Anda di halaman 1dari 75

Trematoda Hati

Kelompok 8
1.Muhammad Kamil 1611012018
2.Monika Ramadhani 1611012020
3.Elsa Ramadhanti 1611012022
4.Faddini Lati Sufi 1611012026
5.Rezki Amanda 1611012028
TREMATODA HATI
(liver flukes)
1. Clonorchis sinensis
2. Opisthorchis felineus
3. Opisthorchis viverrini
4. Fasciola hepatica
5. Fasciola gigantica
Clonorchis
sinensis
Hospes
a) Hospes definitif : manusia, kucing dan
anjing
b) Hospes perantara 1 : siput / keong air keong
Bulimus, Alocinma, Parafossarulus
c) Hospes perantara 2 : ikan sungai Cyprinoid

a) Habitat : saluran empedu hati dan sal.


pankreas
b) Cara infeksi : makan ikan yang mengandung
metaserkaria yang tidak dimasak dengan
Siklus hidup

Mirasidium sporokist redia serkaria


a
Lokasi dari Clonorchis sinensis
Patologi dan Gejala Klinis
• Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel
saluran empedu. Pengaruhnya terutama bergantung
pada jumlah cacing dan lamanya menginfeksi,
untungnya jumlah cacing yang menginfeksi biasanya
sedikit.
• Infeksi kronis pada saluran empedu menyebabkan
terjadinya iritasi pada saluran empedu dan
penebalan epithel empedu sehingga dapat
menyumbat saluran empedu.
• Pembentukan kantong-kantong pada saluran empedu
dalam hati dan jaringan parenchym hati dapat
merusak sel sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing
yang kemudian dikelilingi jaringan ikat
menyebabkan penurunan fungsi hati.
• Gejala joundice (penyakit kuning) dapat terjadi, tetapi
persentasinya masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh
obstruksi saluran empedu oleh telur cacing.
• Adanya Clonorchis ataupun Opithorchis dalam waktu yang
lama dapat mengakibatkan perubahan metaplastik pada epitel
saluran empedu yang beresiko menjadi cholangiocarcinoma
• Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan
penebalan dinding saluran dan perubahan jaringan hati yang
berupa radang sel hati.
• Gejala  3 stadium:
• Stadium ringan : tanpa gejala klinis
• Stadium progressif : nafsu makan menurun,
perut rasa penuh, diare, edema dan
hepatomegali
• Stadium lanjut : sindroma hipertensi portal
(hepatomegali, ikterus, asites, sirosis hepatis).
• Kadang-kadang timbul keganasan dalam hati.
Diagnosis
• Diagnosa didasarkan pada isolasi feses,
cairan duodenum atau cairan empedu
ditemukan telur C. sinensis .

• Bila infeksi ektopik :


– CT scans,
– ultrasonografi
• Sejumlah cacing hati lain yang
mempengaruhi kucing, seperti Viverrini
opisthorchis dan Felineus opisthorchis,
dapat dibedakan dengan pemeriksaan
mikroskopik atau yang lebih baru tes PCR.
pengobatan

•Prazikuantel merupakan obat pilihan utama


Merupakan antelmintik spektrum lebar dan efektif
pada cestoda dan trematoda pada hewan dan
manusia,
Mekanisme kerja :
Pada kadar efektif terendah menimbulkan
peningkatan aktifitas otot cacing, karena hilangnya
Ca2+ intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis
yang sifatnya reversibel.
Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan vakualisasi
dan veskulaso tegumen cacing, sehingga isi cacing
keluar
Efek samping :
Sakit kepala, pusing, mual, muntah, lelah
nyeri perut. Eusinofil terlihat setelah
beberapa hari pemberian obat.
Kontraindikasi :
Sebaiknya tidak diberikan pada ibu hamil
dan menyusui
Dosis :
tiga kali sehari 25mg/kgBB selama 1-3 hari.
Opisthorchis
viverrini
Opisthorchis viverrini
Epidemiologi

• Ditemukan pada anjing dan kucing peliharaan dan


liar di Asia Tenggara.
• Ini adalah infeksi manusia yang sangat umum di
Thailand Timur Laut di mana ia dikatakan
menginfeksi hingga setengah dari populasi. Di
seluruh dunia diperkirakan 9 juta kasus.
• Secara morfologis sangat mirip dengan O.
sinensis/O. felineus.
Penyebaran Geografis

• Penyebaran geografis thematoda Opisthorchis


viverrini ini tersebar daerah Asia Tenggara  dan
Thailand,Vietnam,Camboja sebagai daerah endemi.
Morfologi
• Habitat : saluran empedu dan saluran pankreas.
• Ukuran :7 – 12 mm
• Batil isap mulut > batil isap perut
• Telur : mirip telur Clonorchis sinensis, tapi lebih langsing
• Cara infeksi: makan ikan yang mengandung metaserkaria yg
dimasak kurang matang.
• Hospes                  : manusia.
• Reservoir              : kucing dan anjing.
• Penyakit                : opistokiasis
Siklus Hidup

• Siklus hidup dari Opisthorchis viverrini mirip


dengan Opistorchis felinus hanya berada dalam
ukuran yang lebih besar. Infeksi terjadi dengan
makan ikan mentah yang mengandung metaserkia.
Di daerah Muangthai timur laut ditemukan banyak
penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada
penderita  opistorkiasis. Hal ini juga karena ada
peradangan kronik saluran empedu dan selain itu
berhubungan dengan cara pengawetan ikan yang
menjadi hospes perantara Opistorchis viverrini.
Siklus Hidup Opisthorchis
viverrini
Gejala Klinis
Cacing dalam jumblah sedikit tidak akan menimbulkan gejala,
kadang-kadang timbul gejala berupa
 diare,
 kurang nafsu makan,
 perut kembung/dyspepsia,
 nyeri perut di bagian atas kanan,
 anoreksia,
 Mual dan muntah,
 Demam tinggi
• Perasaan tidak enak di epigastrium
• nyeri di kuadran kanan atas dapat juga timbul disertai
hepatomegali
• Ikterus
• suhu naik 38,5°C
• Selanjutnya jika jumblah telur mencapai 10-50 butir
per mg tinja, penyakit berat dan jika lebih dari 50 butir,
penyakit sangat berat.
Diagnosa

• Adanya indikasi telur o.veverrini pada feses


pasien
• Dasarnya dengan menemukan telur dalam tinja
atau dari drainase duodenum.
• tes serologi : western bolt dan ELISA
Manajemen Pengobatan

• Praziquantel : 25 mg/kg BB dalam tiga kali sehari


• Efek samping : mual, muntah , sakit kepala, rasa
tidak nyaman pada perut.
• Health education : tidak memakan ikan yang
tidak dimasak sempurna untuk mencegah infeksi
ulang.
• Cukup baik dengan pemberian obat klorokuin.
Pencegahan
Pencegahan penularan cacing Clonorchis sinensis pada manusia
juga dapat dilakukan dengan cara memutus rantai hidup
cacing ini, meliputi :
1.  Tindakan pengendalian Industri; pembuangan ekskreta dan
air limbah atau khusus kotor yang aman untuk mencegah
kontaminasi pada air sungai, pengolahan air limbah untuk
keperluan akua kultur, iradiasi ikan air tawar, pembekuan
dingin, perlakuan panas, misalnya pengalengan.
2.  Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga; memasak ikan
air tawar sampai benar-benar matang. Konsumen harus
menghindari konsumsi ikan air tawar yang mentah atau
kurang matang.
Opistorchis
felineus
Taksonomi Opisthorchis
felineus
Penyebaran Geografis

• Ditemukan di Eropa Tengah, Siberia dan Jepang.


Parasit ini ditemukan pada manusia di Prusia,
Polandia dan Siberia ditemukan di Jepang yang
bukan daerah endemik Clonorchiasis.
• Cacing dewasa panjangnya kira-kira 1 cm hidup
dalam saluran empedu dan hati manusia serta
kucing. Telur besarnya kira- kira 30 mikron.
Morfologi

• Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu dan saluran


pankreas.
• Ukuran cacing dewasa 7-12 mm , mempunyai batil isap mulut
dan perut.
• Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral.

• Telur mirip telur C. Sinensis, hanya bentuknay lebih langsing.


• Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung
metaserkaria dan dimasak kurang matang.
Daur hidup
• Hospes definitifnya : manusia
• hospes reservoarnya: kucing, anjing, babi
• dan serigala.
• Hospes perantara pertama: siput air tawar,
• bithynea iechi.
• Hospes perantara kedua : ikan jenis idus
• dan tinca.
Siklus hidup
Gejala Klinis Opisthorchiasis
Diagnosis

• Deteksi pada siput/keong :


Pengamatan Mikroskop hasil pembedahan siput
dan analisis PCR dari homogenisasi tubuh siput
(Pozio,2008).
• Deteksi pada ikan dapat dilakukan dengan :
Penekanan otot ikan (trichinoscopy)
Deteksi/diagnosis pada hospes
mamalia
A. Deteksi parasitological
• Deteksi dari telur parasit dalam sampel tinja, ukuran telur
untuk cacing ini 25-35 x 15-17 µm.
B. Deteksi serological
• Menggunakan tes ELISA yang dikembangkan pada
manusia dan karnivora (anjing,kucing) menggunakan
eksresi atau sekresi antigen dari cacing dewasa secara in
vitro.
C. Deteksi molekuler
• Menggunakan PCR dari sampel tinja.
Pada hasil tes laboratorium biasanya menghasilkan
jumlah leukosit yang tinggi mencapai 29,8 x 103/µL,
eusinofil yang tinggi mencapai 60% dan enzim hati
(AST/ALT mU/mL) meningkat sampai 315/899
(Pozio,2008).
Pengobatan
1. Bithionol (Lorothidol, Bitin)
• Mekanisme Kerja:
menghambat fosforilasi oksidatif pada parasit, mendorong ke
arah blokade sintesis ATP. ini merupakan pilihan obat
karena efektivitas dan keselamatannya pada Fh Dan Fg.
Data pendukung adalah dari negara berkembang. Ini
merupakan suatu campuran fenolic yang secara struktur
berhubungan dengan heksaklorofen. Tersedia dari Pusat
untuk Kendali Penyakit Dan Pencegahan ( CDC).
Dosis
Dewasa: 30-50 mg/kg per oral selama 5-15 hari perawatan;
beberapa
• pasien memerlukan perawatan pengulangan
• Interaksi Obat : Tidak dilaporkan
• Kontraindikasi: Hipersensitivitas
• Perhatian
• C- Resiko janin diteliti pada hewan percobaan; tetapi
tidak dipelajari pada manusia; boleh digunakan jika
manfaat lebih besar daripada resiko pada janin.
• Dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah, diare,
sakit perut, hipotensi, pusing, sakit kepala,
fotosensitivitas, atau pruritus.

2. Triclabendazole (Fasinex)
Mekanisme kerja
Laporan terbaru menyarankan obat dokter hewan ini aman
dan efaktif pada anak-anak dan orang dewasa. Ini merupakan
obat pilihan kedua sampai data lebih lanjut terkumpul, mengikat
ke cacing pada tubulin, mengganggu formasi microtubule dan
fungsinya. Mulai dari 2009, ini tak tersedia Amerika Serikat.
Dosis
Dewasa: 10-20 mg/kg/hari PerOral setelah makan dibagi 12-
24jam untuk 1 dosis.
Pediatrik: Diberikan sama seperti orang dewasa.
Interaksi Obat: Tidak dilaporkan
• Perhatian
Pada ibu hamil:
Menyatakan resiko C- fetal pada penelitian pada
hewan percobaan tetapi tidak diteliti pada manusia.
Boleh digunakan jika manfaat lebih besar daripada
resiko terhadap janin dapat menyebabkan sakit
kepala dan pusing temporer.
3. Praziquantel
(Biltricide)
Mekanisme kerja
Walaupun secara umum aman dan efektif untuk infeksi
trematode lain, praziquantel nampak sangat sedikit manjur
melawan terhadap Fasciola hepatica. Karenanya ini siap
tersedia dan lebih umum dikenal dibanding triclabendazole (
Fasinex), ini adalah obat pilihan ketiga.
Penggunaan Cadangan untuk situasi di mana pilihan
pertama dan kedua tak dapat diperoleh. Praziquantel
meningkatkan permeabilitas kulit trematoda terhadap
kalsium, menyebabkan kontraksi otot parasit.
Dosis:
Dewasa: 25 mg/kg/dosis PerOral tiap 8 jam untuk 1 hari
Pediatric: sama seperti dewasa
• Interaksi obat
Hydantoin mengurangi kadar praziquantel dalam serum,
yang memungkinkan ke arah kegagalan perawatan.
• Kontraindikasi: Hipersensitivitas, cysticercosis pada mata
• Perhatian
Pada ibu hamil:
resiko B-fetal belum dipastikan pada manusia tetapi telah
ditunjukkan dalam beberapa studi pada hewan percobaan
Fasciola hepatica

• Hospes : kambing dan sapi, kadang-kadang


manusia.
• Penyakit : fasioliasis
• Penyebaran geografik : Amerika Latin, Perancis,
negara-negara sekitar Laut Tengah.
Morfologi dan Siklus Hidup

• Cacing dewasa :
• Bentuk pipih seperti daun
• besarnya ± 30x13 mm
• Bagian anterior berbentuk seperti kerucut

• pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya ±1 mm

• pada bagian dasar kerucu terdapat batil isap perut yang besarnya ±1,6 mm

• Saluran pencernaan bercabang – cabang sampai ke ujung distal sekum


• Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang –cabang
• Telur :
• Ukuran 140 x 90 μ, dikeluarkan melalui sal. empedu ke dalam
tinja dalam keadaan belum matang.
• Menetas dalam air setelah 9 –15 hari.
• Hospes perantara I : keong air Lymnea truncatula.
• Perkembangan larva dalam keong :
• M-S-R1-R2-C
• Hospes perantara II : tumbuh-tumbuhan air
(slada air, watercress, water chestnut)
• Cara infeksi : makan tumbuhan air mentah yang
mengandung metaserkaria.
Daur hidup F. hepatica
Epidemiologi
• Fasciolosis  penyakit yang disebabkan trematoda Fasciola
hepatica
• Menyerang ternak ruminansia seperti sappi, kerbau dan domba
• Kasus fasciolosis umumnya terjadi di negara empat musim atau
subtropis
• penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili
Lymnaeidae
• Penularan fasciolosis pada manusia terjadi akibat kebiasaan
sebagian masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati
mentah (Carpenito, 2007 )
Patologi
Klinik Migrasi cacing dewasa
muda ke cairan
empedu

Kerusakan parenkim hati

Sirosis periportal

( Irianto, 2009)

Saluran empedu Saluran empedu


menebal dan meradang
tersumbat
Patologi dan Gejala Klinis

• Migrasi cacing muda ke sal. empedu menimbulkan


kerusakan parenkim hati
• Peradangan dan penebalan saluran empedu
mengakibatan sumbatan sehingga terjadi sirosis
periportal.
Gejala Klinis

• Anemia
• Demam dengan suhu badan 40-42°C
• Nyeri dibagian perut
• Gangguan Pencernaan
Diagnosis Infeksi Fasciola
hepatica
• Pemeriksaan feses manusia untuk menemukan telur dengan
metoda sedimentasi
• Pemeriksaaan darah, dengan uji serologi ELISA (Enzyme-
linked Immunosorbent Assay) untuk mengetahui adanya
peningkatan antibodi atau antigen pada tubuh penderita
• Computerised Tomography (CT) dan Ultrasonography (US)
juga bisa digunakan untuk menkonfirmasi lebih lanjut
• CT dan US biasa digunakan untuk mengetahui efikasi
Pengobatan. (Aksoy, D.Y et.al, 2005)
Treatment
• Obat-obat yang biasa digunakan diantaranya praziquantel.
Bithionol lebih efektif dibanding praziquantel untuk
fascioliasis dan lebih dipilih. (Sweetman, C, 2009)

• Namun Centers for Disease Control and Prevention (CDC)


merekomendasikan triclabendazole sebagai drug of Choice

• Namun dilaporkan sudah terjadi toleransi triclabendazol


terhadadap fascioliasis (Millan J C, 2000)
• 1st line Triclabendazole : 10 mg/kgBB 2 x p.o setelah
makan

• 2nd line Bithyhionol : 30-50 mg/kgBB 1 x sehari selama


10-15 hari (berselang). WHO merekomendasikan 30
mg/kgBB sehari selama 5 hari
• 3rd line Prazikuantel : dewasa dan anak > 4 th 25 mg/kgBB
3 x sehari selama 1-2 hari atau 40 mg/kgBB 1 x sehari

• Efek samping Bithionol : anoreksia, nausea, vomiting,


discomfort, diare, salivasi, pusing, dan skin rashes
(Sweetman, C, 2009)
Efek Samping : sakit kepala, diare, mengantuk,
malaise, abdominal discomfort, nausea, dan
vomiting
KI : pasien penderita ocularcysticercosis, ibu
menyusui
Interaksi :
- Rifampisin oral : konsentrasi prazikuantel ↓
- Karbamazepin & fenitoin : ↓ BA prazikuantel
- Klorokuin : ↓ BA prazikuantel
- Kortikosteroid : ↓ konsentrasi prazikuantel
- Antagonist-H2 : ↑ BA prazikuantel
(Sweetman, C, 2009)
Fasciola gigantica
PENDAHULUAN
KLASIFIKASI TAKSONOMI
Menurut Levine (1990), cacing Fasciola spp mempunyai
klasifikasi sebagai berikut:
MORFOLOGI DAN SIKLUS
HIDUP
MANIFESTASI KLINIK
Manifesasi Fasciolosis bisa dibagi menjadi akut dan
kronis.
Fascioliosis akut, bisa terjadi pada domba apabila
domba menelan dalam jumlah banyak metaserkaria
dalam waktu singkat. Jumlah cacing fasciola muda
merusak hati menyebabkan kapsul hati pecah dan
perdarahan dalam peritonium. Domba bisa mati dalam
beberapa hari. Dalam nekropsi akan ditemukan hati
yang membesar, pucat, rapuh dan terlihat jalur-jalur
perdarahan pada permukaan hati. (Irawati dkk., 2013)
Fascioliosis kronis adalah bentuk umum yang terjadi pada
hospes. Hal ini mungkin karena ternak terinfeksi secara
bertahap, sehingga kerusakan hatipun terjadi secara bertahap.
Fascioliasis kronis terjadi dua bentuk, yaitu fibrosis hati dan
kholangitis. Saat cacing Fasciola muda migrasi dalam hati,
maka terjadi kerusakan parenkim, perdarahan dan nekrosa.
Perjalanan cacing juga menimbulkan trombus vena hepatica
dan sinusoid hati, dan gangguan aliran darah oleh trombus ini
menimbulkan nekrosis dan iskhaemia dalam parenkhima hati.
Dalam proses penyembuhan jaringan parenkhim diganti
dengan serabut kolagen, maka terjadi fibrosis. Apabila terjadi
banyak lobus hati maka hati menjadi bentuk tidak teratur dan
mengeras (sirosis hati/sirosis hepatis). (Irawati dkk., 2013)
Pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu
infestasi terutama di lapangan. Makin tua umur sapi
makin tinggi prevalensi intensitas. Pada sapi muda,
prevalensinya lebih rendah. Hal ini disebabkan sapi
muda relatif lebih sering dikandangkan dalam rangka
penggemukan (sapi kereman). Selain itu, intensitas
makan rumput sapi muda masih rendah dibandingkan
sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum air
susu induknya, sehingga kemungkinan untuk
terinfekasi larva metaserkaria lebih rendah. (Hambal
dkk., 2013)
DIAGNOSA
Penentuan diagnosa fascioliasis seekor hewan atau
sekelompok hewan harus dibuktikan dengan
ditemukannya telur Fasciola, yang dapat dilakukan dengan
metode sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok,
diagnosa juga diperkuat dengan kerusakan hati salah satu
hewan yang mati dengan melalui proses nekropsi.

Diagnosa dini infeksi sebelum cacing menghasilkan telur


dapat dilakukan dengan metode ELISA untuk mendeteksi
keberadaan antigen eksretori-sekretori (E/S) dalam tinja
(Satrija et al.2009).
PENGOBATAN

Keberhasilan pengobatan fascioliasis


tergantung efektifitas obat terhadap stadia
perkembangan cacing, pada fase migrasi,
pada migrasi atau pada fase menetap dihati,
dan sifat toksin dari obat harus rendah karena
jaringan hati yang terlanjur mengalami
kerusakan.
Yang paling baik yatui obat mampu membunuh
fasciola yang sedang migrasi dan cacing dewasa, serta
tidak toksik pada jaringan, misalnya :
a. Hexacchlorethan, Aulotane, Perchloroethan,
fasciolin selain efektif terhadap cacing desawa juga
efektif untuk Hemonchis dan Trichostrongylosis
b. Clioxanide sangant efektif untuk Fasciolisis domba,
dan membunuh cacing Dewasa umur 6 minggu atau
lebih.
c. Niclofolan, Tordas, Dovenix. Obat yang mampu
membunuh fascioliasis (bersifat flukicidal) dikemas
sebagai garam N-methyl Glucaumine atau
Meglumine 20%. Derivate Benzimedazol, terutama
Albendazol, Triclabendazol dan Probendazol
Febantel, memperoleh perhatian luas karena selain
efektif terhadap cacingnematoda, senyawa tersebut
juga efektif untuk membunuh cacing hati muda dan
cacing dewasa.

Anda mungkin juga menyukai