalam nota kesepakatan

(Memorandum of Understanding: MOU) serta perundingan lanjutan hingga dicapai

kesepakatan untuk bergerak ke arah pembuatan bentuk format dari kesepakatan itu menjadi

suatu kontrak. Menyusun suatu kontrak membutuhkan ketelitian dan kejelian dari para pihak

maupun para notaris atau pejabat lainnya. Karena apabila keliru merumuskan nama dan data

pokok, kontrak itu mungkin menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya di kemudian hari.

A. Tahapan Pelaksanaan Review Kontrak

48
Peninjauan kembali kontrak bermacam-macam khususnya dalam kontek besaran

volume kerja, sesuai dengan karakteristik pekerjaan (projek) yang diusulkan. Kompleksitasnya

seperti terkait dengan teknis atau organisasi. Selanjutnya beberapa faktor yang mempengaruhi

tingkat dari review kontrak, sebagai berikut:

a. Besaran volume proyek

Dalam hal ini ukuran besaran suatu proyek yang akan dikerjakan, biasanya diukur dalam

ukuran sumber daya manusia perbulan.

b. Kompleksitas teknis proyek.

Tingkat kerumitan teknis proyek harus disesuaikan pula/memerlukan staf yang cakap

untuk menanganinya. Maka harus dipastikan dan disesuaikan tingkat pengetahuan dan

pengalaman staf terhadap proyek. Pengetahuan dengan bidang dalam proyek sering

dikaitkan dengan kemungkinan reused software digunakan lagi; dalam kasus di mana

penggunaan kembali dari perangkat lunak mempunyai proporsi yang tinggi, sehingga

tingkat review berkurang.

c. Kompleksitas organisasi proyek.

Semakin besar jumlah organisasi, yaitumitra, subkontraktor, dan pelanggan yang

mengambil bagian dalam proyek, semakin besar upaya review kontrak diperlukan. Dengan

demikian diasumsikan bahwa "sederhana" ulasan kontrak akan dilakukan oleh salah satu

resensi, yang akan fokus pada beberapa mata pelajaran dan berinvestasi sedikit waktu

dalam bukunya review. Namun, review kontrak besar-besaran mungkin memerlukan

partisipasi sebuah tim untuk memeriksa berbagai mata pelajaran, proses menuntut investasi

jam kerja banyak.

49
Seterusnya perlu dipastikan tenaga ahli yang akan melakukan peninjauan terhadap suatu

kontrak. Dalam bahasa lainnya siapa yang bertugas melakukan review terhadap kontrak, sesuai

dengan kerumitan proyek yang akan dilakukan antara lain sebagai berikut:

a. Pemimpin atau anggota lain dari timproposal.

b. Para anggota tim proposal.

c. Seorang profesional Professional yang dimaksud adalah seseorang dari luar atau

seorang anggota staf perusahaan yang bukan anggota tim proposal.

d. Sebuah tim ahli dari luar Lazimnya,, tim review kontrak terdiri dari ahli dari luar yang

dipanggil, terutama untuk proposal utama. Ahli dari luar dapat dipakai untuk review

kontrak kecil dimana organisasi pengembangan perangkat lunak tidak mempunyai

cukup anggota tim yang memadai.

Peninjauan kembali untuk proposal utama, yang dimaksud adalah proposal untuk proyek-

proyek yang ditandai dengan setidaknya beberapa hal antara seperti:: skala proyek sangat besar,

kompleksitas teknis yang sangat tinggi, suatu area baru bagi perusahaan, dan kompleksitas

organisasi yang tinggi (yang ditandai oleh sejumlah besar organisasi, yaitu mitra, subkontraktor

dan pelanggan, yang mengambil bagian dalam proyek ini). Pelaksanaan proses review kontrak

untuk sebuah proyek besar biasanya menyebabkan kesulitan organisasi secara substansial.

Beberapa jalan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut disarankan disini, berikut review

dari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan untuk penyelesaian tugas dengan lancar.

Dalam rangka pelaksanaan peninjaun kembali sebuat kontrak untuk proposal utama,

umumnya atau sebagian besar mereka sependapat bahwa review kontrak adalah prosedur

utama untuk mengurangi risiko kegagalan proyek besar. Beberapa substansial, mendasar, dan

kesulitan yang melekat dalam melakukan review kontrak, terutama untuk situasi yang

memerlukan review proposal utama.

50
Dalam review baik review draft proposal dan review draft kontrak biasanya dilakukan

ketika tim tender berada di bawah tekanan waktu. Akibatnya, setiap tahap review kontrak harus

diselesaikan hanya dalam waktu beberapa hari untuk memberikan waktu pelaksanaan koreksi

dokumen. Maka sebuah proses pelaksanaan peninjauan kembali rancangan proposal dan

rancangan kontrak semestinya memahami hal berikut:

a. Dilakukan oleh profesional

Review kontrak yang tepat harus dikerjakan oleh orang yang secara substansial

profesional pada bidang tersebut. Kinerja profesional pada setiap tahap dari review

kontrak membutuhkan investasi keahlian profesional yang substansial (jumlah

waktu diperlukan bervariasi, sesuai dengan sifat proyek).

b. Anggota tim senior dan pakar

Staf review kontrak yang potensial, anggota tim review kontrak biasanya

merupakan anggota staf senior dan ahli-ahli yang biasanya sangat berkomitmen

untuk melakukan tugas-tugas rutin mereka, sehingga tidak ada waktu untuk

melakukan review.

c. Rekomendasi untuk menerapkan review kontrak besar

Perencanaan secara hati-hati pada pelaksanaan review kontrak sangat diperlukan

agar berhasil menyelesaikannya. Disarankan bahwa langkah-langkah berikut harus

diambil untuk memfasilitasi proses review:

d. Review kontrak harus dijadwalkan

Pelaksanaan peninjauan terhadap suatu kontrak harus dimasukkan dalam jadwal

persiapan proposal, menyediakan yang cukup waktu untuk review dan koreksi.

e. Suatu tim harus melakukan peninjauan kontrak

Teamwork memungkinkan untuk membagi beban kerja diantara anggota tim

sehingga masing-masing anggota tim review kontrak mendapatkan cukup waktu

51
untuk melakukan pekerjaanya termasuk mempersiapkan laporan tertulis yang

merangkum hasil temuan dan rekomendasi.

f. Seorang pemimpin tim review kontrak harus ditunjuk. Adalah penting bahwa

ada orang yang bertanggung jawab untuk mengatur, mengelola dan mengendalikan

kegiatan review kontrak, yang biasanya dengan cara menunjuk seorang pemimpin

tim.

Seorang pemimpin tim memiliki tugas seperti berikut:

i) perekrutan anggota tim

ii) mendistribusikan tugas review antara anggota tim menjadi koordinator

antara anggota tim review

iii) Sebagai koordinator antara tim review dan tim proposal

iv) menindak lanjuti kegiatan, terutama tentang dengan jadwal

v) membuat kesimpulan dari temuan-temuan dan menyampaikannya kepada

tim proposal.

Pelaksanaan tinjaun terhadap kontrak dimaksudkan untuk memeriksa beberapa hal,

berdasarkan tujuan dari review kontrak itu sendiri. Check lists adalah alat yang berguna untuk

membantu tim review untuk mengatur pekerjaan mereka sehingga bisa mencakup sebagian

besar tujuan yang sesuai dengan kegiatan review. Jelas bahwa banyak subjek pada checklist

yang tidak relevan bagi proyek tertentu. Bahkan ada kemungkinan bahwa checklist tidak

mencantumkan subjek yang sangat relevan dengan proposal proyek. Ini adalah tugas tim

peninjau kontrak, terutama pemimpinnya, untuk menentukan daftar subjek yang sesuai untuk

proposal proyek tertentu.

Review kontrak untuk proyek internal, sebagian besar proyek perangkat lunak bersifat

proyek internal yang dilakukan oleh satu unit organisasi untuk unit lain dari organisasi yang

52
sama. Dalam kasus tersebut, satu unit dalam organisasi tersebut bertindak sebagai supplier,

sedangkan unit lainnya dapat dianggap sebagai konsumen. Seringkali, proyek pengembangan

perangkat lunak internal tidak dianggap sebagai hubungan pelanggan-pemasok yang

sebenarnya. Dalam beberapa kasus, proyek-proyek didasarkan pada kesepakatan umum, tetapi

lebih berperan ke dalam peningkatkan hubungan antara dua unit tersebut. Dalam kondisi seperti

ini, review kontrak hanya dilakukan seperlunya bahkan mungkin tidak diperlukan review

kontrak sama sekali. Bahkan yang dituntut dari bagian legal dalam mereview perjanjian adalah

kemampuan untuk memahami terminologi dan kalimat-kalimat bisnis yang berubah menjadi

istilah dan kalimat-kalimat hukum. Perubahan ini memiliki konsekuensi tersendiri yang tentu

harus dijadikan pertimbangan saat melakukan review.

53

Anda mungkin juga menyukai