Anda di halaman 1dari 11

TIPOLOGI KITAB HADIST

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadist
Dosen pengampu
Dr. Ulin Na’mah,, M. HI

Disusun oleh:
Kelompok 2

Ahmad Hafids Al Faraby (23303059)


Firly Andini (23303025)

PRODI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
Maret 2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, taufik,
inayah, serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan menyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami permasalahan
tentang Tipologi Kitab Hadist.

Yang pertama kami ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Studi
Hadist Ibu Dr. Ulin Na’mah,, M. HI yang telah membimbing dan memberi arahan kepada kami
sampai suksesnya makalah ini diselesaikan. Tentu saja makalah ini bisa diselesaikan karena
bimbingan dari beliau.

Yang kedua kami ingin mengucapkan terimakasih juga kepada rekan satu kelompok
yang sudah bersedia terlibat secara totalitas dalam pengerjaan makalah ini. Semoga apa yang
sudah kita pelajari bersama akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat di hari kelak. Aamiin

Karena sumber pengetahuan kami yang masih terbatas, kami mengakui makalah yang
kami tulis ini pasti masih banyak kurang dan salahnya. Oleh karena itu kami harapkan kepada
pembaca untuk memberikan masukan masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini dan yang kedepannya.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………...1

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………..2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………4

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………...4

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………..4

1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………………5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………….6

2.1 Kitab Hadist Primer…………………………………………………………………...6

2.2 Kitab Hadist Sekunder………………………………………………………………...6

2.3 Kitab Syarah Hadist…………………………………………………………………...7

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………...10

3.1 Simpulan……………………………………………………………………………..10

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………….11

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadist merupakan salah satu sumber hukum islam kedua setelah al-quran yang didalamnya
terdapat petunjuk yang harus diperhatikan. Berbeda dengan al quran yang lafad dan maknanya
bersumber langsung dari Allah SWT., hadist bersumber langsung kepada nabi Muhammad SAW.
Perbedaan sumber antara Al quran dan hadist tidak lantas mengesampingkan posisi hadist
sebagai pedoman bagi umat islam.
Sebagai salah satu pedoman bagi umat islam maka tidaklah heran apabila hadist menjadi
hal yang sangat penting untuk dikaji. Pengkajian terhadap hadits telah dilakukan oleh para
ulama. Diantaranya dengan cara mengumpulkan hadits, memilah dan mengelompokkan hadist
sesuai dengan kualitasnya, merumuskan ilmu mustalah al hadith, menulis sharh dari kitab-kitab
hadist, menciptakan beberapa tipologi kitab hadist, menulis kitab biografi dari para periwayat
hadist, dan beberapa kajian lainnya.
Hadis sebagai rekaman kehidupan Nabi Muhammad saw. diyakini oleh umat Islam sebagai
sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Hadishadis itu, secara lengkap berada di dalam
berbagai kitab/buku hadis, yang merupakan kumpulan atau “wadah” penyimpanan hadis.
Dewasa ini, kitab-kitab hadis umumnya dalam bentuk cetak dan elektronik. Kitab-kitab hadis ini
sangat penting. Secara akademik-teoritik, kitab hadis memiliki kegunaan yang sangat besar
sebagai objek kajian dan menjadi sumber ajaran agama Islam. Demikian juga secara praksis,
kitab hadis dapat membantu memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan informasi hadis-hadis
Nabi. Hingga saat ini, jumlah kitab hadis sangat banyak dan beragam. Namun, pengetahuan dan
pengenalan terhadap kitab-kitab itu di kalangan mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia
masih sangat rendah atau minim, apalagi untuk bisa mengakses kitab-kitab tersebut. 1 Kondisi ini
tentu ada penyebabnya, baik dari aspek kitabnya itu sendiri, maupun dari orangnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
1) Apa itu Kitab Hadist Primer?

4
2) Apa itu Kitab Hadist Sekunder?
3) Apa itu Kitab Syarah Hadist?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut .
1) Agar mengetahui terkait kitab hadist primer, kitab hadist sekunder, dan kitab syarah
hadist.
2) Untuk menambah ilmu pengetahuan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kitab Hadist Primer


Kitab hadist primer ialah kitab karya ulama (pakar hadist) yang memuat hadist-hadist
nabi. Hadist hadist yang terdapat dalam kitab primer ini adalah hasil pencarian langsung,
umunya dengan menemui para guru, kemudian hadist hadist itu diseleksi dengan mekanisme
tertentu, dihimpun dan dibukukan. Untuk membedakan antara kitab hadis primer dan sekunder,
secara sederhana dapat dilihat terutama dari dua hal, yaitu dari judul kitab dan hadist hadist
didalamnya. Pada judul hadist kitab primer, dewasa ini biasa ditulis dan populer dengan nama
penyusunnya yang ditulis di bagian belakang judul, misalnya kitab Shahih Al Bukhari, Sunan
Abi Dawud, Musnad Ahmad (Bin Hambal), Muwatha’ Malik bin Anas, Mustadrak (Al-Hakim).
Tampilan hadis yang yang terdapat dalam kitab hadis primer pun sanad dan matannya lengkap
(tidak ada yang terpotong).

2.2 Kitab Hadist Sekunder


Kitab hadist sekunder merupakan kitab/buku karya penulis generasi sesudahnya, yang
memuat hadist-hadist Nabi yang diambil dari kitab hadis primer. Pada judul kitab hadis sekunder,
biasanya berupa kalimat singkat yang mencerminkan maksud dan kandungan kitab. Di antara
judul kitab hadis sekunder ialah Riyadh as-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin karya
Muhyiddin an-Namawi, dan kitatb Bulig al-Maram min Adilah al-Ahkam karya Ibnu Hajar al-
Asqalani. Pada tampilan hadist-hadist yang terdapat dalam kitab hadist sekunder biasanya yang
ditulis lengkap hanyalah matannya,sedangkan sanadnya biasanya dipotong 2. Sanad yang
dipotong biasanya dibagian tengah, sedangkan bagian awal dan akhir sanad biasanya tetap
ditulis. Bagian sanad yang tetap ditulis itu ialah nama periwayat pertama yakni sahabat yang
bertemu langsung dengan Nabi, yang terletak di akhir sanad, misalnya Abu Hurairah, Anas bin
Malik, dan A'isyah dan Nama periwayat terakhir yang terletak diawal sanad. Periwayat terakhir
yang terletak di awal sanad adalah ulama yang menghimpun dan membukukan hadis yang
biasa disebut sebagai mukhārij al-hadīs, misalnya Bukhari, Muslim dan Abu Daawud.
Perkembangan kitab hadist sekunder ini berlangsung sejak masa awal
kemunculannya dan akan terus berkembang hingga sekarang dan masa yang akan datang.

6
Ini berbeda dengan kitab hadis primer yang prosesnya sudah berakhir setelah semua hadis
Nabi terhimpun dan terbukukan. Dengan demikian, kitab-kitab hadis sekunder ini jumlahnya
sangat banyak dan akan terus bertambah dengan berbagai ragam kreasi dan inovasi seiring
dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dalam makalah ini, rekontruksi perkembangan
kitab-kitab hadis sekunder didasarkan pada data utama berupa sejumlah kitab hadis yang
masuk kategori sekunder. Setelah kitab-kitab hadis sekunder itu terkumpul, barulah
dilakukan kajian antara lain dengan melakukan pengelompokan, pengodean, dan telaah
atas waktu, ciri-ciri atau kekhasan masing-masing kitab, termasuk konteks setting sosial-
politik dan perkembangan studi hadis pada masa itu secara makro.

2.3 Kitab Syarah Hadist


Kata syarh berasal dari bahasa Arab ‫رش‬KK‫ اح‬-‫ي‬KK‫ حرش– حرش‬yang artinya menerangkan,
membukakan, dan melapangkan.3 Istilah syarh biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir
untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama dalam hal
menjelaskan arti, maksud, dan pesan yang terkandung di dalamnya, namun secara istilah,
keduanya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi al-Qur’an (menjelaskan arti, maksud, kandungan,
atau pesan ayat-ayat al-Qur’an), sedangkan istilah syarh diperuntukan bagi disiplin ilmu lain,
meliputi hadis yakni untuk menjelaskan arti, maksud, kandungan, atau pesan hadist.
Sedangkan secara istilah definisi syarh al-hadis adalah sebagai berikut: Syarh al-hadis
adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum
maupun hikmah. Definisi ini hanya menyangkut syarh terhadap matn hadis, sedangkan definisi
syarh yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matn-nya, adalah sebagai
berikut: Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis,
menjelaskan maknamaknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya. 4 Dengan definisi di
atas, maka kegiatan syarh hadis secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut:
a. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari segi sanad maupun matn. Begitu
pula penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan
karakteristik para periwayatnya, serta analisis matn dari sudut kaidah kebahasaan.
b. Menguraikan makna dan maksud hadis. Hal ini meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal
tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta
makna yang dimaksudkan.

7
c. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbat
terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matn hadis, baik yang tersurat
maupun yang tersirat.5
Ketiga langkah tersebut tentu memerlukan berbagai teori dan disiplin ilmu pengetahuan
agar dapat melahirkan pemahaman hadis yang komprehensif. Hal tersebut tidak hanya
berhubungan dengan upaya memahami petunjuk ajaran Islam menurut teks dan konteksnya
tetapi juga pada aspek otoritas dan validitas hadis dilihat dari segi sanad maupun matn-nya. Oleh
karena pengetahuan selalu berkembang, maka kegiatan pen-syarh-an dan penerapan ajaran Islam
yang kontekstual pun menuntut penggunaan metode dan pendekatan yang sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan keadaan masyarakat.
Metode syarah hadis antara lain yaitu: tahlili, dan muqarin yang digunakan dalam
pensyarahan kitab alMinhaj dan Fathul Mun’im. 6 Asal kata 'tahlili' dari bahasa Arab halla-
yuhallilu yang bermakna menguraikan, menganalisis. Tetapi yang diinginkan dengan metode
tahlili disini adalah menguraikan, menganalisis, dan menjelaskan makna-makna yang tersirat
pada hadis dengan menjelaskan unsur-unsur yang melingkupinya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan pensyarah.7 Secara umum metode syarah tahlili biasanya berbentuk bil ma’tsur
atau bil ra’y. Syarah bil ma’tsur ditandai dengan banyaknya pengaruh riwayat-riwayat yang
berasal dari sahabat, para tabi’in, ataupun para intelektual hadis. Sedangkan syarah bil ra’y
dipengaruhi oleh pemikiran pensyarahnya. Metode tahlili memiliki kelebihan adalah ruang
lingkup pembahasan yang sangat luas, karena dapat mencakup berbagai aspek meliputi kata,
frasa, kalimat, asbab al-wurud, munasabah yang dikutip melalui riwayat yang ma’tsur. Dan berisi
berbagai ide dan gagasan, sehingga memberikan kesempatan kepada para pensyarah untuk
menuangkan sebanyak mungkin ide atau gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama dan
pensyarah hadis.8 Metode tahlili juga memiliki kekurangan, diantaranya: metode ini menjadikan
hadis secara tidak utuh dan tidak konsisten, karena syarah yang dijelaskan kadang kala berbeda
dengan syarah hadis lain yang senada karena tidak terlalu memperhatikan hadis lain yang mirip
atau sama redaksinya. Dan dalam memberikan pensyarahan, secara tidak sadar pensyarah telah
mensyarah hadis secara subjektif, hal ini didasari oleh kecendrugan pribadi tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah yang berlaku.8

8
Muqarin (komparatif ) memiliki kosa kata qarana-yuqarinu-muqaranatan yang memiliki
arti membandingkan dan mengumpulkan, jika berbentuk masdar (qarnan) maka maknanya
perbandingan. Metode muqarin terdapat dua cara pengaplikasiannya yaitu:
a. Hadis yang mempunyai kesamaan teks hadis atau memiliki kemiripan pada kasus yang
sama atau mempunyai teks hadis yang berbeda dalam kasus yang sama, hal tersebut
dibandingkan.
b. Pendapat-pendapat ulama dalam mensyarahi hadis dibandingkan. Metode ini tidak hanya
membandingkan hadis dengan hadis, tapi juga membandingkan macam-macamnya syarah
dan pendapat ulama yang mengomentari.9
Kelebihan metode muqarin adalah memberikan pemahaman yang lebih luas. Dapat
menerima pendapat orang lain atau bersikap toleran. Pemahaman ini cocok digunakan bagi
orangorang yang mengetahui berbagai macam pendapat tentang sebuah hadis. Adanya dorongan
bagi pensyarah untuk menggali hadishadis serta pendapat pensyarah lai nnya. Selain memiliki
kelebihan terdapat juga kekurangannya ialah: bagi pembaca tingkat pemula metode ini tidak
relevan, karena pembahasannya sangat luas sehingga menyulitkan bagi mereka untuk
menentukan pilihan pendapat. Dalam mengatasi permasalahan sosia l metode muqarin tidak bisa
digunakan, dikarenakan lebih mengunggulkan perbandingan dari pada perpecahan masalah. Dan
metode ini banyak menelusuri pendapat ulama dari pada mengemukakan pendapat baru.10

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang berfungsi
memperkuat dan menjelaskan aturan yang terkandung al-Qur’an, menetapkan aturan yang tidak
disebut dalam alQur’an serta berisi tatanan kehidupan yang mengacu kepada pribadi Nabi
sebagai utusan Allah SWT. Dengan demikian yang memiliki 3 tipologi kitab hadist yaitu kitab
hadist primer, kitab hadist sekunder, dan kitab syarah hadist. Dimana Kitab hadist primer ialah
kitab karya ulama (pakar hadist) yang memuat hadist-hadist nabi. Kitab hadist sekunder
merupakan kitab/buku karya penulis generasi sesudahnya, yang memuat hadist-hadist Nabi yang
diambil dari kitab hadis primer. Dan terakhir kitab Syarh al-hadis adalah menjelaskan makna-
makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Mukhtar, M. 2018. SYARH AL-HADIS DAN FIGH AL-HADIS (Upaya Memahami dan
Mengamalkan Hadis Nabi). Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UNAIM), Vol.
4, No.2, Juli.
Nurhaedi, D. 2017. KITAB HADIS SEKUNDER: Perkembangan, Epistimologi, dan
Relevansinya di Indonesia. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 18, No. 2, Juli.
Hasanah, U. 2016. Metodologi Pemahaman Hadist, Palembang. Hlm. 91.
Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah. Hlm. 48.
Nurkholis, M. 2003. Metodologi Syarah Hadist, Bandung: Fasygil Grup, h.3.

11

Anda mungkin juga menyukai