Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PATOFISIOLOGI PADA SISTEM SARAF PUSAT

Inflamasi pada sistem Saraf Pusat, Atropi Promer Sistemik yang Berefek pada Sistem

Saraf Pusat, Gangguan Ekstra Piramidal dan Gerak, Penyakit Degeneratif Sistem Saraf,

Penyakit Demylinasi Sistem Saraf Pusat, serta Gangguan Episodik dan Paroksismal

Dosen Pengampu: Dr. Hendratna M.T., M. Kes

Disusun Oleh Kelompok 10 Kelas 22 A4:

PRAZILDA DEBY RAKASIWI 220205167


PUTRY WAHYU INDARWATI 220205168
RAFI’ MIFTAHULHUDA RINDRAYANA 220205169
REZA PURNAMA WIJAYA 220205170

PRODI D3 REKAM MEDIK DAN INFORMASI KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNVERSITAS DUTA BANGSA

SURAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Patofisiologi pada Sistem Saraf

tepat pada waktunya. Makalah Patofisiologi pada Sistem Saraf merupakan salah

satu tugas kelompok pada mata kuliah Anatomi, fisiologi, dan Patofisiologi pada

Sistem Pengindraan, Syaraf, dan Gangguan Jiwa dan Perilaku. Pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Hendratna M.T., M. Kes yang

telah memberikan tugas dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang turut

membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata

sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi

perbaikan dan kesempurnaan makalah ini sebagai acuan dalam penulisan makalah

kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Surakarta, Oktober 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem

koordinasi yang bertugas menerima rangsangan, menghantarkan

rangsangan ke seluruh bagian tubuh serta memberikan respon terhadap

rangsangan tersebut. Rangsangan yang datang ditanggapi oleh sistem saraf

dan alat indra. Struktur dan fungsi sistem persarafan terdiri dari sel-sel yang

disebut neuron dan jaringan penunjang yang disebut neuroglia. Tersusun

membentuk sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST). Struktur

Sistem saraf pusat (SSP), terdiri dari Otak besar (Cerebrum), Otak kecil

(Cerebellum), Batang otak (Medula oblongata) Sumsum tulang belakang

(Medula spinalis) dan diselubungi oleh selaput otak (Mening)

Sistem saraf adalah salah satu sistem penting dalam tubuh manusia

yang mengendalikan berbagai fungsi seperti gerakan, persepsi sensorik,

berpikir, dan banyak lagi. Dengan memahami patofisiologi sistem saraf, kita

dapat merancang strategi pengobatan yang lebih efektif dan pencegahan

terhadap masalah kesehatan yang berkaitan dengan sistem saraf.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan patofisiologi sistem saraf pusat?

2. Apa sajakah yang termasuk dalam gangguan sistem saraf?

3. Bagaimana gejala, penyebab dan pengobatan untuk patofisiologi sistem

saraf?
C. Tujuan

1. Mengetahui terkait patofisiologi sistem saraf.

2. Menjelaskan penyakit dan gangguan pada sistem saraf.

3. Memberikan pemahaman dan wawasan yang lebih baik terkait

patofisiologi sistem saraf.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Patofisiologi Pada Sistem Inflamasi Pada Sistem Saraf Pusat

Patofisiologi sistem inflamasi pada sistem saraf pusat (Saraf Pusat) karena

infeksi adalah proses kompleks di mana respon inflamasi tubuh terjadi di otak

atau sumsum tulang belakang sebagai akibat dari infeksi. Ini dapat terjadi ketika

patogen (misalnya, bakteri, virus, atau jamur) masuk ke dalam sistem saraf

pusat. Infeksi pada sistem saraf pusat dapat mengarah pada kondisi yang serius,

seperti ensefalitis (peradangan otak) atau mielitis (peradangan sumsum tulang

belakang).

1. Ensepalitis (G04.9)

Radang otak atau ensefalitis adalah peradangan pada jaringan otak yang

dapat menyebabkan gejala gangguan saraf. Radang otak dapat terjadi akibat

infeksi virus, bakteri, atau jamur. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-

anak dan lansia, karena sistem kekebalan tubuh mereka cenderung lebih

lemah. Ensefalitis kongenital adalah kondisi langka di mana seorang bayi

lahir dengan peradangan pada otak mereka. Ini dapat terjadi karena

sejumlah alasan, termasuk infeksi yang terjadi selama kehamilan ibu,

masalah genetik, atau gangguan autoimun yang memengaruhi otak janin.

a. Penyebab Ensepalitis

Pada sebagian besar kasus, radang otak disebabkan oleh infeksi virus.

Infeksi virus ini dapat langsung menyerang otak atau disebut radang

otak primer. Namun, bisa juga berasal dari organ tubuh lain yang
menyerang otak, atau disebut radang otak sekunder. Jenis virus yang

dapat menyebabkan radang otak antara lain:

1) Virus herpes simpleks, penyebab penyakit herpes di mulut dan

herpes genital, serta herpes pada bayi.

2) Virus Varicella zoster, penyebab cacar air dan herpes zoster.

3) Virus Epstein-Barr, penyebab penyakit mononucleosis.

4) Virus penyebab penyakit campak (measles), gondongan (mumps),

dan rubella.

5) Virus dari hewan, seperti rabies dan virus nipah.

6) Virus SARS-CoV-2 (COVID-19)

b. Keluhan dan Gejala Ensepalitis

Ensefalitis atau radang otak diawali dengan gejala ringan yang

menyerupai flu, seperti demam, sakit kepala, muntah, tubuh terasa lelah,

serta nyeri otot dan sendi. Seiring perkembangannya, radang otak dapat

menimbulkan gejala yang lebih serius, seperti:

1) Demam hingga lebih dari 39°C

2) Linglung dan Halusinasi

3) Emosi tidak stabil

4) Gangguan bicara, pendengaran, atau penglihatan

5) Lemah otot

6) Kelumpuhan pada wajah atau bagian tubuh tertentu

7) Kejang dan penurunan kesadaran

c. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Ensepalitis


1) Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal mengidentifikasi

penyebab ensefalitis dan menyingkirkan diagnosis banding (90.04).

2) MRI dapat menunjukkan beberapa fokus peningkatan intensitas

sinyal T2 di lobus temporal medial dan grey matter frontal inferior

(88.91)

3) CT Scan biasanya menunjukkan area edema atau perdarahan petekie

pada area yang sama (97.09)

d. Penatalaksanaan Ensepalitis

Radang otak membutuhkan penanganan di rumah sakit. Makin cepat

penanganan diberikan, makin tinggi tingkat keberhasilan proses

pengobatan. Tujuan pengobatan radang otak adalah untuk mengatasi

penyebab, meredakan gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan

yang akan diberikan dokter saraf dapat berupa

1) Obat-obatan. Sebagian besar radang otak disebabkan oleh infeksi

virus sehingga penanganan utamanya adalah dengan obat antivirus,

seperti acyclovir dan ganciclovir. Sementara jika infeksi

disebabkan oleh bakteri atau jamur, dokter akan memberikan obat

antibiotik atau obat antijamur.

2) Terapi khusus. Program rehabilitasi yang dilakukan berupa Terapi

fisik atau fisioterapi (93.39), Terapi wicara (93.75), Terapi okupasi

(93.83).

B. Patofisiologi Pada Atropi Promer Sistemik yang Berefek pada Sistem

Saraf Pusat
1. Huntington disease (G10)

Huntington’s disease (HD) adalah suatu bentuk neuro degeneratif yang

dapat menyebabkan gangguan fungsi motor, kognitif dan psikiatrik pada

penderitanya

a. Penyebab Huntington disease

Penyakit Huntington terjadi akibat kelainan pada gen yang

mengendalikan produksi protein di otak. Penyakit ini diturunkan

langsung dari orang tua yang memiliki riwayat penyakit Huntington.

b. Keluhan dan Gejala Huntington disease

Gejala utama yang menegakkan diagnosis HD adalah adanya gerakan

tak disadari (chorea) yang biasanya dimulai di usia 20 - 60 tahun dengan

rata - rata usia 40 tahun. Berikut adalah beberapa gejala dari hunington

disease:

1) Kejang

2) Tremor

3) Sering terjatuh

4) Kaku otot yang memengaruhi cara berjalan.

5) Sulit fokus dalam belajar sehingga mengalami penurunan prestasi.

c. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Huntington

disease

1) CT scan (87.03) dan MRI (88.91) untuk memeriksa struktur dan

fungsi otak dengan rinci.


2) Tes genetik

Tes genetik dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien,

untuk diteliti di laboratorium. Selain bertujuan untuk menetapkan

diagnosis, tes genetik juga dapat mendeteksi penyakit ini lebih awal

bila pasien memiliki keluarga dengan riwayat penyakit Huntington.

d. Penatalaksanaan Huntington disease

1) Psikoterapi (94.39)

Psikoterapi juga dapat dianjurkan kepada pasien penyakit Huntington

yang sulit mengendalikan emosi. Melalui psikoterapi, pasien akan

diajarkan cara berpikir, bertindak, dan mengelola emosi.

2) Terapi fisik (93.39)

Pasien penyakit Huntington akan dianjurkan untuk menjalani terapi

fisik. Tujuan terapi ini adalah untuk melatih pasien dalam

meningkatkan kekuatan, kelenturan, dan keseimbangan tubuh.

Dengan demikian, pasien bisa lebih aktif bergerak dan terhindar dari

cedera akibat terjatuh.

3) Okupasi (93.83)

Terapi okupasi bertujuan untuk melatih pasien agar mampu melakukan aktivitas
sehari-hari secara mandiri menggunakan alat bantu. Sebagai contoh, pasien akan
diberikan alat makan khusus yang telah disesuaikan dengan kondisinya agar dapat
digunakan sendiri

C. Patofisiologi Pada Gangguan Ekstra Piramidal dan Gerak

Gangguan ekstrapiramidal adalah kategori gangguan gerak yang melibatkan

sistem motorik yang berbeda dari piramidal traktus (sistem motorik utama yang
melibatkan korteks motorik). Gangguan gerak ekstrapiramidal pada kongenital

dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kelainan genetik,

perkembangan abnormal pada sistem saraf pusat, atau gangguan perkembangan

lainnya.

1. Parkison (G20)

Parkinson’s disease atau penyakit Parkinson adalah kondisi medis yang

dapat memengaruhi kemampuan tubuh dalam mengontrol gerakan dan

keseimbangan tubuh. Parkinson adalah penyakit yang bersifat progresif,

artinya kondisi tersebut dapat berkembang secara perlahan dan memburuk

seiring dengan berjalannya waktu. Penyakit Parkinson pada lansia tidak

dapat disembuhkan secara total. Namun, penanganan medis tetap

diperlukan untuk mengendalikan gejala serta meningkatkan kualitas hidup

penderitanya.

a. Penyebab Parkison

Penyebab utama Parkinson adalah kerusakan sel saraf pada area

substantia nigra di otak. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan

produksi hormon dopamin yang berfungsi untuk mengontrol gerakan

dan keseimbangan tubuh. Belum diketahui secara pasti apa kondisi yang

menyebabkan kerusakan sel saraf pada area substantia nigra tersebut.

Namun, terdapat sejumlah faktor yang diduga turut meningkatkan risiko

seseorang menderita Parkinson, di antaranya:

1) Memiliki keluarga dengan riwayat penyakit Parkinson.

2) Berusia di atas 60 tahun.


3) Pria diduga lebih berisiko mengalami Parkinson.

4) Paparan polusi udara atau racun, seperti pestisida dan herbisida.

5) Cedera kepala.

6) Penggunaan obat-obatan yang dapat memicu Parkinson seperti

obat-obatan antipsikotik.

b. Keluhan dan Gejala Parkison

Gejala-gejala umum yang kerap dialami oleh penderita Parkinson

adalah sebagai berikut:

1) Tremor.

2) Otot terasa kaku, kejang, dan kram.

3) Bradikinesia, yaitu kondisi berupa melambatnya gerakan spontan.

4) Gangguan keseimbangan tubuh, terutama saat sedang berjalan.

5) Kesulitan mempertahankan posisi tubuh sehingga mudah terjatuh.

6) Kelainan postur tubuh.

7) Ekspresi wajah berkurang.

8) Disfagia atau kesulitan untuk menelan makanan.

9) Gangguan bicara.

Gejala Parkinson tersebut dapat memburuk secara bertahap seiring

dengan berjalannya waktu. Berdasarkan perkembangan gejalanya,

Parkinson dapat diklasifikasikan menjadi beberapa stadium, yaitu:

1) Stadium 1: Gejala cenderung ringan dan tidak mengganggu aktivitas

penderitanya, seperti tremor pada satu bagian tubuh, ekspresi wajah

berkurang, dan perubahan postur.


2) Stadium 2: Gejala mulai memburuk dan mulai memengaruhi kedua

sisi tubuh sehingga membuat penderitanya kesulitan untuk

menjalani aktivitas sehari-hari.

3) Stadium 3: Penderita Parkinson mulai kehilangan keseimbangan

tubuh, mudah terjatuh, dan gerakan cenderung melambat. Pada

tahapan ini, gejala Parkinson telah mengganggu aktivitas sehari-

hari.

4) Stadium 4: Gejala Parkinson sudah tergolong berat sehingga

membuat penderitanya kesulitan berjalan dan membutuhkan alat

bantu untuk beraktivitas.

5) Stadium 5: Pada stadium ini, penderita Parkinson sudah kesulitan

bahkan tidak mampu berdiri. Selain itu, pada stadium 5, penderita

Parkinson juga dapat mengalami demensia, delusi, dan halusinasi.

c. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Parkison

Langkah awal yang dilakukan dokter untuk mendiagnosis Parkinson

adalah melakukan anamnesis atau wawancara medis dengan pasien

untuk mengetahui keluhan, jenis obat-obatan yang dikonsumsi, serta

riwayat kesehatan keluarga dan pasien. Dokter juga dapat melakukan

pemeriksaan fisik untuk memeriksa postur tubuh dan kondisi otot

pasien. Selain itu, untuk membantu menegakkan diagnosis Parkinson,

terdapat sejumlah pemeriksaan penunjang yang umum digunakan, yaitu:

1) Tes darah (90.59).


2) Single-photon emission computed tomography (SPECT scan)

khusus, yang disebut sebagai dopamine transporter (DAT) scan.

3) MRI otak (88.91).

4) CT Scan otak (88.97).

d. Penatalaksanaan Parkison

1) Pemberian Obat-obatan

Dokter dapat memberikan obat-obatan untuk meningkatkan

produksi hormon dopamin di dalam otak. Berikut adalah jenis

obat-obatan yang umum digunakan untuk menangani Parkinson.

 Kombinasi obat levodopa-carbidopa untuk menangani tremor

dan gangguan gerak tubuh.

 Antikolinergik untuk mengendalikan tremor.

 Agonis dopamin untuk menggantikan fungsi hormon dopamin

di dalam tubuh.

 Monoamine oxidase B (MAO-B) inhibitors, merupakan

pengobatan alternatif dari levodopa, bekerja dengan

menghambat efek enzim monoamine oxidase B yang memecah

dopamine sehingga dapat menaikkan kadar dopamine.

 Catechol O-methyltransferase (COMT) inhibitors, dapat

digunakan untuk memperpanjang atau meningkatkan efek dari

levodopa.

 Amantadine, dapat digunakan untuk memperbaiki gejala ringan

dari Parkinson seperti tremor, bradikinesia, dan kaku otot.


2) Terapi

Untuk membantu meningkatkan kualitas hidup pasien Parkinson,

dokter dapat merekomendasikan sejumlah terapi rehabilitasi,

seperti:

 Fisioterapi untuk membantu menangani keterbatasan fisik

penderita akibat nyeri sendi dan kaku otot (93.39).

 Terapi wicara untuk menangani pasien Parkinson yang kesulitan

berbicara ataupun menelan makanan (93.75).

 Psikoterapi untuk menangani pasien Parkinson yang mengalami

depresi atau gangguan kejiwaan lainnya (93.99).

3) Tindakan Operasi

Tindakan operasi juga dapat dilakukan untuk menangani penyakit

Parkinson apabila gejalanya tidak dapat mereda setelah konsumsi

obat-obatan. Berikut adalah tindakan operasi yang dapat dilakukan

untuk menangani Parkinson.

 Deep brain stimulation (02.93), yaitu tindakan medis dengan

menanamkan elektroda pada otak untuk mengirimkan sinyal

listrik ke otak dan mengurangi gejala Parkinson.

 Gamma knife surgery (92.32) atau disebut juga gamma knife

thalamotomy, yaitu tindakan medis dengan menggunakan

pancaran sinar gamma untuk mengurangi gejala tremor pada

penderita Parkinson.

D. Patofisiologi Pada Penyakit Degeneratif Sistem Saraf


Penyakit degeneratif sistem saraf kongenital adalah kelompok gangguan

langka yang disebabkan oleh kelainan genetik yang terjadi sejak lahir.

Perbedaan utama dengan penyakit degeneratif sistem saraf kongenital adalah

bahwa mereka berkembang sejak awal kehidupan dan biasanya memburuk

seiring berjalannya waktu. Gejalanya dapat bervariasi tergantung pada jenis

penyakit degeneratif dan tingkat keparahannya.

1. Alzaimer (G30.9)

Penyakit Alzheimer adalah kondisi otak degeneratif yang

menyebabkan penurunan progresif dalam sejumlah aspek. Mulai dari

ingatan, kognitif atau kemampuan berpikir, kemampuan bicara dan

perilaku. Penyakit ini dapat menyasar orang dewasa yang masih muda.

Namun, sebagian besar kasusnya terjadi pada mereka yang berusia lebih

dari 60 tahun (lansia). Pada tahap awal, pengidapnya akan mengalami

gangguan daya ingat bersifat ringan. Contohnya seperti mengalami

kesulitan mengingat nama benda, percakapan dengan siapa saja hingga

peristiwa yang belum lama terjadi. Penyakit ini dapat memburuk seiring

waktu sehingga membuat pengidapnya tidak mampu melakukan aktivitas

sehari-hari. Bahkan, pada kasus yang sudah parah, penyakit Alzheimer

dapat membuat pengidapnya linglung.

a. Penyebab Alzaimer

Ada dua protein otak yang menjadi penyebab utama Alzheimer yaitu:

1) Beta-amiloid. Pengendapan protein ini menimbulkan efek beracun

yang dapat mengganggu komunikasi antara sel otak.


2) Neurofibril. Ini adalah protein yang berperan dalam membawa

nutrisi ke dalam sel otak. Jika tidak sesuai jalur, dapat mengganggu

proses pengiriman nutrisi yang memicu efek beracun bagi sel otak.

b. Keluhan dan Gejala Alzaimer

Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa gejala Alzheimer yang

yang pengidapnya juga bisa rasakan:

1) Gejala Kehilangan Memori

 Mengulangi pernyataan dan pertanyaan.

 Melupakan obrolan, janji pertemuan.

 Lupa meletakkan benda.

 Tersesat di tempat yang dikenali.

 Lupa nama anggota keluarga.

 Lupa nama benda yang sering digunakan.

 Kesulitan mengungkapkan pikiran.

2) Gejala Kehilangan Nalar dalam berpikir

 Kesulitan berkonsentrasi dan berpikir, terutama saat

menghitung.

 Sulit melakukan dua pekerjaan sekaligus.

 Sulit mengelola keuangan.

 Akhirnya, pengidap tidak dapat mengenali dan berhitung.

3) Gejala Perubahan Kepribadian dan Perilaku

 Depresi.

 Apatis.
 Tidak mau bergaul.

 Perubahan suasana hati.

 Tidak percaya pada orang lain.

 Perubahan pola tidur.

 Delusi.

c. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Alzaimer

1) Pemeriksaan Fisik dan Neurologis (89.79).

2) Tes Neuropsikologis (93.99).

3) Pencitraan Otak MRI, CTScan (88.91)

d. Penatalaksanaan Alzaimer

1) Obat-Obatan

 Penghambat kolinesterase. Obat bekerja dengan meningkatkan

komunikasi antar sel dalam otak.

 Inhibitor kolinesterase. Obat dapat memperbaiki gejala

neuropsikiatri berupa agitasi dan depresi.

 Memantine (Namenda). Obat bekerja dengan memperlambat

perkembangan gejala Alzheimer sedang hingga berat.

 Antidepresan. Obat ini dapat membantu mengendalikan gejala

perilaku yang terkait dengan Alzheimer. Namun, penting bagi

pengidap kondisi ini untuk berhati-hati dalam

mengonsumsinya. Sebab, para ahli berkeyakinan kalau obat ini

dapat memengaruhi tekanan darah. Benarkah demikian? Simak


jawabannya pada artikel: Hati-Hati, Konsumsi Antidepresan

Bisa Pengaruhi Tekanan Darah.

2) Perubahan Kebiasaan Sehari-Hari

 Simpan barang berharga pada tempat yang sama agar tidak

kesulitan saat mencari.

 Simpan obat dalam tempat yang aman. Gunakan jadwal harian

untuk m engetahui dosis tepat penggunaan obat.

 Gunakan notes untuk mengetahui aktivitas yang sudah kamu

lakukan hari ini.

 Membawa tanda pengenal saat bepergian.

E. Patofisiologi Pada Penyakit Demylinasi Sistem Saraf Pusat

Penyakit demielinasi sistem saraf pusat (Saraf Pusat) kongenital adalah

kelompok kondisi medis yang melibatkan gangguan pada sistem saraf pusat

yang memengaruhi mielin (lapisan pelindung pada serat saraf) dan seringkali

memiliki aspek genetik atau kongenital. Mielin adalah substansi yang melapisi

serat saraf dan berfungsi untuk mempercepat transmisi sinyal saraf. Gangguan

dalam mielinisasi dapat mengakibatkan berbagai masalah neurologis dan

perkembangan

1. Multiple sclerosis (G35)

Sklerosis multipel atau multiple sclerosis adalah kondisi medis yang

dapat memengaruhi kerja dari sistem saraf pusat, seperti otak dan sumsum

tulang belakang. Multiple sclerosis diduga disebabkan oleh

kondisi autoimun, artinya penyakit ini terjadi karena sistem imun tubuh
secara keliru menyerang lapisan lemak yang melindungi serabut saraf.

Apabila tidak ditangani dengan tepat dan segera, multiple sclerosis berisiko

menimbulkan sejumlah komplikasi, seperti kekakuan atau spasme otot,

deep vein thrombosis, epilepsy, kerusakan saraf permanen, depresi akibat

penurunan kualitas hidup, gangguan fungsi seksual, kelumpuhan atau

kelemahan tubuh yang parah, terutama di kaki.

a. Penyebab Multiple sclerosis

Multiple sclerosis dapat terjadi ketika sistem imun tubuh secara

keliru menyerang dan menghancurkan lapisan lemak yang melindungi

serabut saraf pada otak dan sumsum tulang belakang (kondisi

autoimun). Kondisi yang diduga dapat meningkatkan risiko seseorang

mengalami multiple sclerosis adalah sebagai berikut:

1) Memiliki keluarga dengan riwayat penyakit autoimun.

2) Berusia di antara 16–55 tahun.

3) Wanita lebih berisiko terkena jenis relapsing-remitting multiple

sclerosis dibandingkan pria.

4) Kebiasaan merokok.

5) Infeksi virus, seperti virus Epstein-Barr.

6) Kekurangan vitamin D.

7) Mengidap penyakit tiroid, diabetes tipe 1, atau radang usus.

8) Obesitas, terutama pada anak perempuan dengan obesitas.

9) Kelainan genetik.

b. Keluhan dan Gejala Multiple sclerosis


Gejala multiple sclerosis cenderung beragam tergantung pada lokasi

saraf yang terdampak. Sejumlah gejala umum dari multiple sclerosis

adalah sebagai berikut:

1) Lemah atau mati rasa pada bagian tubuh tertentu.

2) Kesulitan berjalan dan menjaga keseimbangan tubuh.

3) Tremor.

4) Sensasi seperti tersengat listrik saat menggerakkan leher.

5) Gangguan penglihatan, seperti pandangan menjadi kabur,

penglihatan ganda, atau terasa nyeri saat menggerakkan mata.

6) Kesulitan berbicara.

7) Lemas.

8) Gangguan kandung kemih, usus, atau organ reproduksi.

9) Gangguan mood.

10) Gangguan fungsi kognitif

c. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Multiple sclerosis

Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan neurologis sebagai

diagnosis awal. Tidak ada pemeriksaan tunggal yang dapat

mengkonfirmasi diagnosis, jadi dokter akan menggunakan beberapa

pemeriksaan. Pemeriksaan berupa:

1) MRI otak dan sumsum tulang belakang (88.91).

2) Analisis cairan tulang belakang, yang dapat mengidentifikasi

antibodi yang menunjukkan infeksi sebelumnya.


3) Pemeriksaan lainnya yang dapat mengukur aktivitas listrik sebagai

respons terhadap rangsangan.

d. Penatalaksanaan Multiple sclerosis

Pengobatan multiple sclerosis hanya bertujuan untuk mengendalikan

gejala, mengurangi kekambuhan, serta memperlambat perkembangan

penyakit. Adapun beberapa tindakan atau pengobatan medis yang umum

dilakukan untuk menangani multiple sclerosis adalah:

1) Meresepkan obat kortikosteroid untuk mengurangi peradangan pada

saraf.

2) Meresepkan obat pelemas otot untuk mengurangi kaku otot.

3) Fisioterapi (95.39)

untuk meminimalkan keterbatasan fisik dan meningkatkan kualitas

hidup pasien.

4) Plasmapheresis (pertukaran plasma) (99.71)

untuk membuang plasma darah lalu menggantinya dengan albumin dan

digabungkan dengan sel-sel darah.

5) Menyarankan pasien untuk menjalani pola hidup sehat, seperti

mengonsumsi makanan bergizi seimbang, rutin berolahraga, dan

mengelola stres sebaik mungkin.

F. Patofisiologi Pada Gangguan Episodik dan Paroksismal

Gangguan episodik dan paroksismal kongenital adalah kelompok gangguan

neurologis yang menyebabkan serangan atau kejadian episodik yang tidak

terduga. Gangguan ini memiliki komponen kongenital, artinya mereka hadir


sejak lahir atau terdeteksi pada usia dini. Beberapa di antaranya memiliki aspek

genetik yang mendasari

1. Syndrome West (G40.4)

Sindrom West adalah salah satu jenis kondisi kejang yang utamanya

terjadi pada anak atau khususnya bayi. Sindrom yang dikenal dengan istilah

infantile spasms ini berkaitan dengan epilepsi, namun lebih berpotensi

terjadi pada bayi dan anak-anak. Bila tak ditangani dengan tepat, maka

sindrom West dapat berakibat pada keterlambatan atau terhambatnya

perkembangan mental anak.

a. Penyebab Syndrome West

Sindrom West atau kejang pada bayi dapat terjadi karena kerusakan

pada otak dan beberapa faktor di bawah ini paling berpotensi memicu

kerusakan tersebut:

(a) Mutasi Genetik

Perubahan gen di dalam tubuh yang biasanya dimiliki anak karena

diturunkan oleh orang tuanya, seperti mutasi abnormal pada gen

ARX atau CDKL5 yang terletak pada kromosom X. Cacat atau

mutasi gen yang ada pada kromosom X rata-rata dialami oleh laki-

laki dengan menunjukkan sejumlah tanda atau gejala. Sementara

pada perempuan, cacat atau mutasi gen pada salah satu kromosom

X menjadikannya sebagai pembawa sifat cacat gen saja tanpa

mengalami keluhan gejalanya.

(b) Gangguan Neurokutan


Salah satu contoh kondisi gangguan neurokutan adalah tuberous

sclerosis complex (TSC) di mana TSC ini merupakan kondisi

genetik dominan autosomal. Kondisi ini umumnya ditandai dengan

keberadaan tumor ginjal, tumor pada jantung, tumor mata, dan

kejang pada tubuh. Gangguan neurokutan seperti tuberous sclerosis

pun berkaitan dengan kondisi mutasi gen yang diwarisi dari salah

satu atau kedua orang tua.

(c) Malformasi Otak

Malformasi otak dapat terjadi pada bayi di mana perkembangan

otaknya mengalami ketidaknormalan. Contoh kondisi yang

tergolong sebagai malformasi otak adalah displasia kortikal dan

hemimegalensefali.

(d) Kelainan Kromosom

Kelainan kromosom juga dapat menjadi salah satu faktor yang

mampu meningkatkan risiko sindrom West. Down syndrome

termasuk kondisi kelainan kromosom yang perlu diwaspadai oleh

para orang tua.

(e) Faktor Lainnya

Infeksi yang menyebar hingga otak atau infeksi yang menyerang

otak pun dapat menjadi faktor lain yang menyebabkan kerusakan

otak dan memicu sindrom West. Selain itu, cedera otak atau kelainan

metabolisme juga berpengaruh pada kondisi otak dan mampu

memicu sindrom West.


b. Keluhan dan Gejala Syndrome West

Sindrome West mampu menimbulkan sejumlah keluhan bagi penderita,

daintaranya:

(a) Kekakuan pada tubuh

(b) Lutut menekuk ke arah tubuh

(c) Tubuh bagian atas menekuk ke arah lutut

(d) Lengan terentang ke arah luar tubuh

Anak-anak dengan sindrom West mungkin memiliki gejala lain seperti:

(a) Sifat mudah tersinggung

(b) Kehilangan selera makan

(c) Perubahan pola tidur, seperti tidur lebih banyak di siang hari dan

lebih sedikit di malam hari

(d) Bertindak seolah-olah mereka tidak bisa melihat

(e) Perkembangan melambat

(f) Regresi

c. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Syndrome West

Berikut ini adalah metode diagnosa yang umumnya digunakan oleh

dokter:

a) Elektroensefalografi (EEG). Metode diagnosa satu ini tak akan

memberikan efek sakit pada pasien yang menempuhnya. Tindakan

pemeriksaan non-invasif ini bertujuan untuk mengetahui pola

aktivitas listrik pada otak pasien. Melalui pemeriksaan ini, kondisi

lain yang menyerupai kejang epilepsi juga dapat terdeteksi.


b) Tes Pemindaian, seperti MRI scan dan CT scan (88.91).

MRI scan akan membantu dokter dalam mendeteksi kondisi otak

melalui gambar yang dihasilkan dari metode diagnosa. Struktur

otak, lesi pada otak, dan adanya malformasi otak dapat

teridentifikasi melalui pemeriksaan ini. Sementara itu, CT scan yang

tidak lebih detail dari MRI scan tetap diperlukan untuk mengetahui

kondisi otak secara garis besarnya.

c) Wood’s Lamp. Metode diagnosa ini dilakukan dengan

menggunakan lampu khusus untuk memeriksa apakah kulit pasien

mengalami perubahan. Keberadaan lesi dengan pigmen yang kurang

juga dapat terdeteksi melalui pemeriksaan ini. Wood’s lamp adalah

langkah pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mendeteksi

adanya kondisi tuberous sclerosis pada pasien.

d) Tes Urine, Tes Darah dan Pungsi Lumbal (90.59)

Jika dokter menduga bahwa kejang pada anak adalah karena infeksi,

maka tes darah, tes urine dan pungsi lumbal perlu diterapkan.

e) Tes Genetik Molekular. Tes atau pemeriksaan ini akan

direkomendasikan oleh dokter apabila terdapat dugaan bahwa

mutasi gen CDKL atau ARX menjadi penyebab gejala yang dialami

pasien. Tes genetik ini pun menjadi salah satu metode diagnosa yang

umumnya digunakan sebagai pendeteksi tuberous sclerosis complex

d. Penatalaksanaan Syndrome West

 Melalui Pengobatan:
(a) ACTH, suatu hormon

(b) Vigabatrin (Sabril), obat kejang

(c) Steroid seperti prednison

(d) Vitamin B6, jika sindrom West disebabkan oleh kekurangan

vitamin B

Sekitar dua pertiga bayi yang mengonsumsi ACTH atau vigabatrin

mengalami kejang yang lebih sedikit atau lebih ringan. Mungkin

diperlukan satu atau dua hari sebelum perawatan ini berhasil.

 Melalui Terapi

Untuk anak-anak penderita sindrom West yang mengalami

keterlambatan atau keterhambatan perkembangan mental, dokter

akan menganjurkan penempuhan EEG (89.14) secara berkala. Hal

ini untuk memantau perkembangan kondisi pasien selama

menempuh terapi yang membantu perkembangan bicara, mental,

dan fisik pasien.

 Melalui Diet

Untuk beberapa kasus, diet ketogenik juga dapat dianjurkan oleh

dokter. Pasien sindrom West yang menjalani diet ini pun terbukti

menjadi lebih baik, terutama pada kasus kejang epilepsi. Anak-anak

yang lebih besar dapat menerapkan diet ini di mana itu artinya

asupan karbohidrat rendah dan asupan lemak tinggi sehari-hari. Diet

seperti ini pun umumnya hanya diperuntukkan bagi pasien yang tak

dapat merespon obat resep.


 Melalui Operasi

Prosedur bedah hanya akan direkomendasikan oleh dokter ketika

otak mengalami malformasi dan tuberous sclerosis complex. Tujuan

prosedur operasi adalah untuk mengendalikan kejang yang terus-

menerus terjadi namun tak dapat diatasi dengan konsumsi obat resep

maupun terapi tertentu.

Anda mungkin juga menyukai