Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

MENENTUKAN UPAYA PENCEGAHAN …

OLEH
KELOMPOK II

INDRA BAUSIN 2121013


MILDA DJAFAR 2121006
SRI YUSRA KONE 2121007
SEPTIA MALIKI 2121005
YENITA SERA BULU 2121020
APRIANUS AJAY BAU 2121021
MOH KAMAL T MOPANGGA 2121014

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat di selesaikan. Makalah ini merupakan makalah pengetahuan bagi
mahasiswa/i Keperawatan maupun para pembaca untuk bidang Ilmu Pengetahuan.
Makalah ini sendiri dibuat guna memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah
“KESELAMATAN PASIEN DAN KESELAMATAN KERJA”. Dalam penulisan makalah ini
penyusun berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh para
pembaca.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karenanya, penyusun menerima kritik dan saran yang positif dan
membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan makalah ini. Penyusun
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita semua. Aamiin.

Makassar, 2 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN..................................................................................................................5
A. Latar Belakang.....................................................................5
B. Rumusan masalah...............................................................5
C. Tujuan.................................................................................. 6
BAB II.................................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN....................................................................................................................7
A. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard
Pada Tahap Pengkajian Asuhan Keperawatan.................7
1. Contoh Upaya Hazard Dan Resiko Bagi Perawat Saat Melakukan
Pengkajian........................................................................................................... 7
2. Contoh Upaya Resiko dan Hazard pada Perawat dalam Tahap
Pengkajian Berdasarkan Kasus Penyakit Akibat Kerja........................................9
B. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard
Pada Tahap Perencanaan Asuhan Keperawatan.............9
1. Contoh Upaya Resiko Dan Hazard Pada Tahap Perencanaan
Asuhan Keperawatan Meliputi :............................................................................9
C. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard
Pada Tahap Implementasi Asuhan Keperawatan...........11
1. Contoh upaya mencegah Hazard dan Risiko Implementasi
Keperawatan :....................................................................................................11
2. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja Sama Secara Umum............................11
3. Upaya pencegahan dari rumah sakit /tempat kerja............................................12
4. Upaya pecegahan pada perawat :.....................................................................12
D. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard
Pada Tahap Evaluasi Asuhan Keperawatan...................13
1. Resiko Dan Hazard Pada Tahap Evaluasi Asuhan Keperawatan :....................13
BAB III............................................................................................................................... 14
PEMBAHASAN..................................................................................................................14
A. Upaya Mempertahankan Egronomik Pada Posisi Baring,
Duduk, Berdiri, Dan Berjalan............................................14
1. Definisi Ergonomik............................................................................................. 14
2. Prinsip Ergonomik..............................................................................................14
3. Mempertahankan Ergonomic Pada Posisi berdiri..............................................15
4. Mempertahankan Ergonomik Pada Posisi Dinamis (Duduk Dan
Berdiri)................................................................................................................15
5. Mempertahankan ergonomik Pada Posisi berbaring.........................................15
B. Upaya Mencegah Hazard Psikososial.............................15
1. Definisi............................................................................................................... 15
C. Upaya Memutus Rantai Infeksi : Precaution, Medication
Safety.................................................................................18
1. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi.............................................................18
BAB IV............................................................................................................................... 32
PENUTUP.......................................................................................................................... 32
A. Kesimpulan........................................................................32
B. Saran..................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap pekerjaan di dunia ini pasti masing-masing memiliki tingkat risiko
bahaya. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk
menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah
mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk
dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3
diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun
penyakit akibat melakukan pekerjaan. Dalam pelaksanaan K3 sangat dipengaruhi
oleh tiga faktor utama yaitu manusia, bahan, dan metode yang digunakan, yang
artinya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam mencapai penerapan K3
yang efektif dan efisien.
Untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja maka di
setiap perusahaan yang memiliki tenaga kerja lebih dari 100 orang dan memiliki
risiko besar terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan
program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Permenaker No. 5 Tahun 1996).
Menurut ILO, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah menjaga dan
meningkatkan kesejahteraan fisik, mental dan sosial seluruh para pekerja dan pada
semua sektor pekerjaan, mencegah pekerja terjangkit penyakit yang disebabkan oleh
kondisi pekerjaan, melindungi pekerja dari risiko yang berdampak buruk pada
kesehatan, menempatkan dan menjaga pekerja dalam lingkungan yang sesuai
dengan kondisi fisiologi dan psikologi, menyesuaikan pekerjaan dengan pekerja serta
pekerja dengan pekerjaannya (Markkanen, P.K, 2004).

B. Rumusan masalah
1. Apa saja upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap pengkajian asuhan
keperawatan ?
2. Apa saja upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap perencanaan asuhan
keperawatan ?
3. Apa saja upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap implementasi asuhan
keperawatan ?
4. Apa saja upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap evaluasi asuhan
keperawatan ?
5. Apa saja Upaya Mempertahankan Egronomik Pada Posisi Baring, Duduk, Berdiri,
Dan Berjalan?
6. Apa saja Upaya Mencegah Hazard Psikososial?
7. Apa saja Upaya Memutus Rantai Infeksi : Precaution, Medication Safety?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap proses
keperawatan.
2. Untuk mengetahui upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap perencanaan
asuhan keperawatan ?
3. Untuk mengetahui upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap implementasi
asuhan keperawatan ?
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan risiko dan hazard pada tahap evaluasi
asuhan keperawatan ?
5. Untuk mengetahui Upaya Mempertahankan Egronomik Pada Posisi Baring,
Duduk, Berdiri, Dan Berjalan?
6. Untuk mengetahui Upaya Mencegah Hazard Psikososial?
7. Untuk mengetahui Upaya Memutus Rantai Infeksi : Precaution, Medication
Safety?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard Pada Tahap


Pengkajian Asuhan Keperawatan
Perawat memiliki peran yang penting dan luas dalam pelayanan kesehatan. Hal
ini disebabkan karena jumlah perawat memiliki porsi yang besar di dalam pelayanan
kesehatan. Perawat juga memiliki kontak yang lebih sering terhadap pasien sehingga
hal inilah yang memungkinkan terjadinya risiko kesalahan dalam pelayanan yang
diberikan. Kesalahan praktek keperawatan dapat terjadi dalam tahap pengkajian
keperawatan, diagnose keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan
perencanaan keperawatan, evaluasi atau penilaian proses keperawatan.
Keselamatan pasien adalah suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Dalam proses pengkajian, seorang perawat bertugas untuk mengumpulkan informasi
yang berkenaan dengan dengan kondisi pasien. Informasi ini bisa didapatkan baik
melalui pasien itu sendiri atau keluarga pasien, rekam medis, tenaga kesehatan, dan
lainnya. Informasi yang dikumpulkan oleh perawat haruslah berupa fakta dan actual.
Keselamatan awal seorang pasien ditentukan oleh cara seorang perawat
melakukan proses pengkajian. Seorang perawat harus mampu mengumpulkan
informasi mengenai kondisi pasien secara akurat, tepat, dan actual Jika seorang
perawat melakukan kesalahan pada tahap pengkajian ini, maka pada tahap selanjutnya
akan terjadi pula kesalahan yang dapat membahayakan dan mengancam keselamatan
nyawa pasien.
Oleh sebab itu pada tahap pengkajian ini perawat harus mampu meningkatkan
komunikasi secara efektif agar tidak terdapat informasi yang salah dimengerti oleh
perawat, atau informasi yang tidak tepat dan tidak cukup, mengidentifikasi dan
mengobservasi pasien secara benar, melakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan
status kesehatan pasien dan selanjutnya untuk menentukan rencana tindakan
perawatan yang benar.
 Contoh Kasus :
Pada tanggal 27 Maret 2016 di Rumah Sakit Singapura terjadi kasus
nyata kekerasan fisik dan verbal pada saat perawat sedang melakukan
pengkajian. perawat tersebut pada saat melakukan pengkajian kepada pasien,
mendapatkan kekerasan fisik sekaligus verbal dari pasien yang ia kaji. Seperti
yang dikutip dalam suatu artikel di media online :
“Ketika perawat Nur, 31 tahun melakukan pendekatan untuk
mengumpulkan data, salah satu pasiennya ngamuk, berteriak dan memukul
mukul kepalanya ke dinding.
Dia mencoba menghentikan dan menenangkannya tapi pasien nya secara
emosinal malah menendang dadanya membuat dia terluka dan kejadian
kekerasan fisik maupun verbal dalam kasus tersebut tidak disebut berasal dari
kesalahan perawat sendiri ataukan karena memang sang pasien memiliki
emosional yang tidak dapat dikontrol”.
Dalam proses pengkajian sendiri, terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh perawat. Mulai dari pemahaman akan pengertian pengkajian,
tahap-tahapan pengkajian, sehingga metode yang digunakan melakukan
pengkajian. Dalam pengkajian pasien, perawat pun harus menyadari akan
adanya hazard dan resiko yang mungkin mereka dapatkan.
Beberapa macam upaya perlu di lakukan sebagai tindakan pencegahan
upaya-upaya tersebut dapat dilakukan baik dari pihak pasien, perawat itu
sendiri maupun dari pihak manajemen rumah sakit.

 Berikut beberapa upaya yang perlu di lakukan untuk mencegah terjadinya


kekerasan fisik dan verbal pada perawat saat melakukan pengkajian :

1. Perawat harus melakukan setiap adanya tindakan kekerasan dalam bentuk


apapun kepada pihak rumah sakit
2. Memberikan pengertian kepada pasien agar memperlakukan sesama
manusia dengan dasar martabat dan rasa hormat
3. Dalam melakukan kontak kepada pasien, perawat seharusnya menjadi
pendengar yang baiksalah satu teknik pengumpulan data pada pengkajian
adalah wawancarta.saat melakukan wawancaraperawat harus mampu
menempatkan diri sebagai tempat curhat pasien sebaik mungkin
4. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada perawat tentang cara
menghindari tindakann kekerasan verbal dan fisik
5. Ketika pasien terlihat sedang dalam keadaan tidak terkontrol dan susah
untuk di dekati, perawat dapat melakukan pengkajian kepada keluarga
pasien terlebih dahulu.
6. Saat mengkaji, perawat tidak boleh menyampaikan kata-kata yang
menyingung pasien dan keluarga.
7. Saat melakukan tindakan pemeriksaan fisik, perawat harus meminta
persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
8. Manajemen rumah sakit perlu memfasilitasi perawat mempersiapkan diri
untuk menghadapi hazard dan resiko.
9. Manajemen harus terbuka serta tidak berusaha menutupi terhadap
laporan-laporan kekerasan fisikmaupun verbal terhadap perawat
10. Memodifikasi lingkungan yang nyaman dirumah sakit mulai dari poli,
ruangan rawat inap, sampai ke unit gawat darurat dan ruang intensif untuk
menentramkan suasana hati pasien dan keluarga.

1. Contoh Upaya Resiko Hazard Bagi Perawat Saat Melakukan Pengkajian


1. Pelecehan verbal saat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga
2. Kekerasan fisik pada perawat ketika melakukan pengkajian
3. Pasien dan keluarga acuh tak acuh dengan pertanyaan yang di ajukan
perawat
4. Resiko tertular penyakit dengan kontak fisik maupun udara saat pemeriksaan
fisik.
5. Perawat menjadi terlalu empati dengan keadaan pasien dan keluarganya

2. Contoh Upaya Resiko dan Hazard pada Perawat dalam Tahap Pengkajian
Berdasarkan Kasus Penyakit Akibat Kerja.
1. Batasi akses ketempat isolasi .
2. Menggunakan APD dengan benar.
3. SOP memasang APD, jangan ada sedikitpun bagian tubuh yang tidak tertutup
APD.
4. Petugas tidak boleh menyembunyikan wajahnya sendiri.
5. Membatasi sentuhan langsung ke pasien.
6. Cuci tangan dengan air dan sabun.
7. Bersihkan kaki dengan di semprot ketika meninggalkan ruangan tempat
melepas APD.
8. Lakukan pemeriksaan berkala pada pekerja.
9. Hindari memegang benda yang mungkin terkontaminasi.
B. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard Pada Tahap
Perencanaan Asuhan Keperawatan
Perencanaan asuhan keperawatan merupakan suatu proses penyusunan
berbagai intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau
mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah ketiga dalam
membuat suatu proses keperawatan. Dalam Asuhan Keperawatan juga terdapat risiko
yang sering muncul dalam perencanaanya.
Risiko didefinisikan sebagai kombinasi dari kemungkinan terjadinya peristiwa yang
berhubungan dengan cidera parah; atau sakit akibat kerja atau terpaparnya seseorang
atau alat pada suatu bahaya. Jadi, bahaya adalah sifat dari proses yang dapat
merugikan individu, dan risiko adalah kemungkinan bahwa itu akan terjadi bersama
dengan seberapa parah akibat yang akan diterima. Tidak hanya resiko yang sering
timbul dalam perencanaan asuhan keperawatan tapi bahaya atau lebih dikenal dengan
hazard juga sering muncul pada perencanaan asuhan keperawatan akibat kurangnya
perawat memperhatikan prinsip K3.
Beberapa risiko dan hazard yang timbul dalam asuhan keperawatan seperti
kesalahan saat merencanakan pengkajian. Misalnya jika perawat salah dalam
mengkaji, maka perawat akan salah dalam memberikan proses perawatan atau
pengobatan yang pada akhirnya akan mengakibatnya kesehatan pasien malah
semakin terganggu.
1. Contoh Upaya Resiko Dan Hazard Pada Tahap Perencanaan Asuhan
Keperawatan Meliputi :
1) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor resiko. Rumah
sakit harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta
pengendalian faktor resiko.
a. Identifikasi sumber bahaya
Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan :
1) Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya
2) Jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi
b. Penilaian faktor resiko
Adalah proses untuk menentukan ada tidaknya resiko dengan jalan
melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko
kesehatan dan keselamatan kerja.
c. Pengendalian faktor risiko
Dilakukan melalui empat tingkatan pengendalian risiko yaitu
menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan
sarana/peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah / tidak ada
(engneering/rekayasa), administrasi dan alat pelindung pribadi (APP).
2) Membuat peraturan
Rumah sakit harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar
operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan
ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus dievaluasi,
diperbaharui dan harus dikomunikasikan serta disosialisasikan pada karyawan
dan pihak yang terkait.
3) Tujuan dan sasaran
Rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan,
bahaya potensial, dan risiko K3 yang bisa diukur, satuan/indikator
pengukuran, sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian (SMART)
4) Indikator kinerja
Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus
merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 rumah sakit.
5) Program kerja
Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan proram K3 rumah sakit,
untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan dicatat serta
dilaporkan.
6) Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta
kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan
melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab,
penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakan
disiplin. Ketua organisasi/satuan pelaksana K3 rumah sakit secara spesifik
harus mempersiapkan data dan informasi pelaksanaan K3 di semua tempat
kerja, merumuskan permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya
masalah bersama unit-unit kerja, kemudian mencari jalan pemecahannya dan
mengkomunikasikannya kepada unit-unit kerja, sehingga dapat dilaksanakan
dengan baik.

C. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard Pada Tahap


Implementasi Asuhan Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kreteria hasil yang di harapkan
(Gordon, 1994, dalam potter dan perry, 1997)
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan, penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping.
1. Contoh upaya mencegah Hazard dan Risiko Implementasi Keperawatan :
a. Membantu dalam aktifitas sehari-hari
b. Konseling
c. Memberikan asuhan keperawatan langsung.
d. Kompensasi untun reaksi yang merugikan.
e. Teknik tepat dalam memberikan perawatan dan menyiapkan klien utnuk
prosedur.
f. Mencapai tujuan perawatan mengawasi dan menggevaluasi kerja dari anggota
staf lain.
2. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja Sama Secara Umum
a. Upaya pencegahan keccelakaan kerja melalui pengendalian bahaya yang di
tempat kerja pemantauan dan pengendalian kondisi tidak aman di tempat
kerja.
b. Upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui pembinaan dan pengawasan
pelatihan dan pendidikan,konseling dan konsultasi,pengembangan sumber
daya atau teknologi terhadap tenaga kerja tentang penerapan k3.
c. Upaya pencegahan kecelakaan kerja melalui system manajemen prosedur
dan aturan k3, penyediaan sarana dan prasarana k3 dan pendukungnya,
penghargaan dan sanksi terhadap penerapan k3 di tempat kerja.
3. Terdapat Juga Beberapa Upaya Pencegahan Lain, Antara Lain :
Pelayanan kesehatan kerja diselenggarakan secara paripurna, terdiri dari
pelayanan promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitative yang di laksanakan dalam
sutau system yang terpadu.

 Contoh Kasus
“Seorang perawat RSUD Gunung Jati Positif Difteri”
Seorang perawat di RSUD Gunung Jati, kota Cirebon, diketahui positf difteri
pasca menangani pasien yang menderita penyakit yang sama.
CIREBON – seorang perawat di RSUD Gunung Jati,kota Cirebon, diketahui
positif difteri pasca menangani pasien difteri. Berdasarkan informasi, perawat
tersebut diduga tertular pasca menangani dan melakukan tindakan awal pada
pasien positif difteri tersebut, perawat terkena diffteri berinisal Ru dan bertugas
di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Gunung Jati. Ru diketahui
merupakan perawat pertama difteri yang masuk rumah sakit tersebut.
4. Upaya pencegahan dari rumah sakit /tempat kerja
a. RS menyediakan APD yang lengkap sepeti masker, handskoon, dan scout dll.
Alasan : meminimalisir terjadinya atau tertularnya penyakit / infeksi yang dapat
terjadi terutama saat bekerja, APD harus selalu di gunakan sebagai
perlindungan diri dengan kasus di atas dapat di hindari jika perawat
menggunakan APD lengkap mengingat cara penularan difteri melalui
terpaparnya cairan ke pasien.
b. Menyediakan sarana untuk mencui tangan atau alkohol gliserin untuk perawat.
Alasan : cuci tangan merupakan cara penanganan awal jika kita sudah
terlanjur terpapar cairan pasien baik pasien beresiko menularkan atau tidak
menularkan. Cuci tangan merupakan tindakan aseptic awalawal sebelum ke
pasien maupun setelah ke pasien.
c. RS menyediakan pemilahan tempat sampah medis dan non medis.
Alasan : bila sampah medis dan non medis tercampur dan di kelola dengan
baik akan menimbulkan penyebaran penyakit.
d. RS menyediakan SOP untuk tindakan keperawatan.
Alasan : agar petugas/perawat menjaga konsisten dan tingkat kinerja
petugas/perawat atau timdalam organisasi atau unit kerja, sebagai acuan
(chek list) dalam pelaksanaan kegiaan tertentu bagi sesama pekerja.
Supervisor dan lain-lain dan SOP merupakan salah satu cara atau parameter
dalam meningkatkan mutu pelayanan.
5. Upaya pecegahan pada perawat :
a. Menjaga diri dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptic seperti
mencuci tangan, memakai APD, dan menggunakan alat kesehatan dalam
keadaan steril.
Alasan : agar perawat tidak tertular penyakit dari pasien yang di tangani
meskipun pasien dari UGD dan memakai APD adalah salah satu SOP RS.
b. Perawat mematuhi standar Operatinal Prosedure yang sudah ada RS dan
berhati-hati atau jangan berburu-buru dalam melakukan tindakan.
Alasan : meskipun pasien di ruang UGD dan pertama masuk RS, perawat
sebaiknya lebih berhati-hati atau jangan terburu-buru dalam melakukan
tindakan ke pasien dan perawat menciptakan dan menjaga keselamatan
tempat kerja supaya dalam tindakan perawat terhindar dari tertularnya
penyakit dari pasien dan pasien juga merasa aman.

D. Upaya Mencegah Dan Meminimalkan Risiko Dan Hazard Pada Tahap Evaluasi
Asuhan Keperawatan
Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi K3 di rumah sakit adalah salah satu
fungsi manajemen K3 rumah sakit yang berupa suatu langkah yang diambil untuk
mengetahui dan menilai sampai sejauh mana proses kegiatan K3 rumah sakit itu
berjalan dan mempertanyakan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan
K3 rumah sakit dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
1. Resiko Dan Hazard Pada Tahap Evaluasi Asuhan Keperawatan :
1) Pencatatan dan pelaporan K3 terintegrasi ke dalam sistem pelaporan RS
(SPRS).
2) Inspeksi dan pengujian
Inspeksi K3 merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan K3 secara
umum dan tidak terlalu mendalam.Inspeksi K3 di rumah sakit dilakukan
secara berkala, terutama oleh petugas K3 rumah sakit sehingga kejadian
PAK dan KAK dapat dicegah sedini mungkin. Kegiatan lain adalah pengujian
baik terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap pekerja berisiko
seperti biological monitoring (pemantauan secara biologis)
3) Melaksanakan audit K3
Audit K3 meliputi falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan,
karyawan dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur,
pengembangan karyawan dan program pendidikan, evaluasi dan
pengendalian. Tujuan audit K3 :
a. Untuk menilai potensi bahaya, gangguan kesehatan dan keselamatan.
b. Memastikan dan menilai pengelolaan K3 telah dilaksanakan sesuai
ketentuan.
c. Menentukan langkah untuk mengendalikan bahaya potensial serta
pengembangan mutu.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Upaya Mempertahankan Egronomik Pada Posisi Baring, Duduk, Berdiri, Dan


Berjalan.
1. Definisi Ergonomik
Ergonomik adalah ilmu, teknologi dan seni yang berupaya
menserasikan alat, cara kerja dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,
kebolehan dan Batasan manusia untuk mewujudkan kondisiling kungan kerja
yang sehat, aman,nyaman dan efisen sehingga tercapai produktivitas yang
setinggi-tingginya.
2. Prinsip Ergonomik
Dalam perancangan peralatan kerja dapat digunakan beberapa prinsip
ergonomic sebagai pegangan, antara lain:
1) Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk susunan,
ukuran dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat petunjuk, cara-
cara manusia melayani mesin (macam gerak dan kekuatan)
2) Untuk normalisasi ukuran mesin dan alat industri harus diambil ukuran
terbesar sebagai dasar serta diatur dengan suatu cara tenaga kerja yang
lebih kecil. Misalnya kursi dapat dinaik turunkan, tempat duduk dapat maju
mundur..
3) Ukuran antropometri terpenting seperti dasar ukuran-ukuran dan
penempatan alat-alat industri:
a. Berdiri
> Tinggi badan berdri
> Tinggi Bahu
> Tinggi Siku
> Tinggi Pinggul
> Depa
> Panjang Lengan
b. Duduk
> Tinggi Badan
> Tinggi lenganatas
> Panjang lenganbawah dan tangan
> jaraklekuklutut-garis pinggang
> jaraklekuklutut-telapak
4). Dari sudut otot, sikap duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk,
sedangkan pada sudut tulang dinasehatkan duduk tegak. Agar punggung
tidak bungkuk dan otot perut tidak lemas, maka di anjurkan pemilihan sikap
duduk yang tegak yang baik diselingi istrahat sedikit membungkuk.
5). Tempat duduk yang baik memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Tinggi dataran duduk yang dapat di atur dengan papan kaki yang sesuai
dengan tinggi lutut, sedangkan paha dalam keadaan datar.
b. Papan tolak punggung yang tingginya dapat di atur dan menekan pada
punggung.
c. Lebar papan duduk tidak kurang dari 35cm

3. Mempertahankan Ergonomic Pada Posisi berdiri


1) Bekerjalah dengan posisi tegak kedepan .usahakan pekerjaan terlihat
dengan kepala dan badan tegak, kepala agak kedepan.
2) Kurangi Gerakan yang tidak perlu, gunakan sepatu yang senyaman
mungkin.
3) Manfatkan waktu istirahat semaksimal mungkin agar kerja dan istirahat
seimbang.
4) Hindari postur tubuh yang tidak berubah / statis,sesekali regangkan otot-otot.
5) Apabila anda memerlukan aktivitas menjangkau barang-barang tertentu,
maka letakan barang-barang tersebut dalam posisi yang minimal atau
terdekat dan mudah terjangkau dan mudah terlihat.
4. Mempertahankan Ergonomik Pada Posisi Dinamis (Duduk Dan Berdiri)
1) Usahakan benda yang akan anda jangkau berada maksimal 15cm di atas
landasan kerja.
2) Tinggi landasan kerja dengan kisaran antara 90cm-120cm, merupakan
ketinggian yang paling tepat dan baik untuk posisi duduk maupun berdiri.
5. Mempertahankan ergonomik Pada Posisi berbaring
1) Jika berbaring lordosis dipertahankan
2) posisi yang paling baikadalah “semi fowler” yaitu berbaring dengan paha dan
lutut 450
3) Membantu venous return
4) Otot perut liiopsus)relaks
5) bantal,menjadikan kepala dan leher netral. Bantal bulu/kapuk lebih baik dari
pada spon.

B. Upaya Mencegah Hazard Psikososial


1. Definisi
Physichosocial Hazard (bahaya psikososial) adalah bahaya pekerjaan
yang memengaruhi kesejahteraan psikologis pekerja termasuk kemampuan
untuk berpartisipasi dalam lingkungan kerja diantara orang lain. Apabila
kondisi psikososial seseorang terganggu maka dapat mengurangi kualitas
sumber daya manusianya dan juga perlahan akan mengganggu
kesejahteraan fisiknya. Frekuensi dan kuantitas terpapar hazard psikososial
akan membuat individu menjadi stress. Stres merupakan kondisi ketegangan
yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi fisik seseorang
(Hasibuan, 2008). Kondisi stress inilah yang akan menjadi hambatan untuk
melakukan rutinitas hidupnya
Upaya pencegahan hazard psikososial membutuhkan peran dari
berbagai pihak karena keseluruh pihak yang terlibat dalam hospitalisasi anak
juga terpapar bahaya psikososial. Untuk mengatasi hazard psikososial dalam
diri perawat perlu kerja sama dari pihak kepala ruangan atau bagian
manajemen keperawatan. Terkhusus untuk perawatan anak di rumah sakit,
perawat membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan
anak. Beban kerja yang berlebihan membuat perawat tidak punya waktu
untuk mendengarkan keluhan serta membina hubungan saling percaya
(trust) antara pasien dengan perawat. Sementara apabila perawat tidak
mampu memberikan asuhan keperawatan yang baik, akan diberi penilaian
yang buruk oleh atas dan rekan sejawat. Hal ini tentu menjadi tekanan
mental dan tuntutan tersendiri bagi perawat yang bertugas. Oleh karena itu
sangat dibutuhkan peran manajemen keperawatan untuk meminimalisir
beban kerja agar perawat tidak stress dan kinerjanya juga dapat berkualitas
Salah satu cedera yang terjadi pada pasien adalah dikarenakan tidak
dapat menerapkan kondisi egronomik yang baik. Ergonomi adalah suatu
aturan atau norma dalam sistem kerja. Di Indonesia memakai istilah
ergonomi, tetapi di beberapa Negara seperti di Skandinavia menggunakan
istilah “Bioteknologi” sedangkan di Negara Amerika menggunakan istilah
“Human Engineering”atau “Human Factors Engineering”. Namun demikian,
kesemuanya membahas hal yang sama yaitu tentang optimalisasi fungsi
manusia terhadap aktivitas dilakukan.
2. Tujuan Penerapan Sistem Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit Antara Lain :
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit
2) Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3) Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD)
4) Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
KTD Dalam upaya pencapaian tujuan keselamatan pasien
3. Program Keselamatan Pasien Ini Memberikan Berbagai Manfaat Bagi Rumah
Sakit Antara Lain:
a. adanya kecenderungan “Green Product” produk yang aman di bidang
industri lain seperti halnya menjadi persyaratan dalam berbagai proses
transaksi, sehingga suatu produk menjadi semakin laris dan dicari
masyarakat.
b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan pasien akan lebih
mendominasi pasar jasa bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-
asuransi dan menggunakan Rumah Sakit tersebut sebagai provider
kesehatan karyawan/klien mereka, dan kemudian di ikuti oleh masyarakat
untuk mencari Rumah Sakit yang aman.
c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih memukuskan diri dalam kawasan
keselamatan pasien. Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional
perawat yang bersifat dinamis dan membutuhkan kreativitas mereka
memberikan pelayanan kepada pasien.
Untuk anak yang sedang di hospitalisasi ada banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah hazard psikososial. Tentu cara-cara ini
membutuhkan peran keluarga, pasien, dan juga petugas kesehatan agar
cara ini dapat efektif mencegah hazard psikososial. Berikut adalah beberapa
cara yang dapat dilakukan :
 Penerapan Lingkungan Terapeutik : Hal ini dapat mengurangi stress anak
terhadap lingkungan baru yang dianggap menakutkan baginya.
Penggantian sprei yang tadinya berwarna polos menjadi bergambar,
hiasan dinding bercorak kartun, dan adanya komunikasi terapeutik antara
perawat dengan anak dapat meminimalkan hazard psikososial.
 Menyediakan Mainan : Rumah sakit dapat menyediakan mainan di ruang
perawatan anak agar kecemasan mereka dapat berkurang. Apabila rumah
sakit tidak menyediakan, orang tua dapat menyiasatinya dengan
membawa mainan dari rumah agar anak tidak terlalu merasa asing
dengan lingkungan yang dihadapinya.
 Terapi Bermain Cerita : terapi ini dapat dilakukan oleh petugas kesehatan
ataupun orang tua agar anak tidak merasa sendiri.
 Terapi Mendengarkan Musik : Hal ini tentu akan mengurangi tingkat stress
dan kecemasan anak terhadap perawatannya. Anak juga dapat
merasakan keceriaan lewat musik yang didengarkannya.
 Terapi Bermain : Hal ini dapat dilakukan dengan meminjamkan anak alat
kesehatan seperti stetoskop, agar anak merasa familiar dan tidak takut
saat akan diperiksa.
 Membawa Teman Bermain : Sesekali saat waktu kunjungan, keluarga
dapat meminta teman bermain, atau keluarga yang biasa bermain dengan
pasien. Hal ini dapat mengurangi rasa kesepian anak akibat perpisahan
dengan teman sebayanya.
4. Bahaya Psiko-sosial
yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh kondisi aspek-
aspek psikologis ketenaga kerjaan yang kurang baik atau kurang
mendapatkan perhatian seperti :
1) Penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan bakat, minat,
kepribadian,motivasi, temperamen atau pendidikannya.
2) Kurangnya keterampilan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya
sebagai akibatkurangnya latihan kerja yang diperoleh
3) Hubungan antara individu yang tidak harmoni dan tidak serasi dalam
organisasi kerja
4) Pentingnya mempelajari Bahaya Psychosocial dan Stress Kerja adalah agar
produktivitas kerja dapat tetap terjaga
Bahaya psikososial ini secara langsung atau tidak akan berpengaruh
terhadap konflik fisik dan karyawan sehari-hari, jika seorang karyawan tidak
dapat mengatasi beban bahaya ini dengan baik maka karyawan tersebut
akan jatuh dalam kondisi bosan, jenuh, stress dan akanmengalami
gangguan serta keluhan penyakit serta menurunkan produktivitas kerja
keryawan.
 Gejala stress :
1. Kepuasan kerja rendah
2. Kinerja yang menurun
3. Semangat dan energy menjadi hilang
4. Komunikasi tidak lancar
5. Pengambilan keputusan buruk
6. Kreativitas dan inovasi berkurang
7. Pendekatan individu dan organisasi
 Gangguan emosional yang muncul:
1. Cemas
2. Gelisah
3. Gangguan kepribadian
4. Penyampingan seksual
5. Ketergantungan alcohol atau obat-obatan terlarang

C. Upaya Memutus Rantai Infeksi : Precaution, Medication Safety


1. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi
Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia, termasuk Indonesia. Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat
berasal dari komunitas (Community acquired infection) atau berasal dari
lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection) yang sebelumnya
dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Tindakan medis yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang bertujuan untuk perawatan atau penyembuhan
pasien, apabila dilakukan tidak sesuai prosedur maka berpotensi untuk
menularkan penyakit infeksi, baik bagi pasien yang lain atau bahkan pada
petugas kesehatan itu sendiri. Karena tidak dapat ditentukan secara pasti
asal infeksi, maka sekarangistilah infeksi nosokomial (Hospital acquired
infection) diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare-associated infections”
(HAIs) dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah sakit tetapi
juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, serta tidak terbatas infeksi
pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang didapat
pada saat melakukan tindakan perawatan pasien (Akib et al, 2008).
Mencegah atau membatasi penularan infeksi di sarana pelayanan
kesehatan memerlukan penerapan prosedur dan protokol yang disebut
sebagai"pengendalian". Secara hirarkis hal ini telah ditata sesuai dengan
efektivitas pencegahan dan pengendalian infeksi (Infection Prevention and
Control–IPC), yang meliputi: pengendalian bersifat administratif,
pengendalian danrekayasa lingkungan, dan alat pelindung diri (Slamet et al,
2013).
Program yang termasuk pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu :
1) Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi;
2) Surveilans ( Hals dan proses audit kepatuhan petugas untuk cuci tangan dan
memakai APD)
3) Penerapan kewaspadaan isolasi;
4) Pendidikan dan pelatihan PPI;
5) Penggunaan antimikroba rasional;
6) Kesehatan karyawan (Rosa, 2015).

Tujuan dari Pencegahan dan Pengendalian Infeksi adalah untuk


membantu mengurangi penyebaran infeksi yang terkait dengan pelayanan
kesehatan,dengan penilaian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi oleh
NationalInfection Control Policies. Tujuan utamanya adalah untuk
mendukung promosi kualitas pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien,
petugas kesehatan, dan orang lain dalam perawatan kesehatan dan
lingkungan dengancara yang hemat biaya (WHO, 2014).
 Kewaspadaan Isolasi
Kewaspadaan isolasi adalah tindakan pencegahan atau pengendalian infeksi
yang disusun oleh CDC dan harus diterapkan di rumah sakit dan pelayanan
kesehatan lainnya. Kewaspadaan isolasi diterapkan untuk menurunkan resiko
trasmisi penyakit dari pasien ke pasien lain atau ke pekerja medis.
Kewaspadaan isolasi memiliki 2 pilar atau tingkatan, yaitu Kewaspadaan
Standar (Standard/Universal Precautions) dan Kewaspadaan berdasarkan
cara transmisi (Transmission based Precautions) (Akib et al,2008).
 Kewaspadaan Standar (Standard/Universal Precautions)
Kewaspadaan standar adalah kewaspadaan dalam pencegahan
danpengendalian infeksirutin dan harus diterapkan terhadap semua pasien
disemua fasilitas kesehatan. Kewaspadaan standar/universal yaitu tindakan
pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk
mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip
bahwadarah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik
berasaldari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Tindakan
dalamkewaspadaan standar meliputi :
a. Kebersihan tangan.
b. APD : sarung tangan, masker, goggle, face shield , gaun.
c. Peralatan perawatan pasien.
d. Pengendalian lingkungan.
e. Penatalaksanaan Linen.
f. Pengelolaan limbah tajam/ Perlindungan & Kesehatan karyawan.
g. Penempatan pasien
h. Hygiene respirasi/Etika batuk
i. Praktek menyuntik aman
j. Praktek pencegahan infeksi unt prosedur lumbal pungsi

Berdasarkan Association for Professionals in Infection Control and


Epidemiology (APIC) kepatuhan kewaspadaan standard terdapat 8 indikator
yang terdiri dari :
a. Mencuci tangan sebelum memberikan perawatan kepada pasien.
b. Gunakan sarung tangan apabila kontak dengan darah / cairan tubuh,
membrane mukosa atau kulit yang tidak utuh pada semua pasien.
c. Lepas sarung tangan sebelum meninggalkan area perawatan pasien.
d. Mencuci tangan setelah melepaskan sarung tangan.
e. Buang jarum pada tempat pembuangan tanpa menutup kembali.
f. Gunakan gaun, kacamata atau pelindung wajah ketika adanya percikan
atau semprotan dari cairan tubuh.
g. Ketika menggunakan sarung tangan kotor jangan menyentuh area bersih
dari ruangan/pasien.
h. Needleboxes tidak terisi dengan penuh.
 Kewaspadaan berdasarkan transmisi (Transmission based Precautions).
Kewaspadaan berdasarkan transmisi merupakan tambahan untuk
kewaspadaan standar, yaitu tindakan pencegahan atau pengendalia ninfeksi
yang dilakukan setelah jenis infeksinya sudah terdiagnosa atau diketahui (Akib
et al, 2008). Tujuannya untuk memutus mata rantai penularan mikroba
penyebab infeksi, jadi kewaspadaan ini diterapkan padapasien yang memang
sudah terinfeksi kuman tertentu yang bisa ditransmisikan lewat udara, droplet,
kontak kulit atau lain-lain (Muchtar,2014). Berdasarkan Pedoman Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Lainnya tahun 2008, jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi :
a. Kewaspadaan transmisi kontak
Transmisi kontak merupakan cara transmisi yang terpenting dan tersering
menimbulkan HAIs. Kewaspadaan transmisi kontak ini ditujukan untuk
menurunkan resiko transmisi mikroba yang secara epidemiologi
ditransmisikan melalui kontak langsung atau tidak langsung.
1) Kontak langsung
Meliputi kontak permukaan kulit terluka/abrasi orang yangrentan/petugas
dengan kulit pasien terinfeksi atau kolonisasi. Misal perawat
membalikkan tubuh pasien, memandikan, membantu pasien bergerak,
dokter bedah dengan luka basah saat mengganti verband, petugas tanpa
sarung tangan merawat oral pasien HSV atau scabies.
2) Transmisi kontak tidak langsung
Terjadi kontak antara orang yang rentan dengan benda yang
terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan, instrumen yang
terkontaminasi, jarum, kasa, tangan terkontaminasi dan belum dicuci atau
sarung tangan yang tidak diganti saat menolong pasien satu dengan
yang lainnya, dan melalui mainan anak. Kontak dengan cairan sekresi
pasien terinfeksi yang ditransmisikan melaluitangan petugas atau benda
mati dilingkungan pasien. Petugas harus menahan diri untuk menyentuh
mata, hidung, mulut saat masih memakai sarung tangan terkontaminasi
ataupun tanpa sarung tangan. Hindari mengkontaminasi permukaan
lingkungan yan gtidak berhubungan dengan perawatan pasien misal:
pegangan pintu, tombol lampu, telepon.

b. Kewaspadaan transmisi droplet


Diterapkan sebagai tambahan kewaspadaan standar terhadap
pasiendengan infeksi diketahui atau suspek mengidap mikroba yang dapat
ditransmisikan melalui droplet ( > 5μm). Droplet yang besar terlalu berat
untuk melayang di udara dan akan jatuh dalam jarak 1 m dari sumber.
Transmisi droplet melibatkan kontak konjungtiva atau mukus membran
hidung/mulut, orang rentan dengan droplet partikel besar mengandung
mikroba berasal dari pasien pengidap atau carrier dikeluarkan saat batuk,
bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction, bronkhoskopi.
ransmisi droplet langsung, dimana droplet mencapai mucus membrane atau
terinhalasi. Transmisi droplet ke kontak, yaitu droplet mengkontaminasi
permukaan tangan dan ditransmisikan ke sisi lain misal: mukosa membran.
Transmisi jenis ini lebih sering terjadi daripada transmisi droplet langsung,
misal: commoncold, respiratory syncitial virus (RSV). Dapat terjadi saat
pasien terinfeksi batuk, bersin, bicara, intubasi endotrakheal, batuk akibat
induksi fisioterapi dada, resusitasi kardio pulmoner.

c. Kewaspadaan transmisi melalui udara ( Airborne Precautions )


Kewaspadaan transmisi melalui udara diterapkan sebagai tambahan
kewaspadaan standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui
terinfeksi mikroba yang secara epidemiologi penting dan ditransmisikan
melalui jalur udara. Seperti transmisi partikelterinhalasi (varicella zoster)
langsung melalui udara. Ditujukan untuk menurunkan resiko transmisi udara
mikroba penyebab infeksi baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei
(sisapartikel kecil < 5μm evaporasi dari droplet yang bertahan lama diudara)
atau partikel debu yang mengandung mikroba penyebab infeksi. Mikroba
tersebut akan terbawa aliran udara > 2m dari sumber, dapat terinhalasi oleh
individu rentan di ruang yang sama dan jauh dari pasien sumber mikroba,
tergantung pada faktor lingkungan, misal penanganan udara dan ventilasi
yang penting dalam pencegahan transmisi melalui udara, droplet nuklei atau
sisik kulit luka terkontaminasi (S. aureus).

 Alat Pelindung Diri (APD)


1. Pengertian APD
Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
mendefinisikan Alat Pelindung Diri (APD) adalah pakaian khusus atau
peralatan yang digunakan oleh karyawan untuk perlindungan diri dari bahan
yang menular (Centers for Disease Control and Prevention). APD
merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri terhadap bahaya-
bahaya kecelakaan kerja, dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat
keparahan dari kecelakaan kerja yang terjadi. Meskipun
tidakmenghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada dengan
menggunakan APD (Mulyanti, 2008).
Berdasarkan Panduan Pemakaian Alat Pelindung Diri di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Gamping tahun 2015. APD merupakan solusi
pencegahan yang paling mendasar dari segala macam kontaminasi dan
bahaya akibat bahan kimia. APD digunakan untuk melindungi kulit dan
membran mukosa petugas kesehatan dari resiko terpaparnya darah, sekret,
ekskreta, kulit yang tidak utuh, dan selaput lendir pasien serta semua jenis
cairan tubuh pasien. Jenis-jenis tindakan beresiko yang menggunakan alat
alat seperti perawatan gigi, tindakan bedah tulang, otopsi dan tindakan rutin
(KEMENKES, 2010).
 Tujuan menggunakan APD
Alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya
tertentu, yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan pekerjaan dan
sebagai usaha untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan cedera atau
sakit (Siburian, 2012). Alat pelindung diri merupakan komponen utama
personal precaution beserta penggunaannya yang biasa digunakan perawat
sebagai kewaspadaan standar (standard precaution) dalam melakukan
tindakan keperawatan menurut Departemen Kesehatan RI, 2007 yang
bekerjasama dengan Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia
(PERDALIN) tahun 2008.
 Jenis-Jenis APD
a. Sarung tangan
Sarung tangan digunakan oleh petugas kesehatan dianjurkan untuk dua
alasan utama, yaitu:
1) untuk mengurangi resiko kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan
darah dan cairan tubuh pasien.
2) untuk mengurangi resiko penyebaran kuman ke lingkungan dan
transmisi dari petugas kesehatan ke pasien dan sebaliknya, serta dari
satu pasien ke pasien lain (WHO, 2009).

Sarung tangan steril digunakan untuk intervensi bedah dan beberapa


perawatan non-bedah, seperti kateter pembuluh darah pusat serta saat
akan memegang atau kontak dengan peralatan steril atau luka (Kozier,
2002; WHO, 2009). Sarung tangan tidak perlu digunakan saat tindakan
ambulasi klien, tindakan yang kontak dengan kulit utuh, mengganti cairan
infus, memeriksa tanda-tanda vital, atau mengganti linen, kecuali
terdapatnya tumpahan cairan tubuh kontaminasi (Kozier, 2002).
Gunakan sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, saat
menggunakan sarung tangan hindari kontak pada benda-benda yang tidak
berhubungan dengan tindakan yang sedang dilakukan, serta tidak
dianjurkan menggunakan sarung tangan rangkap bila tidak benar-benar
diperlukan, kecuali dalam tindakan yang memerlukan waktu yang lama dan
tindakan yang berhubungan dengan jumlah darah atau cairan tubuh yang
banyak (KEMENKES, 2010).
Penggunaan sarung tangan harus tepat atau sesuai dengan indikasi,
hal ini berhubungan dengan pemborosan sarung tangan. Kondisi ini
berkaitan juga dengan ketersediaan fasilitas atau pasokan sarung tangan
yang disediakan dan biaya, jadi petugas kesehatan terutama perawat
sangat penting untuk dapat: 1) mengidentifikasi situasi klinis ketika sarung
tangan tidak perlu digunakan; 2) membedakan situasi atau tindakan yang
harus memakai sarung tangan atau tidak; 3) memilih jenis sarung tangan
yang paling tepat yang akan digunakan. Selain berkaitan dengan biaya dan
fasilitas sarung tangan yang tersedia, penggunaan sarung tangan dengan
tepat berkaitan dengan penularan atau kontaminasi dari sarung tangan
tersebut, sedangkan kontaminasi dapat dicegah dengan melakukan cuci
tangan dengan benar (WHO, 2009).
b. Masker
Masker digunakan untuk menghindarkan perawat menghirup
mikroorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan
patogen dari saluran pernapasan perawat ke klien, begitu pula sebaliknya.
Misalnya berinteraksi atau memberikan tindakan pada klien yang menderita
infeksi penularan lewat udara (airborne), misalnya merawat pasien
tuberculosis. Saat menggunakan masker minimalkan pembicaraan, serta
masker yang sudah lembab segera diganti dan masker hanya digunakan
satu kali (Potter & Perry, 2005).
c. Goggle atau Kacamata
Perawat menggunakan kacamata pelindung, masker, atau pelindung
wajah saat ikut serta dalam prosedur invasif yang dapat menimbulkan
adanya percikan atau semprotan darah atau cairan tubuh lainnya meliputi
pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter atau dekontaminasi
alat bekas pakai. Kacamata harus terpasang dengan pas sekeliling wajah
sehingga cairan tidak dapat masuk antara wajah dan kacamata (Potter &
Perry, 2005).
d. Gown atau Gaun pelindung
Gaun digunakan untuk melindungi seragam atau baju petugas dari
kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh yang
terinfeksi, serta digunakan untuk menutupi pakaian atau seragam saat
merawat pasien yang atau dicurigai menderita penyakit menular melalui
udara. Gaun pelindung harus dipakai bila kontak dalam ruang isolasi ada
indikasi misalnya saat membersihkan luka, melakukan tindakan drainase,
membuang cairan terkontaminasi, mengganti pembalut, menangani pasien
pendarahan massif, melakukan tindakan bedah, otopsi dan perawatan gigi.
Saat membuka gaun harus berhati-hati untuk meminimalkan kontaminasi
terhadap tangan dan seragam (Potter & Perry, 2005).
e. Penutup kepala atau Topi
Penutup kepala atau topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala
sehingga mencegah mikroorganisme yang terdapat di rambut dan kulit
kepala tidak masuk atau jatuh ke daerah atau alat yang steril. Topi
digunakan untuk melindungi petugas kesehatan dari darah atau cairan
tubuh yang menyemprot atau terpercik (KEMENKES, 2010).
f. Sepatu Pelindung (Pelindung Kaki)
Sepatu pelindung adalah sepatu khusus yang digunakan oleh petugas yang
bekerja diruangan tertentu misalnya ruang bedah, laboratorium, ICU, ruang
isolasi, ruang pemulasaran, dan petugas sanitasi, tidak boleh dipakai ke
ruangan lainnya. Tujuannya untuk melindungi kaki petugas dari tumpahan
atau percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari
kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan
(KEMENKES, 2010).

 Penetapan Jenis APD


Penetapan Jenis APD ruang rawat inap berdasarkan Panduan Pemakaian Alat
Pelindung Diri di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping tahun 2015,
yaitu:
a. Pelayanan pasien dengan luka, tindakan menjahit, Bedah Minor, rawat luka
pasien resiko rendah (pasien tanpa HIV, Hepatitis, B/C, dan penyakit
menular berbahaya lainnya yang di tularkan lewat cairan tubuh) :
1) Pelindung pernafasan : masker bedah
2) Pelindung tangan : sarung tangan bersih atau sarung tangan steril
b. menyesuaikan dengan jenis tindakan dan kondisi luka tindakan menjahit,
bedah minor, rawat luka pasien resiko tinggi (pasien dengan HIV, Hepatitis
B/C, dan penyakit menular berbahaya lainnya yang ditularkan lewat cairan
tubuh) :
1) Pelindung mata : Spectacle Google
2) Pelindung kepala : Tutup kepala
3) Pelindung respirasi/hidung/mulut : Masker bedah
4) Pelindung Tubuh : Apron/scotch/celemek /gaun
5) Pelindung tangan : Sarung tangan bedah bersih
dipasang double dengan sarung
tangan panjang bila ada. Bila tidak
ada di double dengan sarung
tangan sejenis.
6) Pelindung kaki : Sepatu karet.

c. Pelayanan pasien dengan penyakit paru menular berbahaya (TBC,


Penumonia) :
1) Pelindung pernafasan : Masker respirator N95
2) Pelindung tangan : Sarung tangan bedah bersih
d. Pelayanan pasien dengan kemungkinan sangat tinggi terpapar cairan tubuh
baik pada pasien infeksius maupun tidak.
1) Pelindung mata Pelindung mata : Spectacle Google
2) Pelindung kepala : Tutup kepala
3) Pelindung respirasi/hidung/mulut : Masker bedah
4) Pelindung Tubuh : Apron/Scotch/Celemek
5) Pelindung tangan : Sarung tangan bedah bersih
dipasang double dengan sarung
tangan panjang bila ada. Bila tidak
ada di double dengan sarung tangan
sejenis.
6) Pelindung kaki : sepatu boot karet.
e. Pelayanan pasien dengan penyakit kulit menular
1) hidung/mulut : masker bedah
2) Pelindung tangan : sarung tangan bedah bersih
f. Pelayanan pasien dengan risiko terpapar cairan tubuh minimal
1) Pelindung hidung/mulut : masker bedah
2) Pelindung tangan : sarung tangan bedah bersih

 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD


a. Pengawasan
Dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit
diperlukan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh menteri
kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sesuai fungsi dan tugasnya masing-masing (KEMENKES, 2010).
Pengawasan dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan pekerja
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan Standar Operational Prosedure
(SOP). Begitu pula pada penerapan penggunaan alat pelindung diri harus
diatas pengawasan yang tepat agar terlaksana sesuai dengan Standar
Operational Prosedure (SOP) yang di rumah sakit.
b. Standar Operating Procedure ( SOP)
Dalam panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient
safety), selain keselamatan pasien yang harus diperhatikan adalah
keselamatan pekerja atau petugas kesehatan agar tidak terjadinya kejadian
yang tidak diingikan (Depkes, 2007), maka dari itu diperlukannya peraturan
atau acuan untuk melaksanakan keselamatan pasien dan petugas
kesehatan dalam bentuk Standar Operational Procedure (SOP).
Rumah sakit harus memiliki Standar Operational Prosedure yang
akan mengatur dan sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan yang
berhubungan dengan pasien, petugas, pengunjung, jenis-jenis tindakan,
alat-alat, isolasi, pemberian obat, pengaturan ruang, transportasi, ruang
perawatan maupun penggunaan APD (Siburian, 2012).
c. Fasilitas APD di Rumah Sakit
Alat pelindung diri (APD) yang tersedia di rumah sakit seperti sarung
tangan, masker, baju pelindung, kacamata pelindung dan sepatu pelindung.
Fasilitas APD yang tersedia di rumah sakit ini sangat berpengaruh, karena
walaupun tingkat pengetahuan tenaga keperawatan sudah baik, adanya
pelatihan dan terdapat Standar Operating Procedure (SOP) apabila fasilitas
pendukung APD rumah sakit tidak terpenuhi/tidak sesuai standar maka
penggunaan APD oleh perawat tidak maksimal (Amaliaet al, 2011).
d. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan tahu terjadi dari proses
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan tersebut terjadi
dengan panca indra manusia yaitu pendengaran, penglihatan, perasa,
penghidu dan peraba (Efendi, Ferry, Makhfudhli, 2009) tetapi sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh dari proses penglihatan dan
pendengaran. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
pembentukan tindakan atau perilaku seseorang.

Menurut Standard Precautions Clinical Governance 2010, seorang perawat dalam


menggunakan APD dipengaruhi beberapa faktor diantanya adalah:
1. Sebagai pemenuhan standar di rumah sakit tempat perawat berkonstribusi dalam
pelaksanaan proses keperawatan.
2. Penggunaan APD dapat mendukung semua kegiatan kesehatan selama
pemberian tindakan keperawatan, seperti tingkat antisipasi dari paparan
darah/cairan tubuh lainnya.
3. Penggunaan APD merupakan prosedur yang paling penting untuk mencegah
kontaminasi.
4. Menjamin keamanan pasien atau klien serta personil kesehatan dan orang yang
mengunjungi klien.
5. Tingkat dasar pencegahan dan pengendalian infeksi yang akan digunakan dalam
memberikan tindakan keperawatan yang dapat mengurangi resiko penularan
patogen melalui darah dan droplet

 Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri


Kepatuhan adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan, perintah,
prosedur, dan disiplin. Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini
bertahan karena adanya pengawasan. Perilaku kepatuhan yang optimal jika
perawat itu sendiri menganggap perilaku ini bernilai positif (Evaldiana, 2013).
Kepatuhan perawat dalam penggunaan APD sangat diperlukan, karena kurang
patuhnya perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan akan berakibat
rendanya mutu asuhan itu sendiri (Setiadi, 2007). Penggunaan APD merupakan
salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya infeksi bagi perawat, jika perawat
mengalami penyakit akibat kerja yaitu infeksi akan mengakibatkan kurang
optimalnya pelayanan yang diberikan (KEMENKES, 2010). Faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan penggunaan APD menurut Efstathiou Georgios,
2011 yaitu :
1. Kurangnya pengetahuan tentang penggunaan APD
2. Kurangnya fasilitas APD
3. Kurangnya pelaksanaan pelatihan tentang penggunaan APD.
4. Jarak tempat pemenuhan fasilitas peralatan yang diperlukan.

 Hand Hygiene
Mencuci tangan merupakan salah satu bagian penting dalam penggunaan
APD, karena sebelum dan sesudah menggunakan APD khususnya sarung
tangan. The Center for Diesease Control and prevention (CDC) 2002, mencuci
tangan merupakan teknik yang paling penting dan paling mendasar dalam
mencegah dan mengendalikan penularan infeksi (Potter & Perry, 2006).
Larson 1995 mendefinisikan mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun
secara bersamaan seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang
kemudian dibilas dengan air yang mengalir (Potter & Perry, 2005).
Hand hygiene atau mencuci tangan adalah tindakan membersihkan tangan
menggunakan menggunakan handrub atau handsoap untuk menghilangkan
mikroorganisme yang menempel di tangan secara efektif (Boscart, et al. 2012;
Squires, et al. 2013). Tujuan melakukan mencuci tangan adalah untuk membuang
kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah
mikroba yang ada saat itu serta mencegah perpindahan organism multi resisten
dari lingkungan rumah sakit ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan
begitu juga sebaliknya (Potter & Perry, 2005; KEMENKES, 2010).
Menurut CDC (2002) mencuci tangan direkomendasikan dalam situasi
sebelum dan setelah kontak dengan pasien, sebelum memakai sarung tangan
steril dan sebelum melakukan prosedur invasive seperti pemasangan kateter
intravascular atau kateter menetap, setelah kontak dengan kulit klien (misalnya,
ketika mengukur tekanan darah atau nadi, dan mengangkat klien), setelah kontak
dengan sumber mikroorganisme (darah atau cairan tubuh, membrane mukosa,
kulit yang tidak utuh, melakukan membalut luka walaupun tangan tidak terlihat
kotor), ketika berpindah saat tubuh terkontaminasi ke bersih selama perawatan,
setelah kontak dengan bendabenda (misalnya peralatan medis) yang
bersangkutan atau terkontaminasi dengan klien, dan setelah melepaskan sarung
tangan (Potter & Perry, 2006).
Hand hygiene harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat
pelindung lain (Fauzia, Ansyori, Hariyanto, 2014). Indikasi hand hygiene harus
dilakukan pada saat yang diantisipasi akan terjadinya perpindahan kuman melalui
tangan, yaitu sebelum melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi
pencemaran dan setelah melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi
pencemaran (Depkes, 2007).
Menurut WHO (2009) ada 5 moments hand hygiene, yaitu :
1) sebelum kontak dengan pasien,
2) sebelum melakukan prosedur bersih/aseptic,
3) setelah kontak dengan cairan tubuh pasien resiko tinggi,
4) setelah kontak dengan pasien,
5) setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.

 Healthcare-Asssociated Infections (HAIs)


1. Definisi HAIs
HAIs adalah istilah yang digunakan untuk infeksi yang didapat di
rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, infeksi yang terjadi sebagai
akibat intervensi kesehatan (Mitchell, et al., 2014). Intervensi yang dilakukan
oleh perawat untuk penyembuhan dan perawatan pasien, seperti
pembersihan cairan tubuh, injeksi/pengambilan darah, pemasangan kateter,
perawatan luka dan lain-lain. Apabila tindakan tersebut tidak dilakukan sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan akan berpotensi menularkan penyakit
infeksi, baik bagi pasien (yang lain) atau bahkan pada petugas kesehatan
(Nursalam, 2011; Akib et al, 2008).
2. Dampak HAIs
HAIs mempunyai dampak yang luas bagi pasien, keluarga pasien dan
masyarakat hingga pemberi layanan kesehatan (Rohani & Setio, 2010).
a. Pasien
Dampak HAIs bagi pasien ada banyak, antara lain: fungsi organ menurun,
bahkan beberapa kasus dapat menimbulkan kecacatan dan kematian.
Pasien juga akan menjalani pemeriksaan dan pengobatan tambahan yang
seharusnya tidak perlu dijalani.
b. Keluarga pasien dan masyarakat
Jika keluarga pasien atau masyarakat terjangkit akan meningkatkan biaya
rawat, memperpanjang waktu rawat. Jika waktu perawatan bertambah,
maka produktivitas kerja akan menurun. Serta anggota keluarga yang lain,
yang menjaga pasien juga dapat terinfeksi.
c. Pemberi pelayanan kesehatan
Jika suatu rumah sakit banyak terjadi kasus HAIs pada pasiennya akan
mengakibatkan citra rumah sakit tersebut menjadi buruk. Pasien pun dapat
menuntut pihak rumah sakit, selain itu jika petugas kesehatan terjangkit
HAIs akan menurunkan optimalitas kinerja petugas tersebut.

3. Rantai Penularan
Dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu
mengetahui rantai penularan. Apabila satu mata rantai dihilangkan atau
dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang
diperlukan sehingga terjadi penularan tersebut adalah (Akib et al, 2008):
a. Agen infeksi (infectious agent)
Agen infeksi adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi.
Pada manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur
dan parasit. Ada tiga faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi
terjadinya infeksi yaitu: patogenitas, virulensi dan jumlah (dosis, atau
“load”).
b. Reservoir
Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh,
berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang
paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air
dan bahan-bahan organik lainnya. Pada orang sehat, permukaan kulit,
selaput lendir saluran napas atas, usus dan vagina merupakan reservoir
yang umum.
c. intu keluar (portal of exit)
Pintu keluar adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir.
Pintu keluar meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih
dan kelamin, kulit dan membran mukosa, transplasenta dan darah serta
cairan tubuh lain.
d. Transmisi (cara penularan)
Cara penularan adalah mekanisme bagaimana perpindahan agen infeksi
dari reservoir ke penderita. Ada beberapa cara penularan yaitu :
1) Kontak langsung atau tidak langsung.
2) Droplet.
3) Airborne.
4) Melalui makanan dan minuman.
5) Melalui vector
e. Pintu masuk (portal of entery)
Pintu masuk adalah tempat dimana agen infeksi memasuki penjamu
yang rentan. Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan, pencernaan,
saluran kemih, selaput lendir, pembuluh darah, dan kulit yang terdapat
luka.
f. Penjamu (host) yang rentan
Penjamu yang rentan adalah orang yang tidak memilki daya tahan tubuh
yang cukup kuat untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi
atau penyakit.

 Medication Safety
Konsep manajemen pelayanan kesehatan saat ini bergerak ke arah
manajemen obat yang aman (medication safety). Hal ini diakibatkan penggunaan
obat adalah salah satu faktor penting dalam terapi tetapi malah menimbulkan
kematian.
Penelitian mengenai kejadian medication error telah banyak dilakukan dan
terbukti bahwa medication error dapat terjadi di berbagai tahap dalam proses
penggunaan obat. Kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien oleh perawat
(administration error) yang diteliti di 36 fasilitas kesehatan di AS menemukan
terjadinya kesalahan sebesar 19% dalam penyiapan dan pemberian obat.
Kesalahan yang paling banyak terjadi adalah wrong time, ommission dan wrong
dose, dan 7% dari kesalahan tersebut potensial bermakna secara klinis.
Proses pelayanan obat mulai dari tahap seleksi sampai pemantauan efek
dari obat pada pasien yang menggunakannya harus dilakukan sesuai standar
untuk mengurangi risiko dan kejadian medication error. Untuk itu, perlu dibuat
panduan agar setiap profesi dapat melaksanakan tugasnya sesuai
kompetensinya sehingga mengurangi risiko terjadinya medication error.
Bila terjadi IKP medication error maka pelaporannya mengikuti alur
pelaporan IKP (Insiden Keselamatan Pasien)/ Patien Safey Incident yang telah
ditetapkan oleh rumah sakit dan kemudian melakukan investigasi untuk
menentukan proses yang mengalami kegagalan dengan menggunakan form yang
terlampir.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hazard (bahaya) adalah sesuatu yang dapat menyebabkan cidera pada
manusia/kerusakan pada alat/lingkungan.Risk (resiko) didefinisikan sebagai peluang
terpaparnya seseorang/alat pada suatu hazard (bahaya). Pengkajian adalah pemikiran
dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau
data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-
masalah,kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik, mental, social, dan
lingkungan.
Pengkajian yang sistematis (effendi,1996). Contoh hazard dan resiko bagi perawat
saat melakukan pengkajian :
1. Pelecehan verbal saat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga.
2. Kekerasan fisik pada perawat ketika melakukan pengkajian.
3. Pasien dan keluarga acuh tak acuh dengan pertanyaan yang di ajukan perawat.
4. Resiko tertular penyakit dengan kontak fisik maupun udara saat pemeriksaan
fisik.
5. Perawat menjadi terlalu empati dengan keadaan pasien dan keluarganya.

Ergonomik adalah suatu aturan atau norma dalam system kerja. di Indonesia
memakai istilah ergonomic, tetapi di beberapa negara seperti di skrandinavia
menggunakan istilah “bioteknologi” sedangkan di negara amerika menggunakan istilah
“human engineering” atau “human factors engineering”.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada potensi bahaya


psikososial dapat menyebabkan stress kerja yang dapat berakibat fatal bahkan sampai
menyebabkan kematian. Penyediaan perlindungan terhadap bahaya, prioritas pertama
seorang majikan adalah melindungi pekerjanya secara keseluruhan ketimbang secara
individu. Sangat perlu adanya manajemen lingkungan kerja dari industri agar seorang
tenaga kerja berada dalam keserasian sebaik-baiknya, yang berarti bahwa yang
bersangkutan dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktifitas kerjanya secara
optimal, maka perlu ada keseimbangan yang positif-konstruktif, antara unsur beban
kerja, beban tambahan akibat dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan kapasitas kerja.

B. Saran
Sebaiknya tenaga kesehatan harus lebih bisa menjaga keamanan diri dengan
selalu memakai APD dan memenuhi SOP saat melakukan tindakan dan menambah
pengetahuan tentang upaya pencegahan resiko dan hazard agar mampu
menerapkannya dalam ruang lingkup keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatn Pasien Rumah Sakit(patient safety),
2 edn, Bakti Husada,Jakarta.
Yahya, A. 2009, Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko. Workshop Keselamatan
Pasien dan Manajemen Risiko Klinis. PERSI:KKP-RS
https://ansharbonassifa.wordpress.com/2013/09/03identifikasi-resiko-keselamatan-
pasin-patient-safety-di-rumah-sakit/amp/
https://www.scribd.com/mobile/doc/312057056/Risiko-Dan-Hazard-Kasus-
Pengkajian
https://www.scribd.com/mobile/doc/312534347/Risiko-Dan-Hazard-Kasus-
Implementas
http://bidandhila.blogspot.com/2009/01/perubahan-fisiologi-adaptasi-fisikpada.html
Maryunani, Anik. 2008. Asuhan Bayi Baru Lahir (Asuhan Neonatal). Jakarta: Trans
Info Media http://tiarapratiwi87.blogspot.co.id/2014/01/asuhan -bayi-baru-lahir.html
Harlock Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. PT. GeloraAksaraPratama
https://veronikaanggraini25.blogspot.com/2019/12/makalah-upaya-memutus-rantai-
infeksi.html
Cahyono, A. (2015). Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Perawat
Terhadap Pengelolaan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Jurnal Ilmiah WIDYA. 3.
97-99. Diakses dari e-journal jurwidyakop3.com

Anda mungkin juga menyukai